Kuda Kayu Bersayap [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kuda Kayu Bersayap Yanusa Nugroho



PT TIGA SERANGKAI SOLO



Kuda Kayu Bersayap Yanusa Nugroho Editor : Ambhita Dhyaningrum Desain sampul : Ilustrator : Penata letak isi : Cetakan pertama : 2004



Penerbit Tiga Serangkai Jl. Dr. Supomo 23 Solo



Anggota IKAPI Telp. 62-271-714344, Fax. 62-271-713607 http://www.tigaserangkai.com [email protected]



Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Nugroho, Yanusa Kuda Kayu Bersayap/ Yanusa Nugroho – Cet.I – Solo Tiga Serangkai, 2004 viii, ….; …cm



ISBN 979-668-483-7 1. Fiksi I. Judul



©Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang All right reserved 1



Dicetak oleh PT Tiga Serangkai Isi diluar tanggung jawab percetakan



Kata Pengantar Penerbit Ngrokok. Ngopi. Ngarang. (Merokok. Minum. Mengarang). Begitu biasanya Yanusa berseloroh tentang hidupnya. Kedengaran begitu santai dan menyenangkan. Nyatanya, Yanusa adalah manusia yang selalu diburu tenggat. Lalu, biasanya jika sudah harus berbagi konsentrasi antara satu agenda dengan agenda lainnya, ia suka berkhayal memiliki empat tangan seperti Batara Guru sehingga dapat menyelesaikan kerjanya dengan cepat. Kumpulan cerpennya yang berjudul Kuda Kayu Bersayap ini pun terbit dengan ”mencuri-curi” waktunya yang amat padat. Toh, di sela kesibukannya itu ia masih saja dapat meluangkan waktu menunggui tukang membuat kolam untuk kedua anaknya atau, masih sempat jadi pengurus lingkungan masyarakat tempatnya tinggal. Tengoklah, misalnya, ”Anjing” atau ”Lho” yang sarat dengan muatan isu keseharian dalam masyarakat lingkungan tinggal. Cerpen-cerpen itu merupakan hasil persinggungannya dengan lingkungan sosial. Kepekaannya terhadap apa yang terjadi di sekitarnya menelurkan cerpen-cerpen bernas yang lahir bukan dari daya imajinasi belaka tetapi merupakan hasil berinteraksi yang sesungguhnya Yanusa Nugroho adalah nama yang sudah lama akrab di telinga kita. Maraknya namanama baru di jajaran penulis Indonesia tak membuat namanya surut. Bahkan, proses kreatifnya kian berkembang. Belakangan, dalam jarak waktu tak terlalu lama, ia menghasilkan dua buah novel, Di Batas Angin dan Manyura. Dua-duanya sama-sama bicara tentang dunia pewayangan, dunia yang sangat ia gilai. Yang pasti, ia memang tak pernah bisa melepaskan perhatiannya dari dunia satu itu. Persahabatannya dengan tokoh-tokoh dalang di Indonesia membuat ia semakin akrab dengan wayang. Di dalam Kuda Kayu Bersayap, ia juga menyisipkan dua buah cerpen yang bicara tentang wayang; ”Wayang” dan ”Kalau Itu.” Di dalam Kuda Kayu Bersayap, ada cerpen-cerpen yang pernah dimuat di media, tetapi beberapa yang lain belum sempat dipublikasikan. Jadi, Anda adalah termasuk orang yang beruntung, dapat membaca cerpen Yanusa sebelum dikonsumsi banyak orang melalui media massa. Karena Yanusa bukan seorang pengarsip yang baik, beberapa waktu pemuatan



2



cerpennya tidak tercantum dalam Sejarah Penerbitan. Mudah-mudahan tidak mengurangi kenyamanan Anda. Selamat menikmati.



Tiga Serangkai



Pada mulanya adalah … Menulis, sebagaimana halnya makan dan minum, adalah kebutuhan. Kebutuhan untuk mengungkapkan sesuatu. Paling tidak, itulah yang saya rasakan. Dan, bentuk yang paling pas bagi saya adalah menulis cerita. Saya tidak tahu secara pasti mengapa saya merasa lebih pas. Mungkin saja, dengan menulis cerita, begitu banyak hal bisa saya ungkap dengan sudut pandang paling personal. Ini penting. Dengan menggunakan sudut pandang paling personal tersebut, saya bisa menjelajahi relung nurani saya sendiri. Saya bisa menyalahkan diri sendiri, atau memujinya tanpa basabasi. Tanpa saya sadari sepenuhnya, cerpen-cerpen yang saya ciptakan, ternyata berubah menjadi semacam bentuk protes atas apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Apa pun yang terasa ”mengganggu” nurani saya, langsung bereaksi dan memberikan impuls lahirnya sebuah cerita. Untung saja, saya jadi ”pejabat” di masyarakat; jadi sekretaris RT, sekretaris RW, sekretaris masjid, selalu jadi panitia kegiatan lingkungan, sehingga saya jadi lebih banyak bersinggungan dengan realitas sekeliling saya. Mulai dari masalah pribadi, hingga masalah nasional. Mulai dari urusan suami main gebuk istri, tetangga yang selalu membuang sampah di bak sampah tetangganya, sampai panitia Pemilu. Mulai dari mengatur dan mengajak warga untuk siskamling, sampai ikut pusing memutuskan siapa yang berhak mendapatkan daging qurban; setiap tahun. Semuanya mengalir ke dalam kehidupan saya sehari-hari. Namun, meskipun realitas tersebut begitu kental saya hadapi, yang muncul ke permukaan cerpen saya ternyata bukanlah sketsa. Saya tidak tahu mengapa. Apakah memang itu yang saya rasakan ketika bersentuhan dengan lingkungan di luar diri saya sendiri? Apakah memang perasaan saya menyerap hal yang berbeda dari apa yang ”sebenarnya” terjadi? Entahlah. 3



Banyak cerpen saya ditanggapi secara ‘berlebihan’ oleh pembacanya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa cerpen saya sulit dipahami. Saya, biasanya hanya tersenyum. Mungkin, gaya bertutur saya yang belum ”fasih” benar, sehingga komunikasinya tidak lancar. Tetapi, kadangkala saya berpikir lain, jangan-jangan pola pikirnya yang berbeda. Saya memang menyukai ”warna ungu” untuk melukiskan nasib tokoh saya. Umumnya, jika disimak lebih jauh, semua tokoh saya berwarna demikian. Kelam, remang-remang, batasbatas sosok nasib yang tak jelas, adalah sesuatu yang entah mengapa, selalu muncul di setiap tulisan saya. Kesenyapan, kepedihan, kegelisahan, kemarahan, kekalahan, kebuntuan, adalah hal-hal yang tiba-tiba akrab, merangkul, merangsang dan mencumbui saya; tanpa saya ajak. Dengan sendirinya mereka berdatangan. Dengan sendirinya mereka merasa terundang, manakala saya mengetik cerita. Saya juga biasa menjadi narasumber untuk workshop penulisan cerpen, baik untuk siswa SMU, guru-gurunya, maupun umum. Ternyata, dari hasil karya mereka, yang paling mendapat perhatian oleh peserta lain, adalah cerpen-cerpen yang menurut saya ”berwarna ungu”. Saya berpikir, jangan-jangan, bukan hanya saya yang merasa tergetar oleh ”warna” yang satu ini. Jangan-jangan, disadari atau tidak, diakui atau disangkal, ”warna” yang satu ini memang memudahkan seseorang untuk memahami atau bahkan dipahami oleh orang lain. Jadi, ”warna” ini semacam medium untuk saling memahami. Jika memang demikian, lantas mengapa masih banyak yang menganggap cerpen saya sulit? Ini ”teka-teki” yang belum bisa saya jawab. Tapi, bukankah kata orang bijak, ”pengarang telah mati” begitu karyanya dibaca orang lain? *** Kuda Kayu Bersayap terinspirasi oleh tuturan seorang tetangga yang saudaranya menjadi anggota TNI dan ditugaskan di Aceh. Kisah sebenarnya, kata tetangga saya itu, saudaranya tidak mati, tapi jiwanya ”korslet”. Entah mengapa, saya tenggelam dalam kebuntuan yang dialami saudara tetangga saya itu—yang bahkan tidak saya ketahui namanya itu. Kisah-kisah yang mengangkat seekor anjing, sebetulnya—kalau saya tak salah, berangkat dari tuturan ibu saya (almarhumah). Suatu kali, ibu saya—tinggal di Warung Buncit dan saya di Cileduk, melihat seekor anjing kurus kelaparan. Sepiring nasi kemarin dan lauk apapun yang tersisa, disediakan untuk si anjing tersebut sampai akhirnya dia akrab dengan ibu. Entah mengapa, suatu kali anjing itu digropyok (dikejar dan dikreroyok) orang kampung dan ketakutan. Dia ngumpet ditumpukan papan-papan bekas bangunan. Ketika ibu bermaksud menolongnya, malah digigit.



4



Setelah itu, ibu tak pernah lagi melihat anjing tersebut. Dan ibu sempat bilang pada saya, ”Apa dosa seekor anjing minta makan, sampai dikeroyok orang sekampung?”. Ucapan itulah yang menggenang dan akhirnya menggelombang melahirkan beberapa kisah seputar anjing; meskipun saya sendiri tidak suka memelihara anjing, kucing atau apapun yang berbulu. Ikan koki, menurut saya lebih enak dipandang. Hal-hal semacam itulah yang menghamili nurani saya. Maka lahirlah sebuah cerpen. Di kumpulan ini, saya kira, kisah yang saya tuturkan cukup beragam. Kumpulan ini, terdiri dari tulisan dengan rentang waktu yang berjauhan. Ada yang saya tulis 7–8 tahun lalu dan belum pernah dipublikasikan (tentu saja saya ketik ulang—karena filenya sudah lenyap entah kemana) dan ada yang benar-benar baru. Ada pula yang pernah dipublikasikan di beberapa media massa. Meskipun demikian, ternyata semuanya masih memiliki ”warna” yang sama. Entahlah, semuanya begitu saja terjadi. Semuanya, sebagaimana saya sering ungkapkan, seperti sebotol kecap yang tumpah, isinya berleleran keluar begitu saja. Mengalir ke mana ada ceruk, menggenang di mana ada yang datar.



Yanusa Nugroho Pinang, 982.



Daftar Isi Kata Pengantar Penerbit Pada mulanya adalah... Daftar Isi Anjing Bom Kambing Nam-ma, Namamu… Penyair dan Ular Randu Baterai Wayang



5



Di Taman Kota Singapura Saya, Anjing Kuda Kayu Bersayap Si Rambut Panjang Itu Umairah Kapan Pulang? Laki-Laki yang Menusuk Bola Matanya Lho Dusta Itu Maaf Kalau Sejarah Penerbitan Tentang Penulis



ANJING (gambar 1)



Entah mengapa, selalu saja ada orang yang menganggapku gila. Mungkinkah aku memang seperti yang mereka lihat? Aku lama-lama pusing juga menghadapi anggapananggapan seperti itu, meskipun tadinya aku tidak mengindahkannya. Aku dan anjing-anjingku mereka anggap sekelompok makhluk gila. Sepertinya— menurut mereka—Tuhan telah salah menciptakan kami. Padahal, apa yang salah dengan seorang lelaki kurus berambut panjang yang memelihara lima ekor anjing ini? Aku adalah lelaki biasa. Berdiri dengan dua kaki. Bertangan tidak lebih dari dua. Mataku sepasang. Kupingku ada di kiri dan kanan. Berhidung yang juga berlubang. Bermulut tidak membujur di bentangan wajah. Apa bedanya aku dengan mereka? Lalu anjing-anjingku ini. Apa yang membuat mereka berpikir bahwa makhluk-makhluk lucu ini berbeda dengan anjing-anjing yang lain? ”Anjingnya suka sekali permen” begitu celetuk entah siapa, ketika tanpa sengaja aku mendengarnya. Anjingku, terutama si Rino itu, suka sekali permen atau semua yang manismanis. Apa salahnya dengan itu?



6



Semua anjingku, terutama si Rino, anjing hitam nyaris sebesar kambing itu, adalah kawan karibku. Jika mereka menyalak atau menguik-nguik ketika berkejaran, memang begitulah sifat anjing. Kalau mereka melolong-lolong di malam hari, ya, memang itulah yang bisa mereka lakukan, apa mau disuruh main gitar? Rino kupelihara sejak dia masih kecil, saat berjalannya pun masih terhuyung-huyung karena keberatan perut. Bulunya hitam legam dan kelihatan lucu. Dia kutemukan di tempat pembuangan sampah umum. Hanya karena kulihat dia lucu, aku tergerak untuk memeliharanya. Ketika dia besar ternyata galaknya minta ampun, beberapa kali tanganku digigitnya. Aku pernah bertanya kepada seorang kawan mengapa ada anjing yang dipelihara sejak kecil, kok, masih juga menggigit majikannya. Kata temanku, begitu melihat sendiri sosok si Rino, anjing ini adalah jenis ras Kintamani. Ras Kintamani, katanya, adalah ras anjing hutan dan tidak bisa dipelihara karena sifatnya masih buas. Setiap kali dia menggigitku, kupukul dia dan kukatakan bahwa aku tidak suka digigit. Lama-lama dia mengerti juga. Kini, dia adalah yang paling manja di antara yang lainnya. Dia juga, dengan badannya yang nyaris sebesar kambing itu, pernah menyelamatkan hidupku. Suatu malam, sepulangku entah dari mana, aku tak ingat lagi, aku dicegat beberapa pemuda. Mungkin mereka mau merampokku, mungkin sekadar iseng karena mabuk. Mungkin dari jauh, mereka melihat aku seperti perempuan malam dengan rambutku yang tergerai. Namun, begitu dekat dan melihat aku ternyata adalah laki-laki sebagaimana mereka juga, mereka jengkel. Tanpa sebab yang berarti, salah seorang mendorongku dari belakang, lalu yang ada di depanku menghantamkan tinjunya. Hidungku berdarah. Entah bagaimana, Rino tiba-tiba muncul, menggeram, dan merobek punggung serta tangan begundal-begundal itu. Mereka terluka parah dan kocar-kacir. Dan, Rino masih saja berusaha memburu salah seorang dari mereka. Jika saja aku tidak berteriak bahwa aku suka dia membunuh orang itu, pasti putuslah leher pemuda itu. Itulah Rino, salah satu anjingku. Si Pepe juga begitu. Anjing buntek lucu itu juga manja, tapi takut bermanja-manja padaku jika ada Rino di dekat kami. Dia ini suka sekali manggis. Ya, buah manggis. Ia juga menyukai duku, rambutan, bahkan durian. Begitu sayangnya aku pada mereka, sampai-sampai aku meluangkan waktu khusus untuk membelikan semua kegemaran mereka. Terkadang berkeranjang-keranjang buah aku beli dan itu rupanya menimbulkan pertanyaan bagi tetanggaku. ”Siapa yang mau datang, Pak? Kok banyak bener beli buahnya?” ledek seorang tetanggaku. Atau pertanyaan, ”Mau bikin kontes buah, ya?” adalah sebuah celetukan yang sangat biasa



7



kudengar. Aku sudah hafal itu semua dan, anehnya, mereka selalu mengulang-ulang ucapan yang sama, seolah mereka sudah lupa pada apa yang baru saja mereka ucapkan. Tetapi, sudahlah, aku tak memiliki siapa pun di dunia ini kecuali anjing-anjingku ini. Mereka juga bukan jenis anjing yang sok cari muka di depan majikannya. Mereka akan jinakjinak dan tenang-tenang saja manakala ada orang memasuki pekarangan rumahku, tidak seperti anjing lain yang segera menyalak garang ketika ada orang asing memasuki wilayahnya. Terutama Rino, meskipun tampangnya sangar dan ukuran tubuhnya yang sebesar kambing bandot itu membuat takut siapa pun yang memandangnya, dia hanya melongokkan kepalanya ke arah pintu manakala ada seseorang yang masuk. Ada atau tidak ada aku, mereka akan duduk manis di beranda rumahku. Yang kecil-kecil bercanda, yang besar-besar bermalas-malasan. Tapi, ini dia anehnya, pada suatu kali ada orang yang mengatakan bahwa anjingku menyerang seseorang. Seseorang tersebut tidak terima, melapor pada Pak RT dan mengatakan kepadanya bahwa anjingku sebaiknya dikarantina, takut kalau-kalau mengandung virus rabies. Pak RT segera mencariku dan dengan ucapan yang kurasakan seperti sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya, ia langsung memberondongku dengan kata-kata yang nyaris seluruhnya adalah umpatan. Aku terbengong-bengong. Bagaimana mungkin seseorang yang dituakan di kampung ini, yang oleh banyak orang bahkan dikenal sebagai orang alim, memiliki kosa kata yang demikian kotornya? Aku, dengan ketenangan yang seperti biasa kujalani, mengatakan bersedia menanggung biaya pengobatan si korban. ”...kalau memang benar, Pak,” tambahku. ”Jadi sodara menganggap saya ini bohong? Sialan! Sodara ini orang macam apa, sih?” ”Pak, Bapak melihat sendiri orang yang, katanya, digigit sama si Rino itu?” tanyaku masih dengan ketenangan sehari-hari. Pak RT diam saja, matanya tetap melotot. Tak lama dia pergi dari rumahku, tanpa babi-bu. Aku sendiri hanya tersenyum memandangi kejadian aneh yang baru saja terjadi ini. Dan, sampai minggu berikutnya, aku tidak kedatangan tamu yang mengklaim digigit Rino. Aku sendiri tidak ambil pusing. Terserah saja orang mau mengenal atau membenciku, nggak soal. Itulah semua cerita tentang aku dan anjing-anjingku, yang entah mengapa cukup dijadikan sebagai alasan untuk menempelkan cap bahwa aku gila. Terima kasih! Suatu kali, aku pergi ke masjid, di kampungku karena mencari seseorang. Ketika kucari di rumahnya, istrinya bilang dia ada di masjid, katanya sedang rapat menjelang peringatan Maulid. Aku pun segera melangkahkan kaki ke masjid, tanpa prasangka apa-apa. 8



Menjelang masuk halaman masjid kulihat cukup banyak laki-laki sedang duduk melingkar dan tampaknya sedang membicarakan sesuatu. Kucari-cari Kang Rus dan dia kelihatan di antara mereka. Begitu melihatku, Kang Rus segera beranjak dan menyongsongku. Sekilas kulihat ada wajah-wajah yang kurang senang dengan kehadiranku di masjid itu. ”Ada apa, Mas?” tanya Kang Rus sopan. Dia memang orang yang cukup baik kepadaku, hanya saja pertemanan kami memang sangat terbatas. Maklum, dia pedagang di pasar sehingga tak banyak waktu untuk nongkrong. Aku kemudian mengutarakan maksudku tentang ada orang yang pesan sesuatu pada Kang Rus. Hanya itu dan semuanya baik-baik saja, lancar tak kurang suatu apa. Akan tetapi, sebelum aku membalikkan badan dan pulang, Kang Rus sempat berbisik. ”Lain kali, kalau nyari saya di rumah saja.” ”Lo, tadi saya ke rumah, tapi kata mbakyu sampean ada di sini. Kenapa, to?” Kang Rus hanya diam dan tersenyum. Ada rahasia yang agaknya tidak tepat untuk diutarakan. Aku tanggap. Pasti ada orang yang kurang senang aku pergi ke masjid. Aku hanya menunduk dan merasakan tusukan yang luar biasa. Bukankah bangunan ini digunakan untuk mengagungkan sesembahan manusia? Bukankah ini adalah bukti adanya manusia yang menjunjung keesaan Tuhan? Lalu siapakah aku ini jika bahkan menapakkan kakiku di halaman masjid pun tak dikehendaki? Benarkah Tuhan tak menghendaki manusia sepertiku? Apa salahku? Kang Rus seolah paham perasaanku, dia seperti membaca perubahan wajahku. Dia menepuk pundakku dan mengajakku pulang. Ada panggilan dari seseorang yang mengatakan bahwa rapat belum selesai, tapi Kang Rus diam saja dan tetap menemaniku pulang. Sebersit kesejukan menyiram jiwaku. Semoga Tuhan menyediakan surga baginya. ”Sampean harus maklum, mereka kan tidak suka sama anjing…” ”Ooo…, hanya karena itu terus saya disingkiri?” Kang Rus hanya tersenyum. ”Sampean jangan ikut-ikutan bodoh seperti mereka. Biarkan saja, nanti kan, lupa sendiri.” Tapi, bagaimana mungkin aku bisa mengesampingkan begitu saja masalah ini? Hanya karena aku memelihara anjing, lantas mereka mengucilkan aku. Mungkinkah kedatangan Pak RT dulu itu juga disebabkan ketidaksukaan orang-orang terhadapku dan anjing-anjingku? *** Ucapan Kang Rus membuatku kian panas. Bukan apa-apa, tetapi aku ingin meyakinkan orang-orang itu bahwa anjing adalah hewan ciptaan Tuhan sebagaimana manusia dan yang lainnya. 9



Pada perayaan Maulid yang diselenggarakan di kampung ini, aku sengaja datang dan duduk di dekat pohon yang tumbuh di depan masjid. Tentu saja aku bersama rombonganku, kawan-kawanku, semuanya berjumlah sekitar 10 ekor: besar–kecil. Kubiarkan saja orang-orang yang memandangku dengan sinis. Aku abaikan usulan pak Hansip yang memintaku mengikat anjing-anjing itu agar tidak masuk pelataran masjid. ”Pak, saya jamin anjing saya tidak akan keluyuran ke mana-mana. Jika saya duduk di sini, mereka juga akan duduk manis di dekat saya. Pokoknya jangan diganggu, pasti mereka tidak akan usil,” jawabku tenang. Rupanya, jawabanku itu membuatnya tak senang. Dia melaporkan semuanya pada pengurus masjid. Dan, ketika seorang pengurus masjid melambaikan tangannya ke arahku agar aku mendekat, aku pun sudah tahu apa yang akan terjadi. Celakanya, tentu bagi orang yang memanggilku, ketika aku berdiri dan berjalan ke arahnya, semua pasukanku ikut. Tentu saja dia jadi panik karena dia ada di halaman masjid. ”Anjingnya jangan dibawa masuk, nanti menyebar najis!” teriaknya jengkel. ”Kalau begitu saya di sini saja, supaya mereka tidak ikut.” ”Makanya diikat…,” sela hansip yang tadi dengan nada jengkel. Kutatap dia dengan tatapan menantang, dia gentar, lalu pura-pura mengeluarkan rokok dan memandang ke arah lain. Akhirnya si pengurus, diikuti pandangan panitia dan tamu-tamu lainnya, mendekatiku dengan langkah ragu. Tentu saja dia takut diendus anjing-anjingku dan kesuciannya akan dipertanyakan Tuhan. Haha! Kusuruh anjing-anjingku, di bawah pimpinan Rino, agar diam di dekat pohon dan jangan mengitariku. Rino paham dan sebagai komandan dia bisa dibanggakan. Anjing-anjing itu–baik yang besar maupun yang masih kecil-kecil, duduk manis atau bergulingan di dekat pohon. Aku tersenyum bangga. Anak-anak kecil yang menyaksikan semuanya ikut tertawa riang. ”Sirkus!” teriak salah seorang di antara anak-anak itu. ”Ada apa, Pak?” tanyaku ramah dan mengulurkan tangan menyalaminya, tetapi segera kutarik tanganku karena kulihat dia sengaja menyembunyikan kedua telapak tangannya di balik kantong bajunya. ”Begini, sampean kan, tahu…, ini masjid. Masak ke sini bawa anjing?” ”Lo, apa saya tidak boleh ke masjid, Pak?” ”Boleh. Tapi, anjingnya ditinggal di rumah saja.”



10



”Saya mengerti. Tapi, saya kan, hanya ingin mendengarkan ceramah dari luar halaman masjid. Saya tidak bermaksud masuk ke halaman. Saya tahu, bahwa dikhawatirkan anjing saya kencing sembarangan..” ”Pokoknya jangan!” ”Lo, mereka bahkan jauh dari pagar masjid, Pak. Zaman nabi saja anjing biasa diikat di halaman masjid oleh pemiliknya yang salat Jumat, karena setelah itu mereka akan pergi berburu.” ”Sudah, jangan jadi da’i. Salat saja nggak



pernah malah sok mengutip riwayat,”



ucapnya jengkel. Mukanya merah padam. Aku terdiam. Kulihat si hansip mengepulkan rokoknya. Gerahamnya berkerot-kerot, rupanya dia juga panas mendengar jawabanku. ”Kamu jangan sok jadi jagoan, ya..” ucap si hansip tiba-tiba dan dengan gerakan mendadak dia menyerangku. Tanpa kukomando, Rino melaju dan menggongong keras, diikuti Mona, Pepe dan yang lainnya. Anak-anak lari dan berteriak-teriak. Sempat kulihat wajah si hansip pias, pucat. Panitia lainnya segera menghambur dan bermaksud mengeroyokku. Kuhardik Rino dan seketika itu juga pasukanku berhenti. Moncong mereka terbuka seakan memamerkan deretan tajam gigi-gigi mereka. Tanpa mengucap apa pun, dan hanya menebarkan pandangan tak senang, kutinggalkan orang-orang suci itu menjalankan ritualnya. Dalam hati aku hanya menangis. Aku menyaksikan seorang anak kecil dengan sarung tambalan terduduk di sudut masjid menatapku dengan pandangan menerawang: itu adalah diriku yang kanak-kanak. Aku menyukai masjid yang selalu membuat hatiku sejuk dan tenteram. *** Sesampai di rumah aku hanya bisa terduduk lesu, memandangi kawan-kawan baikku itu dengan perasaan tak menentu. Si Pepe berkejaran dengan anak-anak si Mona, anjing persilangan labrador, entah milik siapa dulunya. Sebagaimana Rino, Pepe, dan yang lainnya, Mona juga anjing yang kutemukan terlantar di pinggir jalan dalam keadaan kurus, kudisan, dan mau mati. Padahal sebenarnya dia cantik, bagus, dan kelihatan mahal karena memang ternyata ada darah labrador mengalir di tubuhnya. Anjing-anjing lain seakan tak peduli dengan keresahanku, kecuali Rino. Anjing satu ini seperti mampu membaca pikiran dan gelagat perasaanku. Hmm.. aneh juga, seekor anjing yang katanya ras liar, kok, malah punya semacam tepo sliro padaku. Rino seakan memahami bahwa saat ini aku membutuhkan simpati dan perhatian, sebagaimana telah kulakukan kepadanya waktu dia pertama kali kutemukan. Kuusap-usap kepalanya yang hitam dan dia setengah memejamkan matanya. 11



”Apa salahnya menjadi seekor anjing, Rino, sehingga orang begitu membenci kaummu?” gumamku sambil menatap anjing besar yang diam saja itu. Aku kemudian menyiapkan makanan buat mereka. Hari mengalir ke gelap malam. Lampu-lampu sudah menyala. Di sana-sini sayup kudengar siaran televisi. Ada penjual makanan lewat. Namun, aneh, ada gelisah yang menggelimang di perasaanku. Apalagi saat kuperhatikan Rino seakan membatu di tempatnya semula, tak beranjak dari dekat kursi beranda. Dia bahkan tak tertarik pada makanan, sehingga jatahnya dihabiskan si Pepe gendut. *** Malamnya aku tak bisa tidur. Setelah kuhabiskan sebuah novel tebal, mataku seakan kian memiliki tenaga untuk berjaga. Beberapa saat kemudian aku mendengar suara gaduh. Tak lama gonggong keras si Rino menyentakkanku dari kesendirian. Segera aku mengambil pentungan, menyambar senter, dan menerjang keluar. Di halaman kulihat sesuatu yang sebetulnya seakan sudah terbayang di benakku sejak sore tadi. Dua orang tampak menjerat Mona dan sudah berhasil memasukkannya ke dalam mobil, sementara di halaman kulihat seorang laki-laki berusaha keras melawan amukan Rino. Melihat aku keluar dengan pentungan dan tak mungkin menyelamatkan kawannya di bawah ancaman taring Rino, mobil dan penumpangnya yang membawa Mona, melesat. Pergumulan masih terjadi. Orang itu terguling, melolong, dan putus asa melawan amukan Rino. Darah mengalir dari luka-luka di tubuhnya. Seperti memahami kehendakku, Rino dengan sendirinya tegak mengancam dan menakut-nakuti laki-laki yang kehabisan napas itu. Kupandangi saja laki-laki malang itu. Senter kunyalakan tepat di matanya dan dia berusaha menghindar. Kutendang dia hingga terampun-ampun dan menangis. Kupentung kepalanya karena geram. Dia pun melolong. Kuseret dia dan kuikat di tiang beranda rumah. Kucecar dia dengan pertanyaan. Dan, demi mendengar jawabannya, aku gemetar. ”Rupanya kamu yang selama ini memburu dan menjual daging anjing? Sekarang gimana kalau kamu jadi makanan anjingku, yang itu? Rino…, gigit!” Dia melolong dan menangis meminta hidup. Rino seperti paham bahwa aku hanya menggertak, giginya yang tajam hanya didekatkannya saja di leher laki-laki itu. Geramnya menghancurkan keberanian laki-laki itu dan membuatnya langsung pingsan. ”Rino, biarkan saja….”



12



Malam masih saja sunyi. Aku heran, dengan kegaduhan ini, tak seorang pun tetanggaku muncul. Hansip yang biasanya ronda pun tak kelihatan. Aku curiga, jangan-jangan…, ah, mudah-mudahan hanya kebetulan saja. Anehnya, selang beberapa lama kemudian tampak sebuah mobil kijang berhenti dengan buru-buru di jalan depan rumahku. Kulihat ada Pak RT dan petugas kepolisian. Aku lega, akhirnya ada orang yang mendengar kegaduhan ini. ”Ini, Pak…, orangnya sudah saya tangkap,” kataku sambil mendekati orang-orang itu. Di luar dugaanku, salah seorang malah meringkusku. Aku meronta dan berteriak-teriak bahwa yang penjahat adalah orang yang kuikat itu. Rino menggonggong ganas dan menyerang orang yang meringkusku. Taringnya merobek lengan laki-laki itu. Para petugas berpakaian sipil itu panik dan secara serempak mencabut senjata mereka. Halimun turun di malam musim panas. Menciptakan tirai tipis dan gerak lamban pada setiap detak jantung kehidupan. Kusaksikan butiran peluru meluncur indah, membentuk komposisi cantik, menembusi tubuh Rino dengan mencipratkan kelopak-kelopak mawar dari luka tubuh malangnya. Dalam gerak lamban itu kusaksikan betapa indahnya tubuh Rino, melengkung ke atas, keempat kakinya menggapai keadilan, leher dan moncongnya seakan mengoyak sunyi. Beberapa kali, di setiap cipratan kelopak mawar merah yang lahir dari tubuhnya, Rino terdongak, terlonjak, sebelum akhirnya dari moncongnya mendengking lolongan panjang mempertanyakan kemanusiaan. Tubuhnya ambruk ke tanah, disambut genangan darahnya sendiri. Tenang tanpa gerakan sedikit pun. Ada debu tipis yang masih melayang di sekitarnya. ”Pak, kenapa dia ditembak? Apa salahnya?” teriakku setengah menangis karena geram. Hanya sebuah tempelengan tangan yang menjawab pertanyaanku. Kulihat, ternyata dia adalah si hansip—bedes itu. Aku berusaha menjelaskan kepada para petugas itu bahwa rumahku kemasukan maling. Mereka mencuri si Mona dan orang yang satu itu tak bisa lari karena Rino terlebih dahulu mencegahnya. Namun, salah seorang malah mengatakan bahwa aku main hakim sendiri dengan menyiksa manusia dengan gigitan anjing. Ketika kujawab bahwa sebetulnya aku mau melaporkan peristiwa itu dan berusaha mencari-cari peronda tetapi sia-sia, mereka malah beramai-ramai menjotosiku. ”Kamu sama saja dengan anjing-anjingmu, nggak bisa diajak bicara,” entah siapa yang berucap itu. Tuhanku, siapakah mereka yang mengelilingiku saat ini? Mengapa nyala kebencian begitu mudahnya menyulut mereka? Dan, lihatlah, duhai junjunganku, hanya karena anjing, 13



semua menanggalkan nuraninya? Benarkah kebencian mereka sebegitu besarnya pada seekor anjing? Apa yang salah dari makhluk ciptaanmu ini? Aku sungguh tak mengerti. Mataku masih saja menatap tubuh Rino lunglai tak bernyawa. Darah masih saja mengalir lemah dari tubuh lukanya. Orang-orang itu entah ke mana, bersama maling keparat yang akan menyembelih Mona dan memakan dagingnya. Oh, Mona anjing cantikku, semoga kau menerima semuanya dengan tabah. Jangan khawatir, aku akan menjaga anak-anakmu. Mereka yang gendut dan lucu-lucu itu akan tumbuh kuat, cantik, dan tegar. Setelah kukuburkan tubuh Rino di sepertiga malam berhalimun itu, aku mandi dan merebahkan diriku di ranjang. Aku mencoba melupakan gempuran ngilu dan perih di setiap jengkal tubuhku. Beberapa saat kemudian, kulihat pintu rumahku sedikit terbuka dan kulihat Rino berdiri tegak dengan gagahnya. Dia menjulurkan lidahnya dan seakan mengatakan sesuatu padaku. Lidahku kelu dan tubuhku bagai lengket di ranjang. Kupandangi saja Rino yang hanya tegak di ambang pintu. Lama kelamaan kusaksikan tubuhnya bercahaya, memutih, dan menyilaukan mata. Aku terbangun oleh cahaya pagi yang menyeruak dari celah jendela yang tak begitu rapat kututup. Tiba-tiba kudengar daun pintu berbunyi, seperti ketukan, namun setelah kuperhatikan sebetulnya sebuah sundulan. Sundulan yang kukenal betul. Itu sundulan Rino, yang selalu membangunkanku di pagi hari. Hanya dia yang tidur di teras depan, yang lain di belakang rumah. Rino membangunkanku. Rino? Mana mungkin, Rino sudah mati. Sudah ada di surga para anjing. Kuseret tubuhku yang serasa remuk ini ke pintu yang terkunci. Mataku tak percaya melihat apa yang ada di depanku. Bulunya hitam pekat, kurus, menggeram-geram ganas mengancamku. Hanya saja anjing itu masih bayi. Aku tersenyum, tak terasa air mataku mengalir. Itulah kebiasaan Rino ketika pertama kali kubawa pulang ke rumah ini. ”Selamat pagi, Rino….”



Pinang, 982



BOM (gambar 2)



14



Aku butuh bom! Ya, bom-bom itu membuatku hidup dan aku menjadi yang terbaik, teratas di antara nama-nama itu. Karenanya, yang kuincar adalah bom! Sekali lagi bom! Bagi sepasang telingaku, gelegar ledakannya sungguh membuatku marem. Sebagaimana aku mengalami kenikmatan luar biasa apabila mendengar dengung gong di antara aneka bunyi gamelan. Luar biasa. Aku selalu memburu di mana ada bom bermunculan. Dengan kendaraanku, aku harus memacunya, berhenti tepat di atasnya, dan …, ”Bum!” bom itu meledak. Luar biasa! Nikmatnya tak terkira. Aku selalu katakan pada orang-orangku bahwa bom itu adalah ’nyawa’ kita. Setiap bom berhasil kita ledakkan, berarti kita telah menyambung nyawa kita. Mereka mula-mula tidak paham sama sekali. Ah, anak sekarang, tidak memahami etika sebuah permainan. Bahkan bercinta pun mereka maunya menuju puncak dan selesai. Padahal, puncak sebetulnya sangat mudah dicapai. Tetapi menciptakan puncak, itu adalah sebuah seni. Anak sekarang terlalu banyak makanan instan, tak heran kalau pikiran mereka tidak kreatif. Sebagaimana kau saksikan di mana-mana, bahkan goyang pinggul pun mereka harus nyontek! Gila! Ya, aku katakan pada mereka: menunggu, memburu dan meledakkan sebuah bom dengan perhitungan yang matang adalah sebuah seni. Menciptakan bunyi gelegar yang menggetarkan jiwa adalah hal yang tak bisa begitu saja dilakukan; salah-salah diri kitalah yang terkena ledakannya. Konyol! ”Menikmati sebuah seni, harus menempuh suatu tantangan…,” kataku kepada mereka, ketika pada suatu kali mereka memberanikan diri menanyakan hakikat seni. Sebagaimana kau duga, wajah mereka kosong, penuh kedunguan kental yang menyelimuti kepala mereka. Otak mereka menciut, maklumlah, kebanyakan fast food! ”Di dalam seni menikmati ledakan bom, membuat aliran adrenalin menderas adalah hal yang paling pokok. Ledakkan bom, sedetik setelah kalian mampu menghindarinya. Kalian tidak menggunakan kanon yang ditembakkan dari jarak jauh. Kalian juga bukan seorang snipper, yang menjatuhkan lawan dari jarak jauh. Tetapi, kalian adalah peledak bom, dan menikmati setiap ledakan tanpa menimbulkan goresan di kulit kalian adalah sebuah seni yang tinggi.” Mereka tegang mendengarkan ocehanku. Ah, anak-anak kerbau! Bagaimana mungkin mereka bisa menjadi penguasa dunia, jika makan cabe rawit pun perut mereka sudah melilit.



