Laporan Pendahuluan Demam Thypoid [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan Pendahuluan Demam Thypoid



Laporan Pendahuluan Demam Thypoid 1. PENDAHULUAN Demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C. H, 2009. Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83.) Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid, Diseluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian setiap tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari pada dewasa. Hampir disemua daerah endemik, insiden demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun (Nugroho, Susilo, 2011. Pengobatan Demam Tifoid. Yogyakarta: Nuha Medika) Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008, demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, urutan pertama ditempati oleh diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati oleh DBD dengan jumlah kasus 77.539 dengan proporsi 3,01% (Departemen Kesehatan RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Depkes RI, Jakarta)



2. ANATOMI FISIOLOGI



Sistem pencernaan atau sistem gastrointestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh. Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rectum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak di luar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu. A. Usus Halus (usus kecil) Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus meliputi, lapisan mukosa (sebelah kanan), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (M longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari duodenum), usus kosong (jejenum) dan usus penyerapan (ileum). Villi usus halus terdiri dari pipa berotot (> 6 cm), pencernaan secara kimiawi, penyerapan makanan. Terbagi atas usus 12 jari (duodenum), usus tengah (jejenum), usus penyerapan (ileum). a. Usus dua belas jari (Duodenum) Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejenum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz. Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pancreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari. Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pylorus dalam jumlah yang bisa dicerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan mengirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan. b. Usus Kosong (jejenum) Usus kosong atau jejenum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian dari usus halus, diantara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus



kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yaitu sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis. c. Usus Penyerapan (ileum) Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu. B. Usus Besar (Kolon) Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan rectum). Banyaknya bakteri yang terdapat didalam usus besar berfungsi mencerna makanan beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri didalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare. C. Usus Buntu (sekum) Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin : caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivore memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora ekslusif memiliki yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing. D. Umbai Cacing (Appendix) Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen). Dalam anatomi manusia, umbai cacing adalah ujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum. Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda-beda di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum.



Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ vestigial (sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi dalam sistem limfatik. Operasi membuang umbai cacing dikenal sebagai appendiktomi. E. Rektum dan Anus Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpang ditempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material didalam rectum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus besar, dimana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB. Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limba keluar dari tubuh. Sebagian besar anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot spinter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar – BAB), yang merupakan fungsi utama anus.



3. PENGERTIAN Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella (Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC). Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi (Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius.). 4. ETIOLOGI Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan salmonella parathypi (S. Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, mempunyai flagela, dapat hidup dalam air, sampah dan debu. Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 600 selama 15-20 menit. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :  Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).



 Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).  Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman) Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien menderita tifoid. (Aru W. Sudoyo. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 2009. Ed V.Jilid III. Jakarta: interna publishing) 5. PATOFISIOLOGI Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI). Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga



endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zatzat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi& Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI). 6. TANDA DAN GEJALA Tanda dan gejala klinik demam thypoid : Keluhan:  Nyeri kepala (frontal) 100% Kurang enak di perut 50% Nyeri tulang, persendian, dan otot 50% Berak-berak 50% Muntah 50% Gejala: Demam 100% Nyeri tekan perut 75% Bronkitis 75% Toksik 60% Letargik 60% Lidah tifus (“kotor”) 40% (Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1998.) a. Pada kondisi demam, dapat berlangsung lebih dari 7 hari, febris reminten, suhu tubuh berangsur meningkat b. Ada gangguan saluran pencernaan, bau nafaas tidak sedap,bibir kering pecah-pecah (ragaden), lidah ditutpi selaput putih kotor (coated tongue, lidah limfoid) ujung dan tepinya kemerahan, biasanya disertai konstipasi, kadang diare, mual muntah, dan jarang kembung. c. Gangguan kesadaran, kesadaran pasien cenderung turun, tidak seberapa dalam, apatis sampai somnolen, jarang sopor, koma atau gelisah d. Relaps (kambung) berulangnya gejala tifus tapi berlangsung ringan dan lebih singkat 7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Pemeriksaan leukosit



Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid. 2. Pemeriksaan SGOT Dan SGPT SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid. 3. Biakan darah Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor : a. Teknik pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung. b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali. c. Vaksinasi di masa lampau Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif. d. Pengobatan dengan obat anti mikroba Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif. e. Uji Widal Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan



typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas: 1.



Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,gangguan



saluran



cerna,



gangguan



pola



buang



air



besar



dan



hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar. 2. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan). 3. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan atau positif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titerWidal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali) (Widodo, D. 2007. Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI 8. PENATALAKSANAAN A. Medis a. Anti Biotik (Membunuh Kuman) : 1) Klorampenicol 2) Amoxicilin 3) Kotrimoxasol 4) Ceftriaxon 5) Cefixim



b. Antipiretik (Menurunkan panas) : 1) Paracetamol B. Keperawatan a. Observasi dan pengobatan b. Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang lebih dari selam 14 hari. MAksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perforasi usus. c. Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. d. Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah pada waktuwaktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan dekubitus. e. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi konstipasi dan diare. f. Diet  Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.  Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.  Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim  Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari (Smeltzer& Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC). 9. PENGKAJIAN KEPERAWATAN a. Pengkajian Esofagus dan abdomen kiri atas 1) Esofagus dan abdomen kiri atas  



    



Perawat menanyakan tentang napsu makan pasien; tetap sama,meningkat atau menurun. Adakah ktidaknyamanan saat menelan, bila ada apakah terjadi hanya karena pada makanan tertentu? Apakah berhubungan dengan nyeri? Apakah perubahan posisi mempengaruhi ketidaknyamanan? Pasien ditanyakan untuk menggambarkan pengalaman nyeri, adakah yang memperberat nyeri? Adakah gejala lain seperti rugurgitasi, regurgitasi noctural, kembung(eruktasi), yeri ulu hati, tekanan







subesternal, sensasi makanan menyangkut ditenggorokan, perasaan penuh setelah makan dalam jumlah sedikit, mual, muntah dan penuruna berat badan. Apakah gejala meningkat dengan emosi? Jika ada tanyakan waktu kejadian, faktor penghilang atau pemberat seperti perubahan posisi, kembung, antasida atau muntah.



b. Pengkajian lambung Anamnese:  







 



Apakah pasien mengalami nyeri ulu hati, tidak dapat makan, mual atau muntah Apakah gejala terjadi kapan saja? Sebelum atau sesudah makan?setelah makan makanan pedas atau mencerna obat tertentu? Apakah gejala berhubungan dengan ansietas, stress alergi, makan atau minum terlalu banyak, atau makan terlalu cepat? Bagaimana gejala hilang? Adakah riwayat penyakit lambung



Pemeriksaan fisik; Palpasi ringan dari ujung kiri atas abdomen sampai sedikit melewati garis kuadran kanan atas untuk mendeteksi adanya nyeri tekan. c. Pengkajian abdomen kuadran kanan atas 1) Hati dan kandung empedu Anamnese:   







Kaji adanya keluhan digestif; mual, muntah, muntah darah,anoreksia, diare dan melena Kaji riwayat perubahan mental dan ganggguan motorik Tanyakan apakah pasien telah mengalami perubahan berat badan atau intoleransi terhadap diet; mual, muntah, kejang dalam 24 jam terakhir Kaji adanya sendawa, kesulitan menelan, flatulensi, muntah berdarah (hematemesis), feses kehitaman, jantung terasa terbakar, diare atau konstipasi







 



Tanyakan riwayat keluarga tentang adanya kanker, penyakit ginjal, alkoholisme, hipertensi atau penyakit jantung. Periksa penggunaan alkohol yang biasa pasien lakukan Tanyakan apakan pasien menggunakan zat atau obat tertentu yang bersifat hepatoksik



Pemeriksaan fisik; Inspeksi:  Warna kulit  Sclera mata untuk menilai adanya ikterus  Pembesaran abdomen akibat cairan (asites) Perkusi : untuk menilai luasnya asites dapat dilakukan perkusi abdomen, apabila sudah terdapat cairan dalam kavum peritoneal maka daerah pinggang akan menonjol ketika pasian dalam posisi supinasi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan shifting dullness aau dengan mendeteksi gelombang cairan. Palpasi: Palpasi pada daerah kuadran kanan atas dibawah rongga iga untuk mendapatkantepi bawah hati, untuk memeriksa pembesaran hati. Letakan tangan kiri dibawah toraks posterior kanan pasien pada iga kesebelas dan dua belas, kemudian memberi tekanan keatas. Dengan jari-jari tangan kanan mengarah pada tepi kostal kanan, perawat meletakan tangan di atas kuadran kanan atas tepat dibawah tepi hati.pada saat perawat menekan keatas dan kebawah secara perlahan, pasien menarik napas dalam melalui abdomen. Pada saat pasien berinhalasi, perawat mencoba memalpasi tepi hati pada saat hati menurun. Pada keadaan normal hati tidak mengalami nyeri tekan dan memiliki tepi yang teratur dan tajam. d. Pengkajian abdomen kuadran kiri dan kanan bawah 1) Kolon Anamnese:



 Kaji adanya keluhan digestif; mual, muntah, muntah darah,anoreksia, diare dan melena  Bila pasien mengalami nyeri abdomen atau nyeri punggung bawah, kaji karakter nyeri secara terperinci.  Kaji adanya penggunaan laksatif  Perhatikan gerakan dan posisi pasien. Posisi dan gerakan mengindikasikan letak nyeri.  Tanyakan apakah pasien mengalami penurunan berat badan selama 24 jam terakhir  Tentukan apakah pasien wanita sedang mengandung atau tidak. Inspeksi:  Inspeksi abdomen melihat kondisi abdomen pasien dikuadran bawah tentang kontur dan simetrisitas dari abdomen dilihat dengan identifikasi penonjolan lokal, distensi, atau gelombang peristalitik. Auskultasi :  Dilakukan terlebih dahulu seblum palpasi dan perkusi yang dapat meningkatkan motilitas usus dan dengan demikian dapat mengubah bising usus.  Auskultasi abdomen untuk mendengarkan bising usus dari motilitas usus dan mendeteksi bunyi vaskular. Pasien diminta untuk tidak berbicara.



