LAPORAN PENDAHULUAN Stemi Icu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN EMERGENCY & KRITIS PADA KLIEN DENGAN ST-ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (STEMI)



Guna Memenuhi Tugas Pada State Keperawatan Kritis



Oleh: Vinny Ismawati G3A020189



PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2021



I.



KONSEP DASAR A. Pengertian Menurut Baliga (2014) ST-elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan bagian dari Sindrom Koroner Akut (SKA) yang pada umumnya diakibatkan oleh rupturnya plak aterosklerosis yang mengakibatkan oklusi total pada arteri koroner dan disertai dengan tanda dan gejala klinis iskemi miokard seperti munculnya nyeri dada, adanya elevasi segmen ST serta meningkatnya biomarker kematian sel miokardium yaitu troponin (cTn) (Wahyunadi et al., 2017). Pada Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) terjadi oklusi total arteri koroner sehingga menyebabkan daerah infark yang lebih luas meliputi seluruh miokardium, yang pada pemeriksaan EKG ditemukan adanya elevasi segmen ST (Nugroho, 2018). B. Etiologi Menurut Sudoyo (2010) Infark miokard dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Restarina et al., 2017). Secara garis besar terdapat dua jenis faktor yang menyebabkan seseorang mengalami infark yaitu faktor yang bisa dimodifikasi atau dirubah dan faktor yang tidak bisa dimodifikasi atau tidak bisa dirubah. a. Factor yang bisa dimodifikasi 1) Merokok Merokok dapat menyebabkan atherosclerosis, peningkatan trombogenesis dan vasokontriksi, pemicu aritmia, meningkatkan kebutuhan oksigen dan penurunan kapasitas pengangkuttan oksigen jantung yang membuat jantung berkerja keras dan memudahkan jantung untuk terjadinya infark. 2) Hipertensi Hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang secara tidak langsung akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan memicu



hipertropi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya afterload yang pada akhirnya meningkatkan kebutuhan jantung. 3) Obestitas Pada umumnya, obesitas cenderung meningkatkan kadar kolestrol total dan trigliserida



dan



menurunkan



kadar



HDL.



Perubahan-perubahan



ini



meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis. 4) Diabetes Mellitus Penyakit DM dapat menginduksi hiperkolesterolemia serta meningkatkan predisposisi atherosclerosis. Penderita diabetes lebih berisiko menderita infark miokard dari pada yang tidak menderita diabetes. Penderita diabetes mellitus mempunyai prevalensi yang lebih tinggi mengalami aterosklerosis, karena hiperglikemia dapat mengakibatkan peningkatan agregasi trombosit yang dapat membentuk thrombus. 5) Stres Psikologi Stres dapat mengakibatkan peningkatan katekolamin yang bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan. b. Factor yang tidak bisa dimodifikasi 1) Usia Risiko terjadinya penyakit arteri koroner meningkat dengan bertambahnya umur, diatas 45 tahun pada pria dan diatas 55 tahun pada wanita. Dengan riwayat keluarga yang memiliki penyakit jantung juga merupakan faktor risiko, termasuk penyakit jantung pada ayah dan saudara pria yang didiagnosa sebelum umur 55 tahun, dan pada ibu atau saudara perempuan yang didiagnosa sebelum umur 65 tahun (Restarina et al., 2017). 2) Jenis kelamin Laki-laki memiliki risiko lebih tinggi dari pada perempuan.Walaupun setelah menopause, tingkat kematian perempuan akibat penyakit jantung meningkat, tapi tetap tidak sebanyak tingkat kematian lakilaki akibat penyakit jantung (Saufika,



2017).



