Laporan Metode Lowry [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PRAKTIKUM BIOKIMIA LAPORAN PRAKTIKUM PENENTUAN KADAR PROTEIN DALAM ALBUMIN TELUR MELALUI METODE LOWRY



OLEH PUTU CIPTAYANI PARTAMA PUTRI



1613031001



NI MADE DWI DAHLIA WATI



1613031016



KELAS VA



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2018



I. Judul Penentuan Kadar Protein dalam Albumin Telur melalui Metode Lowry II. Tujuan Menentukan kadar protein dalam albumin telur. III. Dasar Teori Protein tersusun atas asam-asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptide.Telur merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyrakat.Dalam protein (albumin) telur ini terkandung beberapa asam amino seperti tirosin dan triptofan. Untuk mengetahui kandungan protein diperlukan suatu analisis penentuan kadar protein. Ada beberapa metode yang digunakan dalam rangka penentuan konsentrasi protein, yaitu metode Biuret, metode Lowry dan metode-metode lainnya. Pemilihan metode yang akan digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu protein tergantung pada beberapa faktor, yaitu banyaknya material sampel yang tersedia, waktu yang tersedia untuk melakukan analisis, serta alat spektrofotometer yang tersedia. Pemilihan metoda yang baik dan tepat dalam suatu pengukuran tergantung dari beberapa faktor seperti banyaknya material atau sampel yang tersedia, wakru yang tersedia untuk melakukan pengukuran, serta alat spektrofotometer yang tersedia (Redhana, 2004). Reagen pendeteksi gugus fenolik seperti reagen folin-ciocalteu digunakan dalam penentuan konsentrasi oleh Lowry yang selanjutnya disebut dengan metoda Lowry.Dalam bentuk yang paling sederhana, reagen folin-ciacelteu dapat mendeteksi residu protein (tirosin) karena kandungan fenolik dalam residu tirosin yang mampu mereduksi reagen fosfotungstat dan fosfomolibdat menjadi tungstat dan molibdenum yang berwarna biru. Adapun struktur tirosin ditunjukkan sebagai berikut:



O HO



CH2CH C NH2



O H



Gambar 1 .Struktur asam amino tirosin Reagen fosfotungstat dan fosfomolibat merupakan konstituen utama ragen Folin Ciocelteu yang direduksi menghasilkan tungstat dan molibdenum yang meunjukkan puncak absorpsi lebar pada daerah merah dan spektrum sinar tanpak (600-800 nm). Sensitifitas dari reagen Folin Ciocelteu ini mengalami perubahan yang cukup signifikan apabila ditambahkan dengan ion-ion Cu2+ (metode Biuret). Kompleks Cu-protein yang



dihasilkan oleh reagen Biuret, akan menyebabkan reduksi pula pada fosfotungstat dan fosfomolibat dalam reagen Folin Ciocelteu. Kira-kira 75% dari reduksi terjadi diakibatkan oleh kompoleks Cu-protein tersebut, dan 25% direduksi oleh residu-residu tirosin dan triptofan (Tika, 2010). Reagen Folin Ciocelteu merupakan suatu komposisi kompleks yang diperoleh dengan



