10 0 536 KB
BAB I STATUS PENDERITA I.
IDENTITAS Nama
: Tn. Ts
Jenis Kelamin
: Laki – Laki
Umur
: 60 Tahun
Alamat
: Jl. Pajalau
Pekerjaan
: Petani
Tgl. Masuk RS
: 3 September 2015
II.
ANAMNESIS
A.
Riwayat Penyakit Sekarang Penderita masuk dengan nyeri perut kanan atas. Keluhan ini dialami sejak 4 bulan yang lalu, hilang timbul dan memberat 1 hari sebelum penderita masuk Rumah Sakit. Penderita menggambarkan nyeri seperti ditusuk-tusuk yang kadang – kadang tembus ke belakang. Nyeri dirasakan terutama jika penderita berubah posisi. Saat ini penderita tampak lemas dan mengeluhkan demam yang dialami sejak 4 bulan yang lalu. Sakit kepala (+), mual (-), muntah (-), batuk (+), nyeri dada (-). pasien mengaku kadang nyeri perut kanan atas yang dialami disertai dengan sesak napas. Pasien memiliki riwayat BAB cair, warna kuning, tidak ada ampas. BAB dan BAK saat ini kesan biasa.
B.
Riwayat Penyakit terdahulu Tidak ada
1
C.
Riwayat penyakit keluarga Tidak diketahui
D.
Riwayat kebiasaan / sosial / budaya Riwayat merokok aktif, 1 bungkus/hari Riwayat konsumsi minuman beralkohol (+)
2
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Status Gizi
: Sakit ringan / Sedang / berat
BB
: 60 kg
TB
: 174 cm
IMT
: 60
= 60
(1.74)2
= 19.8
Kesan : Normal
3.03
Kesadaran : Composmentis / Incomposmentis
Tanda Vital Tekanan Darah
: 130/90 mmHg
Nadi
: 86 kali / menit
Pernapasan
: 21 kali / menit
Suhu
: 37,7 oC
Tipe
: Vesikular
KEPALA
Ekspresi wajah
: Normal
Bentuk dan Ukuran
: Normal
Rambut
: Lurus / Normal
Mata
: Exophtalmus / Enophtalmus
Pergerakan : N
Kelopak mata
: Normal
Konjungtiva
: Anemis + / +
Sklera
: Ikterus - / -
Pupil
: Isokhor, diameter 2mm / 2mm
Kelainan lain
: tidak ditemukan
3
Telinga Bentuk
: Normal. Simetris kiri = kanan
Sekret
:-/-
Pendengaran : Dalam batas normal
Hidung Bentuk
: Simetris
Deviasi septum: -
Perdarahan
:-
Penghidu
: Dalam batas normal
Mulut Bentuk
: Normal
Bibir
: Sianosis (-)
Gusi
: Perdarahan (-)
Lidah
: Glossitis (-), Tremor (-), Fasikulasi (-) Lidah kotor (-)
Tonsil
: T1 – T1
Faring
: Tidak diperiksa
Laring
: Tidak diperiksa
LEHER Kaku kuduk
: Tidak ada
JVP
: R + 2 cmH2O
PKGB
: tidak ditemukan
Retraksi suprasternal : tidak ditemukan Deviasi tracheal
: tidak ditemukan
4
THORAKS Inspeksi
Bentuk
: Normochest
Retraksi supraklavikula
:-/-
Palpasi Fremitus :
Depan N N N
Belakang N N N
N N N
Nyeri tekan
: tidak ada
Massa abnormal
: tidak ada
N N N
Perkusi Depan
Belakang
Sonor Sonor Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor Sonor Sonor
Auskultasi
Suara Pernapasan
: vesikuler / vesikuler
Suara Tambahan
: Rh - / -
Wh - / -
COR Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
Palpasi Iktus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra 5
Perkusi Batas atas jantung Kiri
: ICS II linea parasternal dextra : ICS V linea midclavicula sinistra
Auskultasi S1 S2 tunggal Heart Rate
: 88 kali / menit
Bising
: tidak ada
Reguler / Irreguler
ABDOMEN Inspeksi Bentuk abdomen : Simetris / tidak simetris Ukuran
: Normal
Distensi
: Tidak ditemukan
Permukaan kulit : Dalam batas normal
Auskultasi Peristaltik
: (+) Normal
Metallic sound : (-) Bising Aorta
: (-)
Palpasi Turgor
: Normal
Nyeri tekan
: (+) di hipocondrium dextra dan epigastrium
Hepar
: Teraba. 4 cm di bawah arcus costae. Permukaan fluktuatif, konsistensi lunak, tepi regular,
Ren
: tidak teraba
Lien
: tidak teraba 6
Perkusi Tympani di seluruh lapang abdomen Nyeri ketok
: (+)
EXTREMITAS
IV.
