Laporan Kasus Bedah Urologi - CA Prostat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS



CA PROSTAT



Disusun oleh: Ester Sibarani



090100091



Shinly Meivinita Ginting



090100251



Christine R.T Simanjuntak



090100335



Johannes D.I.U Hutapea



090100282



Mark Timotius Siahaan



090100252



Pembimbing: dr. Ramlan, Sp.U



DEPARTEMEN ILMU BEDAH UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP HAM MEDAN 2014



i



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul “Ca Prostat”. Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah Umum, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dokter pembimbing, dr. Ramlan, Sp.U yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.



Medan, November 2014



Penulis



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ..............................................................................



i



DAFTAR ISI .............................................................................................



ii



BAB I PENDAHULUAN .........................................................................



1



1.1 Latar Belakang ............................................................................



1



1.2 Tujuan ......................................................................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................



3



2.1 Anatomi Abdomen .....................................................................



3



2.2 Trauma Abdomen .....................................................................



5



2.2.1 Definisi Trauma Abdomen ..............................................



5



2.2.2 Klasifikasi Trauma Abdomen ..........................................



6



2.3 Trauma Tajam .............................................................................



7



2.3.1 Definisi Trauma Tajam ....................................................



7



2.3.2 Insidensi Trauma Tajam ..................................................



7



2.3.3 Etiologi Trauma Tajam ....................................................



8



2.3.4 Mekanisme Trauma Tajam ..............................................



9



2.3.5 Pemeriksaan Fisik Trauma Tajam ...................................



9



2.3.6 Penaganan Awal Trauma Tajam ......................................



12



2.3.7 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Tajam ..........................



15



2.3.8 Penatalaksanaan Trauma Tajam ......................................



16



2.3.9 Follow Up ........................................................................



19



2.3.10 Komplikasi .....................................................................



19



2.3.11 Prognosis ........................................................................



20



DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................



22



1



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Trauma abdomen mungkin mengancam nyawa dan harus ditangani dengan



hati-hati. Setelah trauma, perut mungkin suatu tempat untuk perdarahan okultisme itu, jika tidak ditemukan dan diperbaiki secepatnya, dapat mengakibatkan konsekuensi buruk. Secara tradisional cedera ini diklasifikasikan sebagai trauma tumpul, yang sebagian besar berasal dari tabrakan kendaraan bermotor, dan trauma tajam, yang sebagian besar adalah sekunder untuk tembakan atau tikaman. Pasien dengan trauma abdomen harus memperoleh penilaian cepat, stabilisasi, dan konsultasi bedah dini untuk memaksimalkan peluang hasil yang sukses.1 Trauma tajam adalah hasil dari senjata api tinggi atau kecepatan rendah, cedera tusuk, dan penetrasi benda asing ke dalam tubuh. Senjata api menyebabkan insiden tinggi (90%) pada peritoneum / cedera organ solid yang serius, dengan tingkat kematian 10-30%. Dua pertiga dari luka tusukan menembus peritoneum, dengan 5075% dari pasien ini memiliki cedera pembuluh darah atau organ solid yang signifikan. Kematian telah dilaporkan pada 5% dari cedera tusukan serius. Luka tusukan lebih sering di sebelah kiri (penyerang dominan kanan) dan di kuadran atas. Dalam 30% dari luka tusuk perut, ada 30% diiringi penetrasi rongga toraks. Cedera diafragma menjadi perhatian khusus dalam kasus ini.2 Pada hakikatnya, pengenalan, penilaian cepat, dan tatalaksana awal yang baik pada trauma tajam abdomen sangat diperlukan karena hal ini menentukan outcome dan tatalaksana lanjutan terbaik yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi atau kematian yang tidak diharapkan.



2



1.2. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai trauma abdomen.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1.



Anatomi Abdomen Abdomen merupakan bagian tubuh yang terletak di antara toraks dan pelvis.