C. Manifestasi Klinis Menurut KASRON tanda dan gejala STEMI adalah (Arzfy, 2017) : a. Nyeri Dada Mayoritas pasien dengan stemi (90%) datang dengan keluhan nyeri dada. Perbedaan dengan nyeri pada angina adalah nyeri pada stemi lebih panjang yaitu minimal 30 menit, sedangkan pada angina kurang dari itu. Disamping itu pada angina biasanya nyeri akan hilang dengan istirahat akan tetapi tidak pada infark. Gejala khas pada pasien STEMI adalah nyeri dada yang bisa menjalar ke bagian lengan kiri, leher, rahang bawah, gigi, punggung, perut, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri juga dapat dijumpai pada daerah ulu hati dan menstimulasi gangguan pada saluran pencernaan seperti mual muntah, rasa tidak nyaman di dada dapat menyebabkan sulit bernafas, keringat dingin, cemas dan lemas sehingga akan berpengaruh terhadap kualitas tidur pasien STEMI, sehingga perawat perlu berupaya untuk mencukupi ataupun memenuhi kebutuhan tidur tersebut Ciri-ciri nyeri pada STEMI: 1) Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak mereda, biasanya diatas region sterna bawah dan abdomen bagian atas,ini merupakan gejala utama. 2) Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri tidak tertahankan lagi. 3) Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat menjalar ke bahu dan terus ke bawah menuju lengan (biasanya lengan kiri). 4) Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan ata gangguan emosional), menetap selama beberapa jam atau hari, dan tidak hilang dengan bantuan istirahat atau nitrogliserin (NTG). 5) Nyeri dapat menjalar ke arah rahang dan leher.



6)



Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis berat pening atau kepala terasa melayang dan mual muntah.



7) Pasien dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat karena neuropati yang menyertai diabetes dapat mengganggu neuroreseptor (mengumpulkan pengalaman nyeri). b. Sesak nafas Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir diastolic ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan hiperventilasi. Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas merupakan tanda adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna. D. Patofisiologi STEMI terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vaskuler. Faktor penyebab kerusakan ini, seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. STEMI terjadi ketika permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur dan terbentuklah trombus, sehingga terjadi oklusi pada arteri koroner arteri koroner sering kali mengalami thrombus yang terdiri dari agregat platelet, dan benang-benang fibrin. Pada sebagian kecil kasusnya, penyebab lain dari STEMI yaitu karena emboli arteri koroner, abnormalitas congenital, spasme coroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama inflasmasi Zainal, (2013) E. Pathway Faktor resiko (perokok, hipertensi, obesitas, umur > 40 tahun, ras, sex) Endapan lipoprotein di tunika intima Aterosklerosis Thrombosis Konstriksi arteri koronaria Aliran darah ke jantung ↓ O2 dan nutrisi ↓ Jaringan miokard iskemik



Nekrose lebih dari 30 menit Suplai dan kebutuhan oksigen ke jantung tidak seimbang



Metabolisme anaerob Kerusakan Pertukaran Gas



Seluler Hipoksia



Timbunan asam laktat ↑



Nyeri



Integritas membran sel berubah



pH jaringan



Kontraktilitas ↓



Perubahan elektro fisiologi jantung



COP ↓



Aritmia



Gangguan perfusi jaringan



Resiko ↓ Curah Jantung



Kegagalan memompa jantung Gagal jantung



Efek kebelakang Resiko kelebihan cairan Oedem pulmo Pola nafas tidak efektif



F. Pemeriksaan Diagnostik Adapun pemeriksaan penunjang pada STEMI sebagai berikut : a. Elektrokardiografi (EKG) Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu yaitu: 1) Lead II, III, aVF: Infark inferior 2) Lead V1-V3: Infark anteroseptal 3) Lead V2-V4: Infark anterior 4) Lead 1, aV L, V5-V6: Infark anterolateral 5) Lead I, aVL: Infark high lateral 6) Lead I, aVL, V1-V6: Infark anterolateral luas 7) Lead II, III, aVF, V5-V6: Infark inferolateral 8) Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu. b. Echocardiogram Digunakan untuk mengevaluasi lebih jauh mengenai fungsi jantung khususnya fungsi vertrikel dengan menggunakan gelombang ultrasounds.



c. Foto thorax Roentgen tampak normal, apabila terjadi gagal jantung akan terlihat pada bendungan paru berupa pelebaran corakan vaskuler paru dan hipertropi ventrikel d. Percutaneus Coronary Angiografi (PCA) Pemasangan kateter jantung dengan menggunakan zat kontras dan memonitor x ray yang mengetahui sumbatan pada arteri koroner e. Tes Treadmill Uji latih jantung untuk mengetahui respon jantung terhadap aktivitas. f. Laboratorium : Pemeriksaan yang dianjurkan adalah: 1) Creatinin Kinase (CK)MB. Meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. 2) cTn (cardiac specific troponin). Ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu: 1) Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam. 2) Creatinin kinase (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari. 3) Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puuncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari. G. Pentalaksanaan Medik Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2013 (Restarina et al., 2017): a. Farmakologi 1) Pemberian Oksigen



Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri < 90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama. 2) Nitrogliserin Pasien dengan nyeri iskemik di dada harus diberikan nitrogliserin sublingual 0,4 mg setiap 5 menit dengan dosis maksimal 3 dosis. Setelah melakukan penialaian seharusnya dievaluasi akan kebutuhan nitrogliserin intravena. Intravena nitrogliserin ini diindikasikan untuk bila nyeri iskemik masih berlangsung, untuk mengontrol hipertensi, dan edema paru. Nitrogliserin tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg, bradikardi, (kurang dari 50 kali per menit), takikardi (lebih dari 100 kali per menit, atau dicurigai adannya RV infark.. nitrogliserin juga harus dihindari pada pasien yang mendapat inhibitor fosfodiesterase dalam 24 jam terakhir. 3) Analgesik Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2 – 8 mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama untuk manajemen nyeri yang disebabkan STEMI. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek samping ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg. 4) Aspirin Aspirin kunyah harus diberikan pada pasien yang belum pernah mendapatkan aspirin pada kasus STEMI. Dosis awal yang diberikan 162 mg sampai 325 mg. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.



5) Beta Bloker Terapi beta bloker oral dianjurkan pada pasien yang tidak memiliki kontraindikasi terutama bila ditemukan adanya hipertensi dan takiaritmia. Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa digunakan addalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 menit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam dan dilanjutkan 100mg tiap 12 jam. 6) Clopidogrel Pemberian clopidogrel 600 mg sedini mungkin. Dan dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 75 mg per hari. 7) Reperfusi Semua pasien STEMI seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi reperfusi. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle atau medical contact to balloon time untuk Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dapat dicapai dalam 90 menit (Patrick, 2013). Reperfusi, dengan trombolisis atau PCI primer, diindikasikan dalam waktu kurang dari 12 jam sejak onset nyeri dada untuk semua pasien Infark Miokard yang juga memenuhi salah satu kriteria berikut: a) ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor ECG di dada yang berturutan, b) ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di tungkai berturutan, c) Left bundle branch block baru.



b. Non Farmakologi 1) Aktivitas Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa awal infark dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien dengan STEMI harus tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam pertama. Kemudian, jika tidak terdapat komplikasi, pasien harus didukung untuk untuk melanjutkan postur tegak dengan menggantung kaki mereka ke sisi tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam pertama. Latihan ini bermanfaat secara psikologis dan biasanya menurunkan tekanan kapiler paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan komplikasi lain, pasien dapat berjalan-jalan di ruangan dengan durasi dan frekuensi yang ditingkatkan secara bertahap pada hari kedua atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien harus sudah dapat berjalan 185 m minimal tiga kali sehari (Smeltzer & Bare, 2002) 2) Istirahat Bedrest dengan posisi semifowler atau menggunakan cardiac chair dapat mengurangi nyeri dada dan dispnea. Posisi kepala yang lebih tinggi sangat bermanfaat bagi pasien karena: (1) Volume tidal dapat diperbaiki karena tekanan isi abdomen terhadap diafragma berkurang sehinngga pertukaran gas dapat lebih baik, (2) Drainase lobus atas paru lebih baik serta (3) Aliran balik vena ke jantung (preload) berkurang sehingga mengurangi kerja jantung 3) Diet Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI, pasien hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-12 jam pertama. Asupan nutrisi yang diberikan harus mengandung kolesterol ± 300 mg/hari. Kompleks karbohidrat harus mencapai 50-55% dari kalori total. Diet yang diberikan harus tinggi kalium, magnesium, dan serat tetapi rendah natrium.



