Laporan Magang Profesi Dokter Hewan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KEGIATAN KOASISTENSI MAGANG PROFESI DOKTER HEWAN DI PT KARYA ANUGERAH RUMPIN (KAR) – BOGOR Tanggal 27 Maret – 01 April 2017



Oleh : Agustina Viktoria Tae, S. KH



(1109012001)



Charolina E. L. Tang, S. KH



(1109011018)



Marlin C. C. Malelak, S. KH



(1109012035)



Joel C. Lasibey, S. KH



(1009015045)



Albinus P. Ticho, S. KH



(1009015041)



Derry H. Saek, S. KH



(1009012015)



PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG 2017



BAB I PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang Sapi merupakan hewan ternak yang umum dipelihara dan digunakan sebagai salah satu mata pencaharian mayarakat. Sapi biasanya dipelihara untuk diambil tenaga, daging dan susunya. Selain itu, sapi juga mengeluarkan hasil sampingan berupa kotoran padat (feses) dan kotoran cair (urin) dari alat pencernaan. Ternak sapi potong dapat ditemukan hampir di seluruh pejuru dunia dengan berbagai macam pemeliharaan tergantung pada kondisi setempat. Di Indonesia, penyebaran ternak sapi potong belum merata. Ada beberapa daerah yang sangat padat, ada yang sedang, tetapi ada yang sangat jarang dan terbatas populasinya. Tentu saja hal ini dikarenakan beberapa faktor, antara lain faktor pertanian atau lahan, kepadatan penduduk, iklim, adat istiadat dan agama. Ternak sapi potong di Indonesia sebagai salah satu sumber makanan berupa daging, produktifitasnya masih sangat memprihatinkan karena jumlahnya masih jauh dari target yang diperlukan kosumen. Bibit merupakan salah satu faktor yang menentukan dan mempunyai nilai strategis



dalam



upaya



pengembangan



sapi



potong.



Kemampuan



penyediaan atau produksi bibit sapi potong dalam negeri masih perlu ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Untuk itu, maka dibutuhkan partisipasi dan kerjasama antara pemerintah, masyarakat peternak dan stakeholders terkait. PT. Karya Anugerah Rumpin (KAR) adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang pembibitan (breeding) dan penggemukan ternak sapi (feedlot). PT. KAR dibangun dengan visi untuk membantu pemerintah dalam menghasilkan jenis ternak yang berkualitas. Misi dari PT. KAR adalah untuk tetap fokus dengan visinya, menetapkan tujuan untuk menjadi salah satu perusahaan swasta yang dapat memberikan bantuan dalam menyediakan bibit-bibit ternak yang berkualitas di



Indonesia, berbagi ilmu dengan para calon peternak Indonesia, dan juga membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk Indonesia. Pengembangbiakkan ternak yang dilakukan oleh PT. KAR adalah untuk sapi-sapi yang berasal dari ras sapi asli Indonesia seperti Sapi Madura dan Sapi Bali, ataupun ras sapi dari luar Indonesia seperti sapi Simmental, Limousin, Brangus, Angus, Wagyu dan juga sapi Ongole. Program breeding PT. KAR terdiri dari produksi sperma ternak, inseminasi buatan, transfer embrio serta pemeliharaan pedet, sapi pejantan dan sapi betina. Feedlot atau penggemukan merupakan bagian dari program PT. KAR untuk mendukung swasembada daging nasional. Melalui feedlot, sapi feeder digemukkan dan dikirim ke Rumah Potong Hewan untuk kemudian diproses menjadi daging segar. Feedlot merupakan usaha budidaya ternak dalam waktu tertentu dengan cara membeli bakalan dan kemudian diberi pakan pada batas waktu tertentu untuk meningkatkan bobot badan ternak. Ternak dipelihara dalam satu koloni besar, baik pakan maupun kondisi ternak dipantau dengan baik sesuai standar operasional prosedur yang berlaku. Dalam menjalankan program penggemukkan ternak, PT. KAR selalu memperhatikan 4 hal yang dapat menentukan keberhasilan program feedlot, yaitu genetika ternak, kualitas pakan ternak, management peternakan dan lingkungan peternakan. Magang profesi dokter hewan merupakan salah satu program yang dijalan oleh Program Studi Pendidikan Dokter Hewan (PPDH) Undana dengan tujuan untuk menghasilkan seorang dokter hewan yang memiliki kualitas ilmu di bidang medik veteriner serta untuk meningkatkan kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman sesuai dengan bidang ilmu. Salah satu tempat yang dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran untuk meningkatkan wawasan dan pengalaman bagi mahasiswa kedokteran hewan adalah PT. KAR, yang diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan serta kemampuan/keahlian baik itu hardskill maupun softskill.



1.2. Tujuan 1. Meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dalam bidang manajemen feedlot ternak sapi potong yang dilakukan di PT. KAR 2. Meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dalam bidang manajemen breeding ternak sapi potong yang dilakukan di PT. KAR 3. Meningkatkan pengetahuan dalam manajemen pemeliharaan ternak sapi potong yang dilakukan di PT. KAR, meliputi pakan, perkandangan dan pengolahan limbah 4. Mengetahui manajemen kesehatan sapi potong yang diterapkan di PT. KAR



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Bangsa Sapi Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan susu dan 85% kebutuhan kulit. Sapi berasal dari famili Bovidae, seperti halnya bison, banteng, kerbau (Bubalus), kerbau Afrika (Syncherus), dan Anoa (Sugeng, 2003). Menurut Sugeng (2003), domestikasi sapi mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika dan ke seluruh wilayah Asia. Menjelang akhir abad ke-19, sapi Ongole dari India dimasukkan ke Pulau Sumba dan sejak saat itu pulau tersebut dijadikan tempat pembiakan sapi Ongole murni. Sapi merupakan salah satu genus dari Bovidae. Ada beberapa sapi jenis primitif yang telah mengalami domestikasi. Sapi-sapi ini digolongkan menjadi 3 kelompok yaitu: 1. Bos indicus Bos indicus (Zebu : sapi berpunuk) saat ini berkembang biak di India, dan akhirnya sebagian menyebar ke berbagai negara, terlebih di daerah tropis seperti Asia Tenggara (termasuk Indonesia), Afrika, dan Amerika. Di Indonesia terdapat sapi keturunan Zebu, yakni sapi Ongole dan Peranakan Ongole (PO) serta Brahman. 2. Bos taurus Bos Taurus adalah bangsa sapi yang menurunkan bangsa-bangsa sapi potong dan sapi perah di Eropa. Golongan ini akhirnya menyebar ke berbagai penjuru dunia seperti Amerika, Australia dan Selandia Baru. Belakangan ini, sapi keturunan Bos taurus telah banyak dikembangkan di Indonesia, misalnya Aberdeen Angus, Hereford, Shorthorn, Charolais, Simmental dan Limousin. 3. Bos sondaicus (bos Bibos) Golongan ini merupakan sumber asli bangsa-bangsa sapi di Indonesia. Sapi yang sekarang ada di Indonesia merupakan keturunan banteng (Bos bibos),



yang sekarang dikenal dengan nama Sapi Bali, Sapi Madura, Sapi Jawa, Sapi Sumatera dan sapi lokal lainnya. Menurut Sugeng (2003), penyebaran sapi ternak di Indonesia belum merata. Ada daerah yang sangat padat, ada yang sedang dan ada yang jarang atau terbatas populasinya. Ada beberapa faktor penyebab tingkat populasi sapi di Indonesia, yaitu faktor pertanian dan penyebaran penduduk, faktor iklim, adat istiadat dan agama. 2.1.1. Sapi Potong Hardjosubroto (1994) mengemukakan bahwa, produktivitas dan reproduksi ternak dipengaruhi oleh faktor genetik 30% dan lingkungan 70%. Beberapa sapi potong yang saat ini banyak terdapat di Indonesia antara lain: sapi Bali, sapi Madura, sapi Sumba Ongole (SO), sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Pasundan, sapi Limousin, Sapi Simmental, sapi Angus, sapi Brangus, sapi Arbedeen Angus,



sapi



Brahman, sapi Charolise, sapi Wagyu, sapi Belgian Blue, dan sapi BX. a. Sapi Bali Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari Banteng (Bos-bibos) (Hardjosubroto, 1994). Sapi Bali mempunyai kemampuan reproduksi tinggi, dan dapat digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan ladang (Putu et al., 1998; Moran, 1990), daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan persentase kelahiran dapat mencapai 80 persen (Tanari, 2001) serta sapi induk (betina) mampu melahirkan setahun sekali. Selain itu, kualitas dagingnya sangat baik dengan persentase karkas (daging dan tulang dalam, tanpa kepala, kaki dan jeroan) mencapai 60 persen. Hardjosubroto (1994), Sapi Bali memiliki beberapa kekurangan yaitu pertumbuhannya lambat, peka terhadap penyakit Jembrana, penyakit ingusan (Malignant Catarrhal Fever) dan Bali ziekte. b. Sapi Madura Sapi Madura adalah salah satu bangsa sapi Indonesia, banyak didapatkan di Pulau Madura mempunyai ciri berpunuk, berwarna



kuning hingga merah bata, terkadang terdapat warna putih pada moncong, ekor, dan kaki bawah. Jenis sapi ini mempunyai daya pertambahan berat badan rendah. Salah satu kelebihan sapi Madura adalah tahan terhadap kondisi pakan yang berkualitas rendah. Namun ada kecenderungan bahwa mutu sapi Madura menurun produktivitasnya atau terjadi pergeseran nilai (produktivitas) dari waktu ke waktu, yang sampai saat ini penyebabnya belum diketahui dengan jelas. Menurut Hardjosubroto (1994), bahwa umur pertama kali kawin sapi Madura pada pejantan 2,6 tahun, sedangkan pada betina 2,1 tahun. c. Sapi Sumba Ongole (SO) Sapi Ongole memiliki cici-ciri berwarna putih dengan warna hitam di beberapa



bagian tubuh, bergelambir dan berpunuk, dan daya



adaptasinya baik. Jenis sapi



ini telah disilangkan dengan sapi



Madura, keturunannya disebut Peranakan Ongole (PO) cirinya sama dengan sapi Ongole tetapi kemampuan produksinya lebih rendah (Sugeng, 2003). Menurut Hardjosubroto (1994), umur pertama kali kawin sapi ini rata-rata adalah 27,72 bulan. Sapi Peranakan Ongole nilai S/C 1,28, dan nilai Conception Rate (CR) 75,34 %. d. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi PO merupakan hasil persilangan antara sapi lokal Dengan sapi Ongole dari



India yang telah lama memegang peranan penting



dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi di Indonesia (Santoso, 2009). Sapi PO memiliki kemampuan adaptasi lingkungan yang tinggi dan masih dapat berproduksi walaupun dengan kondisi pakan yang terbatas. Ciri fisik sapi PO yaitu: memunyai bulu kelabu sampai kehitam-hitaman bagian kepala,leher,dan lutut berwarna gelap sampai hitam,namun pada sapi betina berwarna putih.Profil dahi sapi PO cembung, bertanduk pendek,berpunuk besar, serta memiliki gelambir dan lipatan kulit dibawah leher sampai



perut,bobot badan sapi jantan berkisar 550 kg sedangkan betina bobot bekisar 350 kg (Siregar,2008) e. Sapi Pasundan Sapi Pasundan merupakan sapi lokal di Jawa Barat yang diresmikan pada tahun 2014 oleh Menteri pertanian (mentan), sebagai rumpun baru berdasarkan SK Nomor 1051/kpts/SR.120/10/2014. Sapi Pasundan secara historik lebih dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi rancah dan nama lokal lainnya. Sebaran sapi Pasundan salah satunya terdapat di wilayah buffer zone hutan priangan utara Jawa Barat terutama di Kabupaten Indramayu yaitu di Kecamatan Gantar dan Kecamatan Terisi yang merupakan Village Breeding Center(VBC) yaitu tempat pusat pengembangan bibit yang berbasis di pedesaan. Wilayah ini diketahui memiliki kondisi temperatur lingkungan yang tinggi, dan pada saat musim kemarau penyedian pakan hijauan sangat terbatas. Menurut Indrijani dkk, (2013) menyatakan bahwa diantara keunggulan dari sapi lokal, yaitu mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar, seperti terhadap pengaruh iklim(cekaman), lebih tahan terhadap penyakit di wilayah tropis seperti caplak, dan parasit cacing. Pemeliharaan secara ekstensif atau semi intensif yang hanya seadanya memanfaatkan pakan di sekitar wilayahnya dan penyesuaian dengan lingkungan tersebut menyebabkan performan dari sapi Pasundan secara eksterior kecil. f. Sapi Limousin Sapi Limousin merupakan sapi keturunan Bos Taurus yang berhasil dijinakkan dan dikembangkan di Perancis Tengah bagian selatan dan barat. Sapi ini sering



digunakan sebagai sapi pekerja, namun



kemudian berubah menjadi sapi pedaging karena sapi ini memiliki ukuran tubuh besar. Bobot badan betina mencapai 650 kg dan yang jantan 1.000 kg (Blakely dan Bade, 1998; Thomas, 1991). Pane (2006) menyatakan bahwa sapi Limousin mempunyai karakteristik



sebagai berikut: warna bulu merah kecokelatan tanpa ada warna putih, kecuali pada bagian ambing. Pada bagian lutut ke bawah berwarna agak muda dan umum nya terdapat bentuk lingkaran berwarna agak muda di sekeliling mata. g. Sapi Simental Sapi Simental berasal dari Switzerland. Sapi ini memiliki ciri-ciri yaitu ukuran tubuh besar; pertumbuhan otot bagus; penimbunan lemak di bawah kulit rendah, warna bulu pada umumnya krem agak cokelat atau sedikit merah; muka, keempat kaki dari lutut, dan ujung ekor berwarna putih. Ukuran tanduk kecil, bobot sapi betina mencapai 800 kg dan yang jantan 1.150 kg (Sugeng, 1998). Menurut Susilorini (2008), sapi Simental mempunyai sifat jinak, tenang dan mudah dikendalikan. h. Sapi Aberdeen Angus Sapi ini merupakan sapi tipe potog ketruunan Bos Taurus yang berasal dari Scotlandia Utara. Sapi ini masuk ke Amerika Serikat pada tshun 1873. Selain menyebar ke Amerika juga ke Australia. Dari Australia pada tahun 1973 dimasukkan ke Indonesia. Ciri khasnya berwarna hitam, bobot hampir mencapai 1.000 kilogram dan tidak bertanduk. Memiliki ciri-ciri berwarna hitam seluruh tubuh, leher pendek, telinga pendek penuh bulu, punggung lurus, badan kompak dan padat, kaki kuat dan kokoh, sangat cocok dipelihara di daerah beriklim sedang. Keunggulan sapi ini adalah memiliki tubuh yang besar dan kompak, pertumbuhan yang cepat, berat badan dewasa > 900 kg, presentase karkas tinggi, agak sedikit berlemak (BBIB Singosari Web, 2014) i. Sapi Brangus Sapi Brangus merupakan hasil persilangan antara Brahman dan Aberdeen Angus dan merupakan tipe sapi potong. Ciri-ciri yang dimiliki sapi ini adalah bulunya halus dan pada umumnya berwarna hitam atau merah. Sapi ini juga bertanduk, bergelambir, dan



bertelinga kecil. Sapi ini juga berpunuk, tetapi kecil. Berat sapi betina mencapai 900 kg, dan jantan 1.100 kg (Sugeng, 2003). j. Sapi Brahman Sapi Brahman merupakan sapi keturunan Bos Indicus yang berhasil dijinakkan di India, kemudian diseleksi dan dikembangkan genetiknya melalui penelitian yang cukup lama. Sampai saat ini, sebagian besar bibit sapi Brahman Amerika Serikat diekspor ke berbagai negara, termasuk Indonesia (Murtidjo, 2000). Sapi Brahman termasuk tipe sapi pedaging yang baik dari daerah tropis. Andoko (2012) mengatakan bahwa sapi ini dapat tumbuh dengan baik walaupun daerah yang kurang subur. Hal ini terjadi karena pakan sapi Brahman cukup sederhana. Sapi Brahman memiliki karakteristik : bobot badan sapi pejantan berkisar antara 724-996 kg, sedangkan yang betina 453-634 kg. Tekstur kulit sapi Brahman longgar, halus dan lemas dengan ketebalan sedang. Ukuran punuk pada sapi jantan relatif besar, sedangkan pada yang betina lebih kecil. Sapi Brahman tahan terhadap cuaca panas dan tahan terhadap gigitan nyamuk. k.



Sapi Wagyu Sapi Wagyu berasal dari kata Wa dan Gyu. Wa berarti jepang, Gyu berarti sapi. Jenis sapi Wagyu memang dikembangkan dari Jepang, tepatnya di wilayah Kobe. Sapi tersebut merupakan sapi bertanduk yang berambut hitam dan merah. Kualitas daging paling baik dimiliki oleh Wagyu berbulu hitam. Betisnya kuat dengan berat ratarata ketika lahir sekitar 70 ponds. Ternak Wagyu dibesarkan dalam sebuah lokasi penggemukan selama 300 hingga 600 hari untuk menghasilkan kadar lemak otot yang tinggi. Secara umum, semakin tinggi lemak otot di sepanjang daging, semakin tinggi kualitas daging secara keseluruhan. Banyak yang mengatakan daging sapi Wagyu mempunyai kualitas nomor satu di dunia. Hal ini yang menyebabkan harganya mahal (Agus, 2012)



l.



Sapi Belgian Blue Sapi Belgian blue berasal dari persilangan sapi lokal dengan sapi jenis Shorthorn yang berasal dari Inggris. Dari persilangan ini didapatkan mutasi alami gen yang mengkode myostatin, yaitu protein yang berperan dalam perkembangan otot. Mutasi gen ini mengakibatkan pertumbuhan otot yang lebih cepat sehingga menghasilkan daging lebih banyak dengan sedikit lemak. Gen yang telah bermutasi secara alami ini dipertahankan dengan cara persilangan lebih lanjut untuk mendapatkan galur murninya. Sapi Belgian blue memiliki organ dalam dan kulit 15% lebih kecil dibanding sapi biasa sehingga sapi ini tidak dapat banyak makan rumput. Oleh karena itu sapi ini hanya makan pakan olahan seperti jerami dan konsentrat yang terbuat dari biji-bijian dan kedelai. Hal ini terlihat dari tingginya persentase daging yang dihasilkan setelah dipotong dan dihilangkan tulangnya yang mencapai 82%. Ini berarti bahwa sapi ini menghasilkan daging lebih banyak dan menghasilkan sedikit limbah atau hasil samping (kotoran, kulit, organ dalam, dll). Perkembangbiakan sapi Belgian blue umumnya dilakukan dengan inseminasi buatan. Sapi Belgian blue betina mengalami pubertas lebih awal dibanding sapi lainnya. Dia dapat bunting pertama pada usia 29-30 bulan. Periode kehamilan sapi Belgian blue juga relatif lebih singkat, yaitu sekitar 281-283 hari. Anak sapi yang dilahirkan rata-rata memiliki berat 44 kg untuk anak sapi betina dan 47 kg untuk anak sapi jantan.



m. Sapi Brahman Cross (BX) Sapi Brahman Cross (BX) pada awalnya dikembangkan di stasiun CSIRO’S Tropical Cattle Research Centre di Rockhampton, Australia.



Materi



dasarnya



adalah



sapi



American



Brahman,Hereford,dan Shorthorn. Sapi BX memunyai proporsi 50% darah Brahman, 25% darah Hereford, dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik, bentuk fenotip sapi BX cenderung mirip sapi American



Brahman karena proporsi darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir masih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung, sedangkan warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya (Turner,1977). Sapi BX memiliki warna abu-abu muda tetapi ada pula yang berwarna merah atau hitam.Warna pada jantan lebih gelap daripada betina,ukuran tanduk sedang,lebar,dan besar. Kulit longgar,halus,dan lemas dengan ketebalan sedang ukuran punuk pada jantan besar sedangkan pada betina kecil. Kisaran boot badan sapi betina mencapai 750 kg dan yang jantan 1.000 kg.Sapi ini tahan terhadap cuaca panas dan tahan terhadap gigitan nyamuk (Murtidjo,2000). 2.1.2. Sapi Perah Sapi perah yang paling banyak diternakan di Indonesia adalah sapi Friesian Holstein (FH). Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi



North Holland dan West



Friesland negeri Belanda yang memiliki temperatur lingkungan kurang dari 22 0C (Blakely dan Bade, 1994). Menurut AAK (1995), sapi FH memiliki ciri-ciri tenang dan jinak sehingga mudah dikuasai, terdapat warna putih berbentuk segitiga di daerah dahi, kepala besar dan sempit; dada, perut bagian bawah, dan ekor berwarna putih; ambing besar; warna bulu hitam dengan bercak putih, tidak tahan panas; tanduk pendek dan menjurus ke depan. Menurut Rustamadji (2004), sapi FH memiliki warna cukup terkenal, yaitu belang hitam putih dengan pembatas yang jelas dan tidak ada warna bayangan serta mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga bangsa sapi ini dapat dijumpai hampir di seluruh dunia. Sapi FH betina dewasa memiliki bobot badan 628 kg sedangkan untuk FH jantan adalah 1.000 kg (Sudono dkk., 2003). Sapi FH memiliki rata-rata produksi susu tertinggi dengan kadar lemak susu terendah diantara bangsa sapi perah lainnya.



