Laporan Pendahuluan Fraktur Neck Femur - Kelompok 16 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN CLOSED FRAKTUR DEXTRA NECK FEMUR



OLEH :



KELOMPOK 16



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS INSTITUSI TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI 2021/2022



A. TINJAUAN KASUS 1. Pengertian Fraktur Neck Femur Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk dan kontraksi otot ekstrem. Saat tulang patah, jaringan disekitar akan terpengaruh, yang dapat mengakibatkan edema pada jaringan lunak, dislokasi sendi, kerusakan saraf. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Brunner & Suddart, 2013). Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap ( Nurarif, 2015 ). Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft yang bisa terjadi akibat trauma secara langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami laki – laki dewasa (Desiartama,2017). Fraktur neck femur (Nekrosis avascular) atau dislokasi sendi panggul adalah salah satu jenis fraktur yang sangan mempengaruhi kualitas hidup manusia. Pada kasus ini sering kali diderita pada usia lanjut, sedangkan pada usia muda sering terjadi karena trauma yang cukup besar, salah satunya trauma yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (Sutanto Iwan, 2015). 2. Etiologi Fraktur Neck Femur Fraktur disebabkan oleh pukulan langsun, gaya remuk, gerakan mendadak, bahkan kontraksi otot eksterm. Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur dari pada laki – laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang dekait dengan perubahan hormone pada menopause (Lukman & Ningsih, 2012).



Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) (dalam Andini,2018) dapat dibedakan menjadi: 1.



Cedera Traumatik Cedera traumatic pada tulang disebabkan oleh: a.



Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tilang patah secara spontan.



b.



Cedera tidak langsug adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan.



c. 2.



Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak.



Fraktur patologik Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor mengakibatkan: a.



Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang terkendali.



b.



Infeksi seperti osteomielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut.



c.



Rakitis.



d.



Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus. Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan kerja, kecelakaan



lalu lintas dan sebagainya. Tetap faktur juga bisa terjadi akibat faktor lain seperti proses degeneratif dan patologi (Noorisa dkk, 2017). Fraktur yang bisa terjadi akibat faktor proses degenerative biasanya fraktur neck femur atau fraktur leher femur. Fraktur ini biasanya dipengaruhi berbagai macam risiko, trauma jatuh pada populasi lanjut usia dan trauma high impact pada populasi muda. Etiologi pada fraktur neck femur dapat dibedakan berdasarkan jenis frakturnya, diantaranya: 1. Stress Fraktur Pada stress fraktur, fraktur disebabkan oleh tekanan repetitive berulang pada collum femur umumnya terjadi pada pelari, terutama pada pelari wanita. Tekanan repetitive ini akan menyebabkan terjadinya fraktur



mikroskopis yang jika tidak teridentifikasi dan ditangani akan menyebabkan stress fraktur. 2. Fraktur akut. Fraktur akut penyebabnya adalah trauma high impact. 3. Fraktur insufisiensi Fraktur insufisiensi merupakan fraktur yang terjadi pada kondisi pasien abnormal, umumnya terjadi pada populasi lanjut usia. Penyebab kondisi abnormal ini diantaranya adalah osteoporosis dan penggunaan obat – obatan yang mempengaruhi metabolisme tubuh. Kondisi abnormal ini akan menyebabkan terjadinya fraktur pada stress ringan yang seharusnya tidak menyebabkan fraktur 3. Klasifikasi Fraktur Neck Femur 1) Fraktur intra femur / fraktur collum femoris Fraktur collum femoris adalah fraktur yang terjadi disebelah proksimal linea intertrichanterica pada daerah intrakapsular sendi panggul (Hoppenfeld dan Murthy, 2011). Berdasarkan lokasi anatomisnya fraktur collum femoris dapat dibedakan menjadi: 1. Fraktur Intrakapsular Fraktur intrakapsular atau fraktur femur proksimal merupakan suatu keadaan dimana pembuluh darah pada bagian proksimal femur terganggu sehingga menyebabkan penyatuan kembali atau union pada fraktur terhambat. Fraktur intrakapsular sendiri dapat dibagi berdasarkan daerah collum femur yang dilalui oleh garis fraktur menjadi: a) Fraktur subkapital Fraktur subkapital terjadi apabila garis fraktur yang melewati collum femur tepat berada di bawah caput femur. b) Fraktur transervikal



