Laporan Kasus CT SPN [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis merupakan salah satu gangguan kesehatan yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia (Mangunkusumo & Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011). Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003, disebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada dalam urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit (Mangunkusomo, 2007). Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, adalah peradangan pada membran mukosa yang menyerang sinus paranasal dan kavitas nasal (Santa; Suratun; Paula: 2008). Sinusitis paranasal adalah rongga-rongga yang terdapat pada tulangtulang di wajah. Sinusitis ini terdiri dari sinus frontal (di dahi), sinus etmoid (pangkal hidung), sinus maksila (pipi kanan dan kiri), sinus sfenoid (di belakang sinus etmoid). (Santa; Suratun; Paula, 2008). Pada kondisi anatomi dan fisiologis normal, sinus terisi udara. Deviasi dari struktur anatomi normal maupun perubahan fungsi lapisan mukosa dapat menjadi predisposisi penyakit sinus (Amedee & Miller, 2001). Pasien dengan klinis sinusitis cukup banyak ditemukan, maka tak jarang pemeriksaan CT-Scan dengan klinis sinusitis sering dilakukan karena dengan menggunakan CT-Scan memiliki kelebihan dalam menampakkan penebalan mukosa, keadaan dinding sinus, air-fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, dan penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik) yang tidak dapat dinilai dari foto polos biasa. (Amstrong, 1989).



Pada kesempatan ini, penulis tertarik untuk mengkaji teknik pemeriksaan CTScan Sinus Paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Gading Pluit Jakarta. Pada Praktek Kerja Lapangan V ini penulis membuat laporan kasus dengan judul ”TEKNIK PEMERIKSAAN CT-SCAN SINUS PARANASAL PADA PASIEN DENGAN KLINIS SINUSITIS DI INSTALASI RADIOLOGI RUMAH SAKIT GADING PLUIT JAKARTA”. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana prosedur pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Gading Pluit Jakarta ? 1.3 Tujuan Penulisan Untuk mengetahui prosedur pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Gading Pluit Jakarta. 1.4 Manfaat Penulisan Manfaat yang dapat diperoleh dari pembuatan laporan kasus ini antara lain: 1.4.1 Bagi Penulis Penulis dapat menambah pengalaman dan dapat mengetahui lebih lanjut tentang teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Gading Pluit Jakarta. 1.4.2



Bagi Pembaca Pembaca dapat memperoleh informasi dan pengetahuan tentang teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Gading Pluit Jakarta.



1.4.3



Bagi Rumah Sakit Dapat memberikan dorongan dalam meningkatkan pelayanan diagnostik, khususnya pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Gading Pluit Jakarta.



1.4.4



Bagi Akademi Sebagai bahan masukan bagi penulusan laporan kasus dengan kasus yang sama.



1.5 Sistematika Penulis Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan laporan ini adalah : BAB I



: PENDAHULUAN Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.



BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Berisi anatomi sinus paranasal, patologi sinusitis, dasar-dasar CT-Scan, dan teknik pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal. BAB III : HASIL DAN PEMBAHASAN Berisi tentang paparan kasus dan pembahasan. BAB IV : PENUTUP Berisi kesimpulan dan saran.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan rongga yang berisi udara yang dilapisi oleh membran mukosa yang berada disekitar rongga hidung. Rongga udara yang mengisi sinus paranasal biasanya disebut dengan accessory nasal sinus. ( Bontrager, 2001) Sinus paranasal dibagi menjadi 4 kelompok menurut letak tulang, yaitu sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidalis dan sinus sphenoidalis. Sinus maksilaris termasuk bagian dari tulang wajah sedangkan frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis dimasukkan ke dalam golongan tulang cranium.(Kelley dan Petersen, 1997) Sinus paranasal mulai mengalami perkembangan pada fetus, tetapi hanya sinus maksilaris yang memperlihatkan suatu rongga yang perkembangannya begitu terbatas. Sinus frontalis dan sinus sphenoidalis mulai tampak pada gambaran Radiografi pada umur 6 – 7 tahun. Sinus ethnoidalis adalah sinus yang mengalami perkembangan paling terakhir dibandingkan yang lainnya. Semua sinus paranasal mengalami perkembangan secara maksimal pada akhir masa remaja. Masing-masing bagian sinus akan dipelajari, dimulai dari sinus yang paling besar, yaitu sinus maksilaris. 2.1.1