pemanasan



refluks



dari



Na-tungstat



dan



Na-molibat



dengan



asam



ortofosfat.Selain itu, disertakan pula komponen-komponen lain untuk meningkatkan kestabilan reagen dalam kondisi normal berwarna kuning pucat. Pada saat menentukan konsentrasi protein dalam suatu sampel, harus dilakukan pula pengukuran terhadap beberapa larutan protein standar yang memiliki rentangan konsentrasi tertentu. Pengukuran yang dilakukan terhadap larutan protein standar dan sampel menggunakan spektrofotometer. Dengan pengukuran ini akan diperoleh absorbansi dari larutan standar dan sampel. Spektroskopi adalah salah satu metoda analisis instrumental yang didasarkan pada interaksi energi (radiasi elektromagnetik/cahaya) dan materi (atom/molekul).Struktur elektronik suatu spesi atau suatu molekul sangat menentukan serapan cahaya oleh spesi atau molekul tersebut.Warna senyawa-senyawa kompleks tergantung pada logam yang terlibat dan jumlah orbital d yang dimilikinya yang berhubungan dengan keadaan oksidasinya. Pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer (metoda spektofotometri) akan mendapatkan absorbansi. Spektrofotometri mempunyai aplikasi yang cukup luas pada analisis secara kuantitatif. Hasil pengukuran secara kuantitatif dengan metoda ini mempunyai akurasi yang tinggi, walaupun tidak seakurat metode instrumentasi serapan atom/sinar gama. Dalam mempelajari sifat kuantitatif dari adsorpsi radiasi, berkas radiasi dikenakan pada sampel dan kemudian intensitas radiasi yang diteruskan atau yang ditransmisikan diukur.Kebanyakan pekerjaan analisis larutan dimana larutan yang dianalisa dilarutkan langsung di dalam pelarutnya atau sebelumnya mengalami perlakuan kimia sehingga mampu mengadsorpsi radiasi.Radiasi yang diadsorpsi oleh sampel ditentukan dengan membandingkan intensitas dari berkas radiasi yang diteruskan.Langkah-langkah umum dalam analisis spektrofotometri, terutama pada daerah cahaya tampak adalah seperti berikut. a). Pembentukan senyawa berwarna



Langkah ini dilakukan apabila senyawa yang dianalisis tidak melakukan penyerapan di daerah tampak. Dalam hal ini senyawa tersebut harus diubah menjadi senyawa lain yang dapat melakukan penyerapan atau direaksikan dengan suatu reaksi pembentukan warna hingga dapat menyerap sinar tampak. Pereaksi yang menimbulkan warna, harus memenuhi beberapa persyaratan yakni reaksinya dengan zat yang dianalisis harus selektif dan sensitif, tidak membentuk senyawa berwarna dengan zat-zat lain yang ada dalam larutan, reaksinya dengan zat lain yang dianalisis harus cepat dan kuantitatif (sempurna), warna atau senyawa yang terbentuk harus cukup stabil untuk jangka waktu tertentu, dan tidak terlalu cepat berubah dengan perubahan pH. b). Pemilihan panjang gelombang Panjang gelombang yang digunakan untuk keperluan analisis kuantitatif secara spektrofotometer adalah panjang gelombang yang sesuai dengan absorbansi maksimum (puncak serapan). Hal ini disebabkan perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah paling besar pada panjang gelombang maksimum, maka akan diperoleh kepekaan yang maksimum pula (Isomono, 1981,72). Berikut merupakan panjang gelombang yang dapat dideteksi oleh UV-Vis.



Keterangan: Gambar 2. Panjang gelombang yang dapat dideteksi oleh UV-Vis.  Violet : 400-420 nm 



Indigo



: 420-440 nm







Blue



: 440-490 nm







Green



: 490 – 570 nm







Yellow



: 490 -570 nm







Orange



: 570 – 620 nm







Red



: 620 – 780 nm



c). Pembuatan kurva kalibrasi Untuk kurva kalibrasi, dibuat larutan standar dengan berbagai konsentrasi yang diketahui. Absorbansi larutan standar ini diukur, kemudian dibuat grafik absorbansi (A) terhadap konsentrasi (C). Kurva yang terbentuk ini nantinya disebut kurva kalibrasi. Melalui kurva kalibrasi atau kurva standar, konsentrasi larutan sampel



dapat dengan mudah diketahui atau dihitung dari pembacaan absorbansi sampel. Ketelitian pembacaan absorbansi yang baik pada umumnya ada pada nilai absorbansi diantara 0,2-1,0 atau nilai transmitansnya (T) diantara 0,1-0,75 (10-75%T), dimana kesalahan pembacaan T pada skala ini diperkirakan ± 0,5% T (Isomono,1981,75). Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV atau tampak harus dilakukan bila senyawa awal tidak menyerap pada daerah tersebut. Oleh karena itu, senyawa tersebut harus diubah menjadi senyawa lain yang menyerap didaerah UV atau diubah menjadi senyawa berwarna. Pembentukan senyawa dengan rantai konjugasi yang lebih panjang dan pembentukan senyawa kompleks sering dilakukan untuk tujuan ini. Hubungan antara kadar zat penyerap dengan dasarnya absorpsi radiasi dirumuskan oleh Lambert-Beer pada tahun 1989. Hukum Lambert-Beer menjabarkan pengurangan eksponensial dari intensitas radiasi yang diteruskan karena peningkatan aritmatik dari kadar zat penyerap, sehingga diperoleh persamaan:



log



Io 1  A   log T  log( ) I T



Io/I disebut optical density (OD) atau absorbansi (A), sedangkan I/Io disebut transmitan (T), yaitu proporsi radiasi yang diteruskan. Bila T dikalikan dengan 100% disebut persen transmitansi (%T). Dengan menggunakan notasi-notasi yang merupakan penggabungan Hukum Beer dengan Hukum Bouguer, maka Hukum Beer dapat dituliskan sebagai berikut A=bC Dimana  merupakan absorptivitas molar yang nilainya tergantung pada panjang gelombang dan jenis zat, b merupakan tebal medium penyerap yang biasanya dinyatakan dalam centimeter, C merupakan konsentrasi molar. Pada saat menentukan konsentrasi protein dalam sampel, harus dilakukan pula pengukuran terhadap beberapa larutan protein standar yang memiliki rentangan konsentrasi tertentu dimana konsentrasi sampel protein berada dalam rentangan tersebut.Protein dimasukkan pertama kali kedalam tabung reaksi, lalu ditambahkan aquades. Seluruh tabung harus mempunyai volume akhir yang sama. Reagen pembentuk kompleks selalu ditambahkan terakhir dan biasanya diperlukan selang waktu tertentu terjadinya reaksi yang sempurna. Larutan standar protein dan sampel diukur dengan spektrofotometri. Hasil pengukuran dibuat dalam kurva kalibrasi



standar yang diperoleh dengan mengukur absorbansi sederetan larutan standar. Misalnya kurva kalibrasi sebagai berikut:







b



Gambar 3. Kurva kalibrasi Dengan bantuan kurva kalibrasi, konsentrasi larutan sampel dapat ditentukan dengan mudah atau dihitung dengan persamaam regresi. Berdasarkan kurva kalibrasi, dapat diperoleh persamaan sebagai berikut: y = ax – b Dimana: y = absorbansi sampel a = tan  x =konsentrasi sampel b = titik potong terhadap sumbu y (intersep) IV. Alat dan Bahan No.



Nama Alat



Tabel.1 tabel alat Jumlah



1



Spektrofotometer



1 buah



2



Gelas kimia 100 mL



3 buah



3



Batang pengaduk



3 buah



4



Gelas ukur 5 mL



2 buah



5



Pipet tetes



2 buah



6



Pipet volumetric 5 mL



1 buah



7



Tabung reaksi



8 buah



8



Gelas ukur 10 mL



1 buah



No.



Tabel.2 tabel bahan Nama Bahan Jumlah



1



Reagen biuret



51 mL



2



Reagen A



50 mL



3



Reagen B



1 mL



4



Reagen folin-cioceltau



4 mL



5



larutan BSA



2,5 mL



6



larutan preotein standar



0.1 mL



7



Larutan Na2CO3



25 mL



8



Larutan NaOH 0,1 N



25 mL



9



Larutan CuSO4.5H2O 0.5 %



2,5 mL



10



larutan na-tartarat



2,5 mL



V. Prosedur dan Hasil Pengamatan Tabel 3. Prosedur Kerja dan Hasil Pengamatan No Prosedur Kerja Hasil Pengamatan 1 Reagen biuret dibuat dengan  Reagen A dibuat dengan mencampurkan



reagen



A



menambahkan 2% Na2CO3 dalam



sebanyak 50 mL dan reagen B



0,1 N larutan NaOH. Reagen A



sebanyak 1 mL



berwarna bening.



Gambar 4. Reagen A 



Reagen



B



dibuat



dengan



menambahkan 5% CuSO4.5H2O dalam 1 % larutan Na-tartarat.



Reagen B berwarna biru muda.