Fraktur transervikal terjadi apabia garis fraktur melewati setengah atau pertengahan collum femur. Fraktur subkapital dan transervikal biasanya dapat mengakibatkan terganggunya aliran darah pada caput femur sehingga biasanya dapat tatalaksana pada fraktur ini adalah penggantian caput femur.



2) Fraktur subtrochanter Fraktur subtrochanter merupakan fraktur yag terjadi antara trochanter minor dan didekat sepertiga proksimal corpus femur. Fraktur ini dapat meluas keproksimal sampai daerah intertrochanter. Fraktur ini dapat disebabkan oleh trauma yang berenergi tinggo pada pasien muda atau perluasan fraktur intertrochanter kearah distal pada pasien manula (Hoppenfeld dan Murthy, 2011). 3) Fraktur intertrochanter femur Fraktur intertrochanter adalah fraktur yang terjadi diantara trochanter major dan minor sepanjang linea intertrichanterica, diluar kapsul sendi. Trauma berenergi tinggi dapat menyebabkan fraktur introchanter biasanya menyertai fraktur compus (shaft) femoralis (Hoppenfeld dan Murthy,2011). 4) Fraktur corpus femoris / fraktur batang femur Fraktur corpus femoris adalah fraktur diafisis femur yang tidak melibatkan daerah articular atau metafisis. Fraktur ini sering berhubungan dengan trauma jaringan lunak yang berat dan pada saat yang bersamaan terjadi luka terbuka (Hoppenfeld dan Murthy,2011). Batang femur didefinisikan sebagai again yang memanjang dari trikanter hingga kondil. Sebagian besar fraktur batang femur disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas atau trauma industry, khususnya kecelakaan yang melibatkan kecepatan tinggi atau kekuatan besar (Kneale & Peter,2011).



5) Fraktur suprakondilar femur Fraktur femur suprakondilar melibatkan aspek distal atau metafisis femur. Daerah ini mencakup 8 sampai 15 cm bagian distal femur. Fraktur ini sering melibatkan permukaan sendi. Pada pasien berusia muda, fraktur ini biasanya disebabkan oleh trauma berenergi tinggi seperti tertabrak mobil (Hoppenfeld dan Murthy, 2011). Fraktur suprakondilar femur lebih jarang dibandingkan fraktur batang femur (Kneale & Peter, 2011). 4. Patofisiologi Fraktur Neck Femur (Fraktur Collum Femur) Pada orang usia lanjut khususnya pada wanita, terjadi perubahan struktur pada bagian ujung atas femur yang menjadi predisposisi untuk terjadinya fraktur collum femur. Karena hilangnya tonus otot dan perubahan pada keseimbangan, pasien dituntut untuk mengubah pola berjalan mereka. Fraktur collum femur dapat disebabkan karena lemahnya collum femur terhadap aksi stress dari arah vertical dan rotasional yang terus – menerus, seperti ketika ektermitas bereksorotasi dan tubuh berotasi kearah yang berlawanan. Pada mekanisme ini, aspek posterior dari collum mengenai lingkaran dari acetabulum karena berotasi kea rah posterior, pada keadaan ini acetabulum berperan sebagai titik tumpu (Subagyo, 2013). Fraktur collum femur terjadi akibat jatuh pada daerah trochanter baik karena kecelakaan lalu lintas jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi seperti terpeleset di kamar mandi di mana panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi. Pada kondisi osteoporosis insiden fraktur pada posisi ini tinggi (Noor,2016). 5. Manifestasi Klinis Fraktur Neck Femur Manifestasi klinis fraktur menurut Smeltzer (2018) meliputi: 1. Nyeri akut terus – menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi, hematoma, dan edema.