Sinus Maksilaris Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar. Dulu istilah yang digunakan untuk sinus maksilaris adalah “antrum” singkatan dari “Antrum of High More”. Masing-masing sinus maksilaris memiliki bentuk yang menyerupai suatu pyramid bila dilihat dari anterior, bila dilihat secara lateral sinus maksilaris lebih nampak seperti kubus. Sinus maksilaris memiliki dinding tulang yang sangat tipis bagian bawah dari sinus maksilaris superposisi dengan bagian bawah tulang nasal. Bila dilihat



pada bagian bawah sinus maksilaris adalah terlihat beberapa coni celekations berhubungan dengan gigi molar 1 dan 2 bagaian atas. Ada kalanya batas bawah sinus maksilaris mengalami perforasi atau mengalami perlobangan dan mengakibatkan terjadinya infeksi pada gigi, mempengaruhi bagian molar dan premolar dan merambat naik ke sinus maksilaris. Semua rongga sinus paranassal saling berhubungan dengan lainnya dan berhubungan juga dengan rongga hidung, yang mana dibagi menjadi dua ruangan yang sama atau disebut dengan fossa. Pada kasus sinus maksilaris lokasi penghubung antara nasal dan maksilari merupakan permukaan masuknya ke muiddle nasal meatus dan kemudian diteruskan ke superior medial aspek dari rongga sinus itu sendiri. 2.1.2



Sinus Frontalis Sinus frontal berada diantara bagian dalam dan luar os frontal, ke posterior membentuk glabela dan jarang berbentuk sebelum umur 6 tahun. Sinus frontalis pada umumnya dipisahkan oleh septum yang menyimpang dari satu sisi dengan sisi yang lainnya, dan menghasilkan satu rongga tunggal. Bagaimanapun rongga yang ada memiliki bermacam-macam ukuran dan bentuk. Biasanya pada laki-laki ukuranya lebih besar dari wanita. (Bontrager, 2001)



2.1.3



Sinus Ethmoidalis Sinus ethmoidalis adalah termasuk didalam masses lateral atau labirin dari tulang ethmoid. Rongga udara sinus ethmoidalis dikelompokkan menjadi anterior, middle dan posterior collections, tetapi semua yang ada diatas tidak saling berhubungan. (Bontrager, 2001)



2.1.4



Sinus Sphenoidalis Sinus sphenoidalis berada didalam bodi tulang sphenoid yang berada dibawah sela tursika. Bodi dari tulang sphenoid terdiri dari sinus yang berbentuk kubus dan dibagi oleh suatu sekat tipis untuk membentuk dua rongga. Septum dan sphenoid mungkin tidak sempurna dan menghasilkan hanya satu rongga karena sinus sphenoid sangat dekat dengan dasar cranium, kadang-kadang proses pathologi dari cranium mengakibatkan efek pada sinus tersebut. Suatu contoh adalah demonstrasi dari suatu air fluid level di dalam sinus sphenoid yang kemudian mengakibatkan trauma tulang tengkorak. Ini mungkin membuktikan bahwa pasien mempunyai suatu fraktur dasar kepala yang disebut dengan “sphenoid effusion”. Frontal sinus



Ethmoid sinuses



Sphenoid sinus



Maxilari sinus



Gambar 2.1 Posisi Anterior Sinus Paranasal ( Kelley dan Peterson, 1997 )



Gambar 2.2 Posisi Lateral Sinus Paranasal ( Kelley dan Peterson, 1997 ) 2.2



Patologi Sinus Paranasal 2.2.1 Pengertian Sinusitis Sinusitis merupakan radang mukosa pada sinus paranasal. Sinusitis yang sering terjadi pada sinus maksilaris. Karena sinus maksilaris merupakan sinus terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga sekret (drainase) dari sinus maksila hanya tergantung pada gerakan silia dan dasar dari sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus olveolaris) sehingga infeksi dapat menyebabkan sinusitis maksila. (Soepardi, 2001) 2.2.2



Jenis Sinusitis a. Sinusitis Akut Sinusitis akut adalah peradangan akut mukosa pada sebagian atau seluruh sinus paranasal. Sinusitis akut dapat terjadi akibat suatu trauma misalnya pada fraktur tulang maksila dan tulang frontal, benda asing dalam hidung atau sepsis gigi (Pracy. R, 1989)



Gambaran umum dan sinusitis akut adalah penderita mula-mula mengeluh pilek, sumbatan hidung bertambah berat dan penciuman terganggu (Pracy. R, 1989) b. Sinusitis Kronik Sinusitis kronik adalah proses peradangan kronis pada mukosa dan dinding tulang sinus paranasal. Faktor penyebab sinusitis kronik diantaranya adalah Pneumatisasi sinus yang tidak memadai, lingkungan kotor dan sepsis gigi (Pracy. R, 1989) 2.3



