Laporan Bentuk Pemerintahan Gereja Konggregasional [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN BENTUK PEMERINTAHAN GEREJA KONGGREGASIONAL DAN BAPTIS



Dibuat sebagai salah satu persyaratan kelulusan mata kuliah DOKTRIN GEREJA (EKKLESIOLOGI)



Program Studi S-2 Jurusan Teologi/Kependetaan



Oleh: EVENDRI LIAN (516072015) YEREMIA (516072012)



SEKOLAH TINGGI ALKITAB SURABAYA 2019



GEREJA KONGGREGASIONAL



DEFINSI Didalam



Ekklesiologi,



terdapat



beberapa



pertanyaan



strategis,



bagaimanakah sebaiknya pengaturan sistem pemerintahan gereja pada zaman sekarang ini  ? Perlukah gereja memiliki Gembala yang memimpin jemaat ? Kalau perlu bagaimanakah cara  pengaturan batasan otoritasnya? Berbagai pertanyaan diatas adalah sebagian pertanyaan-pertanyaan penting didalam Penataan Gereja karena kekurang tepatan pengaturan termasuk sistem dan batasan wewenangnya akan menghambat  pelayanan gereja didalam dunia. Kongregasional (Inggris: Congregational) adalah jenis pemerintahan gereja



yang



berpusat



pada kongregasi atau jemaat atau gereja lokal.



Kata



"kongregasional" memiliki akar kata "kongregasi" yang berasal bahasa Latin, congregationes, yang berarti pertemuan bersama-sama atau pertemuan rutin. Nama "Kongregasional" pertama kali muncul dari sebuah perkumpulan di Skotlandia pada Desember 1557, yang menyebut diri mereka Congregation of the Lord. Mereka memisahkan diri dari gereja-negara di Inggris, yakni Gereja Anglikan, karena menurut mereka gereja-negara bertentangan dengan prinsip Kerajaan Allah. Mereka menolak Gereja Anglikan yang pimpinan tertingginya adalah Ratu Inggris, karena menurut mereka hanya Kristus yang memerintah gereja. Konggregasi berasal dari kata berbahasa Latin. Yang berarti pertemuan bersama-sama atau rutin.  Pemakaian istilah ini digunakan oleh persekutuan orang Kristen di Skotlandia saat mereka memisahkan diri dari gereja Anglikan, Inggris.



 Dalam



sistem



kongregasi,



setiap



gereja



individu



memiliki



pemerintahannya sendiri, tanpa pemerintahan gereja lokal ataupun gereja lain yang mengendalikannya.  Jemaat mengurusi gereja Konggregasi ini melalui hak suara dimana setiap anggota jemaat setempat memiliki suara dalam menentukan perwakilan jemaat yang ditunjuk untuk menjalankan wewenang terkait segala urusan pelayanan gereja.  Untuk itu, dibentuklah Panitianya. Namun demikian, keputusankeputusan Tim yang dipilih jemaat ini dapat ditolak oleh Jemaat apabila mereka tidak menjalankan otoritas mereka secara independen atau bertentangan dengan keinginan seluruh jemaat.  Rapat Jemaat melakukan rapat secra teratur misalnya rapat tahunan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian  Kepanitian, aturan dan ketentuan, Kepanitiaan



termasuk



anggaran.



Selain



itu,



Kongregasi



juga



 dapat



mendelegasikan kekuasaan membuat keputusan kepada pendeta dan staff tentang beberapa masalah, tetapi jemaat memiliki otoritas final.   Adapun, gereja-gereja yang sampai sekarang menerapkan sistem Pmerintahan seperti ini antara lain : gereja-gereja Baptis, gereja-gereja Pantekosta, Betel dan banyak gereja-gereja independen seperti gereja-gereka kharismatik yang besar sekarang ini. Bentuk gereja kongregasional adalah kongregasi-kongregasi yang tidak mengenal struktur di atas mereka. Karena itu, kongregasi atau gereja lokal adalah gereja yang otonom, dan bukan merupakan bagian dari gereja regional atau gereja nasional. Sistem ini tidak mengakui wibawa sidang-sidang (misalnya sidang sinode)



yang



mengikat



atau



membuat



keputusan



final. Keputusan-keputusan yang diambil dalam kongregasi harus bergantung pada persetujuan umat atau seluruh anggota kongregasi. Kekuatan sistem ini adalah mereka mengakui pemerintahan Kristus secara langsung dalam gereja, serta kemampuan untuk memobilisasi umat pada akar rumput.



Kelemahannya adalah mereka tidak memberi perhatian pada struktur organisasi gereja atau sifat gereja yang organis, serta kemampuan koordinasinya lemah.