Superior Pucat
:-/-
Deformitas
: tidak ada
Edema
: tidak ada
Tofus
: tidak ada
Inferior Pucat
:-/-
Deformitas
: tidak ada
Edema
: tidak ada
Tofus
: tidak ada
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan darah lengkap : 3 September 2015 Parameter
Hasil
Nilai normal
Satuan
WBC
13.4
4.0 – 12.0
10^3/uL
RBC
4.12
4.00 – 6.20
10^6/uL
HB
11.1
11.0 – 17.0
g/dl
MCV
83.5
80.0 – 100.0
fl
MCH
26.9
26.0 – 34.0
pg
MCHC
32.3
10.0 – 16.0
g/dl
PLT
216
160 - 400
10^3/uL
Kesan : Leukositosis + Anemia normositik normokrom
7
Hasil pemeriksaan kimia klinik : 3 September 2015 Parameter
V.
Hasil
Nilai normal
Satuan
AST/SGOT
28
2 – 38
u/L
ALT/SGPT
18
2 – 41
u/L
DIAGNOSIS Diagnosis Kerja
: Susp. Abses Hepar
Diagnosis Banding :
VI.
VII.
Pankreatitis
Colesistitis
Colelithiasis
PROGNOSIS
Ad Functionam
: Dubia ad bonam
Ad Sanationam
: Dubia ad bonam
Ad Vitam
: Dubia ad bonam
PENATALAKSANAAN R/ IVFD RL 20 tpm R/ Inj. Ketorolac 1 amp / 8 jam / iv R/ Inj. Ceftriaxone 1 amp / 12 jam / iv (skin test) R/ Ranitidin 1 amp / 12 jam / iv
VIII. PLANNING
USG Abdomen
Pemeriksaan Kimia Klinik
8
IX.
FOLLOW UP
4 September 2015
Subjektif Demam (+) Nyeri perut kanan atas (+) terutama jika mengubah posisi Mual (-) Muntah (-) Sesak (+) BAB cair (+)
Objektif T
: 130 / 80 mmHg
N
: 86 kali / menit
P
: 20 kali / menit
S
: 37,6 oC
Assesment
Pemeriksaan Kimia klinik : 4 September 2015 Parameter
Hasil
Nilai normal
Satuan
AST/SGOT
23
2 – 38
u/L
ALT/SGPT
14.9
2 – 41
u/L
GDS
112
2 – 140
mg/dl
Hasil USG Abdomen : 4 September 2015 Kesan : Abses Hepar dd/ Mass D/ Abses Hepar
9
Planning R/ IVFD RL 20 tpm R/ Inj. Ketorolac 1 amp / 8 jam / iv R/ Inj. Ceftriaxone 1 amp / 12 jam / iv (skin test) R/ Ranitidin 1 amp / 12 jam / iv R/ Metronidazole / 12 jam / iv
Rencana Pemeriksaan
CT Scan Abdomen
Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan Kimia Klinik
5 September 2015
Subjektif Demam (+) Nyeri perut kanan atas sudah berkurang Mual (-) Muntah (-) Sesak (-) BAB cair (-)
Objektif T
: 110 / 80 mmHg
N
: 87 kali / menit
P
: 21 kali / menit
S
: 37,6 oC
10
Assesment
Hasil pemeriksaan darah lengkap : 5 September 2015 Parameter
Hasil
Nilai normal
Satuan
WBC
8.6
4.0 – 12.0
10^3/uL
RBC
3.78
4.00 – 6.20
10^6/uL
HCT
32.0
40 – 54
%
HB
10.6
11.0 – 17.0
g/dl
MCV
85
80.0 – 100.0
MCH
28.1
26.0 – 34.0
pg
MCHC
33.2
10.0 – 16.0
g/dl
PLT
179
160 – 400
10^3/uL
Pemeriksaan Kimia klinik : 5 September 2015 Parameter
Hasil
Nilai normal
Satuan
AST/SGOT
0,98
0,8 – 1,30
u/L
ALT/SGPT
24,6
15 – 43,2
u/L
HbsAg
Reaktif
Hasil CT Scan Abdomen tanpa kontras Kesan: Lobus Kiri Hepar membesar. Tak tampak SOL D/ Abses Hepar
Planning R/ Inj. Ceftriaxone 1 amp / 12 jam / iv (skin test) R/ Ranitidin 1 amp / 12 jam / iv R/ Metronidazole / 12 jam / iv
11
6 September 2015
Subjektif Demam (-) Nyeri perut kanan atas (+) Mual (-) Muntah (-) Sesak (-) BAB cair (-)
Objektif T
: 110 / 80 mmHg
N
: 87 kali / menit
P
: 21 kali / menit
S
: 37,0 oC
Assesment D/ Abses Hepar
Planning R/ Inj. Ceftriaxone 1 amp / 12 jam / iv (skin test) R/ Metronidazole / 12 jam / iv Rencana Rawat Jalan
12
X.
RESUME Penderita masuk RS Haji pada tanggal 3 September 2015 dengan nyeri perut kanan atas. Keluhan ini dialami sejak 4 bulan yang lalu, hilang timbul dan memberat 1 hari sebelum penderita masuk Rumah Sakit. Penderita menggambarkan nyeri seperti ditusuk-tusuk yang kadang – kadang tembus ke belakang. Nyeri dirasakan terutama jika penderita berubah posisi. Saat ini penderita tampak lemas dan mengeluhkan demam yang dialami sejak 4 bulan yang lalu. Sakit kepala (+), mual (-), muntah (-), batuk (+), nyeri dada (-). pasien mengaku kadang nyeri perut kanan atas yang dialami disertai dengan sesak napas. Pasien memiliki riwayat BAB cair, warna kuning, tidak ada ampas. BAB dan BAK saat ini kesan biasa. Pasien memiliki kebiasaan merokok ± 1 bungkus/hari dan sering minum minuman beralkohol (+) Dari pemeriksaan fisik ditemukan gambaran umum SS/GC/CM, Tekanan Darah: 130/90 mmHg, nadi : 86 kali/menit, pernapasan : 21 kali/menit, suhu: 37,7 oC. Pada pemeriksaan kepala, leher dan thoraks tidak ditemukan kelainan. Pada palpasi abdomen ditemukan nyeri tekan di regio hipocondrium dextra dan epigastrium, hepar teraba 4 cm di bawah arcus costae dengan permukaan fluktuatif, konsistensi lunak, dan tepi regular. Pada perkusi abdomen ditemukan tympani di seluruh lapang abdomen dan nyeri ketok abdomen (+) di regio kanan atas.