2.2. Manajemen Pemeliharaan 2.2.1. Manajemen Perkandangan Kandang bagi ternak merupakan sarana yang mutlak harus ada (Direktorat Jenderal Peternakan, 1985). Kandang merupakan tempat berlindung ternak dari hujan, terik matahari, pengamanan ternak terhadap binatang buas, pencuri dan sarana untuk menjaga kesehatan. Fungsi kandang adalah sebagai berikut : 1. Melindungi ternak dari perubahan cuaca atau iklim yang ekstrem (panas, hujan dan angin). 2. Mencegah dan melindungi ternak dari penyakit. 3. Menjaga keamanan ternak dari pencurian. 4. Memudahkan pengelolaan ternak dalam proses produksi seperti pemberian pakan, minum, pengelolaaan kompos dan perkawinan. 5. Meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga kerja. Persyaratan teknis menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006) yaitu : 1. Konstruksi kandang harus kuat 2. Terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh 3. Sirkulasi udara dan sinar matahari cukup 4. Drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan 5. Lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering dan tahan injak 6. Luas kandang memenuhi persyaratan daya tamping 7. Kandang isolasi dibuat terpisah Lokasi pemeliharaan dapat dilakukan pada dataran rendah (100-500 m) hingga dataran tinggi (> 500m). Temperatur di sekitar kandang 25-40 0C (rata-rata 33 0C) dan kelembaban 75%. Seluruh bagian kandang dan peralatan yang pernah dipakai harus



subhamakan terlebih dahulu dengan disinfektan seperti creolin, Lysol dan bahan-bahan lainnya. Menurut Sarwono dan Arianto (2003), Jarak kandang yang di anjurkan adalah > 50 m dari rumah. Selanjutnya di tambahkan oleh Santosa (2002), bahwa perlengkapan kandang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan ternak. Di samping itu dengan adanya drainase akan membuat lingkungan kandang bersih sehingga tidak ada air yang tergenang. Bentuk dan tipe kandang hendaknya disesuaikan dengan lokasi berdasarkan agroekosistemnya, pola atau tujuan pemeliharaan dan kondisi fisiologis ternak. Petunjuk teknis perkandangan sapi potong ini memuat beberapa tipe/macam kandang berdasarkan bentuk dan fungsinya serta berdasarkan tujuan atau pola pemeliharaannya. Menurut Pasaribu (2008), untuk mendirikan kandang sapi harus memperhatikan beberapa hal antara lain: 1. Penentuan lokasi. Yang perlu di perhatikan dalam penentuan lokasi kandang adalah adanya sumber air bersih dan cukup guna air minum, memandikan sapi, pembersihan kandang dan peralatan kandang. Tempatnya lebih tinggi dari lingkungan sekitar atau sekitar bangunan kandang tidak ada pohon besar, selain itu kandang agak jauh dari pemukiman penduduk pada jarak yang dianjurkan dalam Good Farming Practise (GFP) adalah 25 meter dari pemukiman penduduk. 2. Kontruksi kandang. Yang harus diperhatikan dalam kontruksi kandang adalah dinding kandang harus di buka ( tidak seluruhnya di tutup) supaya sirkulasi udara berjalan lancar. Atap kandang kandang harus cukup kuat dan tahan lama. Hal ini penting untuk menahan curah hujan, terik matahari dan di sarankan sebaiknya atap menggunakan genteng. Lantai kandang tidak licin, tidak tembus air dan tahan lama, maka dibuat miring 3 cm tiap meter ke arah parit. Parit kandang



harus terbuat dari semen, berbentuk melekuk atau persegi dengan lebar 20-30 cm dan dibuat miring kesaluran pembuanga kotoran. 3. Tempat pakan. Hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan tempat pakan adalah terbuat dari kayu atau semen yang dasarnya rapat sehingga pakan yang diberikan tidak tercecer atau terbuang. Tempat minum harus tidak bocor, mudah di bersihkan dan cukup untuk keperluan ternak sapi mengingat ternak membutuhkan air minum minimal 30 liter per hari per ekor. 4. Bentuk kandang dilihat dari penempatan atau peruntukan ternak sapi, misalnya kandang tunggal atau kandang ganda. Kandang tunggal adalah kandang dengan penempatan sapi satu baris. Kandang baris adalah kandang dengan penempatan sapi dua baris yaitu saling berhadapan (head to head) atau saling berlawanan (tail to tail). Tipe kandang head to head dan tail to tail, ukurannya adalah sebagai berukut : 



Tempat pakan : lebar 80-90 cm, dalam 25-30 cm, panjang 105-110, tinggi dari lantai 60 cm.







Tempat minum : 1 m (lebih besar lebih baik) dan parit : lebar 25-30 dan dalam 10-20 cm.







Ukuran lantai kandang 165-180 cm (sesuaikan dengan panjang badan sapi), kemiringan 3 cm tiap meter, panjang untuk tiap ekor sapi 125-150 cm.







Peralatan kandang. Yang dimaksud dengan peralatan kandang adalah alat yang digunakan untuk kegiatan pembersihan kandang dan lingkungan, pembersiha ternak sapi dan kegiatan pemberia pakan dan minum. Peralatan yang lazim digunakan adalah ember, cangkul, garpu, skop, sapu lidi, garu, sikat ijuk atau plastic, gerobak dorong dan seperangkat mesin air



serta selang untuk suplay air minum dan memandikan sapi. Menurut Ainur dan Hartati (2007), pemilihan bahan kandang hendaknya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dan tujuan usaha untuk jangka panjang, menengah atau pendek. Pemilihaan bahan kandang hendaknya minimal tahan untuk jangka waktu 5-10 tahun, dengan memanfaatkan dari bahan-bahan lokal yang banyak tersedia. Bagian-bagian dan bahan kandang yaitu : a.



Lantai Lantai kandang harus kuat, tahan lama, tidak licin dan tidak terlalu kasar, mudah dibersihkan dan mampu menopang beban yang ada diatasnya. Lantai kandang dapat berupa tanah yang dipadatkan, beton atau pasir cemen (PC) dan kayu yang kedap air. Berdasarkan kondisi alas lantai, dibedakan lantai kandang sistem litter dan non litter. Alas lantai kandang sistem litter merupakan lantai kandang yang diberi tambahan berupa serbuk gergaji atau sekam, dan bahan lainnya berupa kapur/dolomite sebagai dasar alas. Pemberian bahan dasar alas dilakukan pada awal sebelum ternak dimasukan kedalam kandang. Sistem alas litter lebih cocok untuk kandang koloni atau kelompok, karena tidak ada kegiatan memandikan ternak dan pembersihan kotoran feces secara rutin. Lantai kandang harus selalu terjaga drainasenya, sehingga untuk lantai kandang non litter dibuat miring kebelakang untuk memudahkan pembuangan kotoran dan menjaga kondisi lantai tetap kering. Kemiringan lantai berkisar antara 2 – 5 %, artinya setiap panjang lantai 1 meter maka ketinggian lantai bagian belakang menurun sebesar 2 – 5 cm (Ainur dan Hartati, 2007).



Gambar 1. Kemiringan lantai kandang dan ukuran selokan Sumber : Ainur dan Hartati, 2007 b.



Atap Terbuat dari bahan genteng, seng, rumbia, asbes dan lain-lain. Untuk daerah panas (dataran rendah) sebaiknya mengunakan bahan genting sebagai atap kandang. Kemiringan atap untuk bahan genting adalah 30-45 % , asbes atau seng sebesar 15-20 % dan rumbia atau alang-alang sebesar 25-30 %, Ketinggian atap untuk dataran rendah 3,5-4,5 meter dan dataran tinggi 2,5-3,5 meter Bentuk dan model atap kandang hendaknya menghasilkan sirkulasi udara yang baik di dalam kandang, sehingga kondisi lingkungan dalam kandang memberikan kenyamanan ternak. Berdasarkan bentuk atap kandang, beberapa model atap yaitu atap monitor, semi monitor, gable dan shade. Model atap untuk daerah dataran tinggi hendaknya menggunakan shade atau gable, sedangkan untuk dataran rendah adalah monitor atau semi monitor. Model atap monitor, semi monitor dan gable model kandang yang mempunyai atap dua bidang , sedangkan shade mempunyai atap satu bidang (Rasyid dan Hartati, 2007).



Gambar 2. Macam-macam model atap kandang Sumber : Ainur dan Hartati, 2007 c.



Dinding Dibuat dari tembok, kayu, bambu atau bahan lainnya, dibangun lebih tinggi dari sapi waktu berdiri. Untuk dataran rendah, yang suhu udaranya panas dan tidak ada angin kencang, bentuk dinding kandang adalah lebih terbuka, sehingga cukup menggunakan kayu atau bambu yang berfungsi sebagai pagar kandang agar sapi tidak keluar. Dinding kandang yang terbuat dari sekat kayu atau bambu hendaknya mempunyai jarak atar sekat antara 40 – 50 cm. Untuk daerah dataran tinggi dan udaranya dingin atau daerah pinggir pantai yang anginnya kencang, dinding kandang harus lebih tertutup atau rapat (Ainur dan Hartati, 2007)



d.



Lorong atau gang Lorong atau gang merupakan jalan yang terletak diantara dua kandang individu, untuk memudahkan pengelolaan seperti pemberian pakan, minum dan pembuangan kotoran. Lebar lorong disesuaikan dengan kebutuhan dan model kandang, umumnya bekisar antara 1,2–1,5 meter. Lorong kandang



hendaknya dapat dilewati kereta dorong (gerobak) untuk mengangkut bahan pakan dan bahan keperluan lainnya



Gambar 3. Kandang individu dengan lorong di tengah kandang Sumber : Ainur dan Hartati, 2007 e.



Perlengkapan kandang Beberapa perlengkapan kandang untuk sapi potong meliiputi : palungan yaitu tempat pakan, tempat minum, saluran darinase, tempat penampungan kotoran, gudang pakan dan peralatan kandang. Disaping itu harus dilengkapi dengan tempatpenampungan air yang terletak diatas (tangki air) yang dihubungkan dengan pipa ke seluruh kandang (Ainur dan Hartati, 2007)



2.2.2. Manajemen Pengolahan Pakan Pakan merupakan hal yang sangat penting dalam usaha peternakan, bahkan dapat dikatakan bahwa keberhasilan suatu usaha peternakan tergantung pada manajemen pakan. Kebutuhan pakan dari tiap-tiap ternak berbeda-beda sesuai dengan jenis, umur,



bobot



badan, keadaan lingkungan dan kondisi fisiologis



ternak. Pakan harus mengandung semua nutrien yang dibutuhkan oleh tubuh ternak, namun tetap dalam jumlah yang seimbang.



Nutrien yang dibutuhkan oleh ternak antara lain karbohidrat, lemak, protein, vitamin, air dan unsur anorganik serta mineral. 1. Pakan Hijauan Hijauan makanan ternak merupakan salah satu bahan pakan ternak rumansia. Secara umum bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan oleh hewan atau ternak, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya tanpa mengganggu kesehatan ternak yang memakannya (Tillman, dkk, 1983). Utomo (1999) mengemukakan



bahwa



pakan



ternak



berdasarkan



sifat



karakteristik fisik dan kimia, serta penggunaannya secara internasional dibagi menjadi delapan kelas yaitu: 1) pasture, tanaman padangan, atau tanaman pakan ternak yang sengaja ditanam untuk diberikan pada ternak dalam keadaan segar, 2) hijauan kering dan jerami, 3) silase hijauan , 4) bahan pakan sumber energi dari biji-bijian atau hasil samping penggilingan, 5) sumber protein yang berasal dari hewan, biji - bijian, bungkil, 6) sumber mineral, 7) sumber vitamin dan 8) aditif. Ketersediaan bahan pakan terutama pada musim kemarau merupakan salah satu masalah tidak terpenuhinya kecukupan jumlah dan asupan nutrisi bagi ternak. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dilakukan pengolahan pakan. Tujuan pengolahan pakan yaitu untuk meningkatkan keuntungan, merubah ukuran partikel,



merubah



meningkatkan meningkatkan



kadar



palatibilitas,



air,



merubah



merubah



ketersediaan



densintas



kandungan



nutrisi,



pakan, nutrisi,



detoksifikasi,



mempertahankan kualitas selama penyimpanan dan mengurangi kontaminasi.Pengolahan pakan yang dilakukan adalah membuat hijauan kering (hay) dan awetan hijauan (silase) (Hanafi, 2008). Menurut Hanafi, 2008, Hijauan pakan ternak dikategorikan dalam beberapa jenis, yaitu:







Hijauan segar Hijauan segar adalah semua bahan pakan yang diberikan kepada ternak dalam bentuk segar, baik yang dipotong terlebiha dahulu (manual) maupun yang langsung direnggut oleh ternak. Hijauan segar umumnya terdiri dari daun-daunan yang berasal dari rumput-rumputan, tanaman biji-bijian maupun jenis kacang-kacangan.







Hijauan kering (Hay) Hijauan kering (Hay) adalah suatu pengawetan hijauan pakan ternak berupa rumput-rumputan/leguminosa yang disimpan dalam bentuk kering, dengan kadar air 20 – 30 %. Tujuannya adalah untuk menyeragamkan waktu panen agar tidak mengganggu pertumbuhan pada periode berikutnya, sebab tanaman yang seragam akan memiliki daya cerna yang lebih tinggi. Tujuan khususnya adalah agar tanaman hijauan (pada waktu panen yang berlebihan) dapat disimpan untuk jangka waktu tertentu sehngga dapat mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau yang diterapkan. Dua metode pembuatan hay yang diterapkan yaitu: 1. Metode hamparan Metode sederhana dengan cara menghamparkan hijauan yang sudah dipotong di lapanagn terbuka di bawah sinar matahari. Setiap hari hamparan dibolak balik hingga kering. Hijauan yang dibuat dengan cara ini biasanya memiliki kadar air 20 - 30 % , dengan warna kecoklatan. 2. Metode pod Metode dengan menggunakan semaian ras sebagai tempat menyimpan hijauan yang tidak



dijemur selama 1 – 3 hari (kadar air ± 50 %). Hijauan yang diolah harus dipanen saat menjelang berbunga (kadar protein tinggi, serat kasar dan kandungan air optimal) sehingga hay diperoleh tidak berjamur (tidak berwarna kosong) yang akan menyebabkan turunnya palatibilitas dan kualitas. 2. Konsentrat Berdasarkan kandungan serat kasarnya bahan makanan ternak dapat dibagi kedalam dua golongan yaitu bahan penguat (konsentrat) dan hijauan. Bahan makanan konsentrat merupakan bahan makanan ternak non hijauan dengan serat kasar maksimal < 18% dari bahan kering dan tinggi protein, maka hampir semua konsentrat mempunyai kecernaan yang tinggi. Butiran konsentrat mengandung sejumlah besar pati yang dengan mudah dapat dicerna dan diserap ternak. Berdasarkan kandungan gizinya, konsentrat dibagi dua golongan yaitu konsentrat sebagai sumber energi dan sebagai sumber protein. kandungan



Konsentrat sebagai sumber



protein



lebih



dari



protein apabila



18%, dan Total



Digestible



Nutrision (TDN) 60%. Ada konsentrat yang berasal dari hewan



maupun tumbuhan. Konsentrat



berasal



dari



hewan



mengandung protein lebih dari 47%, mineral Ca lebih dari 1%, dan P lebih dari 1,5% serta kandungan serat kasar dibawah 2,5%. Contoh konsentrat asal hewan antara lain : tepung ikan, tepung susu, tepung daging, tepung darah, tepung bulu dan tepung cacing. Konsentrat yang berasal dari tumbuhan, kandungan proteinnya di bawah 47%, mineral Ca dibawah 1% dan P di bawah 1,5%, serat kasar lebih dari 2,5%. Contoh konsentrat yang berasal dari tumbuhan antara lain : tepung kedelai, tepung biji kapuk, tepung bunga matahari, bungkil wijen, bungkil kedelai, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit dan lain sebagainya.



Konsentrat sebagai sumber energi apabila memiliki kandungan protein di bawah 18%, TDN 60% dan serat kasarnya lebih dari 10%. Contoh konsentrat sebagai sumber energi antara lain : dedak, jagung, empok, polar dan lain sebagainya (Soedomo, 1987). Penambahan konsentrat pada ternak bertujuan untuk meningkatkan nilai pakan dan menambah energi. Tingginya pemberian pakan berenergi menyebabkan peningkatan konsumsi dan daya cerna dari rumput atau hijauan kualitas rendah. Selain itu penemberian konsentrat tertentu dapat menghasilkan asam amino



essensial



yang



dibutuhkan



oleh



tubuh



(http://cijayantifarm.wordpress.com, 2011). Konsentrat biasanya diperlukan sebagai bahan tambahan pada hijauan.Konsentrat ini biasanya diberikansebagai pakan tambahan setelah sapi diberikan rumput. 3. Molases Molasses adalah tetes yang merupakan hasil sampingan dari pembuatan gula tebu. Tanaman tebu sendiri terdiri dari bagian batang (60%) yang merupakan bahan utama untuk pembuatan gula, pusuk tebu (30%) dan daun (10%) yang dapat digunakan sebagai bahan pakan (forase). Batang tebu yang digunakan pada pembuatan gula akan terdapat beberapa bagian yaitu: 1.) Ampas sebanyak 15% yang terdiri dari ampas kasar 70% dan ampas halus 30%. 2.) Cairan sebanyak 85% yang terdiri dari air 70%, gula 10%, tetes 3% dan bahan sisa 2%.Ampas halus tersebut juga dapat dipakai sebagai bahan pakan khususnya bagi ternak ruminansia. Tetes mengandung gula cukup tinggi, yaitu di atas 48%, terdiri dari sukrosa 2540% dan gula yang lain 12-25%. Tetes merupakan bahan pakan sumber energi yang cukup baik (55%-75% TDN). Walaupun testes berupa cairan, tapi kenyataannya cukup tinggi kandungan



bahan keringnya, yaitu 70% -80% dan abunya 8% - 10% dengan



mineral



utama



K,



Ca,



Cl



dan



garam sulfat



(http://elisa.ugm.ac.id, 2007).



2.3 Manajemen Kesehatan Sapi Potong Kebersihan suatu peternakan sapi potong tidak hanya terletak pada usaha pengembangan jumlah ternak yang dipelihara, namun juga pada perawatan dan pengawasan, sehingga kesehatan ternak sapi tetap terjaga. Perawatan dan pengobatan pada ternak sapi juga memerlukan pertimbangan dari berbagai segi, baik dari segi penyakit (ringan, tidak menular atau menular) maupun segi ekonomis (Murtidjo, 1990). Tingkah laku sapi memberikan gambaran tentang status kesehatan sapi tersebut. Sapi yang sehat akan menampakkan gerakan yang aktif, selalu sadara dan tanggap terhadap perubahan situasi di sekitarnya. Tingkat kesehatan yang baik dan hasil produksi serta reproduksi yang optimal memerlukan ketersediaan padang rumput yang cukup dan bermutu. Pengertian umum tentang hewan sakit adalah setiap penyimpangan dari kondisi normalnya. Dalam arti yang lebih spesifik, hewan sakit adalah suatu kondisi yang ditimbulkan oleh suatu individu hidup atau oleh penyebab lainnya, baik yang diketahui maupun tidak, yang merugukan kesehatan hewan yang bersangkutan. Hewan yang sakit dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antra lain faktor mekanis, kekurangan nutrisi, pengaruh zat kimia, faktor keturunan dan sebagainya (Akoso, 1996).



Sanitasi Sanitasi merupakan salah satu upaya untuk menjaga kesehatan ternak dengan menggunakan tindakan preventif untuk mencegah terjangkitnya penyakit. Sanitasi dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang, kebersihan ternak, kebersihan lingkungan serta kebersihan peternak itu sendiri (Subronto 1985).



Sanitasi Kandang dan Lingkungan Kandang merupakan bagian penting yang harus ada dalam suatu peternakan sapi perah. Kandang adalah bangunan sebagai tempat tinggal ternak, yang ditujukan untuk melindungi ternak terhadap gangguan dari luar yang merugikan seperti terik matahari, hujan, angin, gangguan binatang buas, serta memudahkan dalam pengelolaan (Nurdin 2011). Kandang dan lingkungannya harus selalu bersih, karena produksi sapi perah berupa susu mudah menyerap bau dan rusak (Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN) 2000). Untuk itu, upaya menjaga sanitasi kandang dan lingkungan mutlak diperlukan. Menurut DITJENNAK (2012) syarat bangunan kandang peternakan sapi perah sebagai berikut : 1. Konstruksi kandang harus kuat, terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh, sirkulasi udara dan sinar matahari cukup, drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan. 2. Lantai dengan kemiringan 1-2%, tidak licin, tidak kasar, luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung ternak. 3. Letak kandang harus memenuhi persyaratan yaitu: mudah diakses terhadap transportasi baik roda dua maupun roda empat, lokasi kandang bukan daerah genangan air atau banjir, dekat sumber air, atau mudah dicapai aliran air, kandang isolasi terpisah dari kandang utama, tidak menggangu lingkungan hidup serta memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi pengolahan susu. Sanitasi Ternak Sapi perah harus selalu bersih, karena akan berdampak kepada kesehatan sapi itu tersendiri, caranya yaitu dengan memandikan sapi perah sebelum diperah susunya. Biasanya dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pagi dan siang hari (LIPTAN 2000). Menurut Sunarko et al. (2009) memandikan sapi hendaknya dilakukan setiap hari untuk menjaga agar sapi tetap sehat dan bersih sehingga parasit luar tidak mudah menginfeksi, disamping itu untuk memperlancar proses metabolisme dalam memproduksi susu yang tetap tinggi dan stabil, serta untuk



menjaga agar susu tetap bersih dari bulu-bulu yang rontok maupun kotoran yang menempel pada kulit. Sanitasi Peralatan Pemerahan dan Air Cara beternak sapi perah pada umumnya masih bersifat tradisional sehingga peternak perlu dibekali pengetahuan tentang sanitasi peralatan pemerahan dan air untuk memperpanjang daya tahan produk susu sekaligus menekan pencemaran mikroorganisme. Sanitasi peralatan merupakan upaya untuk menerapkan metode pembersihan peralatan penampung susu dengan benar (Aryana



2011).



Sesuai



Peraturan



Menteri



Pertanian



No



55/Permentan/OT.140/10/2006 tentang pedoman pembibitan sapi perah yang baik, peralatan dalam ternak sapi perah meliputi tempat pakan dan tempat minum, alat pemotong dan pengangkut rumput, alat pembersih kandang dan pembuatan kompos, peralatan kesehatan hewan, peralatan pemerahan dan pengolahan susu, peralatan sanitasi kebersihan dan peralatan pengolahan limbah (Departemen Pertanian (DEPTAN) 2006). Peralatan pemerahan susu (ember perah, milk can) dan peralatan lainnya seperti tempat pakan dan tempat minum harus dijaga kebersihannya. Beberapa tindakan yang dilakukan, antara lain peralatan penampung susu setelah dipakai harus segera dibersihkan, selanjutnya dibilas dengan air bersih atau dapat menggunakan deterjen (sabun bubuk) dan dibilas dengan air hangat untuk melarutkan lemak susu yang masih melekat. Peralatan penampung susu yang sudah bersih dikeringkan di bawah sinar matahari atau diletakkan terbalik. Pembersihan peralatan pemerahan susu dapat menggunakan disinfektan (Aryana, 2011). Menurut Gunawan et al. (2011), air sangat dibutuhkan bagi metabolisme tubuh dan berbagai fungsi biologis, seperti pengaturan suhu tubuh, membantu proses pencernaan, pengaturan tekanan darah, pertumbuhan fetus, produksi susu dan pengangkut nutrien, hormon serta zat lain yang diperlukan oleh tubuh. Air diperlukan bagi ternak sapi perah produksi, karena susu yang dihasilkan 87% adalah air. Untuk itu, penyediaan air bagi ternak sapi perah sangatlah penting. Ketersediaan air perlu diperhitungkan terlebih dahulu sebelum suatu usaha pemeliharaan sapi dimulai, karena air merupakan suatu kebutuhan mutlak.



Ketersediaan air diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air minum, pembersihan kandang atau halaman, serta untuk memandikan sapi. Kebutuhan air minum dapat berasal dari air minum khusus yang sengaja disediakan pada bak-bak air, baik di padang penggembalaan maupun di kandang atau pun di halaman pengelolaan. Oleh karena itu, cara penyediaan, cara pengaliran, maupun cara pemberiannya memerlukan penataan yang baik. Di Negara-negara maju, pengaliran air sudah ditata secara mekanis (Santosa 1995).