Rongga abdomen yang sebenarnya dipisahkan dari rongga toraks di sebelah atas oleh diafragma dan dari rongga pelvis di sebelah bawah oleh suatu bidang miring yang disebut pintu atas panggul. Dapat dikatakan bahwa pelvis termasuk bagian dari abdomen, dan rongga abdomen meliputi juga rongga pelvis. Rongga abdomen meluas ke atas sampai mencapai rongga toraks setinggi sela iga kelima. Jadi sebagian rongga abdomen terletak atau dilindungi oleh dinding toraks. Sebagian dari hepar, gaster dan lien terterdapat di dalamnya. Rongga abdomen atau cavitas abdominis berisi sebagian besar organ sistem digestivus, sebagian organ urinarium, sistem genitalia, lien, glandula suprarenalis, dan plexus nervorum. Juga berisi peritoneum yang merupakan membrane serosa dari sistem digestivus. Kadang-kadang ada organ sistem digestivus yang sebagian atau sementara terletak di dalam rongga pelvis, misalnya ileum dan sebaliknya kadangkadang organ genitalia terdapat di dalam rongga abdomen, misalnya uterus yang membesar. Untuk menentukan lokalisasi yang lebih teliti dari rasa nyeri, pembengkakan atau letak suatu organ, maka abdomen dibagi menjadi sembilan region oleh dua bidang horizontal yaitu bidang subcostalis dan bidang transtubercularis serta dua bidang vertikal yang melalui linea midklavikularis kanan dan kiri. Regio abdomen tersebut adalah:3 



Atas: hipokondrium kanan-epigastrium-hipokondrium kiri







Tengah: lateralis kanan-umbilikalis-lateralis kiri







Bawah: inguinal kanan-hipokondrium-inguinal kiri



4



Gambar 2.1. Topografi Abdomen Proyeksi letak organ dalam abdomen3 Hipokondrium kanan Epigastrium  Lobus kanan dari  Pilorus gaster  Duodenum hepar  Pankreas  Kantung empedu  Sebagian dari hepar  Sebagian dari duodenum  Fleksura hepatik dari kolon  Sebagian dari ginjal kanan  Kelenjar suprarenal kanan



  



Lumbal kanan Kolon asendens Bagian bawah dari ginjal kanan Sebagian daru duodenum dan jejunum



   



Umbilikal Omentum Mesenterium Bagian bawah dari duodenum Jejunum dan ileum



     



Hipokondrium kiri Lambung Limpa Bagian kaudal dari pankreas Fleksura lienalis dari kolon Kutub atas dari ginjal kiri Kelenjar suprarenal kiri



Lumbal kiri  Kolon desendens  Bagian bawah dari ginjal kiri  Sebagian jejunum dan ileum



5



   



Inguinal kanan Sekum Apendiks Bagian akhir dari ileum Ureter kanan



2.2



Trauma Abdomen



2.2.1



Definisi



Hipogastrium  Ileum  Kandung kemih  Uterus (pada kehamilan)



Inguinal kiri  Kolon sigmoid  Ureter kiri  Ovarium kiri



Trauma merupakan kekerasan fisik yang mengakibatkan cedera. Trauma abdomen adalah trauma yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan immunologi dan gangguan faal berbagai organ Cedera perut traumatik diklasifikasikan lebih lanjut sebagai intraperitoneal atau retroperitoneal. Cedera intraperitoneal lebih terarah untuk didiagnosis dengan pemeriksaan fisik. Dalam cedera ini, baik sistem nyeri parietal dan visceral terpengaruh. Reseptor nyeri parietal menyebabkan nyeri lokal, seperti cedera hati atau limpa. Reseptor nyeri viseral klasik menyebabkan nyeri tumpul yang tidak terlokalisasi umumnya terkait dengan hemoperitoneum atau cedera viskus berongga. Cedera intraperitoneal dapat hadir sebagai nyeri alih ke bahu, skapula, panggul, toraks, dan punggung. Cedera retroperitoneal sering kurang bisa ditemukan dengan diagnosis fisik. Sejumlah besar darah dapat terakumulasi dalam ruang retroperitoneal tanpa menyebabkan temuan fisik yang jelas. 2



6



Gambar 2.2 Zona retroperitoneum: (1) zona sentral, (2) zona lateral, (3) zona pelvis.4 2.2.2



Klasifikasi Trauma Abdomen Trauma pada abdomen disebabkan oleh dua mekanisme yang merusak, yaitu: 



Trauma tumpul: merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritonium. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, keselakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolah raga, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.







Trauma tembus: merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak.