15



Seorang teman dekatku, yang sudah senior juga di dunia seni peledakan bom, menelepon. Dia bilang bahwa aku sudah sinting mencari bibit yang sanggup menggantikan kedudukanku. ”Sudahlah. Zaman seni meledakkan bom, seperti yang kita lakukan selama dua puluh tahun ini, sudah pudar. Zaman keemasannya sudah suram dan dilupakan orang. Kita jadi peternak lele saja. Gampang. Tinggal bikin jamban, lalu kita berak di sana, itu sekaligus menjadi makanan si lele. Tiga bulan kemudian lele-lele itu gemuk dan laku keras di pasar. Nggak perlu perawatan khusus, gampang, nggak ada penyakit aneh-aneh, harga jualnya bagus. Apa lagi? Mau ternak lele? Gua ada tanah….” Telepon ditutup dengan gelak tawanya yang menyakitkan. Aku masih mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa meledakkan bom adalah suatu seni. Bukan asal meledakkan. Meledakkan dari jarak dekat, dalam situasi keramaian yang wajar, dengan kemungkinan besar bom direbut orang lain dan dijinakkan terlebih dahulu, di situlah adrenalin kita dipacu, digenjot keras-keras. Dan manakala kita berhasil mendengarkan ”bum!”, aaah… sorga ada di genggaman, rasanya. *** Akhirnya, tugas-tugas itu aku kerjakan sendiri. Percuma saja mengendalikan mereka yang berpikiran cetek dan tidak menghargai indahnya seni peledakan. Maka, aku pun kembali menjalani kehidupanku. Aku kembali ke masa-masa dua puluh tahun lalu. Aku harus mengintai, memperhitungkan jarak, posisi, dan kecepatanku. Aku harus menghitung, apakah ketika aku lepaskan, tidak ada bom yang mungkin saja diarahkan padaku. Seperti kukatakan tadi, aku penghancur bom dan mungkin saja mati oleh bom; bom lawan tentu saja. Di dalam keramaian yang monoton, yang tak punya variasi ini, sebuah ledakan adalah sebercak warna yang menghidupkan suasana. Akan tetapi, di sinilah seninya. Aku bisa mati tetapi sekaligus menyambung nyawa dengan bom-bom itu. Aku hidup dalam suatu kompetisi yang tak mungkin kau pahami. Aku melawan diriku sendiri. Aku harus menciptakan diriku sendiri sebagai tonggak, tolok ukur keberhasilanku. Karena, seperti kukatakan tadi, belum ada yang bisa mengalahkanku. Aku tidak sombong. Aku hanya bicara apa adanya. Dalam setiap operasiku, aku menghadapi sepuluh tantangan. Tantangan itu berupa lapisan-lapisan yang kian merumit. Ya, sebagaimana kau memasuki wilayah musuh, menghancurkan orang di tengah kerumunan orang di pasar adalah pekerjaan paling mudah; anak kecil ingusan pun sanggup. Akan tetapi, justru ketika yang kau tuju adalah seseorang yang selalu berdua dengan orang lain, tetapi kau hanya boleh menghancurkan yang kau tuju itu saja, nah, itu yang memerlukan perhitungan cermat. Dan, itulah yang paling kusuka. 16



Kau bisa saja merampungkan pekerjaan hanya dengan sekali gebrak, tetapi bagiku, itu pekerjaan para amatir. Aku bukan amatir, aku tak suka pekerjaan penyabit rumput; sekali tebas dapat rumput segenggam. Aku memperlakukan lawanku sebagai individu dan harus kuhancurkan sebagai individu, lantaran aku adalah seorang individu. *** Ya, malam ini, aku harus mempersiapkan semua kebutuhanku. Maksudku, segelas kopi panas dan sebungkus rokok. Aku sudah memberi cukup istirahat pada sel-sel otak dan mataku. Aku siap menghadapi pertempuran—mudah-mudahan yang terakhir bagiku. Ya, malam ini aku harus ngebom. Lapisan pertama kumasuki. Ada empat yang harus kuhancurkan, dan dari keempatnya aku harus waspada akan bom-bom yang pasti akan mereka gunakan sebagai penghancur diriku. Keempat individu itu kadang bersamaan, kadang berpencar, kadang saling mendahului. Aku menunggu. Lihat saja, yang satu mulai melontarkan bom dan dengan mudah kusambut dengan bomku. Glar! Haha.. satu nyawa untukku. Setiap ledakan, aku mendapat satu nyawa untuk memperpanjang dan memperbaiki kualitas hidupku. Haha.. tak ada kenikmatan seperti saat mendengarkan suara ”Glarrrr!” Sebagaimana hidup pada umumnya, ada saat aku dicecar lawan, tapi ada saatnya juga aku mendapatkan keajaiban. Maksudku, aku bisa kebal terhadap ledakan bom lawan, manakala aku mendapat lingkungan cahaya yang melingkupi diriku. Aku menyebutnya ”Kekuatan Atlantis”—entah mengapa kunamakan demikian, mungkin agar kelihatan ”nyeni” saja, yang melindungiku dari daya hancur bom lawan. Tetapi, setelah kupikir-pikir, istilah itu kukenal ketika pada suatu kali anakku yang kecil yang baru 3 tahun itu nyeletuk, ”Alantis, alantis...,” ketika menyaksikan selingkup cahaya yang mengepungku. Aku paham, dia mungkin menyamakannya dengan cahaya yang melingkupi benua Atlantis—tentu dari VCD yang dia tonton. Aneh memang, manusia yang menghancurkan kehidupan pun mendapat bantuan entah dari mana. Haha.. baru sekarang kurasakan hidup ini begitu nikmatnya. Hahaha…. Begitulah, dari empat individu itu akhirnya tinggal satu. Dia gelisah, sudah pasti. Dan pada saat seperti ini, aku sepenuhnya berkuasa. Aku bisa menjadi seperti seekor kucing yang mempermainkan tikus dengan ujung kukunya. Aku paham mengapa seekor kucing tak segera membunuh korbannya, justru ketika si korban tak sanggup berbuat apa-apa lagi. Memang ada kenikmatan luar biasa manakala kusaksikan lawanku mulai menangis, memohon-mohon ampun agar diberi kesempatan hidup. Ah, rasanya aku jadi begitu berkuasa. Aku jadi begitu besar dan kekuasaanku melingkupi seluruh kehidupan ini. Hahaha.. kekuasaan memang memberi kenikmatan. 17



Sudahlah, lebih baik ini kusebut saja sebagai permainan, agar kau tidak tegang dan tidak membayangkan genangan darah dan sebagainya, sebagaimana biasa kau saksikan di televisi kita akhir-akhir ini. Di dalam permainan ini, seperti tadi kukatakan—ada nasib baik, ada nasib buruk. Nasib baik karena kau pasti bisa meraihnya dengan perhitungan cermat. Atau, kau bisa selamat dari kehancuran lawan dengan ketepatan perhitungan. Nah, nasib buruk adalah sebaliknya. Perhitunganmu cermat, instingmu akurat, perkiraan jarak dan sasaranmu memiliki presisi tinggi, tapi, toh gagal. Itu biasa, kawan. Itu biasa, percayalah. Sebagaimana kehidupan, kau juga bisa mendapatkan ”nyawa” cadangan di dalam setiap lapisan permainan bom ini. Maksudku, sebagaimana kehidupan, kau tentu pernah dengar adanya rezeki yang ditebarkan Tuhan dengan adil di seluruh muka bumi ini. Nah, dalam permainan bom ini, kau pun bisa menuai ”nyawa” untuk cadangan kekuatanmu. Akan tetapi, sebagaimana rezeki di dunia nyata, ”nyawa” cadangan ini pun bisa direbut pihak lain. Dan kalau sudah begitu, kita tak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali memaki dan mengutuki. Mau apa lagi, cari lagi, kawan! Tak usah dendam, tak usah marah-marah, karena energimu lebih baik kau gunakan untuk berusaha lagi daripada meledak-ledak di dalam kemarahan. Sebaiknya, tenang-tenang sajalah seperti aku. Dalam peledakan dan pengintaian, aku bisa menikmati sesruput kopi panas, hehehehe…. *** Ketika lawan tinggal satu, aku merasakan menjadi orang penting. Maksudku, kalau aku harus menambah kualitas hidupku, maka dia akan kubiarkan hidup sepanjang aku mau. Mengapa? Karena dengan membiarkannya hidup dia akan melontarkan bom-bom, tentu tak banyak di sisa kehidupannya yang tak seberapa itu, tapi setiap bom yang akan kuhancurkan dengan bomku, tentu saja, kualitas hidupku akan meningkat sedikit demi sedikit. Memang membosankan, tetapi, yah, sebagaimana kehidupan ini, kadang ada saat-saat membosankan, bukan? Jangankan mereka, anak-anak muda itu maksudku, aku sendiri kadang tak tahan lama menghadapi kebosananku. Maksudku, jika sudah demikian maka segera saja dia—individu itu—kuhabisi, ”Glaarrrrr!” dan bersiap memasuki permainan lapisan kedua. Pada lapisan kedua, ketiga, rasanya tak beda dari lapisan pertama, hanya saja ada satu individu yang gila. Dia termasuk yang terpandai di antara golongannya. Maksudku, dia memiliki fisik lebih besar, tetapi gerakannya bisa tak terduga. Kadang melamban seperti sehelai daun di permukaan danau, nyaris tak bergerak, tetapi kadang dia melesat-lesat bagai orang kesurupan. Dan hobinya itu yang mengerikan: dia selalu suka menghambur-hamburkan mesiu seenak udelnya. Sekali berondong bisa 10 hingga 20 bom!



18



Bayangkan, menghadapi individu seperti ini, kau harus ekstra hati-hati, namun haha…, adrenalin akan meningkat deras. Luar biasa! Bikin hidup, lebih hidup, kayak slogan iklan, hahahaha…. Yang sulit, memang, dalam menaklukkan si individu cerdas ini, adalah memperkirakan kapan renteten bomnya yang banyak itu sampai pada titik jangkau penghancuranku. Yang lebih menegangkan lagi, apabila pada saat yang bersamaan, bantuan datang—dan itu harus kujemput, baik bantuan ”kekuatan Atlantis” itu maupun ”pasokan” kekuatan hidupku. Jika posisiku menguntungkan, aku bisa meraih keduanya, sekaligus menerima bom-bom musuh yang luar biasa banyak itu tanpa mengalami cedera apa-apa; bahkan kualitas hidupku meningkat. Haha…, aku tahu kau pasti bingung dengan permainan kehidupanku yang unik ini. Dan jangan lupa, si jenius itu mengeluarkan 20 bom, sementara individu yang lain mungkin 2 sampai 3 bom, padahal mereka bisa berjumlah 6. Bisa kau bayangkan betapa mengasyikkannya hidup penuh tantangan seperti ini, haha…. Namun, sering kali sial juga ikut melangkah dan bergandengan tangan dengan keberuntungan. Ketika aku memperhitungkan mampu membiarkan si jenius itu hidup berlamalama dan menghancurkan individu lain yang ”kurang berguna”, sambil menunggu keajaiban datangnya ”kekuatan Atlantis” itu, tiba-tiba bomku meledak dan menghancurkan si jenius. Aku menyesalinya karena sesungguhnya, dialah lawan tertangguhku. Adalah lebih baik menghadapi seorang lawan yang jago, daripada sejuta musuh yang kerbau. Ini prinsip,catat itu! Lapisan permainanku yang cukup berat adalah ketika harus menghadapi si jenius –lain lagi, baik ketika sendirian maupun ketika berdua dengan jenius pasangannya. Ini bisa celaka berkali-kali, karena berondongan bomnya menjadi berkali lipat jumlahnya sementara aku hanya memiliki 10 bom. Tentu, aku bisa menambah, tetapi, kan perlu waktu. Kalau waktunya keburu, sih, aman-aman saja, tetapi.. seperti dalam hidup kita, siapa yang mampu mengendalikan waktu? Hehe.... *** Malam ini aku harus mencetak angka di atas enam ribu. Jika kurang dari itu, maka namaku tak akan tercatat di ”Hall of Fame” dunia bom. Aku pernah membukukan namaku berkali-kali, dan rekor-rekor yang kubukukan selama ini memang mengagumkan. Kalau saja kau sempat melihat ”Hall of Fame” , akan kau lihat tiga deretan teratas dari 10 tempat yang disediakan, adalah namaku. Ketiga namaku itu rata-rata mengumpulkan 7 ribu poin. Urutan kesepuluh, adalah nama orang lain, yang hanya lima ribu dua ratus. Jadi, kalau hanya sekadar mencatatkan nama, angka enam ribu sudah cukup. Akan tetapi, untuk apa aku mempersiapkan segalanya dengan baik saat ini jika hanya menduduki peringkat ke-10? Paling 19



tidak, aku harus membukukan namaku pada urutan ke-4. Untuk menundukkan angka tertinggi—meskipun itu atas namaku sendiri—rasanya sulit. Angka itu kucetak 20 tahun yang lalu! *** Maka, malam ini aku harus mengumpulkan angka-angka dengan menghancurkan bombom, dengan bomku. Bom melawan bom, seru! Gelegar demi gelegar menggetarkan gendang telingaku. Dentuman demi dentuman membuatku bergairah, bagaikan detak jantung yang terpacu nafsu. Aku harus berpacu melawan penjinak-penjinak bom yang, jika tidak menjinakkan bomku, tentu saja menjinakkan bom lawanku. Dua-duanya merugikanku, lantaran aku tak bisa meningkatkan poin yang seharusnya kuperoleh. Dengan



kopi



panas



yang



mengepulkan



aroma



kenikmatan,



aku



mencoba



berkonsentrasi. Aku mencoba memperhitungkan dengan lebih teliti dan mengambil posisi yang menguntungkan: maksudku sedikit bergerak, hasilnya banyak. Aku mengawasi si jenius berbadan besar yang sudah mulai melakukan trik-trik mematikan. Seolah kubiarkan dia melakukan semacam provokasi, mondar-mandir dengan kecepatan berubah-ubah. Aku sudah tahu, sambil menghantami bom-bom individu yang lainnya, ketika dia tiba-tiba melambat biasanya langsung menyemburkan bom-bom mautnya. Oke, jenius, kalau memang itu maumu. Aku melihat tanda-tanda turunnya ”kekuatan Atlantis”. Aku tak bergerak dan membiarkan bom-bom lain berseliweran. Kulihat, si jenius sudah meluncurkan bom-bomnya yang merantai, mirip miltraliur serangan udara. Sambil masih mencoba bertahan di posisiku, aku berharap ”kekuatan Atantis” segera melingkupiku. Ya, haha.. hanya sedetik menjelang bom itu menggapaiku, kekuatan itu menyelubungiku. Haha.. aku bisa menenggak poin sebanyak mungkin tanpa bergerak, tanpa mengeluarkan amunisi. Ini rezeki nomplok. Ini nasib baik. Ini hoki, hihihi…. Dentuman menggelegar berurutan menyemarakkan seranganku hari ini. Dengan mengisap kenikmatan keretekku, aku menyaksikan poin-poinku bertambah mendekati angka 4000. sebentar lagi, pada lapisan ke-8, 9 dan 10 aku yakin bisa membukukan namaku di ”Hall of Fame”. Siapa tahu bahkan bisa menduduki peringkat 1. Memang, strategiku sudah kuyakini sangat bagus, tetapi, itu tadi. Sialan betul, sebuah bom yang kuduga meluncur, ternyata beku dan ketika aku menunggu momen, aku kecolongan. Sebuah bom menghajarku.



20



Aku harus mengulangi serangan. Memang ini biasa terjadi. Kegagalan di manapun bisa terjadi. Maka, pada serangan kali ini aku tidak boleh terkecoh, lawan-lawanku sudah membaca langkahku, aku harus membuat strategi baru lagi. Aku harus… ”Ayaah… ada tamu…,” teriak anakku dari halaman. Aku lemas seketika. Kupandangi saja lawan-lawanku yang bersorak girang karena aku tak akan mampu lagi melakukan serangan. ”Siapa?” ”Babe Mizar,” jawab anakku. Lebih lemas lagi, karena aku tahu, si Mizar itu pasti mau pinjam uang. Aku masih mematung, mengisap sisa rokokku, sampai kemudian istriku muncul dan menyemprotku. ”Gini hari main game…, matiin komputernya, habis-habisin listrik aja!” 982



KAMBING (gambar 3) Kemarin laki-laki itu datang lagi. Turun dari sebuah sedan hitam dengan lambang bulatan yang dibelah empat, belang-belang biru-putih. Kipli memperhatikan dengan mata ngantuknya. Debu mengepul ketika mobil melaju, sesaat sebelum berhenti, kira-kira 20 meter dari tempat Kipli duduk. Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap melambaikan tangannya ke arah Kipli. Kipli sendiri kenal dengan laki-laki itu. Segera dia menuju tamu-tamu dari Jakarta itu. ”Ini Pak Bob, yang punya tanah ini. Pak, ini Kipli, yang akan mengurus di sini.” Laki-laki yang dipanggil Pak Bob hanya menoleh dan tersenyum pada Kipli. Kipli sendiri hanya mengangguk, merasakan arus dingin dari wajah orang kota itu. Pak Bob menyapu pandang hamparan tanahnya yang hanya ditumbuhi semak, perdu, sedikit pohon bambu di batas sebelah barat, beberapa batang pisang yang menggerombol di sana-sini, dan selebihnya rerumputan liar. Rumah besar yang ada di tanah itu tampak hancur dan memang segera dibongkar oleh pemilik barunya. “Kamu, asli orang sini?” tanya Pak Bob. Dia mengeluarkan pipa gadingnya dan dengan tenang mencolokkan sebatang rokok kretek, lalu menyalakannya. Kipli menjawab dengan hati-hati, matanya tak mau lepas dari pipa gading itu.



21



”Kerjaan kamu apa?” Kipli hanya tersenyum-senyum masam. ”Nganggur?” Kali ini Kipli nyengir kuda. ”Urusin tanah saya, rapikan, jaga, kalau mau ditanami, ya ditanami, nanti bulanan kamu dari saya, Mau?” Kipli tersenyum-senyum dan langsung setuju. ”Berapa kamu minta?” Kipli hanya tersenyum, bingung tak tahu harus menjawab apa. ”Lima ratus?” ucap Pak Bob sambil mengepulkan asap rokoknya. Mendengar angka lima ratus ribu, Kipli seakan tersiram air panas. Berbagai bayangan indah berkelebat di benaknya. ”Baik, deh. Makasih, Pak.” ”Hmm…, mau ditanami apa?” Kipli terdiam, dia tak punya rencana sepotong pun lantaran pikirannya masih terikat pada bayangan lima ratus ribu rupiah yang akan diterimanya setiap bulan. Tetapi begitu dilihatnya Pak Bob sepertinya menunggu jawaban darinya, Kipli memutar otak menyiapkan jawaban. Setelah berdehem-dehem tak gatal, dia pun mengatakan sebaiknya tanahnya ditanami kacang tanah. ”Kenapa? Kenapa bukan singkong?” ”Hem... Kk… kalau bapak maunya singkong, saya tanemin singkong,” jawab Kipli berusaha menyenangkan bosnya. ”Bukan begitu, saya nanya.. kenapa kacang, kenapa bukan singkong? Bukannya minta ditanemin singkong?” jawab Pak Bob menahan geli campur jengkel. Kipli senyum-senyum bingung. Pengawal Pak Bob terkikik geli. Tapi, tak lama kemudian, ”Jadi, ditanemin singkong?” tanya Kipli lagi. Gelak tawa menjadi-jadi. ”Ah, Lu.. siapa nama Lu tadi?” ”Kipli, Pak.” ”Pli, Kipli…, sekolah nggak , sih, Lu?” ”Cuman sampe kelas 5 SD, Pak.” ”Hmm…ya, sudah, kalau Lu bisa tanemin singkong, tanemin singkong. Kapan Lu mulai kerjain?” ”Besok juga bisa, Pak.” *** 22



Maka, mulai hari itu Kipli mulai menggarap lahan yang hampir 5 hektar itu. Akan tetapi, baru setengah hari mencangkul, tubuhnya sudah dirajam pegal-pegal dan tangannya lecet. Maklumlah, dia bukan anak petani dan tidak biasa nyawah. Makin siang, kerjanya kian lamban dan belum lagi jam 2 siang, Kipli sudah benar-benar tak kuat. Dia pulang dan nyaris pingsan di balai-balai rumahnya. Istrinya yang mengetahui suaminya menggeletak nyaris mati itu hanya bisa ngomel, tentu saja sambil menggosokkan bawang dan segala macam hal untuk membuat suaminya siuman. Tetangga berdatangan karena melihat Kipli terbaring di balai-balai depan rumah. Istrinya menjelaskan semuanya termasuk hubungannya dengan Pak Bob dan seterusnya. Para tetangga hanya manggut-manggut saja dan sebagian lagi hanya berucap dalam hati bahwa itulah buah yang diterima orang yang mau meneguk rejeki sendirian. Seharusnya Kipli ingat tetangga, kan bisa dibantu, dan seterusnya. Beberapa saat kemudian, Kipli terbangun dan mendapati dirinya dalam kerumunan kerabat, istri, dan tetangganya. ”Makanya, kalau ada apa-apa tuh, ngomong, jangan dikerjain sendiri. Nggak biasa macul, macul…jadinya kepacul, dah. Hahahhaa…,” goda Malik, yang masih terbilang kerabat Kipli dari pihak emaknya. ”Iya, Bang…maksud saya, saya tidak mau merepotkan saudara.” ”Nah, tapi kalau begini, siapa yang repot?” sela istrinya disambut senyum yang lainnya. ”Iya, iya.. kalau gitu sekalian saja saya nyambat. Tanah itu, mau ditanemin singkong. Siapa saja yang mau membantu saya, dengan senang hati akan saya terima,” kata Kipli lemah, tubuhnya kelihatan pucat. ”Gitu, dong. Apa gunanya saudara dan tetangga? Sudah, besok pagi saya yang ngerjain.” ”Iya, saya juga mau….” Begitulah, akhirnya sekitar 20 orang bersedia mengerjakan lahan Pak Bob. Kipli tersenyum lemah dan mengucapkan terima kasih kepada semuanya. Tak lama dia mau makan dan lelap tertidur dirajam lelah. *** Pada hari ketiga, barulah Kipli mampu menjenguk lahan garapannya. Memang luar biasa, nyaris separoh lahan telah rapi. Tanah-tanah merah mengalur-alur, rerumputan tertumpuk di tepian lahan. Cangkul-cangkul berayun-ayun bergantian.



23



Sebagian ada yang sedang duduk, beristirahat sejenak dengan tubuh basah kuyup oleh keringat. Kopi dan teh serta air putih berceret-ceret diletakkan di atas meja kecil. Begitu pula pisang goreng, ubi, lontong dan tentu saja rokok. Kipli memanggul cangkulnya tetapi dicegah beberapa kerabatnya dengan alasan belum sehat benar. ”Sudah, Lu tiduran saja di rumah, biar kami yang mengerjakan semuanya.” Kipli hanya tersenyum. Mau apa lagi, dia sendiri masih merasakan deraan pegal dan perih yang luar biasa. Dia pandangi saja kerabat dan kawan-kawannya bekerja. Tanpa disadari, pikirannya menghitung berapa harga yang pantas untuk seorang pencangkul per harinya. Kalau dia beri seorang 20 ribu, maka sehari kerja yang membutuhkan 20 orang, biaya yang akan dikeluarkannya sebesar 400 ribu. Mendadak keringat dingin Kipli mengucur. Padahal ini sudah tiga hari! Kegugupan Kipli tertangkap oleh pandangan Bang Naim, kerabat yang diseganinya, bukan saja karena lebih tua tetapi juga terkenal bekas preman Cibinong. Bang Naim segera menghampiri Kipli yang tampak kian gugup. ”Ada apa, Pli?” tanyanya sambil mengambil segelas air putih, kemudian meneguknya dalam tegukan besar. ”Nggak apa-apa. Ini, nih, masih sakit…,” kilahnya. Bang Naim paham. Sambil duduk di dekat Kipli dia berbisik bahwa masalah bayaran jangan terlalu dipikirkan. ”Ntar aja kalau sudah beres, Lu kan tinggal minta sama bos Lu.” ”Gitu, ya, Bang?” ”Nah, kalau sekarang semua pada minta Lu, apa Lu gableg duit?” ujarnya sambil tertawa lebar. Kipli tersenyum-senyum. ”Kira-kira habis berapa, ya, Bang?” ”Hmm… yaah, bangsa dua minggu lagi.” ”Seharinya, pantesnya berapa, ya, Bang?” Bang Naim diam. Dia sesungguhnya juga tidak tahu persis karena selama ini dia tak banyak berhubungan dengan buruh harian. ”Yah, bangsa tiga puluh ribulah….” ”Tiga puluh?” Kipli tersentak. ”Sama saudara sendiri, yaaah… dua puluh lima.. lah. Itu pantesnya, Pli….” Kipli mulai menghitung-hitung lagi. Dua puluh lima ribu dikali dua puluh orang dikalikan dua puluh hari sama dengan keringat dingin yang kian deras mengucur. *** 24



Di rumah Pak Bob, Kipli duduk mematung. Sudah sejak menjelang magrib tadi dia duduk di pos satpam karena Pak Bob belum pulang. Kopi sudah dua gelas dihabiskannya dan basa-basi dengan satpam sudah memakan begitu banyak pokok pembicaraan. Lalu, dengan alasan kontrol, si satpam meninggalkannya seorang diri menghadapi televisi 14 inci. Menjelang jam sepuluh, baru mobil Pak Bob memasuki halaman. Kipli segera berdiri dan setengah berlari menyusul mobil yang berhenti di pintu rumah. Satpam yang membukakan pintu rupanya melaporkan bahwa ada seseorang yang sudah lama menunggu. Pak Bob menoleh dan melihat Kipli yang berjalan seperti tak punya keyakinan itu. ”Sini, masuk!” teriaknya sambil terus masuk ke rumah. Pak Haz, ajudan Pak Bob yang dulu menghubungi Kipli menyuruh Kipli duduk di beranda samping. ”Pli, kenapa kamu ndak nelpon saya?” bisiknya. ”Maap, Pak. Saya lupa….” ”Kan, ndak enak. Bapak, kan, pulang malam, terus kamu ke sini pasti minta duit Ya, kan?” Kipli tersenyum. ”Habis, mau bagaimana lagi? Kan memang sudah waktunya….” Setengah jam kemudian Pak Bob muncul, sudah mengenakan sarung dan kais putih. Dia mengeluarkan pipanya dan merokok dengan nikmat. Setelah basa-basi ini itu, Pak Bob langsung menanyakan kebutuhan biaya pembersihan tanah. Kipli dengan kikuk menuturkan semuanya. ”Hmm.. bener, nih, dua puluh orang yang kerja? Hmm.. jadi, 25 ribu kali 20 orang kali 20 hari kerja? Lu tahu berapa jumlahnya?” ”Yaa.. segitu, deh,” jawab Kipli seolah merasakan firasat buruk. ”Lha, iya, Pli.. jumlahnya berapa, tahu, nggak ?” ”Maap, Pak….” ”Gini. Sehari kerja aja, ongkosnya doang sudah lima ratus ribu rupiah. Sepuluh hari kerja, sudah lima juta rupiah. Nah, kalau dua puluh hari, berarti kan, sepuluh juta, Pli. Banyak, loo…,” goda Pak Bob sambil menghisap rokoknya. Kipli merasakan kepalanya mencair karena detak jantungnya yang kian cepat. ”Pli, kalau gue mau pake buldoser, gue nyewa, dua hari kelar. Ongkosnya paling lima juta.” Kipli terdiam. Malapetaka membayang di depannya. Tiba-tiba Pak Bob tertawa geli. ”Jangan kuatir Pli, saya bayar. Tapi nggak malam ini. Gile, Lu mau bawa duit 10 juta malam-malam, dirampok orang baru tahu rasa, Lu….” 25



*** Sejak hari itu, hidup Kipli menjadi lebih cerah. Sanak saudara dan handai taulan mengormatinya, karena kini Kipli menjadi orang yang punya sumber uang lumayan setiap bulannya. Singkong-singkong sudah bisa dipanen dan para tengkulak sudah mulai menaksirnaksir harga. Kipli menjadi bos kecil karena sudah mulai punya tenaga kerja tetap untuk mengurusi tanah Pak Bob. Pak Bob sendiri merasa puas dengan pekerjaan Kipli. Sesungguhnyalah dia tak menginginkan uang hasil penjualan singkong itu sepenuhnya, tetapi begitu dilihat hasilnya lumayan, dia merasa bisnis dengan Kipli layak ditingkatkan. Maka, begitu panen singkong usai, Pak Bob meminta Kipli mengembangkan peternakan. ”Kambing?” ”Ya, kambing. Lu kembangin peternakan kambing, tanemin rumput sebagian lahan, singkong sih jalankan saja terus, kan juga bisa untuk makanan kambing. Idul Kurban, harganya naik, Pli….” Kipli yang masih ragu itu akhirnya hanya mengiyakan saja, ketika Pak Bob kemudian memasoknya dengan 200 ekor kambing. Dan sejak hari kedatangan kambing-kambing itu, Kipli menjadi penggembala kambing di lahan Pak Bob. ”Bang, saya bukannya nggak senang Abang jadi kepercayaan orang,” ucap Mumun, istri Kipli, suatu sore sepulang Kipli mengurusi kambing-kambingnya. Kini, Mumun sudah bisa mengenakan giwang emas impiannya. ”Tapi, apa iya, Abang mau jadi suruhan orang terus-terusan?” Kipli terdiam. Dia mencoba menata pikirannya sendiri yang entah mengapa berkembang hanya lantaran ucapan istrinya. ”Maksud saya, apa Abang nggak



kepingin punya tanah sendiri, punya ternak



sendiri….” ”Dari mana duitnya? Ini saja aku sudah untung. Kamu juga sudah bisa goreng daging, goreng bawal, nggak melulu daun singkong. Terus, ini….” kata Kipli sambil menunjuk giwang di telinga istrinya, ”dari mana, kalau nggak dari kerja gue selama ini?” Istrinya terdiam beberapa saat. Lalu, ”Ya, sudah. Saya hanya ingin jaga harga diri Abang. Kan, nggak enak sama saudara-saudara. Biar sepetak, mereka punya tanah sendiri. Mereka jadi majikan di kampung mereka sendiri.”



26



Mumun kemudian meninggalkan Kipli seorang diri di beranda rumahnya. Sepi sekali senja itu. Hujan sudah lama tak turun. Kipli hanyut oleh ucapan istrinya, yang entah mengapa dirasa ada benarnya juga. *** ”Jadi, bener, Lu mau?” tanya Pak Haz, asisten Pak Bob pada Kipli ketika mereka bertukar pikiran. ”Yaah…. itu kata istri saya, Pak. Menurut Pak Haz, bagaimana?” ”Kalau Lu mau... beli saja kambing-kambingnya, kan jadi punya Lu semuanya.” ”Itu dia, saya nggak ada duit.” ”Pinjem, dong….” ”Sama siapa?” ”Kenapa Lu nggak ngomong sama gue?” ucap Pak Haz enteng, tanpa memandang tatapan Kipli yang terheran-heran. Kemudian dia tersenyum dan seperti menginjak Kipli dia berkata, Kan, bisa diatur….” ”Tt.. tapi, gimana caranya saya mulangin ke Bapak?” Haz, tangan kanan Pak Bob, kemudian menguraikan angka-angka dengan gambaran yang menggiurkan sehingga akhirnya bisa meyakinkan Kipli bahwa caranya akan berhasil. ”Kalau Lu beli sekarang, nanti ketika Idul Adha, harganya bisa dua kali lipat. Itu untung, Lu…Nah, dari situ, Lu bisa bayar utang.” Masuk akal, pikir Kipli. Maka seusai menghitung seluruh biaya, Kipli pun memutuskan untuk menghadap Pak Bob. Tak sesulit yang dibayangkan Kipli, ternyata Pak Bob hanya tertawa dan mengijinkan kambing-kambingnya dibeli Kipli. Memang ada pertanyaan dari mana asal uang Kipli, tapi Pak Bob tak berusaha mengetahuinya secara mendetail. Kipli mengaku dapat pinjaman dari sanak saudaranya di kampung. Jual-beli lancar. Kipli menyetorkan uangnya langsung pada Pak Bob yang diterima dengan kegembiraan dan keheranan. Namun, sebersit kebanggaan pun memancar dari wajah Pak Bob. Sambil menepuk pundak Kipli, Pak Bob sempat berbisik bahwa begitulah seharusnya orang menjalani hidupnya. Keuletan dan ketabahan akan membuahkan hasil yang bagus. Kipli hanya mengangguk tak paham. Hanya sebulan Kipli menikmati menjadi pemilik kambing sebanyak dua ratus ekor, karena bulan berikutnya, seorang pembeli datang kepadanya. Dia adalah tengkulak pasar Cibinong. Tengkulak yang mengaku telah mengenal nama Kipli dari orang-orang kampung itu memberikan penawaran harga yang menurut Kipli cukup baik. Per-ekor bisa untung 50 ribu. 27



Kalau dikali 200 maka untungnya jadi 10 juta. Wuaah, bukan lumayan lagi…, hati Kipli bersorak girang. Kipli akhirnya memutuskan dan sepakat menjual dengan harga yang diajukan si tengkulak. ”Tapi, gini, Bang Kipli, masalahnya Idul Adha, kan, masih 3 bulan lagi. Nah, gimana kalau saya titip dulu di sini, ya. Paling sebulan, soalnya saya musti ke Jawa dulu, mau ambil sapi.” ”Boleh aja. Tapi, ya, ada biayanya…. buat rokok anak-anak yang nyariin rumput.” Si tengkulak tanpa ucapan apa pun segera mengeluarkan uang lima ratus ribu kepada Kipli. ”Cukup, dong buat sebulan uang rokok anak-anak,” ujarnya kemudian sambil tertawa lebar, seakan memamerkan gigi emasnya. *** ”Pli, ini seminggu lagi Lebaran Haji. Saya perlu uang saya, katanya sudah dibeli…,” nada bicara Pak Haz meninggi, karena sudah lebih dari sebulan Kipli menjanjikan akan menyerahkan uang hasil penjualan kambingnya. Tengkulak yang tempo hari datang ke rumahnya seperti raib ditelan bumi. Kipli merasa sulit, karena selain telah menyerahkan uang perawatan, sebetulnya si tengkulak sudah membayar panjar dua puluh lima persen dari nilai jual beli tersebut. Karenanya, Kipli tak punya kekuatan untuk menjualnya pada tengkulak lain yang pernah sekali dua kali datang menawar kambingnya. Pada saat yang bersamaan Pak Haz menagih uangnya. Kipli hanya bisa berjanji bahwa begitu kambingnya dibayar, maka uang itu berikut bunganya akan diserahkan ke Pak Haz. Tapi, mendengar ancaman Pak Haz yang akan melaporkan Kipli pada polisi manakala pada tanggal yang dijanjikan meleset, Kipli panik. Tubuhnya panas dingin. Uang panjar yang tempo hari dibayarkan si tengkulak telah habis dibelanjakan istrinya. Kalung, giwang, kain Pekalongan, entah apalagi, kini sudah memenuhi lemari istrinya. *** Makan enggan, tidur tak nyenyak. Malam terasa begitu cepat menjadi pagi dan Kipli tak tahu apa yang harus dilakukannya sepanjang siang, kecuali memberi makan kambing– kambing yang sudah bukan lagi miliknya–paling tidak begitulah yang dirasakannya. Di tengah ladang penggembalaannya, Kipli memandangi kambing-kambing itu dengan tatapan tak menentu. Dalam pikirannya, kambing-kambing itu sungguh makhluk yang berbahagia. Mereka diciptakan untuk dimakan manusia dan mereka menerima apa adanya. ”Sebentar lagi, ya, sebentar lagi… kalian akan dipotong, dipersembahkan kepada Tuhan sebagai bukti ketakwaan manusia… Bahagia sekali, kalian bisa punya nilai hidup 28



setinggi itu. Sementara aku, hidup cuma jadi talang… duit cuma ngalir numpang lewat di tangan gue….” Kambing-kambing itu merumput dengan tenangnya, kadang ada juga yang mengunyahngunyah daun singkong atau daun nangka yang sengaja dionggokkan di dekat gubuk kecil yang dibangun Kipli. ”Untuk siapakah sebetulnya ini semua?” pikir Kipli sambil mengamati hewan-hewan itu merumput. Tanah ini, kambing-kambing ini, lalu dirinya yang lahir, besar, dan mungkin mati di lingkungan kampung ini juga, seakan serpihan yang tak ada hubungannya satu dengan lainnya. Dia yang semula begitu bersemangat, lalu berkeinginan mengembangkannya dan akhirnya harus dijerat utang sedemikian besarnya, terjadi begitu saja. Tak ada lagi bayangan kebahagiaan dalam menjalani hidup. Yang dirasakannya, kian hari kegetirannya kian menyengat. Seperti malam kemarin, malam ini Kipli tak ingin pulang. Di rumah, hanya gerutu dan omelan Mumun yang akan didengarnya. Di padang penggembalaan ini, paling tidak dia hanya akan mendengar embikan kambing-kambing, dengung nyamuk, atau nyanyian serangga malam. Dirasakannya, hari-harinya seakan menuju tempat penyembelihan .… Pinang, 982



NAM-MA, NAMAMU... (gambar 4)



Di tengah lembah, kuteriakkan namamu. Angin menyambutnya, mengalunkannya, timbul tenggelam di bentangan jarak, menyentuh dinding tebing, dan kembali memantul kepadaku. Dan kurasakan pula gelombang suara itu memantul kembali ke arah dinding tebing. Lalu kembali lagi kepadaku, sampai akhirnya lenyap terisap sepi.



