Laporan Akhir Amalia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN AKHIR PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA) DI INDUSTRI FARMASI



Disusun Oleh :



Amalia Ralita Lanuru



(40119002)



PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI 2020



LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA) DI INDUSTRI FARMASI (02 NOVEMBER 2020 – 28 NOVEMBER 2020)



Disusun Oleh Amalia Ralita Lanuru 40119002



Disetujui oleh : Dosen Pembimbing Lapangan



Preseptor



(apt. Dyah Aryantini, M.Sc)



(apt. Oki Yudiswara, S.Farm)



Mengetahui Ketua Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi IIK Bhakti Wiyata



(apt. Yogi Bhakti Marhenta, M.Farm)



ii



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Industri Farmasi yang telah dilaksanakan pada tanggal 02 November 2020 sampai dengan 28 November 2020. Pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker merupakan salah satu sarana untuk mengembangkan wawasan kefarmasian di Pemerintahan dan Puskesmas sebelum melakukan pengabdian sebagai Apoteker, dan merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada: 1. Dra. Ec. Linawati, MBA, selaku Ketua Yayasan Pendidikan Bhakti Wiyata Kediri. 2. Prof. Dr. Muhamad Zainuddin, Apt selaku Rektor Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri. 3. Apt. Dewy Resty Basuki, M.Farm selaku Dekan Fakultas Farmasi Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri. 4. Apt. Yogi Bhakti Marhenta, M. Farm selaku Kepala Program Studi Pendidikan Apoteker Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri 5. Apt. Dyah Aryantini, M.Sc selaku Dosen Pembimbing



yang telah



memberikan bimbingan, masukan, dan arahan dalam penyusunan Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini. 6. Apt. Oki Yudiswara, S.Farm selaku preseptor yang telah memberikan bimbingan, masukan dan arahan dalam melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) 7. Bapak-Bapak Preseptor yang terdiri dari berbagai industri Farmasi yang telah memberikan bekal ilmu, bimbingan, masukan dan arahan dalam pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) 8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Farmasi Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiayata Kediri yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan yang bermanfaat kepada saya.



iii



9. Rekan-rekan Program Profesi Apoteker Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri angkatan I atas kebersamaan dan dukungan selama menempuh pendidikan. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan laporan ini. Demikian laporan PKPA ini disusun, dengan harapan tulisan ini bermanfaat bagi rekan-rekan sejawat khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis sangat mengharapkan masukan, kritik dan saran yang membangun guna perbaikan dan penyempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Terima kasih.



Kediri, 28 November 2020



Penulis



iv



DAFTAR ISI Halaman Judul ....................................................................................................i Halaman Pengesahan .........................................................................................ii Kata Pengantar....................................................................................................iii Daftar Isi...............................................................................................................v Daftar Gambar.................................................................................................... Daftar Lampiran ................................................................................................ BAB I Pendahuluan 1.1 1.2 1.3



Latar Belakang ..........................................................................................1 Tujuan PKPA.............................................................................................1 Manfataan PKPA.......................................................................................2



BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 2.2 2.3 2.4



Pengertian Industri Farmasi ......................................................................3 Tugas dan Fungsi ......................................................................................3 Ketentuan dan Peraturan Perundang-undangan ........................................3 Fungsi dan Tanggung Jawab Apoteker .....................................................4



BAB III Tinjauan Umum Tempat PKPA 3.1 3.2 3.3 3.4



Sejaran PT. Interbat...................................................................................6 Visi dan Misi.............................................................................................7 Lokasi, Sarana dan Prasarana ...................................................................7 Struktur Organisasi ...................................................................................8



BAB IV Kegiatan PKPA dan Pembahasan 4.1 4.2



Kegiatan yang dilakukan ..........................................................................14 Pembahasan ..............................................................................................15



Bab V Tugas Khusus PKPA di Industri Farmasi 5.1 5.2



Uraian Tugas Khusus.................................................................................47 Hasil dan Pembahasan Tugas Khusus.......................................................47



BAB VI Penutup 6.1 6.2



Kesimpulan ...............................................................................................55 Saran .........................................................................................................55



DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................56 LAMPIRAN ........................................................................................................57



v



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Bahan obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi (Badan POM, 2018). Produk obat yang berkualitas dihasilkan oleh industri farmasi yang memperhatikan faktor-faktor yang terlibat dalam proses produksinya. Untuk menghasilkan produk obat yang berkualitas tidak hanya ditentukan dari pemeriksan bahan awal dan produk akhir, namun harus dibangun dari semua aspek produksi.Untuk mendapatkan hasil produk obat yang berkualitas, mempunyai efikasi yang baik, bermutu dan aman serta konsisten, maka dibutuhkan suatu pedoman bagi industri farmasi tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Apoteker memiliki peran penting dalam industri farmasi agar obat yang dihasilkan bermutu, aman dan berkhasiat. Kedudukan Apoteker diatur dalam CPOB, yaitu sebagai penanggung jawab produksi, pengawasan mutu dan pemastian mutu sehingga seorang Apoteker dituntuk untuk memiliki wawasan,



pengetahuan,



keterampilan



dan



kemampuan



dalam



mengaplikasikan dan mengembangkan ilmunya secara professional agar dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul di industri farmasi. 1.2 Tujuan PKPA Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker di industri farmasi bagi calon Apoteker bertujuan untuk :



1



2



1. Mampu memahami dan menerapkan peran, tugas, fungsi pokok dan



tanggung jawab apoteker dalam praktek kefarmasian di Industri Farmasi. 2. Mampu memahami dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan



pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di Industri Farmasi. 3. Mampu memahami dan menerapkan penerapan CPOB, proses QC



(Quality Control), QA (Quality Assurance) dan RnD (Research and Development) di Industri Farmasi. 4. Mampu memahami dan menerapkan tentang sarana dan prasarana yang



digunakan dalam Industri Farmasi. 1.3 Manfaat PKPA Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker di industri farmasi bagi calon Apoteker memiliki manfaat yaitu : 1. Mahasiswa mampu menerapkan pekerjaan kefarmasian di Industri Farmasi berdasarkan ilmu pengetahuan, standar praktek kefarmasian, perundangundangan yang berlaku dan etika profesi farmasi. 2. Mahasiswa mampu merancang dan mengembangkan produk farmasi di Industri Farmasi. 3. Mahasiswa mampu merencanakan produksi dan melakukan pengendalian persediaan serta perencanaan pengadaan bahan baku. 4. Mahasiswa mampu melakukan pengawasan mutu (Quality Control) dan pemastian mutu (Quality Assurance) terhadap bahan awal, bahan pengemas, produk farmasi, maupun proses produksi di Industri Farmasi. 5. Mahasiswa mampu melaksanakan proses produksi sesuai dengan prosedur yang telah dibuat untuk menghasilkan produk yang berkualitas.



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Industri Farmasi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010, industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat meliputi seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat mulai dari pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk didistribusikan. Setiap industri farmasi wajib memiliki izin industri farmasi dari Direktur Jenderal. Wewenang pemberian izin dilimpahkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk didistribusikan. Industri farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembuatan obat dan/atau bahan obat untuk semua tahapan dan/atau sebagian tahapan. Kegiatan tersebut harus berdasarkan penelitian dan pengambangan yang menyangkut produk sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010). 2.2 Persyaratan Industri Farmasi Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi dari Direktur Jenderal. Wewenang pemberian izin dilimpahkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi terdiri atas (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas. b. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat. c.



Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.



5



d. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu. e.



Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian. Dikecualikan dari persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)



huruf a dan huruf b, bagi pemohon ijin industri milik Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Agar dapat memperoleh izin usaha industri farmasi, diperlukan persetujuan prinsip. Permohonan persetujuan prinsip diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Permohonan persetujuan prinsip dilakukan oleh industri Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri, harus memperoleh Surat Persetujuan Penanaman Modal dari instansi yang menyelenggarakan urusan penanaman modal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.



Persetujuan



prinsip



diberikan



setelah



pemohon



memperoleh persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) kepada kepala BPOM. Persetujuan prinsip diberikan kepada industri farmasi untuk dapat langsung melakukan persiapan dan usaha pembangunan, pengadaan, pemasangan instalasi, peralatan dan lain-lain yang diperlukan, termasuk produksi percobaan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan di bidang obat. Persetujuan prinsip tersebut berlaku selama jangka waktu 3 tahun dan selama jangka waktu tersebut, perusahaan yang bersangkutan harus menyampaikan laporan informasi. Kemajuan pembangunan fisik setiap 6 bulan sekali kepada Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan dengan tembusan kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Permohonan persetujuan diajukan dengan kelengkapan sebagai berikut (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) :



6



a. Fotokopi akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. b.



Fotokopi Kartu Tanda Penduduk/identitas direksi dan komisaris perusahaan.



c.



Susunan direksi dan komisaris.



d.



Pernyataan direksi dan komisaris tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang farmasi.



e.



Fotokopi sertifikat tanah/bukti kepemilikan tanah.



f.



Fotokopi Surat Izin Tempat Usaha berdasarkan Undang-Undang Gangguan (HO).



g.



Fotokopi Surat Tanda Daftar Perusahaan.



h.



Fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan.



i.



Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak.



j.



Persetujuan lokasi dari pemerintah daerah provinsi.



k.



Persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan.



l.



Rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat.



m. Asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing–masing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu. n.



Fotokopi surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu dari pimpinan perusahaan. Setelah selesai melaksanakan tahap persetujuan prinsip, dapat



dilakukan permohonan izin usaha industri. Permohonan diajukan kepada Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan dengan tembusan kepada Kepala BPOM dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat. 2.3 Izin Usaha Industri Farmasi Surat permohonan izin industri farmasi harus ditandatangani oleh direktur utama dan apoteker penganggung jawab pemastian mutu dengan kelengkapan sebagai berikut (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Fotokopi persetujuan prinsip Industri Farmasi



7



b. Surat Persetujuan Penanaman Modal untuk Industri Farmasi dalam rangka c.



Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri



d. Daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan. e.



Jumlah tenaga kerja dan kualifikasinya.



f.



Fotokopi



sertifikat



Upaya



Pengelolaan



Lingkungan



dan



Upaya



Pemantauan Lingkungan /Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. g.



Rekomendasi kelengkapan administratif izin industri farmasi dari kepala dinas kesehatan provinsi.



h. Rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB dari Kepala Badan. i.



Daftar pustaka wajib seperti Farmakope Indonesia edisi terakhir.



j.



Surat asli pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing-masing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu.



k. Fotokopi surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu dari pimpinan perusahaan. l.



Fotokopi ijazah dan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dari masing-masing



apoteker



penanggung



jawab



produksi,



apoteker



penanggung jawab pengawasan mutu dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu. m. Surat pernyataan komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang kefarmasian. Industri farmasi wajib menyampaikan laporan industri kepada Direktorat Jenderal BPOM mengenai kegiatan usahanya setiap 6 bulan, meliputi jumlah dan nilai produksi setiap obat atau bahan obat yang dihasilkan dan setiap 1 tahun untuk laporan lengkapnya (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010).



8



Jika industri farmasi melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010, dapat dikenakan sanksi administratif berupa : a.



Peringatan secara tertulis.



b.



Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu.



c.



Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu.



d.



Penghentian sementara kegiatan.



e.



Pembekuan izin industri farmasi atau pencabutan izin industri farmasi.



2.4 Tugas dan Fungsi Industri Farmasi Menurut



Peraturan



Menteri



Kesehatan



Republik



Nomor



1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi, Industri Farmasi mempunyai fungsi: 1. Pembuatan obat dan/atau bahan obat; 2. Pendidikan dan pelatihan; dan 3. Penelitian dan pengembangan. 2.5 Ketentuan Umum dan Peraturan Perundang – undangan di Industri Farmasi Landasan hukum yang digunakan oleh Industri Farmasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan 3. Undang-undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika 4. Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika 5. Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian



9



6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Nomor 1799 / MENKES / PER / XII / 2010 tentang Industri Farmasi 7. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2012). Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik 8. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2018). Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik 2.6 Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker di Industri Farmasi Peran Apoteker dalam Industri Farmasi dapat diterapkan di dalam fungsi-fungsi industrial yang diperlukan, yaitu Manajemen produksi, pemastian / manajemen mutu (Quality Assurance), Penanggung Jawab Pengawasan Mutu (Quality Control) dan Pengembangan  produk (Research and Development).



1. Apoteker sebagai Penanggung Jawab Produksi Manajer produksi bertanggungjawab atas terselenggaranya pembuatan obat agar obat tersebut memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan dan dibuat dengan memperhatikan pelaksanaan CPOB, dalam batas waktu dan biaya  produksi yang ditetapkan.



2. Apoteker sebagai Penanggung Jawab Pengawasan Mutu (Quality Control) Bagian pengawasan mutu dalam suatu pabrik obat bertanggung jawab untuk memastikan bahwa : a. Bahan awal untuk produksi obat memenuhi spesifikasi yang ditetapkan untuk identitas, kekuatan, kemurnian, kualitas, dan keamanannya; b. Tahapan produksi obat telah dilaksanakan sesuai prosedur yang ditetapkan dan telah divalidasi sebelumnya antara lain melalui evaluasi, dokumentasi, produksi terlebih dahulu; c. Semua pengawasan selama proses dan pemeriksaan laboratorium terhadap suatu batch obat telah dilaksanakan dan batch tersebut memenuhi spesifikasi yang ditetapkan sebelum didistribusikan; d. Suatu batch obat memenuhi persyaratan mutunya selama waktu peredaran yang ditetapkan.



10



3. Apoteker sebagai Penanggung Jawab Pemastian Mutu (Quality Assurance) Penanggung Jawab Pemastian Mutu (Quality  Assurance) memiliki kewenangan dan tanggungjawab penuh dalam sistem mutu, diantara lain : a. Memberikan masukan pada pimpinan dalam upaya peningkatan perbaikan mutu produk dan pengawasan proses produksi b. Melatih SDM dalam melaksanakan proses produksi dan pengawasan mutu sehingga tercapai standar kualifikasi yang baik dan pengalaman yang dibutuhkan c. Melakukan pengkajian dan persetujuan terhadap seluruh dokumen CPOB perusahaan d. Melakukan overview terhadap seluruh sistem dokumentasi perusahaan e. Pengakjian mutu produk f. Mengaudit vendor g. Mengangani komplain produk h. Melakukan inspeksi diri



4. Apoteker dalam Riset dan Pengembangan Produk (Research and Development) Seorang penanggungjawab riset dan pengembangan produk harus seorang Apoteker yang memiliki pengetahuan memadai mengenai zat aktif dan berbagai zat tambahan yang akan digunakan untuk mengembangkan formula. Uraian tugas dan tanggung jawab penanggung jawab riset dan pengembangan produk antara lain : a. Bertanggung jawab dalam pengembangan produk baru sesuai dengan permintaan marketing b. Bertanggung jawab untuk melakukan efisiensi biaya produksi dengan membuat formulasi bahan yang memerlukan biaya rendah tetapi tetap menjaga kualitas c. Bertanggung jawab untuk memperbaiki formula obat jika ditemukan permasalahan dalam produksi d. Bertanggung jawab untuk pengembangan sarana penunjang yang dibutuhkan untuk kelancaran produksi.



11



2.7 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) Cara Pembuatan Obat yang Baik yang selanjutnya disingkat CPOB adalah cara pembuatan obat dan / atau bahan obat yang bertujuanCara Pembuatan Obat yang Baik yang selanjutnya disingkat CPOB adalah cara pembuatan obat dan/atau bahan obat yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat dan/atau bahan obat yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaan (BPOM RI, 2018). CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu. Pada pembuatan obat, pengendalian menyeluruh adalah sangat esensial untuk menjamin bahwa konsumen menerima obat yang bermutu tinggi. Mutu obat tergantung pada bahan awal, bahan pengemas, proses produksi dan pengendalian mutu, bangunan, peralatan yang dipakai serta personil yang terlibat. Pemastian mutu suatu obat tidak hanya mengandalkan pada pelaksanaan pengujian tertentu saja, namun obat hendaklah dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau secara cermat. Industri Farmasi dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan pembuatan obat dan/atau bahan obat wajib menerapkan Pedoman CPOB, dimana industri farmasi yang telah menerapkan CPOB dibuktikan dengan diperolehnya sertifikat CPOB. Sertifikat CPOB adalah dokumen sah yang merupakan bukti bahwa Industri Farmasi telah memenuhi persyaratan CPOB dalam membuat satu jenis bentuk sediaan obat yang diterbitkan oleh Kepada Badan POM. Pedoman CPOB dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 34 tahun 2018 wajib menjadi acuan bagi industri farmasi dan sarana yang melakukan kegiatan pembuatan Obat dan Bahan Obat. Pedoman CPOB meliputi: 1.



Sistem Mutu Industri Farmasi Manajemen Mutu adalah suatu konsep luas yang mencakup semua aspek baik secara individual maupun secara kolektif, yang akan memengaruhi mutu produk. Manajemen Mutu adalah totalitas semua pengaturan yang dibuat, dengan tujuan untuk memastikan bahwa obat



12



memiliki mutu yang sesuai tujuan penggunaan. Oleh karena itu Manajemen Mutu mencakup juga Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Unsur dasar manajemen mutu adalah : a.



Suatu infrastruktur atau sistem mutu Industri Farmasi yang tepat mencakup struktur organisasi, prosedur, proses dan sumber daya; dan



b.



Tindakan



sistematis



yang



diperlukan



untuk



mendapatkan



kepastian dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, sehingga produk (atau jasa pelayanan) yang dihasilkan akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Keseluruhan tindakan tersebut disebut Pemastian Mutu. 2.