Dasar-dasar CT-Scan CT-Scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-X, komputer dan televisi. Prinsip kerjanya yaitu berkas sinar-X yang terkolimasi dan adanya detektor. Di dalam komputer terjadi proses pengolahan dan perekonstruksian gambar dengan penerapan prinsip matematika atau yang lebih dikenal dengan rekonstruksi algorithma. Setelah proses pengolahan selesai, maka data yang telah diperoleh berupa data digital yang selanjutnya diubah menjadi data analog untuk ditampilkan ke layar monitor. Gambar yang ditampilkan dalam layar monitor selanjutnya diubah menjadi data analog untuk ditampilkan ke layar monitor. Gambar yang ditampilkan dalam layar monitor berupa informasi anatomis irisan tubuh. Pada CT-Scan prinsip kerjanya hanya dapat menggambarkan tubuh dengan irisan melintang tubuh. Namun dengan memanfaatkan teknologi komputer maka gambaran axial yang telah didapatkan dapat direformat kembali sehingga sehingga didapatkan gambaran coronal, sagital bahkan bentuk 3 dimensi dari objek tersebut. (Rasad, 2000).



2.3.1



Perkembangan CT-Scan (Rasad, 2000) Setelah Godfrey Hounsfield dari EMI Limited London dan James Ambrosse dari Atkinson Morley ‘s Hospital mulai memperkenalkan CT-Scan pada tahun 1970 di London Inggris, maka CT-Scan mengalami perkembangan yang cukup pesat. CT-Scan pada masa tersebut hanya dapat menggambarkan kepala dengan waktu pemeriksaan yang cukup lama. Pada periode-periode selanjutnya CT-Scan mengalami berbagai pembaharuan, dimulai dari CT-Scan generasi II hingga CT-Scan generasi ke IV. Pada prinsipnya pembaharuan tersebut terletak pada fungsi pemeriksaan dan waktu pemeriksaan yang semakin singkat. Pada tahun 1990, CT-Scan mengalami kemajuan yang cukup penting, yaitu mulai diperkenalkannya CT Helical atau CT-Spiral. Keunggulan dari alat ini waktu eksposi yang semakin singkat. CT Helical menggunakan metode Slip ring yang pada prinsipnya menggantikan kabel-kabel tegangan tinggi yang terpasang pada tabung sinar-X di dalam gantry yang disertai dengan pergerakan meja. Dengan metode ini, tabung sinar-X dapat berotasi secara terus menerus sambil mengeksposi pasien yang bergerak secara sinkron. Prinsip itulah yang dikenal dengan spiral. Di dalam CT Helical dikenal prinsip single slice. Perbedaan utama dari kedua prinsip ini terletak pada jumlah jalur detektor yang berpengaruh pada lamanya pemeriksaan dan resolusi gambar yang dihasilkan.



2.3.2 Komponen-komponen CT-Scan (Tortorici, 1995 ) a. Gantry Di dalam CT-Scan, pasien berada di atas meja pemeriksaan dan meja tersebut dapat bergerak menuju gantry. Gantry ini terdiri dari beberapa perangkat keras yang keberadaannya sangat diperlukan untuk menghasilkan



suatu gambaran. Perangkat keras tersebut antara lain tabung sinar-X, kolimator, dan detektor. b. Tabung Sinar-X Berdasarkan strukturnya tabung sinar-X sangat mirip dengan tabung sinar-X konvensional, namun perbedaannya terletak pada kemampuannya untuk menahan panas dan output yang tinggi. Panas yang cukup tinggi dengan elektron-elektron yang menumbuknya. Ukuran fokal spot yang cukup kecil (kurang dari 1 mm) sangat dibutuhkan untuk menghasilkan resolusi yang tinggi. c.Kolimator Kolimator berfungsi untuk mengurangi radiasi hambur, membatasi jumlah sinar-X yang sampai ke tubuh pasien serta untuk meningkatkan kualitas gambar, tidak seperti pada



pesawat radiografi konvensional. CT-Scan



menggunakan 2 buah kolimator. Kolimator pertama diletakkan pada rumah tabung sinar-X yang disebut pre pasien kolimator dan kolimator yang kedua diletakkan antara pasien dan detektor yang disebut