Di antara pantulan suara itulah aku menunggu. Menanti hingga semuanya kembali senyap. Tak ada apa-apa di antara penantianku itu. Kesunyian ini terus terang saja membawaku ke suatu perasaan kosong. Aku tak bisa lagi bergerak, bahkan berniat pun aku sudah tak bisa lagi. Entah apa yang akan terjadi setelah kesunyian ini tiba-tiba terisi suara aneh; jawabanmu, misalnya.



29



Ini sudah kulakukan berkali-kali. Setiap hari kuturuni lembah ini. Lalu kutegakkan kakiku ke arah timur. Kutarik napas dalam-dalam. Kupejamkan mataku. Kubiarkan sesaat angin menerpa wajah, rambut, dan sekujur jiwaku. Kubiarkan sesaat diriku menikmati saat-saat semacam ini, yang sudah sangat lama kurindukan. Kelembutannya yang perlahan, bagai resapan air ke dalam akar, merambat hingga ke kuncup-kuncup daun.



Setelah saat-saat kenikmatan itu kulalui, lalu aku menarik napas sekali lagi. Dan, kuteriakkan namamu. Angin menyambutnya, mengalunkannya, timbul tenggelam di bentangan jarak, menyentuh dinding tebing, dan kembali memantul kepadaku. Dan kurasakan pula gelombang suara itu memantul kembali ke arah dinding tebing. Lalu kembali lagi kepadaku, sampai akhirnya lenyap terisap sepi.



Setiap pagi, setiap hari, ini kulakukan. Aku benci melakukannya. Tapi, aku tak punya cara lain untuk mengungkapkan betapa sebenarnya aku membencimu.



Kau beri aku harapan. Kau beri aku impian. Kau bangkitkan aku dari tidur abadiku yang membatu hanya untuk melihat, menyentuh, dan menikmati semua keluhan perasaaanmu kepadaku, lalu dengan begitu saja kau campakkan semuanya. Sepertinya kau menganggapku persis seperti sesemprot ingus yang mengganggu hidungmu, atau dahak yang menggumpal di kerongkonganmu.



Aku bahkan tak bisa lagi membunuhmu! Kebencianku membatu karenanya. Kau bahkan tak ada lagi di dunia ini, dan kau tahu–sebagaimana aku pun tahu–bahwa itulah yang membuat sesuatu menjadi kekal. Karena kekal hanya bisa terwujud bila menjauh dari kehidupan. Dia harus berada di kutub yang berseberangan dengan kehidupan. Dan–inilah yang kusesali– kekekalan yang ada dalam jiwaku adalah tentang kebencianku terhadap dirimu.



Sampai saat ini pun aku belum tahu siapa dirimu. Namamu? Cukupkah seseorang bisa mengenalmu hanya dengan mengetahui namamu? Mungkin saja nama yang kau berikan kepadaku hanyalah salah satu dari sekian jumlah nama yang dengan mudah bisa diciptakan. Meskipun kau pernah mengatakan bahwa sejujurnya itu adalah namamu, tetapi aku lebih mempercayai burung-burung, angin, dan awan yang selalu berkata jujur, bahwa itu hanya salah satu dari sekian nama yang kau miliki. Meskipun perasaaanku mengatakan demikian, tetapi



30



aku tak sampai hati–waktu itu–untuk mengatakan bahwa kau tak lebih daripada si pendusta abadi (yang lidahnya bercabang dan hidup di salah satu sudut di lembah ini).



”Siapa namamu?” tanyaku kepadamu. ”Nama” jawabmu, dan itu membuatku bertanya sekali lagi tentang namamu dan kau pun berulang kali lagi mengatakan, ”Nama”. Lalu kusimpulkan bahwa kau sebenarnya pendusta. ”Namamu aneh,” ucapku sekenanya. ”Bukan Aneh, tetapi Nama,” kau ulangi lagi jawaban itu, seakan aku adalah orang bodoh dan agak tuli. ”Nama, kok, Nama.” ”Bukan Nama, tapi Nam-ma.”



Lalu angin mengisi sunyi. Kulemparkan pandangan ke kaki bukit, di mana hutan menggerumbul bagai kelompok perdu yang berbisik-bisik, pura-pura tak memperhatikan kita.



Lalu kau tersenyum memandangi kebingunganku. Aku benci senyuman itu. Kau–lewat tusukan senyummu itu–mengungkapkan isi pikiranmu bahwa sebenarnya aku adalah si tolol yang kebingungan menghadapi kenyataan yang berada di luar jangkauannya.



Di saat itu pula aku berpendapat bahwa kau menikmati ketololanku–dan sebenarnya kau tahu lewat pandangan matamu, bahwa aku benci sekali kau perlakukan seperti itu, tetapi kau tetap saja memandangiku seperti itu.



Aku memang hidup di lembah ini, sejak aku bisa mengingatnya. Karena memang itulah yang membuatku percaya tentang diriku. Aku memang tak pernah keluar dari kungkungan bebukitan ini, seperti katamu. Aku tak suka kata ”kungkungan”, namun kau memaksanya mengatakan demikian. Aku ingin menolaknya, tapi lidahmu memang manis sehingga aku tak bisa lagi mengatakan apa-apa.



Kini kusesali mengapa aku tak mengatakan kebenaran itu!



”Apa maumu?” ”Aku tadi menebang bambu. Ketika kuangkat bambu itu, tanpa kusadari aku memegang miangnya. Persetan dengan bulu-bulu halus itu, namun itulah kesalahanku. Tak 31



kupertimbangkan bahwa ukurannya yang kecil itu justru sanggup membuatku menderita,” lalu kau ulurkan tanganmu dan sebenarnya tak ada luka di sana.



Telapak tanganmu halus. Kulitmu bersih dan karenanya aku tak percaya sedikit pun bahwa kau bisa menebang bambu lapuk sekalipun. Tak bisa kukendalikan rasa geliku dan gelak tawaku pun pecah di kesenyapan yang sejak tadi lebih banyak mengendalikan kita.



Kau tersenyum saja, sambil tetap mengasongkan telapak tanganmu ke wajahku. Ketika kau mengatakan, ”Bukan di telapak tangan, tapi di telunjuk…,” jemarimu menyentuh pipiku. Kudengar sorak semak-semak di kejauhan sana, mereka adalah keparat-keparat bisu yang selalu menunggu kesempatan bergembira menyaksikan rona merah di pipi. Akan kubakar mereka!



Aku benci sekali, mengapa aku bisa segugup ini. Ingin kusobek kulit pipiku dan melupakan bahwa pernah tersentuh dan menyemburatkan rona merah darah. Aku benci sekali mengapa mimpi yang seharusnya mengelana dalam setiap pejaman mata ini menjadi kenyataan yang bisa kurasakan.



”Aku ingin kau mengeluarkan miang itu dari telunjukku...,” ucapmu setengah berbisik.



Sebel! Mengapa harus aku? Dan, mengapa pula... ah, itu kan cuma miang!



”Mengapa kau tak mau melakukannya? Apakah karena ini pekerjaan sepele? Tahukah kau bahwa dengan melakukan pekerjaan yang mungkin sepele ini, kau sudah menolong sepotong jiwa yang sengsara,” ucapmu seperti merayu.



”Ini, kan, cuma, miang!” ”Kau pernah kena?” ”Tidak. Dan mudah-mudahan tidak akan pernah.” ”Itulah masalahnya.. kau sendiri belum pernah merasakannya, jadi kau pikir ini hanya masalah kecil.” ”Kalau begitu, lakukan saja sendiri.”



32



”Itulah masalahnya. Kalau aku bisa melakukannya sendiri, buat apa aku menemuimu. Tolonglah…, apa ruginya kau melakukan pekerjaan yang bahkan tak punya arti apa-apa bagimu, tetapi sebuah penderitaan bagiku. Tolonglah….”



”Ini, kan, cuma miang!” bentakku. ”Ini bukan cuma miang. Di sini ada rasa sakit, gatal-gatal yang menyakitkan. Tahu, kan, maksudku?” ”Nggak!” jawabku jengkel karena pada kalimat itu kau agak-agak menggodaku. Aku benci diperlakukan seperti itu. Apa yang ada di kepalamu saat itu?



Dan ketika kutampar mukamu, kau malah tertawa. Kucakar wajahmu, kau tergelak gembira. Kutendang tubuhmu, kau memelukku. Aku lari, kau membayangi. Aku ke kali, kau ada di dasarnya. Aku ke tebing, tanganmu menyambutku. Akan ke mana aku, kau mengajakku. Aku benci!



Pada akhirnya, memang kucabut juga miang di telunjukmu. Kecil sekali, tapi memang ada. Kutusukkan ujung penitiku ke telunjukmu. Kau cium leherku. Ada darah merah menitik di ujung telunjukmu, dan kau dekapkan aku ke dalam segala mimpi yang pernah ada dalam diriku.



”Kelak bila anak ini lahir dan dia seorang laki-laki… panggil dia dengan Masa.” ”Masa?” ”Masa.” ”Bukan…, Mas-sa.” ”Bukan.” ”Masa.” ”Ya. Masa.”



Ketika bunga-bunga jambu putih menebarkan kelembutannya kepada bumi, bumi menyambutnya dari belaian angin yang sempat mengayun-ayunkannya di udara dan membiarkan tebaran itu bermain di bola mataku, dan aku menerimanya dengan selembar kain kesunyian yang putih.. tahulah aku bahwa Masa telah menjelma dalam diriku.



33



Sejak saat itu, aku hanya menempatkan diriku dalam penantian Masa dan kau pun raib entah ke mana. Bahkan, kepada burung-burung pun tak kau titipkan berita. Kepada angin pun kau bersembunyi. Bayang-bayangmu pernah sekali waktu mampir kepadaku, dan dia hanya membisu ketika kutanya tentang dirimu.



Kalau sudah begini, tak ada lagi sesuatu yang bisa kujadikan tempat bertanya perihal dirimu dan kau pun diam-diam mengubahku. Kerasnya hukum adat yang menimpaku, membuatku menjadi lava. Orang tuaku telah terkapar, terbanting rasa malu. Ibuku meratap bermalammalam, mempertanyakan dosa apa yang telah dilakukan leluhurnya sehingga dia harus didera aib seperti itu, sebelum akhirnya dia menemukan kebuntuan dan memutuskan untuk menyatu ke dalam tanah.



Kami adalah manusia tanah, yang berasal dari tanah dan akan menyatu sebagai tanah kembali. Masa kukhawatirkan akan tumbuh besar oleh cemooh dan dera hina sekelilingnya. Sindiran akan membutakan sebelah mata hatinya sehingga dia hanya punya pandangan yang tak seimbang tentang hidup ini. Lalu, apa yang akan kuharapkan jika dari rahimku tumbuh makhluk ber-”mata” satu?



Aku ingin menemuimu. Aku ingin bicara! Tapi kau di mana? Hanya dengan bicara–setelah tiga tahun lebih aku membisukan mulutku, sejak kedua orang tuaku bertanya tentang dirimu. Hanya kau satu-satunya yang layak mendengar apa yang kubicarakan. Kata-kataku hanya akan bisa padu dengan kata-katamu. Begitu banyak kalimat dan kata-kata yang akan kuhamburkan kepadamu. Kata-kataku adalah seribu kuda liar yang akan menggemuruh di hamparan jiwamu. Kata-kata ini akan berlompatan dan meluncur, dan kalau mungkin akan menabrak, menghancurkan setiap dinding karang hatimu. Ketika kata-kataku yang sudah menjejal dan menjadi gumpalan gunung yang segera menggelegar di bumi jiwamu, kudengar kabar bahwa kau mati.



Bukan. Bukan mati, tapi kau mencoba membunuhku dengan menggantung lehermu sendiri.



Sebenarnya, sudah lama kusiapkan hatiku untuk kecewa. Tapi ketika akhirnya kudengar juga kabar dirimu, aku tak bisa lagi bertahan. Di suatu malam, ketika serangga berkidung sendu, kuisakkan tangisku pada bekas bayangmu. Aku bayangkan kedua tanganku berlumur darah dengan pisau yang menancap di dadamu! 34



***



Setiap hari kuturuni lembah ini. Lalu kutegakkan kakiku ke arah timur. Kutarik napas dalamdalam. Kupejamkan mataku. Kubiarkan sesaat angin menerpa wajah, rambut, dan sekujur jiwaku. Kubiarkan sesaat diriku menikmati saat-saat semacam ini, yang sudah sangat lama kurindukan. Kelembutannya yang perlahan, bagai resapan air ke dalam akar, merambat hingga ke kuncup-kuncup daun. Di tengah lembah, kuteriakkan namamu. Angin menyambutnya, mengalunkannya, timbul tenggelam di bentangan jarak, menyentuh dinding tebing, dan kembali memantul kepadaku. Dan, kurasakan pula gelombang suara itu memantul kembali ke arah dinding tebing. Lalu kembali lagi kepadaku, sampai akhirnya lenyap terisap sepi.



Ini adalah caraku untuk melupakanmu. Akan kulakukan sampai suatu saat aku tak ingat lagi, untuk apa kulakukan ini.



Bukit Nusa Indah 982



PENYAIR DAN ULAR (gambar 5) Ada seorang lelaki kurus berkacamata dan selalu suka menyendiri, meskipun sebenarnya orang sangat suka berada di dekatnya karena dia memang menyenangkan untuk didekati. Masalahnya, dia tak tega untuk mengatakan bahwa dirinya sebenarnya sangat ingin sendirian dan selalu mencoba melarutkan dirinya pada kesunyian yang murni. Dia selalu saja gagal; gagal membuat orang paham bahwa dirinya lebih suka sendirian. Dengan menyendiri dia merasa mendapatkan ruang, dia merasa menggenggam waktu dan berdialog dengan dirinya, dengan bayang-bayangnya, dengan napasnya, bahkan dengan mimpi-mimpinya. Semua itu diimpikannya akan memberikan kenikmatan. Sebenarnya hal semacam itu pernah dialaminya, dulu ketika dirinya masih remaja, sebelum mengenal seorang perempuan yang kini menjadi istrinya. Dia selalu menyendiri di tepi kali. Tiduran di dahan pohon waru yang menjulur ke permukaan sungai. Kadang sambil memotek bunga waru yang berwarna kuning cerah dia



35



lontarkan mimpinya dan seakan meletakkan mimpinya pada kelopak bunga waru, dia hanyutkan bunga itu ke sungai. Di saat-saat seperti itulah dia mengungkapkan puisinya. Dia torehkan keindahan hening yang diselaminya pada dahan-dahan waru, tanpa menggoresnya sama sekali. Kecuplak ikan wader yang kadang-kadang muncul ke permukaan kali, suara garengpung yang mencoret-coret langit sepi, benar-benar membuatnya terlena, larut masyuk ke dalam suasana. Pada saat seperti itu, puisinya subur perawan dua puluhan yang siap menumbuhkan benih-benih kemanusiaan dan mekar menghiasi dunia fana ini. Dia, laki-laki itu, yang kini mendapat gelar penyair itu, kini duduk di antara orangorang yang akan memberikan ceramah. Udara ruang berpendingin tak mampu meredam kegerahannya. Berkali-kali dia menghapus keringat di sekitar hidung dan matanya, dan karenanya dia berulang kali pula melepas kacamatanya sebentar. Dia seperti tak peduli pada wajah-wajah muda penontonnya atau wajah-wajah mereka yang begitu terkagum-kagum kepadanya. Dia tak mempedulikan bahwa di antara hadirin mungkin saja ada petugas tanpa seragam yang sengaja bertugas mengawasi setiap kegiatan masyarakat–tak peduli arisan sekalipun, kalau perlu. Dia tak peduli. Dia hanya gemetar dan makin gelisah. Ketika moderator menyebutkan namanya dengan sedikit bumbu humor dan hadirin tertawa kecil, dia makin kuyup oleh keringat yang membanjir. Begitu gugupnya dia sampaisampai kacamatanya terlepas dari tangannya. Kebetulan meja yang dia gunakan tersebut adalah meja berlaci yang bagian atasnya kebetulan berlubang. Kacamata itu jatuh dan masuk ke dalam lubang itu. Karena dia tahu itu meja berlaci, segera dia menunduk mengintip ke laci. Memang gelap, karena cahaya sedemikian rupa memang diarahkan ke wajahnya dan bukan ke laci meja tersebut. Kedua, karena matanya memang rabun, dengan sendirinya tanpa kacamata dia nyaris tak bisa melihat apa-apa. Ketika dia meraba-raba rongga laci meja, tibatiba tangannya menyentuh sesuatu. Sesuatu yang dingin dan hidup. Secepat itu pula dia tersentak dan mengetahui bahwa ujung jarinya menyentuh seekor ular! Namun, belum sempat dia menarik ujung tangannya, tiba-tiba telinganya mendengar suara. Tak jelas dari mana datangnya atau siapa yang memilikinya, dan rasanya, hanya dirinyalah yang mendengar suara tersebut. ”Bila kau tarik tanganmu, kupatuk kau!” Si penyair itu segera mahfum siapa pemilik suara itu. Kemudian dia bertanya-tanya dalam hati mengapa si ular mengancamnya. Ular itu kemudian menjawab bahwa sebenarnya dia ingin berbincang-bincang dengannya, hanya saja dia tak sebahagia manusia yang bisa



36



kapan saja menjumpainya. Dirinya hanyalah seekor ular yang bahkan kehadirannya di suatu tempat pun sudah menggegerkan manusia. Si penyair itu tertegun. Moderator mengamatinya, mungkin karena tampak beberapa saat si penyair masih saja merogoh-rogoh laci meja berusaha mendapatkan kacamatanya. ”Ketemu, Pak?” tanya si moderator. ”Oh, ya, ya…, baik, nanti kita bicara lagi…,” ucap si penyair menjawab si ular dan membuat bingung si moderator. Kemudian tampak si penyair mengenakan kacamatanya lagi dan dia tampak lebih tenang. ”Di bawah ancaman seekor ular, aku bahkan tak bisa bernapas…,” ucapnya mengawali ceramah. Penonton yang mula-mula bingung, tak berapa lama kemudian mengaitkan ucapan tersebut dengan situasi sosial politik yang sedang hangat. Mereka kemudian bertepuk dan bersuit meriah seakan ada sesuatu yang tersalurkan, yang selama ini seolah mengganjal di dada mereka. Mata mereka berkeliaran seolah mencari-cari seraut wajah yang merasa "tersinggung" dengan sindiran si penyair tadi. Maka dimulailah ceramah si penyair tadi tentang hubungan mistis antara dirinya dan alam yang mengelilinginya. Antara dirinya dan rintik hujan, angin dan bunga serta bisikan, dan ... kerinduannya yang aneh pada kematian. ”Diriku telaga / yang mengalir arus/ hidup di dalamnya/ menyanyikan hujan yang lirih/ bagaikan lenggokan terakhir asap/di puntung rokok/ terendam/ namun, adakah kau/ perhatikan setiap helai cemara/ yang melayang turun/ adalah siasatku untuk memahamimu?” Ia mencoba mengutip salah satu sajaknya dan mengutarakannya dengan suaranya yang parau gemetar–ada nada keraguan di sana. Namun, anehnya, hadirin bagai tersihir. Diam. Terpaku. Terhenti dari kehidupan. Seolah, setiap kepala bekerja keras, terkonsentrasi mencari bentuk-bentuk yang muncul dalam setiap kata yang diucapkan sang penyair, dan agaknya mereka sia-sia saja memahaminya. ”Kulepas tiang-tiang / stasiun bergeser / makin cepat / membawa diriku dan/ menyisakannya di/ bangku-bangku,” ujarnya lagi mengucapkan betapa dirinya tercabik dan terkoyak. Perpisahan baginya adalah sesuatu yang indah sekaligus menyakitkan. Dan itu adalah penderitaan "purba" manusia–demikian dia mengistilahkannya–yang disandang manusia sejak Adam terbuang dari surga. Sekali lagi hadirin terdiam. Sementara itu, ular belang yang sejak tadi masih saja berada di dalam laci juga terkesima mendengarkan uraian demi uraian sang penyair. Baru sekarang dia merasakan begitu dahsyatnya getar dan nada suara si penyair, yang bagi si ular, si penyair 37



seakan sedang mengalami pengelupasan kulit dirinya–dan kepedihan itu langsung menyundut sanubari si ular. Baru pertama kali si ular menitikkan air matanya. Si ular menggeliat, menggelepar oleh kepedihan dahsyat yang memanggangnya hiduphidup–tetapi anehnya memberikan kenikmatan syahwat luar biasa. Dia belum pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya, bahkan tidak pernah memimpikan hal semacam ini sebelumnya. Ini memang sesuatu yang baru dan luar biasa baginya. Kekuatan itu membuat kulitnya melepuh, terkelupas, lepas, dan... dia rasakan embusan pendingin udara menyentuh kulitnya. Sunyi. Ada cahaya terang tertuju kepadanya. Dia hanya merasakan tubuhnya lemas, nyaris tak bertenaga. Cahaya itu menyilaukannya dan dia memejamkan matanya. Tiba-tiba dia mendengar



suara-suara



manusia



yang



membicarakan



sesuatu



yang–agaknya–sangat



mengagumkan. Dia menoleh dan dilihatnya dirinya ada di dalam sebuah ruangan berpendingin dengan ratusan pasang mata menatapnya. Belum lagi dia menyadari dirinya ada di mana, tiba-tiba salah seorang melontarkan kain, lalu ada mahasiswi yang menyelimutinya, dan… barulah dia sadari bahwa dirinya berubah menjadi seorang wanita molek yang tergeletak di antara pecahan meja di lantai.. telanjang. *** Si penyair masih dirawat di rumah sakit karena terkena serangan jantung. Bukan karena ledakan itu, yang tiba-tiba meletup dan memecahkan meja tempatnya membacakan makalah, tetapi karena tiba-tiba di hadapannya muncul seorang dara telanjang. Dia sudah menduga-duga bahwa dara itu berasal dari ular yang tadi mengancamnya. Yang membuat jantungnya begitu mendadak menggebrak adalah peristiwa metamorfosis itu sendiri yang terjadi atas diri si ular. Dan pagi ini, ketika dirinya menunggu dokter memeriksanya, gadis ular itu datang menjenguknya. Dia mengenakan baju sutra berwarna biru. Wajahnya cerah dan senyumnya merekah. Si penyair merasa bahwa dirinya mendapatkan kesegaran yang selama ini terasa hilang dari kehidupannya. ”Bagaimana mungkin kau bisa menjelma menjadi manusia?” ujar si penyair dengan nada gemetar seperti biasanya. ”Aku sendiri tak tahu. Dan, kurasa itu tidak penting. Yang jelas aku sekarang bisa selalu dekat denganmu kapan pun aku mau,” ujarnya sambil duduk di dekat si penyair. Harum dan kesegaran tubuh si wanita ular itu memang, tak bisa tidak, membuat si penyair hanyut dan tersangkut di puncak kelelakiannya. Dia menyadari, tetapi sudah terlambat. Semuanya sudah



38



terlaksana dan selesai, namun sekaligus sebagai sebuah babak baru kehidupannya yang masih misterius di masa depan. ”Aku tak mungkin menikahimu.” ujar si penyair dengan nada bicaranya yang khas. Si dara hanya tersenyum. ”Aku juga tak ingin menikah denganmu,” jawab si dara ringan. ”Mengapa?” ”Karena kau tidak akan pernah bisa kumiliki. Kau hanya bisa kukagumi.” ”Lalu, apa artinya... yang 'baru saja' kita jalani ini?” ”Kenangan.” Si penyair diam. Dirinya seakan dirajutkan ke dalam sebuah bentangan besar kain kehidupan entah milik siapa. Di dalam bentangan ini, dirinya adalah helai benang yang tak ada artinya, yang sekaligus memiliki arti apabila tercerabut dari kebersamaan dan keutuhan bentangan. Ketiadaannya akan melahirkan arti baru. Ketidakhadirannya justru menghadirkan sosoknya yang lebih utuh, konkret dan nyata di dalam setiap benak manusia yang memujanya. Dirinya terpusat pada sebuah putaran lembut dan sangat halus, yang perlahan-lahan menciptakan proses kehadiran sosoknya di dalam angan-angan manusia yang memujanya. Proses itu berlanjut perlahan sampai pukul 12 tepat. Setelah itu, antara dirinya dan 'dirinya' yang lain terpisah perlahan. Ada yang tertinggal dan ada yang meninggalkan. Keduanya adalah dirinya. Masing-masing sedang menjalani kehidupannya sendiri-sendiri. Sebuah tali mengikatkan keduanya, menghubungkannya apabila diperlukan nanti.



***



Karangan bunga bertumpuk di halaman rumah si penyair. Orang-orang yang menyatakan duka cita berdatangan dari berbagai penjuru. Anak dan istri si penyair menyambut mereka dengan mata merah karena sedih. Mendung duka menggantung di sana dan semua maklum, semua merasa ditinggal secara mendadak. Wartawan media masa cetak dan elektronika, bahkan dari luar negeri juga berdatangan meliput acara duka cita tersebut.



***



Di sebuah kampung di dekat kampus ada panggung terbuka untuk malam perayaan 17 Agustus. Malam itu, entah bagaimana ceritanya–tak seorang pun mau mengusutnya–ada mata acara pembacaan puisi karya almarhum si penyair. 39



Ternyata acara pembacaan puisi tersebut merupakan satu-satunya acara setelah sambutan oleh Pak Lurah. Ada ratusan orang yang mencoba membacakan sajak-sajak si penyair. Semuanya memang bagus, tapi tak ada yang membuat penonton terpesona. Bahkan banyak penonton yang menilai bahwa sajak tersebut memang tak bisa dibacakan orang lain. Hanya si penyairlah yang bisa membacakannya. Penonton agak kecewa ketika banyak sajak yang seharusnya diucapkan sambil berbisik, diungkapkan secara lantang berteriak merobek keheningan. Nyaris saja malam itu merupakan titik balik malam peringatan, sampai secara tiba-tiba ada seorang bocah lelaki berusia 8 tahun. Tubuhnya bagus. Matanya bening. Penampilannya memukau. Tampak kecerdasan memancar dari senyum dan tatapan matanya. Begitu dia menaiki panggung, semua perhatian memang tersedot kepadanya–apalagi ketika dia tersenyum. ”Aku



adalah



dirimu/mimpimu/keindahanmu/kerinduanmu/pada



nyanyian



ilalang/gemerisik daun bambu/iring-iringan semut hitam/merayap di dahan sawo/yang tak pernah kau bayangkan/ betapa semua itu sebenarnya berakhir dengan tiba-tiba/ dan/ itu bisa saja sekarang atau/ esok atau bahkan kemarin/ Ah, sayangku/ kau tak bisa menahannya dari kehancuran/dengan matamu tetap bersitahan/dari kedipan.”



Orang-orang terpaku. Anak kecil itu tersenyum, menuruni panggung, menghilang di balik kerumunan. Orang-orang masih terpaku. Masing-masing seperti terbawa ke suatu tempat yang tak bisa disebutkan oleh lidah manusia. Sesuatu yang sangat berbeda. Mereka hanya meraba-raba, menduga-duga bahwa itulah jiwa si penyair yang mengejawantah ke dalam diri si bocah. Orang-orang mulai mencair, seakan baru selesai menatap ketakjuban luar biasa. Mereka bertepuk tangan, bersuit-suit riang penuh kekaguman. Mereka tak merasakan sama sekali– sekaligus menikmati keadaan mereka–bahwa perlahan-lahan mereka dimasukkan ke dalam sebuah tempat yang dikenal sebagai kenangan. Sementara itu, di bawah panggung yang gelap pekat, ada seekor ular belang menelasar mencari lubang ke dalam tanah.



Bapindo Plaza, lt. 25



RANDU (gambar 6) 40



”Tak ada seorang anak pun di dunia ini mau memanjat pohon randu.” ”Mengapa?” ”Kenapa kau bertanya? Lihat saja sendiri, batangnya berduri, lalu sesampai di puncak, apa yang akan kau petik? Mau makan kapuk?” dan gelak tawa itu pun berderai-derai membuat anak laki-laki kurus itu tersudut di pojok kedunguannya. Sesampai di rumah pun, bapak dan saudara-saudaranya yang lebih besar mempertajam olok-olok itu. Maka luka di jiwanya yang muda itu pun menganga. Hidupnya kemudian adalah berbilang tahun dalam pelarian, membawa rasa malu yang entah berapa besarnya. Kini, matanya menyapu bersih, tak ada sepasang mata pun yang berani menentangnya. Orang-orang itu seakan tersapu wajah-wajah mereka yang pernah mengejeknya. Dia berteriakteriak menantang. Pedang teracung-acung ke angkasa, kuda hitamnya meringkik, sepasang kaki depannya menggerapai, siap menendang siapa pun yang berani mendekat. Laki-laki bertubuh kekar itu memilin kumisnya lalu terbahak-bahak, diselingi dahak, dan melompat ke punggung kudanya. Ladam-ladam kuda itu menggemuruh meninggalkan kepulan debu kemarau yang menggulung orang-orang Kampung Watu Gong. Laki-laki di punggung kuda. Entah apa yang merajai dirinya, tengah pongah menengadah langit, seakan menantang Tuhan. Entah apa yang ditanyakannya. Tak jelas pula apa yang digugatnya. Kelebat pedangnya adalah setiap pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban. Kelemahan orang lain adalah kemarahannya. Tangis tak berdaya para perempuan adalah arak yang memabukkan jiwanya, yang membuatnya berlupa dan melayang entah ke dunia mana. Tak ada dusun yang belum pernah dibakarnya. Tak ada pesta yang belum pernah diporak-porandakannya. Tak ada lembah yang belum pernah dijamahnya. Tak ada padepokan yang belum diterjangnya. Para jawara, benggol rampok, hingga para kesatria istana, tak ada yang bisa bernafas lagi manakala bertemu dengannya. Semua lawannya hanya mempunyai satu pilihan: berlaga luka, menghindar modar. Tak ada gemencrang pedangnya yang disarungkan kembali tanpa menenggak nyawa korbannya. Tapi, siang itu, ketika matahari tepat di atas ubun-ubun setiap manusia, di tengah lembah tandus kering bergoreskan tanah rekah, laki-laki di punggung kuda itu terhenti. Pedukuhan terakhir yang dijumpainya sudah jauh tertinggal sejak matahari terbenam kemarin sore. Di atas kudanya dia berpacu melawan angin kemarau, bahkan di tengah malam buta. Hanya keajaibanlah yang membuat kuda dan penunggangnya itu seakan tak membutuhkan napas sama sekali. Seolah kelelahan hanyalah milik mereka yang rapuh, keropos, dan menyerah terhadap waktu yang berlalu tanpa belas kasihan. Namun, di siang itu, seakan 41



keduanya sampai



pada batas tepi kekuatan diri. Haus mencekik tenggorokan kuda dan



penunggangnya. Lelaki itu turun dari punggung kudanya. Matanya menyapu batas cakrawala. Fatamorgana mencoba menipunya, tetapi sia-sia. Mata lelaki itu terlatih, seluruh panca inderanya saat itu menjadi mata. Hidungnya mencium segarnya air nira, entah dari mana. Angin pun tak bisa lagi berdusta kepadanya. Tak sanggup menyimpan rahasia yang tengah diembannya. Ya, air nira, legen, yang manis segar itu tentunya ada di sekitar tempat itu. Jakunnya turun naik membayangkan kesegaran itu. Bibirnya mulai mengelupas oleh uap panas. Silaunya cahaya matahari membuat kelopak matanya setengah terpejam dan dari celah bulu-bulu matanya ia tiba-tiba melihat sebentuk bayangan manusia muncul dari arah barat. Bergelombang oleh udara panas, bayangan itu makin mendekatinya. Dan jelas tampak olehnya, seorang lelaki tua memikul beberapa bumbung bambu berisi nira segar penghilang dahaga. Lelaki berkumis melintang itu membasahi bibir dengan lidahnya sendiri, sementara tangan kanannya meraba pedang di pinggang. Sepasang matanya menancap pada sosok tua yang terbungkuk-bungkuk memikul bumbung bambu. Di matanya, langkah lelaki tua itu seakan semakin lamban, bagai kura-kura. Tak sabar akan apa yang disaksikannya, dia melompat ke punggung kudanya yang segera nyongklang karena terkejut. Dipacunya kuda hitam berkilat itu, mengepulkan debu putih ke angkasa biru. Teriakannya membelah lembah dan kilatan pedangnya mewartakan maut. Sekali rengkuh, satu bumbung akan berpindah ke tangannya dan segera membasahi kerongkongannya. Kelebat pedangnya secepat kilat menyambar dan menyambar lagi. Namun, lelaki tua itu seakan bayangan halimun yang bahkan tak tersentuh hembusan napas kudanya. Lelaki kura-kura itu bahkan seolah tak menyadari kehadiran lelaki berkuda yang beringas menebas-nebas. Dia berjalan tertatih-tatih sambil sesekali mengelap peluh di dada telanjangnya yang keriput itu. Sementara lelaki berkuda itu kian kalap dan mengejar mangsanya. Bagai elang dia menyambar, tetapi tak sejari pun dia bisa menyentuh mangsanya. Bahkan ketika tibatiba lelaki tua itu berhenti, si lanang berkuda itu terkejut setengah mati. Kudanya nyongklang dan penunggangya terjengkang. Lelaki kumis melintang itu memaki dengan sisa tenaganya. Dan, belum lagi dia menyadari sepenuhnya, lengan kakek tua itu terjulur kepadanya. Dia terduduk dan kakek tua itu menuangkan air nira segar ke batok kelapa cengkir, lalu memberikannya kepada si kumis baplang. Si kumis baplang, menganga tak percaya akan dirinya yang seakan tanpa daya itu. Dia hanya mematung, memandang si kakek.