2.4 Manajemen Kesehatan Sapi Perah Produktivitas sapi perah tergantung juga pada manajemen kesehatan hewan. Serangan penyakit pada sapi perah sedapat mungkin dicegah. Itulah sebabnya penting bagi peternak untuk selalu menjaga kebersihan kandang dan ternak serta memberikan pakan yang cukup (Sembada 2012). Ternak yang sakit membutuhkan pengobatan, akibatnya hal ini akan mempertinggi biaya produksi. Oleh karena itu, tindakan yang paling tepat adalah pencegahan penyakit dan menjalankan program vaksinasi secara teratur, terutama di daerah-daerah yang sering terjadi penyakit menular seperti TBC, brucellosis, PMK, hal ini baru dapat dilakukan apabila peternak mengetahui dan paham terhadap jenis-jenis penyakit penting yang sering terjadi pada sapi perah, mulai dari gejala awal, tanda-tanda, dan pencegahannya (Nurdin 2011). Manajemen kesehatan sapi perah menurut DITJENNAK (2012) terdiri atas: 1. Peternak pembibit sapi perah harus melakukan pemeriksaan dan pengujian laboratorium terhadap penyakit tertentu (Brucellosis, IBR, BVD, TBC, ParaTB) secara terprogram sesuai ketentuan. 2. Melakukan biosekuriti (semua tindakan yang merupakan pertahanan pertama untuk mencegah dan mengendalikan wabah melalui semua kemungkinan kontak/penularan dengan peternakan tertular) yang ketat. 3. Melakukan pemberian vitamin, obat cacing dan/atau vaksinasi SE dan Anthrax dll sesuai pertimbangan petugas kesehatan hewan. 4. Kandang dan peralatan harus didisinfeksi, pembersihan dan penyemprotan pembasmi serangga (insektisida) secara berkala.



5. Setiap terjadi kasus penyakit terutama penyakit menular harus segera dilaporkan kepada petugas yang berwenang. 6. Setiap dilakukan pemerahan harus dilakukan uji mastitis. 7. Setiap ternak yang sakit harus segera dikeluarkan dari kandang untuk diobati atau dikeluarkan dari kelompok ternak atau peternakan. Gangguan dan penyakit dapat terjadi pada ternak setiap saat sehingga untuk membatasi kerugian ekonomi diperlukan kontrol untuk menjaga kesehatan sapi. Manajemen kesehatan yang baik sangat mempengaruhi kesehatan sapi perah. Gangguan kesehatan pada sapi perah terutama berupa gangguan klinis dan reproduksi. Gangguan reproduksi dapat berupa hipofungsi, retensi plasenta, kawin berulang, dan endometritis, sedangkan gangguan klinis yang sering terjadi adalah gangguan metabolisme (ketosis, milk fever dan hipocalcemia), enteritis, displasia abomasum dan pneumonia. Adanya gangguan penyakit pada sapi perah yang disertai dengan penurunan produksi dapat menyebabkan sapi dikeluarkan dari kandang atau culling (afkir). Selain itu, faktor-faktor yang perlu diperhatikan di dalam kesehatan sapi perah adalah lingkungan yang baik, pemerahan yang rutin dan peralatan pemerahan yang baik (Anonim 2009).



Manajemen Kesehatan Pemerahan Pemerahan merupakan suatu kegiatan pengumpulan susu setelah dilakukan stimulasi yang sesuai dari seekor hewan (sapi) untuk mengeluarkan susu dari ambing. Pemerahan harus dilakukan secara baik dan benar karena hal ini akan memberikan keuntungan diantaranya memperoleh sebanyak mungkin susu dalam satu kali pemerahan, memelihara keadaan dan kesehatan ambing, susu mengandung sedikit mungkin mikroorganisme dan dapat menstimulir pembentukan susu secara optimal (Lukman et al. 2009). Tujuan utama pemerahan adalah menghasilkan produksi susu dalam jumlah banyak, kualitas susu yang baik, efisiensi tenaga kerja, dan menjaga kualitas susu tetap tinggi. Teknik pemerahan yang tidak hati-hati dan dilakukan dengan kasar dapat menyebabkan infeksi ambing (mastitis), kerusakan kelenjar ambing, penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, dan kerugian. Pencegahan



penyakit mastitis dan dihasilkannya metode pemerahan yang efektif dan efisien dapat dilakukan dengan memperhatikan persiapan pemerahan (Etgen et al. 1987). Setiap peternak sapi perah dalam melakukan pemerahan harus berupaya untuk mendapatkan hasil susu yang bersih dan sehat. Kuantitas dan kualitas hasil pemerahan tergantung pada tata laksana pemeliharaan dan pemerahan yang dilakukan (Handayani & Purwanti 2010). Pada umumnya sapi yang sedang diperah sangat sensitif terhadap keadaan lingkungan di sekelilingnya yang senantiasa berubah-ubah. Oleh karena itu untuk menjamin kelangsungan produksi susu tetap stabil maka cara yang sama dan teratur serta sudah terbiasa dilakukan, hendaknya selalu diikuti dan dikerjakan secara seksama. Dalam suatu peternakan sapi perah, pelaksanaan pemerahan merupakan faktor yang sangat penting untuk memperoleh hasil produksi susu yang diharapkan (Sunarko et al. 2009). Menurut Tyler dan Ensminger (1993) kualitas susu dapat ditentukan oleh faktor-faktor di bawah ini: a. Kesehatan sapi perah Sapi perah harus terbebas dari penyakit yang dapat ditularkan ke manusia. Bakteri yang berasal dari susu harus dihilangkan. b. Kebersihan ternak Kebersihan flank dan ambing dapat mencegah kuman masuk ke dalam ambing. Kebersihan alas kandang, dan sistem drainase yang baik akan membuat sapi menjadi bersih. c. Kebersihan peralatan Semua peralatan pemerahan harus dijaga kebersihannya, dan bebas dari bakteri. Bakteri tumbuh di celah atau tempat kasar pada peralatan jika tidak dibersihkan. d. Kamar dingin dan penyimpanan susu Temperatur penyimpanan susu yang baik adalah -75.6-4.4 °C e. Kontrol lalat Kontrol lalat pada peternakan sapi perah sangat penting. Lalat dapat membawa 1.25 miliar bakteri, yang dapat menjadi sumber penyakit seperti typoid, disentri, dan penyakit menular lainnya.



f. Menjaga kebersihan gudang susu Bau pada gudang susu dapat dihilangkan dengan penggunaan ventilasi yang efektif pada bangunan.



Cara Pemerahan Menurut Sudono et al. (2003) yang diacu dalam Tristy (2009) pemerahan yang baik dilakukan dengan cara yang benar dan alat yang bersih. Tahapantahapan pemerahan harus dilakukan dengan benar agar sapi tetap sehat dan terhindar dari penyakit yang dapat menurunkan produksinya. Tahapan pemerahan dengan cara manual atau dengan tangan adalah sebagai berikut: • Membersihkan kandang dari segala kotoran. • Mencuci daerah lipatan paha sapi yang akan diperah. • Memberi konsentrat kepada sapi yang akan diperah, sehingga ketika dilakukan pemerahan, sapi sedang makan dalam keadaan tenang. Membersihkan alat-alat pemerahan susu (ember dan alat takar susu) dan milk can. • Membersihkan tangan pemerah dengan menggunakan air dan sabun. • Melakukan pemerahan sampai susu habis (ambing kosong). • Mencuci ambing dengan air bersih, kemudian melapnya dengan lap yang bersih. • Membuang pancaran susu pertama dan kedua tanpa ditampung dalam wadah. • Melakukan teat dipping setelah pemerahan. Teat dipping adalah pencelupan puting dengan antiseptik setelah pemerahan. Setelah selesai memerah, semua puting pada satu ekor sapi harus segera disucihamakan dengan menggunakan antiseptik. Pencucian ambing dengan larutan antiseptik sebelum dan sesudah pemerahan dapat menurunkan kejadian radang ambing (Hidayat 1995 diacu dalam Damayanti 2007).



Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Mastitis Subklinis di Indonesia Mastitis adalah peradangan jaringan internal ambing atau mamae, mastitis berdasarkan gejalanya dibedakan menjadi mastitis subklinis dan mastitis klinis. Definisi mastitis subklinis menurut International Dairy Federation (IDF) adalah mastitis yang ditandai peningkatan jumlah sel somatik (>400 000/ml) dan



ditemukan bakteri patogen serta susu berasal dari kwartir dalam masa laktasi normal (Lukman et al. 2009). Tiga bakteri utama yang sering menyebabkan mastitis subklinis adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae dan Escherichia coli (Wibawan 1998). Disamping faktor–faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis, jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya terjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor predisposisi radang ambing dilihat dari segi ternak, meliputi: bentuk ambing, misalnya ambing yang sangat menggantung, atau ambing dengan lubang puting terlalu lebar (Subronto 2003). Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin mengendur pula sphincter putingnya. Puting dengan spinchter



yang



kendor



memungkinkan



sapi



mudah



terinfeksi



oleh



mikroorganisme, karena fungsi spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme dari luar (lingkungan). Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang diperlukan oleh spinchter untuk menutup sempurna (Subronto 2003). Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi terjadinya radang ambing meliputi: pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pada ventilasi jelek, mastitis mencapai 87.5%, ventilasi yang baik mencapai 49.39% (Sori et al. 2005 diacu dalam Sharif et al. 2009).



2.5 Evaluasi Semen Segar a. Pemeriksaan Semen Segar Secara Makroskopis  Volume semen segar Volume sapi yang dihasilkan oleh seekor sapi jantan dalam satu ejakulasi sangat bervariasi. Hal ini dipengaruhi, antara lain oleh umur sapi, besar tubuh, status kesehatan, status reproduksi, kualitas makanan, dan frekuensi penampungan. Selain itu, teknik dan metode penampungan serta persiapan alat penampungan akan mempengaruhi volume semen yang dihasilkan (Saili, 1999 cit Sunarti dkk., 2016).



menurut Feradis (2010) volume semen sapi berkisar antara 5 - 8 ml, sedangkan menurut Sorensen (1979) volume semen dapat berbeda-beda antar individu dan bangsa ternak, namun untuk sapi berkisar 5 - 15 ml.  Warna semen Warna semen dapat dijadikan indikator untuk memprediksi kosentrasi spermatozoa yang berada di dalam semen secara cepat. Warna pada semen dapat diamati secara visual setelahpenampungan, semen yang baik adalah krem. Hasil penelitian Candra et al. (2013) yang menyatakan bahwa bangsa sapi Limousin 94% menghasilkan semen berwarna putih susu. Hal ini dipertegas oleh Feradis (2010) bahwa semen sapi normal berwarna seperti susu atau krem keputih-putihan dan keruh. Hal tersebut diduga bahwa warna ini disebabkan oleh pigmen riboflafin yang dibawa oleh satu gen autosomonal resesif, namun tidak mempengaruhi fertilitas (Toelihere, 1993). Nursyam (2007) bahwa semen sapi normal berwarna putih susu atau krem keputihan dan keruh. Menurut Gardner dan Hafez (2008), ratarata warna semen adalah putih kekuningan atau krem.Jika semen berwarna hijau kekuning-kuningan berarti semen mengandung kuman Pseudomonas aeruginosa, sedangkan semen yang berwarna merah berarti mengandung darah dan semen yang berwarna coklat berarti semen tersebut mengandung darah yang telah membusuk.  pH semen Derajat Keasaman (pH) diukur dengan cara mengambil sedikit semen segar menggunakan ose dan diletakkan pada kertas lakmus, selanjutnya dilihat pH semen dengan menggunakan pH indikator paper, pH normalsemen 6,4-7,8 (Garner dan Hafez, 2008). pH sangat menentukan status kehidupan spermatozoa di dalam semen. Derajat keasaman (pH) semen merupakan salah satu faktor pembatas kelangsungan hidup spermatozoa di dalam semen.Perubahan pH ke arah yang lebih asam (angka lebih kecil dari 7) akibat penimbunan asam laktat hasil



metabolisme anaerob dapat menurunkan tingkat kelangsungan hidup spermatozoa (Toelihere, 1993). b. Pemeriksaan Konsentrasi semen Penilaian konsentrasi atau jumlah spermatozoa per milimeter (ml) semen sangat penting, karena faktor inilah yang menggambarkan sifatsifat semen dan dipakai sebagai salah satu kriteria penentuan kualitas semen (Toelihere, 1993). menurut Sorensen (1979) konsentrasi spermatozoa pada sapi berkisar antara 800 - 1200 juta/ml. Penelitian Brito et al. (2002) konsentrasi spermatozoa pada Bos taurus sebesar 1200 juta/ml. c.



Pemeriksaan Semen Segar Secara Mikroskopis  Pemeriksaan motilitas semen segar Pemeriksaan motilitas spermatozoa menggunakan mikroskop yang tersambung dengan monitor, sehingga lebih jelas dalam menentukan motilitas spermatozoa. Sarastina et al. (2012) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pengujian motilitas progresif secara visual dan menggunakan metode CASA (Computer Assisted Semen Analysis). Pejantan yang fertil mempunyai 50% sampai 80% spermatozoa yang motil aktif progresif (Feradis, 2010), dan selain itu nilai tersebut menunjukkan bahwa semen segar tersebut layak diproses menjadi semen beku karena nilai motilitasnya diatas 60% (Sarastina, 2012). menurut Sarastina et al. (2012) peningkatan motilitas dan motilitas progresif dapat diupayakan oleh Balai produsen semen melalui pemberian pakan hijauan yang cukup dan memproduksi semen dari pejantan-pejantan yang mempunyai umur cukup dewasa dengan menajemen penampungan dan pemeliharaan yang baik. Feradis (2010) menyatakan bahwa pejantan yang kurang sehat akan menghasilkan semen segar yang berkualitas rendah. Pejantan dengan produksi semen dibawah standar selama 3 tahun berturut-turut akan diafkir atau culling. Pemeriksaan motilitas spermatozoa dilakukan dengan menggunakan obyek gelas yang ditetesi 10-15 μl



semen dan ditutup dengan gelas penutup. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 x. Spermatozoa yang motil akan terlihat bergerak maju ke depan. Selanjutnya spermatozoa yang motil dihitung dan dibagi seluruh spermatozoa yang tampak dalam lapangan pandang dan dinyatakan dalam persen (Melita dkk., 2014)  Gerakan massa Gerakan massa diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya. Semen diletakkan di atas gelas objek tanpa cover glass dengan perbesaran100×. Kriteria penilaian massa spermatozoa sangat baik (+++) terlihat adanya gelombangbesar, banyak, gelap, tebal dan aktif bergerak.Baik (++) terdapat gelombang-gelombang kecil tipis, jarang, kurang jelas dan bergerak lamban. Cukup (+), bila tidak terlihat gelombang melainkan gerakan – gerakan individual aktif progresif dan buruk (-) , bila tidak ada gerakan sama sekali (Susilawati,2011).  Gerakan individu Di bawah pembesaran pandangan mikroskop (45x10) pada selapis tipis semen di atas gelas objek yang ditutupi glas penutup akan terlihat gerakan-gerakan indvindual spermatozoa. Pada umumnya yang terbaik adalah pergerakan progresif atau gerakan aktif maju kedepan. Gerakan maju dan mundur merupakan tanda cold shock atau media yang tidak isotonik dengan semen. Gerakan berayun atau berputar di tempat biasanya tarjadi pada semen yang tua, jika semen tidak bergerak maka dianggap mati (Feradis, 2010).  Pemeriksaan Viabilitas dan Abnormalitas  Pemeriksaan hidup dan mati spermatozoa dilakukan dengan teknik pewarnaan dengan mencampurkan semen dengan larutan eosinnegrosin pada obyek gelas, kemudian dibuat preparat ulas dan dikeringkan. Spermatozoa yang mati akan menyerap warna merah, sedangkan spermatozoa yang hidup tidak menyerap warna atau berwarna putih. Selanjutnya spermatozoa yang hidup dihitung dan



dibagi jumlah seluruh spermatozoa yang tampak dalam satu lapangan pandang dan dinyatakan dalam persen (Melita dkk., 2014). Abnormalitas



spermatozoa



dievaluasi



menggunakan



pewarna



diferensial eosin. Spermatozoa dinilai secara morfologi normal, pada bagian kepala (abnormalitas primer), leher dan ekor (abnormalitas sekunder). Spermatozoa yang diamati minimal sebanyak 100 sel atau 5 lapang pandang menggunakan mikroskop cahaya 10x40 (Melita dkk., 2014).



2.6 Feed Control Pada dasarnya, sumber pakan sapi dapat disediakan dalam bentuk hijauan dan konsentrat,dan yang terpenting adalah pakan yang memenuhi kebutuhan protein, karbohidrat, lemak, dan vitamin serta mineral (Sarwono,2002). Secara alamiah pakan utama ternak sapi adalah hijauan, yang dapat berupa rumput alam atau lapangan, rumput unggul, leguminosa , limbah pertanian serta tanaman hijauan lainnya. Dalam pemilihan hijauan pakan ternak harus diperhatikan disukai ternak atau tidak, mengandung toxin (racun) atau tidak yang dapat membahayakan perkembangan ternak yang mengkonsumsi. Namun permasalahan yang ada bahwa hijauan di daerah tropis mempunyai kualitas yang kurang baik sehingga untuk memenuhi kebutuhan nutrien perlu ditambah dengan pemberian pakan konsentrat. Pemberian pakan yang baik menurut (Siregar, 1996) untuk memenuhi beberapa kebutuhan ternak sebagai berikut: 1.



Kebutuhan hidup pokok, yaitu kebutuhan pakan yang mutlak dibutuhkan dalam jumlah minimal. Pada hakekatnya kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan sejumlah minimal nutrient untuk menjaga keseimbangan dan mempertahankan kondisi tubuh ternak. Kebutuhan tersebut digunakan untuk bernapas, bergerak, dan pencernaan makanan.



2.



Kebutuhan untuk pertumbuhan, yaitu kebutuhan pakan yang diperlukan ternak sapi untuk proses pembentukan jaringan tubuh dan menambah berat badan.



3.



Kebutuhan untuk reproduksi, yaitu kebutuhan pakan yang diperlukan ternak sapi untuk proses reproduksi, misalnya kebuntingan.



Miller (1979) menjelaskan bahwa, nutrien dibutuhkan ternak untuk: 1) Pemenuhan kebutuhan hidup pokok (maintenance), 2) Pertumbuhan atau penggemukan badan, 3) Sintesis dan sekresi susu, dan 4) Bekerja atau mengerjakan sesuatu yang melebihi normal. Kebutuhan energi pada sapi selama kebuntingan dan laktasi ditentukan oleh kebutuhan untuk hidup pokok yang dipengaruhi oleh berat badan, (Bath et al., 1985). Kebutuhan sapi terhadap nutrisi pakan erat hubungannya dengan bobot badan dan produksi susu yang dihasilkannya, sedangkan konsumsi pakan erat kaitannya dengan kandungan serat kasar pakan sehingga konsumsi pakan akan menurun apabila kandungan serat kasar pakan tinggi (Sutardi, 1981). Intake pakan merupakan faktor kunci mempertahankan produksi susu. Sapi seharusnya di-usahakan agar dapat memaksimalkan intake selama awal laktasi. Pada setiap kilogram konsumsi BK akan mendukung 2-2,4 kg atau lebih produksi susu (Anonimus, 2001). Konsumsi bahan kering pada sapi perah adalah antara 2,25-4,32% dari berat badan dengan tingkat kecernaan 52-75% (NRC, 2001). Konsumsi pakan merupakan sejumlah pakan yang dapat dikonsumsi ternak pada periode waktu tertentu, dan merupakan faktor penting yang akan menentukan adalah ras, fungsi, dan respon ternak serta penggunaan nutrien yang ada di dalam pakan (Van Soest, 1994). Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik dari produktivitas ternak dan juga faktor esensial yang menjadi dasar untuk hidup dan menentukan produksi (Arora, 1995). Tinggi rendahnya konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal (lingkungan), faktor internal (kondisi ternak itu sendiri) (Kartadisastra, 1997) dan pakan yang diberikan (Parakkasi, 1998). Kecernaan (digestibility) didasarkan pada suatu asumsi bahwa zat makanan yang tidak terdapat dalam feses merupakan zat yang tercerna dan terabsorbsi (Tillman et al., 1998). Anggorodi (1990) menyatakan bahwa, pada dasarnya tingkat kecernaan adalah suatu usaha untuk mengetahui banyaknya zat makanan yang diserap oleh saluran pencernaan.



Kecernaan dapat menjadi ukuran pertama dari tinggi rendahnya nilai nutrien dari suatu bahan pakan. Bahan pakan dengan kandungan zat-zat pakan yang dapat dicerna tinggi pada umumnya tinggi pula nilai nutriennya (Lubis, 1992). Nilai koefisien cerna tidak tetap untuk setiap makanan atau setiap ekor ternak, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor (Maynarddan Loosli, 1979) yaitu komposisi kimia, pengolahan pakan, jumlah makanan yang diberikan, dan jenis ternak. Kecernaan bahan pakan sangat tergantung berbagai faktor, antara lain konsumsi pakan, associative effect, pemrosesan pakan, kedewasaan (umur) hijauan, dan suhu lingkungan (Merchen, 1988). Tillman et al. (1998) mengemukakan bahwa, faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan adalah komposisi pakan, komposisi ransum, penyiapan pakan, faktor hewan, dan jumlah pakan.  Kesehatan Hewan Keadaan sapi yang baik dan sehat dapat terlihat dari keadaan fisik, emosi, dan fisiologi. Mengetahui penyakit yang menyerang sapi sedini mungkin sangatlah baik, sehingga nantinya penyakit tersebut tidak menjadi lebih serius. Pemeriksaan fisik merupakan suatu tindakan memeriksa keadaan hewan untuk menemukan tanda-tanda klinis suatu penyakit. Hasil pemeriksaan ini akan dicatat dalam catatan medis (rekam medis) yang akan membantu dalam penegakan diagnosa dan perencanaan perawatan. Umumnya, pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi tindakan pemeriksaan status kesehatan umum seperti penghitungan frekuensi nadi dan pulsus, penghitungan frekuensi nafas, pengukuran suhu tubuh, pengamatan terhadap mukosa, turgor kulit, dan keadaan penting lainnya (Kelly 1984; Anonimus 2007). Selain itu perlu penunjang dengan pemeriksaan Laboratorium. Kebersihan Kulit dan Rambut Kebersihan kulit, kebersihan rambut, ekor dan kebersihan tubuh secara keseluruhan merupakan titik acuan dalam pemeriksaan kebersihan tubuh. Kebersihan rambut merefleksikan kondisi dari kulit dan kesehatan seekor sapi. Dalam keadan normal, sapi seharusnya memiliki bulu yang kering, datar dan berkilau. Bulu yang kusut menandakan sapi sedang dalam keadaan tidak sehat.