per detektor



kolimator atau post pasien kolimator. d. Detektor Selama eksposi, berkas sinar-X (foton) menembus pasien dan mengalami perlemahan (attenuasi). Sisa-sisa foton yang telah terattenuasi kemudian ditangkap oleh detektor. Ketika detektor menerima sisa-sisa foton tersebut, foton berinteraksi dengan detektor dan memproduksi sinyal dengan arus yang kecil yang disebut sinar output analog. Sinyal ini besarnya sebanding dengan intensitas radiasi yang diterima. Kemampuan penyerapan detektor yang tinggi akan berakibat kualitas gambar yang dihasilkan menjadi lebih



optimal. Detektor memiliki 2 tipe yaitu detektor solid stete dan detektor irisan gas. e. Meja Pemeriksaan (Couch) Meja pemeriksaan merupakan tempat untuk memposisikan pasien. Meja ini biasanya terbuat dari fiber karbon. Dengan adanya bahan ini maka sinar-x yang menembus pasien tidak terhalangi jalannya untuk menuju detektor. Meja ini harus kuat dan kokoh mengingat fungsinya untuk menopang tubuh pasien selama meja bergerak ke dalam gantry. f. Sistem Konsul Konsul tersedia dalam berbagai variasi. CT-Scan generasi awal masih menggunakan 2 sistem konsul yaitu untuk pengoperasian CT-Scan sendiri dan untuk perekaman dan pencetakan gambar. Model yang terbaru sudah memiliki banyak kelebihan dan banyak fungsi. Bagian dari sistem konsul ini yaitu : 1. Sistem Kontrol Pada bagian ini petugas dapat mengontrol parameter-parameter yang berhubungan dengan beroperasinya CT-Scan seperti pengaturan kV, mA dan waktu scanning, ketebalan irisan (Slice thickness), dan lain-lain. Juga dilengkapi dengan keyboard untuk memasukkan data pasien dan pengontrol fungsi tertentu dalam komputer. 2. Sistem Pencetakan Gambar Setelah gambar CT-Scan diperoleh, gambaran tersebut dipindahkan dalam bentuk film. Pemindahan ini menggunakan kamera multi format. Cara kerjanya yaitu kamera merekam gambaran di monitor dan memindahkannya ke dalam film. Tampilan gambaran



di film dapat



mencapai 2-24 gambar tergantung ukuran film (biasanya 8 x 10 inchi atau 14 x 17 inchi). 3. Sistem Perekaman Gambar Merupakan bagian penting yang lain dari CT-Scan. Data pasien yang telah ada disimpan dan dapat dipanggil kembali dengan cepat. Biasanya sistem perekaman ini berupa disket optik dengan kemampuan penyimpanan sampai ribuan gambar. Ada pula yang menggunakan magnetic tape dengan kemampuan penyimpanan data hanya sampai 200 gambar. 2.3.3



Parameter CT-Scan Gambaran pada CT-Scan dapat terjadi sebagai hasil dari berkas-berkas sinar-X yang mengalami perlemahan serta menembus objek, ditangkap detektor, dan dilakukan pengolahan di dalam komputer. Penampilan gambar yang baik tergantung dari kualitas gambar yang dihasilkan sehingga aspek klinis dari gambar tersebut dapat dimanfaatkan dalam rangka untuk menegakkan diagnosa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam CT-Scan dikenal beberapa parameter untuk pengontrolan eksposi dan output gambar yang optimal. a. Slice Thickness Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan dari objek yang diperiksa. Nilainya dapat dipilih antara 1 - 10 mm sesuai dengan keperluan klinis. Pada umumnya ukuran yang tebal akan menghasilkan gambaran dengan detail yang rendah, sebaliknya yang tipis akan menghasilkan gambaran dengan detail yang tinggi.



b. Range Range atau rentang adalah perpaduan atau kombinasi dari beberapa slice thickness. Sebagai contoh untuk CT-Scan thorax, range yang digunakan adalah sama yaitu 5-10 mm mulai dari apeks paru sampai diafragma. Pemanfaatan dari range adalah untuk mendapatkan ketebalan irisan yang sama pada satu lapangan pemeriksaan. c.Faktor Eksposi Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap eksposi meliputi tegangan tabung (kV), arus tabung (mA) dan waktu eksposi (s). Besarnya tegangan tabung dapat dipilih secara otomatis pada tiap-tiap pemeriksaan. Namun kadang-kadang pengaturan tegangan tabung diatur ulang untuk menyesuaikan ketebalan objek yang akan diperiksa (rentangnya antara 80 – 140 kV). Tegangan tabung yang tinggi biasanya dimanfaatkan untuk pemeriksaan paru dan struktur tulang seperti pelvis dan vertebra. Tujuannya adalah untuk mendapatkan resolusi gambar yang tinggi sehubungan dengan letak dan struktur penyusunnya. d. Field of View (FoV) Field of View adalah maksimal dari gambaran yang akan direkonstruksi. Besarnya bervariasi dan biasanya berada pada rentang 12-50 cm. FoV yang kecil maka akan mereduksi ukuran pixel (picture element), sehingga dalam proses rekonstruksi matriks gambarannya akan menjadi lebih teliti. Namun, jika ukuran FoV terlalu kecil maka area yang mungkin dibutuhkan untuk keperluan klinis menjadi sulit untuk dideteksi.