42



”Oh, maaf…, Kisanak puasa?” ujar lelaki tua itu dengan wajah menyesal, lalu buruburu memasukkan lagi air nira itu ke dalam bumbung. ”Ini sebenarnya tidak saya jual, tetapi akan saya kumpulkan untuk dibuat gula. Ah, gula aren memang yang paling manis menurut saya. Hehehe….” Lelaki berkumis itu menelan udara gersang. Ada rasa perih yang menggores kerongkongan keringnya.”Saya haus, kakek tua!” bentaknya tiba-tiba. Si kakek memandangnya sesaat, lalu menuangkan air nira itu ke batok kelapa cengkir. Diangsurkannya kepada lelaki berkumis itu sambil menggumam, ” Kisanak ini musafir, ya?” Lelaki berkumis itu geram, tapi tak peduli. Nyawanya siap melayang menyambut kenikmatan luar biasa yang meluncur perlahan di kerongkongan keringnya itu. Ingin dia menghentikan, bahkan denyut jantungnya sendiri, hanya demi kenikmatan yang tiada taranya itu. Kesegaran seakan menjalar ke segenap urat darahnya, meriap gelombang sukmanya, menerima daya hidup yang menyegarkan jiwa itu. Batok pertama tandas seketika dan dia meminta lagi. Lalu batok kedua, kesepuluh dan… akhirnya sebumbung pun ditenggaknya habis. ”Kek, mengapa kau tak ikut minum?” ”Saya puasa, Kisanak.” ”Ah, sudah tua kok puasa, hehehe…,” si kumis baplang berusaha meledek. ”Malaikat bahkan sudah enggan mencatat perbuatanmu. Sebentar lagi kau masuk kubur,” ucap lelaki muda itu tegak sambil sesekali menenggak bumbungnya. ”Minumlah dulu sepuasmu, baru bicara...,” jawab si kakek. Dan bumbung ketiga pun tandaslah. Tersisa satu bumbung lagi. ”Tubuhku memerlukan air sebanyak mungkin. Jangan marah jika air niramu habis olehku, hgheeeikh.. Ah, lagi pula kau tak akan berani marah padaku. Hahaaaa…,” ucapnya sambil melemparkan bumbung ketiga. ”Tangan yang biasa merengkuh akan sulit dikendalikan.” ”Dari mana kau tahu semua itu?” ”Puasa.” ”Puasa? Hahahahahaaa... Puasa… hahahaaa… puuaas… sha. Hahahahaaa….” Kakek



itu



diam



saja



dan



memunguti



bumbung



yang



berserakan



lalu



menggantungkannya kembali di pikulannya. Sementara si kumis terus-menerus menenggak bumbung keempat, lalu bumbung kesatu, kedua, ketiga, keempat, dan kembali lagi ke bumbung pertama. Entah bagaimana, tiba-tiba si kumis sadar bahwa jumlah bumbung itu



43



hanya ada empat dan dia telah menenggak habis semuanya. Namun, mengapa air nira itu tak habis-habisnya ditenggak? Tubuhnya limbung dan, tanpa disadarinya, dia kencing sambil berdiri, sementara bibirnya masih saja menenggak bumbung. Dia terhuyung ke sana kemari. Menenggak lagi dan lagi, sampai akhirnya dia merasakan mual yang luar biasa. Rasa mual itu menggulung-gulung dan menggelegak naik, melonjak melalui mulutnya. Tubuh kokoh itu terbungkuk-bungkuk mengikuti gelegak mual yang mengganas bagai kuda liar. Beberapa kali kepalanya terasa diganduli gajah dan lelaki kokoh itu roboh, menggelosor ke tanah kering. Dari mulutnya tumpah-ruah berbumbung-bumbung air nira. Selesai dihajar mual, lelaki itu terduduk. Dia merasa lelah, tetapi tangannya meraih bumbung itu lagi. Dia berteriak menolak, tetapi sia-sia. Tangan itu seakan bergerak bukan oleh kemauan lelaki itu. Kedua tangannya bukan lagi miliknya, yang kini bergerak sesuka hatinya, menuangkan berbumbung-bumbung nira ke dalam mulut lelaki itu. Dia berusaha lari, tetapi kakinya enggan bergerak. Mulutnya enggan menutup dan seakan terganjal batu, menganga bagai gua menerima gerojokan air nira. ”Tanganmu tergerak oleh hatimu. Seperti kuda, kalau kau latih dia, maka patuhlah dia kepadamu. Jika kau bebaskan semaunya, liarlah dia.” Kakek tua itu masih saja duduk di tanah. ”Jangan… haaep… haep… prrffss… jangan banyak bicaraa, haepss... pss... puuah! Bantu aku menghentikan tanganku.! Huk… huk… hooeek…,” lelaki itu berussaha mengendalikan tangannya yang seakan ingin menenggelamkannya dengan air nira. Jatuh bangun dia menghindar, tetapi kedua tangannya tetap saja menguasainya. Teriakan dan lolongannya tak bisa menghentikan kedua tangan liar dan aneh, yang kini menguasainya itu. ”Ingat dongeng Prabu Rahwana? Dia pernah minta kesaktian kepada para dewa agar diberi kekuatan dahsyat tak terkalahkan. Dia juga meminta ilmu tak bisa mati,tak bisa dikalahkan oleh dewa dan manusia, hehehehe…, dituruti. Permintaannya dikabulkan, malah diberi kesempatan menikmati hasil tapanya itu berpuluh bahkan beratus tahun.



Tapi



apa



yang diperolehnya ketika Sri Rama melepaskan panah Gua Wijaya? Haha.. persis kayak Sampean, Kisanak. Gua Wijaya memang tidak membunuhnya, tetapi menyakitinya, dan rasa sakitnya memang berkepanjangan sehingga akhirnya Rahwana minta mati. Makanya, kalau didongengi orang itu didengarkan, bukan cuma mbantah. Heheheh.. sekarang, enak, nggak air yang kamu minum itu? Heh? Hahahahahahaha….” Gelak tawa kakek itu seakan lecutan cambuk raksasa yang kian membuat kuda-kuda liar yanga ada di dalam diri laki-laki berkumis itu meronta-ronta, menyeretnya entah sampai ke



44



mana. Oleh lelah dan lilitan nira yang memabukkan itu, akhirnya si kumis rebah tak sadarkan diri. *** Matahari sedikit lagi terbenam. Lelaki berkuda itu masih saja terduduk setelah beberapa saat lalu pingsan. Setiap persendian tubuhnya terasa hancur, hatinya kosong, pikirannya lenyap, dan dia seakan tak memiliki keinginan apa-apa lagi. Dia naiki kudanya dan kuda itu pun berjalan tanpa kendalinya. Tubuhnya yang kosong terayun-ayun dan angin sore pun menyapunya lembut. Kalong-kalong mengepakkan sayapnya teratur dalam gerombolan panjang, membentuk totol-totol hitam di hamparan langit lembayung. Sayup dari pucuk-pucuk daun kelapa di kejauhan, angin membisikkan suara azan dan kuping lelaki yang terlatih itu pun menangkapnya. Antara sadar dan tidak, dia masih mengingat beberapa ucapan kakek tua itu, yang entah bagaimana seakan memiliki kekuatan untuk melekat dalam ingatannya. Ucapan itu membuatnya kosong. Lembah sanubarinya yang tandus gersang tiba-tiba mulai berkabut, basah, dan kehijauan pun bersemi. Diamatinya kedua tangannya yang kini bergerak biasa. Entah apa yang tadi terjadi pada dirinya, dia tak sepenuhnya memahami. Selama ini, dia selalu membiarkan kuda-kuda liar di dalam dirinya, meronta sesuka hati. Kini, dia ingin sekali mencoba mengaitkan tali kekang dan mencoba menambatkan pada tiang pendiriannya agar tak lepas begitu saja. Entah mengapa, mungkin ucapan itulah yang membuatnya begitu. Ke manakah si lelaki tua itu pergi? Ke barat atau ke timurkah dia harus mencarinya? Matanya hanya menangkap sosok randu dengan durinya di sana-sini. Dulu, ketika masih kanak, pernah dia ingin memanjat batang randu, entah apa yang dicarinya sesampainya di atas. Namun kini, ketika pikiran itu muncul lagi, dia merasa rindu. Rindu pada suatu kenikmatan, meskipun kedua tangannya akan penuh luka oleh duri. Dia ingin sekali memanjat batang randu alas itu. Ada keinginan menderas yang membuatnya menangis. Keinginan untuk membersihkan dirinya dan karena kotoran itu melekat di aliran darahnya, maka dia ingin mengeluarkan darah dari tubuhnya dan membiarkan darah itu mengucur keluar bersama dosadosa yang menghitami hidupnya. Lelaki berkumis itu duduk di punggung kudanya, membiarkan dirinya terayun-ayun langkah kuda yang entah membawanya ke mana. Bukit Nusa Indah-98



45



BATERAI (gambar 7) Dia selalu saja lupa mengganti baterai pada jam dindingnya. Setiap kali dia ingin tahu waktu dan secara otomatis kepalanya menengok ke jam dinding yang melekat di tembok di atas lemari kecil itu, dia seakan baru teringat bahwa seharusnya dia sudah mengganti baterainya kemarin. ”Kenapa sih, nggak diganti? Sudah tahu kalau jamnya selalu mati, dan sudah tahu kalau baterainya mati, masih saja didiamkan…,” omel istrinya setiap kali memergoki jam itu masih mati. Laki-laki itu diam saja. Dia hanya memandang jam bulat yang melekat di tembok itu. Ada keinginan, setiap kali melihat jam mati itu, untuk mengganti baterai. Namun, entah mengapa, selalu saja ada sesuatu yang membatalkannya. Misalnya, pada hari Minggu kemarin. Dia pulang sebentar dari kerja bakti di kampungnya. Dia janji akan menelpon seorang kawan pada jam sembilan pagi. Ketika dia ingin melihat jam berapa saat itu, dia melihat jarum panjang menunjuk angka dua belas, dan jarum pendek ke angka empat. Mati. Saat itu juga dia bermaksud ke warung dan membeli baterai, tetapi pada saat yang bersamaan telepon berdering. Ternyata itu adalah kawannya. ”Aku tunggu teleponmu, kok, nggak bunyi-bunyi, kenapa, sih? Lupa, ya?” yang di seberang sana membuka pembicaraan dengan cercaan. Laki-laki itu mendesah, lalu menjawab dengan tenang, ”Sori, baru bangun,” ucapnya berbohong. Lalu dia terlibat pembicaraan dengan si penelpon. Setelah pembicaraan kira-kira tiga pulauh menit, laki-laki itu segera kembali ke para tetangganya yang tengah kerja bakti. Lupa membeli baterai. Begitulah, sepulang kerja bakti tubuhnya lelah, ia mandi, makan, dan tidur siang sepanjang hari. Sore hari, ketika dilihatnya rumah sepi, dia celingukan sendirian, dan mendapatkan pesan di pintu lemari es, ”Pa, aku ke rumah Ayah. Malam baru pulang.” Dia mulai berpikir, ”Jam berapa, ya, sekarang?” pada saat itu juga dia melongok ke jam dinding itu dan didapatinya jam itu masih saja menunjukkan jam empat. Di lain kesempatan, pernah dia berniat mengganti baterai jam dinding itu. Baterai sudah disiapkan. Namun, ketika itu di halaman ada seekor ayam tetangga yang menggulingkan pot bunganya. Segera dia usir ayam itu dan dengan pandangan sedih dibenahinya pot yang terguling itu. Setelah itu dia duduk sekadar melepas lelah dan merokok. Ketika dia menengok



46



ke arah jam mati itu, barulah dia ingat bahwa seharusnya dia mengganti baterainya, tapi saat itu dia sedang ingin menikmati sebatang rokoknya. Begitulah, setiap kali dia melongok, jam itu masih saja mati. Diam tak menunjukkan gerakan apa-apa. Anehnya, dia juga berpikiran yang sama—selalu saja dia lupa mengganti baterainya. Dia lalu berpikir, mengapa setiap kali dia ingin mengganti sesuatu—baterai jam itu, misalnya, ada saja yang membuatnya gagal. Bayangkan, sejak niat pertama dipancangkan, hingga saat ini—ketika dia menghisap rokoknya ini, kira-kira sudah sebulan. Baterai jam itu belum juga diganti. *** Besoknya, ketika istrinya akan berangkat kerja, dengan buru-buru menggaet tas dan berkesempatan menengok jam dinding itu, sekali lagi semprotan itu meledak. ”Kapan, sih, jam ini dapat baterai baru?” Laki-laki itu terdiam, selain karena dia sendiri baru saja bangun dari tidurnya, juga merasa bersalah karena belum juga mengganti baterai. Dengan mata masih diganduli kantuk, laki-laki itu melangkah mendekati jam dinding yang merana kehabisan baterai itu. Diambilnya jam itu. Diamatinya sesaat, lalu dibalikkan dan diambil baterainya. Baterai itu masih saja keras, tidak seperti yang dibayangkannya; bayangan dia, baterai itu agak loyak bila dipegang lantaran kelamaan melekat di suatu tempat dalam keadaan mati. Dia tercenung di antara tirai kantuk dan kesadarannya. Apa yang salah dengan baterai ini? pikirnya dalam hati. Dia bermaksud mencoba baterai itu pada lampu senter, barangkali saja baterai ini masih berfungsi, jadi tak usah beli. Sambil membetulkan gulungan sarung di perutnya, dia mulai mencari-cari senter yang dimaksudkannya. Mula-mula dicarinya di atas lemari es. Tak ada. Lalu dia terdiam sesaat dan melangkah ke lemari obat. Di atas lemari obat itu biasanya ada gunting, alkohol desinfectan 70 %, dan lampu senter. Sambil menguap lebar dia menuju lemari obat dan menemukan semua yang biasa di situ, kecuali senter. Di mana senter itu? Selalu saja begini, jika tak dibutuhkan, ada, tapi begitu dicari, ngumpet! gerutunya dalam hati. Dia seperti kehilangan tujuan, berdiri sambil memegangi baterai, dan tak tahu harus berbuat apa dengan itu. Dia mencoba memasang kembali baterai itu ke jamnya dan mencoba mendengarkan, barangkali ada detak kehidupan. Ternyata tidak. Ada dua kemungkinan: baterai ini mampus, atau ada komponen jam yang rusak. Dia garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Satu-satunya cara mengetahui keadaan jam ini adalah



47



dengan mengetes baterai ini, dan satu-satunya cara mengetahui daya baterai ini adalah dengan lampu senter. Pertanyaannya adalah, di manakah senter keparat itu? Dia lalu menelepon istrinya. Operator menjawab bahwa istrinya belum sampai kantor. Dia otomatis melihat ke arah jam. Hanya dinding kosong dengan debu melingkar. Dia tertawa sendiri, jam itu ada di dekatnya. Dia kemudian mencoba mencari sekali lagi. Di setiap laci, di setiap lemari, di setiap kotak, di mana pun yang diperkirakannya senter itu tersimpan, dilakukannya. Namun, kali ini dia sia-sia. Tak lama, pergilah dia ke tetangganya dan mencoba meminjam senter. Tetangganya heran, untuk apakah pagi-pagi dia berurusan dengan senter? Sebetulnya dia ingin marah karena apakah senter itu akan ditimpukkan ke tikus atau mau diberinya kecap asin, itu adalah urusannya. Namun, karena dia sadar bahwa dia tidak mengambil miliknya, tetapi meminjam dari tetangganya itu, maka dipadamkannyalah kemarahannya. Si tetangga kemudian menyerahkan senter itu, ”Tapi, kayaknya baterainya mati, Pak, belum sempat diganti,” katanya tenang. ”Oh, nggak apa-apa, saya ada baterai,” jawabnya buru-buru kembali ke rumahnya. Di rumah, dia mencoba memasukkan baterai itu ke senter pinjamannya. Namun, baru saja dia memasukkan baterai itu, dia sadar senter itu membutuhkan dua buah baterai besar, sementara dia hanya punya satu, kecil pula. Seekor cicak berdecak di atas kulkas. ”Apa, Lu, berisik!” Cicak merayap cepat dan menghindar, sebelum kena tulah. Dia akhirnya merenung. Diambilnya rokok dan dinyalakannya nikmat. Telepon berdering. Begitu diangkat, ternyata suara istrinya. ”Ada apa?” ”Oh, nggak , tadi aku nyari senter kita. Kok nggak ...” ”Kan, dipinjam tetangga sebelah,” potong istrinya. ”Yang warnanya merah itu, ya?” tanyanya sambil melirik ke senter yang tergeletak di meja itu. ”Iya, sayangku....” ”Sudah lama pinjamnya?” ”Ya..., rasanya sih cukup lama, ya?” ”Hmm.. tapi, kenapa tadi dia tenang-tenang saja, seolah senter itu punya dia….” ”Oh, jadi sudah diambil?” 48



”Sudah. Baru saja. Tapi, kenapa sikapnya begitu?” ”Ya, nggak tahu. Dulu, yang pinjam, sih, pembantunya, seingatku, lho.. mungkin dia juga nggak tahu kalau itu senter pinjaman. Sudahlah…, daaa.” Laki-laki itu masih saja beberapa saat menggenggam gagang telepon. Pikirannya masih saja belum bisa menerima sikap tetangganya, yang dengan enaknya menyerahkan senter itu kepadanya. Jadi, ini senter keparat yang kucari-cari itu, gerutunya dalam hati. Dia merasa terganggu dengan sikap tetangganya. Sudah pinjam, lama, nggak terima kasih, eh, malah tanya-tanya untuk apa. Sialan! gerutunya lagi. Masih dalam kecamuk ketidaksenangan atas sikap tetangganya, dia membongkar senter itu. Dicarinya kabel dan dicopotnya lampu kecil senter, lalu dia mencoba menghubungkan satu dengan lainnya sedemikian rupa sehingga seharusnya lampu itu menyala. Ternyata tidak. Diperhatikannya, ternyata kawat wolfram lampu itu putus. Kampret! Akhirnya, dengan bersungut-sungut laki-laki itu pergi ke warung kecil di ujung gang. Ketika berjalan, dia melewati rumah tetangga yang meminjam senternya dan dilihatnya si tetangga pura-pura sibuk mengatur sesuatu di mobilnya. Mobil bagus, kalau perlu dipoles di salon mobil, tapi senter aja pinjam, mulangin nggak terimakasih, kutu kupret! Makinya dalam hati. ”Bu, ada baterai?” ”ABC?” ”Ya, apa sajalah….” ”Ada juga predi’….” ”Apa sajalah.” ”Sebentar,” lalu ibu pemilik warung sibuk mencari baterai yang dimaksudkan laki-laki itu. Setelah agak lama, dia muncul kembali. ”Ini?” katanya menyodorkan baterai besar. ”Bukan yang gede, yang kecil, Bu…,” jawab laki-laki itu agak jengkel. ”Oohh, yang kecil… sebentar…,” lalu ibu itu menghilang lagi ke balik bilik mencaricari baterai yang dimaksudkan pembelinya. ”Wah, Om…, habis. Nggak ada tuh yang kecil, yang gede aja, ya?” ”Nggak Bu, perlunya yang kecil buat jam.” ”Wah, belum beli, bapaknya. Sebentar lagi baru belanja ke pasar, Om.” Laki-laki itu sudah tak peduli, dia ngeloyor pergi.



49



Sesampai di rumah, dia hanya duduk mencangkung di balai-balai. Terus terang saja, sisa kantuk masih menggandul di lipatan pelupuk matanya. Dia harus melakukan sesuatu, tetapi apa, dia sendiri tak tahu. Karenanya laki-laki itu kemudian memasang kembali baterai yang tadi dilepasnya ke dalam jam dinding bulat itu. Diambilnya lap dan mulai dibersihkannya permukaan jam. Kebetulan jam itu terbuat dari kayu yang dipernis mengkilat, sehingga mirip plastik. Lalu, setelah puas membersihkan, dia tempelkan jam itu ke dinding. Beberapa saat dipandanginya jam itu. Dia mencoba mengingat-ingat, beli di mana jam antik ini? Tetapi sia-sia. Rasanya dia dan istrinya tak pernah secara khusus membeli sesuatu, apalagi jam dinding. Ya, sejak pernikahan mereka lima tahun lalu, mereka tak pernah melakukan apa-apa untuk diri mereka sendiri. Lima tahun, tanpa terasa, mereka telah menjalani rumah tangga. Lima tahun, tanpa terasa, mereka hanya menjalani kehidupan sebagai sebuah rutinitas. Jam sekian mandi, jam sekian makan, jam sekian berangkat, jam sekian anu, jam sekian itu, dan ini yang membuat laki-laki itu merasakan bahwa dirinya kian kurus: anak! Hingga memasuki tahun kelima perkawinan mereka, istrinya belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Dia sudah memeriksakan diri ke dokter dan sudah mendapat jawaban bahwa dirinya, laki-laki itu, mandul. Semula dia tak bisa menerima kenyataan itu, tetapi, ketika istrinya memberikan dukungan, laki-laki itu akhirnya bisa tersenyum dan bercanda kembali. Akan tetapi, itu hanya pada tahun kedua perkawinan mereka. Ketika istrinya dipindah ke divisi yang lebih menuntut jam kerja, peristiwa demi peristiwa aneh pun mulailah terjadi dalam rumah tangga mereka. Perlahan-lahan keduanya jadi jarang ketemu. Kalau pun ketemu, itu menjelang tidur. Jika laki-laki itu berusaha merayu istrinya saat ingin bermesraan, dia hanya mendapatkannya setelah berusaha keras menjaga agar istrinya tak ketiduran. Lampu-lampu pun padam satu demi satu, demikian pula kehangatan mereka di ranjang. Rutinitaslah yang membunuh mereka. Ditambah keadaan fisik laki-laki itu, yang tak mungkin memberikan keturunan, maka lengkaplah kebekuan yang terjadi di dalam rumah tangga laki-laki itu. Dia tak dapat menyalahkan siapa-siapa. Dia hanya merasa sakit karena terjepit keadaan yang nyata-nyata bukan atas kehendaknya. Seperti detak jarum jam yang berputar dari detik ke detik, kehidupan mereka mengalir dari itu ke itu juga, tanpa titik perhentian sama sekali. Titik berikutnya adalah titik gerak untuk



50



melompat ke titik berikutnya dan seterusnya. Tak ada titik henti. Begitulah rutinitas kerja keduanya. Mengalir, berputar dari siang ke malam, dari malam ke pagi, ke siang, dan ke malam lagi. Mata laki-laki itu mencoba tak berkedip karena begitu jam itu ditempelkan di dinding kembali setelah dibersihkan, ada gerakan detak tertangkap matanya. Telinganya seakan menangkap suara detak kehidupan jam dindingnya. Namun, setelah sekian lama ditunggu, ternyata hanya keheningan yang mengalir. Laki-laki itu kembali kecewa. Tangannya hanya mengelus jam dinding itu, entah sebagai semacam ritual atau memang sudah seharusnya begitu, dia sendiri tak tahu. Yang jelas dia menyentuh dan jam itu berdetak! Dia nyaris berteriak girang, tak percaya pada apa yang disaksikannya pada hari itu. Matanya berbinar-binar, beberapa kali dia ber ”ha-ha” di depan jam dindingnya. Baterai sialan itu ternyata masih hidup. Masih mampu memberikan detak kehidupan pada jamnya! Buru-buru dia telepon istrinya, tetapi dijawab oleh kantornya bahwa istrinya sedang meeting. Dia kecewa, tetapi dia bisa maklum. Sekarang sudah tidak ada masalah lagi, jamnya sudah berdetak normal. Tak lama dia ke kamar mandi dan mengguyur badannya dengan air dingin segar. Dia keramas, menggosok giginya, dan mengguyur tubuhnya berkali-kali seakan tengah melakukan ritual penyucian diri. Sambil bersiul-siul kecil dia mengenakan handuknya dan ketika melewati jam itu dia masih saja melihat jarum detik jam itu masih bergerak-gerak sebagaimana seharusnya dia bergerak. ”Jam berapa sekarang?” bisiknya seakan meledek situasi yang kini berbalik mendukungnya. Dia tersenyum dan jam itu memberikan jawaban sebagaimana seharusnya. ”Ooo… baru jam sebelas, to. Ha ha…,” laki-laki itu menari-nari kecil mirip seorang bocah mendapatkan hadiah dari ibunya. Detik jarum jam itu masih terus berputar patah-patah sebagaimana lazimnya detik jam dinding. Sambil mengenakan pakaian, tangan laki-laki itu sesekali menyentuh tombol-tombol radio tape-nya. Musik mengalun. Dia menyanyi, tak jelas liriknya. Hatinya begitu gembira dan dia tak peduli apakah akan ada orang yang akan memaklumi kegembiraannya atau tidak. Paling tidak, setiap kali dia menengok dan menanyakan waktu, jam itu telah punya jawaban. Dia bukan lagi seorang laki-laki yang teledor, hanya untuk perkara mengganti baterai jam dinding.



51



Jam setengah sembilan malam, istrinya pulang. Laki-laki itu berseri-seri menyambut kedatangan istrinya. Sang istri meskipun terheran-heran, akhirnya tersenyum senang juga mendapatkan suaminya begitu bergairah malam itu. ”Ada apa, sih?” tanya istrinya sambil mengamati, seakan suaminya adalah makhluk luar angkasa. ”Aku tadi nelepon kamu di kantor, tapi…,” ”Oh, memang tadi aku dikasih tahu sama Rosi. Aku meeting dan lupa telepon ke rumah. Ada apa?” Istrinya berkata sambil membongkar belanjaan. Rupanya dia sempat mampir supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan harian dan… satu pak baterai kecil. Mata laki-laki itu tertumbuk pada pak baterai itu dan sambil tersenyum dia katakan bahwa itu tak perlu. Istrinya terheran-heran dan dengan pandangan yang sama matanya mengikuti telunjuk suaminya ke arah jam dinding itu. ”Ooo…,” hanya itu yang keluar dari bibirnya. Lalu istrinya meneruskan membereskan belanjaan, kemudian pergi ke kamar mengambil baju ganti, mandi, dan… Laki-laki itu diam. Kegembiraannya berhasil menghidupkan jam itu tak berarti apa-apa bagi istrinya. Tadi, nelepon mau bilang bahwa jamnya hidup?” teriak istrinya dari kamar mandi. Laki-laki itu diam saja, tak ada gairah untuk menjawabnya. Ketika usai mandi, sambil menggaet koran sore, si istri duduk di dekat suaminya. Lakilaki itu masih saja kecewa. Beberapa menit kemudian, karena keheningan yang tiba-tiba menyerang, si istri bertanya mengapa suaminya tiba-tiba berubah seperti itu. Karena tak ada jawaban, istrinya mengalihkan pembicaraan, ”Nonton tv, yuk, kayaknya ada film bagus, nih jam…,” secara refleks istrinya menengok ke arah jam dan jam tersebut masih menunjukkan pukul setengah sembilan. ”Jamnya mati,” gumam istrinya, lalu beranjak ke ruang televisi. Laki-laki itu seperti tersengat tawon, matanya langsung menancap ke arah jarum jam yang diam tak bergerak sama sekali. Segera diraihnya jam itu, lalu dicopot baterainya dan diguncang-guncangnya. Dari ruang tv istrinya berteriak untuk mengganti saja dengan baterai yang baru. Karena kecewa, laki-laki itu akhirnya hanya menggantungkan kembali jam tanpa baterai itu ke dinding, sambil menggumam, ”Besok saja..”



52



Pinang, 982



WAYANG (gambar 8)



Sebagaimana orang-orang di Dukuh Karang Ombo, Sukat juga tak percaya dengan apa yang dilihat oleh mata kepalanya. Sebuah wayang kulit indah tokoh Sri Kresna, berukuran hampir satu setengah meter–mulai dari ujung pegangan sampai pucuk mahkota. Wayang kulit itu ditancapkan pada sebidang tempat dari jati berukiran Jepara, sedemikian rupa sehingga kedua sisi wayang bisa dilihat dan bahkan bisa disentuh. Perhiasan Sri Kresna, sebagai Raja Dwarawati, benar-benar gemerlap oleh intan-intan yang dilekatkan di hamparan kulit itu. ”Lihat, pradha-nya…,” bisik Suto. ”Apa kau pikir ini juga dari sepuhan emas?” jawab Sukat agak menyangsikan ucapannya sendiri. Suto hanya menahan napas. Gemerlap warna kuningnya memang agak lain di mata mereka berdua. Meskipun otak mereka juga berusaha menyangkal, bagaimana mungkin emas bisa disepuhkan di atas kulit, namun mata mereka seakan mempercayai bahwa gemerlap kuning itu adalah emas. ”Rasanya bukan tapi, kok, warnanya lain, ya?” Orang-orang dukuh yang memang hanya bisa terkagum-kagum dengan apa saja yang mereka saksikan, juga mulai berpikir seperti apa yang baru saja diucapkan Sukat dan Suto. Sebuah telunjuk menjulur perlahan dari salah seorang penduduk yang mencoba ingin menyentuhnya. ”Jangan senggal-senggol!” sebuah suara berat seorang lelaki menghentikan telunjuk itu. ”Nanti jarimu bujel!” Aliran darah si pemilik telunjuk beku seketika. ”Ini dibuat secara khusus, di-pasani, ditirakati, jadi tidak sembarangan. Makanya juga jangan sembarangan senggal-senggol.” Ucapan itu berasal dari si pemilik wayang. Lelaki tinggi besar dan tambun berkumis lebat mirip Saddam Husein itu segera menjadi pusat perhatian orang-orang dukuh. Dia berdiri bagai seorang raja, sementara orang-orang yang puluhan jumlahnya itu duduk berkeliling di sekitarnya.



53



”Wah, ini bagus sekali, lho, Den.” ucap Suto sambil menunjuk wayang tersebut dengan ibu jarinya. Si pemilik wayang senang. Wajahnya berseri-seri. ”Sri Kresna ini kan seorang batara, seorang dewa yang ngejawantah ke bumi. Makanya wayang kulitnya harus dibuat khusus. Kalau mau memperlakukan pun harus khusus pula,” kata lelaki itu seakan mengulangi apa yang pernah dikatakannya. ”Bisa ngrejekeni ya, Den?” celetuk Sukat. ”Hus! Wandamu…, apa-apa kok langsung dikaitkan dengan kekayaan.” Orang-orang tertawa riang. Sukat hanya senyam-senyum senang. Makian itu dirasakannya sebagai ungkapan kedekatan Den Bagus kepadanya. ”Nuwun sewu, apakah itu semua inten-berlian, Den?” Den Bagus memandangi wayangnya sejenak, kemudian menjawab,”Menurutmu bagaimana Kat?” ”Waaah .. ya, ndak tahu, Den. Ngapunten, hehehe...,” jawab Sukat malu-malu. Namun, otaknya masih bergulat keras antara mengatakan emas dan bukan emas. ”Ya, bukan. Mana ada kulit kok disepuh emas. Mana bisa.” Jawaban itu membuat orang-orang lain tersenyum. Entah lega, entah apalagi. Tak ada yang tahu. Tetapi, Sukat masih saja bergulat dengan pikirannya sendiri. Jidatnya berkerut-kerut. Sorot matanya tak percaya pada ucapan Den Bagus. ”Kalau yang kerlap-kerlip ini... ya, memang inten betul,” ucap Den Bagus tenang sambil menatap bangga pada wayang koleksinya. Beberapa kepala saling menengok dan bibir-bibir pun pating klesik. Mata mereka mencoba menghitung jumlah intan dan berlian yang melekat di seluruh wayang itu. Mahkota Sri Kresna memang paling banyak, paling gemerlap. Kelat bahu, praba, dan bahkan binggel yang dikenakannya juga gemerlap. Jumlahnya, kanan-kiri mungkin melebihi seratus butiran besar-kecil. Pating kerlap, pating kerlip, menggoreskan kerjapan aneh di mata yang memandangnya. ”Elok tenan…,” gumam Sukat seakan pada dirinya sendiri. ”Tahu, harganya berapa?” tanya Den Bagus dengan tenangnya. Orang-orang hanya tersenyum masam. Ada juga yang kelihatan tambah bego, meskipun tersenyum. ”Ini harganya setengah milyar.” Mereka yang mendengar tak tahu persis berapa setengah milyar itu. Mereka rata-rata hanya merasakan bahwa angka yang disebutkan itu menimbulkan kesan gemebyar! Ada percikan indah, ketika kata ”Yar!” itu diucapkan. Entah bagaimana wujudnya di benak masing-masing, 54



namun mereka merasakan gambaran yang sama. Sesuatu yang aneh sekaligus indah. Asing yang juga indah. Mahal itu indah. ”Ini milik eyang kakung saya. Dia dulu adipati di wilayah Selatan.. Tadinya, katanya, wayang ini sudah dikirim ke Belanda, dipersembahkan kepada gusti ratu.. tapi ini, katanya, lho…, wayang ini kembali ke rumah Eyang,” ujar Den Bagus sambil memandangi penuh kekaguman pada wayang kulitnya. ”Kembali … terbang sendiri?” Sukat menyela. ”Ya… ndak



tahu, Kat. Yang jelas, wayang ini tidak pernah sampai ke Belanda.



Sampai-sampai, konon, eyang kakung dituduh pemerintah bahwa dia telah membuat kecewa sri ratu, dan karenanya harus dihukum.” ”Lo, kok, gitu?” ”Ya.. embuh, Kat…,” jawab si empunya wayang sambil tertawa kecil. ”Wah, Sukat, kalau tanya kok mendetail…, kayak pulisi saja, hehehe…,” sela yang lain sambil tertawa geli. Namun, Sukat tidak menanggapi semuanya. Dia masih saja merasakan bahwa yang diucapkan Den Bagus Darsono memang benar-benar terjadi. Sukat benar-benar kagum. Kekaguman Sukat bukan pada nilai rupiah wayang tersebut, melainkan pada ketelitian dan kesungguhan si pembuatnya. Wayang kulit tersebut dipandanginya seakan matanya tengah merekam segala keindahan yang entah harus dari mana menilainya itu. Berhari-hari



setelah



malam



yang



memesonakan



itu



berlalu,



Sukat



masih



membayangkan betapa indahnya wayang kulit yang dilihatnya di rumah besar milik Bagus Darsono. Sri Kresna, yang telah menjadi raja, masih menampilkan sedikit karakter pesolek Raden Narayana—nama Kresna ketika belum menjadi raja. Ada kesan senyum cerdik—sedikit mengejek lawan, namun guratan wajahnya menunjukkan kecendekiaan yang tak tertandingi. Dibalut pakaian kebesarannya yang tampak megah oleh intan berlian yang gemerlapan, Sukat membayangkan Sri Kresna adalah raja yang menjadi junjungannya. Berhari-hari Sukat memikirkan dan tampaknya keinginannya untuk sekadar memegang dan memainkannya—walau sebentar saja, kian menjadi-jadi. Maka, pada suatu malam, Sukat memberanikan diri ke rumah Den Darsono, untuk meminta izin memainkan wayang tersebut. ”Untuk apa?” tanya si empunya wayang dengan sedikit bangga. ”Ya, hanya kepingin memainkannya sebentar. Boleh, to, Den? ”Syaratnya.. kamu harus bersih. Tidak sedang hadas.” ”Saya sudah mandi,” bisik Sukat agak malu.