Gambar 5. Reagen B 



Reagen



biuret



dibuat



dengan



menambahkan 50 mL reagen A dalam 1 mL reagen B. reagen biuret



berwarna



bening



tak



berwarna. 2



Larutan



albumin



telur



dengan



melarutkan



10



dibuat Larutan albumin telur berwarna putih mL kekuningan sebelum diencerkan dan



albumin telur ke dalam 90 mL berwarna putih setelah diencerkan aquades. Kemudian 10 mL dari campuran ini diencerkan lagi sebanyak 10 kali (pengenceran menjadi 100 kali)



Gambar 6. Larutan albumin telur sebelum diencerkan



Gambar 7. Larutan albuminsetelah diencerkan 3



Larutan



protein



standar larutan albumin telur dimasukan ke



(digunakan larutan albumin telur) dalam tabung reaksi dan ditambahkan dengan air hingga volumenya air hingga volumenya 1 mL. menjadi 1,0 mL. melakukan hal yang sama pada larutan sampel



Gambar 8. Larutan albumin telur dalam tabung reaksi 4



Sebanyak 5 mL reagen buret Kedalam dimasukan



masing-masing



tabung



ke dalam masing- reaksi yang berisi larutan abumin dan



masing tabung yang berisi larutan larutan sampel ditambahkan reagen standar dan sampel. Kemudian biuret sebanyak 5 mL. Warna larutan campuran diinkubasi selama 10 tetap bening kekuningan. Kemudian menit pada suhu kamar



dilakukan inkubasi selama 10 menit pada



suhu



kamar



tidak



terjadi



perubahan warna pada larutan yaitu tetap bening kekuningan.



Gambar 9. Larutan abumin dan larutan sampel ditambahkan reagen biuret sebanyak 5 mL 5



 Sebanyak 0,5 mL reagen fenol  (fenolik-ciocelteu) ditambahkan



Kedalam masing-masing tabung reaksi titambahkan larutan fenol



ke



dalam



dan dikocok, terjadi perubahan



masing-masing tabung reaksi



warna pada larutan dari larutan



kemudian dikocok



berwarna



 Masing-masing tabung reaksi



bening



kekuningan



menjadi berwarna biru kehijauan.



dinkubasi selama 30 menit 



Kemudian



pada



(waktu



pada larutan selama 30 menit



setelah



warna larutan tidak berubah tetap



suhu



inkubasi



kamar dimulai



penambahan reagen fenolik



dilakukan



inkubasi



berwarna biru kehijauan



ciocelteu ke dalam tabung terakhir



Gambar 10. Larutan ketika diinkubasi 6



Absorbansi dari masing-masing Dilakukan larutan



dengan



pengukuran



absorbansi



panjang pada masing-masing tabung sehingga



gelombang 700 nm dibaca dengan didapatkan hasil sesuai dengan tabel mengunakan spectrometer dengan dibawah. menggunakan tabung 1 sebagai



blanko.



Gambar 11. Absorbansi dari masing-



masing larutan dengan panjang gelombang 700 nm



VI.



Analisis Data Tabel 4. Langkah-langkah Penentuan Kadar Protein secara Lowry



No



Penambahan (mL)



Nomor Tabung 1



2



3



4



5



6



7



8



1.



Standar BSH (200µg/mL)



-



0,1



0,2



0,4



0,6



0,8



1,0



-



2.



Sampel protein



-



-



-



-



-



-



-



0,5



3.



Aquades



1



0,9



0,8



0,6



0,4



0,2



-



0,5



4.



Reagen biuret



5



5



5



5



5



5



5



5



Tak berwarna



Tak berwarna



Tak berwarna



Tak berwarna



Tak berwarna



Tak berwarna



Tak berwarna



Tak berwarna



Pengamatan warna



Aduk hingga tecampur merata, inkubasi selama 10 menit pada suhu kamar 5.



Reagen fenol



0,5



Pengamatan warna



Bening kehijauan



0,5



0,5



0,5



0,5



0,5



0,5



0,5



Bening kehijauan



Bening kehijauan



Bening kehijauan



Bening kehijauan



Bening kehijauan



Bening biru kehijauan lebih tua dari 6



Hijau lumut sedikit biru (tua)



Aduk segera hingga tercampur merata, inkubasi selama 30 menit pada suhu kamar. Baca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 700 nm Pengamatan warna setelah inkubasi



Tabung 1 sampai 7 berwarna hijau lebih bening dibandingkan tabung 8 berwarna hijau lebih pekat



6.



% T700nm



100



95



92



83



93



92



83



65



7.



A700nm



0



0,02



0,035



0,08



0,03



0,035



0,08



0,19



VII.



