Kumpulan Sajak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HAKIKAT SAJAK



Chairil Anwar AKU Kalau sampai waktuku ‘Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Maret 1943



DOA kepada pemeluk teguh Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namamu Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh cayaMu panas suci tinggal kerdip lilin di kelam sunyi Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling 13 November 1943



HAMPA kepada sri Sepi di luar. Sepi menekan mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak. Sepi memagut, Tak satu kuasa melepas-renggut Segala menanti. Menanti. Menanti. Sepi. Tambah ini menanti jadi mencekik Memberat-mencekung punda Sampai binasa segala. Belum apa-apa Udara bertuba. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Dan menanti SAJAK PUTIH Bersandar pada tari warna pelangi Kau depanku bertudung sutra senja Di hitam matamu kembang mawar dan melati Harum rambutmu mengalun bergelut senda Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba Meriak muka air kolam jiwa Dan dalam dadaku memerdu lagu Menarik menari seluruh aku Hidup dari hidupku, pintu terbuka Selama matamu bagiku menengadah Selama kau darah mengalir dari luka Antara kita Mati datang tidak membelah…



CINTAKU JAUH DI PULAU Cintaku jauh di pulau, gadis manis, sekarang iseng sendiri Perahu melancar, bulan memancar, di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.



angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak ‘kan sampai padanya. Di air yang tenang, di angin mendayu, di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertakhta, sambil berkata: “Tujukan perahu ke pangkuanku saja,” Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh! Perahu yang bersama ‘kan merapuh! Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! Manisku jauh di pulau, kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri. 1946



DERAI DERAI CEMARA cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam aku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah 1949 Sapardi Djoko Dawono Aku Ingin Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.



Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.



Pada Suatu Hari Nanti Pada suatu hari nanti, Jasadku tak akan ada lagi, Tapi dalam bait-bait sajak ini, Kau tak akan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti, Suaraku tak terdengar lagi, Tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati, Pada suatu hari nanti, Impianku pun tak dikenal lagi, Namun di sela-sela huruf sajak ini, Kau tak akan letih-letihnya kucari.



Sihir Hujan Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan -- swaranya bisa dibeda-bedakan; kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu. Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan - - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan.



AIR SELOKAN Oleh :Sapardi Djoko Damono "Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit," katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalanjalan bersama istrimu yang sedang mengandung -- ia hampir muntah karena bau sengit itu. Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.



Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: "Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu -- alangkah indahnya!" Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak,1982



AKULAH SI TELAGA Oleh :Sapardi Djoko Damono akulah si telaga: berlayarlah di atasnya; berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma; berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya; sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja -- perahumu biar aku yang menjaganya Perahu Kertas, Kumpulan Sajak,1982



Sutarji Calzoum Bachri PARA PEMINUM di lereng lereng para peminum mendaki gunung mabuk kadang mereka terpeleset jatuh dan mendaki lagi memetik bulan di puncak mereka oleng tapi mereka bilang --kami takkan karam dalam lautan bulan-mereka nyanyi nyai jatuh dan mendaki lagi di puncak gunung mabuk mereke berhasil memetik bulan



mereka mneyimpan bulan dan bulan menyimpan mereka di puncak semuanya diam dan tersimpan WALAU walau penyair besar takkan sebatas allah dulu pernah kuminta tuhan dalam diri sekarang tak kalau mati mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat jiwa membumbung dalam baris sajak tujuh puncak membilang bilang nyeri hari mengucap ucap di butir pasir kutulis rindu rindu walau huruf habislah sudah alifbataku belum sebatas allah 1979 SEPISAUPI sepisau luka sepisau duri sepikul dosa sepukau sepi sepisau duka serisau diri sepisau sepi sepisau nyanyi sepisaupa sepisaupi sepisapanya sepikau sepi sepisaupa sepisaupoi sepikul diri keranjang duri sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sampai pisauNya ke dalam nyanyi 1973 BAYANGKAN untuk Salim Said direguknya wiski direguk direguknya bayangkan kalau tak ada wiski di bumi sungai tak mengalir dalam aortaku katanya di luar wiski di halaman anak-anak bermain bayangkan kalau tak ada anak-anak di bumi



aku kan lupa bagaimana menangis katanya direguk direguk direguknya wiski sambil mereguk tangis lalu diambilnya pistol dari laci bayangkan kalau aku tak mati mati katanya dan ditembaknya kepala sendiri bayangkan 1977 JEMBATAN Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna. Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang jalanan yangberdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota. Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan. Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit mengucap tanah air kita satu bangsa kita satu bahasa kita satu bendera kita satu ! Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita ? Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu mengucapkan kibarnnya. Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami. O dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O...