Berdasarkan organ yang terkena trauma abdomen dapat dibagi menjadi dua: 



Trauma pada organ padat, seperti hepar, limpa (lien) dengan gejala utama perdarahan.







Trauma pada organ padat berongga seperti usus, saluran empedu dengan gejala utama adalah peritonitis.



7



Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi jaringan atau organ dibawahnya. Trauma tumpul dapat berupa benda tumpul, perlambatan (deselerasi), dan kompresi. Benturan benda tumpul pada abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi dan organ padat berupa laserasi. Trauma tembus dibagi menjadi luka tusuk dan luka tembak. Trauma tembus akibat peluru dibedakan antara jenis kecepatan rendah (low-velocity) dengan kecepatan tingg (high-velocity). Trauma tembus akibat peluru dengan kecepatan tinggi menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Hampir selalu luka tembus akibat peluru mengakibatkan kerusakan pada organ-organ dalam abdomen. Bahkan luka peluru yang tangensial tanpa memasuki rongga abdomen dapat menimbulkan kerusakan organ-organ dalam abdomen akibat efek ledakan.



2.3



Trauma Tajam



2.3.1



Definisi Trauma Tajam Trauma tajam adalah hasil dari senjata api kecepatan tinggi atau kecepatan



rendah, cedera tusuk, dan penetrasi benda asing ke dalam tubuh. 2



2.3.2



Insidensi Trauma tajam pada abdomen Dua pertiga dari luka tusukan menembus peritoneum, dengan 50-75% dari



pasien ini memiliki cedera pembuluh darah atau organ solid yang signifikan. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%) dan kolon (20%). Luka tusukan lebih sering di sebelah kiri (penyerang dominan kanan) dan di kuadran atas. Dalam 30% dari luka tusuk perut, ada 30% diiringi penetrasi rongga toraks. Cedera diafragma menjadi perhatian khusus dalam kasus ini. Kematian telah dilaporkan pada 5% dari cedera tusukan serius. 2,7 Senjata api menyebabkan insiden tinggi (90%) pada peritoneum atau cedera organ solid yang serius, dengan tingkat kematian 10-30%. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), kolon (40%), hepar (30%), dan pembuluh darah abdominal (25%).2,7



8



Tabel 2.1 Insidensi cedera organ pada laparotomi berdasarkan mekanisme cedera di Presley Regional Trauma Center 2



Kerusakan akibat dari cedera senjata api terutama disebabkan oleh dampak kecepatan proyektil. Senjata dengan kecepatan moncong lebih besar dari 2000 ft/detik dianggap berkecepatan tinggi , menyebabkan luka parah, dan memiliki angka kematian 50%. Kebanyakan pistol memiliki kecepatan moncong kurang dari 1000 ft/detik dan berkecepatan rendah. Dua pertiga dari cedera senjata api kecepatan rendah memiliki peluru yang tersisa dalam tubuh. Organ yang terluka oleh dampak langsung dari proyektil dan oleh efek concussive menghamburkan energi kinetik. Proyektil primer bisa menyerang tulang, memproduksi proyektil sekunder, dan menimbulkan kerusakan jaringan tanpa penetrasi organ langsung. Jalur luka proyektil bukan merupakan indikator yang dapat diandalkan untuk menentukan cedera organ. 2 Manajemen trauma darurat berfokus pada golden hour , 60 menit pertama setelah cedera apapun, ketika dampak terbesar pada morbiditas dan mortalitas dapat diwujudkan. Hal ini terutama berlaku dalam trauma abdomen. Kematian dini seringkali merupakan hasil dari perdarahan yang tidak terkontrol dari organ padat atau cedera pembuluh darah, sehingga stabilisasi dini, diagnosis, dan intervensi operatif dapat menyelamatkan nyawa. Penyebab kematian akhir termasuk sepsis, perdarahan yang belum diakui, cedera okultisme (misalnya, ruptur diafragma dengan herniasi isi perut), cedera organ berongga (usus, kandung empedu, dan kandung kemih), dan pankreas atau cedera ginjal.2



2.3.3



Etiologi Trauma Tajam



Luka tembak, dianggap tinggi kecepatan proyektil, adalah penyebab yang paling umum (64%) menembus trauma perut, diikuti oleh luka tusukan (31%) dan