Status Gizi Kondisi ragawi yang menunjukkan status gizi sapi pada pemeriksaan fisik secara umum dapat dilihat secara inspeksi. Status gizi hewan ditentukan oleh fisik yang gemuk, kurus atau ideal. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan inspeksi dibeberapa tempat dari tubuh hewan yaitu inspeksi bagian costae, prosesus spinosus, scapula, dan pelvis serta pangkal ekor. Penilaian keadaan status gizi pada hewan disebut dengan Body Condition Scoring (BCS). Body Condition Scores adalah angka yang dipergunakan untuk mengukur kegemukan sapi (Glaze 2009). Suhu Tubuh Suhu tubuh hewan dapat diukur dengan menggunakan termometer. Hasil yang diperoleh tidak menunjukkan jumlah total panas yang diproduksi tubuh tetapi menunjukkan keseimbangan antara produksi panas dan pengeluaran panas tubuh. Secara fisiologis, suhu tubuh akan meningkat hingga 1.5ºC pada saat setelah makan, saat partus, terpapar suhu lingkungan yang tinggi, dan ketika hewan banyak beraktifitas fisik maupun psikis (Kelly 1984; Rosenberger, 1979). Frekuensi Pulsus Denyut nadi adalah denyut yang dihasilkan dari proses lewatnya darah pada pembuluh darah arteri yang dipompakan oleh denyut jantung. Denyut nadi dapat digunakan untuk mengetahui keadaan fisiologis denyut jantung dan organ tubuh yang lain. Menurut Cunningham (2002), frekuensi denyut jantung adalah banyaknya denyut jantung dalam satu menit. Pulsus hewan dapat dirasakan dengan menempelkan tangan pada pembuluh darah arteri coccygeal di bawah ekor bagian tengah sekitar 10 cm dari anus (Kelly 1984). Frekuensi Pernafasan Menurut Santoso (2005), penghitungan frekuensi nafas pada sapi dilakukan dengan cara menghitung gerakan flank dan tulang rusuk yang bergerak simetris pada saat inspirasi dan ekspirasi selama 1 menit. Frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran tubuh, umur, aktifitas fisik, kegelisahan, suhu lingkungan, kebuntingan, adanya gangguan padasaluran pencernaan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi hewan (Kelly



1984). Tipe pernafasan pada sapi adalah kosto-abdominal yang didominasi oleh gerakan pernafasan abdominal, sehingga dikelompokkan dalam tipe pernafasan abdominal. Diagnosa Laboratorium sebagai Diagnosa Penunjang Pemeriksaan laboratorium dapat dikelompokkan sebagai pemeriksaan penapisan (screening) dan pemeriksaan diagnostik. Pemeriksaan penapisan dimaksudkan untuk mendeteksi adanya suatu penyakit sedini mungkin agar intervensi dapat dilakukan lebih efektif. Umumnya pemeriksaan penapisan relatif sederhana dan mempunyai kepekaan tinggi. Pemeriksaan diagnostik dilakukan pada pasien yang memiliki gejala, tanda klinik, riwayat penyakit atau nilai pemeriksaan penapisan yang abnormal. Pemeriksaan diagnostik ini cenderung lebih rumit dan spesifik untuk pasien secara individual. Pemeriksaan laboratorium seperti hematologi, urinalisis, kimia darah perlu dilakukan untuk menunjang diagnosa suatu penyakit pada hewan ternak (KEMENKES 2011).



Tabel 2. Ciri visual ternak sehat dibandingkan dengan ternak sakit Kategori Pergerakan



Sehat Aktif dan lincah



Sakit kurang aktif dan lincah



Mata



Jernih



Pucat dan sayu



Bulu



Halus dan bersih



Kasar, berdiri dan kusam



Nafsu makan



Normal



Berkurang



Lendir lubang Alami Suara napas



Tidak ada



Ada



Halus, teraur, tidak Ngorok, tidak teratur dan tersenggal - senggal Tersengal - sengal



2.7 Pengolahan Limbah Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak dll. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses,



urine, dan sisa pakan,(Sihombing, 2000). Limbah ternak yang berupa kotoran ternak, baik padat (feses) maupun cair (air kencing, air bekas mandi sapi, air bekas mencuci kandang dan prasarana kandang) serta sisa pakan yang tercecer merupakan sumber pencemaran lingkungan paling dominan di area peternakan. Limbah ternak dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan bau yang menyengat, sehingga perlu penanganan khusus agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (Sarwono dan Arianto, 2007). Selain menghasilkan feses dan urine, dari proses pencernaan ternak ruminansia menghasilkan gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1% per tahun dan terus meningkat. Kontribusi emisi metan dari peternakan mencapai 20-35 % dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfer.



BAB III MATERI DAN METODE



3.1 PELAKSANAAN KEGIATAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan Kegiatan magang profesi ini akan dilaksanakan pada : 1.



Waktu



: 27 Maret 2017 s/d 21 April 2017



2.



Tempat



: PT. Karya Anugerah Rumpin (PT. KAR) Desa Cibodas, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat



B. Peserta Magang 1. Nama



: Agustina V. Tae, S. KH



NIM



: 1109012001



Jurusan



: Kedokteran Hewan



Alamat



Jl. Manafe No.20, Kayu Putih, Kupang-Nusa Tenggara Timur



2. Nama



: Charolina E. L. Tang, S. KH



NIM



: 1109011018



Jurusan



: Kedokteran Hewan



Alamat



: Jl. Daitobo – Lasiana, Kupang – Nusa Tenggara Timur



3. Nama



: Marlin C. C. Malelak, S. KH



NIM



: 1109012035



Jurusan



: Kedokteran Hewan



Alamat



: Jl. Cak Doko No. 30 – Oebobo, Kupang – Nusa Tenggara Timur



4. Nama



: Joel C. Lasibey, S. KH



NIM



: 1009015045



Jurusan



: Kedokteran Hewan



Alamat



: Jl. Nusa Indah No.38, Sikumana, Kupang-Nusa Tenggara Timur



5. Nama NIM



: Albinus P. Ticho, S. KH : 1009015041



Jurusan



: Kedokteran Hewan



Alamat



: Jl. John Amalo No.19, Kota Raja, Kupang-Nusa Tenggara Timur



6. Nama



: Derry H. Saek, S. KH



NIM



: 1009012015



Jurusan



: Kedokteran Hewan



Alamat



: Jl. Manafe No.20, Kayu Putih, Kupang-Nusa Tenggara Timur



C. Metode Kegiatan Metode kegiatan yang digunakan adalah mahasiswa mengukuti serangkaian kegiatan yang dilakukan di PT. KAR secara langsung guna menambah pengetahuan, keterampilan dan pengalaman.



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN



4.1. Gambaran Umum Lokasi (sejarah, lokasi dan tata letak, kandang) Sejarah Perusahaan PT. Karya Anugerah Rumpin (PT. KAR) didirikan pada tahun 2001 oleh bapak Karnadi Winaga. Awalnya perusahaan ini bernama RPH Rumpin 99 yang bergerak dibidang pemotongan hewan (abattoir). Feedlot sendiri terbentuk seiring berjalannya RPH Rumpin 99, diawali dengan 2 ekor sapi yang dipelihara di belakang RPH kemudian terus berkembang hingga bisa memelihara lebih dari 1032 ekor sapi seperti saat ini. PT KAR tidak hanya bergerak di bidang feedlot dan abattoir saja tetapi juga bergerak dalam pembibitan (breeding) dan sapi perah (dairy cattle). PT KAR semakin melebarkan sayapnya dengan mendukung program swasembada daging sapi dan peningkatan mutu genetik sapi lokal. Oleh karena itu, PT KAR bekerjasama dengan BET Cipelang, BIB Singosari, dan Biotek LIPI Cibinong untuk dapat menjalankan program tersebut dengan baik,. Sapi yang dikembangkan di sini yaitu sapi impor dan sapi lokal yang tujuannya adalah memperbaiki mutu genetik. Seiring perkembangan dari divisi breeding, pada tahun 2007 dibentuk divisi perah atau dairy farm untuk memenuhi kebutuhan susu pedet. Seiring dengan perkembangannya yang pesat, produksi susu yang dihasilkan pun melebihi kebutuhan sehingga akhirnya susu tersebut dijual dan ternyata memberi keuntungan terhadap perusahaan dan akhirnya PT KAR terus mengembangkan potensi dari sapi perah hingga saat ini. Lokasi dan Tata Letak PT Karya Anugerah Rumpin (PT KAR) terletak di Desa Cibodas Paranje No 99 Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor-Jawa Barat.



Batas



wilayah perusahaan ini dibagi menjadi 2 desa yaitu Desa Cibodas dan Desa Rabak. Desa Cibodas memiliki batasan wilayah yang diantaranya yaitu pada bagian Utara berbatasan dengan jalan Desa Cibodas,



bagian Timur



berbatasan dengan wilayah PTP Cibodas, bagian Selatan berbatasan dengan PTP Cibodas dan bagian barat berbatasan dengan sungai Citempuan. Sedangkan Desa Rabak memiliki batas wilayah yang diantaranya yaitu pada bagian Utara berbatasan dengan jalan Desa Rabak, Selatan berbatasan dengan Desa Kampung Baru, Timur berbatasan dengan sungai Citempuan dan Barat berbatasan dengan jalan Desa Kampung Baru. Struktur Organisasi PT KAR dipimpin oleh seorang manager farm yang dibantu oleh beberapa orang supervisor. Setiap bagian terdapat satu orang supervisior yang bertanggung jawab atas operator disetiap bagian.



4.2. Kegiatan yang diaksanakan (produksi pakan, breeding, feedlot, keswan, pengolahan limbah, manajemen RPH) Tabel 3. Kegiatan setiap hari yang dilakukan Hari/Tanggal Jenis kegiatan Senin, 27 Maret 1. Lapor diri di PT KAR pada bagian personalia 2017 2. Pengenalan lokasi kandang PT KAR di Desa Cibodas dan Desa Rabak 3. Pengenalan devisi (6 devisi) yang dijalankan di PT KAR Devisi Produksi Pakan (Konsentrat) Selasa, 28 1. Pengenalan bahan dasar pembuatan konsentrat dan jenisMaret 2017 jenis pakan konsentrat yang diproduksi di PT KAR 2. Penimbangan bahan baku pembuatan konsentrat 3. Pengolahan (pencampuran bahan-bahan dasar) dalam mesin pencampur. Pakan diproduksi meliputi : pakan finisher, lokal, pedet, kerbau, lokal grower 4. Pengepakan dalam karung (40 Kg/karung) Rabu, 29 Maret 1. Proses produksi pakan dalam gudang yaitu penimbangan 2017 dan pencampuran bahan dasar konsetrat. Pakan yang diproduksi meliputi : pakan finisher, bull, kerbau, lokal grower dan late 2. Pengepakan dalam karung (40 Kg/karung) 3. Pengenalan warna kartu dan warna tali yang digunakan sebagai penanda jenis pakan dan hari produksi pakan



Kamis, 30 1. Maret 2017



2.



Proses produksi pakan dalam gudang yaitu penimbangan dan pencampuran bahan dasar konsetrat. Pakan yang diproduksi meliputi : pakan finisher, P.grower, bull dan kerbau Pengepakan dalam karung (40 Kg/karung)



Jumat, 31 Maret 1. Proses produksi pakan dalam gudang yaitu penimbangan 2017 dan pencampuran bahan dasar konsetrat. Pakan yang diproduksi meliputi : pakan finisher, P.grower, pedet dan kerbau 2. Pengepakan dalam karung (40 Kg/karung) Devisi Feedlot dan Breeding Sabtu, 1 April Kelompok A : Feedlot 2017 1. Pemberian pakan konsentrat pada sapi 2. Cooper dan pengarungan pakan hijauan 3. Pemberian pakan hijauan 4. Pembersihan lantai kandang 5. Penimbangan dan panen sapi 6. Menghitung populasi sapi 7. Diskusi Kelompok B : Breeding 1. Pemerahan susu sapi 2. Pemberian susu pada pedet 3. Pemberian pakan konsentrat dan hijauan pada sapi 4. Pengamatan sapi yang mengalami estrus 5. Perektal untuk menentukan status reproduksi sapi betina 6. Menghitung poulasi sapi di setiap kandang Senin, 3 April Kelompok A : Feedlot 2017 1. Pemberian pakan konsentrat pada sapi 2. Cooper dan pengarungan pakan hijauan 3. Pemberian pakan hijauan 4. Pembersihan lantai kandang Kelompok B : Breeding 1. Pemerahan susu sapi 2. Pemberian susu pada pedet 3. Pemberian pakan konsentrat dan hijauan pada sapi 1. Penanganan sapi yang engalami mastitis (pemberian penstrep 10 mL dan sulpidon 10 mL) Selasa, 4 April Kelompok A : Feedlot 2017 1. Pemberian pakan konsentrat pada sapi 2. Cooper dan pengarungan pakan hijauan 3. Pemberian pakan hijauan 4. Pembersihan lantai kandang 5. Kontrol bobot badan sapi dengan penimbangan Kelompok B : Breeding 1. Pemerahan susu sapi



Rabu, 5 April 2017



Kamis, 6 April 2017



Jumat, 7 April 2017



Sabtu, 8 April 2017



2. Pemberian susu pada pedet 3. Pemberian pakan konsentrat dan hijauan pada sapi 4. Penampungan semen sapi 5. Evaluasi semen segar 6. Diskusi tentang produksi semen beku Kelompok A : Feedlot 1. Pemberian pakan konsentrat pada sapi 2. Cooper dan pengarungan pakan hijauan 3. Pemberian pakan hijauan 4. Pembersihan lantai kandang 5. Penimbangan dan panen sapi 6. Diskusi Kelompok B : Breeding 1. Pemerahan susu sapi 2. Pemberian susu pada pedet 3. Pemberian pakan konsentrat dan hijauan pada sapi 4. Perektal untuk menentukan status reproduksi sapi betina dan inseminasi buatan (IB) pada sapi 5. Pengulangan pengobatan mastitis pada sapi Kelompok A : Feedlot 1. Pemberian pakan konsentrat pada sapi 2. Cooper dan pengarungan pakan hijauan 3. Pemberian pakan hijauan 4. Pembersihan lantai kandang 5. Diskusi Kelompok B : Breeding 1. Pemerahan susu sapi 2. Pemberian susu pada pedet 3. Pemberian pakan konsentrat dan hijauan pada sapi 4. Perektal untuk menentukan status reproduksi sapi betina dan IB pada sapi Kelompok A : Breeding 1. Pemerahan susu sapi 2. Pemberian susu pada pedet 3. Pemberian pakan konsentrat dan hijauan pada sapi 4. Penentuan status reproduksi sapi betina dengan cara palpasi perektal dan IB pada sapi yang estrus 5. Transver embrio (TE) pada sapi Kelompok B : Feedlot 1. Pemberian pakan konsentrat pada sapi 2. Cooper dan pengarungan pakan hijauan 3. Pemberian pakan hijauan 4. Perektal dan IB pada sapi Kelompok A : Breeding 1. Pemerahan susu sapi 2. Pemberian susu pada pedet



3. Pemberian pakan konsentrat dan hijauan pada sapi 4. Pembersihan lantai kandang setelah pemberian pakan Kelompok B : Feedlot 1. Pemberian pakan konsentrat pada sapi 2. Cooper dan pengarungan pakan hijauan 3. Pemberian pakan hijauan 4. Pembersihan lantai kandang Senin, 10 April Kelompok A : Breeding 2017 1. Pemerahan susu sapi 2. Pemberian susu pada pedet 3. Pemberian pakan konsentrat dan hijauan pada sapi 4. Penentuan status reproduksi sapi betina dengan cara palpasi perektal dan IB pada sapi yang estrus 6. Transver embrio (TE) pada sapi 5. Pendataan pedet yang baru lahir (penimbangan BB, pengukuran tinggi badan, panjang badan, dan lingkar dada) 6. Penanganan sapi yang roboh. Kelompok B : Feedlot 1. Pemberian pakan konsentrat pada sapi 2. Cooper dan pengarungan pakan hijauan 3. Pemberian pakan hijauan 4. Pembersihan lantai kandang 5. Pemberian pengobatan pada anak sapi yang mengalami kutil disekitar mulut. Selasa, 11 April Kelompok A : Breeding 2017 1. Pemerahan susu sapi 2. Pemberian susu pada pedet 3. Pemberian pakan konsentrat dan hijauan pada sapi 4. Penentuan status reproduksi sapi betina dengan cara palpasi perektal dan IB pada sapi yang estrus 5. Penampungan semen sapi 6. Evaluasi dan pengenceran semen segar 7. Pembuatan semen beku 8. Diskusi Kelompok B : Feedlot 1. Pemberian pakan konsentrat pada sapi 2. Cooper dan pengarungan pakan hijauan 3. Pemberian pakan hijauan 4. Pembersihan lantai kandang 5. Pengontrolan sapi Rabu, 12 April Kelompok A : Breeding 2017 1. Pemerahan susu sapi 2. Pemberian susu pada pedet 3. Pemberian pakan konsentrat dan hijauan pada sapi



Kamis, 13 April 2017



Jumat, 14 April 2017



Sabtu, 15 April 2017



Senin, 17 April 2017



Selasa, 18 April 2017 Rabu, 19 April 2017



4. Penentuan status reproduksi sapi betina dengan cara palpasi perektal dan IB pada sapi yang estrus Kelompok B : Feedlot 1. Pemberian pakan konsentrat pada sapi 2. Cooper dan pengarungan pakan hijauan 3. Pemberian pakan hijauan 4. Pembersihan lantai kandang 5. Pengontrolan sapi Devisi Kesehatan Hewan 1. Pengobatan sapi dengan gejala klinis: leleran dari hidung, feses berlendir, nafas cepat, pemberian Sulpidon 10 mL, Vetadril 15 mL, Biodin 15mL. 2. Pengobtan sapi yang pincang dengan pemberian Vitamin B1 10 mL, Fenbuta 10 mL 3. Pengulangan pengobtan pada sapi yang baru partus dengan pemberian penstrep 20 mL 4. Pengobatan sapi degan gejala klinis : napas cepat, leleran dari hidung, pembarian Biodin 10 mL, Vetadril 15 mL, sulpidon 10 mL 5. Pengontrolan sapi setiap kandang 6. Penangganan kasus retensi placenta pada induk sapi dengan pemberian Collibact bolus (4 bolus) 7. Penyemprotan Gusanex pada luka di paha kana dan kiri sapi. 1. Pengontrolan sapi pada setiap kandang 2. Pemberian penstrep 20 mL, Vigantol-E 8 mL, pada sapi induk yang baru partus 3. Pemberian Fenbuta 15 mL, dan vitamin B1 10 mL, pada sapi yang mengalami pincang. 4. Pemberian betadin pada tali pusar pedet ang baru lahir 1. Pemberian Flunixin 15 mL dan vitamin B1 10 mL pada sapi yang pincang 2. Pemberian Fenbuta 15 mL, vitamin B1 10 mL, pada sapi yang pincag dan keluar leleran dari hidung. 3. Pemberian Biaodin 10 mL dan Vetadryl 10 mL pada pedet yang mengalami sesak napas. 1. Pengamatan dan penangganan sapi Fh yang partus 2. Pemberian Limoxin 20 mL dan vitamin A,D,E 8 mL pada induk sapi FH yang partus 3. Pengobatan mastitis dengan pemberian Ampicillin secara intramamari. 1. Diskusi tentang alur pembuata pupuk 2. Penjemuran feses untuk pembuatan pupuk 3. Pengemasan pupuk dalam plastik pabrik 1. Penjemuran feses untuk pembuatan pupuk 2. Pengemasan pupuk dalam plastik pabrik



3. Kunjungan ke RPH Karawaci untuk melihat dan mengikuti proses pemotongan sapi sampai pada distribusi. Ujian Kamis, 20 April  Ujian Presentasi 2017 Jumat, 21 April  Ujian Tertulis 2017



4.3 Jenis Sapi Sapi Aberdeen angus



Gambar 4. Sapi Aberdeen angus Sapi Aberdeen angus aslinya berasal dari Scotlandian Utara (Kota Aberdeen, Kincardine dan Forfar). Di daereh asalnya dikenal dengan sapi bersuara guruh (Angus Doddies) dan dunia mengenalnya dengan sapi tanpa tanduk (polled). Sapi ini tergolong sapi yang bertubuh kasar dan paling subur. Sifat dan Ciri-cirinya : 2.



Warna bulu



3. 4.



Tanduk Bobot lahir



5.



Kualitas daging



6.



Ukuran tubuh



: Hitam, kadang ada juga yang berwarna merah karena memiliki gene merah 10%. Jika dua sapi Angus merah jantan dan betina dikawinkan maka anaknya akan berwarna merah. : Tak bertanduk / polled. : Kecil dan pedet mempunyai ukuran kepala yang kecil sehingga mudah dalam proses kelahiran. Oleh karena itu sering dipakai sebagai pejantan dalam persilangan agar diperoleh keturunan yang mudah dilahirkan. : Umumnya dengan kadar lemak sedang dengan kualitas karkas cukup tinggi. : Sedang, dengan bobot pemotongan yang baik pada



dewasa



bobot tubuh ± 950 lbs. Bobot jantan dewasa : 1000 kg, betina dewasa : ± 454 kg. ( 1kg = 453,59237lbs)



Pertumbuhan prasapih cukup cepat, tetapi pertumbuhan pasca sapih tidak terlalu cepat. Kebanormalan alat reproduksi rendah, fertilitasnya baik, dan memiliki sifat dewasa dini.



Sapi Charolays



Gambar 5. Sapi Charolays Sapi ini merupakan salah satu bangsa sapi tertua dan sangat disukai di Perancis dan dikembangkan di Kota Charolles. Populasi saat ini nomor dua terbanyak di Prancis dan konsumen lebih menyukai daging sapi ini yang berumur ± 3 tahun karena yang baik dan tidak banyak berlemak Sifat dan Ciri-cirinya : 7.



Warna bulu



: Putih sampai putih cream



8.



Tanduk



: Bertanduk yang tumbuh kokoh dan kasar namun terdapat cukup banyak yang tidak bertanduk.



9.



Pertumbuhan



: Baik pertumbuhannya dan tergolong sapid aging yang berukuran tubuh besar. Berkaki pendek dan pertulangan yang kasar.



10.



Kualitas daging



: Kualitas karkas cukup baik, dengan kadar lemak sedikit



11.



Fertilitas



: Fertilitas tidak terlalu tinggi dan agak sering terjadi kesulitan beranak.



12.



Ukuran tubuh



: Bobot jantan dewasa ± 2600 kg, dan betina dewasa



dewasa



± 1550 kg.



Sapi Simmental



Gambar 6. Sapi Simental Sapi ini merupakan bangsa sapi tertua, yang aslinya terdapat di daerah sekitar lembah Simmental di Switzerland – Swiss. Populer juga di Jerman dan Australia. Di Jerman dikenal dengan nama “Fleck Fier” dan di Prancis dengan nama “Ronge”. Di Perancis dikenal dua strain yaitu Montbeliard dan Abadance. Sifat dan Ciri-cirinya : Warna bulu



: Merah berbelang putih.