55



Den Bagus memandang Sukat dengan senyum tertahan. Sekali lagi ditanyainya, sukat seakan meyakinkan bahwa barang yang akan disentuh Sukat adalah benda keramat. ”Godaannya banyak, lho, Kat. Tidak mudah berdekatan dengan wayangku ini. Karenanya, Eyang hanya memberikannya pada ayahku, di antara ketujuh anaknya. Lalu Ayah, ya, hanya memberikannya padaku, bukan pada kakak atau adik-adikku yang lain. Artinya, wayang ini ’memilih’ bukan dimiliki sekehendak hati,” sekali lagi Den Bagus menjelaskan betapa wingitnya wayang tersebut. ”Ah, panjenengan itu.. kalau tidak boleh, ya, sudah…,” canda Sukat. Dengan sedikit keraguan yang tampak pada sudut matanya, Den Bagus kemudian mengajak Sukat masuk ke ruang penyimpanan wayang. ”Jika kamu sawanen, saya tidak tanggung jawab, lo, Kat.” Jantung Sukat berdebar-debar. Ada rasa gembira, ada sedikit takut, ada keraguan, tetapi juga kebahagiaan. Matanya mengikuti setiap gerakan tangan Den Bagus, mulai dari membuka lemari khusus, kemudian selubung mori putih dan terakhir kotak kaca penutup wayang tersebut. Mata Sukat bagai tersedot kekuatan gaib. Gemerlap wayang tersebut menyilaukannya. Cahayanya memantulkan daya yang tak mampu dikuasainya. Tangannya gemetar menjulur perlahan. Telapak tangannya berkeringat ketika menyentuh pegangan wayang yang terbuat dari tulang kerbau itu. Tiba-tiba, wayang itu seolah-olah melompat ke dalam genggaman Sukat, dan bagai terkena sihir, tangan Sukat yang satunya meraih garan wayang dan menggerakkan tangan Sri Kresna. Mulutnya kemudian menyuarakan sesuatu yang dia sendiri tak begitu paham maksudnya. ”Apapun penghalangnya, wahai para makhluk bernafas, yang satu ini akan terjadi… akan terjadi tanpa persetujuan kalian, karena siapakah diri kalian sehingga layak memberikan persetujuan... kepala kalian yang terlalu kecil dalam memikirkan semesta ini tak akan pernah mampu memahami bahkan bayang-bayang kalian sendiri...” Sukat terus meracau, tubuhnya limbung dan kedua tangannya seakan terikat pada wayang tersebut. Sukat seolah sebuah wayang yang tengah dimainkan sang dalang. Den Bagus ketakutan. Dia memanggil semua orang untuk menahan Sukat. Orang berdatangan dan berusaha meringkus Sukat yang masih meracau dan gerakannya kian tak menentu. Kekuatan Sukat berlipat-lipat. Tak seorang pun mampu mencegat. Sukat terseret kekuatan aneh. Tubuhnya terbetot ke jalananan. Orang Karang Ombo ketakutan. Sukat menghancurkan apa saja yang menghalanginya. Orang hanya mampu



56



menyaksikan seolah wayang itulah yang mengamuk dan Sukat hanyalah kelebat bayangan yang hanya mampu mengikuti ke mana si tubuh bergerak. *** Sudah lebih dari setahun peristiwa itu berlalu, tak ada berita tentang Sukat dan wayang berlian itu. Den Bagus kelihatan kurus. Polisi tak mampu mengendus di mana Sukat dan barang curiannya berada. Tak ada yang sanggup, mungkin juga tak peduli lagi pada Sukat karena semua perhatian tertuju pada banyaknya peristiwa yang lebih aneh lagi. Orang Karang Ombo hanya bisa berdoa. Setiap hari selalu saja ada berita aneh dan mengerikan yang sulit dicerna akal manusia. Di suatu tempat, seorang anak kecil yang tengah menggembalakan kambing, menemukan sebuah wayang kulit berukuran besar. Wayang itu kusam karena terlantar. Pegangan tubuh dan pegangan tangan wayang sudah copot entah ke mana. Anak kecil itu hanya tertarik karena, baginya, wayang itu adalah sebuah mainan baru. Diamatinya wayang kulit itu, ada yang aneh. Sepasang mata kecil bening itu seolah membandingkan antara wayang kardus yang dibelikan maknya di pasar dan wayang kulit temuannya itu. Ada yang aneh, terutama di bagian wajah. Namun, anak kecil itu tak tahu apa yang tengah diamatinya itu. PINANG 982



DI TAMAN KOTA SINGAPURA (gambar 9)



Kumasukkan koin 1 dolar, lalu kutekan angka 80 sen. Tiket keluar dan kembalian 2 keping 10 sen-an gemlithik di box kembalian. Agak tergesa aku berjalan di stasiun MRT Tanjong Pagar. Milly, art director-ku pesan minta dibelikan buku dan katanya ada di Page One Marina Square. Masih dalam rasa penat karena nyaris semalam suntuk aku ada di studio untuk editing, aku berjalan dengan hampir beberapa kali menabrak orang. Bahkan ketika aku mencolokkan tiket ke pintu sensor, tiketku "ditolak". Dua tiga kali kualami hal itu, sampai akhirnya kusadari bahwa aku salah memasukkan. Beberapa orang melihatku dengan pandangan macam-macam. Ada yang sinis, ada yang geli, ada yang dingin, dan mungkin berpikir aku orang yang sangat kampungan. Di negeri singa ini tak mungkin orang "tersesat" apalagi salah memasukkan tiket,



57



wong



semua tanda sudah jelas sekali terpampang. Di negeri ini semua sudah demikian



"bersistem" sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan, sangat kecil. Aku hanya tersenyum malu dalam hati. Sempat kudengar celetuk kecil yang "mengutuki" kebodohanku. Dan, aku segera mengenalinya karena diucapkan oleh mereka yang berasal dari Jakarta. Kucari wajah itu, tapi tak kutemukan. Biarlah. Sambil menunggu kereta yang membawaku ke City Hall, aku sempat melihat seorang kakek Cina, umurnya mungkin 60 tahun. Dia menatap lurus pada poster besar iklan bank yang terpampang di stasiun. Tampak bibirnya sedikit bergetar-getar, mungkin nggerundel, mungkin juga karena sakit atau…, entahlah. Kalaupun aku bisa mendengar suaranya, mustahil aku memahami bahasanya. Kereta datang. Kami berjajar. Pintu terbuka. Penumpang keluar. Kami masuk. Ada yang dapat tempat duduk, aku pilih berdiri. Embusan sejuk pendingin udara. Pintu tertutup. Kereta menderu. Aku mengantuk. Aku terjaga tiba-tiba karena kurasakan seseorang menggoyang-goyang lenganku. Kulihat, si kakek itu ada di sampingku. Dia berkata,” ABCD EFGHIJ.” ”What? Mmm…, sorry?” Dia, rasa-rasanya, mengulangi lagi ucapannya yang tentunya menggunakan bahasa Mandarin. Sekali lagi aku hanya senyum-senyum bego karena sama sekali tak paham. Akan tetapi, agaknya si engkong ini berusaha sekali agar aku memahami apa yang dia ucapkan. Tangannya mulai melayang-layang, membentuk garis-garis yang dibiarkan membekas di udara, agar aku bisa menafsirkannya. Ada lingkaran, mungkin. Ada garis meliukliuk, ada gerakan sentrifugal yang diakhiri dengan titik tengah. Lalu jemarinya bergesekan satu sama lain: uang! Itu saja yang kupahami, masalah uang! Edan! Mengapa uang adalah bahasa dunia? "You want money?" ucapku dengan bahasa Inggris sekenanya, seraya merogoh uang kecil di saku. Dia segera menolak. Menolak? Berarti dia tidak butuh uang, tetapi jelas dia bicara soal uang.



"Percakapan" singkat itu berakhir karena aku harus turun di stasiun City Hall. Aku bergegas menyelinap di antara mereka yang juga tergesa-gesa. Di stasiun transit ini, banyak sekali manusia. Aku mencari pintu yang mengarah ke Marina Square. Muncul ke "permukaan tanah", kutemukan cahaya matahari siang yang berusaha keras menembus mendung Desember. Bangunan-bangunan menjulang menyapaku dingin. Taksi 58



berseliweran di antara kendaraan pribadi dan bus kota. Aspal yang steril, hitam, dan berkilat. Antara stasiun dan Marina Square terdapat sebuah taman berumput hijau. Ada tugu memorial yang "tumbuh" di antara kehijauan rumput dan pepohonan paru-paru kota. Aku melintasi memorial park dengan langkah tergesa. Kurasakan aku mengalir saja bagai angin, tak memedulikan seliweran kendaraan, manusia lalu-lalang, dan semua kejadian yang terjadi saat itu. Pikiranku masih saja tertuju pada si engkong yang sama sekali tak kupahami kata-katanya, tetapi menyisipkan pengertian tertentu pada diriku. Kepalanya yang nyaris botak, berkilat-kilat di sela ubannya yang jarang. Wajahnya yang keriput, terlalu banyak untuk usianya–barangkali, serta postur bungkuknya yang kurus kering itu, begitu melekat. Aneh. Karena sosok yang demikian itu bisa kujumpai di mana pun di Jakarta. Sosok yang tidak asing lagi, yang tak perlu dipikirkan. Dulu di Surabaya aku juga punya tetangga yang kurang lebih sama sosoknya dengan si engkong ini. Malah, dia yang rumahnya persis di belakang rumah kami, selalu sarapan di rumah kami–karena dia sudah tak punya siapa-siapa lagi. Bahkan, seingatku, ketika dia meninggal, romo yang mengurusi semuanya, termasuk urusan pemakamannya. Dan seingatku, romo juga pernah bercerita bahwa di jaman perang kemerdekaan dulu, dia juga ikut angkat senjata bersama pemuda-pemuda lainnya (dan karenanya dia "dikucilkan" oleh familinya sehingga akhirnya memutuskan diri tinggal di kampung Manyar). Artinya, tetanggaku itu jauh lebih mendarah-daging hubungannya denganku ketimbang si engkong yang baru kutemui di MRT ini. Tetapi mengapa dia begitu membekas? Kakiku berada di memorial park. Agak nyaman juga berada di keteduhan yang tak seberapa ini. Burung-burung–yang kuduga burung gagak, atau sejenisnya, aku tak pasti– beterbangan di sana. Hinggap di dahan-dahan, ber-ceret ramai di antara kicau burung yang lainnya, mengisi siang di taman itu. Bersih. Sedap di mata. Hijau. Segar. Itulah yang kurasakan. Sebenarnya, Taman Monas bisa saja seperti ini, bahkan sebenarnya Monas lebih hijau dan rimbun. Akan teapi, aku tak pernah tersentuh perasaan seperti ini, di sana. Karenanya, betapa terkejutnya aku ketika mataku tertumbuk pada sosok yang tengah jongkok di salah satu sudut taman, di bawah salah satu pohon rimbun. Itu si engkong! Bagaimana mungkin? Bukankah tadi dia ada di belakangku? Atau malah dia ikut kereta bawah tanah itu, entah ke stasiun mana? Mengapa dia tiba-tiba ada di tengah taman? Secara logika, kalaupun dia searah denganku, pasti dia masih di tangga menuju ”permukaan tanah” di stasiun itu, wong jalannya sudah terseok-seok. Dia tiba-tiba sudah ada di taman ini, yang artinya beberapa kali lebih cepat dari langkah kakiku. Bagaimana mungkin? Masak dia terbang? 59



Aku penasaran dan kudekati dia, sekadar memastikan apakah dia itu si ”Dia” atau orang lain yang mungkin saja mirip. "Gile lu!!!" dia teriak senang. Dia segera bangkit menyambutku dengan muncratan kata-katanya yang tak kupahami benar. Dia rupa-rupanya bercerita tentang seekor burung yang tergeletak di depannya itu. Aku tahu bahwa dia bercerita tentang burung yang masih tergeletak itu dari caranya menunjuk-nunjuk dan garis-garis tangannya yang kurus itu di udara. Dari ekspresinya aku jadi mengerti bahwa dia sedang duduk di taman itu, taman yang dia sukai, tiba-tiba ada burung terbang oleng, menabrak pohon, dan jatuh tepat di hadapannya. Menurutnya juga, burung itu terbang dari tempat yang sangat jauh, kelelahan, dan terluka di bagian dadanya. Katanya kena tembak, tapi tak kulihat luka menganga. Lantas si engkong mengumpulkan daun-daun yang ada di sekitar tempat itu. Dia mengobati burung itu dengan kunyahan daun lalu cairan kunyahannya dia masukkan ke dalam mulut si burung. Ajaib! Burung yang sudah sekarat itu mulai bergerak-gerak dan keinginannya untuk hidup menyala kembali. Si Engkong senang, karena di usianya yang sudah lanjut itu dia masih bisa memberi "kehidupan" bagi makhluk lain. Itulah yang bisa kutangkap dari semua bunyi dan gerakan tangan serta ekspresinya. Aku tertegun dan itu membuatku bisu beberapa saat. Mataku terpaku pada burung yang mulai berjalan dan masih terjengkang-jengkang, tetapi makin lama makin kuat itu. Mataku masih terpaku padanya sampai bisa kusaksikan sendiri dia terbang ke salah satu dahan di balik rimbunnya dedaunan. Desahan napasku terhembus keluar. Lega sekali. Si Engkong terkekeh. Aku mulai senang dengan si gaek ini. "Name...name.. Lanang," kataku sambil menunjuk-nunjuk dadaku sendiri. Dia mengangguk-angguk lagi, tanda paham. "You? Your name?" tanyaku sambil menunjuk-nunjuk dirinya. Dia memandang sesaat dengan mata rabunnya. Lalu, seraya mengibas-ngibaskan lengannya, dia terkekeh-kekeh geli. Kuulangi lagi pertanyaanku dan sekali lagi dia mengulangi gerakan dan kekeh tawanya. Mungkin dia tak mau menyebutkan namanya. Untuk apa, mungkin. Aku menjawab reaksinya, juga dengan tawa lebar. Kami jadi terkakak-kekeh di siang bolong. Sempat kusaksikan orang-orang memandang ke arahku dengan pandangan curiga. "Aku arep tuku buku dhisik, yo, Mbah…," candaku pamitan sambil tertawa dan menunjuk ke Marina Square. Dia terkekeh makin geli dan membuatku semakin geli lantaran 60



melihat mulutnya yang ompong itu. Entah dia mengerti atau tidak, yang penting aku berkata sebenarnya kepadanya. "Bye! Kapan-kapan ketemu maneh…," kataku sambil melambaikan tangan. Dia juga melambaikan tangan, yang lalu diusap-usapkannya ke gundul kepalanya. Aku sendiri merasa geli dengan adegan ini. Bagaimana mungkin dua orang yang saling tak memahami bahasa masing-masing bisa berkomunikasi seperti ini? Gila!



***** Di Page-One, sebuah toko buku khusus untuk art, aku mulai mencari-cari judul yang dipesan Milly. Toko yang berada di sebuah "kota dunia" dengan desain rak buku miring-miring dan menimbulkan kesan bahwa ruang itu jadi tidak "rata", membuatku betah membaca-baca atau sekadar melihat-lihat. Sementara bau dupa cukup menyengat hidung, bersumber dari salah satu sudut toko. Aneh memang. Beberapa pemuda, yang kuduga mahasiswa, jongkok mengerumuni sebuah buku desain. Beberapa orang lagi mondar-mandir mengamati buku. Ada juga yang sibuk memilihmilih kartu pos yang memang mengagumkan. Sementara, bau dupa membuatku sedikit pusing. Aku mencoba bertahan karena buku yang kucari belum kutemukan. Ketika otakku terisi penuh oleh kekaguman akan keserba-adaan toko ini, mataku tertumbuk pada salah satu celah di antara dua rak buku. Si Engkong itu kulihat sedang terbenam di sebuah halaman buku! Aku tak percaya. Ini manusia aneh. Barangkali malaikat. Entahlah. Kudekati dia. Bersamaan dengan itu seseorang membawa setumpuk buku berjalan ke arahku dan karena terkejut, aku tanpa sengaja menabraknya. Sambil minta maaf berkali-kali, aku membantu dia menyusun buku-bukunya. Lalu segera kucari si Engkong dan dia sudah tak ada di tempatnya semula. Raib entah ke mana. Clingak-clinguk aku mencari kakek yang sakti itu, tapi tetap saja tak kutemukan. Aku segera ke pintu, keluar dan mencoba mencari seorang kakek bongkok di antara puluhan, mungkin ratusan, orang yang ada di Marina Square. Jelas sia-sia. Karena penasaran, aku mencoba mencari dia. Setengah berlari aku menerobos orangorang. Ke lantai atas lagi, melihat ke bawah kalau-kalau dia ada di antara mereka. Tak ada. Sekilas mataku melihat dia masuk ke "Habitat", kukejar dia ke sana. Yang kujumpai hanyalah kelengangan. Dan karena malu pada penjaga tokonya, aku pura-pura melihat-lihat aneka benda-benda artistik yang memang cantik-cantik itu. Sengaja aku menuju arah keramik, dengan ratusan desain pecah-belahnya yang apik-apik itu. Tak ada. Kembali ke depan ke lokasi 61



frame dan cermin. Kupandangi desain-desainnya satu demi satu, sebenarnya hanya pura-pura, tapi tetap saja tak kujumpai. Pencarian yang sia-sia sebenarnya. Namun, bagaimana mungkin aku hanya berhenti sampai di sini? Apakah aku harus menyerah, sebagaimana yang selama ini kulakukan? Pekerjaan yang kulakukan, kurasakan tak pernah selesai, selalu terbengkalai, mandheg di tengah, kacel; mentah tidak, matang pun belum. Ini sebenarnya yang lebih memberiku dorongan untuk mencari si engkong yang bikin penasaran itu. Lain tidak. Aku harus membunuh kebiasaan lamaku, menyerah sebelum dapat kuselesaikan satu masalah hingga tuntas. Sudah lama aku menyadari kelemahanku itu tapi entah mengapa aku masih saja dililit keengganan untuk mengubahnya. Siang, matahari akan menyelesaikan tugasnya hingga menenggelamkan diri di kaki langit barat. Bulan akan bersinar dan menuntaskan tugasnya sampai pagi, untuk akhirnya pudar diterangi matahari. Lebah-lebah terus bekerja mencari madu, semut akan terus membangun sarangnya, rayap akan terus menggerogoti kayu, tapi aku? Apa yang sudah kulakukan, yang membuat orang lain mengakui bahwa aku sudah menyelesaikan sebuah pekerjaan atau tugas yang pantas? Rasanya, seumur hidupku aku belum pernah merasakan benar-benar menyelesaikan sebuah pekerjaan! Rasanya yang selama ini kulakukan hanyalah "membuka" jalan dan menyerahkan penyelesaiannya pada orang lain, yang kemudian menghasilkan sesuatu yang sama sekali berbeda dari yang kubayangkan pada awalnya. Apakah ini bisa dikatakan sebuah penyelesaian? Anehnya, banyak orang menganggap aku adalah orang yang istimewa. Mungkin ini hanyalah lamisan atau "pemerah bibir" saja, atau malah sebuah sinisme terselubung. Entahlah. Orang istimewa macam apakah aku ini jika untuk sebuah pekerjaan sekecil ini saja aku tak sanggup menyelesaikannya? Di mana sih kamu, Mbah? "Lagi apa ?" tiba-tiba nada suara yang khas itu berbisik di telingaku. Karena terkejut aku segera menoleh ke arah suara itu, dan kudapatkan wajah berkeriput dengan mulut ompong, mlengèh di hadapanku. "Wah, si Mbah ki, tak golèki nganti munyer... Ke mana aja, sih?" Dia makin terpingkal-pingkal. Dia tak bermaksud buruk, hanya sekadar bercanda. Itu kupahami dari gerak tubuh dan ekspresinya yang tulus. Kami kemudian turun dan menuju sebuah kedai kopi. Kami makan dan minum. Kami hanya diam. Hanya sesekali saling pandang dan melempar senyum. Tak ada sepatah pun kata terucap dari mulut kami, tapi aku merasakan kehangatan mengalir di antara kami. Lelaki tua itu yang tak begitu kukenal seolah-olah adalah bagian dari 62



hidupku yang hilang entah ke mana. Aku jadi bisa menemukan kembali apa yang selama ini lenyap. Kehangatan dan duduk dalam kesunyian yang tak dibuat-buat, yang selama ini seakanakan "ditabukan" oleh orang sekelilingku. Selama ini aku tak punya waktu untuk diam dan hanya duduk mengalirkan diriku sendiri ke dalam alur pikiranku. Selama ini, setiap kali aku duduk bersama orang lain, aku harus memberikan kata-kata, entah dusta, entah sebenarnya, yang jelas aku harus bicara dan bicara. Seolah "bicara" adalah kata kunci untuk segala-galanya. Seolah "bicara" adalah sebuah nilai seseorang dalam hidupnya di dunia, dan "diam" adalah ketiadaan nilai tersebut. Ini sungguh-sungguh menyesakkan napasku. Aku ingin sekali duduk berdua dan diam. Diam dan hanya diam, membiarkan aliran pikiranku melonjak-lonjak, jejingkrakan liar, bebas, lepas.. meraup awan-awan tanpa beban, menyatu dengan udara tanpa batas ruang dan waktu. Meluncur, menembusi berbagai relung kemungkinan, nakal, mungkin, tetapi murni bagai kanak-kanak mengeksplorasi dunia yang serba baru baginya, tak kenal perhitungan "akal sehat", tak acuh pada "untung-rugi", mengalir dan mengalir dari satu hal ke hal yang lain dengan kekaguman yang murni, tulus, dan kegembiraan yang sungguh-sungguh. Itu yang kurindukan dan kudapatkan dari si Engkong yang namanya dirahasiakannya dariku ini. *** Kumasukkan koin 1 dolar, lalu kutekan angka 80 sen. Tiket keluar dan kembalian 2 keping 10 sen-an gemlithik di box kembalian. Kereta datang. Kami berjajar. Pintu terbuka. Penumpang keluar. Kami masuk. Ada yang dapat tempat duduk, aku pilih berdiri. Embusan sejuk pendingin udara. Pintu tertutup. Kereta menderu. Aku merasakan getaran yang sudah kukenali benar. Aku memasuki duniaku kembali dan mempersiapkan segalanya seperti yang sudah-sudah dan selama ini kukerjakan. Di kaca MRT membayang wajah si Engkong, mlengeh terkekeh. Baru aku ingat, aku lupa pesanan Milly. Bapindo Plaza, lt. 25.



Saya, Anjing… (gambar 10) ”Saya adalah seekor anjing,” katanya membuka pembicaraan kami. Aku hanya tercekam. Diam dan ketakutan mendengar penuturannya yang spontan ini. 63



Dia adalah laki-laki yang tinggal di ujung gang. Tak pernah ada yang mau bicara kepadanya, sebelumnya. Kata tetangga sebelah, laki-laki itu agak gila semenjak istrinya meninggal. Menurut orang-orang yang sudah tinggal jauh lebih lama daripada kami, lebih seram lagi. Katanya, dia pernah makan orang. Benar-benar daging orang. Ceritanya, dia dulu pernah belajar ”ilmu” kepada seorang ajengan di Banten. Entah karena ”tidak kuat” atau bagaimana, otaknya agak ”keseleo”, jadilah dia orang yang gila itu. Itu kata mereka yang tinggal lebih dulu daripada aku dan menjadi tetangganya cukup lama. Memang, kalau dilihat dari rumahnya, kita akan segera menganggap bahwa rumah itu tanpa penghuni. Halaman rumahnya yang kecil itu ditumbuhi alang-alang sepinggang. Tembok dekat pintu depan retak, nyaris jebol. Pintunya sudah sangat reot, mungkin seekor tikus pun sanggup merobohkannya. Warna kapur di temboknya sudah tak bisa dikenali lagi karena kebanyakan ditumbuhi lumut. Belum lagi genting-genting yang sudah pada melorot tak beraturan itu. Papan-papan bergelantungan, hitam dan sangat lapuk, menambah kesan bahwa rumah itu memang tanpa penghuni. Para pencatat listrik dari PLN sudah lama tak muncul, karena memang listrik di rumah itu sudah lama dicabut. ”Pada malam-malam tertentu, dia melolong kaya’ anjing, Pak” begitu kata Pak Muklis, orang yang rumahnya kebetulan berdekatan dengan rumah ”hantu” itu. ”Ah, kali’ memang lagi ada anjing kawin...,” kataku dengan nada bercanda. ”Yaaah, Bapak kagak percaya. Biasanya, nih.. malem Kliwon.. dia melolong kaya’ anjing. Kuping saya, kan, belum budek, Pak.. Jelas banget... dari rumah dia...” Aku diam saja mendengar komentar Pak Muklis, namun terus terang, aku sendiri masih ragu. *** Suatu kali sepulang kantor, aku mendapat serbuan laporan dari anak dan istri, serta pembantuku. Mereka ribut, panik, dan ketakutan. Aku sendiri jadi tak tenang. ”Ada apa, sih?” tanyaku mencoba menenangkan situasi. ”Tadi ada orang gila, Pa..” kata si kecil, yang baru kelas tiga SD. ”Iya, Pa.. orangnya .. tua..” tambah kakaknya. ”Apa salahnya orang gila yang tua. Yang penting kalian diganggu, nggak?” tanyaku sambil sok tak peduli, meskipun aku sudah langsung tahu bahwa yang mereka maksud adalah orang gila di ujung gang itu. ”Nggak, sih... cuma, kan, takut aja, Mas...,” istriku yang menjawab. ”Gimana, ceritanya?” tanyaku sambil melepaskan sepatu.



64



”Iya... tadi itu, waktu Adi bangun bobok, Adi lihat dia berdiri di tengah jalan situ... matanya melototin rumah kita,” si kecil dengan pipinya yang tambun nyerocos seolah-olah dia diserang macan. Aku menanggapinya sambil ngakak. ”Udah? Cuma melototin, kan? Nggak ngelempar apa-apa, kan?” ”Nggak, sih... cuma kan... nggak enak juga. Ngapain, coba, dia melototin rumah kita?” sambung kakaknya. Ini si dara yang sudah SMP kelas dua, biasanya paling tak acuh pada orang, kini tak mau kalah dari adiknya. ”Yaaa, barangkali dia kagum sama rumah kita... kok, bagus, ada bunga-bunganya... ada sarang tawonnya... ada... anak kecil yang pipinya gemuk...,” candaku yang membuat si kecil tertawa senang. ”Sudahlah. Nggak apa-apa, kok... kebetulan aja dia melototin rumah kita, mungkin aja dia lagi mikir soal lain lagi.” *** Malamnya, aku terbangun karena mendengar ada orang merintih-rintih. Kami, maksudku, aku dan istriku, terbangun sekitar pukul 2 malam. Sengaja aku tidak membangunkan anak-anak, kasihan kalau mereka harus diserang rasa takut lagi, besok adalah hari sekolah. Dengan mengendap-endap aku mencoba mencari tahu suara siapa yang merintih-rintih begitu dekat itu. Ternyata, di dekat jendela samping, kulihat seorang laki-laki menggeletak. Suasana memang remang-remang, karena si Nah agaknya lupa menyalakan lampu samping. Segera kunyalakan dan kulihat seorang laki-laki yang sekilas terkejut, namun kembali mengerang-ngerang. Kali ini malah minta ampun berkali-kali. Karena gaduh, bukan hanya seisi rumah yang bangun, tapi tetangga dan Pak Hansip pun masuk ke halaman rumah kami. Dia--laki-laki yang meraung-raung itu-- sebenarnya bermaksud mencuri. Itu pengakuannya di pos hansip. Namun, katanya lagi, entah kenapa, tibatiba dia diserang anjing kami. Dia merasa digigit sampai parah, namun kami yang melihat sendiri kondisi tubuhnya, tak menyaksikan luka sekecil jarum pun di tubuhnya. *** ”Anjing?” tanya istriku, sama kagetnya dengan reaksiku di pos hansip. ”Iya.. masak dia bohong... itu kan spontan....” ”Tapi, kita kan tidak memelihara anjing....” *** Beberapa hari kemudian, kebetulan aku cuti. Aku masih penasaran soal anjing yang menyerang pencuri beberapa malam yang lalu itu. Dan, otakku langsung menghubungkannya dengan laki-laki tua yang gila di ujung gang. Entah mengapa, aku merasa yakin sekali bahwa 65



dialah yang menyelamatkan rumah kami dari pencuri itu, dan karenanya, kau merasa wajib mengucapkan terima kasih kepadanya. Tak sulit menemukan rumahnya. Agak tegang juga sewaktu kakiku melangkah memasuki halaman berilalang itu. ”Ada apa, Pak?” suara tetangga yang setengah berbisik, curiga menyaksikan aku memasuki rumah ”hantu” itu. ”Nggak... ada perlu sedikit sama yang punya rumah,” jawabku kalem. Pintu yang kusangka akan roboh bila diseruduk tikus itu, ternyata jauh lebih kokoh daripada dugaanku. Entah mengapa, ini melegakan perasaanku. Engsel pintu berkarat, mengeluarkan teriakan menusuk kuping. ”Silakan masuk....,” sebuah suara parau dari dalam menyambutku penuh nada keramahan. Ah.. dia seperti aku juga, artinya tak perlu ada yang ditakutkan. ”Maaf, saya kira tak ada orang...,” ucapku membuka pembicaraan. Dia diam saja. Lantai rumahnya lembab, bahkan di sana-sini ada kubangan-kubangan air bocoran dari atap, dibiarkan menggenang begitu saja. Setelah melangkah memasuki rumah, barulah kutemui seorang laki-laki duduk di sebuah kursi jebol sambil melipat kaki, mirip orang kedinginan. ”Maaf... Anda tak bisa duduk. Hanya ada satu kursi di rumah ini... dan... saya tak kuat lama-lama berdiri...,” katanya mencoba ramah. Aku hanya tersenyum. ”Saya kemari mau berterima kasih pada Bapak. Malam itu Bapak menggagalkan pencurian di rumah saya.” Dia terdiam sejenak, lalu tertawa tergelak-gelak. Begitu serunya dia tertawa, sampaisampai kerongkongannya kering dan dia terbatuk-batuk. ”Tak salah... tak salah dugaan saya... Bapak bisa langsung menebak siapa yang ada di sana malam itu... hahaha....” Aku masih tercengang dibekap kebingungan, ketika tiba-tiba dia mencengkeram kedua lenganku. Kekuatannya sungguh luar biasa. Aku bahkan tak bisa menggerakkan ujung jariku. Seluruh syarafku, rasanya terkena tenaga gaib sehingga tak mampu melakukan gerakan apaapa. Hanya jantungku yang kurasakan makin memberontak. ”Tolong aku... tolonglah aku...hanya kau yang bisa menolongku...,” ucapnya seraya menangis. ”T... tt... tapi... le...lepaskan dulu....”



66



Dia seperti tersadar dan segera meloloskanku dari cengkeramannya yang kuat. Lalu, dia duduk di sudut rumah yang basah, menutupi kepalanya dan menangis tersedu-sedu. ”Saya, adalah... anjing...,” ucapnya di sela-sela tangisnya. Itulah awal pertemuanku dengan laki-laki itu. *** Atas permintaannya pula aku tak bercerita kepada siapa-siapa. Namun, permintaannya yang satu lagi membuatku ketakutan. Dia meminta pertolongan kepadaku agar aku mau membunuhnya! Bagaimana mungkin aku membunuh manusia? Ini permintaan gila, dan membuatku gila. Dia menangis menceritakan bahwa hanya akulah yang bisa melakukan hal itu. Dia sudah bosan hidup terkutuk menjadi seekor anjing. ”Kau tidak ’membunuh’... kau justru melepaskanku dari jeruji kutukan ini... Seratus tahun, aku berkelana mencari orang yang bisa melakukannya.. tapi baru sekarang, baru kaulah yang kutemukan...,” ujarnya pada beberapa malam kemudian, kepadaku. Dia menjadi begitu bergairah, seolah memiliki semangat hidup yang menyala-nayala ketika menemuiku. ”Lakukanlah... lakukanlah demi rasa kemanusiaanmu... siapa yang mau menjadi seekor anjing? Tidakkah kau merasa kasihan pada seseorang yang beratus tahun terjeruji di dalam kutukan? Aku ingin menikmati kematianku sebagai manusia, bukan sebagai binatang... aku ingin hidupku bersih dan tidak menjadi makhluk hina yang selalu harus patuh kepada ’tuannya’ ini. Makhluk yang harus bisa ’menjilat’... ’cari muka’. Oh... aku tak mau lagi hidup seperti itu... dan harapanku... harapanku hanyalah kau. Hanya kau yang bisa melakukannya..” pintanya dengan air mata berlinangan. Wajahnya mengingatkanku pada wajah kakek almarhum. Begitu polos, bersih dan tulus. Dengan masih menyimpan rasa takut, aku mencoba bertanya, mengapa dia begitu yakin bahwa aku adalah orang yang ’tepat’. Dia menceritakan sebuah kisah panjang. Bahwa pada suatu masa, di tanah Jawa, ada seorang bernama Lampit. Dia dikenal pendiam. Tak banyak bicara dan sangat setia kepada majikannya. Dia bekerja pada seorang raja yang sangat bijaksana. Pada suatu hari, sang Raja mendapat serangan dari musuhnya, namun karena kesaktiannya, musuh tak bisa mengalahkannya. Musuh mempunyai muslihat dengan mempergunakan Lampit–yang tak begitu diperhatikan tuannya–untuk mencari rahasia kelemahan lawannya. Lampit tergiur oleh hadiah dan berkhianat.



Raja itu terbunuh dan sebelum



mengembuskan nafasnya yang terakhir, dia mengutuk Lampit menjadi seekor anjing. 67



”Lampit adalah nenek moyangku... dan kutukan itu baru berakhir setelah aku bisa menjumpai



seseorang



yang



sangat



membenci



penjilat...



dan...



beruntunglah



aku



menemukanmu.” Aku semakin tertegun mendengar penuturannya. Mulutku terkunci dan pikiranku blingsatan kemana-mana. ”Jangan mengada-ada, Pak...,” kataku mencoba mengelak. ”Kalau memang aku mengada-ada, lalu mengapa kau langsung ke rumahku pagi hari itu?” dia menikamku dengan pertanyaan yang tajam. Kembali aku terdiam. ”Aku tidak mengada-ada.. sulit dipercaya, memang, tapi aku tidak mengada-ada....” ”Tapi bagaimana saya bisa membunuh seseorang?” ulangku seperti bicara pada diri sendiri. ”Ingat kau tidak membunuh ’manusia’... kau hanyalah melenyapkan sebagian dari sifat buruk yang merupakan kutukan turun-temurun, dan hanyalah kebetulan bahwa sifat buruk itu ’berwujud’, bisa dilihat dan diraba.. hidup seperti halnya pohon, bunga, dan setiap makhluk hidup di dunia ini.. Kau bisa melakukannya, kalau kau mau menolongku, cukup dengan sebilah golok biasa... ini...,” katanya seraya melolos sebilah golok, yang entah sejak tadi disembunyikan di mana. Sebelum otakku mampu memerintahkan sesuatu, golok itu sudah beralih ke genggamanku. Dan detik berikutnya... *** Tetangga datang menghambur ke rumah itu. Katanya dia mendengar seseorang berteriak kuat sekali dan kesakitan. Ada yang kebetulan menyaksikan kehadiranku, rupanya, dan segera menyangka akulah yang mendapat celaka. Mereka bersyukur bahwa aku berhasil membunuh orang gila itu. ”Bapak, sih... pakai berani-beranian dateng.... Kan, sudah saya bilangin kalau dia gila. Untung Bapak bisa ngalahin dia, nah kalau kagak... pegimana?” ucap Pak Muklis sambil memapahku keluar rumah. *** Entah bagaimana orang-orang bersaksi kepada polisi, yang jelas polisi hanya memastikan bahwa aku benar-benar selamat. Tak ada tuduhan pembunuhan atau sejenisnya. Aku hanya diam. Semakin hari, pikiranku semakin kalut memikirkan semua yang terjadi begitu dahsyat itu. Istriku cemas, anak-anakku sedih, karena aku jatuh sakit.



68



Aku masih ingat kalimat terakhirnya,” Sebenarnya, kau kupilih, selain karena kau memang memiliki kekuatan ’bukan penjilat’... sebenarnya... di dalam tubuhmu ada arus yang sama, yang ’mengalir’ turun temurun dan terhenti pada dirimu... kaulah orang ’terakhir’ itu....” Aku meraung di bawah tekanan hawa panas dan sakit kepala yang berat ini. Sayup-sayup kudengar istriku bicara pada pembantu agar mengusir anjing yang melolong-lolong di depan pintu. Sayup-sayup juga kudengar si Nah menjawab, bahwa tak seekor anjing pun dilihatnya di sana!



Kuda Kayu Bersayap (gambar 11)



Komidi putar itu masih saja berputar. Kuda-kuda kayu yang naik turun dengan anakanak riang di punggungnya itu, sungguh-sungguh menciptakan warna-warni kegembiraan kanak-kanak. Kusaksikan anakku berada di antara mereka dengan sebaris giginya yang putih bersih, menebarkan kegembiraan hatinya. Seolah dia ingin membagi suka dan melupakan duka. Mereka seakan berada di punggung kuda dongeng yang akan membawa mereka terbang ke awan-awan kebebasan tanpa batas.



Lampunya yang gemerlapan, silih berganti menerangi wajahku. Merah, kuning, hijau, biru, bergantian mengoleskan nuansanya ke wajahku. Sesekali aku membalas lambaian tangan anakku, yang tak henti-hentinya tertawa riang. Gelak tawanya timbul tenggelam di antara alunan musik yang mengiringi komidi putar itu. Sekali dia melintas, kemudian menjauh, menghilang ke sisi sebelah sana, lalu muncul lagi, melintasiku, dan menghilang lagi. Begitu berulang-ulang.



Kepalaku terasa pening. Sesekali kupijit keningku. ”Masih pusing, ya?” bisik Nina, istriku. Ada nada khawatir di suaranya. ”Sedikit,” jawabku singkat.



Nina diam, tapi aku tahu dia pasti merasakan sesuatu yang–entah mengapa–masih saja muncul dalam pikiranku. Tangannya yang masih selembut dulu, tiba-tiba meremas jemari



69



tanganku. ”Dingin sekali. Masuk angin, ya? Kenapa tadi pergi, kalau tahu badanmu nggak enak?”



”Nggak apa-apa, kok….”



”Kalau tahu begini, kan , bisa aku yang ngajak Rani. Mas, kan , bisa istirahat di rumah.” ”Sudahlah, nggak apa-apa, kok.”“



Nina cuma menghela napas. Kupandangi wajahnya. Dan, matanya yang bulat jernih itu menatapku khawatir. Ingin aku menciumnya saat itu juga untuk menghapus kekhawatirannya. Namun, kurasa sebuah ciuman tak akan menghapus rasa was-was yang telah menahun di pelupuk matanya.