9



luka senapan (5%). Trauma tembus abdomen mungkin hasil dari kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga melintasi semua hambatan sosial ekonomi dan merupakan pertimbangan penting dalam evaluasi luka yang diderita di rumah dan mereka dilaporkan melibatkan keluarga pasien atau orang penting lainnya. Trauma tembus abdomen dapat terjadi secara iatrogenik. Sebuah komplikasi peritoneal lavage ditemukan pada cedera usus yang mendasari, kandung kemih, atau pembuluh besar seperti aorta atau vena cava. Namun, kejadian komplikasi tersebut relatif kecil. 2.3.4



Mekanisme Trauma Tajam Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan



kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ visera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum. Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, bergantung jauhnya perjalanaan peluru, besar energi kinetik maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Organ padat akan mengalami kerusakan yang lebih luas akibat energi yang ditimbulkan oleh peluru tipe high velocity.7



2.3.5



Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang terkena



trauma, kemudian menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil analisis riwayat trauma. Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistematis meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Temuan-temuan positif ataupun negatif didokumentasi dengan baik pada status.



10



Syok dan penurunan kesadaran mungkin akan memberikan kesulitan pada pemeriksaan perut. Trauma penyerta kadang-kadang dapat menghilangkan gejalagejala perut. Inspeksi Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian. Adanya jejas pada dinding perut dapat menolong ke arah kemungkinan adanya trauma abdomen. Abdomen bagian depan dan belakang, dada bagian bawah dan perineum diteliti apakah mengalami ekskoriasi ataupun memar karena alat pengaman, adakah laserasi, liang tusukan, benda asing yang menancap, omentum ataupun bagian usus yang keluar, dan status kehamilan. Harus dilakukan log-roll agar pemeriksaan lengkap. 7 Auskultasi Di ruang IGD yang ramai sulit untuk mendengarkan bising usus, yang penting adalah ada atau tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di retroperitoneum ataupun gastrointestinal dapat mengakibatkan ileus, yang mengakibatkan hilangnya bising usus. Pada luka tembak atau luka tusuk dengan isi perut yang keluar, tentunya tidak perlu diusahakan untuk memperoleh tanda-tanda rangsangan peritoneum atau hilangnya bising usus. Pada keaadan ini, laparotomi eksplorasi harus segera dilakukan. Pada trauma tumpul perut, pemeriksaan fisik sangat menentukan untuk tindakan selanjutnya. Cedera struktur lain yang berdekatan seperti iga, vertebra, maupun pelvis bisa juga mengakibatkan ileus walaupun tidak ada cedera intraabdominal. Karena itu hilangnya bising usus tidak diagnostik untuk trauma intraabdominal.7 Perkusi Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan mencetuskan tanda peritonitis. Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada timpani karena dilatasi lambung akut di kwadran kiri atas ataupun adanya perkusi redup bila ada hemoperitoneum.2 Adanya darah dalam rongga perut dapat ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau menghilang.7



11



Palpasi Adanya kekakuan dinding perut yang volunter (disengaja oleh pasien) mengakibatkan pemeriksaan abdomen ini menjadi kurang bermakna. Sebaliknya, kekakuan perut yang involunter merupakan tanda yang bermakna untuk rangsang peritoneal. Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang kadang-kadang dalam. Nyeri lepas sesudah tangan yang menekan kita lepaskan dengan cepat menunjukkan peritonitis, yang bisanya oleh kontaminasi isi usus, maupun hemoperitoneum tahap awal.7 Evaluasi Luka Tusuk Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi eksplorasi karena insiden cedera intraperitoneal bisa mencapai 95%. Luka tembak yang tangensial sering tidak betul-betul tangensial, dan trauma akibat ledakan bisa mengakibatkan cedera intraperitoneal walaupun tanpa adanya luka masuk. Luka tusukan pisau biasanya ditangani lebih selektif, akan tetapi 30% kasus mengalami cedera intraperitoneal. Semua kasus luka tembak ataupun luka tusuk dengan hemodinamik yang tidak stabil harus di laparotomi segera. Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi sifatnya superfisial dan nampaknya tidak menembus lapisan otot dinding abdomen, biasanya ahli bedah yang berpengalaman akan mencoba untuk melakukan eksplorasi luka terlebih dahulu untuk menentukan kedalamannya. Prosedur ini tidak dilakukan untuk luka sejenis diatas iga karena kemungkinan pneumotoraks yang terjadi, dan juga untuk pasien dengan tanda peritonitis ataupun hipotensi. Akan tetapi, karena 25-33% luka tusuk di abdomen anterior tidak menembus peritoneum, laparotomi pada pasien seperti ini menjadi kurang produktif. Dengan kondisi steril, anestesi lokal disuntikkan dan jalur luka diikuti sampai ditemukan ujungnya. Bila terbukti peritoneum tembus, pasien mengaiami risiko lebih besar untuk cedera intraabdominal, dan banyak ahli bedah menganggap ini sudah indikasi untuk melaksanakan laparotomi. Setiap pasien yang sulit kita eksplorasi secara lokal karena gemuk, tidak kooperatif maupun karena perdarahan jaringan lunak yang mengaburkan penilaian kita harus dirawat untuk evaluasi ulang ataupun kalau perlu untuk laparotomi.7



12



2.3.6



Penanganan Awal Trauma Abdomen



A.



Primary Survey



Airway Airway harus dijaga dengan baik pada semua penderita trauma abdomen. Membuka jalan napas menggunakan teknik head tilt, chin lift atau jaw thrust, periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Bila penderita tidak sadar dan tidak ada refleks bertahak (gag reflex) dapat dipakai oropharyngeal tube. Bila ada keraguan mengenai kemampuan menjaga airway, lebih baik memasang airway definitif. Jika ada disertai dengan cedera kepala, leher atau dada maka tulang leher (cervical spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in-line.7,8 Breathing Kontrol jalan nafas pada penderita trauma abdomen yang airway terganggu karena faktor mekanik, ada gangguan ventilasi atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi endotrakeal. Setiap penderita trauma diberikan oksigen. Bila tanpa intubasi, sebaiknya diberikan dengan face mask. Pemakaian pulse oxymetry baik untuk menilai saturasi O2 yang adekuat. Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas. Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan: 



Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)







Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada







Pernafasan buatan Berikan oksigen jika ada. Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika



kondisi pasien tidak stabil.7,8 Circulation Menilai sirkulasi/peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan : 



Hentikan perdarahan eksternal







Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)







Berikan infus cairan



13



Resusitasi pasien dengan trauma abdomen penetrasi dimulai segera setelah tiba. Cairan harus diberikan dengan cepat. NaCl atau Ringer Laktat dapat digunakan untuk resusitasi kristaloid. Rute akses intravena adalah penting, pasang kateter intravena perifer berukuran besar (minimal 2) di ekstremitas atas untuk resusitasi cairan. Pasien yang datang dengan hipotensi sudah berada di kelas III syok (30-40% volume darah yang hilang) dan harus menerima produk darah sesegera mungkin, hal yang sama berlaku pada pasien dengan perdarahan yang signifikan jelas. Upaya yang harus dilakukan untuk mencegah hipotermia, termasuk menggunakan selimut hangat dan cairan prewarmed.7,8 Disability Dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Menilai kesadaran dengan cepat yaitu apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale (GCS). 



A: Awake







V: Respons bicara







P: Respons nyeri







U: Tak ada respon Cara ini cukup jelas dan cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran,



ukuran dan reaksi pupil.7,8 Exposure Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya dengan cara menggunting untuk memeriksa dan evaluasi penderita. Paparan lengkap dan visualisasi head-to-toe pasien adalah wajib pada pasien dengan trauma abdomen penetrasi. Ini termasuk bagian bokong, bagian posterior dari kaki, kulit kepala, bagian belakang leher, dan perineum. Setelah pakaian dibuka penting penderita diselimuti agar penderita tidak kedinginan.7,8



B.



Secondary Survey Survei sekunder hanya dilakukan bila ABC pasien sudah stabil. Bila sewaktu



secondary survey kondisi pasien memburuk maka kita harus kembali mengulangi primary survey. Semua prosedur yang dilakukan harus dicatat dengan baik.