Pembahasan



Dalam percobaan ini dilakukan analisis kadar protein dalam sampel larutan putih telur dengan menggunakan metode Lowry. Prinsip metode Lowry adalah menentukan konsentrasi protein yang didalamnya terdapat asam amino yang mengandung gugus fenolik seperti tirosin dan triptofan dengan menggunakan reagen pendeteksi gugus-gugus fenolik, yaitu reagen Folin-Ciocalteu. Dimana salah satu residu dari asam amino yang memiliki gugus fenolik adalah asam amino tirosin dan triptopan. Pada metode ini digunakan spektronik 20+ untuk menganalisis absorbansi larutan sampel dan larutan standar. Agar dapat diabsorbansi radiasinya, larutan yang dianalisis harus menunjukkan warna tertentu sehingga dapat menyerap cahaya pada daerah UV-tampak (visible). Untuk keperluan ini digunakan reagen Folin-Ciocalteu yang dapat mendeteksi gugus fenolik yang terdapat pada residu protein. Salah satu residu dari asam amino yang memiliki gugus fenolik adalah asam amino tirosin dan triptopan. Gugus fenolik yang terdapat pada asam amino ini dapat mereduksi fosfotungstat dan fosfomolibdat yang terkandung dalam reagen Folin-Ciocalteu menjadi tungstat dan molibdenum yang berwarna biru sehingga konsentrasi protein dapat diketahui. Adapun reaksi yang terjadi dalam asam amino terhadap reagen Folin-Ciocalteu adalah sebagai berikut.



H2N



O Mo O



P 12



HO



OH



kuning pucat (fosfomolibdat)



O



C



C



OH



H2N



CH2



3-



O



O



H



H



O



C



C



CH2



+ H3PO4



MoO2 + molibdenum (ion berwarna biru)



+ OH



OH



OH HO



O



H2N



H



O



C



C



H2N



3-



O



C



C



OH



OH



CH2



CH 2



PW12O40



H



WO42-



+



+



+ H3PO 4



tungstat (ion berwarna biru)



kuning pucat (ion fosfotungstat) OH



HO



O



Gambar 12. Reaksi Fosfomolibdenum dan Fosfotungstat Dalam reaksi di atas, diketahui bahwa fosfotungstat dan fosfomolibdat bertindak sebagai agen pereduksi gugus fenolik yang terdapat pada larutan yang dianalisis, dimana gugus fenolik itu sendiri bertindak sebagai oksidator yang mengoksidasi fosfotungstat dan fosfomolibdat menjadi tungstat dan molibdenum yang merupakan kompleks yang berwarna biru. Tungstat dan molibdenum yang dihasilkan dari reaksi menunjukkan puncak absorpsi lebar pada daerah merah dan spektrum sinar tampak pada panjang gelombang 600-800 nm. Karena yang bertindak sebagai agen pengoksidasi dalam reaksi di atas adalah residu tirosin yang jumlahnya relatif sedikit dalam larutan uji diperlukan penambahan konstituen lain yang dapat meningkatkan sensitifitas reagen Folin-Ciocalteu. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyiapkan reagen Folin-Ciocalteu dan reagen Biuret. Setelah kedua reagen disiapkan selanjutnya dilakukan penambahan reagen biuret. Penambahan reagen biuret pada tabung 1-7 (berisi larutan standar) menyebabkan larutan menjadi berwarna biru bening. Penambahan reagen biuret ini ke dalam larutan bertujuan untuk meningkatkan sensitifitas reagen Folin-Ciocalteu dimana dalam penambahan reagen biuret akan terbentuk kompleks Cu2+ dengan residu asam amino yang terdapat pada larutan uji menghasilkan kompleks Cu-protein. Kompleks yang terbentuk adalah sebagai berikut.



