5 0 140 KB
LAPORAN PENDAHULUAN KARSINOMA NASOFARING
MARIA ULFA 2021032049
PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU 2022
LAPORAN PENDAHULUAN KARSINOMA NASOFARING
A. DEFINISI Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan jenis karsinoma yang muncul pada daerah belakang nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau ultrastruktur. Karsinoma nasofaring merupakan kanker yang mengenai daerah nasofaring, yakni daerah dinding di bagian belakang hidung. Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi di Cina bagian selatan. Carsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan prediksi disofa Rosenmuller dan atap nasofaring. Letaknya kadang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah vital sehingga diagnosa dini sulit untuk ditegakkan. B. KLASIFIKASI 1. Tipe 1, keratinizing squamous cell carcinoma, diferensiasi sel skuamosa baik dengan adanya jembatan interseluler dan/atau keratinisasi diatasnya, merupakan 25% dari seluruh karsinoma nasofaring. 2.
Tipe 2, differentiated non keratinizing carcinoma, diferensiasi sel tumor dengan rangkaian maturasi yang terjadi di dalam sel, tidak/sedikit berkeratin, merupakan 20% dari seluruh karsinoma nasofaring.
3.
Tipe 3, undifferentiated carcinoma, sel-sel tumor memiliki inti vesikuler yang oval atau bulat dan nukleolus yang menonjol, batas sel tidak terlihat, dan tumor menunjukkan gambaran sinsitial. Tipe ini merupakan 55% dari seluruh karsinoma nasofaring.
C. ETIOLOGI Penyebab timbulnya carsinoma nasofaring masih belum jelas. Namun banyak yang berpendapat bahwa berdasarkan penelitian-penelitian epidemiologik dan eksperimental, ada 5 faktor yang mempengaruhi yakni : 1. Faktor genetik (banyak pada suku bangsa Tionghoa/ras mongolid) 2. Faktor virus (Virus Eipstein Barr) 3. Faktor lingkungan (populasi asap kayu bakar, atau bahan karsiogenik misalnya asap rokok dll)
4. Iritasi menahun : nasofaring kronis disertai rangsangan oleh asap, alkohol dll 5. Hormonal : adanya estrogen yang tinggi dalam tubuh D. PATOFISIOLOGI Karsinoma nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya karsinoma nasofaring adalah pada fosa Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya. Penyebaran karsinoma nasofaring dapat berupa : 1. Penyebaran ke atas Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fosa medialis, disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus, fosa kranii media dan fosa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior (N. I dan N. VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal (parese N. II - N.VI). 2. Penyebaran ke belakang Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia faringobasilaris yaitu sepanjang fosa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dan sebagainya), di mana di dalamnya terdapat N. IX dan XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu N. VII dan N. XII beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada N. IX dan N. XII disebut Sindrom Retroparotidean/Sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tinggi dalam sistem anatomi tubuh. 3. Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada karsinoma nasofaring, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelenjar getah bening pada lapisan submukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu Nodus Rouvierre. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini
dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya selsel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter. 4. Metastasis jauh sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk. E. MANIFESTASI KLINIS 1. Gejala dini/gejala setempat, adalah gejala-gejala yang dapat timbul di waktu tumor masih tumbuh dalam batas-batas nasofaring, dapat berupa: a. Gejala hidung: pilek lama yang tidak kunjung sembuh; epistaksis berulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan lendir hidung sehinga berwarna merah jambu; lendir hidung seperti nanah, encer/kental, berbau. b. Gejala telinga: tinnitus (penekanan muara tuba eustachii oleh tumor, sehingga terjadi tuba oklusi, menyebabkan penurunan tekanan dalam kavum timpani), penurunan pendengaran (tuli), rasa tidak nyaman di telinga sampai otalgia. 2. Gejala lanjut/gejala pertumbuhan atau penyebaran tumor, dapat berupa: a. Gejala mata: diplopia (penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor
melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV (N. Trochlearis) dan N. VI (N. Abducens). Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan. b. Gejala tumor: pembesaran kelenjar limfe pada leher, merupakan tanda
penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. c. Gejala kranial, terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai
saraf-saraf kranialis, antara lain: 1) Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase
secara hematogen. 2) Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang. 3) Sindrom Jugular Jackson atau sindrom retroparotidean mengenai N.IX
N.X N.XI (N. Accessorius), N.XII (N. Hypoglossus). Dengan tandatanda kelumpuhan pada: lidah, palatum, faring atau laring, M.