14



Pemeriksaan dari kepala sampai ke jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan perhatian utama: 9 Pemeriksaan kepala Kelainan kulit kepala dan bola mata: 



Telinga bagian luar dan membrana timpani







Cedera jaringan lunak periorbital



Pemeriksaan leher 



Luka tembus leher







Emfisema subkutan







Deviasi trachea







Vena leher yang mengembang



Pemeriksaan neurologis 



Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)







Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik







Penilaian rasa raba / sensasi dan refleks



Pemeriksaan dada 



Clavicula dan semua tulang iga







Suara napas dan jantung







Pemantauan ECG (bila tersedia)



Pemeriksaan rongga perut (abdomen) 



Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah







Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul abdomen kecuali bila ada trauma wajah







Periksa dubur (rectal toucher)







Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus



Pelvis dan ekstremitas 



Cari adanya fraktur (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan tes gerakan apapun karena memperberat perdarahan)



15







Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma







Cari luka, memar dan cedera lain



Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan): Foto atas daerah abdomen yang cedera dilakukan secara selektif.



2.3.7



Pemeriksaan Diagnostik



1. Pemeriksaan diagnostik pada trauma tajam adalah sebagai berikut:7 A. Cedera toraks bagian bawah Untuk pasien asimptomatik dengan kecurigaan cedera pada diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun foto toraks berulang, torakoskopi atau laparaskopi, serta pemeriksaan CT scan. Dengan pemeriksaan tersebut kita masih bisa menemukan adanya hernia diafragma sebelah kiri karena luka tusuk torakoabdominal sehingga untuk luka lain diperlukan eksplorasi bedah. Untuk luka tembak torakoabdominal, pilihan terbaik adalah laparatomi.



B. Eksplorasi lokal luka dan pemeriksaan fisik serial dibandingkan dengan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) pada luka tusuk abdomen depan. Sebanyak 55-65% pasien luka tusuk tembus abdomen depan akan mengalami hipotensi, peritonitis ataupun eviserasi omentum maupun usus halus. Untuk pasien seperti ini harus segera dilakukan laparatomi. Untuk pasien lain, sesudah konfirmasi adanya luka tusuk tembus peritoneum dilakukan eksplorasi lokal pada luka sampai laparatomi. Laparatomi merupakan salah satu pilihan relevan untuk semua pasien. Untuk pasien yang relatif asimptomatik, pilihan diagnostik non-invasif adalah pemeriksaan fisik diagnostik serial dalam 24 jam, DPL, maupun laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan fisik diagnostik serial membutuhkan sumber daya manusia yang besar. Dengan DPL bisa diperoleh diagnosis lebih dini pada pasien asimptomatik dan akurasi mencapai 90% bila menggunakan hitung jenis sel seperti pada trauma tumpul. Laparaskopi diagnostik bisa mengkonfirmasi dan menyingkirkan tembusnya peritoneum tetapi kurang bermakna untuk mengenali cedera tertentu.



16



C. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan CT dengan double atau triple kontras pada cedera fisik maupun punggung Ketebalan otot pinggang maupun punggung melindungi organ visera di bawahnya pada luka tusuk maupun luka tembak. Walaupun laparatomi merupakan pilihan yang relevan, untuk pasien asimptomatik terdapat pilihan diagnostik lain yaitu pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple kontras atau DPL. Dengan pemeriksaan fisik diagnostik serial untuk pasien asimptomatik yang menjadi simptomatik, diperoleh akurasi terutama untuk deteksi cedera retroperitoneal maupun intraperitoneal di belakang linea aksilaris anterior. CT scan dengan kontras memakan banyak waktu serta membutuhkan ketelitian untuk memeriksa bagian kolon retroperitoneal pada sisi luka tusuk. Ketajamannya sebanding dengan pemeriksaan fisik diagnostik serial, tetapi memungkinkan deteksi yang lebih dini. DPL bisa digunakan untuk screening awal. DPL (+) menunjukkan indikasi laparatomi.



2.3.8



Penatalaksanaan



Penatalaksanaan di Ruang Emergensi 7,8 1. Mulai prosedur resusitasi ABC (memperbaiki jalan napas, pernapasan dan sirkulasi). 2. Pertahankan pasien pada brankard; gerakan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif 3. Pastikan kepatenan dan kestabilan pernapasan 4. Gunting pakaian penderita dari luka. 5. Hitung jumlah luka dan tentukan lokasi luka masuk dan keluar. 6. Kontrol perdarahan dan pertahankan volume darah sampai pembedahan dilakukan. 7. Berikan kompresi pada luka dengan perdarahan eksternal dan lakukan bendungan pada luka.