Amir Hamzah HANG TUAH



Bayu berpuput alun digulung banyu direbut buih dibubung



Selat Melaka ombaknya memecah pukul-memukul belah membelah



Bahtera ditepuk buritan dilanda penjajab dihanatuk haluan ditunda



Chamar terbang riuh suara alkamar hilang menyelam segera.



Armada Peringgi lari bersusun Melaka negeri hendak diruntun.



Galyas dan pusta tinggi dan kukuh pantas dan angkara ranggi dan angkuh



Melaka! laksana kehilangan bapa randa! sibuk mencari cendera mata!



“Hang Tuah ! Hang Tuah! di mana dia panggilkan aku kesuma perwira!”



Tuanku, sultan Melaka, Maharaja Bintan! dengarkan kata bentara kanan.



“Tun Tuah, di Majapahit nama termashur badanya sakit rasakan hancur!”



Wah, alahlah rupanya negara Melaka kerana laksamana ditimpa mara.



Tetapi engkau wahai kasturi kujadikan suluh, mampukah diri?



Hujan rintik membasahi bumi guruh mendayu menyedihkan hati.



Keluarlah suluh menyusun pantai angkatan Pertugal hajat dinintai.



Chucuk diserang ditikami seligi sauh terbang dilembari sekali.



Lela dipasang gemuruh suara rasakan terbang ruh dan nyawa.



Suluh Melaka jumlahnya kecil undur segera mana yang tampil.



“Tuanku, armada Peringgi sudahlah dekat



kita keluari dengan cepat.



Hang Tuah cuba lihati apakah ‘afiat rasanya diri?’



Laksamana Hang Tuah mendengar berita Armada Peringgi duduk di kuala.



Mintak didirikan dengan segera hendak berjalan ke hadapan raja.



Bukankah itu laksamana sendiri Negeri Melaka hidup kembali.



Laksamana , cahaya Melaka, bunga pahlawan kemala setia maralah tuan.



Tuanku, jadikan patik tolak bala turunkan angkatan dengan segera.



Genderang perang disuruhnya palu memanggil imbang iramanya tentu.



Keluarlah laksamana mahkota ratu tinggallah Melaka di dalam ragu...



Marya! marya! tempik Peringgi lelapun meletup berganti-ganti.



Terang cuaca berganti kelam bujang Melaka menjadi geram.



Galyas dilanda pusta dirampat Sabas Melaka su’ma di Selat !



Amuk-beramuk buru-memburu “Tusuk-menusuk laru-melaru.



Lela rentaka berputar-putar cahaya senjata bersinar-sinar.



Laksamana mengamuk di atas pusta Yu menyambar umpamanya nyata…



Hijau segara bertukar warna sinau senjata pengantar nyawa.



Hang Tuah empat berkawan serangnya hebat tiada tertahan.



Chukuk Peringgi menarik layar induk dicari tempat terhindar.



Angkatan besar maju segera mendapatkan payar ratu Melaka.



Perang ramai berlipat ganda pencalang berai tempat kesegala.



Dang Gubenur memasang lela umpama guntur diterang cuaca.



Peluru terbang menuju bahtera Laksamana dijulang ke dalam segara…



CEMPAKA Cempaka, aduhai bunga penghibur lara tempat cinta duduk bersemayam sampaikan pelukku, wahai kusuma pada adinda setiap malam. Sungguh harum sedap malam sungguh pelik bunga kemboja tetapi tuan, aduhai pualam pakaian adinda setiap masa. Sungguh tak kelihatan ia berbunga cemp[aka tersembunyi dalam sanggul tetapi harumnya, aduhai kelana di dalam rambut duduk tersimpul. Amat bersahaja cempaka bunga putih arona, hijau nen tampuk pantas benar suntingan adinda terlebih pula di sanggul duduk.