Tanduk



: Bertanduk ukuran sedang dan pendek.



Pertumbuhan



: Cukup cepat pertumbuhannya dan tergolong sapi daging yang berukuran tubuh besar.



Kualitas daging



: Kualitas karkas cukup baik, dengan kadar lemak sedikit



Fertilitas



: Fertilitas tidak terlalu tinggi dan agak sering terjadi kesulitan beranak.



Ukuran tubuh dewasa



: Saat pemotongan yang baik pada bobot tubuh ± 1250 lbs



Sapi Frisien Holstein (FH)



Gambar 7. Sapi Frisien Holstein (FH) Sapi ini adalah bangsa sapi tipe perah (susu) namun cukup berpotensi menghasilkan daging dengan kualitas choice terutama yang jantan. Asalnya dari Belanda, sehingga kadang disebut juga ‘Frisian Holand”. Stock untuk penggemukan (menghasilkan daging) diambil dari perusahaan sapi perah yaitu anak jantan yang merupakan hasil sampingan. Sifat dan Ciri-cirinya : 13.



Warna bulu



: Belang putih hitam. Kadang terdapat pula yang berwarna belang merah putih.



14.



Tanduk



: Bertanduk ukuran kecil dan pendek.



15.



Pertumbuhan



: Cukup cepat pertumbuhannya baik pra sapih maupun pasca sapih.



16.



Kualitas daging



: Kualitas karkas choice pada bobot potong ± 550 kg dengan kadar lemak paling rendah.



17.



Fertilitas



: Fertilitas sangat tinggi. Karena telah tergolong sebagai sapi penghasil susu maka tentu memiliki kualitas reproduksi yang tinggi.



18.



Ukuran tubuh dewasa



: Bobot dewasa jantan ± 1350 lbs (620 kg).



Sapi Brangus



Gambar 8. Sapi Brangus Sapi ini adalah hasil persilangan antara sapi Brahman dengan sapi Aberdeen



angus.



Tujuan



persilangan



adalah



mengharapkan



warisan



keunggulan sapi Brahman yang punya daya tahan panas (heat tolerance) yang tinggi dan tahan terhadap serangan caplak. Warisan keunggulan yang diharapkan dari sapi Aberdeen angus adalah memiliki kesuburan yang tinggi, pertumbuhan yang cepat, dan kualitas daging yang baik. Produksi bangsa persilangan ini adalah bertujuan untuk menyiapkan bakalan untuk fattening, tidak untuk dikembangbiakkan lebih lanjut. Sifat dan Ciri-cirinya : 19.



Warna bulu



: Warna hitam



20.



Tanduk & telinga : Tidak bertanduk, telinga sedikit menggantung dan sedikit bergelambir



21.



Pertumbuhan



: Pertumbuhannya cukup cepat baik pra sapih maupun pasca sapih.



22.



Kualitas daging



: Kualitas karkas baik karena warisan dari sapi Aberdeen angus, dengan derajat keempukan/tendernessnya yang cukup baik



23.



Fertilitas



: Fertilitas rendah - sedang, tidak setinggi sapi-sapi dari Bos taurus. Pada umumnya sapi hasil persilangan dengan Brahman memiliki tingkat



fertilitas yang kurang baik. 24.



Ukuran tubuh



: Kerangka cukup besar dengan bobot dewasa jantan



dewasa



dapat mencapai 1000 kg.



Sapi-sapi yang berdarah Brahman (murni ataupun persilangan) umumnya tahan panas. Secara genetic ada hubungannya dengan ciri bergelambir dan kulit yang longgar memiliki permukaan kulit yang luas/besar sehingga volume penguapan panas tubuh lebih besar yang berakibat pada cepat beradaptasi dengan lingkungan panas. Sapi Bali



Gambar 9. Sapi Bali Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia dan merupakan plasma nutfah yang harus dipertahankan dari kepunahan.



Sapi ini adalah hasil domestikasi



Banteng liar yang terdapat di Ujung Kulon Pulau Jawa. Kemudian diternakkan/ dikembangkan secara murni di Pulau Bali sehingga diberi nama Sapi Bali. Sifat dan Ciri-cirinya : 25.



Warna bulu



: Sapi ini memiliki pola warna yang unik yaitu berbeda antara jantan dan betina dan juga berubah warna dengan bertambahnya umur terutama yang jantan. Pada pedet (anak sapi) jantan dan betina berwarna merah kekuning-kuningan sampai merah bata. Menjelang umur dewasa kelamin dan ke dewasa tubuh, yang jantan berubah dari merah berangsur-angsur menjadi hitam. Apabila



dikastrasi, maka warna hitam akan kembali menjadi merah. Yang betina tidak mengalami perubahan warna bulu sampai dewasa. Pada bagian dalam daun telinga, bibir, tarsus dan karpus (lutut ke bawah) dari keempat kaki, pantat, dan bawah perut berwarna putih, dan ujung ekor warna hitam pada jantan dan betina. Khusus betina pada bagian garis punggung berwarna hitam memanjang yang disebut “garis belut”. 26.



Tanduk & telinga



: Bertanduk, telinga berukuran kecil dan tegak. Ukuran tanduk jantan lebih besar daripada yang betina.



27.



Pertumbuhan



: Laju pertumbuhannya rendah – sedang rata-rata pada kondisi padang ± 0,35kg/perhari, sedangkan pada kondisi feedlot dengan pakan campuran hijauan dan konsentrat yang jantan dapat mencapai 0,9 – 1,0 kg perhari.



Produksi daging



: Persentase karkas 50% - 56%, persentase daging tanpa tulang ± 40% (38% - 42%). Kualitas karkas sedang - baik bila mendapatkan pakan yang baik. Dalam karkas mengandung lemak yang sedang, sedangkan dalam daging (otot) tidak mengandung marbling.



28.



Fertilitas



: Fertilitas tergolong tinggi apabila dipelihara dengan baik walaupun di lingkungan yang panas.



29.



Ukuran tubuh dewasa



: Ukuran tubuh kecil (small size) dengan bobot lahir antara 14 – 17 kg, dan bobot dewasa jantan dapat mencapai 450 - 500 kg bahkan lebih dan yang betina antara 250 kg – 275 kg.



Sapi Ongole



Gamar 10. Sapi Ongole Sapi ini berasal dari daerah tropis India yaitu dari daerah Kistna, Guntur dan Nallore. Sapi Ongole pertama kali pada tahun 1914 oleh pemerintah Belanda dimasukkan ke Indonesia sebanyak 42 ekor jantan, 496 ekor betina dan 70 ekor pedet langsung dari India. Oleh karena dapat berkembang dengan baik di iklim Indonesia, maka oleh pemerintah Belanda ditetapkan kebijakan untuk dikembangkan secara murni sebagai penghasil bibit unggul di Pulau Sumba dan akhirnya diberi nama sapi “Sumba Ongole” (SO). Bibit dari Pulau Sumba dimasukkan ke Jawa dan disilangkan dengan sapi Jawa dan menghasilkan sapi Peranakan Ongole (PO). Bentuk tubuh mirip seperti Brahman dan juga berpunuk dan bergelambir. Sifat dan Ciri-cirinya : 30.



Warna bulu



: Jantan bagian badan warna putih dan bagian leher dan pundak berwarna abu kehitam-hitaman, sedangkan yang betina seluruhnya berwarna bulu putih.



31.



Tanduk & telinga



: Bertanduk, telinga berukuran agak panjang dan menggantung.



32.



Pertumbuhan



: Laju pertumbuhannya rendah – sedang.



33.



Produksi daging



: Persentase karkas ± 48% persentase daging tanpa tulang ± 38%. Kualitas karkas sedang - baik bila



mendapatkan pakan yang baik. 34.



Fertilitas



: Fertilitas tergolong sedang tidak setinggi sapi Bali.



35.



Ukuran tubuh



: Uluran dewasa yang cukup besar, bobot lahir antara 25 – 26 kg, bobot sapihan 85 – 95 kg, dan bobot dewasa jantan dapat mencapai ± 800 kg dan yang betina ± 550 kg.



Sapi Ongole mempunyai keunggulan yang khas yaitu mampu tahan terhadap udara panas dan kekeringan serta memiliki tenaga tarik yang besar. Sapi Wagyu



Gambar 11. Sapi Wagyu Sapi Wagyu merupakan sapi asal Jepang memiliki kekhasan yang tidak dimiliki jenis sapi lainnya, yaitu memiliki kecenderungan genetik berupa pemarmeran (marbling) tinggi dan memproduksi lemak tak jenuh berminyak dalam jumlah besar. Sapi wagyu sendiri awalnya dikembangbiakkan di Jepang, tapi saat ini sudah ada 3 negara yang mengembangbiakan sapi wagyu ini yaitu Australia, Amerika Serikat dan Kanada. Daging wagyu dapat dikenali dari ciri khasnya berupa jaringan lemak daging yang berpola marmer. Lemak ini akan meleleh pada saat dimasak sehingga memberikan citarasa yang lezat pada saat kita menyantapnya. Selain itu lemak daging wagyu merupakan lemak tidak jenuh yang mengandung asam lemak omega-3 dan omega-6 yang tinggi sehingga memberikan efek yang baik bagi kesehatan tubuh.



Sapi Pasundan Sapi Pasundan merupakan sapi lokal yang termasuk sapi potong yang berkembang di masyarakat buffer zone hutan sepanjang wilayah Priangan utara. Wilayah tersebut antara lain pertama kabupaten Kuningan meliputi kecamatan Luragung, Cibingbin, Subang dan Ciawi Gebang. Kedua, wilayah Majalengka meliputi Kecamatan Palasah dan Kertajati, ketiga kabupaten Sumedang meliputi wilayah Tomo, Buah dua dan Ujungjaya. Keempat wilayah Indramayu meliputi kecamatan Gantar dan Terisi. Kelima wilayah Subang meliputi kecamatan Cibogo dan Cipunagara. Keenam, wilayah Purwakarta meliputi Kecamatan pasawahan dan Tegalwaru, ketujuh wilayah Ciamis meliputi kecamatan Rancah, Tambaksari, Cisontrol, dan Rajadesa. Populasi di wilayah buffer zone juga terdapat di Bogor seperti Jonggol dan sebagian kecil wilayah Karawang (Arifin dkk, 2014). Sapi Pasundan sebagai sapi lokal Jawa Barat sering disebut sebagai sapi kacang. Istilah sapi kacang merupakan predikat atas karakter kuantitatif yang relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi potong lain seperti PO, Brahman dan sapi-sapi Bos taurus hidup dan menyatu dengan petani (Arifin dkk, 2014). Sapi Madura



Gambar 12. Sapi Madura Sapi Madura merupakan bangsa sapi potong lokal asli Indonesia yang terbentuk dari persilangan antara banteng dengan Bos indicus atau sapi Zebu (Hardjosubroto dan Astuti, 1994), yang secara genetik memiliki sifat toleran terhadap iklim panas dan lingkungan marginal serta tahan terhadap serangan



caplak (Anonimus, 1987). Karak-teristik sapi Madura sudah sangat seragam, yaitu bentuk tubuhnya kecil, kaki pendek dan kuat, bulu berwarna merah bata agak kekuningan tetapi bagian perut dan paha sebelah dalam berwarna putih dengan peralihan yang kurang jelas ; bertanduk khas dan jantannya bergumba Ciri-ciri umum fisik Sapi Madura adalah: 



Baik jantan ataupun betina sama-sama berwarna merah bata.







Paha belakang berwarna putih.







Kaki depan berwarna merah muda.







Tanduk pendek beragam. Pada betina kecil dan pendek berukuran 10 cm, sedangkan pada jantannya berukuran 15-20 cm.







Panjang badan mirip Sapi Bali tetapi memiliki punuk walaupun berukuran kecil.



Sapi Belgian Blue



Gambar 13. Sapi Belgian Blue Sapi pedaging memang dikembangbiakkan untuk menghasilkan daging kualitas tinggi. Sapi Belgian blue pedaging adalah hasil dari seleksi genetik perkawinan silang, bukan hasil dari rekayasa genetik. Sapi yang dihasilkan berukuran besar dengan tinggi rata-rata 1.2-1.5 m dan berat 1100-1250 kg bahkan ada yang mencapai 1300 kg saat berusia 4 tahun. Ini berarti sekitar 2,5 sampai 3 kali berat sapi lokal Indonesia yang jelas sebagian besar penduduknya mengkonsumsi daging sapi. Sapi Belgian blue memiliki organ dalam dan kulit 15% lebih kecil dibanding sapi biasa sehingga sapi ini tidak dapat banyak makan rumput. Hal ini



disebabkan karena tidak cukup banyak ruang untuk menyimpan rumput dalam perut mereka. Oleh karena itu sapi ini hanya makan pakan olahan seperti jerami dan konsentrat yang terbuat dari biji-bijian dan kedelai. Meskipun demikian, pencernaan sapi ini sangat efektif. Sapi ini menghasilkan lebih banyak daging dan sedikit lemak. Hal ini terlihat dari tingginya persentase daging yang dihasilkan setelah dipotong dan dihilangkan tulangnya yang mencapai 82%. Ini berarti bahwa sapi ini menghasilkan daging lebih banyak dan menghasilkan sedikit limbah atau hasil samping (kotoran, kulit, organ dalam).



4.4 Pakan Usaha ternak sapi potong dan sapi perah yang efisien dan ekonomis bisa menjadi kenyataan apabila tuntutan hidup mereka terpenuhi, salah satu tuntutan utama adalah pakan. Dengan adanya pakan, tubuh hewan akan mampu bertahan hidup dan kesehatan terjamin. Pemberian pakan kepada ternak sapi potong dan sapi perah bertujuan untuk kebutuhan pokok hidup, perawatan tubuh dan keperluan berproduksi (Sugeng, 2005). Selanjutnya Sugeng (2005), menyatakan bahwa pemberian zat-zat pakan yang disajikan harus disesuaikan dengan tujuannya masing-masing. Tujuan pemberian pakan dibedakan menjadi dua yaitu makanan perawatan, untuk mempertahankan hidup dan kesehatan, serta makanan produksi, untuk pertumbuhan dan pertambahan berat. Kebutuhan pakan sapi tropis berbeda dengan sapi subtropis. Sapi tropis yang adaptasinya terhadap lingkungan cukup bagus membutuhkan pakan relatif lebih sedikit daripada sapi subtropis. Pakan merupakan campuran dari dua atau lebih bahan dasar makanan. Pakan sapi



pada umumnya terdiri dari pakan hijauan dan konsentrat. Pakan



hijauan dapat berupa rumput dan legum, sedangkan pakan konsentrat merupakan campuran dari dedak, biji-bijian, bungkil dan tepung ikan. Dalam



usaha



peternakan sapi potong, pakan merupakan aspek yang penting karena 70% dari total biaya untuk pakan (Hartanto, 2008). Pakan yang baik adalah pakan seimbang, yaitu pakan yang cukup mengandung zat gizi untuk memenuhi kebutuhan ternak sesuai dengan tujuan



pemeliharaan (Chuzaemi, 2002). Menurut Tillman et al. (1991), zat-zat pakan dalam hendaknya tersedia dalam jumlah yang cukup dan seimbang sebab keseimbangan zat–zat pakan dalam pakan sangat berpengaruh terhadap daya cerna. Pakan seimbang diharapkan dapat mengoptimalkan produktivitas ternak. Dalam formulasi pakan, zat gizi pakan yang terutama perlu diperhatikan, yaitu bahan kering (BK), metabolisme energy (ME), total digestible nutriens (TDN), protein kasar (PK), kalsium (Ca) dan fosfor (P). Bahan kering berfungsi sebagai pengisi lambung dan perangsang dinding saluran pencernaan untuk menggiatkan pembentukan enzim (Lubis 1992). Protein berfungsi sebagai zat pembangun dan pengganti sel yang rusak (Tillman et al., 1991). Sementara itu TDN merupakan jumlah seluruh zat-zat makanan (protein, serat kasar, lemak dan BETN) yang dapat dicerna (Siregar 1994). Hartanto (2008) menyatakan bahwa konsumsi BK, PK dan TDN untuk sapi peranakan Simmental adalah 2,571 – 2,665%; 0,251 – 0,259% dan 1,540-1,592% dari bobot badan. Sementara itu, Tillman et al. (1991) menyatakan bahwa sapi potong mampu mengkonsumsi ransum berupa bahan kering sebanyak 3-4% dari bobot badannya. Kemampuan ternak untuk mengkonsumsi BK berhubungan erat dengan kapasitas fisik lambung dan saluran pencernaan secara keseluruhan (Parakkasi, 1999). Menurut Soetanto (2002), sebelum melakukan formulasi pakan, ada beberapa hal yang perlu diketahui terlebih dahulu, yaitu: taksiran bobot badan ternak, fase fisiologis ternak, ketersediaan bahan pakan, jumlah pakan yang akan disusun, biaya pakan yang dapat ditoleransi, jarak distribusi pakan dan lama simpan sebelum didistribusikan. Formulasi pakan yang digunakan adalah formulasi pakan seimbang. Formulasi ini disusun berdasarkan kebutuhan zat gizi pakan, bobot badan (BB) dan pertambahan bobot badan harian (PBBH) ternak. Ada enam zat gizi yang digunakan sebagai dasar formulasi pakan, yaitu: bahan kering (BK), metabolism energy (ME), total digestible nutriens (TDN), protein kasar (PK), kalsium (Ca) dan fosfor (P). Pakan yang diformulasikan harus memenuhi kebutuhan minimal zat gizi tersebut di atas dan nilainya tidak jauh di atas kebutuhan minimal,



sehingga sisa zat gizi (yang tidak termanfaatkan oleh ternak) yang keluar dalam bentuk feses dapat minimal. Pada dasarnya, sumber pakan sapi dapat disediakan dalam bentuk hijauan dan konsentrat. Sumber pakan di PT KAR sudah memenuhi untuk usaha penggemukan sapi potong. Pakan hijauan yang diberikan berupa rumput Gajah dan rumput jagung, sedangkan konsentrat berupa campuran dari beberapa bahan pakan seperti tertera dalam Gambar berikut : 1



3



2



4



5



6



1



7 8



13 0



9



14



10



11 0



15 0



16



Gambar 14. Bahan Baku Pakan Konsentrat Keterangan : 1. Kapur 2. Bungkil sawit 3. Jagung 4. Dedak padi 5. Tepung kentang 6. Bungkil kacang 7. Zealoit 8. Bungkil kedelai



9. Gaplek 10. Teprosa 11. Wafer 12. Onggok 13. DDGS 14. Karuk (kulit kacang) 15. Bungkil Kopra 16. Tepung ikan 17. Kulit kopi



12 0



17 0



Gambar 15. Molases Pembuatan pakan hijauan segar dilakukan menggunakan alat pencacah kemudian dikarungkan dan diberikan pada tiap kandang (sapi). Berat tiap karung adalah ±20 kg, pemberian berdasarkan kebutuhan ternak dan lama pemeliharaan. Untuk kelompok breeding umumnya pemberian pakan dengan serat tinggi bertujuan untuk pemeliharaan yang lebih lama.



Gambar 16. Pakan hijauan Sedangkan tahapan pembuatan pembuatan konsentrat adalah sebagai berikut : Bahan dasar pakan ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam alat pencampur. Bahan dasar dimasukkan secara berurutan dari yang jumlahnya paling banyak dan bentuk yang paling besar/kasar. Kemudian dimasukkan bersamaan dengan mollases. Pengemasan dalam karung kemudian ditimbang 40 kg per karung. Produksi pakan konsentrat dilakukan setiap hari, untuk membedakan pakan berdasarkan hari produksi dilakukan pemasangan kartu berwarna dan bernomor yang terdiri dari nomor mix dan nomor batch. Mix merupakan nomor urutan pada



saat penggilingan sedangkan batch adalah nomor urutan karung. Pemasangan tali juga memiliki arti yaitu untuk membedakan jenis pakan. Setelah pemasangan tanda pakan didistribusi ke setiap kandang baik kandang feedlot maupun kandang breeding.



Gambar 17. Penimbangan bahan dasar pakan



Gambar 18. Proses pencampuran dalam mesin



Gambar 19. Proses pengarungan diatas timbangan (40kg)



Gambar 20. Pemberian nomor dan tali



Jenis pakan juga dibedakan berdasarkan umur atau fase ternak sapi, di feedlot dimulai dari fase starter, grower, intermediet dan finisher. Starter merupakan fase awal dimana sapi Brahman Cross yang baru pertama masuk diberikan pakan tersebut untuk mengenalkan jenis pakan baru. Pakan grower adalah pakan yang diberikan pada saat masa pertumbuhan sapi tersebut. Tujuan pemberian pakan pada fase ini adalah untuk pertumbuhan sel-sel tubuh, sedangkan untuk pakan intermediet adalah pakan uji coba sebelum diberikan



pakan finisher yang bertujuan untuk pembesaran ukuran sel tubuh. Sedangkan pemberian pakan pada ternak sapi untuk breeding yaitu pakan lokal dan finisher lokal. Sapi jantan jenis pakannya berbeda yaitu pakan bull. Menurut Maynard et al. (1979) pertambahan bobot badan dapat dikatakan pertumbuhan dimana merupakan suatu fenomena universal yang sangat kompleks, mulai dari fertilisasi, pembelahan, perbanyakan sel serta differensiasi sel-sel. Sonjaya (2008) menambahkan bahwa terdapat tiga gambaran utama pertumbuhan. Pertama, terdapat proses dasar pertumbuhan satu sel, dalam hal ini termasuk hyperplasia (penggandaan sel), hiperthropi (pembesaran sel), dan pertumbuhan materi non protoplasmic (peletakan lemak, glikogen, plasma darah, tulang rawan dll). Peternakan PT KAR menggunakan metode penggemukkan sistem dry lot fattening yaitu penggemukan sapi dengan memperbanyak pemberian pakan konsentrat (Nugraha, 2012). Jumlah pemberian hijauan hanya relatif sedikit sehingga efisiensi penggunaan pakan lebih tinggi. Perbandingan hijauan dan konsentrat berkisar antara 40:60 sampai 20:80. Perbandingan ini didasarkan pada bobot bahan kering (BK). Penggemukan sistem ini dilakukan di dalam kandang. Pakan hijauan dan konsentrat diberikan kepada sapi di dalam kandang. Sistem yang dilakukan adalah pakan harus disediakan sesuai porsi waktu yang tepat. Pemberian pakan di PT KAR yaitu dilakukan 2 kali sehari pada pagi hari pukul 08.00 pagi dan pada siang hari pukul 13.00. Pemberian dilakukan dengan memberikan konsentrat terlebih daluhu baru di berikan pakan hijauan segar.