Personalia Pembuatan obat yang benar mengandalkan sumber daya manusia. Oleh sebab itu industri farmasi harus bertanggungjawab untuk menyediakan personel yang terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas. Tanggung jawab individual secara jelas dipahami oleh masing-masing dan didokumentasikan. Seluruh personel hendaklah memahami prinsip CPOB yang menyangkut tugasnya serta memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi higiene yang berkaitan dengan pekerjaannya. Industri farmasi hendaklah memiliki personel dalam jumlah yang memadai yang terkualifikasi dan berpengalaman praktis. Tiap personel tidak boleh dibebani tanggung jawab yang berlebihan sehingga menimbulkan risiko terhadap kualitas. Industri farmasi harus



memiliki struktur organisasi di mana



hubungan antara Kepala Produksi, Kepala Pengawasan Mutu dan Kepala Pemastian Mutu. Personel Kunci harus memenuhi persyaratan kualifikasi yang ditetapkan dalam regulasi nasional, dan hendaklah selalu hadir untuk melaksanakan tanggung jawabnya sesuai dengan Izin Industri Farmasi. Manajemen puncak memiliki tanggung jawab tertinggi untuk memastikan efektivitas penerapan Sistem Mutu Industri Farmasi untuk



13



mencapai sasaran mutu, dan, peran, tanggung jawab, dan wewenang tersebut ditetapkan, dikomunikasikan serta diterapkan di seluruh organisasi. Program higiene yang rinci hendaklah disiapkan dan disesuaikan dengan berbagai kebutuhan di pabrik. Program tersebut hendaklah mencakup prosedur yang berkaitan dengan praktik kesehatan dan higiene serta pakaian personel. Prosedur hendaklah dipahami dan dipatuhi secara ketat oleh setiap personel yang bertugas di area produksi dan pengawasan. Pelaksanaan program higiene hendaklah didorong oleh manajemen dan dibahas secara luas selama sesi pelatihan. Konsultan hendaklah memiliki pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang memadai atau kombinasinya, untuk memberi saran atas subjek yang mereka kuasai. Data yang mencakup nama, alamat, kualifikasi, dan jenis layanan yang diberikan oleh konsultan hendaklah dipelihara ((BPOM RI, 2018). 3.



Bangunan-Fasilitas Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat harus memiliki desain, konstruksi dan letak



yang



memadai, serta disesuaikan



kondisinya dan dirawat dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian



rupa



untuk



memperkecil



resiko



terjadi



kekeliruan,



pencemaran silang dan kesalahan lain, serta memudahkan pembersihan sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindarkan pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat. Bangunan



dan



fasilitas



hendaklah



didesain,



dikonstruksi,



dilengkapi dan dirawat sedemikian agar memperoleh perlindungan maksimal terhadap pengaruh cuaca, banjir, rembesan dari tanah serta masuk dan bersarang serangga, burung, binatang pengerat, kutu atau hewan lain. Hendaklah tersedia prosedur untuk pengendalian binatang pengerat dan hama. Bangunan dan fasilitas hendaklah dirawat dengan



14



cermat, dibersihkan dan, bila perlu, didisinfeksi sesuai prosedur tertulis rinci. Catatan pembersihan dan disinfeksi hendaklah disimpan. Seluruh



bangunan



dan



fasilitas



termasuk



area



produksi,



laboratorium, area penyimpanan, koridor dan lingkungan sekeliling bangunan hendaklah dirawat dalam kondisi bersih dan rapi. Kondisi bangunan hendaklah ditinjau secara teratur dan diperbaiki sebagaimana perlunya. Perbaikan serta perawatan bangunan dan fasilitas hendaklah dilakukan hati-hati agar kegiatan tersebut tidak mempengaruhi mutu obat. Area yang diatur dalam CPOB, meliputi: a.



Area Penimbangan



b.



Area Produksi



c.



Area Penyimpanan



d.



Area Pengawasan Mutu



Peralatan umum (tidak dikhususkan) hendaklah dibersihkan setelah digunakan memproduksi produk yang berbeda untuk mencegah kontaminasi-silang. termasuk tanggal dan personel yang melakukan kegiatan tersebut (BPOM RI, 2018). 4.



Peralatan Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat, agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets ke bets dan untuk memudahkan pembersihan serta perawatan agar dapat mencegah kontaminasi silang, penumpukan debu atau kotoran dan hal-hal yang umumnya berdampak buruk pada mutu produk. a.



Desain dan Konstruksi Peralatan manufaktur hendaklah didesain, ditempatkan dan dirawat



sesuai dengan tujuannya. Permukaan peralatan yang



bersentuhan dengan bahan awal, produk antara atau produk jadi tidak boleh menimbulkan reaksi, adisi atau absorpsi yang dapat mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian di luar batas yang ditentukan. Peralatan manufaktur hendaklah didesain sedemikian rupa agar mudah dibersihkan. Peralatan tersebut hendaklah



15



dibersihkan sesuai prosedur tertulis yang rinci serta disimpan dalam keadaan bersih dan kering. Peralatan pencucian dan pembersihan hendaklah dipilih dan digunakan agar tidak menjadi sumber kontaminasi. b.



Pemasangan dan Penempatan Peralatan



hendaklah



dipasang



sedemikian



rupa



untuk



mencegah risiko kesalahan atau kontaminasi. Peralatan satu sama lain hendaklah ditempatkan pada jarak yang cukup untuk menghindarkan kesesakan serta memastikan tidak terjadi kekeliruan dan kecampurbauran produk. Tiap peralatan utama hendaklah diberi tanda dengan nomor identitas yang jelas. Nomor ini dicantumkan di dalam semua perintah dan catatan bets untuk menunjukkan unit atau peralatan yang digunakan pada pembuatan bets tersebut kecuali bila peralatan tersebut hanya digunakan untuk satu jenis produk saja. Peralatan yang rusak, jika memungkinkan, hendaklah dikeluarkan dari area produksi dan pengawasan mutu, atau setidaknya, diberi penandaan yang jelas. c.



Pembersihan dan Sanitasi Peralatan Setelah digunakan, peralatan hendaklah dibersihkan baik bagian luar maupun bagian dalam sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, serta dijaga dan disimpan dalam kondisi yang bersih. Tiap



kali



sebelum



dipakai,



kebersihannya



diperiksa



untuk



memastikan bahwa semua produk atau bahan dari bets sebelumnya telah dihilangkan. Prosedur tertulis yang cukup rinci untuk pembersihan dan sanitasi peralatan serta wadah yang digunakan dalam pembuatan obat hendaklah dibuat, divalidasi dan ditaati. hendaklah dirancang



agar



kontaminasi peralatan



Prosedur oleh



ini bahan



pembersih atau sanitasi dapat dicegah. Prosedur ini hendaklah meliputi penanggung jawab pembersihan, jadwal, metode, peralatan dan bahan yang dipakai dalam pembersihan serta metode pembongkaran dan perakitan kembali peralatan yang mungkin



16



diperlukan untuk memastikan pembersihan yang benar terlaksana. Jika



perlu,



penghilangan peralatan



prosedur



juga



identitas



yang



telah



meliputi



bets



sterilisasi



sebelumnya



bersih



terhadap



peralatan,



serta perlindungan



kontaminasi



sebelum



digunakan. Disinfektan dan deterjen hendaklah dipantau terhadap kontaminasi mikroba, enceran disinfektan dan deterjen hendaklah disimpan dalam wadah yang sebelumnya telah dibersihkan dan hendaklah disimpan untuk jangka waktu tertentu kecuali bila disterilkan (BPOM RI, 2018). d.



Pemeliharaan Peralatan hendaklah dipelihara sesuai jadwal untuk mencegah malfungsi atau kontaminasi yang dapat memengaruhi identitas, mutu atau kemurnian produk. Prosedur tertulis untuk pemeliharaan peralatan hendaklah dibuat dan dipatuhi. Pelaksanaan pemeliharaan dan pemakaian suatu peralatan utama hendaklah dicatat dalam buku log alat yang menunjukkan tanggal, waktu, produk, kekuatan dan nomor setiap bets atau lot yang diolah dengan alat tersebut. Catatan untuk peralatan yang digunakan khusus untuk satu produk saja dapat ditulis dalam catatan bets. Peralatan dan alat bantu hendaklah dibersihkan, disimpan, dan bila perlu disanitasi dan disterilisasi untuk mencegah kontaminasi atau sisa bahan dari proses sebelumnya yang akan memengaruhi mutu produk termasuk produk antara di luar spesifikasi resmi atau spesifikasi lain yang telah ditentukan. Peralatan umum (tidak dikhususkan)



hendaklah



dibersihkan



setelah



digunakan



memproduksi produk yang berbeda untuk mencegah kontaminasisilang. Buku log untuk peralatan utama dan kritis hendaklah dibuat untuk pencatatan validasi pembersihan dan pembersihan yang telah dilakukan termasuk tanggal dan personel yang melakukan kegiatan tersebut (BPOM RI, 2018).



17



5.



Produksi Kegiatan produksi hendaklah dilaksanakan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa menghasilkan obat yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar. Produksi hendaklah dilakukan dan disupervisi oleh personel yang kompeten. Seluruh penanganan bahan dan produk jadi, seperti penerimaan dan karantina, pengambilan



sampel,



penyimpanan,



penandaan,



penimbangan,



pengolahan, pengemasan dan distribusi hendaklah dilakukan sesuai prosedur atau instruksi tertulis dan bila perlu dicatat. Seluruh memastikan



bahan



yang



kesesuaiannya



diterima dengan



hendaklah pesanan.



diperiksa Wadah



untuk



hendaklah



dibersihkan dimana perlu dan diberi penandaan dengan data yang diperlukan, kerusakaan wadah dan masalah lain yang dapat berdampak merugikan terhadap mutu bahan hendaklah diselidiki, dicatat dan dilaporkan kepada Badan Pengawasan Mutu. Bahan yang diterima dan produk jadi hendaklah dikarantina secara fisik atau administratif segera setelah diterima atau diolah, sampai dinyatakan lulus untuk pemakaian atau distribusi. Produk antara dan produk ruahan yang diterima hendaklah ditangani seperti penerimaan bahan awal. Semua bahan dan produk jadi hendaklah disimpan pada kondisi seperti yang ditetapkan pabrik pembuat dan disimpan secara rapi dan teratur untuk memudahkan segregasi antar bets dan rotasi stok. Pemeriksaan hasil nyata dan rekonsiliasi jumlah hendaklah dilakukan sedemikian rupa untuk memastikan tidak ada penyimpangan dari batas yang telah ditetapkan. Pengolahan produk yang berbeda tidak boleh dilakukan secara bersamaan atau berurutan dalam ruang kerja yang sama kecuali tidak ada risiko terjadi kecampurbauran ataupun kontaminasi silang. Produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap kontaminasi mikroba atau kontaminasi lain pada tiap tahap pengolahan. Bila bekerja dengan bahan atau produk kering, hendaklah dilakukan tindakan khusus untuk mencegah debu timbul serta



18



penyebarannya. Hal ini terutama dilakukan pada penanganan bahan yang sangat berbahaya, mencakup bahan yang sangat aktif atau menyebabkan sensitisasi. Selama pengolahan, semua bahan, wadah produk ruahan, peralatan atau mesin produksi dan bila perlu ruang kerja yang dipakai hendaklah diberi label atau penandaan dari produk atau bahan yang sedang diolah, kekuatan (bila ada) dan nomor bets. Bila perlu, penandaan ini hendaklah juga menyebutkan tahap proses produksi. Label pada wadah, alat atau ruangan hendaklah jelas, tidak berarti ganda dan dengan format yang telah ditetapkan. Label berwarna sering kali sangat membantu untuk menandakan status (misal : karantina, diluluskan, ditolak, bersih dan lainlain). Pemeriksaan hendaklah dilakukan untuk memastikan pipa penyalur dan alat lain untuk transfer bahan dan produk dari satu ke tempat lain telah terhubung dengan benar. Penyimpangan terhadap instruksi atau prosedur



hendaklah



sedapat



mungkin



dihindarkan.



Bila



terjadi



penyimpangan maka hendaklah ada persetujuan tertulis dari kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) dan bila perlu melibatkan bagian Pengawasan Mutu. Akses ke bangunan-fasilitas produksi hendaklah dibatasi hanya untuk personel yang berwenang (BPOM RI, 2018). 6.



Cara Penyimpanan dan Pengiriman Obat yang Baik Penyimpanan dan pengiriman adalah bagian yang penting dalam kegiatan dan manajemen rantai pemasokan obat yang terintegrasi. Dokumen ini menetapkan langkah-langkah yang tepat untuk membantu pemenuhan tanggung jawab bagi semua yang terlibat dalam kegiatan pengiriman dan penyimpanan produk. Dokumen ini memberikan pedoman bagi penyimpanan dan pengiriman produk jadi dari Industri Farmasi ke distributor. Aneks ini harus mengacu kepada Bab-Bab terkait di dalam Pedoman CPOB. Jika gudang industri farmasi bertindak juga sebagai pusat distribusi produk ke fasilitas distribusi, fasilitas pelayanan kefarmasian dan fasilitas



19



pelayanan kesehatan, hendaklah industri farmasi juga menerapkan dan memenuhi pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Mutu obat dapat dipengaruhi oleh kekurangan pengendalian yang diperlukan



terhadap



kegiatan



selama



proses



penyimpanan



dan



pengiriman. Lebih lanjut, belum ditekankan keperluan akan pembuatan, pengembangan dan pemeliharaan prosedur penyimpanan dan pengiriman obat, serta pengendalian kegiatan proses distribusi. Tujuan pedoman ini adalah untuk membantu dalam menjamin mutu dan integritas obat selama proses penyimpanan dan pengiriman obat. Untuk menjaga mutu awal obat, semua kegiatan dalam penyimpanan dan pengirimannya hendaklah dilaksanakan sesuai prinsip CPOB dan CDOB (BPOM RI, 2018). 7.



Pengawasan Mutu Pengawasan Mutu merupakan bagian yang esensial dari cara pembuatan obat yang baik, untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Pengawasan Mutu mencakup pengambilan sampel, spesifikasi, pengujian serta termasuk pengaturan, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan bahwa semua pengujian yang relevan telah dilakukan, dan bahan tidak diluluskan untuk dipakai atau produk diluluskan untuk dijual, sampai mutunya telah dibuktikan memenuhi persyaratan. Tiap pemegang izin poduksi harus mempunyai bagian pengawasan mutu. Bagian ini harus terpisah dari bagian lain serta berada di bawah tanggung jawab dan wewenang personil yang memiliki kualifikasi dan pengalaman yang sesuai. Selain itu, sarana yang memadai haruslah tersedia untuk memastikan bahwa segala kegiatan pengawasan mutu dilaksanakan dengan efektif. Pengawasan Mutu hendaklah mencakup semua kegiatan analisa yang dilakukan di laboratorium, termasuk pengambilan sampel serta pemeriksaan dan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan, dan produk jadi. Kegiatan pengambilan sampel hendaklah dilaksanakan dan dicatat sesuai dengan prosedur tertulis yang telah disetujui yang menguraikan:



20



a.



Metode dan pola pengambilan sampel



b.



Peralatan yang digunakan



c.



Jumlah sampel yang harus diambil



d.



Instruksi untuk semua pembagian sampel sesuai kebutuhan



e.



Jenis wadah sampel yang harus digunakan, yakni apakah untuk pengambilan sampel secara aseptic atau normal



f.



Identitas wadah yang diambil sampelnya



g.



Peringatan tindakan khusus yang harus diperhatikan, terutama yang berkaitan dengan pengambilan sampel bahan steril atau berbahaya



h.



Kondisi penyimpanan



i.



Instruksi tentang cara pembersihan dan penyimpanan alat pengambil sampel (BPOM RI, 2018).



8.



Inspeksi Diri, Audit Mutu dan Persetujuan Pemasok a.



Inspeksi Diri Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu selalu memenuhi standar CPOB. Inspeksi Diri dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Pelaksanaannya harus mempunyai penilaian yang obyektif dalam CPOB. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara rutin dan, di samping itu, pada situasi khusus, misalnya dalam hal terjadi penarikan obat jadi atau terjadi penolakan yang berulang. Semua saran untuk tindakan perbaikan hendaklah dilaksanakan. Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif serta dibuat instruksi tertulis untuk inspeksi diri yang menyajikan standar persyaratan minimal dan seragam. Inspeksi diri dapat dilaksanakan per bagian sesuai dengan kebutuhan perusahaan, namun inspeksi diri yang menyeluruh hendaklah dilaksanakan minimal 1 (satu) kali dalam setahun dan semua hasil inspeksi diri hendaklah dicatat serta ada program penindaklanjutan yang efektif (BPOM RI, 2018).



21



b.



Audit Mutu Penyelenggaraan Audit Mutu berguna sebagai pelengkap Inspeksi Diri. Audit Mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari sistem manajemen mutu dengan tujuan spesifik untuk meningkatkan mutu. Audit Mutu umumnya dilaksanakan oleh spesialis dari luar atau independen atau tim yang dibentuk khusus untuk hal ini oleh manajemen perusahaan. Audit Mutu juga dapat diperluas terhadap pemasok dan penerima kontrak (BPOM RI, 2018).



c.



Audit dan Persetujuan Pemasok Kepala



Bagian



Manajemen



Mutu



(Pemastian



Mutu)



bertanggung jawab bersama bagian lain yang terkait untuk memberi persetujuan pemasok yang dapat diandalkan memasok bahan awal dan bahan pengemas yang memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan. Dibuat daftar pemasok yang disetujui untuk bahan awal dan bahan pengemas, daftar pemasok ditinjau ulang secara berkala. Dan evaluasi dilakukan sebelum pemasok disetujui dan dimasukkan kedalam daftar pemasok atau spesifikasi. Evaluasi hendaklah mempertimbangkan riwayat pemasok dan sifat bahan yang dipasok. Jika audit diperlukan, audit tersebut hendaklah menetapkan kemampuan pemasok dalam pemenuhan standar CPOB. Semua pemasok sebaiknya dievaluasi secara berkala (BPOM RI, 2018). 9.



Keluhan dan Penarikan Produk Untuk melindungi kesehatan masyarakat, suatu sistem dan prosedur yang sesuai hendaklah tersedia untuk mencatat, menilai, menginvestigasi dan meninjau keluhan termasuk potensi cacat mutu, jika perlu segera dilakukan penarikan obat termasuk obat uji klinik dari jalur distribusi secara efektif. Prinsip-prinsip Manajemen Risiko Mutu hendaklah diterapkan pada investigasi, penilaian cacat mutu, dan proses pengambilan keputusan terkait dengan tindakan penarikan produk, tindakan perbaikan dan pencegahan serta tindakan pengurangan risiko lain.



22



a.