e.Gantry tilt Gantry tilting adalah sudut yang dibentuk antara bidang vertikal dengan gantry (tabung sinar-x dan detektor). Rentang penyudutan –25 0 sampai + 250. Penyudutan dari gantry bertujuan untuk keperluan diagnosa dari masing-masing kasus yang harus dihadapi. Di samping itu, bertujuan untuk mereduksi dosis radiasi terhadap organ-organ yang sensitif seperti mata. f. Rekonstruksi Matriks Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom pada picture element (pixel) dalam proses perekonstruksian gambar. Pada umumnya matriks yang digunakan berukuran 512 x 512 (5122) yaitu 512 baris dan 512 kolom. Rekonstruksi matriks ini berpengaruh terhadap resolusi gambar yang akan dihasilkan. Semakin tinggi matriks yang dipakai maka semakin tinggi resolusi yang akan dihasilkan. g. Rekonstruksi Algorithma Rekonstruksi algorithma adalah prosedur matematis (algorithma) yang digunakan dalam merekonstruksi gambar. Hasil dan karakteristik dari gambar CT-Scan tergantung pada kuatnya algorithma yang dipilih. Sebagian besar CT-Scan sudah memiliki standar algorithma tertentu untuk pemeriksaan kepala, abdomen, dan lain-lain. Semakin tinggi resolusi algorithma yang dipilih, maka semakin tinggi pula resolusi gambar yang akan dihasilkan. Dengan adanya metode ini maka gambaran seperti tulang, soft tissue, dan jaringan-jaringan lain dapat dibedakan dengan jelas pada layar monitor.



h. Window Width Window Width adalah rentang nilai computed tomography yang akan dikonversi menjadi gray levels untuk ditampilkan dalam TV monitor. Setelah komputer menyelesaikan pengolahan gambar melalui rekonstruksi matriks dan algorithma maka hasilnya akan dikonversi menjadi skala numerik yang dikenal dengan nama nilai computed tomography. Nilai ini mempunyai satuan HU (Hounsfield Unit) yang diambil dari nama penemu CT-Scan kepala pertama kali yaitu Godfrey Hounsfield. Berikut ini tabel nilai CT pada jaringan yang berbeda penampakannya pada layar monitor (Bontrager, 2001) Tipe jaringan



Nilai CT (HU)



Penampakan



Tulang



+1000



Putih



Otot



+50



Abu-abu



Materi putih



+45



Abu-abu menyala



Materi abu-abu



+40



Abu-abu



Darah



+20



Abu-abu



CSF



+15



Abu-abu



Air



0



Lemak



-100



Abu-abu gelap ke hitam



Paru



-200



Abu-abu gelap ke hitam



Udara



-1000



Hitam



Dasar pemberian nilai ini adalah air dengan nilai 0 HU. Untuk tulang mempunyai nilai +1000 HU kadang sampai + 3000 HU. Sedangkan untuk kondisi udara nilai yang dimiliki – 1000 HU. Diantara rentang tersebut merupakan jaringan atau substansi lain dengan nilai berbeda-beda pula



tergantung pada tingkat perlemahannya. Dengan demikian penampakan tulang dalam monitor menjadi putih dan penampakan udara hitam. Jaringan dan substansi lain akan dikonversi menjadi warna abu-abu yang bertingkat yang disebut Gray Scale. Khusus untuk darah yang semula dalam penampakannya berwarna abu-abu dapat menjadi putih jika diberi media kontras Iodine. i. Window Level Window level adalah nilai tengah dari window yang digunakan untuk penampakan gambar. Nilainya dapat dipilih tergantung pada karakteristik perlemahan dari struktur objek yang diperiksa. Window level ini menentukan densitas gambar yang akan dihasilkan. 2.4