SISTEM PEMERINTAHAN PENTAKOSTA Penggunaan istilah istilah “pemerintahan gereja” berakar dalam sejarah dan pergumulan gereja, sehingga dalam penggunaannya, pemerintahan gereja sering dipertentangkan dengan organisasi atau paling tidak ada kesulitan menyelaraskannya, untuk menerapkanya pada suatu organisasi gereja. Dalam kaitan ini, tugas ini semakin menjadi rumit dengan melihat bahwa ada berbagai macam model dan pengaruh bentuk pemerintahan gereja yang dapat ditemukan pada setiap organisasi gereja sekarang. L. Berkhof mengatakan bahwa sistem kongregasional ini dapat disebut sebagai sistem independent. Sistem ini menegaskan bahwa “setiap gereja lokal adalah suatu badan lengkap, yang tidak tergantung dengan badan lain, bahkan tidak memiliki hubungan pemerintahan degan gereja yang lain. Dalam sistem ini, kekuasaan gereja sepenuhnya berada pada anggota Jemaat, yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dirinya sendiri secara independen dan penuh.” Para Pelayan gereja (pejabat gereja) adalah jabatan fungsional untuk melayani Firman, mengajar dan melaksanakan urusan gereja semata-mata. Apabila ada komunikasi



yang



dikehendaki



oleh



gereja



sejenis,



maka



mereka



menyelesaikannya dengan mengadakan konsili, yang hanya mengeluarkan “pernyataan” yang tidak mengikat satu dengan yang lainnya.



Tidak ada otoritas di luar gereja lokal, meskipun dalam satu nama gereja, yang memiliki wewenang atau pengaruh terhadap gereja lokal tersebut sebab



pemerintahan gereja bersifat demokratis dari jemaat lokal tersebut. Sehingga setiap anggota jemaat turut membuat keputusan dan memerintah gereja. Konsep ini lahir dari pernyataan Alkitab yang mengatakan bahwa setiap orang percaya adalah imamat yang rajani (1 Pet 2:9). Denominasi yang menganut sistem pemerintahan ini adalah Baptis, Evangelical Free, Congregational dan sebagian Lutheran. Dukungan alkitabiah bagi sistem pemerintahan kongregasional adalah catatan Lukas yang menyebutkan bahwa jemaat itu terlibat dalam pemilihan itu diaken (Kis 6:3-5) dan para penatua (Kis. 14:23); seluruh jemaat turut mengutus Barnabas (Kis 11:22) dan Titus (2 Kor 8:19) serta menerima Paulus dan Barnabas (Kis 14:27; 15:4); seluruh jemaat terlibat dalam keputusan-keputusan tentang sunat (Kis 15:25); disiplin dilakukan oleh seluruh gereja ( 1 Kor 5:12;. 2 Kor. 2:6-7, 2 Tes. 3:14); semua orang percaya bertanggung jawab untuk doktrin yang benar dengan menguji roh (1 Yoh. 4:1) sebab mereka bisa melakukan halhal itu karena mereka memiliki pengurapan (1 Yoh. 2:20).



Dalam sistem pemerintahan gereja pentakosta yang secara umum dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu kongrasional, Episkopal, Dan presbyterian. Akan tetapi di dalam prakteknya terdapat beberapa bentuk variasi penggabungan dari sistem-sistem yang telah ada. Dan hal ini terkadang sulit bagi kita untuk mengidentifikasi secara lebih spesifik sistem apa yang diterapkan oleh suatu gereja pentakosta seperti dibawah ini : • Sistem Pemerintahan Episkopal. Sistem yang pertama dalam Kristen pentakosta yaitu Episkopal yang mana nama ini diambil dari kata Yunani yaitu episkopos yang memiliki arti penilik. Dalam sistem ini menyatakan bahwa gereja diatur dan dipimpin oleh para Bishop. Untuk bentuk konkrit dari sistem pemerintahan gereja pentakosta ini



berbeda dengan beberapa gereja seperti misalnya gereja Methodist yang mana Gereja dipimpin oleh seorang Bishop yang menjadi pemimpin tunggal di atas seluruh gereja lokal yang ada. Struktur yang lebih kompleks ada dalam gereja anglikan dan gereja Katolik Roma yang mana di gereja Katolik Roma dipimpin seorang paus namun memiliki sistem Keuskupan dalam wilayah yang tertentu. • Sistem Pemerintahan Kongresional. Untuk sistem kongresional ini bisa dikatakan sebagai sistem independen dikarenakan sistem ini lebih menegaskan bahwa setiap gereja lokal merupakan suatu badan yang lengkap dan tidak tergantung dengan badan lain yang bahkan tidak memiliki hubungan pemerintah dengan gereja yang lain. Dalam sistem ini kekuasaan gereja sepenuhnya ada pada anggota jemaat yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dirinya sendiri baik itu secara independen maupun penuh. Untuk otoritas pemerintahan gereja tidak terletak pada seseorang maupun perwakilan individu melainkan dari seluruh Jemaat lokal. 2 hal yang cukup ditekankan oleh sistem pemerintahan gereja pentakosta ini yaitu otonomi dan demokrasi. Para pejabat gereja merupakan jabatan fungsional untuk melayani Firman Tuhan dan mengajar atau melaksanakan urusan gereja. Jika terjadi komunikasi yang dikehendaki oleh Gereja sejenis maka mereka harus menyelesaikan dengan mengadakan Konsilii yang mana mereka hanya mengeluarkan pernyataan yang tidak mengikat satu dengan yang lainnya. • Sistem Pemerintahan Presbiterian. Dan yang terakhir yaitu sistem presbyterian yang diambil dari kata Yunani tersebut dan memiliki arti penatua. Di dalam pemerintahan gereja dengan sistem ini setiap gereja lokal merupakan independen satu dan dari yang lainnya namun mereka diikat oleh suatu ketentuan yang normatif dan pengakuan iman yang sama. Pada sistem ini lebih menegaskan kepada bahwa setiap jemaat bisa melakukan pelayanan sendiri yang dipimpin oleh Pendeta termasuk memanggil