Personel dan Pengelolaan Personel



yang



terlatih



dan



berpengalaman



hendaklah



bertanggung jawab untuk mengelola investigasi keluhan dan cacat mutu serta memutuskan langkah- langkah yang harus diambil untuk mengelola setiap potensi risiko yang muncul



akibat masalah



tersebut, termasuk penarikan. Prosedur penanganan dan investigasi keluhan termasuk cacat mutu yang mungkin terjadi. Hendaklah tersedia prosedur tertulis yang merinci tindakan yang diambil setelah menerima keluhan. Semua keluhan hendaklah didokumentasikan dan dinilai untuk menetapkan apakah terjadi cacat mutu atau masalah lain. b.



Investigasi dan Pengambilan Keputusan Informasi yang dilaporkan terkait kemungkinan cacat mutu hendaklah dicatat, termasuk semua data yang asli dan rinci. Keabsahan



dari



cacat



mutu



yang



dilaporkan



hendaklah



didokumentasikan dan dinilai sesuai dengan prinsip Manajemen Risiko Mutu untuk mendukung keputusan tingkat investigasi dan tindakan yang diambil. Jika ditemukan atau dicurigai cacat mutu pada suatu bets, maka hendaklah dipertimbangkan untuk memeriksa bets atau mungkin produk lain untuk memastikan apakah bets lain atau produk lain tersebut juga terkena dampak. Terutama hendaklah diinvestigasi apabila bets lain mengandung bagian atau komponen yang cacat. c.



Analisis Akar Masalah dan Tindakan Perbaikan dan Pencegahan Tingkat



analisis akar



masalah



yang



tepat



hendaklah



diterapkan selama investigasi cacat mutu. Apabila akar masalah cacat mutu yang sebenarnya tidak dapat ditentukan, pertimbangan hendaklah diberikan untuk mengidentifikasi akar masalah yang paling mungkin dan tindakan untuk mengatasinya. Tindakan Korektif dan Tindakan Pencegahan yang tepat hendaklah diidentifikasi dan diambil sebagai tindak lanjut terhadap cacat mutu. Efektivitas tindakan tersebut hendaklah dipantau dan



23



dinilai. Catatan cacat mutu hendaklah ditinjau dan dilakukan analisis tren secara berkala. d.



Penarikan Produk dan Kemungkinan Tindakan Pengurangan Risiko Lain Hendaklah tersedia prosedur tertulis, yang jika perlu dikaji dan dimutakhirkan secara berkala, untuk mengatur segala tindakan penarikan kembali. Setelah produk diedarkan, pengembalian apa pun dari jalur distribusisebagai akibat dari cacat mutu hendaklah dianggap dan dikelola sebagai penarikan.



10. Dokumentasi Dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari sistem pemastian mutu dan merupakan kunci untuk pemenuhan persyaratan CPOB. Berbagai jenis dokumen dan media yang digunakan hendaklah sepenuhnya ditetapkan dalam Sistem Mutu Industri Farmasi. Dokumentasi dapat dibuat dalam berbagai bentuk, termasuk media berbasis kertas, elektronik atau fotografi. Tujuan utama sistem dokumentasi



yang



dimanfaatkan



haruslah



untuk



membangun,



mengendalikan, memantau dan mencatat semua kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung berdampak pada semua aspek kualitas obat. Sistem Mutu Industri Farmasi hendaklah mencakup penjabaran rinci yang memadai terhadap pemahaman umum mengenai persyaratan, di samping memberikan pencatatan berbagai proses dan evaluasi setiap pengamatan yang memadai, sehingga penerapan persyaratan yang berkelanjutan dapat ditunjukkan. Acuan lebih lanjut terkait penerapan Cara Dokumentasi yang Baik untuk menjamin integritas dokumen dan catatan dapat mengacu pada Pedoman WHO Guidance on Good Data and Record Management Practices atau pedoman internasional lain terkait. Dokumen Induk Industri Farmasi (DIIF): Dokumen



yang



menjelaskan tentang aktivitas terkait CPOB (BPOM RI, 2018). 11. Kegiatan Ahli Daya Pembuatan dan Analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar dan disetujui serta dikendalikan untuk menghindari



kesalah



24



pahaman yang dapat menghasilkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang kurang memuaskan. Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dan penerima kontrak harus dibuat secara jelas untuk menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak haruslah menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets suatu produk yang akan diedarkan. Pelulusan Bets tersebut menjadi tanggung jawab penuh Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan dikendalikan untuk menghindari kesalah pahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis hendaklah meliputi pembuatan dan/atau analisis obat yang dikontrakkan dan semua pengatur teknis terkait. Pemberi kontrak adalah Industri Farmasi yang melimpahkan pekerjaan pembuatan obat berdasarkan kontrak. Pemberi kontrak bertanggung jawab untuk menilai kompetensi penerima kontrak dalam melaksanakan pekerjaan atau pengujian yang diperlukan dan memastikan bahwa prinsip dan pedoman CPOB diikuti (BPOM RI, 2018). 12. Kualifikasi dan Validasi CPOB mempersyaratkan industri farmasi mengendalikan aspek kritis kegiatan yang dilakukan melalui kualifikasi dan validasi sepanjang siklus hidup produk dan proses. Tiap perubahan yang direncanakan terhadap fasilitas, peralatan, sarana penunjang, dan proses yang dapat memengaruhi mutu produk, hendaklah didokumentasikan secara formal dan dampak pada status validasi atau strategi pengendaliannya dinilai. Sistem komputerisasi yang digunakan untuk pembuatan obat hendaklah juga divalidasi sesuai dengan persyaratan Aneks 7 Sistem Komputerisasi. Konsep dan pedoman yang relevan yang disajikan dalam ICH Q8, Q9, Q10, dan Q11 hendaklah juga diperhitungkan. Bila protokol validasi dan dokumentasi lain disediakan oleh pihak ketiga yang menyediakan jasa validasi, personel yang diberi wewenang di lokasi pabrik terkait hendaklah memastikan kesesuaian dan kepatuhan



25



terhadap prosedur internal sebelum disetujui. Protokol dari pemasok dapat dilengkapi dengan dokumentasi/protokol uji tambahan sebelum digunakan. Setiap perubahan signifikan terhadap protokol yang disetujui selama pelaksanaan validasi, misal kriteria keberterimaan, parameter operasional,



dan



lain-lain,



hendaklah



didokumentasikan



sebagai



penyimpangan dan dijustifikasi secara ilmiah. Kualifikasi dibagi menjadi empat, yaitu: kualifikasi desain (KD), kualifikasi instalasi (KI), kinerja (KK).



kualifikasi operasional (KO),



kualifikasi



Validasi proses hendaklah menetapkan bahwa semua



atribut mutu dan parameter proses yang dianggap penting untuk memastikan keadaan terkendali dan mutu produk yang memenuhi persyaratan dapat dipenuhi secara konsisten oleh proses tersebut. Validasi pembersihan hendaklah dilakukan untuk mengonfirmasi efektivitas prosedur pembersihan peralatan yang kontak dengan produk. Bahan simulasi dapat digunakan dengan justifikasi ilmiah yang sesuai. Bila peralatan sejenis dikelompokkan bersama, dibutuhkan justifikasi untuk menentukan peralatan yang akan divalidasi. Pengaruh waktu antara pembuatan dan pembersihan dan waktu antara pembersihan dan penggunaan hendaklah diperhitungkan untuk menentukan “waktu tunggu kotor” (dirty hold time) dan “waktu tunggu bersih” (clean hold time) untuk proses pembersihan (BPOM RI, 2018).



7



BAB III TINJAUAN UMUM TEMPAT PKPA



3.1 Sejarah PT. Interbat Interbat didirikan pada tahun 1948 oleh almarhum Bapak Djoko Sukamto sebagai distributor tunggal perusahaan farmasi dari Eropa, seperti Crinos, Harmo Pharma dan Zambon. Namun sejak tahun 1959 Interbat mendapat ijin produksi dan sejak saat itu memulai produksinya sendiri Tahun 1971, saat pertama kali Departement Kesehatan Indonesia memberlakukan peraturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Interbat segera mendapat pengakuan bahwa seluruh fasilitas yang ada sesuai dengan standar CPOB. Bersamaan dengan hal tersebut Interbat menjaga reputasinya sebagai perusahaan farmasi terkemuka di Indonesia.



Gambar 3.1 Logo PT. Interbat Pada tanggal 20 Mei 1977, Interbat memindahkan seluruh aktivitas produksinya ke pabrik yang baru seluas 2 hektar di Sidoarjo, 15 km dari Surabaya, Jawa Timur. Sejalan dengan peraturan Cara Pembuatan Obat yang Baik, beberapa bangunan terpisah telah dibangun untuk produk Betalactam, non-Betalactam, dan Cephalosporin Saat ini luas pabrik kami sudah diperluas menjadi 16.000 m2, dengan ± 550 karyawan bekerja di pabrik. Tahun 1994, Interbat merubah namanya menjadi New Interbat. Tetapi pada tahun 1997 nama New Interbat kembali lagi menjadi Interbat sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam memberlakukan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sejak dari awal mula secara konsisten kami



8



mengemban misi untuk memproduksi obat-obatan dengan kualitas tinggi dan kami mempunyai dedikasi untuk selalu memberi nilai tambah dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Saat ini, Interbat sudah memproduksi ±200 macam obat dengan berbagai bentuk sediaan seperti tablet; tablet salut selaput; kaplet; kapsul; sirup; suspensi; sirup kering; injeksi (serbuk kering; cairan steril); gel; krim; dan salep; tetes mata dan telinga; serta supositoria. 3.2 Visi dan Misi a. Visi “Menciptakan masa depan untuk lebih sehat dan bahagia dengan Menjadi perusahaan farmasi yang menyediakan barang dan menjadi solusi untuk membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat” b. Misi “Hidup adalah semangat kami, kesehatan adalah misi kami. Sesuai dengan visi kita untuk menciptakan hari esok yang lebih sehat dan bahagia, kami berkomitmen untuk membuat perbedaan dalam kehidupan masyarakat dengan memproduksi obat – obatan berkualitas tinggi dan ramah lingkungan yang dapatmengobati berbagai macam penyakit” 3.3 Lokasi, Sarana dan Prasarana a. Lokasi Head Office PT. Interbat berlokasi di Ruko Mega Grosir Cempaka Mas Blok K No 1 Jl. Letjend Suprapto, Jakarta Pusat. Marketing Office berlokasi di Jl. Mampang Prapatan Raya No. 81 Jakarta Selatan. Pabrik yang digunakan untuk proses produksi berlokasi di Jl. H.R Moch. Mangaundiprojo No. 1 Buduran Sidoarjo Jawa Timur. b. Sarana dan Prasarana Di fasilitas produksi di Sidoarjo yang sekarang berkembang menjadi kurang lebih 4,8 hektar. Terdiri dari bangunan kantor, gedung lab dan juga gudang. Pada bagian kantor di lantai bawah digunakan untuk bagian purchasing, financial, administrasi produksi dan pada lantai atas digunakan untuk bagian departement accounting, HRD, IT,Civil dan EHS



9



(Environtment Health and Safety). Lab di PT Interbat terdiri dari fasilitas sefalosporin steril di bagian atas, sefalosporin non steril dan sirup peroral pada bagian bawah. Terdapat Gedung khusus non beta lactam yang digunakan untuk proses produksi sediaan seperti tablet, kapsul, krim, dry powder, tets mata, tetes telingga. Bangunan gudang terdiri dari gudang bahan jadi yang digunakan untuk menyimpan produk jadi dan juga gudang bahan kemas yang digunakan untuk menyimpan bahan kemasan seperti botol syrup, box, karton, stiker. Kantin di PT Interbat dibagi menjadi 2 yakni didalam gudang khusus area cefalosporin dan penicillin untuk menghindari keluar masuknya karyawan dalam gedung untuk mencegah kontaminasi dan kantin di luar gedung untuk karyawan non beta lactam dan juga karyawan office. Fasilitas penunjang di PT Interbat antara lain terdapat sistem HVAC (Heating Ventilating and Air Conditioning), Compressed Air, Purified Water Generator, Pure Steam Generator, Plan Steam Generator, Wet Scrubber. Terdapat fasilitas mesin untuk milling, mixing, granulasi, kompresi, pelapisan, pengisian dan pengemasan.



10



c. Struktur Organisasi Plan Director



Manufacturing (Plan Manager)



General Support (General Manager) QA



Finance & Accounting



Produksi



EHS



QC



HRD



PPIC



IT Purchasing



Enginreering



GA RnD



Gambar 3.2 Struktur Organisasi PT interbat



1. Departemen Quality Assurance (QA) Seksi Quality Assurance (QA) atau bagian pemastian mutu memegang peranan penting dalam proses pembuatan obat yang baik. QA bertugas membuat kebijakan mutu dan memastian mutu obat yang diproduksi agar senantiasa memenuhi standar mutu sesuai dengan tujuan



penggunaannya.



Bagian



ini



bertanggung



jawab



dalam



memastikan bahwa sistem yang berjalan dalam melakukan produksi obat telah sesuai ketentuan, mulai dari bahan awal, kondisi lingkungan produksi, proses produksi, pengemasan, peralatan yang digunakan, dokumentasi, validasi serta inspeksi diri. Disamping itu QA juga bertugas dalam meluluskan atau menolak produk jadi. Produk jadi akan



11



ditolak bila berdasarkan hasil pemeriksaan QC tidak memenuhi persyaratan atau terjadi penyimpangan saat proses produksi.



2. Departemen Quality Control (QC) Departemen QC dipimpin oleh seorang Manager yang bertanggung jawab kepada Plan Manager, Bagian Quality Control memiliki tugas antara lain : a. Melakukan pengujian terhadap bahan baku, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan dan obat jadi serta menyimpan sampel pertinggal, stabilitas produk. b. Mengajukan data lengkap ke QA untuk menolak atau meluluskan setiap bets bahan baku, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan, dan obat jadi. c. Melakukan analisa terhadap sampel pertinggal dari obat yang dikomplain jika diperlukan. d. Mengadakan uji stabilitas.



3. Departemen Produksi Departemen Produksi dipimpin oleh seorang Manager yang bertanggung



jawab



kepada



Plan



Manager,



Manajer



produksi



bertanggungjawab atas terselenggaranya pembuatan obat agar obat tersebut memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan dan dibuat dengan memperhatikan pelaksanaan CPOB, dalam batas waktu dan biaya  produksi yang ditetapkan.



4. Departemen Production Planning Inventory Control (PPIC) Departemen PPIC dipimpin oleh seorang Supervisor yang bertanggung jawab kepada Plan Manager, yang memiliki tugas sebagai berikut: a. Menyelenggarakan koordinasi internal dengan departemen yang terkait untuk menjaga kestabilan persediaan barang dan kelancaran proses distribusi. b. Membuat inventory forecast untuk setiap item barang sesuai dengan target/kebutuhan departemen pemasaran. b. Menyusun organisasi kerja dan menetapkan alokasi tenaga kerja yang dibutuhkan.



12



c. Menyiapkan struktur sistem dan mekanisme kerja serta peralatan pendukung. d. Menyusun anggaran operasional departemen. e. Menyelenggarakan pengelolaan gudang yang meliputi kegiatan receiving staging/pallet storage dan shipping sesuai dengan sistem dan ketentuan yang berlaku. f. Melakukan pengawasan setiap jenis persediaan barang melalui mekanisme stock. g. Mengikuti



dan



melaksanakan



program



pelatihan



yang



diselenggarakan perusahaan.



5. Departemen Engginering Secara umum, kegiatan maintenance Engginering mencakup perencanaan dan penyediaan peralatan-peralatan di produksi dan laboratorium QC seperti perencanaan dan penyediaan mesin baru, penanganan mesin baru, administrasi spare part, serta kalibrasi dan kualifikasi. Untuk mesin-mesin yang telah ada dilakukan trouble shooter (perbaikan mesin-mesin yang mengalami masalah kecil saat running), repair (perbaikan mesin-mesin yang mengalami masalah saat running yang menyebabkan kerusakan serius), Development and Improvement (memodifikasi bagian mesin, performance upgrade, improvisasi sistem kerja mesin), spare part (penyediaan suku cadang untuk mesin-mesin produksi), dan preventive maintenance (perawatan berkala untuk mencegah terjadinya kerusakan pada mesin).



6. Departemen Research and Development (RnD) Departemen



RnD



dipimpin



oleh



seorang



Manager



yang



bertanggung jawab kepada Plan Manager, Bagian RnD memiliki tugas antara lain :



a. Bertanggung jawab dalam pengembangan produk baru sesuai dengan permintaan marketing



b. Bertanggung jawab untuk melakukan efisiensi biaya produksi dengan membuat formulasi bahan yang memerlukan biaya rendah tetapi tetap menjaga kualitas



13



c. Bertanggung jawab untuk memperbaiki formula obat jika ditemukan permasalahan dalam produksi



d. Bertanggung jawab untuk pengembangan sarana penunjang yang dibutuhkan untuk kelancaran produksi



7. Finance and Accounting Finance akan lebih fokus dalam tugas dan tanggung jawab pencarian,



pengelolaan,



pengalokasian



dana,



dan



melakukan



pembayaran di perusahaan. Selain itu, bagian finance juga bertanggung jawab



untuk



mengatur



kebutuhan



uang



kas



perusahaan



dan



memastikannya sesuai dengan pencatatan yang sudah dilakukan oleh bagian accounting. Bagian finance berhak untuk memegang uang perusahaan, termasuk untuk menerima dan mengeluarkan uang tersebut baik yang ada pada kas, bank, deposit, atau investasi. Accounting hanya bertugas untuk memroses dan mengelola laporan keuangan dan mencatat transaksi dari bisnis. Setelah melakukan pencatatan, akuntan harus melakukan otorisasi di setiap divisi terkait.



8. Environment, Health and Safety (EHS) EHS (Environment, Health and Safety) adalah sistem pengelolaan kualitas lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja yang akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan keselamatan pekerja maupun lingkungan pabrik secara umum. EHS committee juga bertanggung jawab dalam pengelolaan limbah yang meliputi penyimpanan sementara, pengambilan, pengolahan, pengemasan, pemberian label, penyimpanan hinggga pembuangan dan/atau pemusanahan semua sampah atau limbah yang terdapat di area PT Interbat.