CEMPAKA MULIA Kalau kulihat tuan, wahai suma kelopak terkembang harum terserak hatiku layu sejuk segala rasakan badan tiada dapat bergerak Tuan tumbuh tuan hamba kembang di negeriku sana di kuburan abang kemboja bunga rayuan hatiku kechu melihat tuan Bilamana beta telah berpulang wah, semboja siapatah kembang di atas kuburku, si dagang layang? Kemboja, kemboja bunga rayuan hendakkah tuan menebarkan bibit barang sebiji di atas pangkuan musafir lata malang berakit? Melur takku mahu mawar takku suka, sebab semboja dari dahulu telah kembang di kubur bonda kemboja bunga rayuan musafir anak Sumatera Pulau Perca tempat pangkuan bilamana fakir telah tiada



PURNAMA RAYA Purnama raya. bulan bercahaya



amat cuaca. ke mayapada Purnama raya. gemala berdendang tuan berkata. naiklah abang Purnama raya. bujang berbangsi kanda mara. memeluk dewi Purnama raya. bunda mengulik nyawa adinda. tuan berbisik. Purnama raya. gadis menutuk setangan kuraba. pintu diketuk Purnama raya. bulan bercengkerama beta berkata. tinggallah nyawa Purnama raya. kelihatan jarum adinda mara. kanda dicium



BUAH RINDU 1 Dikau sambur limbur pada senja dikau alkamar purnama raya asalkan kanda bergurau senda dengan adinda tajuk mahkota. Dituan rama-rama melayang didinda dendang sayang asalkan kandaa selang-menyelang melihat adinda kekasih abang. Ibu, seruku ini laksana pemburu memikat perkutut di pohon ru sepantun swara laguan rindu menangisi kelana berhati mutu.



Kelana jauh duduk merantau di balik gunung dewala hijau di Seberang laut cermin silau Tanah Jawa mahkota pulau… Buah kenanganku entah ke mana lalu mengembara ke sini sana haram berkata sepatah jua ia lalu meninggalkan beta. ibu, lihatlah anakmu muda belia setiap waktu sepanjang masa duduk termenung berhati duka laksana Asmara kehilangan seroja. Bonda waktu tuan melahirkan beta pada subuh kembang cempaka adakah ibu menaruh sangka bahawa begini peminta anakda? Wah kalau begini naga-naganya kayu basah dimakan api aduh kalau begini laku rupanya tentulah badan lekaslah fani.



Purnama raya cuaca benderang permata kekanda pulanglah abang…



Afrizal Malna Kamar yang Terbuat dari Laut Masa kanak-kanakmu terbuat dari sebuah pulau, Ram, di Tomia, Buton. Setiap malam, di antara suara batukku, demam yang tinggi, aku mendengar nafas laut. Laut yang tak punya listrik. Laut yang menyimpan masa kanak-kanakmu. Sebuah kamar yang dihuni orang-orang Bajau. Mereka, laut, kamar dan orang-orang Bajau itu, bercerita tentang … Lidahku jatuh dekat ujung sepatuku. Laut memiliki sebuah kamar di atas bukit Kahiyanga. Ikanikan dan batu karang juga punya sebuah kamar di situ. Aku harus menggunakan lidahku sendiri untuk membukanya. Dan suara batuk, dan demam. Dan pulau yang bising oleh pengendarapengendara ojek. Kamarmu itu, tempat bahasa melompat-lompat seperti ada api yang terus membakarnya. Setiap malam, aku seperti mendengar nafas laut, ikan lumba-lumba yang sedang menidurkan anaknya … wa ina wandiu diu … malam tak pernah memukuli anak-anaknya di dasar laut. Malam tak pernah membuat dirimu terus menangis setelah bangun tidur. Lalu pulaumu itu, Tomia, mengambil batuk dan demamku dengan jari-jarinya yang terbuat dari tulang-tulang ikan, dengan jari-jarinya yang terbuat dari darah ikan. Laut tempat waktu melukis seluruh warna di permukaannya. Laut yang membuat kerudung ibumu seperti lempengan emas di senja hari. Sebuah hempasan waktu yang telah menelan seluruh leherku. Kamar yang terbuat dari laut itu kemudian bercerita … kau telah menjadi seorang ibu, Ram, untuk masa kanak- kanakmu sendiri.