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar leukosit dan anemia normokromik normokrom. Pemeriksaan penunjang berupa USG Abdomen tanpa kontras kesan Abses Hepar. Pada pemeriksaan CT Scan Abdomen didapatkan hasil pembesaran lobus kiri hepar. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yg didapatkan maka pasien ini didiagnosis Abses Hepar. 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. PENDAHULUAN Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati .(1) AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1) Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan. Di negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan secara endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya. (2)
14
B. EPIDEMIOLOGI Di negara – negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 – 15 per 100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 – 1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 – 0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke – 6. (1) Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita. (2) Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. (2,7)
15
C. ETIOLOGI 1. Abses Hati Amebik Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain Entamoeba
histolytica
ini
berbeda
berdasarkan
kemampuannya
menimbulkan lesi pada hati. (2)
Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar (8)
Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3 bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif, mampu memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara kedua stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup
16
komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini tidak penting untuk penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau enzim pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um yang berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan. Bentuk tropozoit ini akan mati dalam suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan membentuk kista sebelum keluar ke tinja. (2,9) Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan, tahan asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4 inti merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke manusia lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan makanan atau perubahan osmolaritas media. (2,9)
2. Abses Hati Piogenik Etiologi
AHP
adalah
enterobacteriaceae,
microaerophilic
streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida albicans,
aspergillus,
actinomyces,
eikenella
corrodens,
yersinia
enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ). Staphylococcus aureus biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki 17
penyakit granuloma yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan sebagai penyebabnya adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui : 1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa menyebabkan fileplebitis A. porta hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik 2. Komplikasi
infeksi
intra
abdominal
seperti
divertikulitis,
peritonitis, dan infeksi post operasi 3. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau saluran-saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan dengan
choledocholithiasis,
tumor
jinak
dan
ganas
atau