9. Human Resources Development (HRD) Departemen HRD (Human Resources Development) mempunyai tugas utama yaitu mengelola sumber daya manusia di perusahaan, mulai dari tugas perencanaan yang sering disebut perencanaan SDM, Rekrutmen dan Seleksi, Pelatihan dan Pengembangan, Manajemen



14



Kinerja, Kompensasi dan Benefit dan Hubungan Industrial atau hubungan Industrial.



10. Informatika Teknologi (IT) Departement Informatika Teknologi adalah departement yang mempunyai tugas di bidang Jaringan Komputerisasi yang mendukung semua aktifitas pekerjaan pendataan dan programing. Adapun tugas pokok sebagai Departement Informatika Teknologi adalah sebagai berikut : a. Melakukan Instalasi Jaringan Komputerisasi di dalam perusahaan. b. Melakukan pengadaan spare part semua kebutuhan jaringan komputerisasi. c. Melakukan



setting



dan



programing



pada



sistem



jaringan



komputerisasi tersebut berdasar kebutuhan perusahaan. d. Melakukan perawatan terhadap sistem jaringan secara hard ware maupun soft ware



11. Purchasing Divisi atau Departement Purchasing adalah



departement



mempunyai tugas di bidang pengadaan barang kebutuhan perusahaan baik bidang produksi maupun non produksi. Adapun tugas pokok dari divisi atau departement purchasing antara lain: a. Melakukan pengadaan atau pencarian suplier barang dan bahan untuk men-supply barang yang di butuhkan oleh perusahaan. b. Melakukan pemilihan supplier barang yang mempunyai standart harga sesuai dengan budget perusahaan. c. Melakukan pembelian barang-barang sesuai kebutuhan perusahaan baik dari jenis material,jenis barang, dan cocok harga sesuai budget perusahaan. d. Melakukan negosiasi harga kepada beberapa suppier barang. e. Melakukan koordinasi external kepada supplier barang tentang dokumentasi pengiriman dan pengadaan barang sampai transaksi barang di lakukan di dalam perusahaan.



12. General Affairs (GA)



15



General Afairs Adalah Departement atau Divisi Di dalam perusahaan yang mempunyai tugas di bidang penyediaan atau pengadaan sarana dan kebutuhan aktifitas para karyawan atau pekerja. Adapun tugas pokok dari departement GA antara lain : a. Mengatur dan mengkoordinasi pengadaan transportasi antar jemput karyawan atau pekerja di dalam perusahaan. b. Mengatur



dan



mengkoordinasi



tentang



pengelolaan



dan



penempatan parkir kendaraan para karyawan perusahaan. c. Mengatur pengadaan konsumsi yang dibutuhkan oleh karyawan atau pekerja baik dari segi makan dan minum di dalam lingkungan perusahaan. d. Menciptakan keamanan dan kenyamanan di dalam lingkungan perusahaan bagi para karyawan yaitu dengan mengadakan bagian badan pengamanan atau security. e. Mengatur dan mengkoordinasi pengadaan ATK di dalam perusahaan.



BAB IV KEGIATAN PKPA DAN PEMBAHASAN 4.1 Kegiatan yang dilakukan Karena adanya pandemic Covid-19 praktik kerja profesi Apoteker (PKPA) Di Industri Farmasi PT. Interbat yang dilaksanakan pada tanggal 2 November 2020 sampai 28 november 2020 secara daring kegiatan yang dilakukan dan dipelajari selama praktik kerja profesi apoteker (PKPA ) secara daring sebagai berikut meliputi : 1. Memahami dan menerapkan pelaksanaan CPOB Aspek-aspek dari CPOB yang meliputi a. Managemen mutu yang meliputi : b.



Personalia



c.



Bangunan dan fasilitas



d.



peralatan



e.



sanitani higene



f.



Produksi



g.



Pengawan mutu



h.



Inspeksi diri, audit mutu dan audit dan persetujuan pemasok



i.



Penanganan keluhaan



terhadap produk dan penarikan kembali



produk j.



Dokumentasi



k.



Pembuatan dan alalisis berdasarkan kontrak



l.



Klasifikasi dan validasi



2. Memahami aspek-aspek QC, QA dan RnD Aspek-aspek QC a. Penganan sampel bahan baku dan bahan ruahan b. Penanganan sampel mikrobiologi c. Penanganan hasil analisa tidak memenuhi persyaratan Aspek-aspek QA a. Internal audit b. Eksternal audit



14



c. Pengendalian perubahan



15



15



d. Penanganan penyimpanan e. Produk Quality review f. Penarikan kembali produk g. Penanganan keluhan h. Corrective action preventive action (CAPA)- signe i. Pengendalian dokumen dan rekaman j. Pengujian stabilitas post market Aspek-aspek RnD a.



Pengembangan produk baru yang meliputi :



b.



Pengembangan bahan pengemas



4.2 Pembahasan Konsep dasar Pemastian Mutu, Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu adalah aspek manajemen mutu yang saling terkait. Manajemen bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan Mutu”, yang memerlukan partisipasi dan komitmen jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor.Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan sistem Pemastian Mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar serta menginkorporasi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) termasuk Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu. Hal ini hendaklah didokumentasikan dan dimonitor efektivitasnya. Pemastian Mutu adalah suatu konsep luas yang mencakup semua hal baik secara tersendiri maupun secara kolektif, yang akan memengaruhi mutu dari obat yang dihasilkan. Pemastian Mutu adalah totalitas semua pengaturan yang dibuat dengan tujuan untuk memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Karena itu Pemastian Mutu mencakup CPOB ditambah dengan faktor lain di luar Pedoman ini, seperti desain dan pengembangan produk. Sistem Pemastian Mutu yang benar dan tepat bagi pembuatan obat hendaklah memastikan bahwa:



16



a. Desain dan pengembangan obat dilakukan dengan cara yang memerhatikan persyaratan CPOB; b. Semua langkah produksi dan pengawasan diuraikan secara jelas dan CPOB diterapkan; c. Tanggung jawab manajerial diuraikan dengan jelas dalam uraian jabatan; pengaturan disiapkan untuk pembuatan, pemasokan dan penggunaan bahan awal dan pengemas yang benar; d. Semua pengawasan terhadap produk antara dan pengawasan selama-proses lain serta dilakukan validasi; e. Pengkajian terhadap semua dokumen terkait dengan proses, pengemasan dan pengujian tiap bets, dilakukan sebelum memberikan pengesahan pelulusan untuk distribusi produk jadi. Penilaian hendaklah meliputi semua faktor



yang



relevan



termasuk



kondisi



produksi,



hasil



pengujian



selamaproses, pengkajian dokumen pembuatan (termasuk pengemasan), pengkajian penyimpangan dari prosedur yang telah ditetapkan, pemenuhan persyaratan dari Spesifikasi Produk Jadi dan pemeriksaan produk dalam kemasan akhir; f. Obat tidak dijual atau didistribusikan sebelum kepala Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) menyatakan bahwa tiap bets produksi dibuat dan dikendalikan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam izin edar dan peraturan lain yang berkaitan dengan aspek produksi, pengawasan mutu dan pelulusan produk; g. Tersedia pengaturan yang memadai untuk memastikan bahwa, sedapat mungkin, produk disimpan, didistribu-sikan dan selanjutnya ditangani sedemikian rupa agar mutu tetap dijaga selama masa simpan obat; h. Tersedia prosedur inspeksi diri dan/atau audit mutu yang secara berkala mengevaluasi efektivitas dan penerapan sistem Pemastian Mutu; i. Pemasok bahan awal dan bahan pengemas dievaluasi dan disetujui untuk memenuhi spesifikasi mutu yang telah ditentukan oleh perusahaan; j. Penyimpangan dilaporkan, diselidiki dan dicatat; k. Tersedia sistem persetujuan terhadap perubahan yang berdampak pada mutu produk; l. Prosedur pengolahan ulang produk dievaluasi dan disetujui; dan



17



m. Evaluasi berkala mutu obat dilakukan untuk verifikasi konsistensi proses dan memastikan perbaikan proses yang berkesinambungan. CPOB merupakan bagian dari sistem Pemastian Mutu yang mengatur dan memastikan obat diproduksi dan mutunya dikendalikan secara konsisten sehingga produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaan produk disamping persyaratan lainnya, sehingga produk tersebut aman dikonsumsi dan diterima oleh masyarakat. Penerapan CPOB di industri farmasi dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam proses produksi obat sehingga tidak membahayakan jiwa manusia. Perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi farmasi saat ini mengakibatkan perubahan yang sangat cepat dalam konsep serta persyaratan CPOB. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan industri farmasi, BPOM RI selaku regulator industri farmasi nasional, telah memberlakukan CPOB tahun 2018 yang berlaku saat ini. Adapun uraian dalam CPOB meliputi : 1. Sistem Mutu Industri Farmasi Pemegang Izin Industri Farmasi harus membuat obat sesuai dengan tujuan penggunaan, memenuhi persyaratan izin edar atau persetujuan uji klinik dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan pasien yang disebabkan karena keamanan, mutu atau efektivitas yang tidak memadai. Industri farmasi harus menetapkan manajemen puncak yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan atau pabrik dengan kewenangan dan tanggung jawab memobilisasi sumber daya dalam perusahaan atau pabrik untuk mencapai kepatuhan terhadap regulasi. Dalam



industri



farmasi



terdapat



manajemen



puncak



yang



bertanggung jawab untuk pencapaian sasaran mutu sehingga memerlukan partisipasi dan komitmen dari berbagai personel departemen dalam perusahaan dan distributor. Untuk mencapai sasaran mutu yang handal, diperlukan sistem mutu yang didesain secara komprehensif dan diterapkan secara benar mencakup CPOB dan Manajemen Risiko Mutu. Pelaksanaan



18



sistem ini hendaklah dilakukan dokumentasi lengkap dan dimonitor serta dipantau efektivitasnya. Semua bagian sistem mutu hendaklah didukung oleh ketersediaan personel yang kompeten, bangunan dan sarana serta peralatan yang cukup dan memadai (PerBPOM, 2018). Penerapan manajemen mutu di PT. Interbat dilakukan oleh Quality Assurance (QA) dipimpin oleh seorang QA manager yang merupakan Apoteker. Tugas umum bagian QA adalah melaksanakan pengawasan dan pengaturan pada setiap kegiatan proses produksi, proses analisa, dan sistem agar sesuai ketentuan CPOB (GMP compliance). Selain bagian Quality Assurance, manajemen mutu di PT. Interbat juga dilakukan oleh Quality Control (QC) yang dipimpin oleh seorang Apoteker yang melakukan pengawasan mutu untuk pemeriksaan rutin pabrik, yang meliputi kualitas bahan baku dan spesifikasi yang ditentukan agar sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan. Tugas dan tanggung jawab QC secara umum ada 5 (STSIM): Sampling, Testing, Spesifikasi, Inspeksi dan Monitoring 2. Personalia Pembuatan obat yang benar mengandalkan sumber daya manusia. Oleh sebab itu industri farmasi harus bertanggung jawab untuk menyediakan personel



yang terkualifikasi



dalam



jumlah



yang



memadai



untuk



melaksanakan semua tugas dan berpengalaman praktis. Tanggung jawab individual secara jelas dipahami oleh masing-masing dan didokumentasikan. Seluruh personel hendaklah memahami prinsip CPOB yang menyangkut tugasnya serta memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi higiene yang berkaitan dengan pekerjaannya. Pelatihan spesifik diberikan kepada personil yang bekerja di area di mana kontaminasi menimbulkan bahaya, misalnya area bersih atau area penanganan bahan berpotensi tinggi, toksik, bersifat infeksius atau menimbulkan sensitisasi. Manajemen puncak hendaklah menetapkan kebijakan mutu yang menguraikan keseluruhan maksud dan tujuan perusahaan terkait mutu hendaklah memastikan kesesuaian dan efektivitas sistem mutu industri farmasi dan pemenuhan CPOB melalui keikutsertaan dalam tinjauan manajemen. Tiap personel tidak boleh dibebani tanggung jawab yang



19



berlebihan sehingga menimbulkan risiko terhadap kualitas. Manajemen puncak hendaklah menunjuk personel kunci diantaranya Kepala Produksi, Kepala Pengawasan Mutu, dan Kepala Pemastian Mutu. Posisi kunci tersebut dijabat oleh Apoteker purnawaktu. Kepala Produksi, Kepala Pengawasan Mutu dan Kepala Pemastian Mutu harus independen satu terhadap yang lain (PerBPOM, 2018). 3. Bangunan – Fasilitas Bangunan-fasilitas untuk pembuatan obat harus memiliki desain, konstruksi dan letak yang memadai, serta dirawat kondisinya untuk kemudahan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus



dibuat



sedemikian



rupa



untuk



memperkecil



risiko



terjadi



ketidakjelasan, kontaminasi silang dan kesalahan lain, serta memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindarkan kontaminasi silang, penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat. Seluruh bangunan-fasilitas termasuk area produksi, laboratorium, area penyimpanan, koridor dan lingkungan sekeliling bangunan hendaklah dipelihara dalam kondisi bersih dan rapi. Kondisi bangunan hendaklah ditinjau secara teratur dan diperbaiki di mana perlu. Perbaikan serta pemeliharaan bangunan-fasilitas hendaklah dilakukan hati-hati agar kegiatan tersebut tidak merugikan mutu obat. Pasokan listrik, pencahayaan, suhu, kelembaban dan ventilasi hendaklah tepat agar tidak mengakibatkan dampak merugikan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap obat selama proses pembuatan dan penyimpanan, atau terhadap keakuratan fungsi dari peralatan (PerBPOM, 2018). 4. Peralatan Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets-ke-bets dan untuk memudahkan pembersihan serta pemeliharaan agar dapat mencegah kontaminasi silang, penumpukan debu atau kotoran dan hal-hal yang umumnya berdampak buruk pada mutu



20



produk. Peralatan hendaklah dipasang sedemikian rupa untuk mencegah risiko kesalahan atau kontaminasi. Setelah digunakan, peralatan hendaklah dibersihkan pada bagian luar maupun bagian dalam sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, serta dijaga dan disimpan dalam kondisi yang bersih. Apabila akan digunakan, kebersihannya diperiksa kembali untuk memastikan bahwa semua produk atau bahan dari bets sebelumnya telah dihilangkan. Peralatan hendaklah dipelihara sesuai jadwal untuk mencegah malfungsi atau kontaminasi yang dapat memengaruhi identitas, mutu atau kemurnian produk. Kegiatan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah dibuat dan didokumentasikan secara benar (PerBPOM,2018). Aspek peralatan yang diterapkan di PT. Interbat telah diterapkan sesuai dengan CPOB. Pada setiap kegiatan yang berhubungan dengan peralatan dilengkapi dengan prosedur tetap (protap). Semua peralatan yang akan digunakan dikalibrasi untuk menjamin proses kerja dari alat tersebut dan juga dilakukan kualifikasi dengan tepat agar mutu obat terjamin sesuai dengan yang diinginkan. 5. Produksi Kegiatan produksi hendaklah dilaksanakan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa menghasilkan obat yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar. Produksi hendaklah dilakukan dan disupervisi oleh personel yang kompeten. Seluruh penanganan bahan dan produk jadi, seperti penerimaan dan karantina, pengambilan sampel, penyimpanan, penandaan, penimbangan, pengolahan, pengemasan dan distribusi hendaklah dilakukan sesuai prosedur atau instruksi tertulis dan bila perlu dicatat. Bagian produksi melaksanakan produksi untuk semua produk yang telah direncanakan berdasarkan SOP (Standard Operating Procedure) dari setiap produk yang telah ada. Pengadaan bahan awal yang terdiri dari bahan baku dan bahan pengemas dibeli dari supplier yang telah dievaluasi dan disetujui oleh QA agar dipastikan mutunya selalu terjaga. Semua bahan awal



21



yang digunakan dalam proses produksi harus dinyatakan lulus (release) oleh bagian pengawasan mutu dengan pemberian label berwarna hijau, label kuning (karantina) dan sesuai SOP dilakukan retest setiap tahun terhadap bahan persediaan. Setelah jalur produksi siap, maka bahan akan dikerjakan oleh operator pengolahan produksi sesuai dengan batch record, selama proses produksi setiap prosedur yang dilakukan perlu dicatat pada catatan pengolahan batch. Produk jadi agar dapat lulus maka bagian QA akan merekonsiliasi catatan pengolahan batch antara produksi dan pengawasan mutu, apabila telah sesuai maka produk akan lulus (release) oleh QA (PerBPOM, 2018). 6. Cara Penyimpanan dan Pengiriman Obat yang Baik Penyimpanan dan pengiriman adalah bagian yang penting dalam kegiatan dan manajemen rantai pemasokan obat yang terintegrasi. Mutu obat dapat dipengaruhi oleh kekurangan pengendalian yang diperlukan terhadap kegiatan selama proses penyimpanan dan pengiriman Maka sediaan ditangani dan disimpan dengan cara yang sesuai untuk mencegah kontaminasi, kecampurbauran dan kontaminasi silang. Area penyimpanan diberikan pencahayaan yang memadai sehingga semua kegiatan dapat dilakukan secara akurat dan aman. Untuk menjaga mutu awal obat, semua kegiatan dalam penyimpanan dan pengirimannya hendaklah dilaksanakan sesuai prinsip CPOB dan CDOB. 7. Pengawasan Mutu Pengawasan Mutu mencakup pengambilan sampel, spesifikasi, pengujian serta termasuk pengaturan, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan bahwa semua pengujian yang relevan telah dilakukan, dan bahan tidak diluluskan untuk dipakai atau produk diluluskan untuk dijual, sampai mutunya telah dibuktikan persyaratan. Pengawasan Mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk. Ketidaktergantungan Pengawasan Mutu dari Produksi dianggap hal yang fundamental agar Pengawasan Mutu dapat melakukan kegiatan dengan benar (PerBPOM, 2018).