Palpasi :  Palpasi ringan dan palpasi dalam pada bagian bwah abdomen  kaji ukuran, lokasi, bentuk, lokasi, bentuk, konsitensi, nyeri tekan, pulsasi, dan mobilitasnya. Perkusi :  mengetahui letak oragn-organ yang berada dibawahnya, tulang dan massa, serta untuk membantu mengungkapkan adanya udara didalam lambung dan usus.  Catat suara timpani atau pekak e. Pengkajian feses Bila feses mengandung darah yang menghasilkan warna hitam (melena), dicurigai adanya pendarahan pada rektal bawah atau anal.



10. PENYIMPANGAN KDM Penularan 5F :  Food : Makanan  Finger : Jari tangan, kuku  Fomitis : Muntahan  Fly : Lalat  Feces : Kotoran manusia



Defisit perawatan diri ↑ Mudah letih, lesuh ↑ Energi yang dihasilkan berkurang ↑ Bakteri salmonella Thypi (perantara 5F) ↓



Metabolisme menurun ↑ Intake makanan (nutrisi) untuk tubuh menurun ↑ Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh ↑



Masuk lewat makanan ↓ Saluran pencernaan ↓ Lambung (sebagian mati oleh asam lambung) ↓ Usus halus (jar. Limfoid usus halus) ↓ Malaise, perasaan tidak enak, nyeri abdomen ↑



Napsu makan menurun, nausea & vomit



Peristaltik usus menurun ↓



Infeksi usus halus



Tidak terdengar bising usus/bising usus turun











hipertermi



inflamasi



konstipasi











Gangguan pada termoregulator (pusat pengaturan suhu tubuh) ↑ Pirogen beredar dalam darah ↑ Endotoksin meransang sintesa & pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jar. radang



↑ Peradanan lokalisasi meningkat



Pembuluh limfe



  



Komplikasi intestinal: Peradarahan usus Perforasi usus (bag.distal ileum) periotonitis



↓ Bakterime primer (bakteri masuk ke aliran darah) ↓



Bakteri yang tidak difagositosis akan masuk &berkembang di hati & limfa



↓ Inflamasi hati & limfa ↓ Hepatomegali & splenomegali ↓ Nyeri tekan ↓



Masa inkubasi 5-9 hari



Nyeri akut







Bakteri mengeluarkan endotoksin



Masuk kedalam darah (bakteremi sekunder)



11. DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan yang sering muncul dalam kasus demam thypoid adalah sebagai berikut : a. Hipertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma b. Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cidera biologis atau infeksi c. Ketidak seimbangangan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang tidak adekuat d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan, istirahat total dan pembatasan karena pengobatan



12. PERENCANAAN KEPERAWATAN N o 1



Diagnosa keperawatan Hypertermi b/d proses infeksi



  



Tujuan/hasil yang Rencana Tindakan diharapkan Termoregulasi 1. Pantau suhu tubuh pasien setiap 4 jam 1. Tanda-tanda Vital 2. Kolaborasi pemberian antipiretik sesuai 2. Setelah dilakukan anjuran tindakan keperawatan 3. Turunkan panas dengan melepaskan selimut3. selama….x 24 jam atau menanggalkan pakian yang terlalu pasien menujukan tebal, beri kompres dingin pada aksila dan temperatur dalan batas liatan paha. normal dengan kriteria: 4. Bebas dari kedinginan 4. Pantau dan catat denyut dan irama nadi, Suhu tubuh stabil 36-37 vekanan vena sentral, tekanan darah, frekuensi napas, tingkat responsitas, dan C suhu kulit minimal 4 jam Tanda-tanda vital dalam rentang normal



5. Observasi adanya konfusi disorientasi 6. Berikan cairan IV sesuai yang dianjurkan.



2



Nyeri akut



Me yan Me



Me me tub



Pe pen dan dap hip pad din jug peu Pe per pad 5. Pe dap hip 6. Me nat ber



Tingkat kenyamanan Manajemen nyeri : Control nyeri 1. Lakukan pegkajian nyeri secara1. Re komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, seh



     