2. Kehilangan fungsi. 3. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah. 4. Pemendekan ektermitas. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. 5. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya. 6. Edema local. 7. Ekimosis.



6. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik a. Foto Rontgen Sinar-X menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan perubahan hubungan tulang. Sinar-X multipel diperlukan untuk mengkaji secara paripurna struktur yang sedang diperiksa. Sinar-X tekstur tulang menunjukkan adanyapelebaran, penyempitan, dan tanda iregularitas. Sinar-X



sendi



dapat



menunjukkan



adanya



cairan,



iregularitas,



penyempitan, dan perubahan struktur sendi. b. CT Scan (Computed Tomography) Menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cedera ligamen dan tendon. CT Scan digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang di daerah yang sulit dievaluasi, seperti asetabulum. Pemeriksaan dilakukan dapat dengan atau tanpa kontras dan berlangsung sekitar satu jam. c. Angiografi Suatu bahan kontras radiopaq diinjeksikan ke dalam arteri tertentu, dan diambil foto sinar-X serial sistem arteri yang dipasok oleh arteri tersebut. Pemeriksaan ini sangat bermanfaat untuk mengkaji perfusi arteri dan



dapat digunakan untuk tingkat amputasi yang dilakukan. Perawatan yang dilakukan setelah prosedur ini adalah klien dibiarkan berbaring selama 12 jam sampai 24 jam untuk mencegah perdarahan pada tempat penusukan arteri. Pantau tanda vital tempat penusukan untuk melihat adanya pembengkakan, perdarahan, dan hematoma, dna mengkaji apakah sirkulasi ekstremitas bagian distal adekuat. d. Artografi Penyuntikan bahan radiopaq atau udara ke dalam rongga sendi untuk melihat struktur jaringan lunak dan kontur sendi. Sendi diposisikan dalam



kisaran



pergerakannya



sambil



dilakukan



serial



sinar-X.



Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengidentifikasi adanya robekan akut atau kronik kapsul sendi atau ligamen penyangga lutut, bahu, tumit, pinggul, dan pergelangan tangan. Bila terdapat robekan, bahan kontras akan merembes keluar dari sendi dan akan terlihat pada sinar-X. Setelah dilakukan pemeriksaan ini, sendi diimobilisasi selama 12 jam sampai 24 jam dan diberi balut tekan elastis. e. Artrosentesis (aspirasi sendi) Dilakukan



untuk



memperoleh



cairan



sinovial



untuk



keperluan



pemeriksaan atau menghilangkan nyeri akibat efusi. Normalnya, cairan sinovial jernih, pucat berwarna seperti jerami, dan volumenya sedikit. Cairan tersebut kemudian diperiksa secara makroskopis mengenai volume, warna, kejernihan, dan adanya bekuan musin. Secara mikroskopis untuk memeriksa jumlah, mengidentifikasi sel, melakukan pewarnaan Gram, dan mengetahui elemen penyusunnya. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mendiagnosis artritis reumatoid dan atrofi inflamasi lainnya dan dapat memperlihatkan adanya hemartrosis (perdarahan di dalam rongga sendi), yang menyebabkan trauma atau kecenderungan perdarahan. f. Artroskopi



Merupakan prosedur endoskopis yang memungkinkan pandangan langsung ke dalam sendi. Pemeriksaan ini dilakukan di kamar operasi dalam kondisi steril dan perlu dilakukan injeksi anastesi lokal ataupun anastesi umum. g. Biopsi Dilakukan untuk menentukan struktur dan komposisi tulang oot, dan sinovial guna membantu menentukan penyakit tertentu. Tempat biopsi harus dipantau mengenai adanya edema, perdarahan, dan nyeri. Setelah melakukan prosedur ini mungkin perlu dikompres es untuk mengontrol edema dan perdarahan dan pasien diberi analgesik untuk mengurangi rasa tidak nyaman. h. Pemeriksaan darah lengkap Pemeriksaan darah dan urine klien dapat memberi informasi mengenai masalah muskuloskeletal primer atau komplikasi yang terjadi seperti infeksi, sebagai dasar acuan untuk pemberian terapi. Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar hemoglobin, biasanya lebih rendah bila terjadi perdarahan karena trauma dan hitung sel darah putih. Pemeriksaan kimia darah memberi data mengenai berbagai macam kondisi muskuloskeletal. Kadar kalsium serum berubah pada osteomalasia, fungsi paratiroid, penyakit paget, tumor tulang metastasis, dan pada imobilisasi lama. 7. Penatalaksanaan Medis Menurut Muttaqin, (2008) prinsip penatalaksanaan fraktur 4 (R) adalah : a. Recognition (diagnosis dan penilaian fraktur) Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan; lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan dan menghindari komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan. b. Reduction (restorasi fragmen fraktur sehingga posisi yang paling optimal didapatkan)



Reduksi fraktur apabila perlu. Pada fraktur intra-artikular diperlukan reduksi anatomis, sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal, dan mencegah komplikasi, seperti kekakuan, deformitas, serta perubahan osteoartritis di kemudian hari. c. Retention (imobilisasi fraktur) Secara umum, teknik penatalaksanaan yang digunakan adalah mengistirahatkan tulang yang mengalami fraktur dengan tujuan penyatuan yang lebih cepat antara kedua fragmen tulang yang mengalami fraktur. d. Rehabilitation (mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin) Program rehabilitasi dilakukan dengan mengoptimalkan seluruh keadaan klien pada fungsinya agar aktivitas dapat dilakukan kembali. Misalnya, pada klien pasca amputasi cruris, program rehabilitasi yang dijalankan adalah bagaimana klien dapat melanjutkan hidup dan melakukan aktivasi dengan memaksimalkan organ lain yang tidak mengalami masalah. Penatalaksanaan konservatif a. Proteksi (tanpa reduksi atau imobilisasi). Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan mitela pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah. b. Imobilisasi dengan bidai eksterna. Imobilisasi pada fraktur dengan bidai eksterna hanya memberikan sedikit imobilisasi. Biasanya menggunakan gips atau dengan bermacam-macam bidai dari plastik atau metal. c. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi dilakukan dengan pembiusan umum dan lokal. Reposisi yang dilakukan melawan kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan gips untuk imobilisasi merupakan alat utama pada teknik ini.



d. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi. Tindakan ini mempunyai dua tujuan utama, yaitu beberapa reduksi yang bertahap dan imobilisasi 8. Penatalaksanaan pembedahan Penatalaksanaan pembedahan pada klien fraktur meliputi hal-hal sebagai berikut : a. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan K-Wire. Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang bersifat tidak stabil, reduksi dapat dipertahankan dengan memasukkan K-Wire perkutan (Muttaqin, 2008). b. Reduksi terbuka dan fiksasi internal atau fiksasi eksternal tulang, yaitu ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Fiksasi interna yang dipakai biasanya berupa pelat dan sekrup. Keuntungan ORIF adalah tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi yang kokoh sehingga pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi segera bisa dilakukan.



Kerugiannya



adalah



adanya



risiko infeksi



tulang



(Sjamsuhidajat, 2010). c. Reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal OREF (Open Reduction External Fixation). Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Pemasangan OREF akan memerlukan waktu yang lama dengan masa penyembuhan antara 6-8 bulan. Setelah dilakukan pembedahan dengan pemasangan OREF sering didapatkan komplikasi baik yang bersifat segera maupun komplikasi tahap lanjut (Muttaqin, 2008). B. TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian NO 1.



DATA SUBJEKTIF -



Klien



mengatakan -



merasa nyeri



DATA OBJEKTIF Klien tampak merintih kesakitan



PRE OPERASI



-



Karakteristik nyeri



-



Klien tampak gelisah



P : Nyeri akibat trauma



-



Pola tidur berubah



Q : Nyeri terasa seperti



-



Frekuensi



terbakar R : Nyeri terasa pada



meningkat -



Frekuensi



luka trauma



-



napas nadi



meningkat



S : Skala nyeri 7 dari



-



Diaforesis



10 skala nyeri yang



-



Muka tampak pucat



diberikan



-



Sering berkemih



T : Nyeri sering



-



Kerusakan jaringan



muncul



dan/atau



Klien mengatakan



kulit



lapisan



merasa bingung



-



Klien tampak gelisah



Klien mengatakan



-



Klien tampak tegang



khawatir dengan akibat



-



Sering berkemih



dari kondisi yang



-



Tremor



dihadapi - Pasien mengatakan



-



Kontak mata buruk - Terdapat luka bekas



sulit beraktivitas seperti biasa karena



2.



operasi -



mengalami fraktur -



Pasien mengatakan



Kekuatan otot menurun



-



lukanya terasa panas



POST OPERASI



Luka tampak kemerahan



2. Diagnosa Keperawatan (SDKI, 2017) a. Pre Operasi 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (Fraktur) 2) Ansietas berhubungan dengan krisis situasi (prosedur tindakan operasi). b. Intra Operasi 1) Resiko Pendarahan c. Post Operasi



1) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang(fraktur) 2) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan pemasangan traksi atau pen 3) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur tindakan invasive 4) Hipotermia berhubungan dengan terpapar suhu lingkungan rendah a. Rencana Keperawatan (SIKI, 2018) 1) PRE OPERASI No . 1.



Diagnosa Keperawatan Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (Fraktur)



Tujuan dan Kriteria Hasil Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil : 1. Frekuensi nadi membaik 2. Pola nafas membaik 3. Keluhan nyeri menurun 4. Meringis menurun 5. Gelisah menurun 6. Kesulitan tidur menurun



Intervensi Manajemen Nyeri Observasi : 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri 2. Indentifikasi skala nyeri 3. Indentifikasi respons nyeri non verbal 4. Indentifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri 5. Indentifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri 6. Indentifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup 7. Monitor efek samping penggunaan analgetik Terapeutik : 1. Berikan teknik nonfarmakologi



2.



Ansietas berhubungan dengan krisis situasi (prosedur tindakan operasi).



untuk mengurangi rasa nyeri 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri 3. Fasilitasi istirahat dan tidur 4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri Edukasi : 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri 3. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri Kolaborasi : 1. Pemberian analgetik, jika perlu Setelah dilakukan Reduksi Ansietas tindakan keperawatan Observasi : 3 x 24 jam diharapkan 1. Identifikasi saat tingkat ansietas tingkat ansietas menurun dengan berubah kriteria hasil : 2. Identifikasi 1. Konsentrasi kemampuan sedang mengambil 2. Pola tidur sedang keputusan 3. Perilaku gelisah 3. Monitor tanda-tanda menurun ansietas 4. Verbalisasi Terapeutik : kebingungan 1. Ciptakan suasana menurun terapeutik untuk 5. Verbalisasi menumbuhkan khawatir akibat kepercayaan kondisi yang 2. Temani pasien dihadapi menurun untuk mengurangi 6. Perilaku tegang kecemasan, jika menurun memungkinkan



3. Pahami situasi yang membuat ansietas 4. Dengarkan dengan penuh perhatian 5. Guakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan 6. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan Edukasi : 1. Jelaskan prosedur, termasuk sensai yang mungkin dialami 2. Informasikan secara factual mengenai diagnosis, pengobatan dan prognosis 3. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien 4. Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan 5. Latih teknik relaksasi



No .



