Laporan Pendahuluan Cedera Kepala [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA



1. Konsep Teori Cedera Kepala 1.1 Definisi Cedera Kepala Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent (PERDOSSI, 2007). Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Snell, 2006). Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Hudak & Gallo, 2010). Cedera kepala primer merupakan cedera mekanis pada otak dan terjadi pada saat benturan (yaitu, kontusio atau komusio). Sedangkan cedera kepala sekunder terjadi dalam waktu beberapa detik, jam atau hari setelah cedera primer. Penyebab cedera sekunder meliputi hipoksemia, hipotensi sistemik, dan tekanan intrakranial yang terus meningkat. Penyebab cedera mikroskopik mencakup radikal bebas dan reaksi inflamasi (Oman, McLain, & Scheetz, 2002). 1.2 Etiologi a. Trauma tajam Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat & menimbulkan cedera local. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia. b. Trauma tumpul Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) : kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk: cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil, multiple



pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer, cerebral., batang otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013) 1.3 Klasifikasi Cedera kepala menurut Dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu: a. CKR (Cedera Kepala Ringan) 1) GCS > 13 2) Tidak ada fraktur tengkorak 3) Tidak ada kontusio serebri, hematom 4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi 30 menit tapi < 24 jam 3) Muntah 4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung) 5) Ditemukan kelainan pada CT scan otak 6) Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial 7) Dirawat di RS setidaknya 48 jam c. CKB (Cedera Kepala Berat) 1) GCS 3-8 2) Hilang kesadaran > 24 jam 3) Adanya kontusio serebri, laserasi/ hematoma intracranial Menurut Wijaya dan Putri (2013) jenis cedera kepala: a. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak. Luka kepala terbuka akibat cedera kepala pecahnya tenkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.



b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan oedem serebral yang luas Sedangkan menurut Morton, dkk (2012),



Cedera kepala diklasifikasikan



menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera primer adalah akibat cedera awal. Cedera awal menyebakan gangguan integritas fisik, kimia dan listrik dari sel area tersebut, yang menyebabkan kematian sel. Cedera sekunder meliputi meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, iskemia serebral, perubahan biokomia, dan perubahan hemodinamika serebral. a. Cedera otak primer 1) Laserasi kulit kepala Laserasi kulit kepala sering menyebabkan perdarahan dalam jumlah besar karena vaskularitas kulit kepala, dan sering menunjukkan adanya cedera lain pada tuang tengkorak dan jaringan otak. 2) Fraktur tulang tengkorak (fraktur basis Cranii) Tulang



tengkorak



memberikan



perlindungan



pada



otak



dengan



mendistribusikan tekanan keluar, yang mengurangi dampak langsung pada otak. Penting untuk diingat bahwa pembuluh darah menjalar sepanjang lekukan tulang permukaan dalam tulang tengkorak. Fraktur yang langsung mengenai pembuluh darah tersebut dapat mencederai pembuluh darah yang mengakibatkan hematoma epidural. Fraktur basis kranii (fraktur dasar tengkorak) dapat menimbulkan perembesan cairan serebrospinal lewat duramater yang robek. Perembesan cairan serebrospinal yang terus-menerus dapat mengakibatkan meningitis atau abses (Oman, McLain, & Scheetz, 2012). Tanda-tanda dan gejala-gejala fraktur basis cranii (Oman, McLain, & Scheetz, 2012): a) Sakit kepala b) Perubahan tingkat kesadaran c) Ekimosisi d) Rinore atau otore cairan serebrospinal Penanganan fraktur basis cranii (Umar Kasan : 2000). a) Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.



b) Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan



tampon



steril



(Consul



ahli



THT)



pada



bloody



otorrhea/otoliquorrhea. c) Pada



penderita



dengan



tanda-tanda



bloody



otorrhea/otoliquorrhea



penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat 3) Komusio (Gegar otak) Gegar otak dikalsifikasikan sebagai cedera otak traumatik ringan dan didefinisikan sebagai setiap perubahan status mental yang disebkan oleh trauma yang dapat/ tidak dapat menimbulkan kehilangan kesadaran. 4) Kontusio (Memar otak) Kontusio serebral adalah cedera fokal yang derajat keparahannya tergantung pada ukuran dan luasnya cedera jaringan otak. Kontusia terjadi akibat laserasi pembuluh darah kecil. 5) Hematoma epidural Hematoma epidural adalah akumulasi darah diantara dural dan strukutur bagian dalam otak, yang biasanya disebakan oleh laserasi arteri ekstradural. Hematoma epidural berasal dari perdarahan arteri yang terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak yang telah merobek arteri. Dara di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. 6) Hematoma subdural Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah dura dan diatas araknoid yang menutupi otak. Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bias terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadi cedera kepala yang lebih ringan. 7) Hematoma intraserebral Hematoma intraserebral adalah akumulasi darah dalam jaringan otak. Penyebabnya yaitu adanya ffraktur tulang terdepresi, cedera tembak, dan akselerasi-deselerasi mendadak. 8) Hemoragi subaraknoid traumatic Hemoragi subaraknoid traumatic terjadi karena robek/ terpotongnya pembuluh darah mikro pada lapisan araknoid.



9) Cedera aksonal difus Cedera aksonal difus ditandai dengan sobeknya/ terpotongnya akson secara langsung, yang memburuk selama 12-24 jam pertama karena adanya edema difus dan lokal. 10) Cedera serebrovaskular Cedera atau diseksi arteri ditandai dengan perdarahan kedalam dinding pembuluh darah, yang menyebabkan kerusakan pada lapisan endotelial paling dalam (intima). Kerusakan intima dapat menyebabkan pembentukan bekuan darah/ flap intima, yang menyebabkan peyumbatan pembuluh darah sehingga terjadi stroke. b. Cedera otak sekunder Cedera otak sekunder mencakup semua kejadian yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma. 1) Edema serebral Edema serebral umumnya dialami oleh pasien cedera kepala saat 24-48 jam setelah gangguan primer dan terutama memuncak pada 72 jam. Edema serebral dapat memperburuk kondisi pasien sebelum kondisinya membaik. 2) Iskemia Iskemia serebral terdiri dari kelas cedera sekunder yang serius dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Iskemia serebral muncul pada saat kondisi aliran darah berkurang atau tidak adekuat dalam memenuhi kebutuha metabolic. Akhir dari iskemia yang tidak teratasi adalah infark/ kematian jaringan, yang mendorong terjadinya edema tambahan. 3) Sindrom herniasi Sindrom herniasi menggambarkan kondisi dengan struktur serebral bergeser didalam cranium karena tekanan yang tinggi. Triad cushing menggambarkan tiga tanda akhir herniasi, peningkatan tekanan darah sistolik, penurunan frekuensi jantung, dan pola napas tidak teratur. Perbandingan hasil pemeriksaan TIK dan sindrom herniasi



Tingkat respon terhadap



Peningkatan TIK Diperlukan peningkatan



Sindrom herniasi Tidak dapat distimulasi



stimulus Fungsi motoric



stimulus Kelemahan motorik



Kelemahan motorik nyata,



samara tau penyimpangan



tidak ada respon



Respon pupil Tanda-tanda vital



pronator Respon pupil lembam



Pupil dilatasi unilateral dan



Dapat stabil atau labil



terfiksasi Triad cushing menggambarkan tiga tanda akhir herniasi, peningkatan tekanan darah sistolik, penurunan frekuensi jantung, dan pola napas tidak teratur.



4) Koma Koma adalah perubahan kesadaran yang disebabkan oleh kerusakan hemisfer otak/ batang otak. Koma terjadi akibat gangguan system yang mengaktivasi retrikular (RAS). Koma dapat disebabkan oleh banyak hal seperti infeksi system saraf pusat, gangguan elektrolit, hipertiroidisme, hipotiroidisme, hipoksia, kejang, toksin. Kondisi koma dapat dibagi menjadi koma ringan, koma, koma dalam. 5) Kondisi vegetative persisten Kondisi vegetative persisten ditandai dengan periode koma seprti tidur yan diikuti oleh kembali terjaga, tetapi disertai tidak adanya tingkat kognisi yang jelas. Diagnosis kondisi vegetative persisten tidak dapat ditetapkan sebelum 4 minggu awitan cedera otak traumatic dan koma. 1.4 Mekanisme Cedera Kepala Pemahaman mengenai cedera kepala disertai pemeriksaan diagnostic dan pemeriksaan fisik, membantu dalam mendiagnosis cedera kepala secara tepat. Mekanisme khas cedera meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselarasi, coup-contre coup, cedera rotasional, dan cedera penetrasi. a. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak b. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam, seperti pada aksus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil. Cedera akselerasi-deselarasi sering kali terjadi dalamkasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.



c. Cedera coup-contre coup terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang cranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur. Cedera tersebut disebut juga cedera translasional karena benturan dapat berpindah ke area otak yang berlawanan. d. Cedera rotasional terjadi jika pukulan/ benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang menyebabkan peregangan atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak. e. Cedera Penetrasi Cedera penetrasi dapat disebabkan oleh peluru, pecahan peluru, atau benda tajam lain yang bergerak dengan kecepatan yang cukup besar yang mengenai kepala dan dapat merusak integritas tengkorak. 1.5 Patofisiologi Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi sebaliknya (contra coup). Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan jaringan otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap jaringan otak dan pembuluh darah. Respon awal otak yang mengalami cedra adalah ”swelling”. Memar pada otak  menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke daerah tersebut, menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan penekanan terhadap jaringan otak sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam tengkorak kepala maka ‘swelling’ dan daerah otak yang cedera akan meningkatkan tekanan intraserebral dan menurunkan aliran darah ke otak. Peningkatan kandungan cairan otak (edema) tidak segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha dini untuk mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan  penyelamatan hidup.



Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi) menyebabkan vasodilatasi dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (Hiperventilasi) menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan bahwa dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera kepala akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil terhadap bengkak otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah otak karena vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang mengalami cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia. Hipoventilasi



atau



hipoksia



meningkatkan



angka



kematian



dengan



mempertahankan ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali permenit dan aliran oksigen yang memadai merupakan hal yang sangat penting. Hiperventilasi profilaksis pada cedera kepala sudah tidak direkomendasikan. Tekanan intracranial Dalam rongga tengkorak dan selaput yang membungkus otak terdapat jaringan otak, liquor serebrospinal. Dan darah peningkatan volume salah satu komponen akan diikuti dengan pengurangan atau penekanan terhadap masingmasing volume komponen yang lain karena tengkorak kepala orang dewasa (suatu kotak yang kaku) tidak dapat mengembang (membesar). Walaupun CSF memberikan toleransi, namun ruang yang diberikan tidak mampu mentoleransi bengkak otak yang terjadi dengan cepat. Aliran darah tidak boleh terganggu karena otak membutuhkan suplai darah yang konstan (oksigen dan glukosa) untuk bertahan hidup. Tidak satu pun dari komponen yang mendukung otak dapat mentoloransi hal ini, oleh sebab itu, bengkak otak yang terjadi akan cepat menyebabkan kematian. Tekanan yang ditimbulkan oleh isi tengkorak disebut tekanan intracranial (ICP). Tekanan ini biasanya sangat rendah. Tekanan intra kranial dinilai berbahaya jika meningkat hingga 15mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan di atas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekanan perfusi serebral (CPP). Nilai CPP diperoleh dengan mengurangkan MABP terhadap ICP. Tekanan perfusi harus dipertahankan 70 mmHg atau lebih. Jika otak membengkak atau terjadi pendarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan tekanan



perfusi



akan



menurun.



Tubuh



memiliki



refleks



perlindungan



(respons/refleks cushing) yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam



keadaan konstan. Saat tekanan intraserebral meningkat, tekanan darah sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah otak. Saat keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang. Tekanan dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu, dan berakhir dengan kematian penderita. Jika terdapat peningkatan intrakranial, hipotensi akan memperburuk keadaan. Harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistolik 100-110 mmHg  pada penderita cedera kepala. Sindroma herniasi Saat otak membengkak, khususnya setelah benturan pada kepala, peningkatan tekanan intrakranial yang tiba-tiba dapat terjadi. Hal ini dapat mendorong bagian otak ke arah bawah, menyumbat aliran CSF dan menimbulkan tekanan besar terhadap batang otak. Hal ini merupakan keadaan yang mengancam hidup di tandai dengan penurunan tingkat kesadaran yang secara progresif menjadi koma, dilatasi pupil dan deviasi mata ke arah bawah dan lateral pada mata sisi kepala yang mengalami cedera, kelemahan pada tungkai dan lengan sisi tubuh berlawanan terhadap sisi yang mengalami cedera, dan postur deserebrasi (dijelaskan berikut ini) penderita selanjutnya akan kehilangan semua gerakan, berhenti nafas dan meninggal. Sindroma ini sering terjadi setelah perdarahan subdural akut. Sindroma herniasi merupakan satu-satunya keadaan di mana hiperventilasi masih merupakan indikasi. Cedera otak anoksia Cedera pada otak akibat kurangnya oksigen ( misal henti jantung, obstruksi jalan nafas) mempengarui otak secara serius. Jika otak tidak mendapatkan oksigen selama 4 hingga 6 menit, kerusakan irreversible hampir selalu terjadi. Setelah episode anoksia, perfusi korteks akan terganggu akibat spasme yang terjadi pada arteri kecil pada serebral. Setelah anoksia 4 hingga 6 menit, perbaikan oksigenasi dan tekanan darah tidak akan memperbaiki perfusi korteks (tidak ada fenomena reflow) dan cedera anoksia akan terus berlangsung dalam sel otak. Sepertinya hipotermia mampu melindungi otak terhadap efek tersebut dan terdapat laporan kasus pasien hipotermia yang diresusitasi setelah mengalami hipoksia selama 1 jam



1.6 Komplikasi



Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain: a. Edema Pulmonal Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis atau akibat dari sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini menyebabkan lebih bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah peru-peru berperan dalam proses dengan memungkinkan cairn berpindah ke dalam alveolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut. b. Kejang Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di samping tempat tidur dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar tempat todur harus tetap dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang, perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan jalan napas paten ketika mengamati perkembangan kejang dan mencegah cedera lanjut pada pasien. Jika terdapat waktu yang cukup sebelum spasitisitas otot terjado, dan rahang terkunci, spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat gigit plastik harus dipasang diantara gigi pasien. Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat. Diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan melalui intravena. Karena obat ini menekan pernapan, maka frekuensi dan irama pernapasan pasien harus dipantau dengan cermat. Jika kejang tiak bisa lagi diatasi dengan obat ini, dokter mungkin akan memberikan fenobarbital atau fenitoin untuk mempertahankan konrol terhadap kejang. c. Kebocoran Cairan Serebrospinal Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga atau hidung. Ini dapat



akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal. 1.7 Pemeriksaan Diagnostik a. CT scan Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena pemeriksaan ini dapat dengan cepat dilakukan dan sensitive terhadap perdarahan. Satu kelemahan CT scan adalah bahwa pemeriksaan tersebut tidak dapat secara adekuat menangkap struktur fosa posterior. b. MRI (Magnetic resonance imaging) Bermanfaat karena artifak tulang diminimalkan sehingga struktur pada dasar tengkorak dan medulla spinalis dapat divisualisasikan lebih baik dan perubahan neuronal dapat diamati. Selain itu MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi cedera vascular serebral dengan cara noninvasive. c. Angiografi serebral Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi dalam pembuluh darah dan tidak adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicurigai mengalami kematian batang otak. Risiko prosedur tersebut meliputi rupture pembuluh darah, stroke akibat debris emboli, reaksi alergi akibat terpajan pewarna radiopak, gagal ginjal akut akibat pewarna IV, dan perdarahan retroperitoneal dari area pemasangan selubung setelah infus dilepaskan. d. Ultrasonografi Doppler Transkranial Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral



dan mekanisme



autoregulasi dengan mengukur kecepatan darah yang melewati pembuluh darah. Kemampuan pemeriksaan ini dalam meberikan informasi mengenai autoregulasi serebral dapat mempengaruhi penatalaksanaan dinamik intracranial pada pasien cedera kepala dimasa yang akan datang. e. EEG (elektro ensefalogram) Mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan berguna dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan neurologis abnormal dengan



fungsi



kortikal



abnormal.



Pemeriksaan



yang



penting



dalam



mengeliminasi kejang subklinis atau non konvulsif. Temuan yang paling umum pada pasien cedera kepala adalah perlambatan aktivitas gelombang listrik pada area cedera.



f. BAER (brainsteam auditory evoked responses) dan SSEP (somatosensory evoked potential) Pemeriksaan prognostik yang bermanfaat pada pasien cedera kepala. Hasil abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat membantu menegakkan diagnosis disfungsi batang otak yang tidak akan menghasilkan pemulihan fungsional yang bermakna. 1.8 Penatalaksanaan Pedoman penatalaksanaan cedera kepala berat dikembangkan oleh Brain Trauma Foundation dan American Association of Neurological Surgeons pada tahun 1995 dan diperbarui tahun 2000 untuk mendiseinasi rekomendasi ilmiah yang yang paling terkini. Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala dimulai segera setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-rumahsakit. Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera kepala berfokus pada pengkajian system secara cepat dan penatalaksanaan jalan napas definitive, intervensi yang dapat berdampak positif terhadap hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksia dan hiperkapnia, yang telah terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak sekunder. Pendekatan perawatan yang benar dan kecepatan dalam memberikan pertolongan menekan angka kematian hingga 36% (National Traumatic Coma Data Bank). Prinsip dasarnya sel saraf diberikan kondisi/suasana yang optimal maka pemulihan akan berfungsi kembali : a. Penatalaksanaan jalan napas Langkah awal yang sangat penting dalam merawat pasien cedera kepala karena hipoventilasi biasa terjadi pada kondisi penurunan kesadaran, dan hipoksia serta hiperkpnia sangat memperburuk kondisi pasien pada tahap awal cedera. Evaluasi lanjut terhadap status neurologis dapat memperlihatkan perlunya terapi hiperventilasi jika terdapat tanda herniasi serebral dan tidak dapat dikontrol dengan terapi farmakologis awal, pemantauan lebih lanjut aliran darah serebral. b. Hiperventilasi Harus dilakukan hati-hati, dibuat dengan cara menurunkan PCO2 dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, penurunan volume intracranial ini akan menurunkan TIK. Hiperventilasi yang lama dan agresif



akan menurunkan perfusi otak, terutama bila PCO2