22



Pengawasan mutu di PT. Interbat dipimpin oleh kepala bagian pengawasan mutu. Tugas utama kepala bagian pengawasan mutu adalah membuat, memvalidasi dan menerapkan semua prosedur pengawasan mutu, mengawasi pengendalian sampel pembanding dan/atau sampel pertinggal dari bahan dan produk bila perlu, memastikan kebenaran label pada wadah bahan dan produk, memastikan pelaksanaan pemantauan stabilitas produk, ikut serta dalam investigasi keluhan yang terkait dengan mutu produk dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur tertulis, dan dicatat. 8. Inspeksi Diri, Audit Mutu dan Audit & Persetujuan Pemasok Inspeksi diri bertujuan untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB. Program inspeksi diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan yang dapat mengevaluasi penerapan CPOB secara objektif. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara rutin dan, di samping itu, pada situasi khusus, misalnya dalam hal terjadi penarikan obat jadi atau terjadi penolakan yang berulang. Semua saran untuk tindakan perbaikan hendaklah dilaksanakan. Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif (PerBPOM, 2018). Inspeksi diri di PT. Interbat dilakukan secara rutin. Prosedur dan catatan inspeksi diri didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif. Inspeksi diri dapat dilaksanakan perbagian, namun inspeksi diri yang menyeluruh dilaksanakan 1 (satu) kali dalam setahun. 9. Keluhan dan Penarikan Produk Untuk melindungi kesehatan masyarakat, suatu sistem dan prosedur yang sesuai hendaklah tersedia untuk mencatat, menilai, menginvestigasi dan meninjau keluhan termasuk potensi cacat mutu dan, jika perlu, segera melakukan penarikan obat termasuk obat uji klinik dari jalur distribusi



23



secara efektif. Prinsip-prinsip manajemen resiko mutu hendaklah diterapkan pada investigasi, penilaian cacat mutu dan proses pengambilan keputusan terkait dengan tindakan penarikan produk, tindakan perbaikan dan pencegahan serta tindakan pengurangan risiko lain. Semua keluhan dan informasi lain tentang kemungkinan kerusakan dan kemungkinan pemalsuan obat hendaklah dikaji dengan seksama sesuai dengan prosedur tertulis mengenai tindakan yang perlu dilakukan, termasuk tindakan penarikan obat jika diperlukan. Keluhan dapat menyangkut mutu produk, efek samping yang merugikan, atau masalah efek terapetik dan dapat berasal dari dalam maupun luar perusahaan. Bagian pengawasan mutu akan berkoordinasi dengan bagian pemasaran untuk penelusuran penyebab keluhan. Laporan sebaiknya disampaikan dengan menyertakan contoh yang dikeluhkan. Setiap keluhan dicatat dalam formulir yang berisi keterangan antara lain: tanggal penerimaan, nama dan alamat pengirim, produk yang dikeluhkan (nama produk dan nomor bets) serta isi keluhan. Bagian ini menangani keluhan dengan cara melihat batch record dan pengujian terhadap contoh pertinggal akan dilakukan apabila diperlukan (PerBPOM, 2018). 10. Dokumentasi Dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari sistem pemastian mutu dan merupakan kunci untuk pemenuhan persyaratan CPOB. Berbagai jenis dokumen dan media yang digunakan hendaklah sepenuhnya ditetapkan dalam sistem mutu industri farmasi. Dokumentasi dapat dibuat dalam berbagai bentuk, termasuk media berbasis kertas, elektronik atau fotografi. Tujuan utama sistem dokumentasi yang dimanfaatkan haruslah untuk membangun, mengendalikan, memantau dan mencatat semua kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung berdampak pada semua aspek kualitas obat. Sistem mutu industri farmasi hendaklah mencakup penjabaran rinci yang memadai terhadap pemahaman umum mengenai persyaratan, disamping memberikan pencatatan berbagai proses dan evaluasi setiap pengamatan yang memadai, sehingga penerapan persyaratan yang berkelanjutan dapat ditunjukkan.. Ada dua jenis dokumentasi utama yang



24



digunakan



untuk



mengelola



dan



mencatat



pemenuhan



CPOB:



prosedur/instruksi (petunjuk, persyaratan) dan catatan/laporan. Pelaksanaan dokumentasi yang tepat hendaklah diterapkan sesuai dengan jenis dokumen. Pengendalian yang sesuai hendaklah diterapkan untuk memastikan keakuratan, integritas, ketersediaan dan keterbacaan dokumen (PerBPOM, 2018). Sistem dokumentasi yang dilakukan di PT. Interbat sudah baik dilihat dari prosedur pengolahan induk dan prosedur pengemasan induk namun sistem penyimpanan dokumen masih secara manual. Hal ini dapat mengakibatkan keterlambatan penyampaian informasi. 11. Kegiatan Alih Daya Aktivitas yang tercakup dalam Pedoman CPOB yang di alih dayakan, didefinisikan, disetujui dan dikendalikan dengan benar untuk menghindarkan kesalahpahaman yang dapat menghasilkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Terdapat kontrak tertulis antara pemberi kontrak dan penerima kontrak yang secara jelas menentukan peran dan tanggung jawab masing-masing pihak. Sistem mutu industry farmasi dari pemberi kontrak menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala pemastian mutu. Semua pengaturan untuk kegiatan alih daya termasuk usulan perubahan teknis atau perubahan lain sesuai dengan peraturan regulasi dan izin edar untuk produk terkait. Pembuatan obat alih daya di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi yangm memiliki sertifikat CPOB yang berlaku yang diterbitkan oleh Badan POM. 12. Kualifikasi dan Validasi Prinsip kualifikasi dan validasi yang diterapkan di fasilitas, peralatan, sarana penunjang, dan proses yang digunakan pada pembuatan obat dan juga dapat digunakan sebagai pedoman tambahan untuk bahan aktif obat tanpa persyaratan tambahan. CPOB mempersyaratkan industry farmasi mengendalikan aspek kritis Pengendalian. Aspek kritis kegiatan yang dilakukan selalu terkualifikasi dan tervalidasi sepanjang siklus hidup produk dan proses. Tiap perubahan yang direncanakan terhadap fasilitas,



25



peralatan, sarana penunjang, dan proses, yang dapat memengaruhi mutu produk, selalu didokumentasikan secara formal dan dampak pada status validasi atau strategi pengendaliannya dinilai. Kegiatan kualifikasi dan validasi dilakukan oleh personel yang telah mendapat pelatihan dan mengikuti prosedur yang telah disetujui. Elemen kunci program kualifikasi dan validasi ditetapkan secara jelas dan didokumentasikan dalam Rencana Induk Validasi (RIV) atau dokumen lain yang setara.(PerBPOM, 2018). a. Kulifikasi Kualifikasi merupakan istilah yang digunakan untuk validasi terhadap mesin, peralatan produksi maupun sarana penunjang. Dengan begitu kualifikasi diartikan sebagai kegiatan pembuktian bahwa perlengkapan, fasilitas atau sistem yang digunakan dalam suatu proses/sistem akan selalu bekerja dengan kriteria yang diinginkan dan konsisten serta menghasilkan produk sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan



(Priyambodo,



2015).



Terdapat



4(Empat)



tahapan



kualifikasi,yaitu: 1) Kualifikasi Rancangan (Design Qualification) Kualifikasi Desain (KD) adalah unsur pertama dalam melakukan validasi terhadap fasilitas, sistem atau peralatan baru. Kualifikasi harus diterapkan pada seluruh mesin/peralatan atau sistem yang



berpotensi



mempengaruhi



kualitas



suatu



produk



atau



dipergunakan dalam proses analisis. Kualifikasi Desain (KD) diartikan sebagai dokumen yang memverifikasikan bahwa desain dari fasilitas, sistem dan peralatan sesuai untuk tujuan yang diinginkan. Tujuan Kualifikasi



Desain



(KD)



adalah



untuk



menjamin



dan



mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan atau sarana penunjang yang akan dipasang atau dibangun (rancang bangun) sesuai dengan ketentuan atau spesifikasi yang diatur dalam ketentuan CPOB yang



berlaku (Priyambodo,



2015).



Kualifikasi



Desain



(KD)



dilaksanakan sebelum mesin, peralatan produksi atau sarana penunjang (termasuk bangunan untuk industri farmasi) tersebut dibeli/dipasang/dibangun. Sasaran/target dari pelaksanaan DQ adalah:



26



a) Memastikan bahwa sistem atau peralatan atau bangunan yang akan dipasang atau dibangun (rancang bangun) sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam CPOB (GMP complience). b) Memastikan bahwa sistem atau peralatan atau bangunan yang akan dipasang atau dibangun (rancang bangun) memperhatikan aspek aspek keamanan dan kemudahan operasional (HAZOPs – Hazard and Operation Studies). c) Memastikan bahwa sistem atau peralatan atau bangunan, telah dilengkapi dengan modul desain, gambar teknis dan spesifikasi produk secara lengkap. d) Khusus untuk bangunan industri farmasi, rancang bangun/Rencana Induk Pembangunan (RIP) sudah mendapat persetujuan dari Badan POM. 2) Kualifikasi Instalasi (Installation Qualification) Kualifikasi Instalasi (KI) merupakan proses dokumentasi yang memverifikasikan bahwa seluruh aspek kunci dari instalasi peralatan atau sistem telah sesuai dengan tujuan desainnya dan mengikuti rekomendasi yang diberikan oleh industri pembuat. Kualifikasi Instalasi mencakup, tapi tidak terbatas pada hal berikut: a) instalasi peralatan, pipa dan sarana penunjang dan instrumentasi sesuai dengan spesifikasi dan gambar teknik yang didesain; b) pengumpulan dan penyusunan dokumen pengoperasian dan perawatan peralatan dari pemasok; c) ketentuan dan persyaratan kalibrasi; dan d) verifikasi bahan konstruksi. Sasaran/target dari pelaksanaan IQ adalah a) Memastikan bahwa sistem atau peralatan telah dipasang sesuai rencana desain yang telah ditentukan (GMP complience).



27



b) Memastikan bahwa bahan dan konstruksi peralatan telah sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan (jenis baja anti karat, kemudahan pembersihan, dan lain-lain). c) Memastikan ketersediaan perlengkapan pengawasan (alat kontrol) dan pemantauan (monitor) sesuai dengan penggunaannya. d) Memastikan sistem atau peralatan aman dioperasikan serta tersedia sistem atau peralatan pengaman yang sesuai. e) Memastikan bahwa sistem penunjang, misalnya listrik, air, udara, dan lainlain telah tersedia dalam kualitas dan kuantitas yang memadai sesuai dengan penggunaannya. f) Memastikan bahwa kondisi instalasi dan sistem penunjang telah tersedia dan terpasang dengan benar. 3) Kualifikasi Operasional Kualifikasi Operasional (KO) diartikan sebagai dokumentasi yang memverifikasikan bahwa seluruh fasilitas, sistem dan peralatan yang telah diinstalasi atau dimodifikasi berfungsi sesuai rancangan pada rentang operasional yang diantisipasi (Priyambodo, 2015). KO umumnya



dilakukan



setelah



KI,



namun,



bergantung



pada



kompleksitas peralatan. KO hendaklah mencakup, namun tidak terbatas pada hal-hal berikut: a) pengujian yang dikembangkan berdasar pemahaman proses, sistem, dan peralatan untuk memastikan sistem beroperasi sesuai desain; b) pengujian untuk mengonfirmasi batas operasi atas dan batas operasi bawah, dan/atau kondisi "terburuk" Penyelesaian KO yang berhasil hendaklah digunakan untuk memfinalisasi prosedur operasional dan prosedur pembersihan, pelatihan operator, dan persyaratan perawatan preventif. 4) Kualifikasi Kinerja Kualifikasi Kinerja (KK) merupakan dokumentasi yang memverifikasikan bahwa fasilitas, sistem dan peralatan, yang telah



28



terpasang dan difungsikan, dapat bekerja secara efektif dan memberi hasil



yang



dapat



terulang,



berdasarkan



metode



proses



dan spesifikasi yang disetujui (Priyambodo, 2015). KK umumnya dilakukan setelah KI dan KO berhasil. Namun, mungkin dalam beberapa kasus, pelaksanaannya bersamaan dengan KO atau Validasi Proses (Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 34, 2018). KK hendaklah mencakup, namun tidak terbatas pada hal-hal berikut: a) pengujian dengan menggunakan bahan yang dipakai di produksi, bahan pengganti yang memenuhi spesifikasi, atau produk simulasi yang terbukti mempunyai sifat yang setara pada kondisi operasional normal dengan ukuran bets kondisi terburuk. Hendaklah dilakukan justifikasi terhadap frekuensi pengambilan sampel yang digunakan untuk mengonfirmasi pengendalian proses; b) pengujian hendaklah mencakup rentang operasional proses yang diinginkan, kecuali jika tersedia bukti terdokumentasi dari tahap pengembangan yang telah mengonfirmasi rentang operasional. b. Validasi Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium dimana karakteristik dari suatu prosedur memenuhi persyaratan untuk aplikasi analisis, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Validasi metode analisis bertujuan untuk mengkonfirmasi bahwa metode analisis tersebut dapat sesuai untuk peruntukannya (Gandjar, 2007). Klasifikasi Metode Analisis menurut USP 30-NF25 (2007), metode analisis diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu:



1) Kategori I



29



Metode analisis yang digunakan untuk penetapan kadar komponen utama dalam bahan baku obat dan sediaan obat jadi atau bahan aktif lainnya seperti pengawet 2) Kategori II Metode analisis yang digunakan untuk penetapan cemaran dalam bahan baku obat atau hasil degradasinya dalam sediaan obat jadi. 3) Kategori III : Metode analisis yang digunakan untuk penetapan kinerja dan kualitas sediaan obat jadi, seperti uji disolusi dan uji pelepasan obat (Gandjar, 2007). Prosedur analisis yang harus divalidasi meliputi beberapa jenis pengujian, terdapat 6(enam) parameter validasi metode analisis diantaranya spesifisitas/selektifitas, presis/ketelitian, akurasi/ketepatan, linearitas, sensitifitas, dan robustness. Pemilihan parameter yang akan diuji tergantung dari jenis dan metode pengujian yang akan divalidasi (Chan, 2004). i.



Akurasi Akurasi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil analis sangat tergantung kepada sebaran galat sistematik di dalam keseluruhan tahapan analisis. Oleh karena itu untuk mencapai kecermatan yang tinggi hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi galat sistematik tersebut seperti menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut yang baik, pengontrolan suhu, dan pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur (Gandjar, 2007). Recovery dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang



diperoleh



dengan



hasil



yang



sebenarnya.



Biasanya



persyaratan untuk recovery adalah tidak boleh lebih dari 5% (Riyadi, 2009).



30



% Recovery =



ii.



Berat Hasil x 100 % Berat Sebenarnya



Presisi Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Presisis diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Presisi dapat dinyatakan sebagai Repeatability (keterulangan) atau reproducibility (ketertiruan). Repeatability adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Repeatability dinilai melalui pelaksanaan penetapan terpisah lengkap terhadap sampel-sampel identik yang terpisah dari batch yang sama, jadi memberikan ukuran keseksamaan pada kondisi yang normal (Riyadi, 2009). Reproducibility adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda. Biasanya analisis dilakukan dalam laboratorium-laboratorium yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut, dan analis yang berbeda pula. Analisis dilakukan terhadap sampel-sampel yang diduga identik yang dicuplik dari batch yang sama. Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif (RSD) atau koefisien variasi (CV) 2% atau kurang. Akan tetapi kriteria ini sangat fleksibel tergantung pada konsentrasi analit yang diperiksa, jumlah sampel, dan kondisi laboratorium (Riyadi, 2009).



iii.



Linieritas Linieritas menunjukkan kemampuan suatu metode analisis untuk memperoleh hasil pengujian yang sesuai dengan konsentrasi analit dalam sampel pada kisaran konsentrasi tertentu. Sedangkan rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi



31



analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima. Rentang dapat dilakukan dengan cara membuat kurva kalibrasi dari beberapa set larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya (Ermer & Miller 2005). Persamaan garis yang digunakan pada kurva kalibrasi diperoleh dari metode kuadrat terkecil, yaitu y = a + bx. Persamaan ini akan menghasilkan koefisien korelasi (r). Koefisien korelasi inilah yang digunakan untuk mengetahui linearitas suatu metode analisis. Penetapan linearitas minimum menggunakan lima konsentrasi yang berbeda. Nilai koefisien korelasi yang memenuhi persyaratan adalah mendekati ± 1. Linearitas juga dapat diketahui dari kemiringan garis, intersep, dan residual (Ermer & Miller 2005). iv.



Selektivitas (Spesifisitas) Selektivitas



atau



spesifisitas



suatu



metode



adalah



kemampuannya yang hanya mengukur zat tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang mungkin ada dalam matriks sampel. Selektivitas seringkali dapat dinyatakan sebagai derajat penyimpangan (degree of bias) metode yang dilakukan terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan berupa cemaran, hasil urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya, dan dibandingkan terhadap hasil analisis sampel yang



tidak



mengandung



bahan



lain



yang



ditambahkan.



Penyimpangan hasil jika ada merupakan selisih dari hasil uji keduanya. Jika cemaran dan hasil urai tidak dapat diidentifikasi atau tidak dapat diperoleh, maka selektivitas dapat ditunjukkan dengan cara menganalisis sampel yang mengandung cemaran atau hasil uji urai dengan metode yang hendak diuji lalu dibandingkan dengan



metode



lain



untuk



pengujian



kemurnian



seperti



kromatografi, analisis kelarutan fase, dan Differential Scanning



32



Calorimetry. Derajat kesesuaian kedua hasil analisis tersebut merupakan ukuran selektivitas (Riyadi, 2009).



Resolusi =



v.



2(tr 2−tr 1) Wb 1+Wb 2



R = > 1,5



Sensitifitas a. Limit deteksi (LOD) didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah yang masih dapat dideteksi meskipun tidak selalu dapat



dikuantifi-kasi.



Sedangkan



batas



kuantifikasi



didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi pada kondisi analisis yang digunakan (Yuwono dan Indrayanto, 2005). BD =



3 x SD blanko b( slope)



b. Limit kuantitas (LOQ) adalah jumlah analit terkecil dalam sampel yang dapat ditentukan secara kuantitatif pada tingkat ketelitian dan ketepatan yang baik. Limit kuantitas merupakan parameter pengujian kuantitatif untuk konsentrasi analit yang rendah dalam matriks yang kompleks dan digunakan untuk menentukan adanya pengotor atau degradasi produk. BK =



10 x SD blanko b( slope)



Limit deteksi dan limit kuantitasi dihitung dari rerata kemiringan garis dan simpangan baku intersep kurva standaryang diperoleh (ICH, 2005).



vi.