Teknik Pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal 2.4.1 Pengertian Teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal merupakan pemeriksaan radiologi untuk mendapatkan gambaran irisan dari sinus paranasal baik secara axial maupun coronal. CT-Scan Sinus Paranasal akan memberikan pandangan yang memuaskan atas sinus dan dapat menilai opasitas, penyebab, dan jenis kelainan dari sinus. CT-Scan Sinus Paranasal cukup baik dalam memperlihatkan dekstruksi tulang dan mempunyai peranan penting dalam perencanaan terapi serta menilai respon terhadap radioterapi. Hal-hal tersebut merupakan kelebihan CT-Scan Sinus Paranasal dibandingkan dengan foto polos Sinus Paranasal biasa. (Amstrong, 1989)



2.4.2 Indikasi Pemeriksaan a. Sinusitis Pada kasus sinusitis, CT-Scan Sinus Paranasal akan menampakkan penebalan mukosa, air-fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, dan penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik). b. Infeksi atau alergi Udara dalam sinus digantikan oleh cairan/ mukosa yang menebal hebat atau kombinasi keduanya. c. Mukokel Merupakan sinus yang mengalami obstruksi. CT-Scan Sinus Paranasal jelas memperlihatkan ukuran dan luas mukokel. d. Karsinoma sinus atau rongga hidung CT-Scan Sinus Paranasal baik dalam menampakkan dekstruksi tulang akibat tumor, luas dan invasi tumor.(Amstrong, 1989) 2.4.3



Prosedur Pemeriksaan a. Persiapan Pasien ( Seeram, 2001 ) Persiapan pasien untuk pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal adalah sebagai berikut : 1. Semua benda metalik harus disingkirkan dari daerah yang diperiksa, termasuk anting, kalung, dan jepit rambut. 2. Pasien harus diinstruksikan agar puasa ± 3 jam sebelum pemeriksaan dilakukan



apabila



menggunakan



media



penggunaannya harus dijelaskan kepada pasien.



kontras



dan



alasan



3. Jika menggunakan media kontras, Komunikasikan kepada pasien tentang prosedur pemeriksaan sejelas-jelasnya (inform consent) agar pasien nyaman dan mengurangi pergerakan sehingga dihasilkan kualitas gambar yang baik. b. Persiapan Alat dan Bahan Alat dan bahan untuk pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus sinusitis diantaranya : 1. Pesawat CT-Scan 2. Alat-alat fiksasi kepala Biasanya pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus sinusitis dilakukan tanpa menggunakan media kontras. (Ballinger, 1995) c. Teknik Pemeriksaan Pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus sinusitis menggunakan dua jenis potongan , yaitu potongan axial dan potongan coronal. ( Ballinger, 1995 ) 1. Potongan Axial a) Posisi pasien :



pasien berbaring supine di atas meja pemeriksaan. Kedua lengan di samping tubuh, kaki lurus ke bawah dan kepala berada di atas headrest (bantalan kepala ). Posisi pasien diatur senyaman mungkin.



b) Posisi objek :



kepala diletakkan tepat di terowongan gantry, mid sagital plane segaris tengah meja. Mid axial kepala tepat pada sumber terowongan gantry. (Weisberg, 1984)



Gambar 2.4 Posisi Pasien Potongan Axial (Amstrong, 1989) 2. Potongan Coronal Potongan coronal merupakan teknik khusus. a) Posisi pasien



:



pasien berbaring prone di atas meja pemeriksaan dengan bahu diganjal bantal. Kepala digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dengan membidik menuju vertikal. Gantry sejajar dengan tulang-tulang wajah.



b) Posisi objek



:



kepala tegak atau digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dan diberi alat fiksasi agar tidak bergerak. (Lowge, 1989)



Gambar 2.5 Posisi Pasien Potongan Coronal (Amstrong, 1989) d. Scan Parameter Scanogram



: cranium lateral



Slice thickness axial



: 5 mm



coronal : 3 mm ( Seeram, 2001 ) Range axial



: 5 mm di bawah sinus maksilaris sampai sinus frontalis



coronal : 5 mm posterior sinus sphenoideus sampai sinus frontalis ( Ballinger, 1995 ) Standar algoritma axial



: algoritma tulang



coronal : algoritma standar kV



: 130



mAs



: 60 ( Seeram, 2001)



Gambar yang dihasilkan dalam pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal adalah sebagai berikut : ( Kelley dan Petersen, 1997 )



Gambar 2.6 Potongan axial I Keterangan : iNC (inferior nasal conchae) ,M (maksila) , MS ( Maksilari Sinus ), NaS (Nasal septum), Z (Zygoma)



SpS



Gambar 2.7 Potongan axial II Keterangan : E (Ethmoid Bone), L (Lacrimal bone), sOF (superior orbital fissure), SpS (Sphenoid Sinus), Z (Zygoma)