Sambil memandangi bidadariku yang timbul tenggelam di antara keriangannya di punggung kuda kayu itu, kupeluk Nina. Kudekap erat dia. Entah mengapa, aku diserang rasa khawatir yang aneh.



Kekhawatiran yang sama seperti yang kurasakan ketika malam itu kami harus menyisir kawasan hutan di timur kota. Di sana yang kami temui hanyalah kegelapan penuh teka-teki. Hitam menganga yang bisa menciptakan apa saja. Kepekatan yang bisa saja mengubah kesunyian menjadi pesta ledakan mesiu. Di sini pula, dua hari yang lalu, Trisno tewas. Anak Kediri itu, baru sebulan ditugaskan di sini dan harus ikut patroli rutin. Dia dihajar peluru tanpa pernah sempat mengucapkan sepotong kata pun.



Meskipun dalam kondisi yang harus selalu siaga dan nyaris tak punya kesempatan ngobrol, aku dan Trisno sempat akrab. Dia ternyata tak tahan melihat darah. Aku ngakak dan mengatakan bahwa dia telah salah memilih karier sebagai tentara. ”Ya, mbuh, Mas.. saya tidak pernah bercita-cita, apalagi memilih karier di sini,” jawabnya kalem, sekalem penampilannya.



Di kesempatan lain, ketika kami patroli, dia juga bercerita bahwa pacarnya sudah dipinang dan bulan berikutnya, katanya, dia akan menikah. Tapi, karena mendadak ditugaskan, semuanya batal. Tahun lalu, di baraknya, pada tengah malam buta dia dibangunkan dan 70



berkemas dalam tempo lima menit, langsung duduk di truk yang telah siaga. Tanpa diberi tahu harus ke mana, Trisno memanggul senjata dan ransel berisi perbekalan seadanya. Yang dia rasakan, tiba-tiba dia dipindahkan ke sebuah pesawat yang segera terbang. Hanya kebisuan dan tanda tanya besar yang mengiringi keberangkatan mereka—seperti yang biasa kualami juga.



Setelah pindah entah berapa kali kendaraan, tahu-tahu dia diturunkan di suatu tempat yang asing baginya. Begitu fajar merekah, tuturnya, dia berada di kolong sebuah jembatan besar dan megah. Baru belakangan dia tahu bahwa saat itu dia berada di kolong SemanggiJakarta.



Jakarta, sebuah kota yang selama ini hanya ada di layar kaca televisi (jika dia sempat menonton), saat itu tengah menelannya bulat-bulat. Karena kelelahan, dia tertidur di kolong beralaskan koran dan tripleks seadanya. Dia terbangun karena komandan memberinya aba-aba. Dengan ”nyawa” yang belum sepenuhnya berkumpul, Trisno sudah harus siaga menghadapi lautan massa mahasiswa yang berteriak-teriak riuh. Sebuah batu yang menghantam wajahnya, membuatnya ”sadar” apa yang tengah dihadapinya saat itu.



Cerita selanjutnya adalah cerita kami semua. Siapa yang tak mengerti kelanjutan cerita itu. Saat itulah dia sempat menyaksikan seraut wajah yang dia ingat betul. Wajah seorang kawan sebangku di SD dulu dan belum lama menghilang dari kotanya, kabarnya menjadi kuli bangunan. Ada juga cerita si kawan menjadi sopir, entahlah, tapi yang jelas Trisno tahu persis bahwa dia tak pernah menjadi mahasiswa. Akan tetapi, di sore itu, wajah itu berjaket biru dan berteriak paling lantang di antara para mahasiswa, dan dengan kegagahannya segera melemparkan bom molotov ke arah barisan Trisno.



Mata mereka sempat beradu pandang dan kedua-duanya tertegun untuk beberapa saat. Lalu semuanya pecah, tumpah ruah, dan si kawan menghilang entah ke mana. Korban berjatuhan dan Trisno hanya termangu menyaksikan apa yang baru saja terjadi begitu cepat di depan matanya. Ketika malam tiba, barulah dia merasakan perutnya melilit kosong karena 24 jam belum terisi apa-apa.



Begitulah kisah Trisno yang malang itu. Malam nahas yang merenggut nyawanya itu, sebetulnya sudah kami duga. Kami sudah mencium di beberapa titik tertentu di batas desa ini,



71



bisa muncul serangan mendadak. Namun, sekali lagi, itu adalah malam nahas dan Trisno tewas, bahkan sebelum sempat mengenyam madu pernikahannya.



Pada hari berikutnya, aku dalam rombongan penyisiran. Kami sempat bentrok dan nyaris terbantai karena posisi kami terjepit. Rombongan orang bersenjata itu segera memberondong rekan-rekanku, sambil berteriak histeris. Salah seorang yang meringkusku sempat melukaiku dengan senjata tajam dan mengejek bahwa mereka tak akan terkalahkan hanya oleh serdadu semacam aku. Namun, sebelum semuanya terjadi, pasukan bantuan datang dan membuat mereka kalang kabut.



Kepada komandan di markas kulaporkan bahwa aku sempat mengenali wajah-wajah orang-orang itu dan kami putuskan untuk mengadakan serangan mendadak siang itu juga. Sangat mudah menemukan di mana mereka tinggal, dan aku menjumpai seraut wajah yang menorehkan ujung senjatanya ke wajahku. Namun, tak satu pun senjata kami temukan di rumah mereka. Dengan keluguan dan ketakutan mereka, mereka menyebut diri mereka petani yang tak tahu apa-apa.



Kepalaku mendadak pening dipenuhi oleh rasa marah dan frustrasi. Kucengkeram dia dan kuhempaskan di tanah. Kutunjukkan luka wajahku yang belum lagi kering oleh ujung senjatanya. Dia terkesiap sesaat namun dengan segera mengubah wajahnya menjadi petani lugu yang pasrah pada nasib.



Entah renteten peristiwa apa lagi yang kulalui bersama kawan-kawan, aku tak tahu. Bagiku sudah tak ada lagi bedanya mana petani mana pemberontak. Sama saja. Mereka akan membantai manakala kita tak membantainya. Membunuh dan dibunuh hanyalah sebuah kartu remi yang bisa kita mainkan setiap malam. Aku sudah tak begitu percaya lagi pada apa yang disebut kebenaran, karena dalam setiap hirupan napasku yang ada hanyalah kebohongan demi kebohongan. Entah pada malam yang keberapa aku sudah tak tahu lagi, kumuntahkan timahtimah panas pada gerombolan manusia itu secara membabi buta. Pertempuran itu merupakan insiden yang tak terelakkan, setelah markas polisi di kecamatan digranat dan beberapa orang yang berjaga tercacah sia-sia.



Aku juga akhirnya menerima nasib bahwa semua pengabdianku adalah sebuah kesiasiaan ketika dipecat tanpa rasa hormat. Kujalani hidupku sebagaimana orang yang pernah 72



menjalani rawat inap cukup lama di sebuah rumah sakit aneh. Kujalani semuanya dengan perasaan kosong dan nyaris tanpa gairah hidup, sampai beberapa hari yang lalu aku menyaksikan berita televisi.



Berita itu menyoroti kebrutalan peristiwa ketika aku terlibat di dalamnya dan yang menjadi korban adalah rakyat kecil. Salah satu saksi mata yang dengan berhujan tangis berkata di layar adalah orang yang kuhempaskan ke tanah; orang yang menyerangku dengan senjatanya. Rupanya dia sudah menjadi aktor sinetron yang layak mendapat Oscar!



Sejak itu, aku diserang demam dan mual-mual. Nina sempat membawaku ke dokter, tetapi dokter hanya menyarankan agar aku banyak-banyak istirahat. Dalam hati aku katakan kepada dokter itu bahwa penyakit yang kuderita ini bukanlah bidangnya. Dia terlalu bodoh untuk bisa mengetahui gejala penyakitku. Aku masih bersyukur bahwa aku memiliki Nina dan malaikat kecilku yang saat ini masih asyik tertawa riang di punggung kuda komidi putar itu.



Dalam perjalanan pulang, Rani, malaikat kecilku itu tertidur. Dalam pelukanku dia nyaman, entah bermimpi apa dia kali ini. Nina dengan kekhawatirannya yang belum reda, memeluk pinggangku. Kami berjalan perlahan menuju jalan besar dan mencari kendaraan pulang. Orang masih lalu-lalang dan keramaian masih akan terus berlangsung sampai dua atau tiga jam lagi. Di keriuhan itu, kami berjalan membisu. Aku enggan berbicara dan rupanya Nina tahu dan takut mengajakku bicara. Aku tengah mempersiapkan sebuah jawaban, bila nanti aku mendapat pertanyaan dari malaikat kecilku yang saat ini belum sekolah ini. Jawaban apa yang harus kusiapkan, apabila dia suatu kali nanti bertanya tentang ”kebenaran” peristiwa yang membawaku ke jalan ini? Dia yang sudah mulai ceriwis bertanya tentang mengapa kumbang hinggap di kembang, mengapa bintang berkelap-kelip, mengapa Ayah berkumis, mengapa ada orang mati, mengapa ini dan mengapa-mengapa yang lainnya, pasti akan bertanya mengapa Ayah membunuh orang. Aku tak tahu pasti jawaban apa yang harus kuberikan. Aku juga tak tahu apakah dia memiliki bayangan tentang apa itu pahlawan dan apa itu pengkhianat.



Pentingkah bagi dia, itu semua?



Kami berjalan dan berjalan sampai menemukan bajaj yang akan membawa kami pulang. Ketika istriku masuk dan siap menerima si kecil dari tanganku, tiba-tiba sesuatu terjadi. 73



Entah dari mana, empat lelaki bertubuh tegap langsung menyeretku, setelah sesaat sebelumnya menanyai namaku.



Ketika kujawab memang akulah orang yang ditanyakan itu, sebuah pukulan menekuk tubuhku. Lalu tendangan dan entah apalagi menghajarku sampai aku tak bisa merasakan apaapa lagi, selain suasana tenang menghanyutkan.



Kurasakan diriku mengambang di udara dingin malam itu. Kusaksikan kuda-kuda kayu putih yang berada di komidi putar itu kini bergerak hidup, bahkan bersayap seperti Pegasus. Anak dan istriku duduk riang di punggungnya dan kuda itu melayang dengan kepakan sayapnya yang anggun, menembus mega-mega. Mereka tertawa, tetapi telingaku lamat-lamat menangkap isak tangis Nina dan entah suara apalagi.



Tiba-tiba aku menyadari diriku juga sedang berada di punggung kuda kayu yang lain, yang juga tengah membentangkan sayapnya menuju awan kebebasan, entah di mana tempatnya. Bukit Nusa Indah, 2000



Si Rambut Panjang Itu (gambar 12)



Kafe masih agak sunyi. Memang masih jam delapan pagi. Kupesan croissant dan secangkir kopi. Dolar masih 15 ribu, mau apa lagi? Beberapa orang datang dan beberapa lagi pergi. Ada yang menjinjing tas, ada yang melenggang dengan segulung koran pagi. Jakarta masih seperti beberapa bulan yang lalu. CNN masih saja membahas krisis yang tak habishabisnya melabrak ASIA. Jepang tegang, suhu mereka menghangat. Kemarin kusaksikan UMNO pun mulai mencoba merentangkan tangan, seakan merasakan pegal-pegal di persendiannya. Kembali ke koran pagi, masih saja banyak mulut berkomentar tentang ini dan itu, seakan adu gelembung busa yang tak habis-habisnya. Luar biasa memang, di mana-mana orang demam bicara. Semua menjadi mahasiswa ilmu ekonomi, sosial dan politik. Setiap sudut Jakarta, rasanya berubah menjadi ruang-ruang kuliah dan perdebatan sengit. Namun anehnya, aku merasa sunyi sendiri. Entah mengapa aku tak pernah tertarik untuk yang satu ini.



74



Sambil memandangi novel Romo Mangun, yang kebetulan beberapa minggu lalu dipinjam seorang kawan, aku merasakan kesunyian yang menyakitkan. Dan, terus terang, aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Berpikir pun rasanya aku sudah tak mampu lagi. Keadaan adalah ciptaan semua orang, semua menyalahkan keadaan, dan semua orang tak mau dipersalahkan. Aku yakin, banyak sekali kambing hitam yang akan dijadikan korban. Akan banyak lagi dan dengan mudahnya menempelkan tuduhan. Kuhirup kopi hangatku dan mulai kupotong croissant. Kunyalakan rokok. Kubiarkan asapnya mengepul, melenggok lesu di pagi berkabut. Kemarin hujan deras. Jalanan basah masih tersisa. Bahkan, di dedaunan, masih menempel sisa hujan. Kucium kesegarannya dari balik jendela kaca. Kafe ini sebenarnya cukup nyaman. Letaknya di sudut jalan yang tak terlalu ramai. Seratus meter dari tempatku duduk ada lapangan dan pohon akasia dengan bunganya yang kuning menabur apabila berbunga. Ada halte bis dan orang-orang yang menunggu bis datang, di sana. Di sebelah kiri, ada lapangan parkir yang masih kosong saat ini. Aspal hitamnya kelihatan bersih, dengan danau-danau kecil sisa hujan yang mengubang di sana-sini. Ada kursi taman satu–dua, di bawah pohon. Di dalam sini, suasananya cukup enak. Sebagian besar merupakan ruangan terbuka, sehingga tak perlu pendingin udara. Percakapan kecil terdengar di sana-sini, dengan pembicaraan hanya sekitar dua hal: ekonomi dan piala dunia. Lelaki muda–seusiaku, kukira–dengan rambut pendeknya dengan semangat seolah menjadi Davos Suker dari Tim Kroasia. Temannya yang agaknya pemuja Brazil, tetap yakin bahwa Ronaldo dan kawan-kawannya akan menjadi juara. Nama-nama bintang lapangan hijau itu meluncur bagai mitraliur pertempuran di Palestina, dari mulut kelompok yang asyik di sudut kiri ruangan ini. Kudengar mesin kasir berdenting dan suara gericik uang kembalian. Aku menoleh, kulihat seorang wanita berumur tiga puluh tahun–kukira–cantik semampai, berbaju merah redup, dengan rambut dikepang rapi dan dililitkan di kepalanya membentuk hiasan indah. Kurasa itulah daya tariknya. Bukan cuma wajah dan tubuhnya yang menawan, tetapi rambut yang diperlakukannya sedemikian rupa itu, yang membuatnya istimewa. Dan ternyata bukan cuma aku yang tersedot daya magnet tata rambutnya, para pelayan kafe ini pun berbisik dan berdecak kagum. Sempat kulihat seorang petugas cleaning service yang kebetulan membersihkan kaca jendela, seakan terhipnotis; tangannya yang memegang lap basah, berulang kali menggosok tembok.



75



Kuperkirakan pastilah rambut itu mencapai lutut dan lebat, hitam, lurus bagai serat sutra. Jika saja dia menjadi bintang iklan sampo, pastilah samponya laris manis tanjung kimpul; dagangan habis duitnya kumpul. Akan tetapi, memang, perempuan yang satu ini menyimpan kekuatan luar biasa. Ketika dia melangkah dari kasir, ada sebersit senyum dikulum yang ditujukan pada semuanya. Semua bisa menikmati sekaligus tak akan pernah bisa memiliki. Bahkan bangku-bangku kosong di sana-sini itu, aku yakin sekali, mereka bertaruh siapa di antara mereka yang akan memangku si molek ini. Pasti ada salah satu di antara mereka yang berbunga-bunga, tetapi yang jelas banyak yang kecewa. Beberapa lelaki berdasi yang tadi asyik sendiri dengan handphone-nya, bereaksi tak kalah konyolnya dengan petugas cleaning service itu. Gerakan langkahnya anggun teratur. Lalu duduk di kursi tak jauh dariku. Dia tiba-tiba menoleh ke arahku dan itu membuatku merasa konyol dan bodoh sekali. Aku tertangkap basah tengah mengaguminya diam-diam. Dia tersenyum dan aku mengalihkan pandangan ke penumpang di halte yang tengah berebutan bis datang. ”Pagi…,” sapanya dan itu segera memuntir leherku kembali memandangnya. Cangkir kopiku tersenggol tangan goblok yang tiba-tiba lepas kontrol ini. Nyaris tumpah dan nyaris membuatku basah kuyup oleh keringat dingin. ”P...p... pagi,” jawabku membeo. Belum lagi aku sadar bahwa nyawaku masih melekat di badan, dia berdiri dan pindah ke mejaku. Aku dengan ketololanku hanya diam. ”Nggak enak, duduk sendirian. Saya suka ngobrol, sih…. Eh, maaf, boleh, kan?” ucapnya ramah semringah, ceria menyala-nyala mencairkan kebekuanku sejak tadi. ”Oh,he-em… mm… boleh… boleh, silakan...” ”Nah… begini, kan enak. Saya Luna, panggil saja, Lulu…,” katanya sambil menjulurkan tangannya yang ramping indah bersih. ”Oh, mm... saya Roy, Roy Avisena.” Terasa konyol sekali ucapanku. Entahlah, aku belum pernah mengutuki diri sendiri seperti ini. ”Wah, Mas Roy, Anda stockbroker? “ ”Apa saya punya tampang begitu?” ”Lantas apa, dong?” ”Pengacara.” ”Pengacara? Cool.” “Pengangguran banyak acara,” ucapku sambil meledakkan tawa. Dia diam sesaat lalu berusaha mengimbangi tawaku dengan senyum yang penuh pemahaman. Aku terlambat 76



menyadari bahwa aku tertawa terlalu keras dan over acting. Aku merasa diriku jadi anak SMA lagi. Goblok, tolol, dan konyol. Bagaimana mungkin aku bisa mengucapkan joke tolol semacam itu? Aku langsung terdiam dan merasa malu. Tidak seharusnya aku memperolok diriku seperti itu. Siapakah dia? Orang yang baru kukenal lima menit di sini, di sebuah kafe. Pengangguran model apakah yang masih bisa minum-minum di kafe. “Kenapa?” dia seakan membaca pikiranku. ”Saya juga, kok. Itu kalau Anda tadi jujur, lho. Kecuali Anda hanya mencoba memecahkan kekakuan saja, lain soalnya. Sekarang siapa sih yang tidak takut terancam?” katanya dengan sungguh-sungguh. ”Mbak Lulu kerja di salah satu kantor di gedung ini?” ”Maksud Mas Roy, pernah bekerja di salah satu kantor di gedung ini?” ia tersenyum dan menatapku. ”Oh, maaf.” Terus terang aku bagai tersengat listrik. ”Ya.. tapi, kantor saya tutup. Habis, kami bergerak di bidang hardware, semuanya impor. Tahu sendirilah cerita berikutnya. Pimpinan nggak mau ambil resiko, kami di-phk dan kantor tutup. Selesai.” ”Tapi, kan banyak pesangon….” ”Untuk orang lama, ya. Untuk yang baru tiga bulan kerja?” handphone-nya berdenyit, entah mengapa dia bergerak refleks, tanpa sengaja menyentuh koran yang–entah mengapa– kugunakan menutupi beberapa novel yang baru dikembalikan seorang kawan. ”Burung-burung Manyar?!” tanpa kuduga dia seperti tak percaya bahwa aku membawa novel itu. Sesaat dia lupa bahwa di seberang sana seseorang sedang menghubunginya melalui pesawat mungil itu. Dia sadar dan menjelaskan apa yang baru saja terjadi, dan karena si lawan bicara agaknya tak mengerti soal novel tersebut (tentu saja!) Lulu hanya melakukan pembicaraan singkat. Kebanyakan dia menjawab dengan ”Hmm…hmm...” dan ”All right”. Pesawat mungilnya segera ditutup dan dia memandangku dengan pandangan tak percaya. ”Mas suka novel juga?” ”Terutama yang ini.” Jawabanku pun masih diliputi pertanyaan, bagaimana mungkin dia bisa begitu terkagum-kagum dengan sebuah novel. ”Ah…, kadang aku ingin bisa menjadi Atik. Punya dua cinta dalam satu masa. Cinta yang dibawa sejak masa kanak-kanak, dan cinta seorang suami yang sangat penuh pengertian....,” dia seperti bicara pada buku hariannya. ”Saya suka karena... novel ini punya point of view paling berani soal Indonesia, jauh sebelum orang berteriak tentang reformasi,” ucapku sok tahu politik.



77



Kuperhatikan si Lulu terhanyut oleh khayalannya sendiri dan itu membuatnya semakin ayu di mataku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Kami lalu lama terdiam. Menghirup kopi masingmasing, memakan sarapan kami masing-masing, dan larut dalam pikiran masing-masing. Dia menerima handphone. Ngobrol sedikit dan kemudian permisi mau pergi. Aku berdiri dan berjalan di sampingnya sampai ke pinggir jalan. Dia melambai, taksi menepi. Pintu ditutup, dia pergi tanpa sempat mengucapkan kapan ketemu lagi. *** Esoknya, aku sengaja duduk di kafe itu lagi. Dengan konyol aku berharap bisa ketemu Lulu lagi. Kusaksikan masih saja kafe ini seperti kemarin dan mungkin berbulan-bulan yang lalu. Kubaca koran pagi, masih saja berisi berita yang sama. Kerusuhan masih di mana-mana. Urusan orang hilang, penggantian bupati, UMR, PHK, dan banyak lagi akronim yang dengan cepatnya dihafal semua orang. Dalam kesendirianku, aku merasakan betapa pedihnya kerinduan Saijah kepada Adinda, sehingga dia pun sanggup membayangkan seretan kain panjang yang dikenakan kekasihnya. Ah, konyol, memang, tetapi itulah yang kumiliki saat itu. Satu-satunya hal yang membangkitkan kembali perasaanku yang berbulan-bulan ini datar-datar saja. Selama ini aku adalah Dany dalam novelnya Steinback; bangun siang dengan kepala berat diganduli alkohol. ”Percaya, nggak, bahwa sekarang inilah pementasan teater absurdnya Ionesco,” tibatiba suara yang kuharapkan itu muncul. Aku kaget bukan karena kehadirannya yang tiba-tiba muncul dari harapan konyolku, tetapi lebih karena dia menyebut-nyebut teater absurd. Rasanya, semasa kuliah pun aku jarang menemukan seorang cantik jelita yang bicara soal teater absurd. Jangankan Ionesco, nama Suyatna Anirun pun tak banyak orang Jakarta yang tahu, karena begitu sedikitnya orang yang ambil peduli dengan dunia teater, apalagi buku kesusastraan. Akan tetapi ini, di sini, dan orang cantik ini yang ... entah siapa dia sebenarnya, tiba-tiba mengucapkan Ionesco dengan sangat entengnya dan langsung menjadikan kekosonganku sebagai pentas. Begitu saja dan begitu tiba-tiba. Dan tanpa kuminta pun dia menguak pintu air pengalamannya. Kemudian mengalirlah berbagai cerita. Gemericik keinginan-keinginannya yang bening hingga gemuruh jeram mimpinya yang menggebu. Dia pernah kuliah bahasa, kemudian mengambil filsafat, lalu kawin, kemudian jadi ibu rumah tangga, lantas merasakan pahitnya dimadu, terus cerai, cari kerja, di-PHK dan… ”Bagaimana bisa lari ke urusan alat-alat berat?” potongku. ”Siapa yang bisa meramal jalan hidup seseorang?” kilahnya dengan tangkas. ”Yah. Ngomong-ngomong.. sekarang kegiatannya apa?”



78



Dia diam sesaat. Kuperhatikan seraut wajahnya yang cantik itu dalam-dalam. Rambutnya yang tebal dililitkan menghias kepalanya, membiarkan leher jenjangnya telanjang, halus, kuning dengan anak-anak rambut melingkar indah sedikit di batas rambut yang terjalin. ”Sedikit soal itu, kadang soal ini... begitulah. Kita sekarang bisa hidup dengan ini dan itu” katanya mencoba menutupi sesuatu dengan senyumnya yang indah. Sebaris giginya yang putih terawat itu menghentikan niatku untuk bertanya dengan pertanyaan yang mungkin kurang enak buat dia. Handphone-nya bunyi lagi. Dia membukanya sambil menggumam, ”Beginilah kalau kebanyakan pacar..., ya?” dan aku pun mengiringi candanya itu sambil tersenyum saja. Dia bicara sebentar-sebentar. Aku mengagumi rambutnya. Kubayangkan jika rambut itu diurai... oh, indah sekali. Mungkin dia adalah si prenjak Larasati. Kehadirannya pun sudah mewartakan kebaikan. Sementara itu, siapakah aku ini? Suaminya ataukah Teto? Mungkin bukan kedua-duanya. ”Berapa lama memanjangkan rambut?” tanyaku setelah dia selesai dengan handphonenya. ”Cukup lama, tapi... tidak terlalu lama...,” ucapnya renyah dan menyebarkan gelak ceria ketawanya. Aku percaya, rambutnya memang subur sekali. ”Kamu suka?” tanyaku. ”Kamu?” baliknya tangkas. Aku diam sesaat, kami berpandangan, ”Kagum.” kataku singkat. Mesin kasir mengisi kekosongan yang mengambang tenang. Di TV ada berita tentang unjuk rasa di Tangerang. Dia mirip Andy MacDowel, makin dipandang, makin cantik. ”Kalau tiba-tiba rambut ini kupotong, gimana?” entah mengapa dia berkata begitu. ”Kenapa?” ”Kenapa tidak?” ”Kenapa dipotong, kalau pilihannya cuma... ’kenapa tidak’?” Dia tertawa lagi, lalu menghirup kopinya. Kemudian dia permisi menemui ”pacarnya”, katanya, yang kuiringi dengan tertawa saja. Kami berjalan sama-sama lagi, melintasi taman lagi dan sesampainya di tepi jalan, dia mencari taksi lagi. Kuantar dia, dan sebelum taksi itu menderu pergi, kukatakan jangan memotong rambutnya. Dia tak berkata, hanya tersenyum. Aku sendiri lagi, mengepit koran dan buku-buku. *** Aku harus ketemu seseorang di Soekarno-Hatta. Dia akan ke Singapura dan karena memang mendadak, terpaksa aku hanya bisa menemuinya sesaat di bandara. Aneh, zaman kayak begini masih ada orang sesibuk dia, entah apa bisnisnya. Kutunggu dia. Karena memang 79



aku terlalu awal datang, atau dia berangkat dengan pesawat berikutnya, aku tak tahu, aku jadi harus membetahkan diri untuk menunggu. Koran masih saja di tanganku dengan setia, sambil sesekali menyapu pandang. Ketika mataku menyapu hall bandara yang berisi begitu banyak manusia, aku merasa melihat Lulu di antara mereka. Tingginya, keanggunannya, ah, rupanya dia sudah menguasaiku. Ini gila memang. Bagaimana mungkin hanya dalam dua kali pertemuan dia sudah menaklukkan aku dengan gaya bicaranya yang ramah itu. Kuperhatikan lagi, ternyata bukan, mungkin hanya mirip saja. Sangat mirip. Bedanya hanya satu: rambutnya pendek, sangat pendek, hingga mirip laki-laki. Tapi, terus terang, memang lebih seksi. Kualihkan mataku ke tempat lain, tapi anehnya, selalu kembali ke perempuan itu. Kawan yang kutunggu akhirnya muncul juga. Dengan gayanya yang serba cepat dan gelisah, seperti burung gereja yang selalu was-was itu, dia menjelaskan semua yang perlu kuketahui. Beberapa map dia serahkan dan master plan serta cetak biru rancangan bangunannya juga dia sodorkan padaku. Terus terang aku tak sepenuhnya siap bahwa ternyata dokumen ini diserahkan kepadaku. ”Apa ini semua?” ”Mmm.. dari sini, you ketemu Pak Rudy. Don’t be late, soalnya ini semua bahan presentasi besok.” Ucapannya terburu-buru, sambil menumpukkan berkas-berkasnya padaku. Akan tetapi, yang membuatku benar-benar terkesiap adalah wanita berambut pendek itu ternyata pergi bersamanya. Dia berdiri di belakang temanku. Tanpa menghiraukan pembicaraannya, mataku memandang wanita berkacamata hitam itu dalam-dalam. Seakan aku ingin melihat bola matanya, benarkah dia bukan Lulu. Kemiripannya membuatku penasaran. Temanku menyadari bahwa perhatianku tertuju pada perempuan cantik yang ada di belakangnya, dia langsung memperkenalkanku kepadanya, ”Oh... ini Lina, kolega bisnisku,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya. Ternyata namanya pun mirip. Lina menjulurkan tangannya dan tersenyum. Mereka melangkah masuk untuk check-in. Temanku membawa kopornya dan kopor Lina dan melangkah duluan. “Oh, ini ada yang terjatuh…,” kata Lina menyerahkan amplop. Kuduga karena terbengong-bengong, aku menjatuhkan sesuatu dari dalam bundel dokumen. Dia tersenyum dan saat melangkah pundaknya nyaris menyentuh hidungku. Di taksi, aku merasakan kekosongan lagi. Jakarta dilapisi malam dan dihiasi kemerlip lelampuan. Ternyata, amplop tadi bukan terjatuh, tetapi memang baru diberikan oleh Lina atau Luna. Itu kuketahui karena setelah kubaca, surat itu memang ditujukan kepadaku. 80



Dia memang Luna alias Lulu. Dia sebenarnya sudah tahu bahwa aku menunggu kawanku, itu dan… ”Luna atau Lina atau Linda.. tak ada bedanya, kan? Ini, aku bikinkan puisi-puisian buat Mas Roy. Hanya buat Mas Roy. sentuhlah saklar lampu padam setelah berpijar, rambutku 10 ribu dolar..



salam,



Kali ini, kurasakan jakarta benar-benar menghimpitku. Kota ini terlalu banyak melahirkan pertanyaan, yang nyaris menutupi jawaban. ***



Umairah (gambar 13)



”Duhai dara dengan pipi merah merona, tak bisa kubayangkan engkau terjaga di tengah malam buta, hanya untuk membukakan pintu rumah kita. Karenanya, wahai dara dengan pipi merah merona, maafkan suamimu jika malam tadi terlelap di beranda rumah kita..” Itulah sepotong cerita yang selalu dituturkan Nenek kepada Umairah tentang betapa sayang dan lembutnya Kanjeng Nabi Muhammad kepada istrinya. Tutur sapa lembut, semanis madu, sesejuk embun pagi, selalu mengucur dari bibir beliau guna menggembirakan dan membesarkan hati istrinya. Mungkin karena itu pulalah Umairah tak bisa melupakan sepenggal cerita itu dari ingatannya. Setiap kali dia merasa kesepian, maka cerita sebelum tidur, ketika dia masih kanakkanak itu selalu melapisi ingatannya, dan Umairah pun menangis. Tetapi, kapankah dia tak merasa kesepian? Begitu sepi hidupnya sehingga dia hanya bisa membayangkan semua kelembutan yang tak pernah dialaminya semenjak Nenek meninggal dunia. Dia tak ingat lagi, apakah dia pernah berusia 9, 10, atau 11 tahun? Dia tak peduli lagi, apakah pernah mengalami masa datang bulan yang pertama kali, karena baginya, bulan selalu datang dan pergi, sebagaimana para lelaki yang mengajaknya tidur selama ini. ”Ma?”



81



Sapaan lembut dari bibir dara mungil—yang belum lagi empat tahun—itu membuat Umairah terjaga dari lamunannya. Dia usap pipinya yang basah, basah oleh kenangan kelembutan, yang hanya ada di alam angannya. Lalu ia pun tersenyum, seakan ingin mengantarkan si kecil kembali lelap di alam mimpinya yang masih indah dan bening itu. Kembalilah tidur, buah hatiku. Jangan kau terjaga, hari masih gulita. Sekali kau terjaga, dunia akan merobekmu, mencabikmu, menggilasmu dengan gigi zamannya yang tak kenal kelembutan itu. Biarkan bundamu terjaga. Aku ingin kau tetap pulas lelap, berselimutkan senyum indah impianmu. Biarkan bundamu membersihkan ilalang yang mungkin akan menghalangi jalan langkahmu. Biarkan bunda menebas onak-duri yang mungkin bisa melukai telapak kakimu. Duhai, dara mungil dengan pipi merah merona, pujaan hatiku, engkaulah satu-satunya permata hidupku, yang sanggup memberiku jalan yang jelas. Entah apa jadinya, jika kau tak ada dalam hidupku. Tak tahu lagi harus ke mana, bahkan mengakhiri hidup pun, rasanya sia-sia saja. Anak kecil itu kembali terlelap, sebagaimana yang diharapkan Umairah. Lalu, sunyi kembali mengisi malam. Kembali Umairah menatap selembar kertas yang telah sebagian ditulisinya dengan tinta hitam. Serangkaian kata telah tergores di sana, tetapi tak satu pun yang rasanya bisa mengungkapkan perasaannya. Diremasnya kertas itu, dan dia mulai menulis di lembaran berikutnya. Sudah sebulan ini dia merasakan serangan demam dahsyat, seakan hempasan badai gelombang, yang membuatnya menggigil terguncang. Dia tak tahu persis apa yang terjadi, karena setiap dokter hanya tersenyum, ketika harus menjawab pertanyaannya. Dia hanya merasakan, bahwa saat itu akan segera tiba, tidak malam ini, mungkin di malam yang lain. Menjelang pukul tiga dini hari, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang. Terasa kasar dan mengejutkan, bahkan sedikit menyeramkan. Ada arus kemarahan di sana yang mengalir ke dalam bilik Umairah. Dibukanya pintu dan didapatinya 10 laki-laki berang. Mereka berteriak-teriak mengerikan dan mengancam akan merajamnya, jika tidak mau mempersilakan mereka masuk. Gemetar Umairah mendekap si kecil. Bibirnya bersenandung lirih agar si mungil tak terjaga. ”Kau sembunyikan di mana, dia?” dengus kemarahan lelaki yang membawa pentungan. Matanya merah, namun tak pernah lepas dari sepasang dada Umairah. Rasa muak menggumpal siap menyembur dari perut Umairah. Untuk kesekian kalinya dia menjumpai binatang memasuki rumahnya. Seekor anjing yang tak bisa menggonggong, seekor babi hutan yang tak bisa menguik, itulah para lelaki yang selama beribu-ribu malam sepanjang kehidupannya memaksakan diri menerobos kehidupannya. 82



”Tak ada siapa-siapa di rumah ini, selain saya dan Umi, “ kata Umairah sambil mendekap erat Umi kecilnya yang masih lelap. ”Bibirmu memang selalu merah bergincu, Mai, tetapi itu tidak bisa menyembunyikan yang sebenarnya,” desislelaki dengan sorot mata liarnya. ”Mungkin di malam lain. Tetapi, malam ini tidak,” jawab Umairah tegas. Sementara lelaki yang lian membolak-balikkan apa saja yang mungkin bisa digunakan sebagai tempat bersembunyi. Lelaki yang ada di dekat Umairah, yang nyalang matanya, yang babi hutan napasnya, makin mendekatkan wajahnya ke pipi Umairah sambil berkata, ”.. Tunjukkan saja, di mana dia, lalu semuanya kita selesaikan bersama... hh… bagaimana?” Umairah muntah, namun tersenyum manis dia berkata. Bibirnya yang indah sudah hafal benar tabiat setiap lelaki, seolah siap menelan si babi hutan dengan desahan lembutnya. Tak jelas benar apa yang diucapkannya, namun yang jelas si lelaki segera mengomando anak buahnya pergi. Dia pura-pura marah, dan sebelum pintu tertutup rapat, dia mengerling ke Umairah. ”Ma?” suara malaikat kecilnya lirih memanggilnya. Umairah memeluknya, lalu bibirnya bersenandung. Sesaat si malaikat mungil memandang mata ibunya dengan mata telaganya yang jernih, dengan bulan purnama mengambang di permukaanya. Umairah tak kuasa menatap tatapan Umi. Kesejukan pandangan si kecil membuatnya kembali menangis. ”Ma, Umi jadi naik keleta api?” Umairah menatap sesaat, lalu tersenyum dan memeluk anaknya. Ah, indah nian mimpi setiap bocah. *** Entahlah, mungkin memang nasib yang harus dijalaninya, tetapi malam itu, pada jam yang kurang lebih sama, kembali pintu rumah Umairah diketuk seseorang. Umairah, perempuan itu, sudah hafal benar setiap nada ketukan. Ada irama yang sama, ada pola suara yang senada, seolah detak jantung yang tak mungkin sanggup membohongi, bahkan diri sendiri. Memang benar, si babi hutan masuk dengan serangan parfum yang entah dari jin siapa dia membelinya. Umairah tegak tenang, memandang kekosongan yang mulai mendekatinya. Ketika nyaris tangan kasar itu hendak menyentuhnya, Umairah hanya berkata ”mungkin di malam yang lain, tetapi tidak malam ini.”