Robustness Robustness adalah ukuran yang menunjukkan kromatogram yang representative harus disiapkan untuk menunjukkan pengaruh-



33



pengaruh variable yang diukur dibandingkan dengan kondisi normal (Gandjar dan Rohman, 2014). c. Validasi Proses Untuk memperoleh status yang valid, semua proses harus secara konsisten memenuhi spesifikasi dan mutu pada semua tahap melalui prosedur yang telah ditetapkan.



Validasi proses harus dapat



membuktikan kelayakan suatu proses pada skala produksi untuk menjamin konsistensi kualitas produk. Validasi proses terbagi menjadi tiga macam, yaitu validasi prospektif, validasi konkuren, dan validasi retrospektif. Validasi prospektif merupakan validasi dengan pendekatan untuk produk baru. Pendekatan validasi prospektif ini sebaiknya dilakukan sebelum distribusi komersial dari produk. Pada proses pembuatan obat baru dapat mengalami perubahan yang akan berakibat terhadap karakteristik obat, perubahan yang terjadi dipantau selama proses validasi prospektif. Validasi prospektif menyajikan bukti terdokumentasi bahwa suatu proses, prosedur, kegiatan, sistem, peralatan atau mekanisme yang digunakan dalam pembuatan obat telah sesuai. Validasi konkuren merupakan Validasi yang dilakukan selama pelaksanaan produksi rutin dari produk yang akan dipasarkan. Terjadi perubahan pada parameter kritis, seperti peralatan yang digunakan, prosedur pembuatan, spesifikasi bahan baku dan cara pengujian yang dapat mempengaruhi spesifikasi dan mutu obat. Validasi dilakukan pada 3 batch produksi yang sedang berjalan. Keputusan untuk melakukan validasi konkuren harus didokumentasikan dan disetujui oleh personil yang berwenang. Validasi retrospektif merupakan validasi proses pembuatan produk yang telah dipasarkan yang dilaksanakan berdasarkan data pembuatan, pengujian dan pengawasan bets yang dikumpulkan sesuai dengan protokol yang telah disiapkan dan disetujui. Validasi



34



retrospektif hanya dapat diterima untuk proses yang telah tertata dengan baik dan tidak terjadi perubahan pada peralatan, proses, bahan awal, formula dan metode (BPOM, 2018). 1. Departemen Quality Control (QC QC melakukan pengawasan terhadap mutu produk dengan melakukan analisa sebelum bahan awal digunakan dalam produksi, menyetujui atau menolak bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan dan produk jadi; dan memastikan bahwa seluruh pengujian yang diperlukan telah dilaksanakan. Departemen QC dalam melakukan analisa sampel mengacu pada parameter metode analisa dan spesifikasi yang valid dari departement RnD. Dimana metode analisa dari RnD akan melalui tahap transfer ke departemen QC. Metode pengujian ini digunakan apabila transfer metode analisa telah berhasil dan laporan hasil telah disetujui oleh departemen terkait. a. Penanganan Sampel Bahan Baku dan Bahan Kemas Dalam hal ini departemen QC melakukan sampling terkait pengujian dan status pelulusan bahan baku maupun bahan kemas. Sampling merupakan cuplikan yang digunakan untuk pemeriksaan spesifikasi bahan awal dan bahan pengemas yang dilakukan oleh personel yang telah memperoleh pelatihan mengenai cara pengambilan sampel yang benar. Sampel



diambil



untuk



keperluan



pengujian



kimia,



pengujian



mikrobiologi, dan sampel pertinggal. Jumlah sampel untuk Bahan Baku (BB) yang diambil berdasarkan pola pengambilan sampel yaitu pola n: n=√ N + 1



Sedangkan untuk jumlah sampel Bahan Kemas (BK) yang diambil menggunakan pola pengambilan sampel yaitu : n=√ N + 2 dimana : n = jumlah wadah yang diambil sampelnya



35



N = jumlah wadah yang diterima Jumlah BK yang diambil untuk sampling menggunakan tabel Millitary Standard dan jumlah sampel yang diambil untuk uji fisik yaitu sebanyak 10 dan uji mikrobiologi sebanyak 20. Sampel yang diambil kemudian dimasukkan kedalam wadah sampel, diberi label identitas, dan pada wadah BB diberikan label “SAMPEL SUDAH DIAMBIL”, dan sampel dibawa ke lab QC untuk dilakukan pengujian kimia dan mikrobiologi sedangakan untuk sampel pertinggal disimpan di area penyimpanan contoh. Alat yang digunakan dalam pengambilan sampel diantaranya: 1) Sendok satinless steel/stick sampler kecil 2) Powder stick sampler 3) Pipet volume/liquid stick sampler 4) Gunting stainless steel Bahan Baku ataupun bahan kemas yang memenuhi spesifikasi maka pada wadah BB dan BK ditempelkan label “DILULUSKAN” sedangkan yang tidak memenuhi syarat diberi label “DITOLAK”. 1) Penangan Sampel Semi Finished Good dan Finished Good Proses sampling untuk produk semi finish good dan finish good dilakukan oleh personel QA yang kemudian diserahkan kepada QC supervisor untuk dilakukan analisa oleh analis QC. Untuk tiap bets produk jadi, hendaklah dilakukan pengujian (di laboratorium) atas kesesuaian terhadap spesifikasi produk akhirnya, sebelum diluluskan. Selain pemeriksaan sesuai dengan spesifikasi produk, juga dilakukan uji stabilitas terhadap produk. Uji stabilitas terdiri dari : a) Uji stabilitas dipercepat (Accelerated) Dimana obat disimpan dalam climatic chamber pada suhu 40oC selama 6 bulan dan dievaluasi pada bulan ke-0, 3 ,6. b) Uji Stabilitas Real time



36



Dimana obat disimpan pada suhu kamar hingga habis masa expired nya. Pengujian dilakukan pada bulan ke-3 ,6 ,9 ,12 ,18 ,24 dan seterusnya. Tujuan dari program stabilitas on-going adalah untuk memantau produk selama masa edar dan untuk menentukan bahwa produk tetap, atau dapat diprakirakan akan tetap, memenuhi spesifikasinya selama dijaga dalam kondisi penyimpanan yang tertera pada label. 2) Penanganan sampel Mikrobiologi Pengawasan



mutu



(QC)



juga



melakukan



pemeriksaan



mikrobiologi hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa produk yang dihsilkan memenuhi spesifikasi produk, uji mikrobiologi dilakukan terhadap bahan awal dan produk jadi serta juga dilakukan pemantauan lingkungan untuk mencagah terjadinya kontaminasi dari lingkungan pada produk. 3) Penanganan Hasil Analisa Tidak Memenuhi Syarat (TMS)/Out of Specification (OOS). Hasil Analisa Tidak Memenuhi Syarat (TMS) yang diperoleh selama pengujian bahan atau produk, hendaklah diselidiki menurut prosedur yang disetujui. Catatannya hendaklah disimpan. Produk jadi yang tidak memenuhi spesifikasi dan kriteria mutu lain yang ditetapkan hendaklah ditolak. Pengolahan ulang dapat dilakukan apabila produk memenuhi syarat, namun produk hasil pengolahan ulang hendaklah memenuhi semua spesifikasi dan kriteria mutu lain yang ditetapkan sebelum diluluskan untuk distribusi. Out of Specification yaitu hasil uji yang tidak sesuai memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan dan Out of Trend yaitu hasil uji yang berada diluar riwayat, harapan dan trend sebelumnya. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan untuk mengkaji hasil dari analisa tersebut. Dalam menetukan kesalahan yang terjadi dilakukan investigasi terhadap produk, apakah penyimpangan terjadi akibat lab error atau selama proses produksi atau formulasi.



37



Penanganan hasil analisa di luar spesifikasi diinformasikan analis kepada supervisor dan dilakukan investigasi Fase I untuk menentukan apakah penyimpangan terjadi akibat lab error atau tidak, jika akibat lab error maka data analisa awal diganti dengan data analisa retest sampel. Dan apabila penyimpangan bukan dikarenakan lab error maka dilakukan investigasi Fase II dimana analisa dilakukan oleh analis yang berbeda dengan sampel yang digunakan adalah sampel yang belum dipreparasi (sampel induk) jika bukan karena lab error maka data awal tidak digunakan dan jika bukan karena lab error maka diperlukan investigasi terhadap departemen terkait (seperti : proses produksi, formulasi



ataupun



fasilitas).



Keputusan akhir



dari



investigasi OOS/OOT apakah produk ditolak atau diluluskan diputuskan oleh departemen QA. 2. Departemen Quality Assurance (QA) Departemen Quality Assurance (QA) dikepalai oleh seorang manager yang merupakan Apoteker. Manager QA bertanggung jawab atas segala pekerjaan yang dilakukan oleh QA yaitu memastikan bahwa sistem berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan. Manager QA membawahi enam unit kerja yaitu QA Assistant Manager, QA Support Pharmacist, Quality System Supervisor, QA Compliance Supervisor, Document Control Supervisor dan QA Supervisor, dimana diisi oleh Apoteker semua serta dibantu oleh admin (non Apoteker). Kegiatan yang dilaksanakan oleh departemen Quality Assurance (QA) meliputi: a. Internal Audit b. Eksternal Audit c. Pengendalian Perubahan d. Penanganan Penyimpangan e. Product Quality Review (PQR) f. Penarikan Kembali Produk g. Penanganan Keluhan



38



h. Corrective Action-Preventive Action (CAPA) – signed i. Pengendalian Dokumen dan Rekaman j. Pengujian Stabilita Post Market Fungsi dan tugas departemen Quality Assurance: a. Internal Audit 1) Verifikasi kesesuaian, efektivitas dan peningkatan sistem agar sesuai CPOB, CPOTB, ISO 9001:2015 2) Mengevaluasi sistem operasional dan mencari cara pencegahan untuk mengatasi masalah secara efektif 3) Memastikan upaya perbaikan sistem secara berkelanjutan b. Eksternal Audit 1) Menjamin perusahaan farmasi penerima kontrak, distributor dan semua pemasok yang menunjang proses produksi mampu memenuhi standar CPOB 2) Menindak lanjuti permasalahan terkait kualitas, keterulangan cacat material untuk memverifikasi CAPA hasil temuan audit sebelumnya c. Pengendalian Perubahan 1) Menyiapkan, mengevaluasi, menyetujui dan implementasi suatu perubahan pada sistem dan dokumentasi GMP 2) Menghindari ketidakterkendalian pada perubahan sistem, dokumen, prosedur, peralatan dan proses tervalidasi untuk mengurangi resiko dampak yang merugikan kualitas produk selama proses 3) Menganalisa dan mengantisipasi dampak dari perubahan sistem terhadap kualitas produk d. Penanganan Penyimpangan 1) Mejamin



penyimpangan



saat



proses



pembuatan



berlangsung



diselidiki dan diperbaiki serta didokumentasi 2) Menilai tingkat resiko penyimpangan yang terjadi dan dampak pada kualitas, keamanan serta efektivitas produk 3) Analisis masalah, penentuan langkah perbaikan dan penaggulangan agar terhindar dari pengulangan penyimpangan di area lain.



39



e. Product Quality Review 1) Membuktikan konsistensi proses, kesesuaian dan spesifikasi bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi 2) Melihat trend analisa setiap tahap proses produksi dalam suatu periode 3) Mengidentifikasi perbaikan yang diperlukan untuk produk dan proses 4) Melakukan evaluasi terhadap rekomendasi pada PQR periode sebelumnya. f. Penarikan Kembali Produk 1)Memberikan petunjuk dalam melakukan penarikan kembali produk secara efektif dan efisien 2)Sumber penarikan kembali produk (recall) dapat berasal dari perintah BPOM, keluhan, penyimpangan dan hasil di luar spesifikasi (HULS) Klasifikasi penarikan kembali produk (recall) : 1. Penarikan Kelas Penarikan obat yang dapat menyebabkan efek serius terhadap kesehatan



dan



berpotensi



pada



kematian,



pemberitahuan



peringatan harus cepat dikirim ke semua pihak 2. Penarikan Kelas II Penarikan



obat



yang



dapat



menimbulkan



penyakit



atau



pengobatan yang tidak sesuai namun bersifat sementara bagi kesehatan dan dapat pulih kembali 3. Penarikan Kelas III Penarikan terhadap obat yang tidak menimbulkan bahaya yang signifikan pada kesehatan tetapi karena alasan lain yang tidak masuk dalam penarikan kelas I dan kelas II 3)Pemberitahuan peringatan melalui sistem peringatan cepat ke pihak yang mengetahui bets tersebut telah didistribusikan g.



Penanganan Keluhan 1) Memberikan petunjuk saat melakukan penanganan konsumen secara tepat dan cepat



40



2) Menggunakan laporan hasil pemeriksaan keluhan untuk mencegah terulangnya keluhan yang sama di area yang sama atau area lain dengan meninjau kembali formulasi atau proses produksi dari produk 3) Menggunakan laporan keluhan konsumen untuk salah satu dasar keputusan penarikan obat yag beredar 4) Memberikan sistem yang terpadu untuk penanganan keluhan dari dokumentasi–pemberian tanggapan kepada pelanggan h.



Corrective Action-Preventive Action (CAPA)\ 1) Menentukan tindakan perbaikan dan/atau tindakan pencegahan bila ada tanda kegagalan yang berdampak pada kualitas agar CAPA yang ditentukan sesuai dan efektif 2) Memastikan seluruh CAPA telah disetujui dari sumber CAPA dan hal



lain



yang



membutuhkan



perbaikan



jangka



panjang



menengah/jangka panjang dan harus ditindaklanjuti dalam kurun waktu yang telah ditentukan i.



Pengendalian Dokumen & Rekaman 1) Memberi



petunjuk



dalam



pembuatan,



distribusi,



penarikan,



pemusnahan dan peninjauan berkala dokumen yang digunakan dan menetapkan masa simpan rekaman. 2) Mencakup pengendalian dokumen (internal dan eksternal) maupun rekaman sistem mutu di pabrik 3) Pada bagian departemen QA, yaitu QA manager memastikan pelaksanaan protap berjalan dengan benar Dokumen sistem mutu terdiri dari 4 tingkatan, yaitu : 1) Dokumen level 1  dokumen utama berisi ketentuan-ketentuan wajib dari sistem mutu tingkat manajemen perusahaan (contoh: Manual Mutu, Site Master File, Validation Master Plan) 2) Dokumen level 2  dokumen penjelasan langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan dalam suatu proses tertentu terkait penerapan sistem



manajemen



mutu



perusahaan



(contoh:



Tetap/Protap, Uraian Jabatan, Dokumen Produksi Induk)



Prosedur



41



3) Dokumen level 3  petunjuk terperinci setiap kegiatan dan kriteria yang diperlukan karyawan dalam bekerja (contoh: Instruksi Kerja, Format Formulir, Format Logbook, Protocol Validasi dan Kualifikasi) 4) Dokumen level 4  dokumen khusus yang sangat penting, bukti kesesuaian proses dan produk terhadap ketentuan yang telah ditetapkan (contoh: Rekaman Mutu, Formulir dan Logbook) Dokumen dibuat dalam 2 bahasa dengan perbedaan warna font, hitam untuk bahasa indonesia dan biru untuk bahasa inggris (italic). Dokumen asli yang telah disetujui diberi cap “MASTER DOKUMEN” (warna biru) pada setiap halaman belakang. Dokumen copy untuk keperluan khusus dan tidak perlu dikontrol diberi cap “UNCONTROLLED COPY”



di



setiap



halaman



sedangkan



dokumen



copy



yang



didistribusikan ke departemen lain dan harus dikontrol diberi cap “CONTROLLED COPY” (warna biru) pada setiap halaman. Dokumen copy di departemen lain boleh di copy dan diberi cap “MASTER COPY” (warna biru) pada setiap halaman belakang. j.



Pengujian Stabilita Post Market 1) Memonitor mutu obat bahwa selama masa edar (shelf life) di pasaran,



produk



masih



memenuhi



spesifikasi



atau



dapat



diperkirakan tetap memenuhi spesifikasi yang ditetapkan selama dijaga dalam kondisi penyimpanan yang sesuai pada label. 2) Berlaku untuk mengatur pelaksanaan uji stabilitas prosu yang berada di pasaran baik produksi in house maupun toll out, termasuk poduk yang di-reproses



42



3. Departemen Research and Development (RnD) Berikut merupakan bagan yang menggambarkan ruang lingkup kegiatan yang dilakukan oleh departemen RnD dalam merancang suatu produk. Alur perencaan dan pembuatan obat dimulai dari bagian Business Development melihat dan melakukan survei pasar. Survei ini dilakukan untuk melihat produk yang banyak digunakan atau dicari oleh konsumen dipasaran. Ide produk dituangkan dalam Product Development Request (PDR) yang telah disetujui oleh product manager, head of marketing, dan head of sales yang kemudian PDR ini diberikan kepada departemen Research and Development (RnD). Departemen RnD melakukan pengkajian terhadap PDR yang diajukan untuk melihat apakah ide tersebut layak dan bisa untuk dikembangkan. Departemen produksi juga akan menganalisa terhadap kapasitas dan ketersediaan alat dan bahan. Sedangkan bagian marketing melakukan analisa biaya yang dibutuhkan, target pasar, dan keuntungan. Selanjutnya, setelah PDR diterima maka akan dilakukan pencarian raw material (bahan baku) dan packaging material (bahan kemas). Bila sumber bahan baku telah didapatkan maka dilakukan pengembangan metode analisa bahan baku. Setelah didapatkan metode analisa yang tepat untuk bahan baku, lalu dilakukan pemesanan dan pembelian raw material dan packaging material dalam jumlah kecil untuk penelitian di laboratorium. Bahan baku tersebut dipesan oleh RnD ke purchasing departement. Bahan baku yang akan digunakan dicek apakah merupakan bahan baku existing atau bahan baku baru. Jika bahan baku existing maka spesifikasi dan metoda analisa bahan baku sudah ada, tapi jika merupakan bahan baku baru maka formulation development akan menginfokan pada analytical development, sehingga Andev dapat melakukan studi literatur tentang bahan baku tersebut. Bahan baku yang datang akan diperiksa kelengkapan dokumennya (MSDS, CoA, draft master file) oleh AnDev dan dilakukan pengujian bahan baku apakah sesuai dengan Certificate of Analysis (CoA).