pendeta yang di mau yang ditemukan oleh Presiden RI terdiri dari pendeta dan penatua yang mewakili gereja lokal. Itulah sistem-sistem yang terdapat dalam Gereja pentakosta yang bisa Anda ketahui. Contohnya sistem-sistem yang diterapkan memiliki perbedaannya masing-masing yang mana hal ini sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh jemaat dalam menentukan sistem apa yang ingin digunakan dalam melakukan suatu gereja pentakosta.



Dasar Alkitabiah Adapun ayat-ayat yang dipakai dalam mendukung sistem ini adalah sama dengan ayat-ayat yang dipakai oleh para pendukung model Presbiterian, menunjuk pada  Kisah 6: 2-6 yang menyatakan, penunjukan beberapa penatua jemaat yang terkenal baik, penuh Roh dan hikmat untuk melaksanakan tugas pelayanan dan pengambilan keputusan didasarkan pada suara mayoritas (2 Korintus 2: 6). Menurut para pendukung model ini, rasul Paulus juga mengajarkan bahwa Tubuh Kristus tidak bergantung pada satu orang, tetapi banyak. "Tetapi sekarang ada banyak anggota, tetapi satu tubuh" (1 Korintus 12:20). Selain itu Alkitab juga menyebutkan secara tidak langsung bahwa, hendaknya gereja juga tidak boleh memerintah dengan tangan besi, dan setiap orang yang hendak memimpin, haruslah dia menjadi hamba sesamanya (Markus 10: 42-45).   Terkait dengan pelaksanaan disiplin gereja dan keputusan-keputusan penting didalam jemaat, menurut para pendukung model  Konggregasi ini,  baik Tuhan Yesus maupun para Rasul memerintahkannya agar dilakukan diputuskan diantara saudara-saudara atau jemaat. Kelebihan Sistem Konggregasional



Dalam zaman sekarang yang sangat menjunjung tinggi demokrasi di alam kebebasan  ini, banyak orang menginginkan  sistem demokrasi juga dianut dan diterapkan didalam gereja sehingga Kepemimpinan gereja juga harus dapat dipertanggungjawabkan kepada jemaat. Tentu saja hal ini tidak selalu mulus, karena orang-orang yang bertemperamen otoriter sering juga ada didalam gereja dan mereka sering bereaksi menentang pemerintah gereja dengan model ini.



Kelemahan Sistem Konggregasional Rasul Paulus selalu menunjuk dan mengangkat para penatua untuk memimpin jemaat-jemaat itu (Kis. 14:23), dan dia juga memerintahkan Titus untuk melakukan hal yang sama (Titus 1: 5). Jadi, Alkitab memang mengajarkan otoritas yang absah dalam hal kepemimpinan.   Sebagaimana model Presbiterian, pemberian wewenang seperti ini memberi kekuatan yang sama kepada para Pemimpin jemaat yang berasal dari kalangan awam sehingga jika pendeta membuat marah jemaat, maka mereka dapat mengusirnya dengan mudah.  Padahal Pendeta di gereja haruslah merasa bebas untuk memimpin tanpa banyak dicampuri dengan urusan yang kurang penting. Disamping itu dalam hal gereja harus menghakimi terkait kasus-kasus disiplin gereja, pendeta kerap berada pada posisi yang terjepit ketika adanya keberfihakan didalam jemaat.



DAFTAR PUSTAKA



Ronald Gregor Smith. 1958. A Handbook of Christian Theology: Essential Information for every Christian. London: Collins Clear-Type Press. J.L.Ch. Abineno. 1995. Garis-garis Besar Hukum Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Robby I. Chandra. 2011. Ketika Aku Dipanggil Melayani. Jakarta: Binawarga. Jan S Aritonang, Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), h. 134-138