3.2. Breeding A). Manajemen pemeliharaan Pemeliharaan Sapi Pedet Tatalaksana pemeliharaan pedet sejak lahir sampai disapih menjadi sangat penting dalam upaya menyediakan bakalan baik sebagai pengganti induk maupun penggemukan sebagai ternak pedaging (Purwanto dan Muslih, 2006). Perawatan terhadap pedet yang baru lahir dilakukan dengan membersihkan lendir pada hidung, mulut, dan lendir yang ada diseluruh tubuhnya karena cairan yang



menutupi hidung akan mengganggu pernafasan anak sapi. Selanjutnya pedet dipindahkan ke kandang anak yang sudah diberi alas jerami padi/kain kering yang tidak becek/basah. Untuk mencegah terjadinya infeksi dilakukan pemotongan tali pusar (Purwanto dan Muslih, 2006).



Pemeliharaan pedet di PT KAR dilakukan di kandang khusus pedet. Pedet yang baru lahir dipisahkan sementara dari induk sampai pedet dapat berdiri dengan baik. Umumnya juga akibat adanya gangguan pada induk post partus sehingga induk harus dipisahkan dengan pedet untuk selanjutnya dilakukan penanganan, sementara itu pedet dipisahkan dengan dipindahkan ke dalam kandang khusus pedet. Pedet yang baru lahir dipisahkan ke dalam kandang khusus pedet (S8) sampai berumur 4 minggu. Pedet yang berumur 1-3 hari selalu diberikan susu colostrum dari induknya, karena pedet belum mempunyai antibodi untuk resistensi terhadap penyakit. Sedangkan pada hari ke-4 sampai 1 bulan, pedet diberikan susu segar. Selanjutnya pedet yang sudah berumur lebih dari 4 minggu dipindahkan ke kandang (S7) untuk dilatih mengkonsumsi suplemen makanan sedikit demi sedikit sehingga pertumbuhanya optimal. Pedet yang berumur diatas 4 minggu diberikan campuran susu segar dan susu skim dengan perbandingan ½ kg susu skim yang dilarutkan kedalam 5 liter air, kemudian dicampurkan dengan 10 liter susu murni. Setiap ekor pedet diberikan 2 liter campuran susu setiap pagi dan sore hari. Pedet disapih pada umur 6 bulan dan dipindahkan kedalam kandang kelompok.



Gambar 21. Pemberian susu untuk pedet



Pemeliharaan Sapi Dara Sapi dara adalah sapi pada masa antara lepas sapih sampai laktasi pertama kali yaitu berkisar antara umur 12 minggu sampai dengan 2 tahun (Ensminger, 1971). Pemeliharaan sapi dara yang baik serta pemberian ransum yang berkualitas pula, maka sapi dara akan tumbuh dan menghasilkan bobot badan yang baik pula. Menurut Atmadilaga (1976), pertumbuhan sapi-sapi dara sebelum melahirkan anak pertama tergantung sekali pada cara pemeliharaan dan pemberian pakannya. Pemeliharaan pedet lepas sapih yang diabaikan, akan menyebabkan pertumbuhan sapi-sapi dara terhambat, maka pada waktu sapi-sapi betina beranak untuk pertama kali bobot badannya tidak normal (kecil), selain itu sapi akan beranak pertama terlambat sampai 3 tahun atau lebih, dengan demikian halnya juga dengan produksi susu tidak akan sesuai sebagaimana yang diharapkan, karena itu, pertumbuhan sapi-sapi dara harus diperhatikan dengan selalu memperhatikan kuantitas dan kualitas pakan yang diberikan pada pedet supaya tetap mempertahankan kecepatan tumbuhnya. Menurut Toharmat (1997), pemberian ransum untuk dara pengganti terdiri dari 3 tahap, yaitu: 1. Penyapihan (usia 12 minggu) sampai usia satu tahun Pemberian konsentrat umumnya sebanyak 2 kg, agar pertumbuhan dan kondisi badan pedet baik, namun pemberian konsentrat dapat dibatasi pada umur 10 bulan. Pada periode ini sapi dara diberi hijauan dengan cara bebas pilih, kualitas konsentrat yang di berikan tergantung pada kualitas hijauan. 2. Usia satu tahun sampai 2 bulan menjelang melahirkan Menjelang umur satu tahun sapi tidak oleh terlalu gemuk dan diberi



makan



berlebihan,



sebab



akan



mengganggu/menghambat



perkembangan kelenjar sekretoris ambing. Pada periode ini sangat diperlukan banyak konsentrat, jika rumput diberikan lebih banyak, maka zat makanan akan lebih rendah dari yang diperlukan oleh sapi dan pertumbuhan akan lebih rendah dari yang diharapkan.



3. Dua bulan masa kebuntingan pertama Keberhasilan



pemberian



makan



pada



periode



ini



akan



mempengaruhi tingkat produksi air susu setelah melahirkan. Menjelang melahirkan, sapi perlu diberi konsentrat sebanyak 1% dari bobot badan. Pemberian pakan berlebihan akan mengakibatkan distokia (kesulitan melahirkan). Pemeliharaan sapi dara pada peternakan PT. KAR dilakukan dalam kandang kelompok. Pemberian pakan dilakukan dengan selalu memperhatikan kuantitas dan kualitas pakan supaya tetap mempertahankan kecepatan pertumbuhan ternak. Pemberian pakan pada sapi dara di PT. KAR berupa pakan konsentrat starter dan hijauan segar. Pemberian dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Pemberian pada pagi hari dilakukan pukul 08.00 WIB berupa pakan konsentrat dan dilanjutkan dengan pemberian pakan hijauan pada pukul 10.00 WIB. Pemberian pada sore hari dilakukan pada pukul 13.00 WIB berupa pakan konsentrat dan dilanjutkan dengan pemberian pakan hijauan pada pukul 15.00 WIB. Pemberian dilakukan dengan cara disebar pada tempat pakan tersedia. 1. Rumus pemberian pakan konsentrat: Jumlah karung pakan konsentrat X berat pakan per karung (40 kg) Jumlah populasi sapi tiap pen 2. Rumus pemberian pakan hijauan: Jumlah karung pakan hijauan X berat pakan per karung (20 kg) Jumlah populasi sapi tiap pen



Sapi dara yang sudah mengalami birahi kemudian akan dilakukan program Inseminasi Buatan (IB) secara serentak. Umumnya dilakukan pada umur 12-18 bulan. Penyerentakan IB bertujuan agar dapat mengalami kebuntingan dan kelahiran yang bersamaan. Pemeliharaan Sapi Induk Sapi dinyatakan bunting setelah dilakukan pemeriksaan kebuntingan apabila dalam 60-90 hari setelah IB sapi tersebut tidak menunjukan birahi kembali



(return heat) maka sapi tersebut akan masuk program pemeliharaan sapi bunting. Pemeliharaan sapi bunting di PT. KAR terdapat dalam kelompok yang sama dalam 1 kandang. Sapi yang akan partus terus diawasi dan dipindahkan ke kandang khusus (pen S lapangan) agar lebih memudahkan dalam pengawasan. Sapi post partus akan menghasilkan susu bagi anaknya sehingga pedet setelah lahir tidak dipisah dari induk agar mendapatkan kolostrum dan selanjutnya masih mendapat susu dari induknya sampai lepas sapih (6 bulan). Apabila terdapat gangguan pada induk dan harus mendapatkan penanganan maka pedet akan dipisahkan sementara dari induknya, yaitu dalam kandang isolasi khusus pedet. Pemeliharaan Pejantan Unggul 146



Gambar 22. Pemeliharaan sapi



Gambar 21. Pemeliharaan sapi bunting



B). Manajemen reproduksi sapi betina Deteksi birahi Usaha pembibitan yang dilakukan di PT KAR ditujukan untuk mendapatkan produk utama berupa bibit atau bakalan yang berkualitas unggul. Untuk itu PT KAR memiliki beberapa kegiatan diantaranya mendeteksi siklus estrus sapi untuk dilakukan perkawinan baik secara alami maupun buatan. Estrus yang dikenal dengan istilah birahi yaitu suatu periode secara psikologis maupun fisiologis pada hewan betina yang bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Siklus estrus dibagi menjadi beberapa fase yang dapat dibedakan dengan jelas yang disebut proestrus, estrus, metestrus dan diestrus (Frandson, 1996). Estrus merupakan periode seksual yang sangat jelas yang disebabkan oleh tingginya level estradiol, folikel de Graaf membesar dan menjadi matang, uterus berkontraksi dan ovum mengalami perubahan kearah pematangan. Metestrus adalah periode dimana korpus luteum bertambah cepat dari sel-sel graulose folikel yang



telah



pecah



dibawah



pengaruh



Luteinizing



hormone



(LH)



dari



adenohyphophysa. Diestrus adalah periode terlama dalam siklus estrus dimana korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesterone terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Diestrus adalah periode dimana folikel de Graaf bertumbuh dibawah pengaruh follicle stimulating hormone (FSH) dan menghasilkan sejumlah estradiol bertambah (Fradson, 1996). Deteksi estrus secara dini membantu dalam menentukan status reproduksi sapi betina, dimana terdapat sapi betina yang mengalami gangguan reproduksi yang dapat berakibat pada penurunan reproduksi yaitu dikawinkan berulang (tidak bunting), estrus terus menerus, delay pubertas dan gangguan lainnya. Pada pemeriksaan atau deteksi estrus pada sapi betina dalam PT KAR tidak mengalami gangguan. Berikut ini adalah keadaan korpus luteum dan folikel pada ovarium sapi selama siklus estrus. 1. Proestrus Proestrus adalah fase sebelum estrus yaitu periode pada saat folikel de graaf tumbuh di bawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah



estradiol yang semakin bertambah (Marawali, dkk, 2001). Estradiol meningkatkan jumlah suplai darah ke saluran alat kelamin dan meningkatkan perkembangan estrus, vagina, tuba fallopi, folikel ovarium (Toelihere, 1985). Fase yang pertama kali dari siklus estrus ini dianggap sebagai fase penumpukan atau pemantapan dimana folikel ovarium yang berisi ovum membesar terutama karena meningkatnya cairan folikel yang berisi cairan estrogenik. Estrogen yang diserap dari folikel ke dalam aliran darah merangsang peningkatam vaskularisasi dan pertumbuhan sel genital dalam persiapan untuk birahi dan kebuntingan yang terjadi (Frandson, 1992). Pada fase ini akan terlihat perubahan pada alat kelamin luar dan terjadi perubahan-perubahan tingkah laku dimana hewan betina gelisah dan sering mengeluarkan suara-suara yang tidak biasa terdengar (Partodiharjo, 1980) 2. Estrus Estrus adalah periode yang ditandai dengan penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk berkopulasi. Pada umumnya memperlihatkan tandatanda gelisah, nafsu makan turun atau hilang sama sekali, menghampiri pejantan dan tidak lari bila pejantan menungganginya. Menurut Frandson (1992), fase estrus ditandai dengan sapi yang berusaha dinaiki oleh sapi pejantan, keluarnya cairan bening dari vulva dan peningkatan sirkulasi sehingga tampak merah. Pada saat itu, keseimbangan hormon hipofisa bergeser dari FSH ke LH yang mengakibatkan peningkatan LH, hormon ini akan membantu terjadinya ovulasi dan pembentukan korpus luteum yang terlihat pada masa sesudah estrus. Proses ovulasi akan diulang kembali secara teratur setiap jangka waktu yang tetap yaitu satu siklus birahi. Pengamatan birahi pada ternak sebaiknya dilakukan dua kali, yaitu pagi dan sore sehingga adanya birahi dapat teramati dan tidak terlewatkan (Salisbury dan Vandenmark, 1978) 3. Metestrus



Metestrus ditandai dengan berhentinya puncak estrus dan bekas folikel setelah ovulasi mengecil dan berhentinya pengeluaran lendir (Salisbury dan Vandenmark, 1978). Selama metestrus, rongga yang ditinggalkan oleh pemecahan folikel mulai terisi dengan darah. Darah membentuk struktur yang disebut korpus hemoragikum. Setelah sekitar 5 hari, korpus hemoragikum mulai berubah menjadi jaringan luteal, menghasilkan korpus luteum atau Cl. Fase ini sebagian besar berada dibawah pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum (Frandson, 1992). Progesteron menghambat sekeresi FSH oleh pituitari anterior sehingga menghambat pertumbuhan folikel ovarium dan mencegah terjadinya estrus. Pada masa ini terjadi ovulasi, kurang lebih 10-12 jam sesudah estrus, kira-kira 24 sampai 48 jam sesudah birahi. 4. Diestrus Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus berahi, korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata (Marawali, dkk, 2001).



Gambar 22 (a,b,c,d). palpasi perektal untuk mengetahui dan menentukan status reproduksi sapi betina Proses ovulasi dapat didefinisikan terlemparnya cairan folikel serta ovum ke rongga peritoneal disekitar infundibullum oviduk atau tuba uterin. Kebanyakan



hewan mamalia, ovulasi sangat berkaitan dengan birahi (estrus) karena absorbsi sejumlah besar estrogen ke dalam aliran darah terjadi sesaat sebelum ovulasi (Frandson, 1996). Menurut Toelihere (1993) ovulasi didefinisikan sebagai pelepasan ovum dari folikel de Graaf dan secara umum dikenal bahwa ovulasi disimulir oleh LH, tetapi mekanisme yang sebenarnya tidak diketahui, mungkin LH menyebabkan pengendoran dinding folikel sehingga lapisan-lapisan pecah dan melepaskan ovum dan cairan folikel. Apabila tidak terjadi fertilisasi, korpus luteum berregresi yang disebut korpus albican. Korpus albican ini dimulai regresi 14-15 hari sesudah estrus. Namun jika terjadi fertilisasi lalu kebuntingan korpus luteum akan terus bertahan selama kebuntingan sebagai korpus luteum kebuntingan yanga menghasilkan hormon progesteron untuk mempertahankan kebuntingan (Toelihere, 1993). Perdarahan pada vulva sering terjadi pada heifer dan sapi dewasa 1-3 hari setelah berakhirnya estrus. Fenomena tersebut disebut perdarahan metestrus dan apabila perkawinan dilakukan pada saat tersebut konsepsi jarang terjadi. Perkawinan Sistem perkawinan dalam PT KAR adalah Inseminasi Buatan (IB) dan kawin alam, umumnya dan sering adalah IB. Produksi semen juga berasal dari PT KAR, yang ditampung dari sapi pejantan dalam PT KAR dan diproduksi menjadi semen beku. Betina yang akan dikawinkan atau di IB dalam fase estrus. Penyerentakan siklus estrus juga sering dilakukan yaitu dengan cara sinkronisasi estrus menggunakan hormon Pgf2alf dan juga menggunakan hiomed. Sinkronisasi estrus yang dilakukan di PT KAR adalah menggunakan hormon Pgf2alfa yaitu dilakuka pada hari ke-0 dicek atau deteksi estrus pada hari ke-3 atau 4 kemudian di injeksi hormon Pgf2alfa pada hari ke-14, setelah 3 atau 4 hari di IB.



Gambar 23. Inseminasi Buatan (IB) pada sapi Ongole



Cara ini dilakukan untuk menyeratakan dan memudahkan pada saat IB. Pada saat akan dikawinkan (IB) dicek status atau siklus betina tersebut yaitu dengan cara palpasi. Pada akhir fase estrus dan merupakan awal fase metestrus merupakan waktu atau fase yang baik untuk dikawinkan yang disebut ovulasi. Ovulasi terjadi kurang lebih 10-12 jam sesudah estrus dan kira-kira 24 sampai 48 jam sesudah birahi. Inseminasi Buatan (IB) memiliki tahapan, yaitu penyiapan semen beku dalam straw yang masih berada dalam N2 cair. Straw diambil dan dimasukkan dalam air hangat dengan suhu 37˚C sampai 40˚C selama kurang lebih 30 detik. Kemudian dimasukkan dalam gun IB, ujung straw digunting dan dilapisi dengan plastik gun. Inseminasi Buatan (IB) dilakukan dengan cara memasukkan gun ke dalam mulut vagina dengan kemiringan 45˚ setelah itu diluruskan dan menembusi serviks cincin ke 3 sampai ke 5. Setelah dipastikan bahwa telah masuk dalam cincin serviks maka langsung di tembakan menggunakan gun IB.



Kebuntingan Pemeriksaan kebuntingan pada ternak sapi dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya adalah palpasi perrektal dan ultrasonogarafi (USG). Metode yang digunakan untuk mendeteksi kebuntingan pada saat magang di PT KAR adalah metode palpasi perektal. Palpasi perrektal dilakukan dengan cara



memasukkan tangan ke dalam rektum hingga tercapai perabaan terhadap uterus dan ovarium sehingga dapat diketahui kondisi organ, kelainan, serta siklus reproduksi 8 yang terjadi pada seekor ternak (Hafez, 1980). Tingkat akurasi dalam memprediksi kebuntingan tergantung spesies, periode kebuntingan serta pengalaman palpator, namun metode palpasi rektal relatif memiliki tingkat akurasi mencapai 100% dalam mendiagnosa kebuntingan pada 35-45 hari post breeding (Eilts, 2007). Pada saat pemeriksaan secara perrektal dapat memperoleh beberapa hasil diantaranya ternak sapi bunting, ternak sapi bersiklus (proestrus, estrus, metestrus dan diestrus), ternak sapi prapubertas dan ternak sapi dengan kelainan reproduksi (anestrus postpartum, prolong anestrus, endometritis, kista ovarium dan delay pubertas). Kebuntingan merupakan hasil dari perkawinan yang berhasil. Kebuntingan dapat terjadi apabila tidak adanya birahi kembali. Oleh karena itu perlu dilaksanakan pemeriksaan kebuntingan. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan 6090 hari setelah tidak terjadi birahi kembali. Tanda-tanda positif bunting via palpasi rektal umumnya didasarkan pada perabaan vesikel amnion (kantung amnion), fetal membrane slip, fetus, plasentoma, serta fremitus pada arteria uteri. Temuan vesikel amnion sebagai acuan dalam menentukan status kebuntingan sapi perah dengan palpasi rektal digambarkan oleh Wisnicky dan Cassida (1948), sedangkan tergelincirnya membran chorioallantoic (fetal membrane slip) antara ibu jari dengan jari telunjuk palpator pada hari ke-30 kebuntingan dijelaskan oleh Zemjanis (1970). Ternak sapi dinyatakan positif bunting jika salah satu dari kelima parameter penduga tersebut ditemukan saat palpasi, sedangkan pada metode ultrasonografi, sapi positif bunting diidentifikasi melalui temuan vesikel amnion dan fetus.



Gambar 24. Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) pada sapi ongole



Kelahiran Kelahiran atau partus adalah serentetan proses-proses fisiologik yang berhubungan dengan pengeluaran fetus dan plasenta dari organisme induk pada akhir masa kebuntingan (Toliehere, 1981). Proses kelahiran dibagi ke dalam tiga tahapan. Tidak ada batasan antara tahap satu ke tahap berikutnya, yang biasanya tergabung dalam satu proses yang berkesinambungan. Sebelum kelahiran terjadi beberapa perubahan seperti perkembangan mammae dan relaksasi ligamentum pelvis (Jackson, 2004). Inisiasi atau tanda-tanda kelahiran pada sapi menurut Toliehere (1981) adalah Terjadinya pembengkakan vulva; ambing membesar dan membengkak pada waktu menjelang kelahiran; keluarnya air susu pada puting bila diperas; relaksasi pelvis dan pangkal ekor mencekung; membukanya cerviks dan keluar cairan yang lebih encer dalam jumlah banyak; sapi menjadi gelisah, dengan sebentar-sebentar merebahkan diri kemudian bangkit kembali secara berulang kali. Kejadian fisiologis utama dari ketiga tahapan kelahiran adalah sebagai berikut (Jackson, 2004) : - Tahapan I, relaksasi serviks : Relaksasi dan dilatasi servik, fetus mengambil postur kelahiran, kontraksi uterus dan chorioallantois memasuki vagina - Tahapan II, pengeluaran fetus : Kontraksi uterus berlanjut, fetus memasuki saluran peranakan, kontraksi abdominal terjadi, Amnion memasuki vagina dan pecah dan fetus dikeluarkan



- Tahapan III, pengeluaran plasenta : Hilangnya sirkulasi plasenta, pemisahan plasenta, kontraksi uterus dan abdominal berlanjut dan plasenta dikeluarkan.



Gambar 25. Penanganan partus pada sapi Bali



C). Manajemen pemeliharaan dan reproduksi sapi jantan Pemeliharaan sapi jantan dilakukan secara terpisah (kandang individu dan diikat). Kandang pejantan bersifat Tipe Tunggal merupakan model kandang dengan metode penempatan sapi-sapi dilakukan pada metode satu baris atau satu deret. Terdapat juga kandang Tipe Ganda yaitu model tipe ganda dengan penempatan sapi-sapi dilakukan pada dua baris atau dua jajar dengan saling berhadapan atau bertolak belakang (tail to tail), pada tipe kandang di PT KAR model Tail to Tail dan Head to Head dengan memudahkan pemberian pakan dan pembersihan kotoran ternak jantan yang ada di dalam kandang. Kandang pejantan di PT KAR dibedakan berdasarkan bobot badan dan jadwal penampungan (atau yang paling sering ditampung) untuk mempermudah dalam melakukan recording dan handling ke tempat penampungan.



Gambar 26. Model kandang pejantan



Eartag adalah sebuah alat yang diletakkan pada telinga hewan ternak. Alat tersebut digunakan untuk penomoran dalam proses registrasi atau pendataan hewan ternak. Pada eartag kiri berisikan nomor registrasi dan yang kanan berisikan nama. Kandang dilengkapi dengan papan sebagai identitas yang bertuliskan nama ternak, eartag, tanggal lahir, ras ternak, asal ternak dan berat. Papan nama digunakan untuk mengetahui identisas ternak.



Gambar 27. Papan identitas sapi di kandang pejantan



Terdapat tali temali yang melingkari leher dari pejantan, bertujuan untuk : Mempermudah penanganan ternak baik di lapangan maupun di dalam kandang; menghindarkan kerugian yang disebabkan oleh ternak disamping itu untuk menjamin keamanan bagi ternaknya sendiri; mempermudah penanganan seharihari, seperti pemotongan kuku, ekor, tanduk koma, pencukur bulu, kastrasi dll. Pemasangan Cincin Keluh (ring nose) juga dilakukan yaitu merupakan tali yang menembus lubang hidung sapi dari kanan ke kiri. Sapi yang sudah dikeluh (dipasang tali keluh) ini menjadi



lebih terkendali dan lebih mudah dibawa



kemana-mana. Setiap kali tali keluh ini ditarik sapi akan merasa kesakitan dan akan berhenti melawan.



Gambar 28. Pemasangan ring nose dan tali temali untuk memudahkan pada saat handling



Produksi semen beku 1. Penampungan semen Penampungan semen dilakukan 2 kali dalam seminggu, dengan jantan yang berbeda tiap harinya. Sebelum dilakukan penampungan dilakukan persiapanpersiapan meliputi pengecekan kesehatan pejantan tersebut dan hal lain seperti berikut :  Persiapan tempat bull teaser dan bull teaser Tempat untuk penampungan dalam keadaan bersih dan kering, menggunakan alas dari karet. Penggunaan ini mencegah bull teaser tidak terpeleset saat dinaiki oleh bull yang akan ditampung.