17



8. Pasang kateter IV berdiameter besar untuk penggantian cairan secara cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi. 9. Perhatikan kejadian syok setelah respon awal terhadap terapi transfusi; ini sering merupakan tanda adanya perdarahan internal. 10. Aspirasi lambung dengan memasang selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi. 11. Pasang kateter urin untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau jumlah urine perjam. 12. Tutupkan visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan dibasahi dengan salin untuk mencegah kekeringan visera 13. Fleksikan lutut pasien; posisi ini mencegah protusi yang lanjut. 14. Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan muntah. 15. Siapkan pasien untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium. 16. Siapkan pasien untuk sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk. 17. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan. 18. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. Trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial). 19. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.



18



Pasien dengan trauma tajam abdomen yang berat akan cenderung jatuh ke dalam 3 (tiga) kategori besar: Presentation



Injury Type



Management priority



Pulseless



Major vascular injury



Emergency laparotomy Consider ED thoracotomy



Haemodynamically unstable



Trauma vaskular dan/atau trauma organ solid DAN/ATAU Perdarahan di tempat lain



Identifikasi dan kontrol perdarahan



Hollow viscus injury Pankreas atau ginjal



Identifikasi gambaran trauma gastrointestinal, diafragma atau retroperitoneal



Haemodynamically Normal



Luka Tusuk Karena tingginya frekuensi laparotomi negatif pada tindakan laparotomi rutin, sekarang orang cenderung untuk lebih selektif dalam memutuskan tindakan laparotomi pada luka tusuk abdomen. Tindakan laparotomi hanya dilakukan bila: adanya tanda-tanda rangsangan peritoneal, syok, bising usus tak terdengar, prolaps visera melalui luka tusuk, darah dalam lambung, buli-buli, rectum, udara bebas intraperitoneal, dan lavase peritoneal memberikan hasil positif. Selain dari itu penderita diobservasi selama 24-48 jam. Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM memakai cara penentuan terlebih dahulu apakah luka tusuk itu menembus peritoneum dengan cara mengeksplorasi luka tusuk. Luka tusuk yang menembus peritoneum dilanjutkan dengan tindakan laparotomi.



Luka Tembak Berbeda dengan luka tusuk abdomen yang belum tentu mengenai alat dalam abdomen, luka tembak hampir selalu menimbulkan kerusakan pada alat dalam perut. Dianjurkan pada luka tembak perut agar dilakukan laparotomi.



19



Indikasi Laparatomi 7,10 1. Intervensi bedah segera bagi organ yang terkena. 2. Hemodinamik yang tidak stabil. 3. Adanya tanda peritoneal(peritonitis) pada pemeriksaan fisik. 4. Hipotensi pada luka tusuk tembus abdomen. 5. Luka tembak menyeberang rongga peritoneum. 6. Eviscerasi omentum atau usus. 7. Pendarahan dari gaster, rectum atau traktus urogenitalis pada luka tusuk.



2.3.9



Follow up / observasi pasien Setelah laparatomy, pasien diberikan terapi non operatif dengan resusitasi



cairan dan transfusi darah jika perlu. Pasien harus dilakukan pemeriksaan fisik serial dan jika adanya tanda peritoneal, pasien diindikasikan untuk dilakukan laparatomi. Biasanya pasien diobservasi 12 – 48 jam sebelum dibenarkan pulang. Pasien dibenarkan pulang jika:10 



Luka yang dialami bukan luka tembus dan;







Keadaan umum/ hemodinamik yang stabil setelah 12 – 48 jam.







Tidak ada indikasi untuk admisi.







Berespon baik terhadap terapi.



2.3.10 Komplikasi Komplikasi bisa terjadi pada trauma yang dapat diidentifikasi maupun yang tidak teridentifikasi. Perdarahan intraabdomen, infeksi, sepsis, dan kematian dapat terjadi delayed ruptur atau delayed hemmorage dari organ padat khususnya limpa dapat muncul. Pada pasien yang menjalani laparatomi dan perbaikan, komplikasi sama dengan kondisi lain yang memerlukan tindakan operasi. Beberapa komplikasi pasca laparotomi pada trauma abdomen. Yang paling banyak adalah abses intraabdominal sebanyak (12%), selanjutnya infeksi luka (7%), fistel enterokutan (4%), dan gagal ginjal akut (3%). Selain itu komplikasi postoperasi dini meliputi perdarahan yang tetap berlanjut, coagulopati, dan sindrom compartment



20



abdomen. Komplikasi yang terakhir ini diterapi dengan membuka abdomen dan menutup sementara. Komplikasi yang lebih lambat lagi meliputi obstruksi usus halus dan hernia insisional.



2.3.11 Prognosis Jika cedera abdomen tidak segera didiagnosis, suatu keadaan yang lebih buruk dapat terjadi. Terapi yang terlambat akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi jika terjadi perforasi saluran gastrointestinal. Angka pasien yang selamat dari trauma tembus abdomen tidak meningkat secara nyata karena kematian dalam 24 jam pertama sebagai akibat dari syok perdarahan irreversible. Lebih dari 80% kematian terjadi dalam 24 jam saat kedatangan di rumah dan 66,7% pada saat operasi awal karena cedera pembuluh darah abdomen. Sebaliknya, angka pasien yang selamat dari trauma tembus abdomen tanpa cedera pembuluh darah masih tinggi. Distribusi puncak dari kematian pada trauma tembus abdomen sangat berbeda dibandingkan pada trauma tumpul abdomen. Sebagian besar kematian karena trauma tembus abdomen terjadi antara 1 – 6 jam dari saat datang di rumah sakit, diikuti jumlah yang lebih kecil pada 6 – 24 jam setelah kedatangan. Sebaliknya, jumlah tertinggi kematian karena trauma tumpul abdomen terjadi 72 jam setelah kedatangan di rumah sakit dan jumlah yang lebih kecil dalam jam pertama kedatangan. Kematian karena trauma tembus abdomen lebih sering terjadi di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau ruang operasi dibandingkan dengan trauma tumpul abdomen yang terutama terjadi di ICU. Secara umum, kematian terjadi dalam 72 jam pertama karena hipoperfusi dan sequelenya. Kematian di ICU dua minggu atau lebih kemudian biasanya karena komplikasi sepsis, sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS=Systemic Inflammatory Response Syndrome), atau sindrom disfungsi organ multiple (multiple organ dysfunction syndrome).



21



Faktor-faktor yang meningkatkan mortalitas dari trauma tembus abdomen adalah:



10







Jenis kelamin perempuan







Lamanya jarak antara saat kejadian dan dimulainya tindakan operasi







Adanya syok saat datang ke rumah sakit







Adanya cedera kepala



22



DAFTAR PUSTAKA 1. R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. 2004. Trauma dan Bencana. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi I. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. 2. Udeani. 2008. Abdominal Trauma, Blunt. Department of Emergency Medicine, Charles Drew University of Medicine and Science, University of California, Los. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/433404-overview. [Accessed 16 October 2014] 3. Ahmadsyah, Ibrahim. Abdomen Akut. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta. 4. Maxey. 2010. Abdominal Trauma Penetrating. Department of Surgery, Indiana University School of Medicine. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/433554-overview. [Accessed 16 October 2014] 5. Cheng. 2010. Abdominal Trauma Penetrating. Department of Emergency Medicine, New York University, Bellevue Medical Center. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/822099-overview. [Accessed 16 October 2014] 6. Salomone. 2009. Abdominal Trauma, Blunt. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/821995-overview. [Accessed 16 October 2014] 7. Mansjoer, Suprohaita, W.K. Wardhani, W. Setiowulan. 2000. Trauma Abdomen. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III, Jilid II. Penerbit Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 8. Feliciano & Rozycki. 2003. Evaluation of Abdominal Trauma. American College of Surgeons. Available from : http://www.facs.org/trauma/publications/abdominal.pdf [Accessed 16 October 2014] 9. Sabiston. 1995. Buku Ajar Bedah. Cetakan II. Penerbit EGC : Jakarta 10. Schwartz. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Penerbit EGC