83



Si babi hutan mendengus marah. Dia memaksa dan Umairah hanya mengulangi ucapannya. ”Hei, perempuan jalang, sudah seharusnya kau berterima kasih kepadaku. Karena aku, kau tidak diarak keliling kampung, atau dirajam orang sekampung. Ingat kau, ketika baru pindah kemari, semua orang mencibirimu, karena kaulah kotoran yang tiba-tiba melekat di kampung ini. Sekarang… kau coba-coba berani menolakku?” Umairah hanya mematung. Ditatapnya mata buas itu dengan tenang. ”Aku tidak menolakmu, aku hanya bilang tidak malam ini, mungkin di malam yang lain... terserah saja apa penafsiranmu.” ”Dasar..” ”Katakan saja apa yang ada di pikiranmu, nggak usah malu-malu. Bukankah selama ini hanya kata-kata itu yang kau miliki?” dan ucapan Umairah itu membuahkan tamparan. Si lelaki merasa disepelekan kelelakiannya. Dia meraung, mencabik dan mengamuk. Kegaduhan malam itu membuat si Umi menjerit-jerit dan membangunkan para tetangga. Segera rumah itu dipadati manusia. ”Lelaki itu ada di sini!” teriak si babi hutan, sambil menunjuk-nunjuk sesuatu yang tak jelas. Para lelaki lain berang, mereka menyerbu masuk dan kembali seperti malam sebelumnya, mereka membolak-balikkan apa saja yang bisa mereka jungkirbalikkan. Umairah mendekap Umi dan lari. Dia tak pedulikan apa pun yang ada di rumahnya, kecuali Uminya tercinta. Sempat dia menyaksikan manusia-manusia itu menghancurkan rumahnya, namun tetap tak peduli dia. Umairah berlari, memanggili seseorang yang mau menyebut seorang wanita dengan kelembutan surgawi. Tetesan air matanya menderas dan hatinya menjerit, melolong, meraung, memohon setetes kesejukan dari kalimat lembut dan menyegarkan jiwa itu. Di dinginnya malam, dengan bulan yang sudah tampak bagai seiris semangka kuning, Umairah mendekap anaknya. Berjalan dia tak tentu tujuan. Kakinya bahkan telanjang tanpa alas apa pun. Beberapa mobil berhenti dan menawarinya tumpangan, namun tak satu pun di terimanya. Dia sudah hafal betul rima dan iramanya, nada dan ketukan suaranya; seperti suara setiap lelaki yang merajam tubuhnya, sejak… ah, dia sudah tak ingat lagi sejak kapan hal itu terjadi. Jalan terlalu panjang untuk dilaluinya dan Umairah belum menyelesaikan semuanya. Sepasang kaki lelahnya, akhirnya membawanya ke sebuah gardu di sudut jalan. Hanya kesunyian dan kegelapan yang ada di sekitarnya. Tetapi, kapankah dia tak menjumpai kegelapan di dalam kehidupannya? Umairah tersenyum, dia bisa sejenak melepaskan lelahnya 84



dan bisa meletakkan si kecil untuk, paling tidak, sampai matahari terbit di timur sana. Ada bau pesing dari sudut gardu. Tembok retak di sana dan di keremangan ada seonggok kain, entah apa. Mungkin bekas baju, mungkin juga bekas celana, siapa peduli? Napas Umairah tersengal-sengal. Entah mengapa, dadanya terasa sesak dan berat sekali. Diletakkannya si kecil di pangkuannya dan disandarkannya tubuhnya ke dinding retak itu. Kepalanya berkunang-kunang. Dalam keremangan dunianya, di batas antara terjaga dan tidur, Umairah mendengar suara-suara. Sesekali dia terjaga dan ternyata itu hanya ilalang berkerisik diusik angin. Namun, begitu dia nyaris terlelap, suara itu adalah sebuah bisikan doa. Sebuah doa baginya. Bagi hidupnya. Bagi anaknya. Sebuah doa agar sekabut halimun kesejukan melingkupi jiwa yang tengah meradang itu. Perlahan-lahan Umairah bisa mengikuti bisikan doa itu. Dan, entah mengapa, tiba-tiba dia merasa mendapat kekuatan untuk masuk ke dalam bait demi bait panjatan puji syukur itu. Kalau saja diriku belum pantas bersimpuh memohon kepada-Mu, duhai sang Maha Bijaksana, kumohon pandanglah seraut wajah suci yang terlelap ini. aku ingin, ketika esok dia membuka sepasang kelopak mata keindahannya, dunia tersenyum ramah dan mengajaknya bermain di bumi-Mu nan indah. Duhai Sang Maha Mendengar, dengarlah ratapku, karena kepada siapa lagi aku meratap jika bukan kepada-Mu. Ketika garis fajar sebentar lagi memberkas di ufuk timur, Umairah sempat menyaksikan ada seorang pria muda, rambutnya legam ikal berkilau-kilau, jongkok dan membelai wajahnya. Lelaki itu mengucapkan sebaris kalimat lembut, semanis madu, sesejuk embun pagi, yang selama ini begitu didambakan Umairah. ***



Orang-orang yang baru saja pulang dari salat subuh, dan seperti di bulan-bulan puasa lainnya, mereka berjalan-jalan pagi, terheran-heran mendengar tangisan anak kecil dari sebuah gardu di tengah lahan kosong yang ditumbuhi ilalang. Dulu, lahan itu adalah sebuah bangunan, entah apa, yang karena entah apa pula, dihancurkan. Seorang ibu menggendong si Umi. Beberapa lelaki kemudian melaporkan ke pos polisi terdekat. Mayat Umairah, yang tak dikenal oleh orang-orang itu, mereka temukan dengan seulas senyum bahagia di bibirnya.



Pinang, 982.



Kapan Pulang? (gambar 14) 85



Entah mengapa, saya selalu menanyakan hal itu kepada istri saya, justru pada saat dia belum berangkat ke Hongkong. Dia memang wanita supersibuk, yang selalu mendapat kepercayaan kantornya untuk menangani pameran-pameran besar di luar negeri. Anehnya, kalau dia saya katain wanita karir, dia selalu marah. "Saya nggak gitu, kan? Saya bekerja sebaik-baiknya, tapi saya bukan wanita karir." "La, terus ini, apa?" protes saya. "Ya, kerja biasa saja. Kalau wanita karir, itu nggak begini…." "Gimana?" "Udah-udah.. kalau memang saya nggak boleh kerja, dari dulu, dong bilang!" Biasanya kalau dia sudah mengunci pembicaraan dengan kalimat seperti itu, saya juga hanya bisa diam saja. Sementara saya diam, dia mengemasi barang-barangnya ke dalam kopor. Beauty case juga siap dan selalu dibawanya. Sambil mengemasi barang-barangnya, wajahnya muram, bibirnya maju lima senti. Dia kesal karena pertanyaan saya. Kalau sudah begitu, hati saya luluh. Saya tidak tega dan lebih jauh lagi, saya tidak mau dianggap sebagai suami yang mau menang sendiri. Terus terang, di balik ini semua, saya memang tidak bisa ditinggal pergi oleh seseorang, apalagi itu istri saya sendiri. Waktu Mona–anak saya yang sudah kelas 2 SMP mengadakan perkemahan pramuka, saya juga kelimpungan. Saya selalu menanyakan kepadanya, "Kapan, pulangnya?" Mona selalu menjawab,"Berangkat aja belum, Papa sudah tanya kapan pulangnya…." Entahlah, saya tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Saya tidak mau menjadi orang yang melambaikan tangan dan mengucapkan selamat jalan. Aneh memang, tapi itulah saya. Bicara soal keberangkatan istri saya, kali ini saya memang benar-benar gelisah. Terus terang, saya merasa sangsi dengan keberangkatannya kali ini. Dulu, waktu dia harus seminar di London, saya juga mengkhawatirkan yang bukan-bukan. Pikiran macam-macam, blingsatan tak karuan. Yang saya pikir hanyalah yang aneh-aneh saja, tapi kenyataannya, kekhawatiran saya memang tidak sepenuhnya salah. Dia yang berangkat berdua dengan kawannya (tentu saja laki-laki) membuat saya waswas. Di mana-mana, laki-perempuan itu sama saja. Kalau ada kesempatan pastilah tidak disiasiakan. Ketika dia kembali dari London, terus terang saya "cuci" habis dia. Sementara, dia tetap menyangkal bahwa ada hubungan dengan lelaki itu. 86



"Bagaimana mungkin?" katanya setengah menangis. "Kalau bicara soal kemungkinan, jawabannya adalah mungkin. Persoalannya sekarang, kamu mau jujur, nggak?" kata saya keras. "Baik. Sekarang saya mau jujur. Terserah, Mas mau percaya atau tidak." Ucapannya itu membuat saya agak tercekat. Bagaimana seandainya dia mengakui telah tidur dengan lelaki itu? Sanggupkah saya menerima kenyataan dengan mendengar kalimat dari bibirnya yang langsung masuk ke gendang telinga saya sendiri? Sanggupkah saya, seandainya dia mengucapkan sejujurnya, menelan kenyataan paling menusuk bagi setiap hati lelaki, bahwa istrinya tidur dengan lelaki lain? Untuk itu saya terdiam beberapa lama. "Terus terang, saya memang menyukai dia... tapi, hanya sebatas sebagai kawan. Dia baik, dan dia mau mendengarkan ucapan saya, terutama mengenai tugas-tugas kantor yang merepotkan itu. " "Jadi, aku ini kamu anggap apa?" sergah saya dengan luapan emosi nyaris tak tertahankan. "Bukan begitu. Ini semata-mata kerjaan kantor! Apa Mas tahu cara kerja kantor saya? Apa Mas tahu persis, siapa-siapa yang kami hadapi di kantor? Dan kalau pun saya ceritakan, paling-paling Mas bilang, sebaiknya dibicarakan dengan teman sekantor, supaya masalahnya lebih cepat selesai. Ya, kan?" Saya terdiam. Benar, semua ucapannya. "Sekali lagi, saya cuma ngobrol dengan dia. Tidak lebih. Lagi pula.. Mas pikir saya ini perempuan apa? Kalau saya mau tidur dengan sembarang lelaki, berarti saya meletakkan diri saya pada posisi paling menjijikkan yang justru selama ini saya tentang! Kalau cuma mau begitu, untuk apa saya kawin? Mending saya jadi pelacur saja; bagi saya dia lebih punya 'moral' ketimbang istri nyeleweng...," kata-katanya menghambur bersama derasnya air matanya. Saya terdiam lagi. Semua yang diucapkannya waktu itu, memang sepenuhnya benar.



Tapi, sekali lagi, keberangkatannya kali ini membuat saya gelisah lagi. Memang, waktu itu saya menduga dia ada ”main” dan kenyataannya tidak. Saya yang semula meragukan, kemudian yakin dia tidak ada apa-apa, kini berbalik meragukannya lagi. "Kenapa, sih, rasanya cuma kamu melulu yang dikirim keluar negeri?" "Ya, mana saya tahu? Tapi, cobalah dilihat dari segi positifnya. Apa Mas nggak bangga, istrinya dipercaya orang?" 87



"Untuk apa kebanggaan, kalau sebenarnya menyiksa diri sendiri?" "Jadi, Mas merasa tersiksa?" "Nggak gitu.." "Nggak gitu, gimana? Nyatanya Mas selalu cemburu.." "Cemburu? Hah! Itu pikiran sempit!" "Cemburu itu nggak salah, kok. Saya nggak apa-apa kalau Mas yang cemburu, asal jangan kelewatan…." "Tapi.. suami mana yang akan tenang membiarkan istrinya pergi keluar negeri dengan lelaki lain.. sekamar lagi!" "Aaaah.. Mas gitu, sih. Kan, saya sudah bilang, ini karena anggaran kita mepet sekali dan karenanya untuk hotel nggak ada budget lagi…." "Masuk akal, nggak?" "Kalau ukurannya begitu, ya nggak masuk akal. Tapi, kalau saya nggak bilang jauhjauh hari, saya yang salah. Saya kan sudah bilang." "Aku, kan sudah lama menyatakan keberatan." "Ya, tapi gimana lagi. Budget-nya nggak ada!" "Ya, jangan berangkat kalau dananya nggak ada!" "Nggak bisa, dong!" "Bisa! Kecuali, kalau kamu merasa tidak keberatan." "Maksud Mas apa?" "Maksudku sudah jelas. Kalau boleh aku katakan dengan jelas, kamu jangan berangkat! Titik!" Dia terdiam. Dia menahan tangis. Kesal. Marah. Entah apalagi yang ada di hatinya. "Mas jangan membuat saya terjepit seperti ini, dong…," katanya setengah terisak. "Yang saya perlukan justru pengertian. Saya ingin, justru di rumah, saya mendapat dorongan dan semangat. Di rumah, saya berharap mendengar suara yang bernada positif dengan keberangkatan saya kali ini. Kepada siapa saya bisa berterus terang, kalau bukan kepada suami sendiri? Kepada siapa saya bisa mendapat dukungan, kalau bukan dari suami sendiri?" "Ya, tapi bukan untuk tidur sekamar dengan lelaki lain!" "Jadi, saya harus batal, nih?" "Pikirkan saja sendiri." "Tuh, kan. Mas selalu menyudutkan saya dengan kalimat seperti itu. Kalau boleh jujur, Mas sebenarnya tidak berani mengatakan pendapat. Mas takut dikritik sebagai suami yang lemah dan tidak bisa mengatasi persoalan. Mas sebenarnya hanya mencari kedudukan dan 88



posisi suami yang baik. Tak mau dianggap ketinggalan zaman dengan mengizinkan istrinya pergi, tapi sekaligus tak mau dianggap pencemburu meskipun nyatanya Mas benar-benar cemburu. Mas seolah memberikan banyak pilihan pada saya, padahal sebenarnya Mas hanya memberi satu pilihan." "Yaaah, apapun.. yang penting kamu harus bisa mempertimbangkan baik-buruknya." "Kalau Mas sudah bisa bilang begitu, kenapa Mas masih ragu? Itu kan artinya, Mas masih belum percaya pada saya." Saya terdiam lagi. Entah mengapa, saya kehabisan kata-kata untuk menjawab ucapannya. "Lagi pula, dia kan nggak mungkin akan macam-macam dengan saya. Saya tahu persis siapa dia…," katanya menjelaskan calon teman sekamarnya itu. "Di mana pun, kucing itu nggak ada yang nolak daging!" ucap saya menyindir. "Ya, jangan berpikir ke sana, dong! Kalau dipikir terus, sesuatu yang tak mungkin terjadi, bisa benar-benar terjadi. "Nah, nah..sekarang kamu yang agaknya mencari-cari alasan," sergah saya. "Cari-cari alasan bagaimana?" "Nanti kalau 'terjadi' betul, kamu cari alasan karena aku terlalu memikirkan yang satu itu Itu, kan lebih nggak masuk akal lagi." "Sudahlah. Percaya sajalah." "Sulit!" "Sekarang dibalik saja. Kalau Mas pergi keluar negeri, aku nggak pernah tanya macammacam. Padahal aku sendiri kalau ditanya, pasti meragukan semua alasan Mas. Kalau mau memikirkan yang tidak-tidak, aku sudah membayangkan Mas berpesta pora dengan ... pokoknya, kalau mau memikirkan yang begitu, aku sudah lama mati oleh pikiranku sendiri." Dia mencecarku dengan kalimat-kalimat yang membuatku terbungkam. Tetapi kemarahanku membuatku terus berontak. "Jangan menuduh yang bukan-bukan!" "Mas juga jangan berpikiran yang macam-macam." "Bagaimana tidak? Kamu bilang akan tidur sekamar dengan laki-laki lain..." "Kalau Mas tidur sekamar dengan perempuan, apa Mas juga bilang sama saya?" "Sialan kamu!" dan tanpa saya sadari sepenuhnya tangan saya melayang menampar pipinya. Dia mengaduh dan menangis tersedu-sedu. Penyesalan saya saat itu meleleh. Saya raih dia dan saya peluk penuh penyesalan. Terbayang bagaimana wajahnya yang pucat menahan rasa sakit, ketika dia dalam proses 89



melahirkan bayi kami yang pertama. Terbayang kembali betapa dia melindungi saya dari tagihan seseorang ketika kami masih terbenam hutang, dulu ketika kami baru menikah. Tergambar juga betapa dia yang mendorong saya hingga mendapatkan posisi seperti sekarang ini di kantor. Semuanya begitu mendadak, bersamaan, muncul melumerkan perasaan saya. Akhirnya, dengan segala perasaan tertekan dan tak enak, saya mengantarkannya ke Bandara Sukarno-Hatta. Dia terbang dengan Cathay Pacific. Perjalanan pulang dari Bandara, terasa lebih panjang. Perasaan memang mengalahkan jarak dan waktu. Malam minggu saya hanya sendirian. Mona pergi ke rumah kakeknya di Bogor. Arthur.. entah kemana si bocah a-be-ge itu. Yang jelas, saya sendirian. Ini yang saya benci. Tiba-tiba telepon berdering. "Halo?" suara perempuan yang lembut sekali dari seberang sana. Saya tercekat. Ini pasti suara Maggie. Mengapa dia menelepon saya? "Hai, Maggie?" "Kesepian, ya?" "Aaah.. biasa saja. Ada apa, Mer.. eh, Meg?" "Idiih.. sudah kangen, ya sama istrinya, sampai kepleset segala…." Begitulah, saya dan Maggie–teman lama saya–tenggelam dalam percakapan ke sana kemari. Dia cerita tentang suaminya yang sering kali pulang malam dan akhirnya ketahuan punya "simpanan" lain. Dia menumpahkan semua isi hatinya pada saya, yang saya tanggapi dengan tenang. Tapi, bagaimana dengan Mery–istri saya, saat ini? Apakah dia juga sedang menceritakan saya pada lelaki itu? Di mana dia bercerita? Sambil tiduran? Aaah.. saya rasakan darah menggelegak sampai ubun-ubun, tetapi saya kendalikan karena saya sadar bahwa saat itu sedang berbicara dengan Maggie. "Nggak bisa tidur, kan?" katanya tiba-tiba memotong arah pembicaraan. "Ya, gitu, deh…," jawab saya lesu. "Nonton midnight, yuk?" ajaknya enteng saja. Saya terdiam. Bagaimana mungkin dia bisa mengajak seseorang yang jelas-jelas bukan suaminya dengan seenteng itu? Dan, entah bagaimana, saya langsung mengambil kunci mobil dan menderu ke rumahnya. *****



Jakarta sesungguhnya kota yang sangat dingin dan sunyi. Kesemrawutan itu semu semata. Lalu lintas yang berderet-deret disumpal kemacetan itu, hanya nisbi. Nyatanya, banyak sekali manusia yang begitu kesepian di sini. Begitu banyak manusia yang kedinginan. Sebuah 90



kota yang muram dan mati. Karenanya, tak mengherankan jika manusia-manusianya banyak yang menciptakan kehidupan malam. Sebuah pelarian kenyataan yang menyedihkan, sebenarnya. Kami berjalan perlahan. Sambil menyetir, saya rasakan sapuan angin malam yang dingin. Sementara di pundak kiri saya, Maggie bersandar mesra. Sambil menikmati perjalanan, kami sesekali masih mengomentari film yang baru saja kami tonton. Entah bagaimana ceritanya, kami sudah masuk sebuah motel.. dan semuanya terjadi begitu saja, tanpa basa-basi. *** Setengah lima pagi, saya tiba di rumah. Secara refleks, saya menyalakan answering machine. "Hai.. ke mana nih, malam Minggu. Kok, nggak ada di rumah? Pasti Mas jalan-jalan dengan Maggie, ya? Pasti lagi guwel-guwelan, ya... (dia tertawa kecil, mesra). Bercanda, jangan tersinggung dulu.... Telepon dong, nih, catat ya…," kata-katanya lembut tanpa perasaan cemburu. Dengan perasaan galau, saya telepon dia. Dari sana terdengar jawaban lesu. "Halo? " Saya diam saja. Pikiran saya masih kacau balau, tak siap dengan kata-kata. Dia mengulang perkataan yang sama dari seberang sana. Dan saya masih diam saja. Nyaris pada saat dia akan meletakkan gagang telepon, saya bertanya, "Ma, kapan pulangnya?" Seketika ada kecerahan dari nada suaranya. Semangatnya bangkit kembali dan dia nyerocos macam-macam. Begitu ceria dia, begitu bahagia dia, sampai-sampai saya tak bisa berkata-kata. Saya ingin mengucapkan bahwa saya rindu, bahwa saya mencintainya, bahwa hanya dia yang ada di hati saya, bahwa saya begitu kesepian tanpanya, tapi tak ada yang bisa terungkap lewat kalimat. Seakan cair begitu mencapai bibir. Ketika gagang telepon sudah pada tempatnya kembali, saya terlentang di tempat tidur. Mata saya terpejam, tapi bukan tidur. Telinga saya masih sempat menangkap sebuah alunan musik dari sebuah radio pagi hari, Love is a Many Splendor Thing lewat tiupan saksofon lembut mendayu. Saya tak ingat lagi apakah saya bisa mendengar sampai selesai atau sudah digulung lelap di tempat tidur.



Jl. Pinang 982



91



Laki-Laki Yang Menusuk Bola Matanya (gambar 15)



Heran, sejak beberapa hari ini mataku sudah tak bisa melihat dengan benar. Kemarin aku yakin sekali melihat seekor kerbau di depan pintu kantor. Tentu saja semua orang tak percaya, termasuk logika pikiranku sendiri. Karenanya, aku tak marah dengan cerca dan gelak tawa mereka yang kuberi tahu bahwa di depan pintu kantor ada seekor kerbau besar dengan tanduk melintang bagai sepasang parang. Anehnya lagi, kadang-kadang tanpa kusadari, tiba-tiba mataku pulih seperti sediakala. Entah apa penyebabnya, aku tak benar-benar tahu. ”Halusinasi itu sering terjadi,” begitu ungkap Mas Badri, dokter pribadiku. Dia tahu pekerjaanku yang mengharuskanku mengerahkan segenap tenaga untuk membuat skrip ini ”Dan, kadang-kadang kita tak menyadari sepenuhnya apakah kita ini sedang berhalusinasi atau tidak.” ”Jadi kamu percaya bahwa ini semua cuma kelelahan otakku? Gitu?” ”Ya, mbuh, Mas. Aku sendiri kadang-kadang bingung. Zaman sekarang ini sudah dikutuk sama Ki Ageng Ranggawarsita…, zaman edan! Termasuk cara berpikir kita juga sudah edan.” Katakata Mas Badri seperti ditujukan pada sesuatu. ”Wong dokter kok, nggak optimis.” ”Biar dokter, wong aku juga manusia kayak kamu,” timpalnya sambil mengembuskan rokok kreteknya. Aku cuma menimpalinya dengan gelak tawa. Sumpah mati, rasanya dia dokter paling jujur di dunia ini, setelah dokter Doolittle–yang mewarisi ilmunya Nabi Sulaeman itu. Karena itu pulalah kadang-kadang aku juga membenarkan pendapat kawan-kawan lain bahwa aku sedang berhalusinasi. Tapi terus terang, aku sendiri tak paham benar apa yang disebut halusinasi itu. Pokoknya, apa yang dilihat oleh mataku dan disampaikan ke otakku, belum tentu sama dengan yang diterima otak manusia lain di sekelilingku. Itu inti persoalannya. Aku tidak tahu, apakah lensa mataku yang aneh, syaraf-syaraf ini yang mengadakan makar dan menciptakan usulan gambar aneh yang sebaiknya diterima otakku–atau apa? Atau memang otakku yang aneh; yang seharusnya menerima gambar apa adanya, malah dikarang-karang sendiri–entah apa maksudnya.



92



Seperti tiga hari lalu, misalnya. Waktu itu aku akan ke kamar kecil. Kebetulan karena struktur kantorku yang memang demikian–kamar kecil yang seharusnya ada di belakang, malah ada di depan-- aku berpapasan dengan seorang pria bule, berdasi dan berpakaian perlente. Namun, nah… ini lagi. Kepalanya ternyata babi! Terus terang aku terkejut setengah mati. Kebetulan pula malah si bule itu satu tujuan denganku–ke kamar kecil. Yang tadinya aku ingin kencing, akhirnya tak jadi, cuma cuci muka dan mengaca. Masih saja kusaksikan pria berkepala babi itu mengaca dan menyisir rambutnya yang tipis. Mungkin karena aku memperhatikannya dengan pandangan aneh, dia agak tak suka dan akhirnya buru-buru keluar kamar kecil. Aku masih saja belum memahami benar apa yang sebenarnya terjadi dengan mataku ini, sampai ketika kusaksikan si kepala babi itu ikut berkeliling kantorku–dan belakangan baru kuketahui bahwa dia adalah salah satu manajer perusahaan yang menjadi calon klien kantorku. Tentu saja si kepala babi menatapku dengan pandangan tak suka, ketika oleh bosku aku diperkenalkan kepadanya. Ketika rombongan itu berlalu, beberapa teman mengomentari betapa kerennya si bule itu. Aku memperhatikan kedua cewek yang berkomentar itu dengan pandangan aneh. Mereka malah mengatakan dengan nada meledek bahwa pasti aku menyangka si bule itu wajahnya seperti babi. ”Ya, kan, Mas.. dia mirip babi, kan?” ucap si Vita sambil nyengir manja. ”Memang babi, kok.” Jawabku serius. ”Tuh, apa gua bilang, Mas Kris pasti ngatain bule itu seperti babi,” komentar yang satu lagi dengan nada melecehkan. ”Orang kok, sirik terus sama penampilan orang lain,” tambahnya enteng saja. ”Siapa yang…,” aku tak melanjutkan ucapanku. Percuma saja, mereka tak melihat apa yang kusaksikan. Itulah keanehan yang tiba-tiba terjadi pada mataku. Karenanya aku juga tak bisa lagi benar-benar mempercayai apa yang kulihat dan mengatakannya pada orang lain. ”Kita ke dokter mata, yuk,” ajak istriku setelah mendengar keluhanku tentang keganjilan yang terjadi beberapa hari ini pada diriku. ”Memangnya kamu pikir aku ini minus, apa?” ”Ya, nggak, tapi paling tidak, kita kan jadi tahu, kenapa sih, mata kamu nggak klop dengan orang lain?” ucap istriku jengkel. Aku tahu, dia jengkel dengan laporanku. Mungkin, dia pikir ini adalah alasanku saja untuk keluar dari kantor dan berhenti kerja. Entahlah, mungkin saja dia punya pikiran begitu 93



karena memang aku sudah berkali-kali mengutarakan keinginanku untuk berhenti kerja. Aku ingin jadi penjual tape uli saja yang nggak banyak pikiran. Masalahnya, selain kondisi mataku yang makin seenaknya sendiri ini, pikiranku pun akhirnya ikut-ikutan nggak beres. Di sinilah aku akhirnya menyadari bahwa pertimbangan otakku nyaris ditentukan oleh apa yang dilihat oleh mataku ini. Sebelumnya, aku tak pernah punya pikiran demikian. ”Mas, kok, nglamun lagi, sih?” tiba-tiba suara dik Tony membuyarkan lamunanku. Aku menjawabnya dengan tersenyum saja. ”Sulit, ya, brief-nya?” tanyanya lagi. Aku memang sedang mempelajari strategi komunikasi iklan yang diberikan Dik Tony kepadaku. ”Oh, nggak. Nggak sulit, kok, cuma aku-nya yang lagi nggak mood,” kilahku sambil menyalakan rokok. Brief iklan yang sedang kubaca ini tentang sebuah produk pengharum mulut berbentuk semprot. Dalam hati aku tertawa, berapa banyak sih orang Indonesia yang mau pakai produk semacam ini? Ketika kegelianku itu kulontarkan pada orang lain, ada saja jawaban yang mengatakan bahwa aku ini terlalu skeptis memandang sesuatu. Terus terang, aku tak tahu apa maksud jawabannya itu. Account director-ku malah marah ketika aku berkomentar demikian. ”Pokoknya kerjakan sajalah, jangan sok jadi kritikus sosial. Ini kan dagang, dan tugas kita untuk melariskan produk klien kita. Titik!” ”Titik dua atau titik-koma?” tangkisku sekenanya. ”Dasar copywriter!” Aku cuma mengepulkan asap rokokku menanggapi kemarahannya yang tidak jelas itu. Duduk di tempatku, aku mulai orat-oret sesuatu di selembar kertas. Tiba-tiba terlintas di otakku sebuah ruang kantor yang bagus. Namun, pada awal film kuperlihatkan ada seorang laki-laki muda perlente yang tampaknya akan melakukan transaksi bisnis di sebuah kantor. Dia datang dengan segala perlengkapannya, termasuk telepon genggam sebagai status simbol orang muda kota yang sibuk dan sukses. Adegan kemudian dilanjutkan dengan si pria muda menunggu di ruang tunggu. Dia melihat potret-potret dan patung-patung kecil yang menghias kantor tersebut. Lalu cut. Ada suara wanita yang merdu seksi merayu, menyapa si pemuda, ”Hhhai… sudah lama, ya?” Lantas cut lagi. Kamera memperlihatkan sepasang sepatu wanita, terus naik, sepasang betis indah, dan cut lagi. Wajah si pria muda yang terkejut, lalu buru-buru menutup hidungnya seakan dia mencium bau bangkai.



94



Ketika kamera mengambil seluruh adegan, tampaklah si lelaki muda tadi berdiri berhadapan dengan seorang wanita berkepala naga! Lalu cut dan muncul produk semprot mulut yang menyemprot sendiri. Lalu tulisan slogannya muncul berbunyi. ”Zems. Selamat tinggal bau naga!” *** Tepuk tangan riuh di ruangan meeting itu meledak. Aku bingung. Ideku yang baru saja kutuliskan dan hanya kutuangkan dalam bentuk sketsa besar, tentu saja aku minta seorang visualizer untuk menggambarnya, diterima dengan aklamasi. Anjing kurap! Bukan hanya itu yang membuatku bingung. Bosku dan semua rekan kerjaku yang ada di ruangan itu, semua berkepala naga! Aku tak tahan melihat apa yang kusaksikan. Keringat dingin mengucur deras. Dalam hati kecilku, aku berteriak bahwa aku sudah gila. Bagaimana mungkin ini semua bisa kualami. Tanpa kusadari, aku berlari keluar dari ruangan. Tanpa kusengaja, tentu saja, aku bertabrakan dengan Miske—sekretaris bosku, dan… aku nyaris saja berteriak ketakutan karena yang kulihat bukanlah wajah Miske, melainkan naga. Tampaknya dia sengaja ”memasang” dirinya agar kutabrak dan supaya tanganku seolah tak sengaja menyentuh dadanya. Tapi, ah… seekor naga? Entah sudah di mana aku saat ini, aku tak sepenuhnya mengetahui. Yang kurasakan bahwa diriku jauh dari manusia berkepala naga. Aku terduduk di suatu tempat yang terasa tak asing, tetapi tidak benar-benar kukenali. Seolah-olah aku pernah berada di sini, entah kapan. Hanya seraut wajah yang akhirnya kukenali dan membuatku percaya bahwa aku masih berada di dunia normal, ketika istriku muncul. Dengan wajah yang penuh dukacita dia mendekatiku. Kemudian dengan belaian lembutnya dia mengusap-usap kepalaku. Kuperhatikan sepasang bola matanya yang kelihatan cantik itu. Dia menangis. ”Kenapa?” ”Tidak. Tidak apa-apa. Apakah kau melihat naga?” Aku mengangguk. ”Aku baru pinjam VCD dari Enggar. Nonton yuk.” ”Film apa?” ”Dragon Heart.” Aku terdiam. Apa maksudnya? ”Yang ini, naganya bisa ngomong. Suaranya Sean Connery, keren, lho….”



95



Aku tertawa. Dia tersenyum. Aku tahu, dia telah menganggapku gila karena trauma terhadap naga, dan dengan mengajaknya menonton film tentang naga, dia berharap agar aku bisa melihat bahwa naga hanyalah sebuah film. ”Aku mau nonton,” kataku lembut, ”tapi, kamu harus percaya padaku..” ”Apa?” ”Aku memang melihat manusia berkepala naga.” Dia menatapku dalam-dalam. Linangan air matanya membeku. ”Aku percaya, kok. Karenanya, aku ingin mengajakmu cuti, atau malah berhenti kerja, lalu kita pindah ke Salatiga. Kata orang di sana tenang sekali….” ”Mungkin tak akan ada manusia berkepala naga..” ”Mungkin malah ada manusia berkepala kerbau, atau celeng….” tambahnya riang. Dia memeluk pinggangku, persis ketika kami pacaran dulu. Aku merasakan tusukan itu kini mengenai jantung kami berdua. Pinang, 982



Lho (gambar 16)



Dulu, waktu aku kecil, sering orang yang lebih tua dariku menasihati bahwa kedua telingaku ini harus mau mendengar ucapan orang lain. Tentu, maksudnya adalah mau menerima nasihat dari orang lain, karena siapa tahu mereka punya pengalaman hidup berharga. Nasihat itu selalu terngiang dan bahkan sudah merasuk ke dalam jiwaku, sehingga ketika kuliah pun, aku lebih suka jadi pendengar daripada pembicara. Dalam kehidupan seharihari, aku menjadi manusia yang jarang sekali menggunakan mulut, karena aku entah bagaimana seperti tersihir oleh kata-kata "diam adalah emas." Ada untung, ada pula ruginya. Untungnya, aku menjadi manusia yang jarang salah ngomong dan sekali berkata, aku selalu didengar orang. Ruginya, aku kurang populer di mata rekan-rekan entah ketika masa kuliah dulu, atau sekarang ini di tempatku bekerja. Bahkan, ketika aku sudah berumah tangga dan tinggal di kompleks, kalau ada rapat RT pun aku tidak pernah diundang, gara-gara orang kurang mengenalku. Terus mau apa coba? Aku memang tidak bisa bergaul, karena di dalam pergaulan yang dibutuhkan adalah bicara, bicara, dan bicara. Mungkin karena itu pulalah aku jadi suka mencari 96



kesibukan sendiri. Kalau hari kerja, ya, memang tak ada kesibukan lain selain mengerjakan tugas kantor. Tapi bila hari libur, maka aku akan berusaha mencari kesibukan di rumah, atau tidur! Nah, pada suatu kali ketika cuti, aku berniat mengecat rumahku. Kebetulan yang akan kucat memang bukan seluruh dinding rumah, tapi hanya beranda dan pagar tembok yang tak seberapa itu. Setelah kubayangkan warna yang akan kuoleskan di dinding, aku pun ke toko material mencari cat dan peralatan lainnya. Belum lagi aku mengunci pintu pagar, tiba-tiba Pak Sodik, orang yang biasa mengerjakan renovasi rumah lewat di depan rumah. Setelah basa-basi dan seperti biasa kujawab cuma dengan senyum, dia bertanya aku akan ke mana, dan kujawab akan membeli cat tembok. Tanpa kuduga dia langsung bicara panjang lebar soal harga cat sampai warna. Dia, tanpa kuminta, langsung mengeluarkan ilmunya soal cat dan aku tak bisa lain kecuali mendengarnya dengan kesabaran imitasi. Entah ke mana saja arah bicaranya, yang kutahu pada akhirnya dia menawarkan diri mengecat tembok rumahku. Aku tertawa kecil dan mencoba menolak dengan halus, "Wah, mana kuat saya bayar Pak Sodik." Dia tertawa saja, tapi bersikeras agar pekerjaan tersebut diserahkan kepadanya. "Pokoknya, Mas Nug terima beres. Daripada tangannya belepotan cat, kan, enggak lucu?" tambahnya sembari menodongkan tawarannya padaku. "Baik. Ongkos tukang catnya, berapa per hari?" tanyaku sekadar ingin cari celah. "Ah, kayak enggak kenal saja, pakai nanya segala..." jawabnya sambil tertawa entah apa maksudnya. Begitulah percakapanku dengan Pak Sodik. Akhirnya dialah yang mengerjakan pengecatan dinding rumahku. Anehnya, ongkosnya selalu dia rahasiakan, seakan aku sudah biasa menyuruhnya mengecat rumahku. Sementara aku masih saja memikirkan kirakira berapa biayanya. Karena tak ada lagi yang bisa kulakukan, aku masuk kamar dan membiarkan dia bekerja. Kusibukkan diriku dengan membaca apa saja. Entah bagaimana aku meraih sebuah buku, oleh-oleh dari seorang kawan. Panchatantra, sebuah kumpulan cerita klasik India, yang semasa kecil kukenal lewat dongeng tutur ayahku. Meskipun sudah kuhafal benar cerita-cerita itu, tapi saat itu aku menikmatinya juga. ”Kisah si Petani Bodoh”, ”Pertapa dan Jin”, dan entah apalagi, kubaca semuanya, sampai akhirnya tiba-tiba Pak Sodik muncul di pintu kamarku. "Ada apa, Pak?"