Sternocleidomastoideus, M. Trapezius. Pada sindrom ini akan terjadi keluhan trismus, afoni dikarenakan paralisis pita suara, gangguan menelan, dan kelumpuhan nervus simpatikus servicalis F. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Serologi dapat dilakukan sebagai tumor marker pada tempat-
tempat yang dicurigai berhubugan dengan terjadinya KNF. Pemeriksaan tersebut
antara
lain
pemeriksaan
teknik-teknik
insitu
hibridisasi,
imunohistokimia, atau polymerase chain reaction, yakni pada material yang diperoleh dari aspirasi jarum halus pada metastase KGB leher 2. Pemeriksaan histopatologi (biopsi) Atau sering pula disebut dengan
pemeriksaan patologi anatomi yang dilakukan pada daerah nasofaring. 3. Pemeriksaan
Radiologi Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF
merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah: a) Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor
pada daerah nasofaring b) Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut c) Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya d) Menentukan ukuran tumor
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis karsinoma nasofaring, antara lain: 1. Foto polos Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu foto posisi Waters, lateral, dan AP. Pemeriksaan dengan menggunakan fotofoto tersebut akan menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fosa serebri media. 2. CT (Computerized Axial Tomography) Scan dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) CT-Scan dan MRI daerah kepala dan leher dilakukan untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan. MRI sensitivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan CT Scan dalam menditeksi karsinoma nasofaring dan kemungkinan penyebarannya yang menyusup ke jaringan atau nodus limfe.
CT Scan digunakan melihat dari fossa rosenmuller yang terletak lateral dari nasofaringeal. Penggunaan kontras dapat digunakan untuk menilai kanker nasofaring dilihat dengan perpendaran yang heretogen. Sedangkan pada MRI untuk menditeksi keterlibatan dasar tengkorak dan bidang lemak, setidaknya dalam bidang aksial yang digunakan untuk menilai tambahan dari penyebaran awal tumor parafaringela, invasi sinus paranasal, efusi telinga tengah dan deteksi kelenjar gerah bening servikal, sedangan yang tanpa supresi lemak digunakan untuk melihat jangkauan tumor, termasuk penyebaran perineural dan perluasan tumor intrakranial, dengan ketebalan slice 3-5mm. Sekuens MRI tambahan saat ini memiliki nilai klinis yang terbukti terbatas. 3. USG abdomen Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen.
Apabila dapat keraguan pada kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT Scan abdomen dengan kontras 4. Foto thorax Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai
adanya kelainan maka dianjurkan dengan CT Scan thorax dengan kontras 5.
Bone Scan Untuk melihat metastasis tulang
Asuhan Keperawatan A. Pengkajian Asuhan keperawatan pada tahap pertama yaitu pengkajian. Dalam pengkajian perlu dikaji biodata pasien dan data data untuk menunjang diagnosa. Data tersebut harus seakurat akuratnya, agar dapat digunakan dalam tahap berikutnya, meliputi nama pasien,umur, keluhan utama. Wawancara Informasi yang perlu didapatkan pada wawancara adalah sebagai berikut : Menanyakan kepada pasien mengenai gejala-gejala yaitu pada telinga (sumbatan muara tuba dan otitis media) atau adanya gangguan pendengaran. Selain itu, tanyakan pada pasien mengenai gejala hidung seperti epistaksis dan sumbatan hidung. Menanyakan kepada pasien mempunyai riwayat kanker, kebiasaan
makan makanan yang asin-asin, mengenai keadaan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup. Apakah pasien sering kontak dengan zat karsinogen, juga adanya radang kronis. Dasar data pengkajian klien Aktivitas/istirahat Gejala : kelemahan dan/atau keletihan, perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari, adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur misal nyeri, ansietas, berkeringat malam. Neurosensori Gejala : gangguan pendengaran dan penghidu, adanya pusing, sinkope. Nyeri/kenyamanan Gejala : nyeri terjadi pada bagian nasofaring, terasa panas. Pernapasan Gejala : adanya asap pabrik atau industri. Tanda : pada pemeriksaan penunjang dapat terlihat adanya sumbatan seperti massa. Makanan/cairan Gejala
:
anoreksia,
mual/muntah.