O



C



C



NH



HN CHR O



C HN CHR



O



Cu2+



RHC C



O



NH RHC



Gambar 13. Kompleks Cu-protein



Kompleks Cu-protein yang yang dihasilkan oleh reagen biuret akan menyebabkan juga reduksi pada fosfotungstat dan fosfomolibdat dimana kira-kira 75% dari reduksi yang terjadi diakibatkan oleh adanya kompleks Cu-protein, sementara residu-residu tirosin dan triptopan mereduksi 25% sisanya. Dengan adanya penambahan reagen tersebut maka sensitifitas warna yang dihasilkan akan meningkat dan pengukuran absorbansi dan transmitansi menjadi lebih akurat. Sebelum melakukan pengukuran absorbansi sampel, perlu dilakukan pembuatan kurva kalibrasi sampel atau standar. Larutan standar protein yang digunakan dalam praktikum ini adalah Larutan albumin telur. Larutan ini dibuat sebagai larutan induk/larutan standar. Larutan induk ini selanjutnya dibuat dengan konsentrasi yang berbeda-beda melalui pengenceran. Tujuan dari pembuatan larutan induk/standar dengan konsentrasi yang berbeda-beda bertujuan untuk mempermudah pembuatan kurva kalibrasi. Selanjutnya ke dalam larutan standar tersebut ditambahkan reagen biuret yang berfungsi untuk membentuk kompleks Cuprotein sehingga terjadi produksi tungstat dan molibdenum dari reagen Folin-Ciocalteu. Hasil yang diperoleh setelah larutan standar 1-7 ditambahkan dengan reagen Folin-Ciocalteu adalah larutan menjadi berwarna biru bening yang kepekatannya meningkat dari tabung 1-7. Warna biru yang terbentuk mengindikasikan terbentuknya tungstat dan molibdenum dalam pencampuran tersebut. Untuk tabung 8 yang berisi larutan sampel (albumin telur), oleh karena warna yang dihasilkan sangat pekat (hijau jambrud), maka dilakukan pengenceran sebanyak dua kali. Dimana larutan tersebut diambil sebanyak 5 mL dan ditambahkan aquades hingga volumenya mencapai 10 mL. Selanjutnya konsentrasi dari masing-masing tabung reaksi dapat dihitung dengan persamaan berikut: V1M1 = V2M2 Keterangan : V1 = volume albumin telur sebelum pengenceran M1 = konsentrasi albumin telur sebelum pengenceran V2 = volume albumin telur setelah pengenceran M2 = konsentrasi albumin telur setelah pengenceran Perhitungan konsentrasi masing-masing tabung reaksi adalah sebagi berikut. Tabung 1 : tidak ada penambahan larutan albumin telur (BSA), sehingga konsentrasinya 0 mg/mL.



Tabung 2 : M 2 



V1  M 1 0,2mg / mL  0,1mL   0,02 mg / mL V2 1,0 mL



Tabung 3 : M 2 



V1  M 1 0,2 mg / mL  0,2 mL   0,04 mg / mL V2 1,0 mL



Tabung 4 : M 2 



V1  M 1 0,2 mg / mL  0,4 mL   0,08 mg / mL V2 1,0 mL



Tabung 5 : M 2 



V1  M 1 0,2 mg / mL  0,6 mL   0,12 mg / mL V2 1,0 mL



Tabung 6 : M 2 



V1  M 1 0,2 mg / mL  0,8 mL   0,16 mg / mL V2 1,0 mL



Tabung 7 : M 2 



V1  M 1 0,2 mg / mL  1,0 mL   0,2 mg / mL V2 1,0 mL



Setelah diinkubasi selama 30 menit, larutan pada tabung 1-7 berwarna hijau dan pada tabung 8 berwarna hijau tua. Kemudian masing-masing larutan yang ada pada tabung reaksi diukur absorbansinya. Pada metode ini digunakan alat spektronik 20+ untuk menganalisis absorbansi larutan sampel dan larutan standar protein (BSA). Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh nilai absorbansi dan transmitasi larutan standar protein (BSA) dan sampel sebagai berikut: Tabel 6. Absorbansi dan Konsentrasi Jenis Tabung



%T



T



Absorbansi



Konsentrasi (mg/mL)



Tabung 1



100



1



0



0



Tabung 2



95



0,95



0,02



0,02



Tabung 3



92



0,92



0,035



0,04



Tabung 4



83



0,83



0,08



0,08



Tabung 5



93



0,93



0,03



0,12



Tabung 6



92



0,92



0,035



0,16



Tabung 7



83



0,83



0,08



0,2



Tabung 8



65



0,65



0,19



X



Dari data pada tabel di atas dapat dibuat kurva kalibrasi untuk larutan standar protein (BSA) sebagai berikut.



Kurva Absorbansi terhadap Konsentrasi mg/mL 0.09 0.08 y = 0.2568x + 0.0173 R² = 0.4128



0.07



absorbansi



0.06 0.05 0.04



Absorbansi



0.03



Linear (Absorbansi)



0.02 0.01 0 0



0.05



0.1



0.15



0.2



0.25



konsentrasi mg/mL



Persamaan yang diperoleh dari kurva kalibrasi di atas adalah : y = 0,2568x + 0,0173, dimana y adalah absorbansi (A) dan x adalah konsentrasi (C), sehingga persamaan di atas juga dapat ditulis sebagai berikut. y = 0,2568x + 0,0173 A = 0,2568C + 0,0173 Berdasarkan perhitungan di atas diperoleh absorbansi sampel yaitu sebesar 0,19. Konsentrasi sampel dapat ditentukan atau dihitung dengan cara mensubstitusikan nilai absorbansi sampel ke dalam persamaan garis di atas, sehingga diperoleh: A = 0,2568C + 0,0173 0,19 = 0,2568C + 0,0173 0,19 – 0,0173 = 0,2568C 0.1727 = 0,2568C C = 0,6725 mg/mL Jadi, konsentrasi sampel protein setelah diencerkan 100 kali (pada tabung 8) adalah 0,6725 mg/mL. Untuk konsentrasi sampel protein sebelum pengenceran dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut: V1.M1 = V2.M2, dimana V1 = Volume sampel sebelum pengenceran



M1 = Kadar sampel sebelum pengenceran V2 = Volume sampel setelah pengenceran M2 = Kadar sampel setelah pengenceran V1.M1



= V2.M2



1 mL x M1 = 100 mL x0,6725 mg/mL M1 =



100 mL x 0,6725 mg/mL 1 mL



= 67,25 mg/mL Jadi, konsentrasi sampel unknown tersebut adalah 67,25 mg/mL. Dengan demikian dapat ditentukan kadar protein larutan sampel sebagai berikut: 𝑥=



67,25 100% 129,25 x = 52,03%



Berdasarkan data hasil percobaan, diperoleh kurva yang tidak berupa garis lurus. Adanya penyimpangan ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Kurang tepatnya konsentrasi dari larutan standar, sehingga mempengaruhi konsentrasi pada masing-masing tabung reaksi. 2. Ketidaktelitian dalam pengukuran komposisi reagen pada masing-masing tabung reaksi sehingga mempengaruhi hasil pengukuran. 3. Larutan standar tiap- tiap tabung dikerjakan oleh beberapa orang, sehingga kemungkinan besar perlakuan yang diberikan pada masing- masing tabung tidak sama. 4. Beberapa zat yang



mengganggu penetapan kadar protein dengan metode Lowry ini



diantaranya yaitu buffer, asam nukleat, dan gula/karbohidrat, deterjen, gliserol, Tricine, EDTA, Tris, senyawa-senyawa kalium, sulfhidril, disulfida, fenolat, asam urat, guanin, xanthine, magnesium dan kalsium.



VIII. Simpulan Berdasarkan hasil percobaan dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi protein yang terkandung dalam sampel protein adalah 67,25 mg/mL dan kadar protein yang terkandung sebesar 52,03%.



DAFTAR PUSTAKA Khopkar, S.M. 1990. Basic Concepts of Analytical Chemistry. Terj. Saptoraharjo, A. Konsep Dasar Kimia Analitk. Jakarta: UI-Press. Kirna, I Made. 2006. Buku Ajar Kimia Analisis Instrumen. Singaraja: Jurusan Pendidikan Kimia, IKIP Negeri Singaraja. Kirna, I Made. 2007. Dasar-Dasar Spektroskopi. Singaraja: UNDIKSHA. Muderawan, I Wayan. 2007. Buku Ajar Analisis Instrumen. Singaraja : Undiksha Poedjadi, Anna dan Titin Supriyanti. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Universitas Indonesia. Redhana, I Wayan. 2004. Penuntun Praktikum Biokimia. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Sudarmadji, S, Haryono, B, Suhardi. 1996. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Tika, I Nyoman. 2007. Penuntun Praktikum Biokimia. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Winarno, F. G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit Gramedia: Jakarta.