EtS



Gambar 2.8 Potongan axial III Keterangan : aCL (anterior clinoid process), DS (dorsum sella), EtS (Ethmoid Sinuses), OpC (optic canal), Z (Zygoma)



FrS



Gambar 2.9 Potongan axial IV Keterangan : FrS (Frontal Sinus)



Gambar 2.10 Potongan coronal I Keterangan : aCL (anterior clinoid process), FR (foramen rotundum), mNC (middle nasal conchae), sOF (superior orbital fissure), SpS (Sphenoid Sinus)



EtS



MS



Gambar 2.11 Potongan coronal II Keterangan : EtB (Ethmoid Bone), EtS (Ethmoid Sinuses), Inf (Infundibulum), mME (middle meatus), MS (Maksilari Sinus)



Gambar 2.12 Potongan coronal III Keterangan : EtS (Ethmoid Sinuses), MS (Maksilari Sinus)



Gambar 2.13 Potongan coronal IV Keterangan : FrS (Frontal Sinus), N (nasal bone), Per (perpendicular plate of ethmoid), S (septum)



BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1



Paparan Kasus 3.1.1



Identitas Pasien Nama



: Ny. J



Umur



: 43 tahun



Jenis kelamin



: Perempuan



No. Registrasi



: 16-02XXX



Tanggal pemeriksaan : 5 Februari 2016



3.1.2



Unit



: Rawat Jalan



Pemeriksaan



: CT Scan Sinus Paranasal NC



Riwayat



:



Diagnosa



: Sinusitis maksilaris



Riwayat Penyakit Pasien mengeluh pusing di daerah kening sejak beberapa bulan terakhir. Dan selama satu bulan terakhir, pasien mengalami pilek yang tak kunjung sembuh. Pada tanggal 3 Februari 2016, pasien berobat ke dokter THT. Atas permintaan dokter dilakukan pemeriksaan CT-Scan sehingga pada tanggal 5 Februari 2016 pasien menjalani pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan diagnosa awal sinusitis maksilaris.



3.2



Tata Laksana Pemeriksaan 3.2.1



Prosedur Pemeriksaan 1.



Pesawat CT-Scan generasi III, yang mempunyai spesifikasi : Merk



: Siemens



Tipe



: Somatom Emotion Single Slice



3.2.2



Serial no



:



kV maks



: 130 kV



mA maks



: 245 mA



Tahun pemasangan



: 2004



2.



Alat fiksasi ( head clam dan body clam)



3.



Selimut



4.



Film CT-Scan (Dry View 8100 ) ukuran 35x43 cm



Persiapan Pasien 1. Pasien dan atau keluarganya diberikan penerangan mengenai tujuan dan prosedur pemeriksaan sampai dapat memahami manfaat dan resiko pemeriksaan sehingga memberikan persetujuan tentang pemeriksaan yang akan dilakukan. 2. Sebelum pemeriksaan dilakukan, semua material penyebab artefak di daerah kepala pasien (bila ada) dilepas terlebih dahulu. 3. Pasien tidak perlu melakukan persiapan puasa sebelum pemeriksaan karena pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan diagnosa sinusitis tidak menggunakan media kontras.



3.3



Teknik Pemeriksaan 3.3.1



Posisi Pasien 1. Pasien tidur supine pada meja pemeriksaan dengan kedua tangan disamping tubuh. 2. Kepala diposisikan diatas headrest dan berada di pertengahan gantry dengan tinggi meja ± 160. Kepala diberi fiksasi untuk mencegah pergerakan.



3.3.2



Posisi obyek



1. Mengatur mid sagital plane kepala segaris dengan pertengahan meja. Sebisa mungkin dasar palatum diatur sejajar dengan bidang vertikal atau sejajar gantry. 2. Mengatur meja pemeriksaan sehingga lampu kolimator jatuh pada verteks. 3. Mengatur kedua tangan pasien berada di samping tubuh. Untuk kenyamanan pasien, petugas menyelimuti pasien untuk mencegah hipotermi dan memfiksasi lutut pasien dengan menggunakan body clam. 3.3.3



Scan Parameter 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.



3.4



Scanogram Range Slice thickness FoV Gantry tilt Pitch Scan time kV mAs



: Cranium Lateral : Dasar palatum hingga superior sinus frontalis : 5mm : 244mm : 0° : 0.9 : 10,03s : 120 : 70



Rekonstruksi Gambar Rekonstruksi gambar dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih informatif agar lebih akurat dalam menegakkan diagnosa. Potongan axial direcon dengan ketebalan irisan yang lebih tipis, kernel yang tajam, dan juga window sinus. Setelah di simpan dalam bentuk data 3D lalu di kirim ke menu 3D MPR. Di menu 3D MPR dibuat potongan coronal. Di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Gading Pluit Jakarta untuk pasien dengan klinis sinusitis gambaran yang disajikan cukup axial dan coronal dengan window sinus karena sudah cukup informatif dalam menegakkan diagnosa.