pascaoperasi striktur. 4. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses piogenik. 5. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan diabetes atau kanker metastatik. (1,7,10,11)
D. PATOGENESIS 1. Abses Hepar Amebik Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun anal. (11,12) E.hystolitica
dalam 2
bentuk,
baik
bentuk
trofozoit
yang
menyebabkanpenyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat 18
ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste” dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna. (2,8,12,13)
2. Abses Hepar Piogenik Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri 19
yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. (1,10)
E. GEJALA KLINIS 1.
Abses Hepar Amebik (2,8,9,13,) Gejala : a. Demam internitten ( 38-40 oC) b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar hingga bahu kanan dan daerah skapula c. Anoreksia d. Nausea 20
e. Vomitus f. Keringat malam g. Berat badan menurun h. Batuk i. Pembengkakan perut kanan atas j. Ikterus k. Buang air besar berdarah l. Kadang ditemukan riwayat diare m. Kadang terjadi cegukan (hiccup) Kelainan fisis : a. Ikterus b. Temperatur naik c. Malnutrisi d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi e. Nyeri perut kanan atas f. Fluktuasi 2. Abses hati piogenik (1,2,8,15) Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang lebih berat dari abses hati amuba. Keluhan : a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang disertai menggigil b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya. c. Mual dan muntah d. Berkeringat malam e. Malaise dan kelelahan 21
f. Berat badan menurun g. Berkurangnya nafsu makan h. Anoreksia Pemeriksaan fisis : a. Hepatomegali b. Nyeri tekan perut kanan c. Ikterus, namun jarang terjadi d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura e. Buang air besar berwarna seperti kapur f. Buang air kecil berwarna gelap g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
F. DIAGNOSIS 1. Abses hati amebik (2,9) Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat dipertimbangkan jika terdapat
demam, nyeri perut kanan atas,
hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler. a. Kriteria Sherlock (1969) 1. Hepatomegali yang nyeri tekan 2. Respon baik terhadap obat amebisid 3. Leukositosis 4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang. 22
5. Aspirasi pus 6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati 7. Tes hemaglutinasi positif b. Kriteria Ramachandran (1973) Bila didapatkan 3 atau lebih dari: 1. Hepatomegali yang nyeri 2. Riwayat disentri 3. Leukositosis 4. Kelainan radiologis 5. Respons terhadap terapi amebisid c. Kriteria Lamont Dan Pooler Bila didapatkan 3 atau lebih dari: 1. Hepatomegali yang nyeri 2. Kelainan hematologis 3. Kelainan radiologis 4. Pus amebik 5. Tes serologi positif 6. Kelainan sidikan hati 7. Respons terhadap terapi amebisid 2. Abses hati piogenik Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan 23
bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis. (1)
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,623,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang, leukositosis
berkisar
15.000/mL3. Sedangkan kelainan
faal
hati
didapatkan ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus penderita abses hepar. (2,7,9) Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan fungsi hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan
enzim
transaminase,
serum
bilirubin,
berkurangnya
konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah yang memperlihatkan bakterial penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering tidak ditemukan kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus vulgaris, Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman 24
anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau Fusobacterium sp. (1,2) 2.