43



Kemudian formulation development akan melakukan trial formula untuk menentukan formula produk. Produk dibuat dalam skala lab. Hasil trial skala lab diperiksa dengan analisa berdasarkan spesifikasi produk jadi. Sejalan dengan dilakukan pengembangan formula dasar, dilakukan juga pengembangan packaging. Pengembangan finished good atau obat jadi dilakukan setelah mendapatkan formula dasar. Kemudian, dilakukan uji stabilitas skala laboratorium terhadap formula dasar selama 3 bulan. Setelah didapatkan data stabilitas skala laboratorium maka dibuat proposal pilot dan transfer teknologi pilot. Proposal ini dibuat untuk melihat jumlah cost yang akan dikeluarkan dalam pengembangan produk. Hal ini dilakukan karena pengembangan skala pilot akan memakan banyak biaya yang harus disesuaikan dengan keuangan perusahaan dan akan dilihat kelayakan pengembangan produk tersebut. Proposal yang disetujui akan dilakukan pengembangan skala pilot lebih lanjut. Produk dibuat dalam skala pilot sebanyak minimal dua bets untuk bahan aktif yang sudah ada dan minimal tiga bets untuk New Chamical Entity (NCE). Pada tahap ini dilakukan pembuatan batch record skala pilot, dilakukan uji fisik dan analisa serta stabilitas hasil trial skala pilot. Apabila pengembangan skala pilot berhasil maka dilakukan uji stabilitas pre-marketing dan penyiapan dokumen approvable letter ke BPOM. BPOM akan mengeluarkan surat pemberitahuan approvable letter yang berlaku selama 2 tahun. Setelah disetujui maka dilakukan persiapan launching product dan AnDev akan melakukan transfer metoda analisa ke QC, dan formulation development akan melakukan transfer formula ke produksi. Kemudian, dibuat commercial bets validation. Setelah selesai dilanjutkan pengajuan Nomor Izin Edar (NIE) produk. Apabila NIE telah keluar maka produksi komersial dapat dilakukan dan produk baru dapat diedarkan ke pasaran. Alur pengembangan pengemasan produk baru: a.



Alur pengembangan pengemasan produk baru dimulai dengan adanya usulan produk baru dibuat dalam PDR oleh tim Business Development (BusDev).



44



b.



PDR kemudian akan diserahkan ke PackDev untuk dilakukan studi literatur serta analisis sampel guna menentukan spesifikasi kemasan primer untuk produk baru yang sesuai dan disetujui oleh BusDev dengan pertimbangan biaya yang efisien (purchasing).



c.



Apabila belum didapatkan kemasan yang sesuai, maka digunakan kemasan lain yang sesuai dengan dilakukannya trial pengemasan.



d.



Selanjutnya pihak PackDev akan membuat pengembangan desain (artwork) yang kemudian diserahkan kepada pihak BusDev, AnDev, formulasi, marketing, dan registrasi.



e.



Artwork yang telah disetujui kemudian dibuatkan master final artwork yang akan diserahkan kepada supplier kemasan.



f.



Pihak supplier akan mengirimkan hasil cetak final artwork kepada PackDev dan dibuatkan spesifikasi bahan pengemas (SBP) yang kemudian diserahkan kepada QC untuk dilihat berdasarkan master final artwork yang telah disetujui, kemudian serahkan kembali ke Quality Assurance Department, apabila disetujui maka akan diberitahukan kepada pihak supplier untuk mencetak kemasan dalam skala produksi. Bar mark merupakan kode visual dalam bentuk bar yang terdapat



dalam bahan kemas cetak sekunder menggunakan kode bar berwarna. Bar mark ini berfungsi sebagai indikator/ petunjuk bagi operator produksi dan PackDev untuk meminimalkan terjadinya mix up bahan kemas pada saat proses produksi berjalan. Bar mark terdapat pada unit box dan insert (brosur). Warna bar mark pada unit box diambil dari warna khusus tiap produk. Untuk kemasan obat ethical warna bar mark menggunakan semua warna yang ada pada kemasan, sedangkan untuk obat OTC digunakan warna yang dominan pada kemasan, warna hitam, ataupun keseluruhan warna yang ada pada kemasan. Selain yang telah dipaparkan sebelumnya, tugas dari departemen ini diantaranya, melakukan aktivitas riset dan pengembangan packaging material di perusahaan; membuat, memastikan, serta melakukan revisi



45



artwork (design bahan pengemas); menentukan spesifikasi bahan pengemas (SBP) untuk referensi procurement dan QC; menyiapkan master formula untuk pembelian bekerja sama dengan bagian purchasing dan pembuatan Bill of Material (BOM); membuat Batch Record Packaging (BRP) dan melakukan trial kemasan; membuat serta menyelesaikan laporan Corrective and Preventive



Action



(CAPA) apabila



ditemukan



penyimpangan



(deviation). Bagian registrasi produk memiliki tanggung jawab untuk membuat tata cara pendaftaran produk dan evaluasi produk (obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, alat kesehatan, PKRT, pestisida) untuk mendapatkan izin edar (NIE). Untuk mendapatkan NIE departemen registrasi berhubungan dengan BPOM, kemenkes, kementan dan di MBF juga akan membuat sertifikat halal untuk produknya maka akan berhubungan juga dengan MUI, untuk mendapatkan sertifikat halal nantinya. Departemen registrasi bertanggung jawab dalam mensupporting, submit, konsul dan follow up terkait Surat Keterangan Impor (SKI), fasber (fasilitas bersama), CAPA, HAKI, iklan, SMF (Site Mater File), PV (Pharmacovigilance) dan yang berkaitaan dengan narkotika, psikotropika, obat-obat tertentu (laporan bulanan, rencana kebutuhan tahunan, analisa hasil pengawasan, izin impor). Registrasi merupakan prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk mendapatkan izin edar dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak memenuhi persyaratan efikasi, keamanan, mutu, dan manfaatnya. Registrasi obat dibedakan menjadi tiga antara lain: a.



Registrasi Obat Baru Registrasi obat baru adalah registrasi obat yang belum mendapatkan izin edar di Indonesia. Registrasi obat baru terdiri atas: Kategori 1: Registrasi obat baru dan produk biologi, termasuk Produk Biologi Sejenis (PBS) atau Similiar Biotherapeutic Product (SBP) Kategori 2 : Registrasi Obat Copy. Kategori 3 : Registrasi sediaan lain yang mengandung obat



46



b.



Registrasi Variasi Registrasi variasi adalah registrasi perubahan aspek apapun pada obat yang telah memiliki izin edar di Indonesia, tetapi tidak terbatas pada perubahan formulasi, metode, proses pembuatan, spesifikasi untuk obat dan bahan baku, wadah, kemasan, dan penandaan.



c.



Registrasi Ulang Registrasi ulang adalah registrasi perpanjangan masa berlaku izin edar. Registrasi ulang ini dapat dilakukan 6 bulan atau 3 bulan sebelum masa registrasi berakhir.



48



BAB V TUGAS KHUSUS PKP INDUSTRI FARMASI 5.1 Uraian Tugas Khusus Dalam pelaksanaan PKPA di Industri Farmasi ada beberapa tugas khusus yang diberikan preseptor pada waktu diskusi kelompok besar dan kelompok kecil. Beberapa tugas tersebut diantaranya : 1.



Penyelesaian Masalah RnD dengan Diagram Fishbone Analisa masalah dengan menggunakan diagram tulang ikan (fishbone). Masalah yang dibahas disini adalah mengenai uji disolusi tablet yang tidak sesuai persyaratan ketika dilakukan sampling pada produk dipasaran setelah 2 tahun beredar.



2.



Case Study Perencanaan Sampling Sebuah perusahaan farmasi ABC membeli bahan kemas primer X dari supplier Y, sebanyak 10 wadah @100000 pcs dan bahan kemas sekunder Z dari supplier P, sebanyak 25 wadah @1000 pcs. Buat perencanaan untuk sampling bahan kemas primer dan sekunder tersebut.



3.



Case Study Kejadian HULS Di sebuah lab QC terjadi Hasil Uji di Luar Spesifikasi pada pengujian kadar bahan awal X dimana pengujian tersebut dilakukan oleh analis Y yang sudah bekerja selamat tahun. Instrumen yang digunakan adalah HPLC. Susun tahapan investigasi yang perlu dilakukan untuk kejadian HULS tersebut.



4.



Membuat Protokol Validasi Metode Penetapan Kadar Vitamin C dalam Tablet



5.2 Hasil dan Pembahasan Tugas Khusus 1.



Penyelesaian Masalah RnD dengan Diagram Fishbone Fishbone diagram atau diagram tulang ikan atau Ishikawa diagram adalah salah satu metode untuk menganalisa penyebab dari sebuah masalah atau kondisi. Sering juga diagram ini disebut dengan diagram sebab-akibat atau cause effect diagram. Fishbone diagram digunakan untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab masalah. Fishbone diagram dapat digunakan untuk menunjukkan factor-gaktor



49



penyebab dan akibat kualitas yang disebabkan oleh factor-faktor penyebab tersebut. Adapun bentuk diagram Fishbone yaitu :



Keterangan : a.



MAN / Orang: Semua orang yang terlibat dari sebuah proses.



b.



METHOD / Metode: Bagaimana proses itu dilakukan, kebutuhan yang spesifik dari poses itu, seperti prosedur, peraturan dll.



c.



MATERIAL / Material: Semua material yang diperlukan untuk menjalankan proses seperti bahan dasar, pena, kertas dll.



d.



MACHINE / Mesin: Semua mesin, peralatan, komputer dll yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan.



e.



MEASUREMENT / Pengukuran: Cara pengambilan data dari proses yang dipakai untuk menentukan kualitas proses.



f.



ENVIRONMENT / Lingkungan: Kondisi di sekitar tempat kerja, seperti suhu udara, tingkat kebisingan, kelembaban udara, dll.



Penyelesaian : a.



Man : 1) Orang yang melakukan penyimpanan produk di pasaran (produk tidak disimpan sesuai dengan keterangan pada label) 2) Orang yang melakukan pendistribusian obat (pendistribusian produk tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan)



b.



Machine : 1) Alat uji disolusi mengalami malfungsi 2) Terdapat kerusakan pada alat uji disolusi



c.



Measurement : 1) Kesalahan dalam memasukan data hasil disolusi.



50



d.



Environment : 1) Suhu pada saat melakukan pengujian terlalu panas atau terlalu dingin (tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan)



e.



Material : 1) Kesalahan spesifik bahan 2) Bahan yang digunakan berbeda dari sebelumnya



f.



Method : 1) Kesalahan dalam melakukan prosedur uji disolusi tablet.



2.



Penyelesaian Case Study Perencanaan Sampling Metode sampling yang digunakan adalah metode sampling penerimaan tunggal (single sampling plan) sesuai dengan Military Standard 105E (MIL-STD 105E) yang digunakan untuk pengujian mutu berdasarkan atribut. Lot yang diperiksa diharapkan dapat diterima dengan probabilitas tinggi, karena itu pengawasan mutu dilakukan dengan menggunakan kriteria penerimaan sebesar 95% dari jumlah sampel yang dianalisa (Nielsen, 1998). The American Military Standard merupakan pengembangan pemeriksaan yang ekonomis dari barang yang dibeli oleh milter dapat dijamin. Saat ini banyak pemeriksaan secara sampel menggunakan MIL STD 105D karakteristiknya adalah keketatan pemeriksaan diatur sesuai dengan kualitas produk yang diajukan untuk pemeriksaan dan untuk memasang penerapan sistem pengendalian kualitas terpadu kepada penjual. Untuk batas ini kualitas diatur dengan sesuai tingkat kualitas yang diterima AQL (Acceptable Quality Level). AQL (Acceptable Quality Level) adalah batas atas persen cacat yang dapat diterima memuaskan dalam hal rata-rata proses produksi. Penentuan nilai AQL pada dasarnya digunakan untuk mengetahui jumlah sampel yang harus diambil (n), bilangan penerimaan (accepting number (Ac)), dan bilangan penolakan (rejection number (Re)). Nilai Ac menunjukkan jumlah cacat maksimum yang masih dapat diterima dari suatu pengambilan sampel, sedangkan Re merupakan bilangan yang



51



menunjukkan jumlah cacat yang sudah tidak dapat diterima atau ditolerir dari suatu pemeriksaan sampel. Data mengenai jumlah pengambilan sampel, bilangan penerimaan, dan bilangan penolakan menurut MILSTD 105E secara lengkap pada Appendix C. Hasil pengawasan mutu masing-masing bahan tersebut selanjutnya dicatat dalam check sheet seperti yang tercantum pada Appendix D. Prosedur penerapan Acceptance Sampling MIL STD 105E adalah sebagai berikut : 1. Tentukan AQL (Acceptable Quality Level) berdasarkan perjanjian produsen dan pelanggan 2. Tetapkan modus dan tingkat inspeksi (jika tidak, gunakan Normal Inspection Level II) 3. Tentukan ukuran lot (lot size) 4. Gunakan table Sampel Size Code Letters untuk memilih huruf kode yang sesuai. 5. Tetapkan tipe prosedur pengambilan sampel: single, double dan multiple sampling. 6. Gunakan table yang berkaitan dengan prosedur pengambilan sampel terpilih (tahap 5) dan modus/tingkat



(tingkat 2) untuk mendapat



ukuran sampel dan angka penerimaan (Ac) serta angka penolakan (Rc). Dalam kasus dimana suatu rancangan tidak ada untuk ukuran lot dan AQL-nya, hati-hati menentukan tanda panah dalam tabel ke rancangan terdekat yang ada. 7. Mulailah gunakan rancangan tersebut dan catat penerimaan dan penolakan sehingga switching rule dapat diterapkan.



52



3.



Case Study Kejadian HULS Hasil Uji di Luar Spesifikasi yang kemudian disingkat HULS merupakan hasil uji di Luas Spesifikasi yang diperoleh selama pengujian bahan atau produk yang hendak diselidiki menurut prosedur yang disetujui. Penyebab HULS dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu kesalahan laboratoriun (Lab. Error), kesalahan di luar proses (kesalahan operator, kegagalan alat produksi, atau kesalahan pengambilan sampel) serta kesalahan yang berhubungan dengan proses produksi (CPOB,2018) Untuk penanganan Hasil Uji di Luar Spesifikasi (HULS) terlebih dulu dilakukan pengecekan pada laboratorium Pengawasan Mutu, jika tidak terdapat kesalahan laboratorium, maka perlu investigasi lebih lanjut oleh Pemastian Mutu. Apabila ditemukan HULS, maka harus dilaksanakan investigasi yang harus diselesaikan dalam waktu 30 hari kerja. Laporan investigasi harus dibuat secara lengkap mencakup hasil



53



analisa yang akan dipakai, keputusan yang akan diambil, tindakan perbaikan dan pencegahan serta penyebab HULS atau hasil uji yang tidak normal. Untuk prosedur investigasinya meliputi investigasi laboratorium, investigasi diperluas, dan investigasi produksi. Langkah yang dilakukan jika terjadi HULS yaitu: a.



Melakukan investigasi kemungkinan terjadinya kesalahan di laboratorium dan kesalahan pengambilan sampel, misalnya preparasi sampel, pengenceran, perhitungan, peralatan yang tidak terkalibrasi dan lain-lain.



b.



Jika tidak ditemukan kesalahan di laboratorium maka dilakukan investigasi diperluas dengan cara memeriksa catatan bets dan datadata lain, atau kemungkinan ada kesalahan dalam proses produksi.



c.



Apabila terjadi HULS pada saat analisis maka hal yang harus dilakukan adalah melakukan investigasi kesalahan laboratorium dan menyiapkan laporan tertulis mengenai hasil investigasi. Tindakan lanjutan yang dapat diambil sesuai hasil pemeriksaan yang diperoleh, antara lain: 1) Dilakukan pemeriksaan ulang terhadap contoh yang sama dan produk yang sudah rilis. 2) Dilakukan pemeriksaan ulang terhadap contoh yang sama oleh pemeriksa atau analis yang berbeda. 3) Membandingkan hasil pemeriksaan ulang dengan persyaratan metode uji danmetode kompendial. 4) Bila masih ditemukan ketidaksesuaian (Non Conformance) maka dilakukan investigasi ke proses produksi mengenai asal dan penyebab utamanya. Setelah penyebab utama ditemukan selanjutnya dilakukan tindak lanjut (follow up) dan tindakan pencegahan (preventive action) oleh Pemastian Mutu. Bila hasilnya masih menyimpang baik itu HULS dari kimia maupun mikrobiologi maka dibuat laporan terhadap kegagalan (Failure Investigation).



4.



Protokol Validasi Metode Penetapan Kadar Vitamin C dalam Tablet



54



Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter



tertentu



berdasarkan



percobaan



laboratorium



untuk



membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Tujuan dilakukan Validasi Metode Amalisis untuk membuktikan bahwa metode analisis (cara/prosedur pengujian) yang digunakan dapat menetapkan kadar tablet Parasetamol secara konsisten dan memberikan hasil yang akurat. Terdapat beberapa parameter metode validasi analisis yang dilakukan : a.



Akurasi (Accuracy) Adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dapat ditentukan melalui du acara yaitu metode simulasi atau metode penambahan baku. Ketepatan (Accuracy) pada dasarnya adalah ukuran yang menunjukan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Range nilai persen (%) recovery analit yang dapat diterima adalah 90-110%. Range tersebut bersifat fleksibel tergantung dari kondisi analit yang diperiksa berdasarkan jumlah sampel dan kondisi laboratorium.



b.



Presisi Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Presisi diukur dari simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Presisi dapat dinyatakan sebagai repeatability (keterulangan) atau reproducibility (ketertiruan). Repeatability adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Reproducibility adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda. Biasanya analisis dilakukan



dalam



laboratorium-laboratorium



yang



berbeda



55



menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut dan analisis yang berbeda pula. c.



Selektivitas Selektivitas



atau



spesifitas



suatu



metode



adalah



kemampuannya yang hanya mengukur zat tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang mungkin ada dalam matriks sampel. Selektivitas metode ditentukan dengan membandingkan hasil analisis sampel yang mengandung cemaran, hasil urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya atau pembawa plasebo dengan hasil analisis sampel tanpa penambahan bahan-bahan tadi. d.