Gambar 29. Persiapan pejantan sebagai pemancing



Karakteristik bull teaser yang digunakan adalah memiliki ukuran tubuh yang cukup besar dan tulang kaki yang besar dan kuat, agar bull teaser kuat untuk menumpu pada saat dinaiki. Tinggi bull teaser tidak melebihi ukuran bull yang akan ditampung, memudahkan pejantan untuk menaiki. Bull teaser juga memiliki sifat diam atau tenang. Kemudian bull teaser dimasukkan ke dalam kandang jepit lalu diikat.



Gambar 30. Handling pada pejantan sebagai pemancing  Persiapan Artificial Vagina (AV) Toelihere (1993) menyatakan bahwa penampungan semen merupakan suatu proses pengambilan semen pejantan yang sudah dewasa kelamin pada saat



ejakulasii dengan menggunakan vagina buatan, elekroejakulator dan pemijitan. Di PT KAR, proses penampungan semen segar dilaksankan menggunakan metode vagina buatan. Vagina buatan adalah suatu alat yang digunakan untuk menampung semen dimana alat tersebut akan dikondisikan sebagaimana vagina asli dari ternak ternak tersebut. artificial vagina (outher tube dan inner tuber liner) dan karet cone setelah disterilkan diletakan dalam kondisi higienis. Collection tube 15 ml dipasang pada ujung cone, masukkan air panas bersuhu 50° - 55° C sebayak 550 – 650 ml ke dalam artificial vagina. Artificial vagina yang telah diisi air hangat kemudian dipompa untuk disesuaikan dengan ukuran penis sapi, selanjutnya simpan artificial vagina (yang sudah diisi air) di dalam ikubator bersuhu 40 - 45°C. Olesi artificial vagina dengan lubricating jelly dengan menggunakan glass stick dimulai bagian luar lubang sampai 1/3 bagian atas dari artificial vagina. Bagian luar lubang artificial vagina tidak boleh disentuh oleh tangan atau diletakkan sembarang tempat karena telah steril.



Gambar 31. Persiapan alat penampung semen  Persiapan pejantan sebelum ditampung Pejantan yang akan ditampung perlu memperhatikan beberapa hal sebelum dikeluarkan dari kandang ; nama sapi, bangsa, warna bulu, motif atau belang pada tubuh sapi, label telinga (ear tag), pejantan yang akan



ditampung semennya sudah dalam keadaan bersih (sudah dimandikan) dan sudah diberi makan. Selanjutnya pejantan dikeluarkan dari kandang menuju tempat penampungan dengan cara di tarik menuju ke pemancing.



Gambar. Persiapan pejantan sebelum dilakukan penampungan semen  Persiapan kolektor Kolektor harus menggunakan wear pack, safety boots dan glove steril agar dapat bekerja dengan aman dan steril. Pejantan melakukan mounting sebanyak 2 – 3 kali tetapi apabila terlalu sering pejantan akan mudah lelah dan penis akan menjadi kotor. Pejantan biasanya mengeluarkan cairan kelenjar asesoris terlebih dahulu dan penis harus dalam keadaan ereksi (keras dan berwarna merah) serta penis dihindari agar tidak menyentuh bagian pantat teaser.



Gambar 32. Persiapan kolektor (petugas penampung semen)  Penampungan semen Penampungan semen dilakukan setelah pejantan mengalami mounting lebih dari 2 kali, selanjutnya ketika terjadi ereksi, kolektor memegang bagian pangkal penis untuk memastikan atau merasakan ketegangan penis dan juga untuk menghindari ujung penis menyentuh



teaser. Artificial vagina dibawa dengan tangan kanan dengan sudut kemiringan 35° dengan lubang artificial vagina menghadap kebawah, tangan kiri memegang preputium, lalu ditarik perlahan ke arah kolektor. Pada saat terjadi ereksi, penis diarahkan lalu dimasukkan ke dalam lubang artificial vagina. Pada saat ejakulasi penis begerak cepat sehingga gerakan artificial vagina juga harus searah dengan gerakan penis. Setelah semen ditampung atau setelah terjadi ejakulasi, collection tube diarahkan ke bawah dan lubang artificial vagina agak ke atas agar semen tidak tumpah.



Gambar 33. Proses penampungan semen pada sapi sumba Ongol



 Proses setelah penampungan Setelah dilakukan penampungan, karet cone dilepas dari artificial vagina, beri label pada collection tube dan cocokan dengan identitas pejantan. Sampel kemudian dikirim ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan. Semen tidak boleh mengalami temperature shock (perbedaan suhu antara semen dengan lingkungan) dan terkena sinar matahari, karena itu collection tube harus diberi selongsong berwarna hitam. Setelah itu dilakukan persiapan penampungan selanjutnya. Bila suatu pejantan ditampung sebanyak dua kali, maka antara penampungan yang satu dengan yang kedua diberi jarak 15 menit dan pejantan diistirahatkan di ruang tunggu.



 Pemeriksaan semen Keberhasilan IB ditentukan oleh beberapa faktor yaitu keterampilan inseminator, kondisi ternak dan kualitas semen beku. Selama proses pengolahan, kulitas semen beku akan dipengaruhi oleh proses koleksi, pengenceran, pengemasan, dan pembekuan semen. Proses pengenceran memiliki tujuan untuk memperbanyak volume semen; melindungi spermatozoa dari cold shock; menyediakan zat makanan sebagai sumber energi bagi spermatozoa; menyediakan buffer untuk mempertahankan pH, tekanan osmotik, dan keseimbangan elektrolit; mencegah kemungkinan terjadinya pertumbuhan kuman (Partodihardjo, 1992). Pemeriksaan semen segar yang dilakukan di meliputi pemeriksaan makroskopis untuk menentukan volume, warna, bau, konsistensi dan pH, pemeriksaan konsentrasi dan pemeriksaan mikroskopis untuk menentukan motilitas (gerak massa dan gerak individu) spermatozoa.



a. Pemeriksaan makroskopis - Volume semen Semen segar yang lolos pemeriksaan sesuai dengan standar yang ditentukan PT KAR selanjutnya akan diproses untuk menjadi semen beku. Sebelum diproses menjadi semen beku, terlebih dahulu dilakukan pengenceran untuk menjaga daya tahan hidup spermatozoa. Pengenceran semen dilakukan untuk mengurangi kepadatan dan menjaga kelangsungan hidup spermatozoa. Bahan pengencer tersebut mengandung zat - zat makanan sebagai sumber energi dan tidak bersifat racun bagi spermatozoa, dapat melindungi spermatozoa dari kejut dingin (cold shock), menghambat pertumbuhan mikroba serta bersifat sebagai penyangga (Djanuar, 1985). Volume semen sapi antara 5-8 ml, volume rendah tidak merugikan tetapi apabila disertai dengan konsentrasi yang rendah akan membatasi jumlah spermatozoa yang tersedia (Feradis, 2010). Pada saat penampungan diperoleh volume semen adalah



Bahan pengencer yang sering digunakan di PT KAR adalah Tris Kuning Telur sebagai bahan pengencer semen sapi. -



Warna Semen sapi normal berwarna seperti susu atau krem keputih-



putihan dan keruh. Kira-kira 10% sapi menghasilkan semen yang normal dengan warna kekuningkuningan, yang disebabkan oleh riboflavin yang dibawa oleh satu gen autosom resesif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap fertilitas (Feradis, 2010). Adanya kuman-kuman Pseudomonas Aeruginosa di dalam semen sapi dapat menyebabkan warna hijau kekuning-kuningan apabila semen dibiarkan di suhu kamar. Gumpalan-gumpalan, bekuan dan kepingankepingan di dalam semen menunjukkan adanya nanah yang umumnya berasal dari kelenjar-kelenjar pelengkap dari ampula. Semen yang berwarna gelap sampai merah muda menandakan adanya darah segar dalam jumlah berbeda dan berasal dari saluran kelamin urethra atau penis. Warna kecoklatan menunjukkan adanya darah yang telah mengalami dekomposisi. Warna coklat muda atau warna kehijau-hijauan menunjukkan kemungkinan kontaminasi dengan feses (Feradis, 2010). -



pH Pemeriksaan pH dilakukan menggunakan kertas lakmus, pada



umumnya, sperma sangat aktif dan tahan hidup lama pada pH sekitar 7,0. Motilitas partial dapat dipertahankan pada pH antara 5 sampai 10. Walaupun sperma segera dimobiliser oleh kondisi-kondisi asam, pada beberapa spesies dapat dipulihkan kembali apabila pH dikembalikan ke netral dalam waktu satu jam. Sperma sapi dan domba yang menghasilkan asam laktat dalam jumlah yang tinggi dan metabolisme fruktosa plasma seminalis, sehingga penting untuk memberikan unsur penyangga seperti garam phospat, sitrat bikarbonat di dalam medium (Toelihere, 1985).



Gambar 34. Mengukur pH semen



-



Konsistensi atau kekentalan Merupakan salah satu sifat semen yang erat kaitannya dengan



kepadatan atau konsentrasi sperma di dalamnya. Semakin kental semen maka dapat diartikan semakin tinggi konsentrasi sperma. Konsistensi atau derajat kekentalan dapat dilihat dengan cara memiringkan tabung gelas penampung dan selanjutnya kembali ke posisi normal. konsistensinya kental jika semen tersebut kembali ke posisi semula lebih lama.



b. Pemeriksaan mikroskopis -



Konsentrasi Sorensen (1979) konsentrasi spermatozoa pada sapi berkisar antara



800 - 1200 juta/ml, serta menurut Brito et al. (2002) konsentrasi spermatozoa pada Bos taurus sebesar 1200 juta/ml, namun pada Pemeriksaan konsentrasi spermatozoa pada semen segar sapi oleh Lestari, dkk. (2013) menggunakan alat spektrofotometer, konsentrasi spermatozoa rata-rata pejantan sebesar 1460,31 ± 421,67 juta/ml. Perhitungan konsentrasi spermatozoa yang dilakukan di PT KAR menggunakan metode dalam kamar hitung. Menurut Feradis (2010), metode perhitungan secara langsung dilakukan memakai alat penghitung sel-sel darah merah atau hemocytometer. Pipet erythrocyt diisi dengan semen yang belum diencerkan sampai tanda 0,5. Suatu larutan 3% NaCl dihisap sampai tanda 101 pada pipet; larutan tersebut mengecerkan sekaligus mematikan spermatozoa. Larutan ini dikocok hati-hati tetapi cukup cepat menurut angka



8 selama 2 sampai 3 menit. Beberapa tetes dibuang dan dikocok lagi. Beberapa tetes lagi dibuang, kemudian satu tetes ditempatkan dibawah gelas penutup pada kamar hitung sel darah merah menurut Neubauer. Sel-sel spermatozoa di dalam 5 kamar dihitung menurut arah diagonal. Karena setiap kamar mempunyai 16 ruangan kecil, maka di dalam 5 kamar terdapat 80 ruangan kecil. Dengan volume setiap ruangan kecil adalah 0,1 mm3 dan pengenceran 200 kali, dan apabila di dalam 5 kamar atau 80 ruangan kecil terdapat X spermatozoa, maka konsentrasi spermatozoa yang diperiksa adalah:



Prosedur ini memberi suatu indikasi yang akurat tentang konsentrasi spermatozoa di dalam contoh semen apabila pencampuran larutan dilakukan sempurna (Feradis, 2010).



-



Motilitas Menurut Salisbury dan Vandenmark (1985) sesuai dengan bentuk



morfologi spermatozoa dan pola metaboliknya yang khusus dengan dasar produksi energy spermatozoa hidup dapat mendorong dirinya sendiri maju ke depan di dalam lingkungan zat cair. Motilitas telah sejak lama dikenal sebagai alat untuk memindahkan spermatozoa melalui saluran reproduksi hewan betina. Transport kilat spermatozoa dari serviks ke infundibulum terjadi secara otomatik (meski pada spermatozoa tidak motil) karena rangsangan oxitocyn, terhadap konsentrasi saluran reproduksi. Motilitas spermatozoa di dalam infundibulum bertugas sebagai alat penyebaran spermatozoa secara acak ke seluruh daerah saluran kelamin betina, dimana terdapat ovum yang mampu dibuahi, jadi menjamin kepastian secara static pertemuan spermatozoa dengan ovum. Faktor-faktor yang mempengaruhi



motilitas spermatozoa adalah umur sperma, maturasi (pematangan) sperma, penyimpanan energi ATP (Adenosin Triphosfat), agen aktif, biofisik dan fisiologik, cairan suspense dan adanya rangsangan hambatan (Hafez, 2000). Pemeriksaan gerak massa dilakukan dengan meneteskan semen pada object glass dan diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali (10 x 10) sedangkan untuk mengamati gerak individu semen diteteskan di object glass dan ditutup dengan cover glass kemudian diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 200 kali. Amati presentase sperma yang hidup dan motilitasnya (penentuan



presentase motilitas ditentukan dengan gerakan



yang progresif), catat hasil pengamatan, setelah selesai pengamatan, lakukan persiapan untuk pengamatan selanjutnya. Presentase spermatozoa yang motil minimal 70% +++ ~ ++, spermatozoa yang abnormal harus kurang dari 10%, hal-hal lain yang diamati adalah ada tidaknya nanah/darah putih sampah atau debu lain yang disebabkan karena adanya iritasi atau inlamasi dan adanya sel-sel, semen ini harus dibuang, catat data hasil pemeriksaan lalu masukkan data ke dalam komputer. Pejantan yang fertil mempunyai 50% sampai 80% spermatozoa yang motil aktif progresif (Feradis, 2010), dan selain itu nilai tersebut menunjukkan bahwa semen segar tersebut layak diproses menjadi semen beku karena nilai motilitasnya diatas 60% (Sarastina, 2012).



Gambar 35. Melihat motilitas dan gerakan massa spermatozoa



Spermatozoa dalam suatu kelompok mempunyai kecenderungan untuk bergerak bersama-sama ke satu arah yang menyerupai gelombanggelombang yang tebal dan tipis, bergerak cepat atau lamban tergantung dari konsentrasi spermatozoa hidup di dalamnya. Gerakan massa spermatozoa dapat dilihat dengan jelas di bawah mikroskop dengan pembesaran kecil (10x10) dan cahaya yang dikurangi. Berdasarkan penilaian gerakan massa, kualitas semen dapat ditentukan sebagai berikut: a. Sangat baik (+++), terlihat gelombang-gelombang besar, banyak, gelap, tebal dan aktif bagaikan gumpalan awan hitam saat akan turun hujan yang bergerak cepat berpindah-pindah tempat. b. Baik (++), bila terlihat gelombang-gelombang kecil, tipis, jarang, kurang jelas dan bergerak lamban. c. Cukup (+), jika terlihat gelombang melainkan hanya gerakan-gerakan individual aktif progresif. d. Buruk (N, necrospermia atau 0), bila hanya sedikit atau tidak ada gerakangerakan individual.



c. Pengenceran semen Pengenceran semen dilakukan untuk mengurangi kepadatan dan menjaga kelangsungan hidup spermatozoa. Bahan pengencer tersebut mengandung zat –zat makanan sebagai sumber energi dan tidak bersifat racun bagi spermatozoa, dapat melindungi



spermatozoa



dari



kejut



dingin



(cold



shock),



menghambat



pertumbuhan mikroba serta bersifat sebagai penyangga (Djanuar, 1985). Bahan pengencer yang sering digunakan di PT KAR adalah Tris Kuning Telur, bahan pengencer Tris Kuning Telur terdiri dari Tris aminomethane, asam sitrat monohidrat, kristal glucosa, kuning telur, penicillin, strepromycin dan aquabidestilata.



Tris



aminomethane



berfungsi



sebagai



buffer



dan



mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan elektrolit. Kuning telur berfungsi melindungi spermatozoa terhadap cold shock dan sebagai sumber energi (Triana, 2005). Sekitar 30% dari berat telur adalah bagian dari kuning telur.



Kuning telur memiliki komposisi gizi yang lebih lengkap dibanding putih telur. Komposisi kuning telur terdiri dari air, protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin (Sarwono, 1995). Protein telur termasuk sempurna karena mengandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah yang cukup seimbang (Haryanto, 1996). Menurut Toelihere (1985) kuning telur mengandung lipoprotein dan lechitin yang mempertahankan dan melindungi integritas dan selubung lipoprotein dari sel spermatozoa dan mencegah cold shock. Menurut Hafez (1987) mengenai daya guna telur ayam sebagai pengencer semen sangat berharga dan pada dewasa ini penggunaannya meluas ke seluruh dunia. Tetapi pada kuning telur juga terdapat zat yang dapat merusak fertilitas spermatozoa. Volume semen yang diencerkan harus sesuai dengan jumlah dari kadar pengenceran yaitu dengan cara menghitung konsentrasi dan motil progresif dari semen tersebut, setelah diketahui jumlah dosis semen sapi kemudian dikali dengan volume inseminasi dan dikurangi dengan volume semen sapi segar, sehingga didapat jumlah pengencer yang akan ditambahkan (Nilna, 2012).



Jumlah pengencer = volume semen x %motilitas x konsentrasi 100 juta (dosis)



Gambar 36. Proses pengenceran semen menggunakan tris kuning telur



Evaluasi before freezing dilakukan untuk mengetahui motilitas sperma setelah pengenceran terhadap daya tahan sperma tersebut sebelum dikemas dalam



bentuk straw. Evaluasi before freezing menentukan proses selanjutnya yakni filling dan sealing. Batas minimal motilitas sperma sebelum dilakukan freezing adalah 55% +++ ~ ++. Evaluasi before freezing dilakukan pada hari kedua setelah penampungan sekitar 1-3 jam setelah penambahan gliserol sebelum dilakukan filling sealing. Bila motilitas lebih dari 55% akan dilanjutkan dengan proses freezing. Jika motilitas kurang dari 55% semen akan diafkir atau tidak dilanjutkan untuk proses freezing. Pengemasan produk semen meliputi printing straw, sterilisasi straw, serta filling dan sealing. Straw printing meliputi nama pejantan, bangsa pejantan, sexing dan non sexing, nomor urut dan tanggal pembuatan. Filling dan sealing dilakukan secara manual. Pre freezing merupakan suatu tahapan penurunan suhu straw yang sudah berisi semen cair dari suhu 4 °C – (-140) °C secara bertahap dengan menggunakan uap N2 cair.



Gambar 37 a. Penulisan identitas straw secara manual, 2b. straw yang siap untuk diisi dengan semen yang sudah diencerkan



Proses terakhir adalah proses freezing pada suhu -196°C dan dilakukan penyimpanan. Proses freezing dilakukan di dalam storage container yang telah berisi N2 cair dengan suhu -196°C. Pengggunaan N2 cair ini dikarenakan N2 cair dapat membekukan pada suhu yang paling rendah dan dapat menyimpan semen pada waktu yang lama. Setelah proses freezing, diambil sampel semen beku secara acak untuk dilakukan pengujian kembali (Post Thawing Motility), setelah semen beku yang ada dalam goblet dimasukkan ke dalam canester kemudian canester tersebut dimasukkan ke dalam container. Sampel straw semen beku diambil secara acak untuk dilakukan pengujian kembali (Post Thawing Motility) dengan menyiapkan air hangat dengan suhu 37 –



38 °C di tempat thawing (seluruh bagian straw terendam). Hal ini dilakukan untuk mengecek motilitas setelah sperma dibekukan. Standar motilitas semen beku yang layak adalah 40%.



Gambar 38. Freezing dirakit dalam sterofom berisi N2 cair (-20°C, -76°C, 196°C)



Gambar 39. Penyimpanan dalam goblet, canister dan dalam kointener.



D). Transfer Embrio Aplikasi Transfer Embrio (TE) di Indonesia dimulai pada awal dasawarsa 1980-an. Saat ini penelitian dan penguasaan teknologi telah dilakukan dan dikembangkan oleh berbagai institusi dan beberapa Perguruan Tinggi. Keberhasilan teknologi TE di Indonesia masih sangat beragam dan dampaknya untuk perkembangan maupun peningkatan produktivitas ternak masih sangat minimal. PT KAR bekerja sama dengan LIPI untuk meningkatkan teknologi reproduksi dalam hal transfer embrio. Produksi embrio di PT KAR dilakukan secara in vivo yaitu dengan cara mengambil atau memanen embrio yang terdapat di dalam uterus (rahim) sapi betina donor (penghasil embrio), kemudian dipindahkan pada sapi betina yang



lain (betina resipien) atau untuk disimpan dalam keadaan beku (freeze embryo). Produksi embrio secara in vivo juga dikenal dengan teknologi Multiple Ovulation Embrio Transfer (MOET). Teknologi ini sudah sangat luas diaplikasikan dalam dua dasawarsa terakhir ini (Cunningham, 1999), seperti di Eropa, Amerika, Jepang, Australia dan Negara maju lainnya. Tujuan dari teknologi ini adalah untuk menghasilkan embrio yang banyak dalam satu kali siklus. Untuk memperbanyak embrio yang dipanen, maka pada sapi-sapi betina donor biasanya dilakukan teknik superovulasi, yaitu suatu perlakuan menggunakan hormon untuk memperoleh lebih banyak sel telur (ovum) pada setiap periode tertentu. Sehingga dengan demikian, seekor betina donor yang telah disuperovulasi dan kemudian dilakukan Inseminasi Buatan (IB), akan menghasilkan banyak embrio untuk dipanen. Hal ini dapat dicapai dengan penyuntikan hormone gonadotrophin (FSH, PMSG) secara intra muscular pada siklus berahi hari ke 10. Penyuntikan PMSG dilakukan satu kali penyuntikan sedang FSH diberikan umumnya 2 x sehari dengan interval waktu 12 jam selama 3-5 hari pemberian. Secara umum dilaporkan jumlah embrio yang tertampung lebih tinggi dengan pemberian FSH dibanding PMSG (Seidel dan Seidel, 1982; Boland dan Roche, 1991; Situmorang et al, 1993, 1995). Tidak didapat perbedaan yang nyata antara jenis dan produk dan metode pemberian FSH (3, 4 dan 5 hari) terhadap jumlah embrio yang tertampung (Situmorang et al., 1993, 1994, 1995) lebih lanjut pemberian FSH dalam sekali suntik juga dapat dilakukan untuk tujuan super ovulasi. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian hCG atau penyuntikan FSH tunggal pada siklus berahi hari 1 dapat meningkatkan jumlah embrio yang tertampung (Situmorang et al., 1998). Saat ini produksi embrio dapat mencapai 30 embrio/koleksi, tetapi ratarata hanya sekitar 5−7 embrio/koleksi yang layak untuk ditransfer atau dibekukan. Sehingga seekor sapi (donor) secara teoritis dapat menghasilkan 20−30 embrio per tahun. Donor yang memberikan respons yang baik pada perlakuan superovulasi pertama juga memberikan respons yang sama pada superovulasi yang berikutnya (Situmorang et al, 1993).