97



"Sudah selesai...," jawabnya dengan raut muka kurang senang. Kulihat arlojiku, baru jam tiga. Sudah selesai. Ya, memang hanya sedikit yang harus dikerjakannya. Berapa,



Pak?"



"Terserah sajalah... soalnya, ya, gimana, ya. Ini, kan, enggak seberapa...," jawabnya dengan nada yang menusukku. "Tadi, kan, saya sudah bilang, kalau ini pekerjaan enggak seberapa, dan juga soal biayanya... ya, kan?" kataku tak mau kalah. Tapi, tampaknya dia tidak bisa menerima sanggahanku. Dia terus menggumam tak jelas, tapi kutahu maksudnya. "Kalau sekalian yang dalam, sih, saya bisa mengira-ira berapa besarnya. Tapi, ini, kan, cuma sedikit. Jadi... saya enggak enak mau minta bayarannya." Aku makin kesal. "Pak, begini saja. Enggak usah merasa enggak enak. Bilang saja berapa, saya bayar," kataku seraya mencabut dompet. "Wah, jangan begitu Mas. Masak saya mau narik ongkos lebih mahal dari harga catnya," ucapnya sambil tersenyum kecewa. "Kalau memang begitu, ya enggak apa-apa. Ini mohon diterima..." kataku sambil mencabut selembar 50 ribuan. Dia tak bicara lagi dan langsung pulang. Terus terang aku kesal, mana mungkin hanya mengerjakan tak lebih dari 15 meter persegi, aku harus mengeluarkan upah Rp 50 ribu. Tapi, ya, mau bilang apa? Beberapa hari kemudian, kebetulan aku diundang teman yang mengadakan akikah untuk anaknya yang baru lahir. Di tempat itu pun aku merasa hanya sebagai pendengar, mendengarkan orang bicara soal politik, soal sepak bola, soal perempuan, soal anak-anak, narkoba, dan entah apa lagi. Rasanya begitu banyak pengetahuan mereka soal topik-topik itu, sementara aku merasa tak tahu apa-apa. Gelak tawa dan canda ria berhamburan di sekitarku dan seakan tak mau menyentuhku sama sekali, sampai sebuah kalimat menyedot perhatianku: soal Pak Sodik. Pak Wisnu, seorang tamu juga, yang bicara soal Pak Sodik, segera kutanyai lebih banyak. Katanya, dia kemarin menyuruh Pak Sodik membetulkan kitchen set-nya. Sambil bekerja Pak Sodik ngoceh bahwa dia kecewa karena pernah disuruh orang kompleks mengecat rumah dan dibayar murah sekali. Biasanya dia dibayar Rp 100.000 per pekerjaan mengecat rumah, tapi cuma dibayar kecil. Begitu tutur Pak Wisnu. Nyaris saja aku bertanya soal siapa yang menyuruh Pak Sodik dan berapa jumlah uang yang diterimanya, tapi kuurungkan. Tapi, yang membuatku jadi lebih kesal adalah ketika kudengar bahwa Pak Sodik berkomentar soal luasnya tembok yang harus dicat. Katanya,



98



"Cuma ngecat se-emprit saja pakai nyuruh orang. Kayak bos saja. Kayaknya enggak mau kotor." Entah apa yang kemudian diceritakan Pak Wisnu, rasanya aku sudah tak tahu lagi. Terus terang aku marah pada manusia "kancil" satu itu. Bagaimana mungkin dia bisa memutarbalikkan ucapan dan membuatku seperti orang paling jahat di dunia. Sejak saat itu, aku berjanji tak akan menyuruh dia lagi untuk melakukan pekerjaan apa pun. Suatu kali, aku berniat mengganti rumput di halaman rumahku. Tak seberapa luas memang, tapi jika diganti dengan rumput golf, kok, kayaknya bagus. Tanpa pikir panjang, aku pergi dan membeli rumput tersebut. Ketika aku asyik mencangkuli halamanku, tiba-tiba si "setan" itu muncul lagi. Seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, dia mulai berkomentar soal rumput. Namun, kali ini tak kuhiraukan sama sekali. Ketika, sebagaimana kuduga, dia akhirnya meminta pekerjaan itu, aku cuma menjawab bahwa aku bukan sok bos yang hanya bisa menyuruh-nyuruh orang. Aku memang bermaksud menyinggungnya, tapi badak juga dia rupanya. Entah bagaimana, akhirnya dia pergi dan itu membuatku lega. Akhirnya, begitu magrib tiba, selesailah taman baruku. Puas juga rasanya mengisi hari Minggu dengan kegiatan itu. Di stasiun kereta api yang akan membawaku ke kota, aku bertemu orang-orang kompleks yang juga berangkat bekerja dengan menaiki kereta pagi. Setelah omong sana-sini, akhirnya ada satu kalimat yang membuatku harus menahan amarah. Menurut salah seorang itu, entah siapa, Pak Sodik menggerutu bahwa di kompleks ternyata masih saja ada yang bermental petani. Orang itu, kata Pak Sodik, rumahnya bagus, barang-barangnya mewah, tapi tak mau memberikan sedikit mata pencarian bagi orang semiskin dia. Padahal, tambahnya, rumput yang digantinya itu cukup luas, yang menurutnya bisa memberinya 10–20 ribu rupiah sekadar buat makan hari itu. Ketika aku duduk dan menatap pemandangan di luar kereta, aku tak bisa mengerti tentang apa yang baru kualami ini. Kereta api membawaku ke suatu tempat yang jauh dari kompleks rumahku, tapi yang mungkin akan membawaku kepada lingkungan yang tak jauh berbeda dari apa yang ada di sekitar rumahku. Aku mulai berpikir, mungkin kini saatnya aku harus banyak bicara, entah benar, entah salah. Yang penting bicara. Dengan berbicara, mungkin orang akan segan kepadaku. Mungkin.



99



Dusta Itu (gambar 17)



Perang saudara itu masih saja berkobar, melibas ratusan bahkan ribuan nyawa. Bangkai gajah, bangkai kuda, kereta perang dan patahan senjata, tersembul di sana-sini bercampur jenazah kedua pasukan, di tengah rawa darah, padang Kurusetra. Pesta para burung bangkai! Ulat-ulat menari girang, mendapatkan makanan melimpah ruah. Kepulan asap dupa dan kemenyan membubung melingkupi langit, seakan mengantarkan para arwah yang dipaksa meninggalkan jasadnya. Pandawa dan Kurawa seakan bermain catur. Satu demi satu para senapati di masingmasing pihak mati di tangan lawan. Panglima Seta, dan kedua adiknya Utara dan Wratsangka, gugur membela Pandawa; sementara Bisma sebagai Panglima Kurawa mendengungkan terompet kemenangan. Pada hari berikutnya, Srikandi maju membela Pandawa, menggantikan Seta dan berhasil menewaskan Panglima Bisma. Begitu Bisma gugur, kedua belah pihak merasa terpukul. Bisma adalah kakek mereka. Bisma adalah guru mereka. Bisma adalah junjungan mereka. Namun perang adalah perang, yang ada hanyalah kalah atau menang. Percuma saja isak tangis tertumpah, jika pada akhirnya melahirkan amarah. Perang adalah hidup atau mati. Itulah yang dibisikkan Kresna kepada Arjuna. Arjuna gelisah. Tak mungkin dia harus membunuh orang-orang yang masih berkaitan darah dengannya. Mustahil dia berhadapan dengan guru dan junjungannya. Bisma dan Dorna adalah dua orang yang memberinya bekal hidup dalam menempuh jalan sebagai seorang kesatria. Maka majulah Abimanyu, anak kesayangan Arjuna. Muda usianya, belum lagi 20 tahun ketika itu. Di atas kereta perangnya, Abimanyu membelah pasukan Kurawa. Kelebatan tangannya mematahkan serangan, sekaligus merenggut nyawa siapa pun yang menghadang, membuat Abimanyu dan kereta perangnya seakan putaran pedang yang menumpas habis apa saja. Kendali kereta berada di tangan Sumitro, saudara seayah Abimanyu. Di tangannya, kereta perang bagai rajawali yang melayang rendah dan menyambar ganas. Pasukan Kurawa seperti ilalang yang bertumbangan ditebas bilah pisau raksasa; mati merana untuk sesuatu yang belum tentu mereka pahami benar.



100



Hari itu, ketika terompet mengalun di bukit-bukit Kurusetra, bendera-bendera Pandawa berkibaran menantang langit. Megah, ditiup angin utara yang membawa kemenangan. Abimanyu dipanggul sebagai pahlawan. Dorna, resi tua renta, guru Pandawa dan Kurawa, hari itu menggenggam gendewanya. Serangan Abimanyu harus dipatahkan. Gelar perang pun diubah. Strategi harus diambil untuk menghabiskan tenaga Abimanyu yang luar biasa. Ketika genderang perang dipukul bertalutalu, mengiringi langkah tegap para prajurit ke medan laga, Dorna sigap di atas kereta perangnya. Ringkik kuda-kuda yang menarik kereta perang Abimanyu, sayup-sayup terbawa angin. Debu mengepul, melatari sorak-sorai manusia yang haus darah. Sesaat Dorna menahan napas. Ada sebersit perasaan aneh dalam menghadapi Abimanyu. Belum lagi 20 tahun usianya, dan harus berhadapan dengan guru perang yang sudah sangat kenyang makan asam-garam kehidupan. Jika menang melawan Abimanyu, dunia tak akan heran, namun jika kalah... akan di kemanakan wajah tua yang diagungkan orang ini? Apalagi ketika bocah itu lahir, Dornalah yang pertama kali mendapat izin menggendongnya, karena Arjuna—ayah Abimanyu—begitu hormat kepadanya. Kini, beberapa saat lagi, dia harus membunuh cucu yang disayanginya. Anak kecil yang pernah ngompol membasahi jubahnya, dan itu membuat Dorna terbahak-bahak hingga meneteskan air mata bahagia, kehidupannya akan musnah di tangan Dorna. Mata Dorna berkaca-kaca membayangkan kilasan masa lalu anak muda yang sebentar lagi mati di tangannya. Tiba-tiba, seekor kuda putih melintas di hadapannya. Semula dia berpikir, kuda itu hanyalah kuda perang milik orang lain yang memang menjadi kendaraan perang. Namun, ketika kuda itu berhenti dan menatapnya lurus-lurus, tahulah Dorna bahwa itu adalah aura Dewi Wilutomo, bidadari yang dikutuk menjadi kuda, istrinya, yang kini telah tiada. "Kau akan membunuh anak muda itu?" tanya kuda itu dalam suara yang hanya dipahami Dorna. Angin



membelai



lembut



alis



Dorna



yang



memutih



di



sana-sini.



"Ini perang, istriku." "Kau



akan



membunuh



anak



muda



itu?"



ulang



Wilutomo



tenang.



"Apa boleh buat..." jawab Dorna sambil mendesah. "Berarti kau sekaligus akan membunuh ayahnya..." Dorna terdiam. Keteguhannya mulai goyah. "Berarti kau juga akan membunuh anaknya..." 101



"Apa maksudmu?" "Istri Abimanyu tengah mengandung. Bayi itu akan lahir tanpa mengenal ayahnya, jika panahmu mengisap nyawa Abimanyu..." Lama Dorna terdiam. Entah apa yang berkecamuk dalam hatinya. Matanya setengah terpejam, kumis dan janggutnya dibelai angin, lembut bergoyang-goyang. Tak lama kemudian, "Ini perang, Wilutomo. Ini perang..." lalu memacu kudanya, yang segera menarik kereta, maju mengadang lawan. Perang pecah. Langit dipenuhi anak panah. Menghunjam ke bumi dan menciptakan tumpukan jenazah. Dorna membabi buta menghamburkan anak-anak panahnya. Namun, sulit sekali mendekati kereta perang Abimanyu. Diperintahkannya Jayadrata memancing Abimanyu agar mendekati wilayah Dorna. Sumitro tewas, namun kekang tak pernah lepas dari tangannya. Abimanyu segera menaiki Pramugari, kuda setianya yang sehati dengan tuannya. Pramugari bagai harimau lapar, melompat dan menendang lawan. Dengan gesit dia melompat, lalu berdiri me-nyongklang, mendepak lawan di depan. Kemudian menyentakkan kaki belakang menghantam manusia yang di belakangnya. "Manakah Dorna, guru tua yang tak tahu diri itu?" tantang Abimanyu di selasela riuh rendahnya pertempuran. Dorna melepaskan panahnya, tepat mengenai jantung Pramugari. Kuda itu meringkik dan tersungkur mencium bumi. Abimanyu melompat turun dan dengan pedangnya, dia mulai membabat lawan. Tubuhnya seakan kebal, tak satu pucuk pun senjata mampu melukai kulitnya yang halus. Dorna tanggap, tali pengikat tempat anak panah itulah kelemahan Abimanyu. Oh, begitu mudah membunuhmu Abimanyu, tetapi mengapa kepiluan kian menggigitku, manakala kurentang gandewa ini kepadamu? Sekejap, anak panah itu lepas, menebas tali pengikat...maka Abimanyu pun lumpuh bagai karung goni yang kosong. Segera tubuhnya terajam anak panah. Abimanyu, Abimanyu… bagai landak tubuhmu, merangkak hina-lata tanpa rintihan. Telah kau kenyamkah kenikmatan hidup sebagai lelaki? Telah kau cicipikah kemuliaan hidupmu? Mengapa kau berakhir dengan tubuh nyaris hancur dirajam panah? Dorna berbalik, menatap punggung bukit yang tergoresi warna merah senjakala. Tak dihiraukannya sorak-sorai itu. Jiwanya begitu sunyi. Kosong, melayang dia di atas kereta perang, mengutuki sebuah perbuatan yang hanya karena terbakar nafsu, melumatkan segalanya. "Kau akan membunuh ayahnya..." ucapan Wilutomo mengiang di telinganya.



102



"Untuk apakah semua ini, suamiku?" bisikan pertanyaan Wilutomo kembali mengiang di telinga Dorna. "Aku minta jawaban yang jujur darimu, karena kau adalah guru kedua belah pihak yang bermusuhan..." Dorna terdiam. "Bukankah



ini



semua



karena



keangkuhan



orang-orang



sepertimu,



yang



mengatasnamakan harga diri, lalu dengan mudah mencabut pedang?" "Kau tahu apa soal perang? Akulah guru perang. Akulah yang paling tahu, bahwa peperangan memang diperlukan." "Siapakah yang memerlukan peperangan?" "Bumi ini!" "Aku tidak mengerti." "Bumi membutuhkan siraman darah untuk menyuburkan dirinya dan itu untuk menumbuhkan kehidupan baru..." "Maafkan aku, bila kepalaku hanya berisi kebodohan. Sebagai orang bijak, maukah kau menjelaskannya dengan bahasa yang bisa kupahami?" Dorna terdiam lagi. Dan terdiam untuk waktu yang lama. Tak ada jawaban, karena berarti akan ada dusta baru lagi. Kematian Abimanyu membuat Arjuna tak terbendung. Meskipun putra mahkota kaum Kurawa, Raden Lesmana, juga mati di tangan Abimanyu, itu tak cukup bagi Arjuna. Di lain pihak Prabu Duryudana, raja kaum Kurawa, menjadi naik pitam. Hukum peperangan pun dilanggar. Kematian kian menderas membasahi bumi yang seolah tersenyum menerima tubuhtubuh bergelimpangan. Gatotkaca mati di tangan Adipati Karna. Lalu entah siapa lagi dan siapa lagi. Karna mati di tangan Arjuna. Dorna kian tua menatap semuanya. Dia mencoba menata jiwanya. Maka medan perang pun terobrak-abrik oleh amukan resi tua yang dahsyat itu. Pedangnya, panahnya, semuanya meminta nyawa. Sementara tubuh renta yang seolah hanya tulang terbalut kulit itu, seakan tak terjamah senjata. Panah seakan kuntum mawar yang dilontarkan penari cantik, bagi Dorna. Arjuna enggan melawan gurunya. Bima hanya menggeram, dan agaknya masih larut dalam kepedihan atas kepergian anaknya. Tak ada lain, hanya Yudistira yang harus menghadapinya. "Hanya Yudistira yang mampu menaklukkan Resi Dorna..." ucap Kresna ketika mengatur siasat perang. Karena tak ada pertanyaan, Kresna pun melanjutkan, "... karena hanya Yudistira yang akan didengar pendapatnya oleh Dorna...



103



Tenda kian mencekam, karena tak seorang pun mengerti maksud Kresna. Lelaki berkulit hitam dan selalu tersenyum memandang masa depan itu, kemudian menjelaskan strateginya kepada Pandawa. "Dorna akan lebih paham apa yang diucapkan Wilutomo… ya, dia akan benar-benar paham arti ucapan itu...," tambah Kresna sambil menatap suatu tempat nun jauh entah di mana. Pedang berkelebat, darah membesut membasahi bumi. Teriakan dan lolongan bersahutan dan di langit ratusan burung bangkai melayang-layang berkaok-kaok siap berpesta pora. Resi Dorna menumbangkan kehidupan, dia mengamuk seakan mencari kematiannya sendiri. Anehnya, saat itu, kematian justru terbirit-birit dikejar kelebatan pedang Dorna. Angin berkhianat, mengapa pula membawa nama itu "Aswatama mati...!" Nama itu, nama anaknya, yang juga berperang di sisi lain medan pertempuran. Di selatan, angin membawa nama itu sampai di telinganya. Kemudian dari barat, angin pun membawa berita itu kepadanya. Dorna seperti lumpuh. Namun, tangannya masih haus darah. "Yudistiraaa... di mana kau?" teriaknya lantang. Kereta perangnya terhenti, tepat di depan kereta perang Yudistira. Di hadapan Yudistira, Dorna seakan menyaksikan alam yang begitu permai, sejuk dan mendamaikan hatinya. Perlahan Dorna turun dari kereta, demikian pula Yudistira yang maju tanpa menggunakan senjata. Dorna pun membuang pedangnya ke tanah, mereka saling mendekat. Dorna memeluk raja yang terkenal jujur dan bijaksana itu. "Benarkah Aswatama mati?" bisiknya dengan suara parau. Yudistira memeluknya erat, terdiam beberapa saat. "Katakan padaku, wahai Yudistira. Katakan, wahai kejujuran, katakan bahwa benar Aswatama, anakku telah mati." "Benar. Aswatama telah mati," jawab Yudistira pendek. Langit gelap oleh duka cita. Dorna gemetar melepas pelukannya. Matanya basah menatap Yudistira. Yudistira menunduk. Bibirnya gemetar. "Mengapa guruku menangisi kematian? Bukankah guru mengajarkan kepada kami bahwa setiap nyawa yang mati di medan laga adalah sekuntum kemuliaan bagi alam..." ucap Yudistira seolah tertelan keriuhan sorak-sorai pembantaian manusia. Air mata Dorna menderas. Tubuhnya seakan melayang tak menapak bumi. Dia undur beberapa langkah menjauhi Yudistira. "Kaulah kejujuran itu, Yudistira. Hanya kaulah yang kupercaya. Bukan kematian Aswatama yang kutangisi, tapi dusta yang baru saja kau ucapkan, yang kusesali. Apa lagi yang akan kuperoleh di dunia ini, manakala kejujuran telah melahirkan dusta? Oh, Yudistira, Yudistira.. tak ada lagi yang bisa kupercaya. Dunia pun bahkan tak punya 104



pegangan



lagi



dalam



berputar,



karena



kejujuran



telah



mendustainya."



Senja merah tutun menyelimuti jenazah mahaguru Dorna. Tak satu pun bibir mampu berucap. Hanya



dupa



mengiringkan



kepergiannya



menuju



alam



kebebasan



yang



sejati.



Senja itu, sesuatu telah terjadi dan tak akan pernah bisa diperbaiki.*** Kepada Ki Manteb Soedharsono, selamat mementaskan Dorna Gugur Chantia Building, lt.2



Maaf Kalau... (gambar 18)



Kalau saja, ya, kalau saja kami mau memikirkannya, tentu tak akan begini jadinya. Jika saja kami mau memikirkan bahwa matahari tidak hanya satu, bulan bukan cuma yang kita saksikan, dan lembah tempat kita hidup ini bukan hanya ini... tentu kejadian seperti ini tak akan pernah terjadi. Aku melihat bahwa kami semua hanyalah sekelompok manusia berkacamata kuda. Kuda yang hanya patuh pada cambuk dan tali kekang. Kuda yang hanya tunduk pada perintah kusir, serta gembira ketika menerima seember dedak dan seikat rumput setiap kali berhenti di sebuah tempat. Entah apa yang sebenarnya kami pikirkan tentang hidup ini, sehingga apa yang kami saksikan di depan mata itu sajalah yang dapat disebut kehidupan? Hidup kami hanya dibatasi oleh terbit dan tenggelamnya matahari. Hanya dengan satu komando, kami bergerak dan juga hanya dengan satu komando kami berhenti. Hidup hanya dari upah ke upah. Hidup hanya dari kelelahan yang satu menuju pada kelelahan yang berikutnya. Nyaris tanpa variasi. Nyaris tanpa keriangan. Kalaupun ada yang kami sebut keriangan, mungkin sesekali tercipta gelak tawa di meja judi di akhir bulan. Kalau saja, ya, kalau saja kami mau menggunakan akal dan nurani kami sedikit saja untuk memahami mengapa bayi yang dilahirkan Sripah begitu adanya, tentu bayi itu masih hidup sampai saat ini. Ah, terlalu cepat mungkin aku menceritakan keadaan kami. Maaf. Tetapi, itulah yang terjadi pada kami. Aku tidak mengerti dengan alasan apa aku menuliskan suratku ini kepadamu. Karena, begitu mereka mengetahui bahwa ini semua karena aku, artinya aku menghadapi sebilah golok yang akan mengerat leherku. Tetapi, itulah yang ingin kulakukan. Aku tak ingin ini semua berakhir seperti ini. Tidak. Aku ingin pada suatu kali, entah kapan, kau bisa mengatakan hal sebenarnya tentang kami.



105



Terus terang, aku menyesali perbuatan terkutuk itu, yang kami lakukan bersama-sama atas bayi itu. Tak bisa kubayangkan seumur hidupku, aku telah ikut membunuh bayi suci, mungil menawan hati itu, hanya karena di punggungnya tumbuh sepasang sayap putih. Sebentar, aku terlalu jauh lagi melompat-lompat. Setahun yang lalu, desa kami mendapat tambahan warga baru. Warga baru itu adalah sesosok bayi yang dilahirkan oleh seorang wanita yang kami kenal dengan nama Sripah. Entah mengapa dia bernama demikian, aku tak tahu pasti. Yang aku tahu, dia adalah seorang janda muda. Dia menjanda setelah ditinggal pergi suaminya, entah ke mana dan entah mengapa. Tahu-tahu aku dengar kabar bahwa dia sudah menjadi janda. Beberapa bulan setelah suaminya pergi, aku mendengar kabar bahwa dia hamil. Yang menyampaikannya padaku entah siapa. Pokoknya aku mendengar kabar dia hamil. Jelas, kabar itu menjadi gunjingan orang sekampung, namun Sripah agaknya tak ambil pusing. Tiap hari kami amati perutnya kian membesar. Bahkan, ada yang mengatakan kemungkinan bayinya kembar. Lalu, ada yang membantah bahwa mustahil kembar karena suami Sripah—kata yang membantah itu—bukan dari keluarga yang memiliki "bakat" kembar. Mungkin Sripah sendiri memiliki "bakat" kembar, begitu kata yang lain, tetapi yang juga dibantah dengan alasan yang sama. Aku sendiri sebetulnya tak ambil peduli. Mau berasal dari keluarga kembar atau tidak, atau apakah betul bayinya kembar atau tidak, benar-benar aku tak peduli. "Lo, sampean, kan, orang sekolahan. Sampean, kan, orang pinter… masa sampean tidak peduli pada lingkungan sampean?" begitu protes seseorang pada saya. "Sripah itu siapa? Saya kenal pun tidak. Sampean kenal dia?" jawab saya agak jengkel. "Tidak." "Terus, seandainya bayinya kembar... mau apa, coba?" desak saya. "Artinya, dia hamil bukan dengan suaminya...," jawabnya ringan. "Terus kenapa?" "Lo, kok, terus kenapa... Ya..., harus diusut mengapa dia bisa hamil, padahal dia sudah tidak bersuami lagi...." "Apa betul begitu? Jangan-jangan sebetulnya dia sedang hamil muda ketika suaminya minggat...." "Pokoknya harus diselidiki, jangan seperti inilah keadaannya...." Aku diam. Sulit melawan manusia berotak bata merah ini. Untuk apa pula kehidupan pribadi manusia diselidiki seperti itu. Terus, seandainya dia sudah tahu semuanya, mau apa? 106



Nah, pada hari kelahiran si bayi, kami semua bertandang ke rumah Sripah. Ternyata, bayi Sripah tidak kembar. Begitu menyaksikan sendiri bahwa yang ada di dalam kandungan Sripah tidak kembar, aku sengaja memerhatikan wajah-wajah yang dulu pernah bertaruh dan saling bantah. Seperti kau duga: tak ada apa-apa, seolah kejadian tempo hari itu lenyap diembus angin. Bayi merah itu lahir lewat bantuan Mak Ginah, si dukun bayi. "Mirip angsa…," bisik salah seorang di antara kami. "Mungkinkah dia anak jin?" gumam yang lain. Namun, itu semua tidak pernah membuat kami berpikir ke arah lain. Seakan-akan "keanehan" ini, yang terjadi di tengah-tengah kehidupan kami ini, adalah kesalahan alam dan bukan sesuatu yang lain. Yang aku kian tidak mengerti, mengapa kami begitu cepat menyimpulkan tanpa pernah benar-benar merenungkannya dengan sepenuh hati. Lantas dengan kesimpulan itu, kami sepakat harus melenyapkan makhluk tanpa dosa itu dari kehidupan kami. Itu yang tak bisa kumengerti. Pernahkah kami berpikir siapakah Sripah yang selama ini kami kenal? Kami cuma mengenalnya sebagai perempuan nakal yang hidupnya selalu berselimutkan kelam malam, entah bersama siapa. Seorang perempuan sintal, dengan gelak tawanya yang memecahkan berahi lelaki. Seorang perempuan dua puluh tahunan yang jika mandi di kali tak pernah menggunakan kain penutup dan membiarkan angin membelai seluruh permukaan tubuhnya. Kami semua, para lelaki dusun ini, rasanya, pernah menyaksikan keindahan tubuhnya dari balik semak-semak. Bukankah dia juga tumbuh dalam diri kami, sejak kami kanak-kanak dulu? Sripah si pelacur telah melahirkan bayi bersayap. Yang menurut kami mirip angsa, atau makhluk bukan manusia. Yang menurut kami, karena berbeda dari kami, maka wajib dilenyapkan. Yang menurut kami, karena tak sama dengan kami, wajib disingkirkan keberadaannya dari muka bumi ini. Dan anehnya, pendapat itu, muncul bersamaan dengan kutipan kalimat suci bahwa Tuhan tak pernah membedakan makhluknya kecuali pada kesungguhan makhluk tersebut mengabdi kepada-Nya. Aku tak mengerti mengapa kami hanya bersembunyi di balik kalimat suci, tanpa sepenuhnya menyadari kesuciannya. Setiap kali kupikirkan perbuatan kami, wajah mungil suci bagai malaikat itu membayang di pelupuk mataku. Matanya yang masih terpejam, rambutnya yang ikal hitam, serta senyum kecil yang kadang melintas di bibirnya yang mungil itu, selalu membuatku menangis. Siapakah kau bayi mungil bersayap? Apakah kau dilahirkan sebagai sebuah peringatan kepada kami, yang dengan sengaja membunuh anugerah ilahi? Apakah kau lahir



107



sebagai anugerah itu sendiri? Atau sebaliknya, kau lahir sebagai cambuk hukuman atas kebodohan yang terpelihara rapi di kehidupan kami? Oh, makhluk mungil nan suci, kubayangkan sayap putihmu mengepak perlahan mengitari kampung. Lalu dengan celoteh mungilmu, kau sapa pintu-pintu rumah kami dengan kesejukan senyummu. Kubayangkan bola matamu sebening telaga, berbinar meluluhkan keangkuhan hati manusia. Sayap putihmu akan membelai-belai kelelahan kami, sehingga kami dapat benar-benar terlelap dan enggan terjaga kembali. Maaf, aku ngelantur lagi dan melompat-lompat lagi. Ya, sungguh sebuah pukulan dahsyat bagi jiwaku. Itulah mungkin yang membuat pikiranku selalu meloncat-loncat. Maafkan jika suratku ini tak beraturan, karena peristiwa itu benar-benar menggangguku. Lahirnya bayi Sripah, yang kemudian kami ambil dan beberapa saat kemudian kami bunuh, sungguh sesuatu yang berada di luar nalarku. Aku menyesali diri karena tak mampu mencegah. Aku mengutuki diri karena mengikuti pikiran manusia berotak dengkul ini. Tetapi, wajahnya jernih, mirip boneka mainan anakku. Sepasang sayap putih yang masih tertangkup di punggungnya itu benar-benar indah. Layaknya, bayi itu adalah jelmaan malaikat. Ah, mungkin kau menganggapku gila. Aku tak keberatan jika kau tuduh gila, karena memang apa yang kulihat adalah sesuatu yang di luar kemampuan kerja nalar manusia. (Ah, maaf, jika aku berani membawa-bawa nalar dalam percakapan ini). Tahukah kau ketika sepasang tanganku ini mulai mencabut hak hidup bayi merah yang bahkan tak menangis itu? Ah, tidak, sebaiknya tidak usah kuceritakan, karena aku yakin kau bisa membayangkan betapa sebuah kekejaman begitu saja lahir tanpa sebab yang jelas. Namun, yang lebih membuatku mual adalah, begitu bayi itu tak bernapas lagi, mereka—orang-orang itu, bersorak girang, layaknya pendukung kesebelasan yang menang pertandingan. Mereka bahkan ada yang bertangisan bahagia. Bahagia! Aku, sejak itu, tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, rasanya, aku tak mampu berpikir apaapa. Sering kali, aku tiba-tiba mendapati diriku tengah meraung-raung tak keruan di tengah ladang kering. Atau, tiba-tiba kusadari bahwa mulutku penuh jerami, karena telah memakannya sesaat sebelum kesadaranku kembali tadi. Aku dikejar-kejar pertanyaan: mengapakah perbedaan ini harus berakhir dengan kematian? Apa salahnya seorang manusia memiliki sepasang sayap? Bukankah, apa pun yang ada di dunia ini tercipta atas kehendak Sang Maha Pencipta? Ya, apa salahnya? Bukankah di sekitar kita ini begitu banyak manusia yang memiliki tanduk, tak ubahnya sapi atau kerbau? Juga, bukankah sangat banyak, kian banyak malah orang-orang yang di sekitar kita—mungkin 108



juga keluarga atau sanak famili kita sendiri, yang bertaring layaknya harimau, ular atau babi rusa? Aku tiba-tiba seperti hidup di dunia yang asing sekali. Tahukah kau, kawan, rumahku hanyalah sebuah rumah kecil biasa. Dengan pintu dari kayu meranti. Tak ada halaman yang berarti, hanya sedikit lebih lebar dari sebuah kursi. Pagarnya pun hanyalah beluntas dengan hiasan sulur-sulur tali putri. Kadang aku meremas daun-daun beluntas itu lalu menghirup kesegaran aromanya. Tetapi, sejak peristiwa itu, aku jadi tak mengenali lagi di mana kau berada. Maksudku, aku memang masih tahu bahwa itu rumahku, lengkap dengan bagianbagiannya, namun ada yang terasa aneh, asing dan... terus terang agak menakutkan. Apalagi kalau aku harus bercermin... ah, aku seperti menyaksikan sesuatu yang mengerikan. Ya, sejak saat itu, aku seperti tidak melihat di mana seraut wajah yang sejak kecil kukenal itu. Ah, kalau saja, ya, kalau saja saat itu kau segera membalas suratku, apalagi mau datang kemari, tentunya semuanya tak berlarut-larut seperti ini.



Sejarah Penerbitan 1. Anjing



belum pernah dipublikasikan



2. Bom



belum pernah dipublikasikan



3. Kambing



belum pernah dipublikasikan



4. Nam-ma, Namamu…



belum pernah dipublikasikan



5. Penyair dan Ular



belum pernah dipublikasikan



6. Randu



belum pernah dipublikasikan



7. Baterai



belum pernah dipublikasikan



8. Wayang



belum pernah dipublikasikan



9. Di Taman Kota Singapura



Matra



10. Saya, Anjing



Matra



11. Kuda Kayu Bersayap



www. Cybersastra. net



12. Si Rambut Panjang Itu



Lisa



13. Umairah



Kompas, 6 Februari 2000



14. Kapan Pulang?



Suara Pembaruan, 10 Mei 2003



15. Laki-Laki yang Menusuk Bola Matanya



Kompas, 6 Januari 2003



16. Lho



Nova, 3 Mei 2003



109



17. Dusta Itu



Suara Merdeka, 19 Januari 2003



18. Maaf Kalau



Media Indonesia, 29 Juni 2003



Tentang Penulis (Foto Penulis)



Yanusa Nugroho lahir di Surabaya, 2 Januari 1960. SD di YMCA Surabaya, hanya sampai kelas 4, lalu pindah ke Palembang hingga selesai, 1973, di SD Methodist II. Tahun 1975 melanjutkan ke SMPN I Sidoarjo-Jawa Timur, hingga selesai tahun 1977. Kemudian melanjutkan SMA di SMA N 43, Jakarta, hingga selesai tahun 1980. Pernah duduk di IPB tapi drop out, lalu melompat ke Fakultas Sastra UI dan selesai tahun 1989. Sejak 1988 sampai 1991 duduk sebagai redaksi majalah Berita Buku IKAPI. Pertengahan 1991 mencoba menjadi copywriter di Adwork Advertising. Namun, 18 bulan kemudian mencoba ke Indo-Ad, dan ternyata bertahan sampai 1998 dengan jabatan terakhir Senior Copywriter. Sampai saat ini masih tetap menulis cerpen, membuat company profile (baik buku maupun film) dsb, yang masih berkaitan dengan dunia iklan. Kini, tinggal di Bukit Nusa Indah, Ciputat bersama istri dan 2 anaknya (Ratri, 11 tahun dan Rahmadi, 5 tahun). Ketertarikannya yang kuat di bidang seni pewayangan, khususnya wayang kulit, membawanya berkenalan akrab dengan Ki Manteb Soedharsono dan berhasil membuat VCD wayang kulit berdurasi 90 menit. VCD pertamanya Dewa Ruci sudah terjual ke Jepang dan Amerika. Bahkan, menjadi bahan studi di Departemen Teater & Film, Universitas Glasgow, Inggris. Konsep pertunjukan wayang kulit televisinya, KALASINEMA, sempat tampil di stasiun televisi swasta. Yanusa pernah menjadi salah satu pemenang untuk lomba ”Kolom Ayah” dan ”Surat” di majalah Ayah Bunda, sedangkan ”Loly” dan ”Dinar” menjadi salah satu pemenang dalam lomba cerita anak-anak di majalah yang sama. Pernah membuat 7 dari 13 skenario film animasi untuk cerita anak-anak, Dongeng untuk Aku dan Kau bersama Red Rocket, Bandung. Pernah meraih penghargaan Multatuli dari Radio Nederland, untuk cerpennya ”KunangKunang Kuning” (1987). Sebagian besar cerpen-cerpennya yang sudah dibukukan adalah ”Bulan Bugil Bulat”, ”Cerita di Daun Tal Menggenggam Petir”, dan yang keempat ”Segulung



110



Cerita Tua”. Novelnya yang diangkat dari dunia pewayangan Di Batas Angin, baru-baru ini diluncurkan, menyusul kemudian Manyura, novel kedua, juga dari dunia pewayangan. Salah satu cerpennya ”Segulung Cerita Tua” setelah dimuat di Kompas Minggu (tahun 1998) dinyatakan ”tidak pernah dimuat” oleh Kompas, karena diprotes pembaca. Uniknya, kumpulan cerpennya yang ke-4, diterbitkan oleh Penerbit KOMPAS, menggunakan judul kumpulan Segulung Cerita Tua, dan sempat menjadi nominasi Khatulistiwa Award th. 2002.



111