Tanda
: perubahan
pada
kelembaban/turgor kulit. Pemeriksaan fisik Inspeksi : Pada bagian leher terdapat benjolan, terlihat pada benjolan warna kulit mengkilat Palpasi : Pasien saat dipalpasi adanya massa yang besar, selain itu terasa nyeri apabila ditekan. Pemeriksaan THT: Otoskopi : Liang telinga, membran timpani. Rinoskopia anterior : Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin hanya banyak sekret. Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung, tertutup sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negatif. Rinoskopia posterior :
Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak menonjol, tak rata dan paskularisasi meningkat. Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan. Faringoskopi dan laringoskopi : Kadang faring menyempit karena penebalan jaringan retrofaring; reflek muntah dapat menghilang X – foto : tengkorak lateral, dasar tengkorak, CT Scan Diagnosa Pre Operatif Nyeri (akut) berhubungan dengan proses penyakit (obstruksi jaringan saraf telinga dan hidung). Perubahan persepsi-sensori: gangguan pendengaran dan penghidu berhubungan dengan perubahan status organ indera (obstruksi). Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan efek kemoterapi atau radiasi Ansietas berhubungan dengan tindakan operatif yang akan dilakukan. Post Operatif Nyeri (akut) berhubungan dengan efek tindakan operatif Resiko
tinggi
infeksi
berhubungan
dengan
luka
post
operatif
Intervensi: Pre Operatif Dx I : Nyeri (akut) berhubungan dengan proses penyakit (obstruksi jaringan saraf telinga dan hidung). Tujuan : Pasien diharapkan nyeri dapat terkontrol, dengan criteria hasil : pasien melaporkan nyeri berkurang, skala nyeri 1, wajah terlihat rileks, pasien dapat beristirahat. Intervensi
:
1. Kaji keluhan nyeri (karakteristik, intensitas, lokasi, lama, faktor yang
memperburuk). Rasional : Nyeri merupakan pengalaman subyektif dan harus dijelaskan oleh pasien, mengidentifikasi nyeri untuk memilih intervensi yang tepat. 2.
Anjurkan
untuk
beristirahat
dalam
ruangan
yang
tenang.
Rasional : Menurunkan stimulasi yang berlebihan yang dapat mengurangi sakit kepala. Berikan
kompres
dingin
pada
bagian
yang
nyeri.
Rasional : Meningkatkan rasa nyaman dengan menurunkan vasodilatasi. Ajarkan
teknik
relaksasi
dengan
distraksi
dan
napas
dalam.
Rasional : Membantu mengendalikan nyeri dan mengalihkan perhatian dari rasa nyeri. Kolaborasi Rasional
medis,
berikan
:
Analgesik
analgesik mampu
untuk
mengurangi
menekan
saraf
nyeri. nyeri.
Dx II : Perubahan persepsi-sensori : gangguan pendengaran dan penghidu berhubungan
dengan
perubahan
status
organ
indera
(obstruksi).
Tujuan : Pasien diharapkan persepsi sensori : pendengaran dan penghidu membaik dengan kriteria hasil : indera pendengaran tidak terganggu, ketajaman pendengaran dan penghidu membaik. Intervensi : Kaji ketajaman pendengaran dan penghidu. Rasional : Menentukan kebutuhan individu dan pilihan intervensi yang sesuai. Kolaborasi medis dengan tindakan kemoterapi/radioterapi, selanjutnya dapat dilakukan tindakan operatif. Rasional : Dapat mengurangi obstruksi yang ada di telinga atau hidung, sehingga pasien dapat merasa nyaman.
Dx III : Nutrisi, perubahan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan efek kemoterapi atau radiasi. Tujuan : Pasien diharapkan kebutuhan nutrisi dalam tubuh terpenuhi, dengan kriteria hasil : nafsu makan bertambah, tidak mual. Intervensi : Pantau masukan makanan setiap hari. Rasional : Mengidentifikasi defisiensi nutrisi. Identifikasi
pasien
yang
mengalami
mual/muntah
yang
diantisipasi.
Rasional : Mual/muntah psikogenik terjadi sebelum kemoterapi muali secara umum tidak berespons terhadap obat antiemetik. Kolaborasi medis dengan pemberian aniemetik pada jadwal reguler sebelum atau selama dan setelah pemberian agen antineoplastik dengan sesuai. Rasional : Mual/muntah paling menurunkan kemampuan dan efek samping psikologis kemoterapi yang menimbulkan stress. Sajikan makanan selagi hangat. Rasional : Dengan sajian makanan hangat lebih mengurangi mual. Dorong
pasien
Rasional
untuk
: Kebutuhan
makan sehari-hari
sedikit dapat
terpenuhi
tapi
sering.
dengan
baik.
D) Dx IV : Ansietas berhubungan dengan tindakan operatif yang akan dilakukan. Tujuan : Pasien diharapkan tingkat kecemasan berkurang dengan kriteria hasil : wajah rileks, tidak gelisah. Intervensi : Dorong
pasien
untuk
mengungkapkan
pikiran
dan
perasaan.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk memeriksa rasa takut
realistis serta kesalahan konsep tentang diagnosis. Beri lingkungan terbuka dimana pasien merasa aman untuk mendiskusikan perasaan
atau
menolak
untuk
bicara.
Rasional : Membentu pasien untuk merasa diterima pada adanya kondisi tanpa perasaan dihakimi dan meningkatkan rasa terhormat dan kontrol. Berikan informasi akurat, konsisten mengenai prognosis. Hindari memperdebatkan
tentang
persepsi
pasien
terhadap
situasi.
Rasional : Dapat menurunkan ansietas dan memungkinkan pasien membuat keputusan/pilihan berdasarkan realita. Tingkatkan Rasional
rasa :
tenang
Memudahkan
dan
lingkungan
istirahat,
yang
menghemat
tenang.
energi,
dan
meningkatkan kemampuan koping. Post Operatif Dx I : Nyeri (akut) berhubungan dengan efek tindakan operatif. Tujuan : Pasien diharapkan tingkat nyeri berkurang, dengan kriteria hasil : wajah Intervensi
terlihat
rileks,
tidak
tegang,
tidak
gelisah.
:
Kaji keluhan nyeri (karakteristik, intensitas, lokasi, lama, faktor yang memperburuk). Rasional : Nyeri merupakan pengalaman subyektif dan harus dijelaskan oleh pasien, mengidentifikasi nyeri untuk memilih intervensi yang tepat. Anjurkan
untuk
beristirahat
dalam
ruangan
yang
tenang.
Rasional : Menurunkan stimulasi yang berlebihan yang dapat mengurangi sakit kepala.
Anjurkan teknik relaksasi dengan distraksi dan napas dalam. Rasional : Membantu mengendalikan nyeri dan mengalihkan perhatian dari rasa nyeri. Berikan kompres dingin pada hari I post operatif, dan pada hari III selanjutnya dengan kompres hangat untuk mengurangi nyeri. Rasional : Kompres dingin dapat mengurangi nyeri, sedangkan kompres hangat untuk vasodilatasi. Kolaborasi
medis,
berikan
analgesik
untuk
mengurangi
nyeri.
Rasional : Analgesik mamapu menekan saraf nyeri. Dx II : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka post operatif. Tujuan : Pasien diharapkan tidak adanya tanda-tanda infeksi dengan kriteria hasil : luka operasi cepat kering, balutan terlihat bersih. Intervensi : Kaji adanya tanda-tanda infeksi. Rasional : Untuk memudahkan memberikan intervensi kepada pasien. Monitor tanda-tanda vital. Rasional : Merupakan tanda adanya infeksi apabila terjadi peradangan. Lakukan ganti balutan pada hari ke III/V post operatif. Rasional : Sehingga kebersihan terjaga dan tidak menjadi tempat berkembangbiak kuman. Kolaborasi
medis
dengan
pemberian
antibiotik.
Rasional : Antibiotik dapat mencegah sekaligus membunuh kuman penyakit untuk berkembang biak.
DAFTAR PUSTAKA Adham, M., et al., 2017. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, sign, and symptoms at presentation. Diambil pada 12 September 2017:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22313595 Carpenito, Lynda Juall. (2017) . Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta. Rothrock, C. J. (2016). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta. Yueniwati, Y., 2019. Tumor Extension and Tumor Staging of Nasopharyngeal Carcinoma. Proceeding Book: Indonesian Society of Radiology, ASM XI. Kalimantan Timur