Embrio-embrio tersebut kemudian dipanen (flushing) 2 hari setelah superovulasi dan inseminasi. Hasil panen kemudian dilakukan evaluasi kualitas embrio (grading), setelah itu hasilnya dapat disimpan beku atau ditransfer pada betina lain. Oestrus synchronization (sinkronisasi estrus) adalah usaha yang bertujuan untuk mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi donor dan resipien. Sinkronisasi estrus umumnya menggunakan hormone prostaglandin F2f2α (PGF2α) atau kombinasi hormon progesteron dengan PGF2α. Sedangkan menurut Asrul superovulasi menggunakan hormone gonadotropin, seperti FSH (Follicle Stimulating Hormonr) atau PMSG (Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin). Penyuntikan hormon itu akan meningkakan jumlah corpus luteum. Proses koleksi embrio (flushing embrio) dari betina donor hingga transfer ke betina resipien adalah sebagai berikut : Dilakukan penyuntikan anestesi lokal epidural untuk menghindari gerakan berlebih dari betina donor pada saat flushing embrio. Anestesi epidural atau anastesi spinal adalah anastesi regional yang diperoleh dengan menyuntikkan anestetika kedalam kanalis spinalis. Karena terjadi kontak antara anastetika dengan saraf spinal atau dengan akar saraf spinal, maka akan timbul anastesi pada daerah inervasi serabut saraf sensorisnya dan paralisa otot pada daerah inervasi serabut saraf motorisnya. Penyuntikan anastesi epidural jarum tidak sampai menembus durameter dan larutan anaestetika dicurahkan kedalam ruang epidural (Dugdale, 2010). Anestesi ini juga sering disebut anestesi caudal pada sapi; perlu dimengerti bahwa medula spinalis pada sapi ke kaudal berakhir di lumbal ke-6/terakhir, sedang selubung durameternya berakhir pada veterbra sakralis ke3-4. Garis tengah kanalis spinalis sakralis 1,8-2 cm, sedang di lumbal ada 4 cm, ini dapat menjelaskan bahwa paralisa saraf kaudal ke depan sampai saraf sakralis dapat disebabkan oleh dosis yang relatif sedkit dibanding paralisa saraf lumbalis, yaitu cukup dengan dosis 20 ml prokain HCL 2%, sedang untuk lumbalis diperlukan dosis 100 ml. Lokasi penyuntikan anestesi ini di interkoksige 1 atau antara tulang koksige 1 dan 2. Dosis pada pedet maksimal 10 ml, sapi ukuran sedang 10-15 ml dan sapi besar 20 ml prokain HCI 2% (Dugdale, 2010).



Anestesi epidural pada sapi dapat digunakan untuk keperluan menjahit di daerah perineum, vulva, irirgasi uterus, pemeriksaan vagina dan cervik uterus, memgkoreksi presentasi fetus, embriotomi, fetotomi, prolapsus vagina/uterus dan lain-lain operasi di daerah belakang tubuh.



Gambar 40. Penyuntikan anestersi lidokain epidural



Embrio tahap morula atau blastosis dikoleksi dari donor pada hari ke-6 atau ke-7 sesudah berahi, embrio tersebut ditransfer secara bilateral atau unilateral dengan teknik tanpa operasi ke tanduk uteri sapi resipien. Transfer embrio secara langsung dilakukan dengan menggunakan embrio segar yang diperoleh dari sapi donor yang dikoleksi embrionya pada hari yang sama dengan perlakuan transfer embrio. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan pada 60 hari setelah transfer embrio. Selanjutnya sapi-sapi resipien yang bunting dipelihara dengan baik dan tidak digunakan untuk bekerja . Pemeriksaan kebuntingan selanjutnya dilakukan pada unnir kebuntingan 120 hari untuk memastikan kebuntingan kembar dan pada saat menielang kelahiran sapi-sapi resipien bunting tersebut diamati supaya dapat melahirkan dengan baik tenitama pada kebuntingan kembar. Setclah transfer embrio, sennia sapi-sapi resipien diamati siklus berahimva Sapi resipien dilakukan berdasarkan kondisi eksterior,umur, sudah pernah melahirkan minimal 1 kali dan mempunyai alat reproduksi yang normal. Sapi resipien yang berahi alam diamati siklus estrusnya, kemudian sapi yang mempunyai siklus yang baik digunakan sebagai resipien dalam penelitian ini tanpa diinduksi dengan hormon.



Gambar 41. a) pemasangan gun flushing dan mini flushing (NaCl), b) proses memasukan angin untuk mengecek posisi gun pada kornua



Gambar 42. Proses penampungan embrio



Gambar 43. Transfer Embrio pada betina resipien



3.4. Feedlot PT. Karya Anugerah Rumpin atau akrab dengan sebutan KAR adalah salah satu perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang pembibitan (breeding) dan peggemukan ternak sapi (feedlot). Di PT KAR jenis sapi untuk penggemukana adalh jenis sapi Brahman Cross.



Hikmah (2002) menyatakan penggemukan adalah pemeliharaan sapi dewasa dalam keadaan kurus untuk ditingkatkan berat badannya melalui pembesaran daging dalam waktu relatif singkat (3-5 bulan).Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam program akhir usaha penggemukan adalah bakalan.Bakalan sapi yaitu sapi-sapi jantan muda (berumur 2 – 3 tahun) dari bangsa sapi tertentu, baik lokal maupun impor, dengan bobot badan antara 250– 400 kg. Jenis kelamin sangat mempengaruhi waktu dalam proses penggemukan. Jenis sapi bakalan yang umum digunakan untukusaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah sapi Brahman Cross (Anonimus b, 2010). Brahman cross banyak diminati oleh feedloter sebab pertambahan bobot badan harian (Average Daily Gain = ADG) dan persentase karkas lebih tinggi dengan komponen tulang lebih rendah dibanding sapi lokal (Hadi, 2002). Soeparno dan Sumadi (2000) yang menyebutkan potensi genetik individu di dalam bangsa dapat berbeda dan ukuran tubuh dewasa individu di dalam suatu bangsa dapat menyebabkan perbedaan tingkatan laju pertumbuhan. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka perlu diketahui bagaimana pertumbuhan sapi Brahman cross jenis steer yang mempunyai berat badan awal dan frame size yang berbeda. Di PT KAR sapi Brahman cross yang di gemukkan ketika dikirim memiliki bobot badan berkisar 250 -300kg. Sapi yang baik untuk digemukkan adalah sapi dalam kondisi kurus tetapi sehat supaya Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) yang dihasilkan tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kongpite (2010) yang mengungkapkan bobot badan sapi bakalan yang terlalu berlebihan akan menyebabkan sapi tersebut tidak dapat digemukkan lagi. Ditambahkan oleh Parakkasi (1999) yang menyatakan kegemukan akan menurunkan nafsu makan yang kemungkinan disebabkan oleh adanya kompetisi dalam pengisian rongga abdomalis atau adanya



feedback dari jaringan lemak. Perlu pertimbangan



terhadap tingkat kegemukan tersebut, misalnya dalam memprediksi pertambahan bobot badan akhir penggemukan guna mengambil kebijakan dalam pemasaran.



Gambar 44. Sapi Brahman Cross



Di PT Karya Anugerah Rumpin (PT KAR), target pakan: 



Berat badan, jenis kelamin, Bangsa, umur/ lama pelihara, performa fisik/status, pakan yang dipakai, target ADG (Average Daily Gaint), sisa pakan, cuaca.







Lama pemeliharaan (Days on Feed) Laju pertumbuhan dipengaruhi oleh jenis kelamin, hormon, pakan, gen,



iklim dan kesehatan induk (Hashaider, 2007).Menyinggung peranan faktor hormon, aktivitasnya di dalam pertumbuhan bergantung pada beberapa faktor yang melibatkan suplai makanan, potensi genetik, dan lingkungan. Secara langsung maupun tidak langsung hormon-hormon tersebut dapat mengubah reaksi biokimia yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan komponen tubuh. Hormon yang mempengaruhi pertumbuhan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok anabolik antara lain somatotropin, testosteron, dan tiroksin dan kelompok katabolik antara lain estrogen. Hormon yang berpengaruh secara langsung pada pertumbuhan, antara lain adalah somatotropin, tiroksin, androgen, estrogen, dan glukokortikoid. Hormon somatotropin disintesa selama sebelum pubertas dan pubertas (Hermawan, 2007). Mutu, jumlah pakan dan caracara pemberiannya sangat mempengaruhi kemampuan produksi sapi pedaging. Untuk mempercepat penggemukan, selain dari rumput, perlu juga diberi pakan penguat berupa konsentrat yang merupakan campuran berbagai bahan pakan umbi - umbian,sisa hasil pertanian , sisa hasil



pabrik dan lainlain yang mempunyai nilai nutrien cukup dan mudah dicerna (Setiadi, 2001). Pemberian pakan dimaksudkan agar sapi dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus untuk pertumbuhan dan reproduksi. Pada umumnya, setiap sapi membutuhkan pakan berupa hijauan. Sapi dalam masa pertumbuhan, sedang menyusui dan sedang digunakan sebagai tenaga kerja memerlukan pakan yang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya (Djarijah, 1996). Sapi di PT KAR pemberian hijauan terleebih dahulu di potong kecil menggunakan mesin.



Gambar 45. Proses pembuatan pakan hijauan



Dalam menyusun ransum harus diusahakan agar kandungan nutrien di dalam ransum sesuai dengan nutrien yang dibutuhkan ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan bereproduksi (Santoso, 2002). Ransum adalah satu atau campuran beberapa jenis bahan pakan yang disusun sedemikian rupa sehingga mampu memenuhi kebutuhan ternak selama 24 jam. Ransum yang diberikan pada sapisapi yang digemukan tergantung pada sistem penggemukan yang digunakan. tambahan berupa konsentrat (Siregar, 2003).



A



B



Gambar 46. A. Konsentrat yang telah dikarungkan, 40kg/karung; B. Distribusi Konsentrat



Kebutuhan ransum Kebutuhan bahan kering untuk sapi 2-4% dari bobot badan, hijauan 10% dai bobot badan Untuk sapi perah dan sapi lokal perbandingan hijauan dan konsentrat adalah 60% : 40%, sapi feedlot diberikan konsentrat 70%. Ransum ternak ruminansia pada umumnya terdiri dari hijauan dan konsentrat. Pemberian ransum berupa kombinasi kedua bahan itu akan memberi peluang terpenuhinya nutrien dan biayanya relatif murah. Namun bisa juga ransum terdiri dari hijauan ataupun konsentrat saja. Apabila ransum terdiri dari hijauan saja maka biayanya relatif murah dan lebih ekonomis, tetapi produksi yang tinggi sulit tercapai, sedangkan pemberian ransum hanya terdiri dari konsentrat saja akan memungkinkan tercapainya produksi yang tinggi, tetapi biaya ransumnya relatif mahal dan kemungkinan bisa terjadi gangguan pencernaan (Siregar, 1996). Pakan ternak untuk penggemukan sapi merupakan faktor yang penting untuk meningkatkan produksinya. Pakan yang baik adalah pakan yang mengandung protein,karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Protein adalah unsur utama dalam pemeliharaan organ tubuh dan pertumbuhan, sedangkan karbohidrat berguna sebagai sumber energi yang akan digunakan untuk proses metabolisme. Pada usaha penggemukan sapi, pemberiaan pakan konsentrat lebih banyak daripada hijauan, hal ini bertujuan untuk meningkatkan pertambahan berat badan yang cepat (Darmono, 1993). Target feedcontrol di PT KAR  Hari pemeliharaan untuk sapi feedlot 90-120 hari  Rata – rata kenaikan bobot badan kisaran minimal 1,3kg  % karkas dari Berat karkas: BB sapi hidup x 100%, target minimal 51%



 FCR (Feed Conversion Rate) perbandingan pakan yang diberikan menjadi 1kg daging target dibawah 7 Pada sapi feedlot pakan konsentrat yang diberikan, untuk: Starter



: 10%



Grower



: 12%



Finsher



: 15%



Untuk sapi local dan sapi perah pakan yang diberi jumlah hijauan lebih banyak dibandingkan konsentrat, karena masa pemeliharaan yang cukup panjang.



3.5. Kesehatan Hewan `



Menejeman kesehatan di PT KAR, adalah dilakukannya kontrol sapi di



kandang feedlot dan breeding, control dilaksanakan setiap harinya, pada pukul 07.00, 11.00 dan 15.00. control yang dilakukan dengan cara membangunkan semua sapi,inspeksi keadaan umum dari sapi yaitu cuping hidung dan leleran dari hidung, tipe pernafasan, amnggota gerak kulit dan rmabut. Hewan yang mengalami perubahan setalah control, akan dipindahkan ke kandang isolasi untuk selanjutnya di treatment. Penyakit yang paling sering menyerang sapi di PT KAR adalah Emphysema Pulmonum. Emphysema pulmonum adalah penambahan volume paru paru karena terakumulasinya udara secara berlebihan (Mirah, 2014). Emphysema pulmonum merupakan salah satu gangguan pernafasan yang dapat menyebakan kematian pada sapi (Schroeder, 2005) dan merupakan salah satukasus kejadian yang mengganggu sistem pernafasan sapi pada beberapa waktu terakhir di PT KAR (03 – 28 Oktober 2016) yang sampai menyebabkan sapi harus dipotong paksa. Diagnosa tentatif Emphysema pulmonum dapat diketahui pasca nekropsi, dapat dilihat perubahan pada paru – paru (Schrooder, 2005). Di PT KAR selama bulan Oktober 2016 terdapat 2 hewan yang di diagnosa Emphysema dan dipotong paksa, terdiri dari 1 sapi Brahman Cross (Feedlot) dan 1 sapi FH (Breeding).



Tabel 5. Kasus Emphysema pada sapi



Jenis Sapi



Jenis Kelamin



Jumlah



Sembuh



Wagyu



Jantan



1



1



SO



Jantan



3



3



PO



Betina



1



1



Limosin



Jantan



1



1



BC



Jantan



2



2



Betina



5



4



Pengobatan



yang dilakukan adalah dengan



DiPotong Paksa



1 (2918) pemberian



antibiotic



Oksitetrasiklin (Limoxin®), antihistamine (Vetadryl®) dan terapi suportif (Biodin®) .



Gambar 47. Sapi yang mengalami Emphysema Pulmonum dan di potong paksa.



Gejala klinis sapi suspect Emphysema pulmonum di PT KAR adalah : •



Demam







Nafsu makan menurun







Leleran dari hidung berlebihan







Dipsnoe







Pernafasan thorakoabdominal"mendengus ekspirasi,“Hipersalivasi, dan leher dan kepala diperpanjang.



Etiologi penyebab Emphysema pulmonum adalah, bakteri, cuaca dan toxin (tryptophan). Perubahan cuaca menyebabkan stress. Akibat dari stress, terjadinya peningkatan hormon kortisol dalam darah sehingga sistem imun yg terdapat pada silia akan menjadi menurun daya fagosit dan mudah terinfeksi agen infeksi. Agen infeksi salah satu adalah bakteri, dapat berupa Mycoplasma spp. Bordetella bronchiseptica Dimana pathogen ini merusak sistem tranpors silia yaitu mucociliary escalator (Nasution I. K., 2007). Selain itu dapat juga disebabkan oleh toxin. Toxin ini dihasilkan akibat Pakan hijauan beralih ke pakan yang kering. Perubahan pakan yg ekstrem fermentasi rumen, 3-Methylindole (3MI). Tryptophan, asam amino yang normal ditemukan dalam protein, pertama berubah menjadi indoleacetic acid (IAA) oleh bakteri rumen. Sebuah spesies Lactobacillus dari bakteri telah diisolasi dari rumen yang mengubah IAA ke 3MI. 3MI dihasilkan hanya dari IAA dan tidak langsung dari triptofan. 3MI yang terbentuk (beracun) . Diserap dari rumen, diangkut ke paru-paru dalam darah. Metabolit 3MI pada paru paru mengganggu sistem fungsi oksidase sangat reaktif yang menyebabkan cedera selektif untuk sel-sel paruparu. Kasus ini disebut Acute bovine pulmonary edema and emphysema (ABPE) atau Emphysema Fog Fever (Honeyfield dan Carlson, 2001, Schroeder, 2005). Gejala klinis emphysema pulmonum menurut Subronto, 2003: Demam (42 0



C), kurangnya nafsu makan, leleran dari hidung yang berlebihan (Nasal



discharge) serous-mukous. Hail ini akibat infeksi dar bakteri serta dispnoe. Frekuensi nafas mencapai 40-80 kali per menit dengan tipe abdominal (tidak lagi costoabdominal) Sering menjulurkan lidah untuk bernafas melalui mulut, Hipersalivasi, leher dan kepala, diperpanjang merupakan gejala Fog Fever (Honeyfield dan Carlson, 2001, Schroeder, 2005 . Terapi simptomatis menurut Katzung, 2003: •



Pemberian antihistamin (dyphenilhidramine HCL)







Pemberian analgesik & antiinflamasi(Dypirone dan flunixin)







Pemberian antibiotik berspektrum luas bekerja secara bakteriostatik Pada saluran pernafasan(Oksitetrasiklin, Kombinasi Amoxicilin + asam klavulanat).







Terapi suportif



Gambar 48. Penyuntikan obat Sapi suspect Emphysema pulmonum



Pada kasus Fog Fever, menurut Honeyfield dan Carlson, 2001, Schroeder, 2005 Pemberian obat baik itu antihistamin, kortikosteroid, dan epinephrine telah digunakan untuk mengobati sapi yang sakit dengan ABPE, tidak ada bukti eksperimental bahwa kelangsungan hidup hewan yang sakit dapat ditingkatkan dengan menggunakan obat ini, sehingga lebih disarankan untuk dipotong.



3.6. Pengolahan Limbah Satu ekor sapi dengan bobot badan 400–500 kg dapat menghasilkan limbah padat dan cair sebesar 27,5-30 kg/ekor/hari. Limbah padat merupakan semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau berada dalam fase cair (air seni atau urine). Sebagai limbah organik yang mengandung lemak, protein dan karbohidrat, apabila tidak cepat ditangani secara benar, maka yang ditimbulkannya seperti pencemaran air, udara, dan sumber penyakit (Affandi,2008). Di PT KAR pengolahan pupuk dari limbah sapi adalah menjadi pupuk cair dan pupuk padat. Urine sapi dapat diolah menjadi pupuk organik cair setelah diramu dengan campuran tertentu. Bahan baku urin yang digunakan merupakan



limbah dari peternakan yang selama ini juga sebagai bahan buangan. Pupuk organik cair dari urin sapi ini merupakan pupuk yang berbentuk cair tidak padat yang mudah sekali larut pada tanah dan membawa unsure - unsur penting guna kesuburan tanah. Namun, pupuk organik cair dari urine sapi juga memiliki kelemahan, yaitu kurangnya kandungan unsur hara yang dimiliki jika dibandingkan dengan pupuk buatan dalam segi kuantitas (Sutanto, 2002). Upaya untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah meningkatkan produksi volume urin yang akan di olah dengan cara memilih urin sapi sebagai bahan bakunya. Dengan mengolah urin sapi menjadi pupuk cair dan agar lebih meningkatkan kandungan haranya, maka perlu ditambahkan tetes tebu yang memiliki kandungan bahan organik yang dapat meningkatkan kualitas pupuk yang dihasilkan.



Gambar 49. Pemisahan limbah padat dan cair



Jika kita hanya memanfaatkan fermentasi urine saja, maka urine yang dijadikan sebagai pupuk cair tidak begitu maksimal hasilnya pada tanaman. Maka dari itu, proses ini memerlukan material tambahan dalam pembuatan pupuk tersebut. Material tersebut dapat diperoleh dari tetes tebu (molasses).



Gambar 50. Molasses (tetes tebu)



Tetes tebu merupakan sumber karbon dan nitrogen bagi ragi yang didapatkan dari proses fermentasi. Prinsip fermentasi adalah proses pemecahan senyawa organik menjadi senyawa sederhana yang melibatkan mikrorganisme. Mikroorganisme ini berfungsi untuk menjaga keseimbangan karbon (C) dan Nitrogen (N) yang merupakan faktor penentu keberhasilan dalam proses fermentasi. Fungsi tetes tebu dalam proses fermentasi adalah sebagai aditif yang berfungsi untuk penyuburan mikroba , karena dalam tetes tebu (molasses) terdapat nutrisi bagi bakteri Sacharomyces cereviceae. Sacharomyces cereviceaebertugas untuk menghancurkan material organik yang ada di dalam urine dan tentunya mereka juga membutuhkan nitrogen (N) dalam jumlah yang tidak sedikit untuk nutrisi mereka. Nitrogen (N) akan bersatu dengan mikroba selama penghancuran material organik. Oleh karena itu dibutuhkan tambahan material tetes tebu yang mengandung komponen nitrogen sangat diperlukan untuk menambah kandungan unsur hara agar proses fermentasi urine berlangsung dengan sempurna. Selain itu, berdasarkan kenyataan bahwa tetes tebu tersebut mengandung karbohidrat dalam bentuk gula yang tinggi (64%) disertai berbagai nutrien yang diperlukan jasad renik juga dapat meningkatkan kecepatan proses produksi pengolahan urine sapi menjadi pupuk dalam waktu yang relative singkat (Wijaya, 2008).



Gambar 51. Pupuk cair



Untuk pengolahan limbah sapi menjadi pupuk padat menggunakan metode Sistem Wind Row. Sistem



wind row merupakan proses pembuatan pupuk



kandang yang paling sederhana dan paling murah. Dengan sistem ini, kotoran ternak hanya ditumpuk memanjang dengan tinggi tumpukan 0,6 – 1 m dan lebar 2 – 5 m. Sementara



panjangnya dapat mencapai 40 - 50 m. Sistem ini



memangaatkan sirkulasi udara secara alami. Optimalisasi lebar, tinggi dan panjangnya tumpukan sangat dipengaruhi oleh keadaan bahan baku, kelembapan, ruang pori, dan sirkulasi udara untuk mencapai bagian tengah tumpukan bahan baku. Idealnya tumpukan bahan baku ini harus dapat melepaskan panas untuk mengimbangi pengeluaran panas yang ditimbulkan sebagai hasil proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba. ( Budianto,2002)



Gambar 52. Proses pembalikan untuk mengelaurkan panas



Sistem wind row ini merupakan sistem komposting yang baik yang telah berhasil dilakukan di banyak tempat untuk memproses pupuk kandang. Untuk mengatur temperature , kelembapan, dan oksigen dilakukan proses pembalikan secara periodik. Pembalikan juga dapat menghambat bau yang mungkin timbul. Pembalikan dapat dilakukan baik secara mekanis maupun manual. Di PT KAR pemabilakan dilakukan secara manual. Dengan hanya membalik bahan pupuk kandang secara periodik, pupuk kandang akan mengalami proses dekomposisi dengan sendirinya sehingga bisa menghemat biaya. Sementara kelemahan dari sistem ini adalah memerlukan areal lahan yang cukup luas.



Gambar 53. Pengepakan Pupuk sampai siap di distribusi