3.5



Pembahasan Teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Gading Pluit Jakarta kebanyakan dilakukan tanpa media kontras. Diawali dengan persiapan pasien yaitu dengan melepaskan benda-benda penyebab artefak yang ada di



daerah kepala. Lalu dilanjutkan dengan memposisikan pasien sesuai dengan jenis potongan yang akan dibuat. Pemeriksaan dengan klinis ini, dibuat dengan dua jenis potongan yaitu axial dan coronal. Pada potongan axial, pasien diposisikan telentang pada meja pemeriksaan dengan MSP tubuh dan kepala segaris dengan tengah meja. Kemudian dilakukan pengaturan parameter CT-Scan Sinus Paranasal yaitu dengan range sinus frontalis hingga sinus maksilaris, slice thickness sebesar 5 mm dan tidak merotasikan gantry. Pada potongan coronal, tidak dilakukan dengan memposisikan pasien prone diatas meja pemeriksaan melainkan hasil dari rekonstruksi data dari potongan axial karena sudah menggunakan pesawat multi slice CT-Scan. Dari hasil pengamatan penulis selama praktek, pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Gading Pluit Jakarta pada dasarnya sudah sesuai dengan teori karena pada pemeriksaan ini telah menggunakan dua jenis potongan yaitu axial dan coronal serta dalam tata laksana pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal, petugas telah berpedoman pada prosedur tetap yang sesuai dengan teori. Untuk potongan coronal tidak dilakukan dengan memposisikan pasien prone diatas meja pemeriksaan melainkan hasil dari rekonstruksi data dari potongan axial karena sudah menggunakan pesawat multi slice CT-Scan. Kedua potongan tersebut ditampilkan dalam window sinus kemudian diatur nilai window width 1900 dan window level 30.



BAB IV PENUTUP 4.1



Kesimpulan Dari pembahasan teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Gading Pluit Jakarta, penulis menarik kesimpulan bahwa pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal pada pasien dengan klinis sinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Gading Pluit Jakarta selalu



menggunakan protocol pemeriksaan sinus paranasal rutin, yaitu dengan potongan axial setebal 5 mm tiap potongan dan potongan coronal dari hasil rekonstruksi potongan axial. Hal ini dengan tujuan agar semua sinus beserta detail dan penyebab kelainannya dapat terlihat jelas guna menegakkan diagnosa.



4.2



Saran Sebaiknya petugas menjelaskan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan kepada pasien secara lebih jelas, agar pasien dapat bekerjasama, sehingga akan memperlancar jalannya pemeriksaan.



DAFTAR PUSTAKA Amstrong, Peter. 1989. Diagnostic Imaging. Second Edition. EGC. Jakarta. Balllinger, P. W. 1995. Merill’s Atlas of Radiographic Positioning and Radiologic Prosedur. Volume Two. Eight Edition. Mosby Company, St Louis. Bontrager, Kenneth L. 2001. Text Book of Radiographic Positioning and Related Anatomy. Mosby A Harcourt Science Company, St . Louis London Philadelphia Sydey Toronto.



Kelley, Lorrie dan Petersen, Connie. 1997. Sectional Anatomy for Imaging Professionals. Mosby Year Book, Inc. USA. Llawge, Sebastian. 1989. Cerebral and Spinal Computerized Tomography. Copy right by Schering. West Germany. Pracy, R. J. Siegar, Stell PM. 1989. Pelajaran Ringkas Telinga , Hidung dan Tenggorokan. Gramedia. Jakarta. Rasad, S. 1992. Radiologi Diagnostik. FKUI. Jakarta. Rasad, S. 2000. Radiologi Diagnostik. FKUI. Jakarta. Seeram, Euclid. 2001. Computed Tomography Physical Principles, Clinical Applications, and Quality Control. Second Edition. W.B Saunders Company. USA. Soepardi. A, E, dan Iskandar, N. 2001. Buku Ajar Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Edisi Lima. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Tortorici, M.R, 1995. Advance Radiographic and Angiographic Procedures with an Introduction to Specialized Imaging. F.A. Davis Company. Philaelphia. Weisberg, Leon A. 1984. Cerebral Computed Tomography A Text Atlas. Second Edition. W. B. Saunders Company. Philadelphia, London.