Diagnosa Keperawatan



Tujuan dan Kriteria Hasil



Intervensi



1.



Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang (fraktur)



Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan mobilitas fisik meningkat dengan kriteria hasil: 1. Pergerakkan ekstremitas meningkat 2. Kekuatan otot meningkat 3. Gerakan terbatas menurun 4. Kelemahan fisik menurun 5. Aktivitas meningkat



2.



Kerusakan integritas jaringan berhubngan dengan pemasangan trajsi atau pen



Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam, maka integritas kulit dan jaringan meningkat dengan kriteria hasil: Elasitas meningkat, kerusakan jaringan menurun, perdarahan menurun, kerusakan lapisan menurun, sensasi membaik, tekstur membaik.



Dukungan Mobilisasi Observasi 1. Identifikasi kemampuan pasien dalam mobilisasi 2. Monitor tandatanda vital Terapeutik 1. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatan pergerakan Edukasi 1. Anjurkan mobilisasi dini 2. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. Duduk ditempat tidur, duduk disisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi) Perawatan Integritas Kulit Observasi 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit Edukasi 1. Anjurkan minum air yang cukup 2. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi Perawatan Luka Observasi 1. Monitor karakteristik luka (warna,ukuran, bau) 2. Monitor tandatanda infeksi



3.



Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif



Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan glukosa derajat infeksi menurun dengan kriteria hasil : 1. Demam menurun 2. Nyeri menurun 3. Kadar sel darah putih membaik



Terapeutik 1. Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka 2. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian antibiotik Pencegahan infeksi Observasi 1. Monitor tanda gejala infeksi lokal dan sistemik Terapeutik 1. Batasi jumlah pengunjung 2. Berikan perawatan kulit pada daerah edema 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien 4. Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi Edukasi 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi 2. Ajarkan cara memeriksa luka 3. Anjurkan meningkatkan asupan cairan Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu



4.



Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi post operasi.



Setelah dilakukan Manajemen Nyeri tindakan keperawatan Observasi : 3 x 24 jam diharapkan 1. Identifikasi lokasi, tingkat nyeri menurun karakteristik, dengan kriteria hasil : durasi, frekuensi, 7. Keluhan nyeri kualitas, intensitas menurun dan pasien nyeri dapat mengkontrol 2. Indentifikasi skala rasa nyeri yang nyeri dirasakan. 3. Indentifikasi 8. Pasien tidak tampak respons nyeri non meringis kesakitan. verbal 4. Indentifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri 5. Indentifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri 6. Indentifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup 7. Monitor efek samping penggunaan analgetik Terapeutik : 1. Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri 3. Fasilitasi istirahat dan tidur 4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri Edukasi : 1. Jelaskan penyebab, periode, dan



pemicu nyeri 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri 3. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri Kolaborasi : 1. Pemberian analgetik, jika perlu O: 1. Monitor tanda dan gejala perdarahan



5



Risiko Perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan



Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x menit, diharapkan tingkat perdarahan menurun dengan kriteria hasil : 1. Perdarahan pasca operasi menurun



6



Hipotermia berhubungan dengan terpapar suhu lingkungan rendah



Setelah dilakukan O: asuhan keperawatan 1. Monitor tanda 1x menit, diharapkan dan gejala termoregulasi hipotermia membaik dengan 2. Monitor suhu kriteria hasil : tubuh 1. Menggigil menurun T: 2. Suhu tubuh 1. Lakukan membaik 36oC penghangatan 3. Akral membaik pasif (mis. selimut) E: 1. Jelaskan tanda dan gejala hipotermia K :-



8. Implementasi Keperawatan Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki



perawat pada tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling bantu, kemampuan melakukan teknik psikomotor, kemampuan melakukan observasi



sistematis,kemampuan



memberikan



pendidikan



kesehatan,



kemampuan advokasi, dan kemampuan evaluasi (Asmadi, 2008). 9. Evaluasi Keperawatan Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan perawat untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi klien (Potter & Perry, 2009). Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi



formatif



ini



dilakukan



segera



setelah



perawat



mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif (data berupa keluhan klien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisis data (pembandingan data dengan teori), dan perencanaan (Asmadi, 2008).