Setelah dilakukan askep selama ..... x 24 jam pasien menunjukan tingkat kenyamanan 2. meningkat, dan dibuktikan dengan: 3. level nyeri pada scala 2-3 Pasien dapat melaporkan nyeri pada petugas, 4. Frekuensi nyeri Ekspresi wajah Menyatakan kenyamanan fisik dan 5. psikologis, 6. TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/mnt, RR: 1620x/mnt



faktor ber ind 2. Observasi reaksi nonverbal dari ken ketidaknyamanan. 3. Ko Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk ma mengetahui pengalaman nyeri klien per sebelumnya. seh dal nye 4. Lin Kontrol faktor lingkungan yang me mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, nye pencahayaan, kebisingan. 5. Me Kurangi faktor presipitasi nyeri. 6. Pe Pilih dan lakukan penanganan nyeri rela (farmakologis/non farmakologis). me tim 7. Me 7. Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, Control nyeri pada distraksi dll) untuk mengetasi nyeri. level 3 dibuktikan 8. Pe dengan: 8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri. dap Pasien melaporkan ber gejala nyeri dan control 9. Tin nyeri. pen 9. Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol dija nyeri. pen mu sed 10. me 10. Kolaborasi dengan dokter bila ada tind komplain tentang pemberian analgetik tidak 11. berhasil. nye 11. Monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.



1. 2. 3. 4.



durasi, frekuensi, presipitasi.



kualitas



dan



Administrasi analgetik :. Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi. Cek riwayat alergi.. Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.



3



Ketidakseimban gan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh



4



Defisit perawatan diri







5. Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul. 6. Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping. Status gizi : asupan Manajemen Nutrisi gizi 1. kaji pola makan klien 2. Kaji adanya alergi makanan. Setelah dilakukan askep 3. Kaji makanan yang disukai oleh klien. selama ....x24 jam 4. Kolaborasi dg ahli gizi untuk penyediaan pasien menunjukan: nutrisi terpilih sesuai dengan kebutuhan status nutrisi adekuat klien. dibuktikan dengan BB 5. Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan stabil tidak terjadi mal nutrisinya. nutrisi, tingkat energi 6. Yakinkan diet yang dikonsumsi mengandung adekuat, masukan cukup serat untuk mencegah konstipasi. nutrisi adekuat 7. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan pentingnya bagi tubuh klien. Monitor Nutrisi 1. Monitor BB setiap hari jika memungkinkan. 2. Monitor respon klien terhadap situasi yang mengharuskan klien makan. 3. Monitor lingkungan selama makan. 4. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak bersamaan dengan waktu klien makan. 5. Monitor adanya mual muntah. 6. Monitor adanya gangguan dalam proses mastikasi/input makanan misalnya perdarahan, bengkak dsb. 7. Monitor intake nutrisi dan kalori. Perawatan diri : Bantuan perawatan diri aktivitas kehidupan 1. Monitor kemampuan pasien terhadap sehari-hari perawatan diri 2. Monitor kebutuhan akan personal hygiene, Setelah dilakukan berpakaian, toileting dan makan asuhan keperawatan 3. Beri bantuan sampai klien mempunyai ....x24 jam klien mampu kemapuan untuk merawat diri melakukan Perawatan 4. Bantu klien dalam memenuhi kebutuhannya. diri/Self care : Activity 5. Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas Daly Living (ADL) sehari-hari sesuai kemampuannya dengan skala 1-2 6. Pertahankan aktivitas perawatan diri secara dengan indicator : rutin 7. Evaluasi kemampuan klien dalam memenuhi Pasien dapat kebutuhan sehari-hari. melakukan aktivitas sehari-hari (makan, 8. Berikan reinforcement atas usaha yang berpakaian, kebersihan, dilakukan dalam melakukan perawatan diri sehari hari. toileting, ambulasi)



Ma nut me nut tub



Ba me ber unt







Self-care assistant. Kebersihan diri pasien 1. Kaji kemampuan klien self-care mandiri terpenuhi 2. Kaji kebutuhan klien untuk personal hygiene, berpakaian, mandi, cuci rambut, toilething, makan. 3. sediakan kebutuhan yang diperlukan untuk ADL 4. Bantu ADL sampai mampu mandiri. 5. Anjurkan keluarga untuk membantu 6. Ukur tanda vital setiap tindakan



DAFTAR PUSTAKA



1. Aru W. Sudoyo.(2009) Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed V.Jilid III. Jakarta: Interna Publishing 2. Departemen Kesehatan RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Depkes RI, Jakarta 3. Nugroho, Susilo, (2011). Pengobatan Demam Tifoid. Yogyakarta: Nuha Medika 4. Mansjoer, Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius. 5. Simanjuntak, C. H, (2009). Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83.) 6. Sjamsuhidayat. (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 7. Smeltzer& Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC 8. Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. (2012). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI) 9. Widodo, D. (2007). Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI