13 0 508 KB
BAB 1 PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah medis yang sering dijumpai diseluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan pada masyarakat, terutama di Negara berkembang. Anemia ini merupakan penyebab debilitas kronik yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesejahteraan fisik. Meskipun prevalensinya demikian tinggi, anemia (terutama anemia ringan) sering kali tidak mendapat perhatian dan tidak diidentifikasi oleh para dokter di prakter klinik.1,2 Tabel 1.1 Perkiraan Jumlah Penduduk yang Mengalami Anemia di Indonesia.3
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar. Gejala anemia adalah lemas, lelah, letih, lesu, lunglai, pusing berkunang-kunang, sulit berkonsentrasi, dan pada pasangan suami istri adanya penurunan minat seksual. Oleh karena itu, dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada 1
jenis anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting, karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari anemi tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut.4 Anemia nutrisional merupakan gangguan nutrisi yang paling banyak tersebar di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Diperkirakan 500 juta sampai 1 miliar individu di dunia terkena anemia nutrisional. Pada orang sehat, keadaan keseimbangan gizi terjadi, dimana jumlah dari makanan yang dimakan sama dengan jumlah nutrisi yang diperlukan untuk memastikan bahwa fungsi tubuh tetap berjalan efektif dan menjaga cadangan yang cukup. Keseimbangan ini mungkin terganggu dalam berbagai keadaan, seperti penurunan nutrisi, peningkatan kebutuhan, peningkatan kehilangan, penurunan absorpsi, dan penurunan ultilisasi. Saat keseimbangan ini terganggu oleh 1 atau lebih penyebab, timbul kekurangan gizi. Tubuh menggali ke dalam cadangannya untuk memenuhi kebutuhan. Saat kebutuhan tersebut habis, semua fungsi tubuh dimana nutrisi berperan penting akan terganggu. Dalam kasus nutrisi hematopoisis, produksi dari hemoglobin eritrosit terhenti. Ini adalah anemia. Dari semua unsur-unsur yang berkontribusi terhadap pembentukan dan pengembangan eritrosit dan sintesis hemoglobin, berikut adalah yang perlu diperhatikan: zat besi; mineral lainnya, seperti tembaga, seng, magnesium, kobalt, molibdenum; vitamin, khususnya asam folat dan vitamin B12; dan asam amino. Banyak faktor yang berkontribusi dalam perkembangan dari anemia nutrisional, seperti kurangnya makanan, kebiasaan tertentu, dan parasitosis. Peningkatan bahan makanan, pemanfaatan sumber daya yang lebih baik, dan kondisi kehidupan yang lebih baik akan menyebabkan gizi yang lebih seimbang.5 Laporan kasus ini akan menjelaskan mengenai anemia dan penanganannya serta malnutrisi pada pasien.
2
BAB 2 LAPORAN KASUS
2.1
Identitas Pasien Nama
: Nn. ASK
Usia
: 25 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Tempat dan tanggal lahir : Kupang, 19 Juni 1993 MRS melalui
: IGD
Rawat IGD
: 13 Februari 2018, pukul 21.00 WITA
Rawat inap
: Teratai, tanggal 14 Februari 2018, pukul 00.45 WITA
No. MR
: 216216
Suku
: Flores (Lembata)
Agama
: Katolik
Status pernikahan
: Belum menikah
Pendidikan terakhir
: S1 (ekonomi)
Pekerjaan
: Honorer (staf Bagian Umum, Badan Pengelola Perbatasan Provinsi Nusa Tenggara Timur)
2.2
Jaminan
: BPJS kelas 1
Alamat
: Jl. Sesawi II, RT 027, RW 013, Oepura
Riwayat Perjalanan Penyakit (autoanamnesis dan heteroanamnesis (ibu pasien) – 17 Februari 2018, pukul 16.00 WITA & heteroanamnesis tambahan (kakak pasien) – 5 Maret 2018, pukul 15.00 WITA) a.
Keluhan utama
: Pasien tidak merasakan keluhan.
3
b.
Riwayat penyakit sekarang. Pasien datang ke IGD RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang dengan keluhan lemas sejak 4 hari SMRS. Lemas dirasakan sejak pagi (Jumat, 9 Februari 2018) dan terus menerus. Keluhan diperberat dengan aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Keluhan ini juga disertai dengan penurunan nafsu makan, sehingga pasien makan dengan porsi yang lebih sedikit dari biasanya. Selain itu, pasien juga mengeluhkan pusing dan demam yang terjadi terus menerus. Pasien sudah minum Paracetamol 500 mg sebanyak 3 kali (pagi, siang, dan malam pada hari Jumat, 9 Februari 2018) dan gejala sempat berkurang, namun gejala muncul kembali beberapa saat kemudian. Pusing digambarkan pasien seperti sakit ditekan-tekan, bila diumpamakan dari angka 1-10, maka sakit yang dirasakan adalah pada angka 6. Keluhan ini membuat pasien sulit beraktivitas. Untuk ke kamar mandi saja perlu keluarga menuntun pasien agar tidak terjatuh. Pasienpun lebih sering istirahat di tempat tidur. Demam dirasakan lebih tinggi saat malam hari dibandingkan dengan siang ataupun sore hari. Tidak ada keluhan pada BAB maupun BAK. Pada saat anamnesis ini dilakukan, pasien sudah tidak merasakan keluhan awal. Nafsu makan juga sudah membaik.
c.
Riwayat penyakit dahulu. Pasien pernah mengalami hal serupa sebanyak 2 kali saat masih SMA, dengan rentang waktu antar kejadian adalah 1 tahun. Kali pertama, pasien dirawat di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang, saat pemeriksaan didapatkan bahwa Hb pasien rendah dan mendapatkan transfusi. Kali kedua juga sama, dimana pasien dirawat dan mendapatkan transfusi. Baik kejadian pertama dan kedua, pasien tidak pernah kontrol kembali setelah KRS. Riwayat menstruasi setiap
4
bulan terjadi selama 3 – 5 hari, dengan 3 – 4 kali mengganti pembalut per harinya. Riwayat trauma (-), riwayat hipotensi (-). d.
Riwayat penyakit keluarga. Ayah kandung pasien menderita penyakit kanker Pankreas. Kakek dan Nenek pasien menderita penyakit jantung koroner.
e.
Riwayat pengobatan. Pasien pernah mendapatkan transfusi darah saat dirawat sebanyak 2 kali di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang dan mendapatkan obat setelah pulang, namun pasien dan keluarga lupa akan obat tersebut. Pasien juga tidak kontrol kembali setelah KRS, baik saat kejadian pertama maupun kedua.
f.
Riwayat kebiasaan. Pasien merupakan perokok pasif selama ia bekerja. Di lingkungan pekerjaanya, banyak perokok aktif. Pasien tidak pernah mengonsumsi alkohol. Pasien rutin mengonsumsi Energen 3 kali sehari 1 bungkus, kadang disertai makan berat (nasi dan lauk), kadang hanya Energen dan susu saja.
g.
Faktor keluarga. Pasien tinggal bersama ibu dan kedua saudaranya. Rumah yang ditinggali pasien adalah rumah berdinding tembok dan berlantaikan keramik. Rumah tersebut memiliki 5 kamar tidur, 1 dapur, 1 ruang tamu, 1 ruang keluar, dan 3 kamar mandi.
h.
Riwayat ekonomi. Pasien bekerja sebagai pegawai honorer di Bagian Umum Badan Pengelola Perbatasan Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan jenis pekerjaan yang membutuhkan pasien untuk duduk dalam waktu yang lama di dalam ruangan. Ibunya bertindak sebagai kepala rumah tangga dan bekerja sebagai ibu rumah 5
tangga. Ayahnya (Alm.) seorang pensiunan PNS. Kedua saudaranya belum bekerja. Pemasukan ekonomi per bulan berkisar Rp. 2.000.000,- sampai Rp. 3.000.000,-. Penghasilan ini dirasakan cukup untuk membiayai kehidupan rumah tangga sehari-hari. i.
Riwayat sosial. Hubungan antara anggota keluarga dalam rumah ataupun dengan anggota keluarga yang tingal di tempat lain cukup baik. Hubungan pasien dan keluarganya dengan para tetangga pun dikatakan pasien cukup baik, dan sering saling membantu.
j.
Riwayat lingkungan. Rumah tinggal pasien berada di daerah Oepura, 1 kilometer dari jalan utama, yang mana daerah itu masih terdapat banyak lahan hijau dan belum terganggu oleh polusi udara dan polusi suara. Pasien sering terpapar asap rokok di lingkungan kerjanya di Bagian Umum Badan Pengelola Perbatasan Provinsi Nusa Tenggara Timur karena sebagian besar rekan kerjanya adalah perokok, jadi pasien ini merupakan perokok pasif.
k.
Riwayat budaya. Tidak ada adat istiadat dan budaya yang mewajibkan pasien untuk melakukan sesuatu ataupun mengonsumsi sesuatu. Pasien juga jarang mengikuti kegiatan kumpul keluarga besar.
l.
Riwayat makanan. Pasien dan keluarga biasanya sehari-hari makan 3 kali sehari, nasi dan sayur serta lauk seperti tempe, tahu, ikan, dan telur dengan porsi yang cukup. Konsumsi daging hanya beberapa kali dalam sebulan. Pasien rutin
6
mengonsumsi Energen setiap pagi, sore, dan malam. Pasien juga sering mengonsumsi biskuit sebagai cemilan. m.
Riwayat sex. Pasien menyangkal bahwa ia pernah berhubungan seksual.
n.
System Review. Kepala
: Pusing (-), nyeri kepala (-)
Kulit
: Pucat (-), kuning (-)
Mata
: Mata kabur (+/+) dengan koreksi lensa -5/-5
Telinga
: Rasa penuh di telinga (-/-), tidak ada cairan dari telinga (-/-)
Hidung
: Pilek (-), hidung gatal (-), bersin (-)
Mulut
: Nyeri menelan (-), sariawan (-), bercak putih di lidah (-), nafas berbau aneh (-)
Tenggorokan
: Suara serak (-), sulit menelan (-)
Leher
: Nyeri spontan (-), nyeri perabaan (-), nyeri tekan (-), tanda-tanda peradangan (-), pembesaran pada leher (-), dan tidak tampak kelainan lain.
Jantung
: Jantung berdebar-debar (-), nyeri dada (-)
Paru
: Sesak nafas (-), sulit bernafas (-)
Gastrointestinal
: Cepat kenyang (-), mual (-), muntah (-), nyeri uluhati (-), BAB dirasakan masih normal
Ginjal dan saluran kemih : BAK dirasakan masih normal, warna kuning jernih, tidak ada darah ataupun urin berpasir Neurologis
: Tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada tanda defisit neurologis 7
Endokrin
: Tidak diketahui adanya riwayat gangguan hormonal sebelumnya
Muskuloskeletal
: Tidak ada kelainan
Ekstremitas
: Tidak ditemukan kelainan pada kuku, tidak adanya gerakan tangan sendiri
2.3
Pemeriksaan Fisik Keadaan umum
: Tampak sakit ringan
Kesadaraan
: Compos mentis (E4V5M6)
Berat badan
: 38 kg
Tinggi badan
: 155 cm
IMT
: 15,83 kg/m2
Lingkar lengan atas
: 21 cm
Lingkar perut
: 66 cm
Status gizi
: Malnutrisi berat
Tanda vital Tekanan darah
: 110/60 mmHg
Nadi
: 96 x/menit
Suhu
: 36,2 °C
Pernapasan
: 16 x/menit
Skala nyeri (VAS) : Tidak nyeri Kepala
: Bentuk normal, rambut tidak mudah rontok, warna rambut Hitam, wajah simetris
Kulit
: Sianosis (-), ikterik (-)
Mata
: Konjungtiva tampak pucat (-/-), sklera tampak ikterik (-/-), perdarahan konjungtiva, pupil isokor ukuran 8
diameter (2 mm/2 mm), reflek cahaya langsung (+/+), reflek cahaya tidak langsung (+/+) Telinga
: Deformitas daun telinga (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), otorea (-/-)
Hidung
: Deviasi septum (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut
: Sianosis (-), bibir tampak lembab, perdarahan gusi (-), mukosa merah muda, lidah bersih
Leher
: Perbesaran kelenjar tiroid (-), perbesaran KGB (-), nyeri spontan (-), nyeri perabaan (-), nyeri tekan (-), trakea letak di tengah, pulsasi arteri karotis teraba, bruit karotis (-), JVP 5 + 2 cm
Toraks (bentuk)
: Bentuk toraks normal, tidak tampak pelebaran vena, tidak tampak bekas luka (scar), tulang kosta prominen
Pulmo Paru-paru anterior : I : Pengembangan dada simetris saat statis dan dinamis, tidak tampak penggunaan otot bantu pernapasan, tidak terdapat pelebaran sela iga, sela iga mengambang, tidak tampak barrel chest P: Taktil fremitus kiri dan kanan normal dan simetris, tidak terdapat nyeri tekan, tidak teraba massa P: Sonor pada kedua lapangan paru, batas paru hepar terletak pada linea midclavicularis ICS 8 dekstra A: Suara nafas vesikuler,
ronki,
wheezing
9
Paru-paru posterior : I : Pengembangan dada simetris saat statis dan dinamis P: Taktil fremitus kiri dan kanan normal dan simetris, tidak terdapat nyeri tekan, tidak teraba massa P: Sonor pada kedua lapangan paru A: Suara nafas vesikuler,
ronki,
wheezing
Jantung I : Iktus kordis tidak terlihat P: Iktus kordis teraba pada ICS 5 linea midclavicularis sinistra, thrill tidak teraba, heaves tidak teraba P: Batas jantung atas
: ICS 2 linea parasternal dekstra
Batas jantung bawah : ICS 5 linea midclavicularis sinistra Batas jantung kanan : ICS 3 linea parasternal dekstra Batas jantung kiri
: ICS 5 linea midclavicularis sinistra
A: S1–S2 tunggal, reguler, tidak terdengar murmur ataupun gallop Abdomen I : Simetris, tampak cekung, tidak tampak scar ataupun massa A: Terdengar bising usus, 12 kali per menit, normal P: Timpani, liver span 7 cm, shifting dullness (-) P: Nyeri tekan (-), tidak teraba massa, hepar tidak teraba, lien Schuffner tidak teraba, undulasi (-), ballotement (-/-)
10
Punggung
: Vertebra normal, tidak tampak kelainan bentuk lordosis, kifosis, ataupun skoliosis, tidak terdapat nyeri tekan, tidak terdapat nyeri ketok CVA
Ekstremitas
: CRT < 2 detik, akral teraba hangat, tidak terdapat edema tungkai, tidak terdapat kontraktur, tidak tampak koilonikia pada kuku
2.4
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium : 13 Februari 2018 – IGD Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Rujukan
Hemoglobin
5,4
g/dL
12,0 – 16,0
Jumlah Eritrosit
4,39
106/uL
4,20 – 5,40
Hematokrit
21,8
%
37,0 – 47,0
L
MCV
49,7
fL
81,0 – 96,0
L
MCH
12,3
pg
27,0 – 36,0
L
MCHC
24,8
g/L
31,0 – 37,0
L
RDW-CV
22,7
%
11,0 – 16,0
H
RDW-SD
39,0
fL
37 – 54
Jumlah Leukosit
3,17
103/ul
4,0 – 10,0
Eosinofil
1,9
%
1,0 – 5,0
Basofil
0,3
%
0–1
Neutrofil
40,4
%
50 – 70
Hematologi Darah Rutin L
MCV, MCH, MCHC
L
Hitung Jenis
L 11
Limfosit
45,1
%
20 – 40
H
Monosit
12,3
%
2–8
H
Jumlah Eosinofil
0,06
103/uL
0,00 – 0,40
Jumlah Basofil
0,01
103/uL
0,00 – 0,10
Jumlah Neutrofil
1,28
103/uL
1,50 – 7,00
Jumlah Limfosit
1,43
103/uL
1,00 – 3,70
Jumlah Monosit
0,39
103/uL
0,00 – 0,70
Jumlah Trombosit
337
103/uL
150 – 400
137
mg/dL
70 – 150
Ureum Darah
14,98
mg/dL
< 48
Kreatinin Darah
0,068
mg/dL
0,6 – 1,1
3,2
mg/dL
1,9 – 7,9
Natrium Darah
140
mmol/L
132 – 147
Kalium Darah
3,2
mmol/L
3,5 – 4,5
Klorida Darah
108
mmol/L
96 – 111
1,040
mmol/L
1,120 – 1,320
L
Kimia Darah Glukosa Sewaktu
Asam Urat Elektrolit
Calcium Ion
L
L
14 Februari 2018 – Teratai
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Rujukan
Glukosa Darah Puasa
97
mg/dL
74 – 109
Glukosa Darah 2 jam PP
119
mg/dL
75 – 140
Hematologi Kimia Darah
Serologi HbsAg Elisa
0,0 Non Reaktif
TV Non Reaktif < 0,130 TV Reaktif ≥ 0,130 12
Imunologi SD HIV One Step
Non Reaktif
Non Reaktif
15 Februari 2018 – Teratai
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Rujukan
Hemoglobin
12,1
g/dL
12,0 – 16,0
Jumlah Eritrosit
7,05
106/uL
4,20 – 5,40
Hematokrit
41,6
%
37,0 – 47,0
MCV
59,0
fL
81,0 – 96,0
L
MCH
17,2
pg
27,0 – 36,0
L
MCHC
29,1
g/L
31,0 – 37,0
L
Jumlah Leukosit
8,55
103/uL
4,0 – 10,0
Eosinofil
1,4
%
1,0 – 5,0
Basofil
0,7
%
0–1
Neutrofil
56,7
%
50 – 70
Limfosit
35,4
%
20 – 40
Monosit
5,8
%
2–8
Jumlah Eosinofil
0,12
103/uL
0,00 – 0,40
Jumlah Basofil
0,06
103/uL
0,00 – 0,10
Jumlah Neutrofil
4,84
103/uL
1,50 – 7,00
Jumlah Limfosit
3,03
103/uL
1,00 – 3,70
Jumlah Monosit
0,50
103/uL
0,00 – 0,70
Jumlah Trombosit
404
103/uL
150 – 400
Hematologi Darah Rutin
H
MCV, MCH, MCHC
Hitung Jenis
13
Pemeriksaan Foto Toraks PA : 13 Februari 2018 – IGD Kesimpulan : Cor Pulmo tidak ada kelainan. CTR tidak dapat dinilai karena pasien kurang inspirasi. Pemeriksaan Echocardiography : 15 Februari 2018 – Teratai Kesimpulan : Fungsi LV dan RV baik. 2.5
Diagnosis Anemia gravis + Malnutrisi berat + Hipokalemia + Dispepsia
2.6
Tatalaksana
IVFD NaCl 0,9%
500 cc/24 jam
Ranitidine
2 x 2 mL (50 mg) IV
Livron B Plex
2 x 1 tab PO
Aspar-K
3 x 300 mg PO
Transfusi PRC 1 unit dalam 4 jam, sehari 2 unit
Jika sudah ditransfusikan 3 unit PRC, maka lanjutkan dengan cek DL ulang
Furosemid 20 mg IV sebelum dan setelah transfusi (jika tekanan sistolik > 90 mmHg)
Diet TKTP 1.800 kkal per hari, porsi kecil dan sering
14
15
16
17
18
19
BAB 3 LANDASAN TEORI 20
3.1
Anemia
3.1.1 Definisi Anemia merupakan suatu keadaan ketika jumlah sel darah merah atau konsentrasi pengangkut oksigen dalam darah (Hb) tidak mencukupi untuk kebutuhan fisiologis tubuh. Menurut WHO, cut-off points anemia berbeda-beda antar kelompok umur, maupun golongan individu. Ibu hamil dianggap sebagai salah satu kelompok yang rentan mengalami anemia, meskipun jenis anemia pada kehamilan umumnya bersifat ‘fisiologis’. Anemia tersebut terjadi karena peningkatan volume plasma yang berakibat pengenceran kadar Hb tanpa perubahan bentuk sel darah merah. Ibu hamil dianggap mengalami anemia bila kadar Hb-nya di bawah 11,0 g/dL. Sementara itu, laki-laki dewasa dianggap mengalami anemia bila kadar Hb < 13 g/dl dan wanita usia subur mengalami anemia bila kadar Hb < 12 g/dl.4
Gambar 3.1 Kriteria Anemia Menurut WHO.4 Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat, maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu, beberapa peneliti di Indonesia
21
mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria Hb kurang dari 10 g/dL sebagai awal dari work up anemia.4 3.1.2 Etiologi dan Klasifikasi Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena:4 1)
Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang;
2)
Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan);
3)
Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatologisnya:4
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang 1.
2.
3.
Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi vitamin B12
Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia sideroblastik
Kerusakan sumsum tulang
Anemia aplastik
Anemia mieloptisik
Anemia pada keganasan hematologi
Anemia diseritropoietik
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik B. Anemia akibat hemoragi 22
C.
1.
Anemia pasca perdarahan akut
2.
Anemia akibat perdarahan kronik
Anemia hemolitik 1.
Anemia hemolitik intrakorpuskular
Gangguan membran eritrosit (membranopati)
Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
Gangguan
hemoglobin
(hemoglobinopati):
Thalassemia
dan
Hemogloblnopati struktural: HbS, HbE, dll 2.
D.
Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
Anemia hemolitik autoimun
Anemia hemolitik mikroangiopatik
Lain-lain
Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks Klasifikasi anemia berdasarkan gambaran morfologi dengan melihat indeks
eritrosit atau hapusan darah tepi, adalah sebagai berikut:4 1)
Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fL dan MCH < 27 pg;
2)
Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fL dan MCH 27-34 pg;
3)
Anemia makrositer, bila MCV > 95 fL.
Berikut adalah klasifikasi anemia bila digabungkan secara etiologi dan morfologinya:4 23
I.
II.
III.
Anemia hipokromik mikrositer a.
Anemia defisiensi besi
b.
Thalassemia major
c.
Anemia akibat penyakit kronik
d.
Anemia sideroblastik
Anemia normokromik normositer a.
Anemia pasca perdarahan akut
b.
Anemia aplastik
c.
Anemia hemolitik didapat
d.
Anemia akibat penyakit kronik
e.
Anemia pada gagal ginjal kronik
f.
Anemia pada sindrom mielodisplastik
g.
Anemia pada keganasan hematologik
Anemia makrositer a.
b.
Bentuk megaloblastik
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
Bentuk non-megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodisplastik
3.1.3 Gejala Klinis
24
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah nilai tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena anoksia organ dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a). Derajat penurunan hemoglobin; b). Kecepatan penurunan hemoglobin; c). Usia; d). Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.4 Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala,yartu:4 1.
Gejala umum anemia Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunal kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb < 7 g/dL). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku.
2. Gejala khas masing-masing anemia Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan kuku sendok (koilonychia) Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi
vitamin B12 Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi 3. Gejala penyakit dasar Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala 25
akibat infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.4 3.1.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari: 1). Pemeriksaan penyaring (screening test): 2). Pemeriksaan darah seri anemia; 3). Pemeriksaan sumsum tulang; 4). Pemeriksaan khusus.4 Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.4 Pemriksaan dara seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.4 Pemeriksaan sumsum tulang belakang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai keadaan sistem hematopoeisis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis defenitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia apalastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid.4 Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada:4
26
Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC (total iron binding capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan
pengecatan besi pada sumsum tulang (Pearl’s stain) Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin
dan tes Schiling Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin, dan
lain-lain Anemia aplastik : biopsi sumsum tulang Jika diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti misalnya
pemeriksaan faal hati, faal ginjal dan faal tiroid.4 3.1.5 Pendekatan Diagnosis Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan laboratorik merupakan cara paling ideal tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang cukup.4
Gambar 3.2 Algoritma Pendekatan Diagnosis Anemia.4
27
Gambar 3.3 Algoritma Pendekatan Diagnosis Pasien dengan Anemia Hipokromik Mikrositer.4
28
Gambar 3.4 Algoritma Pendekatan Diagnosis Pasien dengan Anemia Normokromik Normositer.4
29
Gambar 3.5 Algoritma Pendekatan Diagnosis Pasien dengan Anemia Makrositer.4 3.1.6 Penatalaksanaan Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah:4 1.
Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan terlebih dahulu
2.
Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
3.
Pengobatan anemia dapat berupa: a). Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa 30
pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik, b). Terapi suportif, c). Terapi yang khas untuk masing-masing anemia, d). Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut. 4.
Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus). Di sini harus dilakukan pemantauan yarrg ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis.
5.
Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell (PRC), jangan whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat seperti furosemid sebelum transfusi. Secara umum, transfusi PRC hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb < 7
g/dl, terutama pada keadaan anemia akut. Transfusi juga dapat dilakukan pada kadar Hb 7,0-10,0 g/dl, apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan laboratorium. Diketahui bahwa dosis 4 ml/kgBB dapat menaikan Hb sebesar 1 gr/dl, namun disebutkan juga bahwa 1 unit PRC dapat menaikan Hb 1 gr/dl dan hematokrit sekitar 3%. 1 unit PRC maksimal diselesaikan dalam waktu 4 jam. Terdapat banyak pasien ditemukan tetap aman jika 1 unit PRC dihabiskan dalam waktu lebih dari 90-120 menit. Pada kasus perdarahan hebat, durasi pemberian transfuse PRC dapat lebih cepat yaitu lebih dari 5-10 menit per unit. Jarak pemberian 31
antara dua kantong PRC sebaiknya 24 jam. Namun, pada penyakit kronik dengan kadar Hb < 5 gr/dl, jarak minimal yang masih diperkenankan adalah antara 8-12 jam setelah kantong darah pertama selesai.6,7 3.2
Malnutrisi
Gambar 3.6 Klasifikasi IMT pada Orang Dewasa. Pengertian malnutrisi sebenarnya meliputi dua hal yaitu nutrisi kurang dan nutrisi lebih. Yang akan dibahas lebih lanjut disini adalah malnutrisi karena nutrisi kurang. Jika melihat pengertian nutrisi kurang yang terjadi adalah asupan makanan kurang dari yang dibutuhkan pada seseorang yang berakibat terjadi berbagai gangguan biologi dari orang tersebut. Di dalam praktek sehari-hari baik pada pasien rawat jalan maupun rawat inap, terjadinya malnutrisi kadang kala tidak menjadi perhatian sehingga sering terjadi underdiagnose. Keadaan ini tentunya akan menyebabkan kegagalan dalam proses penyembuhan pasien selanjutnya. Secara praktis pengertian 32
malnutrisi adalah apabila terjadi penurunan berat badan lebih dari l0% dari berat badan sebelumnya dalam 3 bulan terakhir. Selain kriteria yang sering digunakan adalah apabila pada saat pengukuran berat badan kurang dari 90 % berat badan ideal berdasarkan tinggi badan atau jika indeks massa tubuh (IMT) kurang dari 18,5.8 Beberapa keadaan yang berhubungan dengan terjadinya malnutrisi adalah menurunnya nafsu makan, terjadinya malabsorbsi, peningkatan pengeluaran misalnya adanya luka kronis, penurunan sintesis protein serta meningkatnya katabolisme. Pada saat terjadinya malnutrisi, seluruh organ akan mengalami penurunan massanya kecuali otak dimana malnutrisi tidak menyebabkan perubahan pada massanya. Pada saat malnutrisi, akan terjadi proses penghancuran dari lean body mass untuk melepaskan asam amino untuk proses glukoneogenesis. Sebagaimana kita ketahui, asam amino merupakan protein penting dalam tubuh untuk sistem imunitas dan proses penyembuhan penyakit. Apabila keadaan ini berlangsung lama, asam amino tubuh juga berkurang otot-otot paru juga mengalami kelemahan dan hasil akhirnya akan menyebabkan penurunan sistem imunitas dan pasien mudah terjadi pneumonia dan akhimya kematian. Berbagai penelitian sudah membuktikan bahwa dalam keadaan malnutrisi seseorang akan mengalami penurunan mental, kekuatan ototnya menurun, fungsi jantung terganggu dan terjadi penurunan imunitas. Keadaan gangguan ini akan memperburuk keadaan sakit pasien dan mencegah proses penyembuhan dan akan berakibat terjadi komplikasi yang pada akhirnya akan memperburuk keadaan.8 Pendekatan klinis malnutrisi meliputi anamnesis terutama tentang asupan nutrisi selama ini, pemeriksaan fisik terutama pengukuran antropometri dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan dengan status nutrisi pasien. Pengukuran berat badan merupakan pemeriksaan yang sering digunakan untuk mengetahui status nutrisi pasien. Perubahan berat badan secara mendadak 33
menunjukkan perubahan keseimbangan cairan yang mendadak. Sedang perubahan berat badan jangka lama menunjukkan perubahan massa jaringan tubuh. Setelah diketahui berat badan tentunya yang perlu dihitung selanjutnya adalah Indeks Massa Tubuh. (IMT). IMT memuat perbandingan antara berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan kuadrat dalam meter. (lihat pada rumus pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa tubuh (IMT): berat badan (kg) / (tinggi badan)2 (m2).8 Selain pemeriksaan berat badan, parameter antropometri lain yang digunakan yaitu pengukuran tebal lemak bawah kulit triseps (Triceps skinfold thickness/ TSF) dan pengukuran lingkar lengan atas / LLA (Midarm circumference / MAC). Pengukuran TSF dilakukan dengan menggunakan alat khusus. Pengukuran LLA dilakukan dengan menggunakan alat pengukur meteran yang umumnya terbuat dari kain atau nylon yang diletakan pada pertengahan lengan antara akromian dan olekranon. Pengukuran TSF berfungsi untuk memperkirakan cadangan lemak jaringan, sedangkan LLA untuk memperkirakan massa otot. Besaran standar untuk TSF orang dewasa laki-laki adalah 12,5 mm, sedangkan untuk perempuan 16,5 mm. Untuk lingkar lengan atas, standar yang digunakan adalah 29,3 cm untuk dewasa laki-laki dan 28,5 untuk dewasa perempuan.8 Malnutrisi dapat dianggap sebagai hal primer, karena asupan protein dan atau sumber energi yang tidak memadai, atau bisa juga dianggap sebagai hal sekunder karena penyakit yang mengganggu asupan atau penggunaan zat gizi atau penyakit yang dapat meningkatkan kebutuhan zat gizi atau kehilangan metabolik. Keganasan, malabsorbsi usus, penyakit peradangan usus besar, AIDS dan gagal ginjal kronik merupakan beberapa penyakit yang seringkali berhubungan dengan malnutrisi sekunder.8
34
Diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP) adalah diet yang mengandung energi dan protein di atas kebutuhan normal. Diet diberikan dalam bentuk makanan biasa ditambah dengan bahan makanan sumber protein tinggi seperti susu, telur, dan daging. Diet ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh, serta menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal. Diet ini diberikan kepada pasien dengan malnutrisi, sebelum dan sesudah operasi tertentu, multi trauma, serta selama dalam kemoterapi, luka bakar berat dan baru sembuh dari penyakit panas tinggi, hipertiroid, hamil, dan post-partum dimana kebutuhan energi dan protein meningkat. Adapun syarat dari diet TKTP, yaitu:9 1.
Energi tinggi, yaitu 40 – 45 kkal/kg BBI
2.
Protein tinggi, yaitu 2 – 2,5 g/kg BBI
3.
Lemak cukup, yaitu 10 – 25% dari kebutuhan energi total
4.
Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total
5.
Vitamin dan mineral cukup sesuai kebutuhan normal
6.
Makanan diberikan dalam bentuk mudah cerna
35
BAB 4 PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan rasa lemas dan pusing. Lemas dan pusing sendiri merupakan gejala klinis yang timbul dari sebuah penyakit. Salah satu penyakit yang menyebabkan gejala klinis tersebut adalah anemia. Anemia merupakan suatu keadaan ketika jumlah sel darah merah atau konsentrasi pengangkut oksigen dalam darah (Hb) tidak mencukupi untuk kebutuhan fisiologi tubuh. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan kedua konjungtiva pasien anemis. Diagnosis diperkuat dengan hasil laboratorium darah lengkap, dimana didapatkan Hb pasien adalah 5,4 g/dL dan Hematokrit 21,8% , dengan nilai MCV dan MCH adalah sebagai berikut secara berturut-turut, 49,7 fL dan 12,3 pg. Anemia pun diklasifikasikan berdasarkan etiopatogenesis dan morfologi sel darah merahnya. Pada pasien ini anemia dapat terjadi akibat kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit ataupun akibat ada gangguan penggunaan besi. Jika berdasarkan morfologi eritrosit, maka keadaaan anemia pasien ini adalah anemia mikrositik hipokrom. Anemia mikrositik hipokrom dapat terjadi pada anemia defisiensi besi dan anemia akibat penyakit kronik. Gejala pada anemia dibagi menjadi gejala umum, gejala khas masing-masing anemia, dan gejala dari penyakit dasarnya. Pada pasien ini ditemukan gejala umum dari anemia yaitu rasa lemas. Anemia dapat bersifat simtomatik jika Hb telah turun di bawah 7 g/dL, dimana pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku. Hal ini sesuai dengan temuan pada pasien dimana pasien tampak pucat, khususnya pada kedua konjungtiva. Penegakkan diagnosis selanjutnya untuk mengetahui jenis anemia dari pasien diperlukan adanya pemeriksaan besi serum kemudian dilanjutkan diperiksa TIBC dan serum feritin. Pada tata laksana anemia perlu diperhatikan bahwa, tangani keadaan darurat misalnya pada anemia hemoragik akut, kemudian dapat diberikan 36
terapi suportif, terapi sesuai anemia masing-masing dan atasi penyakit dasarnnya Pada pasien ini diketahui bahwa tatalaksana dari anemianya adalah dengan melakukan transfusi PRC 1 unit dalam 4 jam, maksimal 2 unit dalam sehari. Pasien juga diberikan Furosemid 20 mg IV sebelum dan sesudah transfusi jika tekanan darah sistolik di atas 70 mmHg. Jika sudah ditransfusi 3 unit PRC, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan darah lengkap ulang. Setelah itu pasien diberikan suplemen besi Livron B Plex dengan dosis 2 x 1 tablet setiap harinya. Malnutrisi (undernutrition) adalah penurunan berat badan lebih dari l0% dari berat badan sebelumnya dalam 3 bulan terakhir atau indeks massa tubuh (IMT) kurang dari 18,5 kg/m2. Pada pasien diketahui bahwa IMTnya adalah 15,83 kg/m 2. Malnutrisi dapat dibedakan juga dengan malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Penegakkan diagnosis malnutrisi dapat ditegakkan bila ada anamnesis mengenai asupan nutrisi yang kurang dan pemeriksaan antropometri. Pada pasien didapatkan bahwa konsumsi makanan sehari-hari pasien kurang oleh karena nafsu makan pasien yang kurang juga. Pada pasien diberikan diet tinggi kalori tinggi protein 1.800 kkal per harinya, porsi kecil namun sering. Contoh makanan tinggi kalori dan tinggi protein adalah susu, telur, daging, dan lain-lain. Pada pasien juga didapatkan hipokalemia ringan, dengan nilai kalium darah sebesar 3,2 mmol/L dan diberikan terapi Aspar K 3 x 1 tablet (300 mg). Kalium merupakan elektrolit yang sangat penting untuk fungsi saraf dan otot,terutama otot jantung. Kalium juga berperan sebagai pengatur tekanan darah. Kadar kalium di dalam tubuh dikendalikan oleh ginjal. Jika kadar kalium berlebih, ginjal akan membuang kalium dari dalam tubuh melalui keringat atau urine. Hipokalemia adalah kondisi ketika kadar kalium dalam aliran darah berada di bawah batas normal. Dalam kondisi normal, kadar kalium dalam darah berkisar antara 3,5 sampai 4,5 mmol/L. Sedangkan kadar kalium yang sangat rendah, yakni kurang dari 2,5 mmol/L, maka hal tersebut bisa berbahaya atau bahkan menyebaban kematian jika tidak segera ditangani. Pada pasien didapatkan keluhan lemas, bisa juga menjadi gejala klinis dari keadaan 37
hipokalemia. Hipokalemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kurangnya asupan kalium, kelebihan pengeluaran melalui traktus gastrointestinal (diare, muntah) atau kelebihan pengeluaran melalui traktus urinarius. Pada pasien dicurigai bahwa hipokalemia disebabkan oleh kurangnya asupan kalium dalam diet sehari-hari, sehingga dapat kita berikan edukasi untuk lebih memperhatikan diet hariannya dan bisa menambahkan bahan makanan yang tinggi kalium seperti pisang, tomat, jeruk, dan lain-lain.
38
BAB 5 KESIMPULAN
Telah dilaporkan pasien perempuan berusia 25 tahun dengan Anemia gravis + Malnutrisi berat + Hipokalemia + Dispepsia. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (pemeriksaan laboratorium, radiologi foto polos toraks PA, dan echocardiography). Pada pasien ini dalam perawatan diberikan IVFD NaCl 0,9% 500 cc setiap 24 jam; Ranitidine 2 x 2 mL IV; Livron B Plex 2 x 1 tablet PO; Aspar K 3 x 300 mg PO; transfusi PRC 1 unit dalam 4 jam, sehari 2 unit, setelah masuk 3 unit lakukan pemeriksaan darah lengkap ulang; Furosemid 20 mg IV sebelum dan sesudah transfusi (jika tekanan sistolik > 70 mmHg); dan diet TKTP 1.800 kkal per hari, porsi kecil dan sering. Saat ini pasien sudah pulang ke rumah dan melakukan kontrol rutin ke Poli Penyakit Dalam.
39
DAFTAR PUSTAKA
1.
Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
2.
5nd. Internal Publishing. Jakarta. 2009(1) World Health Organization. The Global Prevalance of Anemia in 2011. World Health
3.
Organization. Geneva. 2015 Riskesdas 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
4.
Kementerian Kesehatan RI Tahun 2013. 2013 Bakta MI. Pendekatan terhadap pasien anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014
5.
Hercberg S, Rouaud C. Nutritional Anemia. Child Trop [Internet]. 1981;133:1–36. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12264581
6.
Miller Y, dkk. Practice Guidelines for Blood Transfusion. Edition 2nd. American Red Cross. 2007
7.
World Health Organization. Haemoglobin Concentrations for the Diagnosis of Anemia and Assesment of Severity. World Health Organization. Vitamin and Mineral Nutrition Information System.Geneva. 2011
8.
Syam AF. Malnutrisi. Ilmu Penyakit Dalam. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014
9.
Communitiy Hospitals and Wellness Centers. High Calorie, High Protein Diet. Ohio; 2010
40