WOC CLOSED FRAKTUR DEXTRA NECK FEMUR Jatuh



Trauma Langsung FAKTUR NECK FEMUR



Pergeseran fragmen tulang



Pre Op.



Timbul respon stimulus nyeri Pengeluaran histamin Reaksi nosiseptor Respon reflek protektif pada tulang MK : Nyeri Akut



Post Op.



Kurang terpapar informasi mengenai prosedur pembedahan Ancaman kematian



Tindakan Pembedahan



MK : Risiko Infeksi



Pemasangan platina/ Fiksasi eksternal



Pemasangan traksi pen, kawat scrup, dan plat



Krisis situsional



Luka insisi



MK : Ansietas



MK: Kerusakan Integritas Jaringan



MK : Nyeri Akut



Tindakan ORIF



Port de entry kuman Kerusakan pertahanan primer



Perawatan post op. Gangguan fungsi tulang MK : Gangguan Mobilitas Fisik



Intra Op.



Post Op.



Intra Operasi



Post Operasi



Trauma Pembuluh Darah



Pemajanan Lingkungan Yang Dingin/Terpapar Udara Dingin



Pendarahan Kehilangan Volume Cairan



MK : Resiko Pendarahan



MK : Hipotermia



DAFTAR PUSTAKA



Andini, Widiyawati. 2018. Penerapan Mobilisasi Dini Pada Asuhan Keperawatan Pasien Post Operasi Fraktur Femur dengan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Aktivitas Di RSUD Sleman. Karya Tulis Ilmiah diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan. Asmadi, 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC. Brunner.Suddarth. (2013) . Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: diagnosa medis dan NANDA NIC NOC jilid 2, Yogyakarta : Mediaction EGC Desiartama, A. and Aryana, I. G. N. W. 2017, 'Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur Femur Akibat Kecelakaan Lalu Lintas pada Orang Dewasa di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Tahun 2013, E-jurnal Medika, vol. 6, no. 5, pp. 1-4. Helmi, Z.N., 2012. Buku Saku Kedaruratan di Bidang Bedah Ortopedi. Jakarta: Salemba Medika. Helmi, Z.N., 2016. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal Ed.2. Jakarta : Salemba Medika. Hoppenfeld Stanley dan Murthy Vasanhaal.2008. Terapi dan Rehabilitasi Fraktur. Jakarta: EKG. Kneale, Julia & Peter Davis. 2011. Keperawatan Ortopedik & Trauma Edisi 2. Jakarta: EGC Lukman and Ningsih, N. 2009, Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Salemba Medika, Jakarta pp. 25-29. Muttaqin, A., 2008. Asuhan Keperawatan Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.



Klien



Gangguan



Sistem



Muttaqin, A., 2011. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal : Aplikasi pada Praktik Klinik Keperawatan. Jakarta: EGC. Ningsih, L.&.N., 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gnagguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika.



Noorisa, R., Apriliwati, D., Aziz, A. and Bayusentono, S. 2017, 'The Characteristic of Patients With Femoral Fracture in Department of Orthopaedic and Traumatology RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2013 – 2016', Journal of Orthopaedi & Traumatology Surabaya, vol. 6, no. 1, pp. 67–72. Noor, Z. 2016, Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. 2nd ed. Salemba Medika, Jakarta pp. 524-534. Nurarif A H. Kusuma H. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan Publishing. Potter & Perry. 2009. Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta : Salemba Medika Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2018). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC. Sjamsuhidajat, R., 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong. Jakarta: EGC. Subagyo. (2013). Rekontruksi Anterior Cruciata Ligament (ACL) dengan Arthroscopy. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan, edisi 1. Jakarta: DPP PPNI. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.