Ketukan-ketukan Kecil di Atas Dengkulku Aku mengetuk-ngetuk dengkulku, ada tanah yang berjatuhan. Dengar. Tanah itu seperti sebuah malam minggu yang mati. Seperti sungai yang berjalan di atas jembatan. Dengkul tidak seperti kota yang kau bangun di mulut knalpot. Bukan sebuah kebahagiaan yang berisik seperti kantong plastik, tempat orang membuang malam dengan bercakap-cakap, dan mencari sedikit pelukan dari kesepian yang biasa. Pelukan yang biasa. Keparat. Seperti piring yang pecah dan meninggalkan lubang hitam di dalamnya. Lalu aku bangkit, dengkulku sudah tak ada. Dengkulku telah pergi dari tubuhku. Tubuh tanpa dengkul itu pun aku buang. Aku buang dekat jendela. Aku terkejut. Aku berada di mana kini? Di luar jendela atau di luar jendela. Siapa yang telah dibuang? Aku yang telah membuang tubuhku ke luar jendela, atau jendela itu yang telah membuangku? Bagaimana aku menentukan arah tanpa bersama tubuhku? Lalu kucing berpesta di malam minggu. Membuat negara dari piring-piring pecah. Aku lihat piring pecah di malam minggu. Aku lihat malam minggu pecah di lubang hitam yang mulai berotot itu. Aku dengar dengkulku menyembunyikan semuanya. Tentang tanah yang berjatuhan di atas bantal tidurmu. Tentang



korek api dalam tubuhmu.



Guru dan Murid Dilarang Masuk ke Dalam Sekolah yang Terbakar Sebuah truk mengangkut bayangan, lebih banyak lagi bayangan dari sebuah jalan dari sebuah truk. Bayangan itu seperti mengenalmu dan berusaha mengenalmu, seperti ada tulisan yang tak bisa dihapus pada keningmu yang demam. Manusia dilarang masuk dilarang berdiri di situ, dilarang memberi rantai di leher anjing dan memasang perangkap tikus. Dan kau mulai mengerti kenapa harus mengucapkan assalamualaikum untuk masuk ke negeri ini. Sebuah truk seperti anakmu masuk sebagai pegawai Bank Dunia, dan seorang tentara keningnya seperti stempel pada punggung sapi yang memasuki ruang jagal. Aku tak percaya pada tanganku sendiri yang pagi ini telah membakar ratusan sekolah di kotaku sendiri, sekolah untuk anak-anakku sendiri. Aku tak percaya pada tanganku yang telah menyalakan api, aku tak percaya pada api yang telah membakar sekolah itu, aku tak percaya pada sekolah yang terbakar itu, aku tak percaya pada peristiwa yang telah membakar pikiranku, pergi dan tak mau melihatmu lagi yang penuh dengan kawat berduri di wajahmu. Aku tak percaya berita yang datang dari botol-botol kecap di warung soto dekat rumahmu. Guru dan murid-murid dilarang masuk ke dalam sekolah yang terbakar. Membiarkan lidah sendiri menjadi ular di depan cermin. Aku tak percaya pada negeri di mana kata-kata telah dibakar. Tetapi guru dan murid-murid tetap memasuki sekolah yang terbakar itu sambil membawa segenggam tanah untuk menyelamatkan kapur tulis, dan tetap menulis bayangan sebuah kebebasan, punggung dan kakinya dan lehernya. Dan papan tulis dari punggung api. Dan api ingin melihat wajahmu, ingin melihat air mukamu, ingin melihat tatapan matamu. Dan api ingin membuat sebuah kampung, seperti kampung yang telah melahirkanmu. Dan api menuliskan kembali semua kalimat-kalimat ini dalam rahim ibumu, sebelum anak-anak pergi ke jalan, melihat bayangan truk melintas pergi dan bekas air mata di telapak tangan.



Aku Baru Saja Mengepel Lantai Aku baru saja mengepel lantai. Aku berjalan dengan ujung jari-jari kakiku, agar lantai yang baru dipel tidak kotor lagi oleh telapak kakiku. Di dalam kamar, aku lihat tubuhmu telah menjadi



genangan air yang dasarnya tak bisa kulihat lagi. Bagaimana aku bisa memelukmu kalau tubuhmu telah menjadi air? Bagaimana aku bisa menciummu kalau keningmu telah menjadi air? Aku pikir aku harus menjadi ikan agar bisa berenang di dalamnya. Tapi aku bukan ikan. Ikan juga berpikir dirinya bukan diriku. Ikan tidak bisa mengepel lantai dan berjalan dengan ujung jari-jari kakinya. Aku juga berpikir aku tidak bisa dipancing seperti ikan lalu dijual di pasar lalu digoreng. Ikan juga berpikir tidak terbayang ada yang mengepel dan suara tangisan di dasar laut. Aku juga berpikir tidak mungkin ada kehidupan ikan di dalam pikiranku. Aku bukan laut. Aku yakin aku bukan laut. Ikan juga tak akan pernah percaya bahwa akhir hidupnya ada dalam tubuhku. Tetapi aku tetap memelukmu. Lalu aku memelukmu. Dan aku memelukmu pagi itu. Lalu aku tenggelam. Dan aku tenggelam. Hati-hati, biarkan aku tenggelam. Biarkan aku menjadi air untuk memanggilmu.



Korek Api di Atas Bayanganmu Ada masa kanak-kanak yang masih mengenalmu, datang di suatu sore, dan menuliskan sesuatu di atas bayang-bayangmu. Sebuah korek api bekas membersihkan gigi. Masa kanak-kanak itu menulismu, rasanya perih. Seperti belahan pada telur asin. Sore itu, aku masih memeluk lehermu: Sebuah kota di masa liburan sekolah. Anak-anak belajar memelihara orang tua, memandikannya, memberinya makan, dan menguburkannya bila mati aku menulisnya. Anakanak belajar membeli beras dan minyak goreng, dan menjadi orang tua dengan bayangan yang terbuat dari korek api. Anak-anak melahirkan, aku menulisnya sore itu ketika ombak datang membasahi lehermu. Anak-anak dari bayangan korek api. Anak-anak sekolah, sekolah dari bayangan korek api. Anak-anak mencari kerja, lapangan pekerjaan dari bayangan korek api. Lehermu kemudian mengeras, seperti masa liburan sekolah yang telah berakhir. Seperti kemarahan korek api terhadap kotamu. Seperti perjalanan korek api kembali ke hutan, kembali ke batang-batang pinus, tempat api melahirkan ibumu. Tempat api melahirkan sebuah sore. Dan aku menulis bayanganmu dengan tangan-tangan api.



Sebutir Telur di Belakang Punggungku Kau telah menjadi air ketika melihat semua kejadian yang berlangsung di belakang punggungmu. Kita menginap di sebuah hotel murah, dekat bandara. Hari ini kau berulang tahun. Aku bergegas membersihkan kamar. Kau sibuk membeli coklat, roti, jeruk dan minuman kaleng. Kau bilang kau sedang ngobrol dengan ayahmu tentang seorang perempuan yang matanya terbuat dari sebuah pantai. Tapi ayahmu bilang kau sedang tak di rumah. Di kotamu aku seperti bisa melihat mataku sendiri dengan mataku. Hati-hati berjalan di situ. Ada kepiting yang sedang menggali lubang di dalam pasir. Pantai itu, seperti sepasang kelopak mata



yang tak pernah terpejam. Karena orang terus berdatangan, karena pesta belum berakhir. Kepiting dalam lubang itu terus menggali, dan menemukan laut yang lain di punggungku. Menurutku bukan laut, itu sebutir telur. Sebutir telur tempat ibuku dikuburkan. Tapi kukira itu juga bukan sebutir telur, itu buah semangka yang tumbuh di lapangan bola. Aku tak pernah tahu, siapa saja yang telah membakar diriku dalam pesta itu. Lalu aku buat sebuah bantal, sebuah bantal dari waktu-waktu yang berjatuhan untuk tidurmu. Pesta belum berakhir, hingga punggungku berwarna putih. Putih seperti musim dingin.