Pemeriksaan Radiologi Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT scan : 85 % berupa massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai massa hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta. (2)
Gambaran CT Scan pada abses hati amebic(8)
Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma kanan,
25
efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik abses merupakan daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau tindakan bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecilkecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak massa agak besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa dengan rim enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh kuman Klebsiella. (1,2,) Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan penyengatan kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak tampak penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda.(2) Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara abses piogenik dan amebik. Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur eko rendah sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik (debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin bertambah tebal. (16)
26
H. PENATALAKSANAAN 1. Abses hati amebik (2,12,14,17)
Medikamentosa Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan yang dianjurkan adalah: a. Metronidazole Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal selama 3-5 hari. b. Dehydroemetine (DHE) Merupakan
derivat
diloxanine
furoate.
Dosis
yang
direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak
27
c. Chloroquin Dosis
klorokuin
basa
untuk
dewasa
dengan
amubiasis
ekstraintestinal ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari selama 20 hari.
Aspirasi Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
Drainase Perkutan Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial.
Drainase Bedah Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila
28
usaha
dekompresi
perkutan
tidak
berhasil
Laparoskopi
juga
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal. 2. Abses hati piogenik (1,2,7,10)
Pencegahan Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati piogenik yaitu dengan cara: a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun tumor dengan rute transhepatik
atau dengan
melakukan endoskopi b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
Terapi definitif Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari: a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin
generasi
ketiga
seperti
cefoperazone
1-2
gr/12jam/IV b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten. d. Ampicilin-sulbaktam
atau
kombinasi
klindamisin-
metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.
29
Drainase abses Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi komputer.
Drainase bedah Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang memerlukan manajemen operasi.
I. PROGNOSIS Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin, metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5%
pasien dengan infeksi
ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,13) Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur,
30
jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain. (1,2)
31
BAB III DAFTAR PUSTAKA 1. Wenas, N. Abses hati piogenik. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461. 2. Sofwanhadi, R. Penyakit hati parasit. Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal 1, 80-83, 93-94, 487-491, 513-514. 3. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam : Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476. 4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906. 5. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565. 6. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at a glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter 2728. 7. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver, biliary tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In : Papadakis, Maxine A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current medical diagnosis and treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT. Soho Industri Pharmasi. 2008. Page 596, 1304-1306. 8. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In : Beckingham, I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain : GraphyCems,Navarra. 2001. Chapter 40-42 9. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya : Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.
32
10. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23th, 2009. November 1st, 2011.
Available
from
http://emedicine.medscape.com/article/193182-
overview#showall. 11. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran. Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007. Hal 684. 12. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrison’s principles of internal medicine 17th edition. USA. 2008. Chapter 202. 13. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November 1st, 2011.
Available
from
http://emedicine.medscape.com/article/183920-
overview#showall. 14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1 November 2011. Diunduh dari : http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati%20a muba%20(dr%20arini).pdf. 15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356. 16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469. 17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit UI. 2008. Hal 551-554. 18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam : Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321324.
33
19. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam : Penuntun diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010. Hal 120-122.
34