Linearitas dan rentang Linearitas adalah kemampuan metode analisis memberikan respon proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Biasanya dinyatakan dalam istilah variansi sekitar arah garis regresi yang dihitung berdasarkan persamaan matematik data yang diperoleh dari hasil uji analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi. Perlakuan matematik dalam pengujian linieritas adalah melalui persamaan garis lurus dengan metode kuadrat terkecil antara hasil analisis terhadap konsentrasi analit. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima.



BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker secara Daring di Industri Farmasi, dapat disimpulkan bahwa : PT. Interbat telah menerapkan CPOB dalam setiap aspek kegiatan yang dilakukan. Adanya pemenuhan CPOB menjamin mutu produk obat yang dihasilkan di setiap Industri farmasi termasuk PT. Interbat. Peran apoteker dalam bidang industri farmasi adalah melakukan kegiatan manajerial baik dalam hal perencanaan, pengendalian produksi serta perencanaan dan pengendalian bahan. Apoteker juga memiliki peran memantau selama proses pelaksanaan kegiatan dan pengawasan mutu yang menjamin mutu dari produk sediaan farmasi yang dihasilkan. B. Saran Penerapan



CPOB



yang



telah



cukup



baik



hendaknya



dipertahankan dan bahkan perlu ditingkatkan sehingga memperkecil kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan dalam pembuatan sediaan farmasi yang baik di industri farmasi.



55



DAFTAR PUSTAKA Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2012). Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2018 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia; 2018. Departemen



Kesehatan



IndonesiaNomor



RI. 1799



Peraturan Tahun



Menteri



2010.



Kesehatan



Industri



Farmasi.



Republik Jakarta:



Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010.\ Menteri Kesehatan. (2010). Peraturan Menteri Kesehaan Republik Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi. Jakarta : Menteri Kesehatan Republik Indonesia Montgomery. D. C [Alih bahasa Soejoti]. 1993. Pengantar Pengendalian Kualita Statistik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009. Kesehatan. 13 Oktober 2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144: Jakarta. Riyadi, W., 2009. Validasi Metode Analisis. Tersedia di http://www.chem-istry.org[diak-s es24-03-2009].



56



LAMPIRAN



Gedung PT. Interbat Sidoarjo



Lorong



Gudang Penyimpanan Obat



57



Proses Pembuatan Obat



Mesin Pencetak Tablet



Proses Pengemasan Sekunder



Contoh Hasil Produksi Sediaan Farmasi PT. Interbat



Lampiran Tugas Khusus 58



PROTOKOL



VALIDASI METODE ANALISA (ANALYTICAL METHOD VALIDATION)



PENETAPAN KADAR VITAMIN C PADA SEDIAAN TABLET



Bentuk Sediaan



: Tablet



Kode Produk



:



DAFTAR ISI 59



Judul............................................................................................................. Daftar Isi...................................................................................................... Lembar Pengesahan .................................................................................... 1. Latar Belakang ................................................................................ 2. Tujuan.............................................................................................. 3. Ruang Lingkup................................................................................. 4. Referensi.......................................................................................... 5. Penanggung Jawab .......................................................................... 6. Deskripsi Produk.............................................................................. 7. Kriteria Penerimaan ........................................................................ 8. Metode Analisa................................................................................ 9. Jadwal Revalidasi.............................................................................



LEMBAR PENGESAHAN PROTOKOL VALIDASI 60



Protokol disusun oleh : 26 November 2020



Amalia Ralita Lanuru, S.Farm Staf Apoteker Disetujui oleh :



……………………… Manajer QC



…………………….. Tanda Tangan



………………....... Tanggal



……………………… Manajer QA



…………………….. Tanda Tangan



………………....... Tanggal



……………………… Manajer Pabrik



…………………….. Tanda Tangan



………………....... Tanggal



RIWAYAT REVISI



61



N O



No. Dokumen



Tgl Disetujui



Alasan Revisi



Bentuk Revisi



1



Protab No. 2. 7. 001/01/00



26 November 2020



Terbitan awal



-



2



3



4



5



62



1. Latar Belakang Validasi adalah suatu tindakan yang membuktikan bahwa suatu proses atau metode dapat memberikan hasil yang konsisten sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dan terdokumentasi dengan baik validasi dilakukan bila ada perubahan yang mempengaruhi produk secara langsung (major modification), produk baru atau produk lama dengan metode baru, dan legacy product. Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, Berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Validasi metode analisis diperlukan karena setiap bahan baku yang akan digunakan atau obat jadi harus diperiksa sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan yang meliputi pemeriksaan fisika dan kimia. Untuk melihat apakah prosedur dan alat yang digunakan tersebut memadai atau mengetahui apakah personil yang mengerjakan sudah cukup terlatih, oleh karena itu maka perlu dilakukan validasi tersebut. Vitamin adalah setiap kelompok sunstansi organic yang tidak saling berhubungan, terdapat di dalam makanan dengan jumlah kecil dan diperlukan dalam jumlah sangat kecil untuk fungsi metabolic normal tubuh. Vitamin yang larut dalam lemak adalah vitamin A, D, E, dan K, dan yang larut dalam air adalah vitamin B dan C. Asam askorbat atau vitamin C adalah kristal putih yang mudah larut dalam air dan mudah di hancurkan pada suhu yang tinggi, mudah teroksidasi oleh oksigen yang terdapat di atmosfir, dan dipercepat dengan kehadiran tembaga dan besi. 2. Tujuan a. Sebagai bentuk pembuktian bahwa performan karakteristik metoda penetapan kadar / potensi Vitamin C dalam sediaan tablet sesuai dengan tujuan penetapan analisisnya. b. Sebagai salah satu referensi yang akan dipakai dalam kualifikasi personel. 3. Ruang Lingkup Protokol ini meliputi : a. Verifikasi Pelatihan Petugas b. Verifikasi Dokumen c. Verifikasi Kualifikasi atau Kalibrasi Sarama Pendukung d. Persyaratan Validasi metoda analisa e. Prosedur 4. Referensi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan; 1995. Hal. 39 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan; 2020. hal. 175 Kealey, D. dan Haines, P.J. 2002. Instant Notes Analytical Chemistry. New York: BIOS Scientific Publishers Limited. Riyanto. 2014. Validasi & Verifikasi Metode Uji. Yogyakarta: Deepublish.



63



5. Penanggung Jawab a. Analis Kimia – Fisika / Mikrobiologi bertanggung jawab melaksanakan validasi dan semua tahap yang disebutkan pada protokol ini, serta telah mendapatkan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan validasi ini. Analisis tersebut akan mencatat semua informasi / data yang diperoleh dari pelaksanaan validasi. b. Staf Apoteker Kimia – Fisika / Mikrobiologi, bertanggung jawab menyiapkan protokol validasi, memantau pelaksanaan validasi agar sesuai dengan protokol, membuat laporan validasi dan memberi pelatihan c. Manajer QC, bertanggung jawab memastikan bahwa semua kegiatan yang dilakukan telah sesuai dengan protokol, mengevaluasi, mengkaji ulang, dan menyetujui protokol, laporan validasi, dan semua catatan yang berhubungan dengan validasi metode analisa. d. Manajer QA, bertanggung jawab mengevaluasi, mengkaji ulang dan menyetujui protokol dan laporan validasi. e. Manajer Pabrik, bertanggung jawab mengevaluasi, mengkaji ulang dan menyetujui protokol dan laporan validasi. 6. Deskripsi Produk a. Komposisi Produk Tiap tablet mengandung 50 mg vitamin C b. Spesifikasi produk Bentuk : Tablet Warna : Kuning / Orange Bau : khas Penandaan : Dalam larutan cepat teroksidasi 7. Kriteria Penerimaan Hasil validasi dinyatakan diterima jika memenuhi kriteria persyaratan yang telah ditetapkan. 8. Metode Analisa a. Verifikasi Pelatihan Petugas  Tujuan Untuk mengetahui kemampuan petugas dalam melaksanakan validasi metode analisis penetapan kadar / potensi  Kriteria Penerimaan 1) Hasil verifikasi dikatakan memenuhi syarat jika: - Petugas yang bersangkutan telah mendapatkan pelatihan yang cukup dibidangnya dan mempu melaksanakan validasi metode analisis penetapan kadar / potensi dengan baik (hasil uji valid) 2) Hasil verivikasi tidak memenuhi syarat jika : - Petugas yang bersangkutan belum mendapatkan pelatihan yang cukup dibidangnya atau tidak mampu melaksanakan validasi metode analisis penetapan kadar / potensi dengan baik (hasil tidak valid).  Prosedur Kerja 1) Lakukan pelatihan-pelatihan yang terkait validasi metode analisis penetapan kadar / potensi 2) Catat hasilnya pada lembar kerja



64



b. Verifikasi Dokumen  Tujuan Untuk mengetahui kelengkapan dokumen yang diperlukan dalam pelaksanaan validasi metode analisis penetapan kadar / potensi.  Kriteria Penerimaan 1) Hasil verifikasi dikatakan memenuhi syarat jika : - Dokumen terkait telah lengkap dan dilaksanakan sesuai prosedur yang berlaku 2) Hasil verifikasi dikatakan tidak memenuhi syarat jika: - Dokumen terkait tidak lengkap atau tidak dilaksanakan sesuai prosedur yang berlaku.  Prosedur Kerja 1) Lakukan pemeriksaan kelengkapan dan kesesuaian prosedur terhadap: - Rencana induk validasi tablet vitamin C - Kualifikasi kinerja HPLC - Protap penyiapan larutan baku - Protap penyiapan larutan uji - Protap penyiapan larutan blangko - Protap penyiapan penetapan kadar - Protap pengoperasian HPLC 2) Catat hasilnya pada lembar kerja tentang Verifikasi dokumen terkait. c. Verifikasi Kualifikasi atau Kalibrasi Sarana Pendukung Untuk mengetahui kelayakan sarana pendukung yang digunakan dalam pelaksanaan validasi metode analisis penetapan kadar / potensi.  Kriteria Penerimaan 1) Hasil verifikasi dikatakan memenuhi syarat jika: - Sarana pendukung telah terkualifikasi atau terkalibrasi sesuai persyaratan yang berlaku 2) Hasil verifikasi dikatakan tidak memenuhi syarat jika: - Sarana pendukung belum terkualifikasi atau terkalibrasi sesuai persyaratan yang berlaku.  Prosedur Kerja 1) Lakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen kualifikasi dan kalibrasi terhadap Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC) 2) Catat hasilnya pada lembar kerja tentang verifikasi kualifikasi Alat/Fasilitas d. Laporan Validasi Metode Analisis 1) Performan - Metode analisis untuk penetapan kadar / potensi Vitamin C dalam sediaan tablet - Persyaratan kadar : 99,0 % - 100,5 % dari jumlah yang tertera pada label - Kekuatan sediaan : 50 mg - Metode uji : High Performance Liquid Chromatography (HPLC) 65



-



Sampel



-



Replikasi



: Bahan obat yang diketahui kemurniaannya, ditambahkan ke dalam sediaan obat :3



Tabel 1 : PERSYARATAN VALIDASI (KCKT/HPLC) No 1. 2.



Parameter Validasi Presisi Akurasi Linieritas



3.



Selektivitas 4. Rentang (range) 5. Kesesuaian Sistem 6.



Indikator Simpangan Baku Relatif (SBR) Persen rekoveri (perolehan kembali) Hubungan yang linier antara respon analisis dan konsentrasi analit dalam rentang penggunaan metode analisis Tidak ada peak lain pada waktu retensi bahan yang diperiksa Memenuhi syarak akurasi dan presisi dalam rentang analisis SBR hasil penyuntikan enam kal larutan baku kerja



66



Kriteria Penerimaan Tidak lebih dari 2% 98% - 102% Garis regresi koefisien korelasi >=0,998



Tidak ada peak lain pada wakti retensi bahan yang diperiksa SBR = …………



 PROSEDUR  Pembuatan Larutan KH2PO4 KH2PO4 0,02 M dibuat dengan cara menimbang KH2PO4 sebesar 272 mg dan dilarutkan dengan aqua destilata dalam labu ukur sampai 100 mL kemudian disaring (Kumar, et al.,2011 dalam Jubahar, et al., 2015).  Pembutan Larutan Baku Induk Vitamin C Baku vitamin C dibuat sebesar 1000 ppm dengan cara melarutkan 25,0 mg dalam 25,0 mL metanol(Departemen esehatan RI, 2009).  Pembuatan Kurva Kalibrasi 1) Larutan baku induk Vitamin C 1000 ppm dipipet ke dalam labu ukur 10 mL masing-masing sebesar 500 ppm, 400 ppm, 300 ppm, 200 ppm dan 100 ppm 2) Masing-masing disaring dengan membran nylon 0,2 mikron lalu diinjeksikan sehingga didapatkan luas area. 3) Luas area vs kadar selanjutnya diplot menjadi persamaan regresi linier: y = a + bx dan nilai korelasinya (Kumar, et al., 2011 dalam Jubahar, et al., 2015)  Penentuan Kadar Vitamin C pada sampel 1) Serbuk sampel ditimbang masing-masing 1000 mg 2) Dilarutkan dengan metanol p.a kemudian disaring dengan kertas saring 3) Ditampung pada labu ukur hingga 50 ml dan ditambahkan metanol p.a ad tanda 4) Larutan sampel disaring terlebih dahulu dengan membran nylon 0,2 mikron dan dimasukkan ke dalam vial analit 5) Diinjeksikan pada HPLCdengan fase gerak KH2PO4 0,02 M dan metanol adalah 40:60 (v/v) (Kumar, et al., 2011 dalam Jubahar, et al., 2015).  Selektivitas 1) Ditimbang dengan teliti 125 mg vitamin C dan dilarutkan dengan etil asetat di dalam labu ukur 50 ml dan di tambahkan etil asetat hingga tanda. (konsentrasi 125mg/50 ml = 2,5 mg/ml) 2) Dipipet dengan teliti 1 ml larutan standar vitamin C (2,5 mg/ml) lalu dimasukan ke dalam labu ukur 25 ml dan di encerkan dengan etil asetat hingga tanda (konsentrasi 0,1 mg/ml). 3) Dipipet dengan teliti 0,5 ; 1 ; 2 ; 3 ; 4 dan 5 ml larutan standar vitamin C (0,1 mg/ml), masing-masing dimasukan ke dalam labu ukur 10 ml yang berbeda dan diencerkan dengan etil asetat hingga tanda. 4) Diambil 1 µL dan diinjeksikan ke dalam HPLC 5) Amati peaknya dan tentukan limit deteksi dan limit kuantitas  Linieritas 1) Dipipet dengan teliti 5 ml larutan standar vitamin C (2,5 mg/ml), lalu dimasukan ke dalam labu ukur 25 ml dan diencerkan dengan etil asetat hingga tanda (konsentrasi 0,5 mg / ml)



67



2) Larutan standar vitamin C (0,5 mg/ml) dipipet dengan teliti 0,5 ; 1 ; 2 ; 3 dan 4 ml, masing-masing dimasukan kedalam labu ukur 25 ml yang berbeda dan diencerkan dengan etil asetat hingga tanda. (konsentrasi 0,01 ; 0,02 ; 0,04 ; 0,06 dan 0,08 mg/ml) 3) Dipipet dengan teliti 2, 3, dan 4 ml larutan standar vitamin C (0,5 mg.ml), masing-masing dimasukan dalam labu ukur 10 ml yang berbeda dan diencerkan dengan etil asetat hingga tanda. (konsentrasi 0,1 ; 0,15 ; dan 0,2 mg/ml) 4) Diambil 1 µL dari masing – masing konsentrasi larutan baku dan diinjeksikan ke dalam HPLC dan diamati areanya. 5) Buat kurva baku hubungan antara konsentrasi vitamin C standar (x) dengan area puncak vitamin C standar (y). 6) Hitung persamaan regresi dan koefisien korelasi (r)  Presisi Merupakan kemampuan suatu metode analisis untuk menunjukkan kedekatan dari suatu seri pengukuran yang diperoleh dari sampel yang homogen. Prosedur Kerja : 1) Keberulangan (Ripitabilitas) Presisi ditentukan dengan pengukuran potensial larutan sebanyak 10 kali 2) Presisi Antara: Lakukan pengujian di atas oleh 2 analis yang berbeda dan/atau menggunakan alat yang berbeda. RSD maksimal dari 2 pengujian harus < 2%  Akurasi Merupakan kemampuan suatu metode analisa untuk memperoleh nilai yang sebenarnya (ketepatan pengukuran). Prosedur Kerja : 1) Pembuatan larutan : Tambahkan sejumlah Bahan baku Vitamin C standar yang ditimbang seksama ke campuran sampel sehingga menghasilkan campuran dengan kadar 80%, 100% dan 120%. Lakukan analisis sebanyak 10 kali kemudian hitung rata – rata.



2) Kriteria keberterimaan : Perolehan kembali : 98 – 102%  Linearitas Merupakan kemampuan suatu metode analisa untuk menunjukkan hubungan secara langsung atau proporsional antara respons detektor dengan perubahan konsentrasi analit. Prosedur Kerja: 1) Buat seri larutan standar dengan konsentrasi, 80%, 90%, 100%, 110%, 120% dari larutan induk yang diambil menggunakan pipet volume, jumlah larutan yang diambil dan pengenceran yang dilakukan sesuai dengan tabel di bawah ini :



68



2) Lakukan titrasi pada 5 seri larutan dengan konsentrasi yang berbeda tersebut, Kemudian buat garis linearitasnya, hitung "Slope" dan Regresi linearnya. 3) Kriteria kebeterimaan : Garis regresi slope ≤ 0,1 % 9. Jadwal Validasi Validasi metode analisis penetapan kadar / potesi vitamin C akan dilakukan bila ada perubahan metode kerja. Revalidasi dilakukan bila ada perubahan formula atau metode analisa. 10. Daftar Lembar Kerja Lembar Kerja meliputi : a. Daftar personel yang terlibat dalam validasi b. Daftar Dokumen yang terkait c. Daftar Verifikasi Kualifikasi Alat / Fasilitas d. Laporan Validasi Metode Analisis



69