H. Konsep Asuhan Keperawatan A. Pengkajian Primer survey 1) Airway Pada pengkajian ini hal yang perlu diketahui adalah adanya sumbatan di kerongkongan, penumpukan sekret di tenggorokan, adanya wheezing, ronchi atau suara crakcel yang menunjukkan ketidak efektifan pertukaran gas. 2) Breathing Pada pengkajian ini hal yang perlu diketahui adalah sesak nafas akibat aktivitas maupun tanpa aktivitas, irama nafas dan suara nafas. 3) Circulation Pada pengkajian ini hal yang perlu diketahui adalah tekanan darah yang menunjukkan hipertensi, adanya edema di ekstremitas, CRT yang lebih dari 3 detik sebagai bentuk penurunan curah jantung, akral yang dingin. 4) Disability Status mental: Tingkat kesadaran secara kualitatif dengan Glascow Coma Scale (GCS) dan secara kwantitatif yaitu Compos mentis: Sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. Apatis: keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan kehidupan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh. Somnolen : keadaan kesadaran yang mau tidur saja. Dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri, tetapi jatuh tidur lagi. Delirium: keadaan kacau motorik yang sangat, memberontak, berteriak-teriak, dan tidak sadar terhadap orang lain, tempat, dan waktu. Sopor/semi koma : keadaan kesadaran yang menyerupai koma, reaksi hanya dapat ditimbulkan dengan rangsang nyeri. Koma: keadaan kesadaran yang hilang sama sekali dan tidak dapat dibangunkan dengan rangsang apapun. 5) Exposure



Keadaan kulit, seperti turgor / kelainan pada kulit dsn keadaan ketidaknyamanan (nyeri) dengan pengkajian PQRST.



B. Pengkajian Sekunder survey 1) Pemeriksaan fisik a) Aktifitas Gejala : Kelemahan, Kelelahan, Tidak dapat tidur, Pola hidup menetap, Jadwal olah raga tidak teratur Tanda :  Takikardi  Dispnea pada istirahat atau aktifitas b) Sirkulasi Gejala :



riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah



tekanan darah, diabetes mellitus. Tanda :  Tekanan darah, Dapat normal / naik / turun, Perubahan postural dicatat dari tidur sampai duduk atau berdiri  Nadi: Dapat normal , penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratus (disritmia)  Bunyi jantung: Bunyi jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal jantung atau penurunan konraktilits atau komplain ventrikel  Murmur: Bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot jantung  Friksi ; dicurigai Perikarditis  Irama jantung dapat teratur atau tidak teratur  Edema



 Distensi vena juguler, edema dependent , perifer, edema umum,krekles mungkin ada dengan gagal jantung atau ventrikel  Warna :Pucat atau sianosis, kuku datar , pada membran mukossa atau bibir



c) Integritas ego Tanda :  menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku menyerang, focus pada diri sendiri, koma,nyeri Gejala :  menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati, perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan, khawatir tentang keuangan , kerja , keluarga d)  Eliminasi Tanda :  normal, bunyi usus menurun. e) Makanan atau cairan Tanda :  penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat, muntah, perubahan berat badan Gejala :  mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau terbakar f) Hygiene Gejala atau tanda :  lesulitan melakukan tugas perawatan g) Neurosensori Tanda :  perubahan mental, kelemahan Gejala :



 pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau istrahat ) h)   Nyeri atau ketidaknyamanan Gejala :  Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak berhubungan dengan aktifitas ), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri dalam dan viseral) 



 



Lokasi: Tipikal pada dada anterior, substernal , prekordial,



dapat menyebar ke tangan, ranhang, wajah. Tidak tertentu lokasinya



seperti



epigastrium,



siku,



rahang,



abdomen,



punggung, leher.  Kualitas: “Crushing ”, menyempit, berat, menetap, tertekan, seperti dapat dilihat 



Intensitas : Biasanya 10(pada skala 1 -10), mungkin pengalaman nyeri paling buruk yang pernah dialami.



 Catatan



: nyeri mungkin tidak ada pada pasien pasca



operasi, diabetes mellitus , hipertensi, lansia i)



 



Pernafasan:



Tanda :  peningkatan frekuensi pernafasan  nafas sesak / kuat  pucat, sianosis  bunyi nafas ( bersih, krekles, mengi ), sputum Gejala :  dispnea tanpa atau dengan kerja  dispnea nocturna    batuk dengan atau tanpa produksi sputum  riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis. j) Interkasi social Tanda :



 Kesulitan istirahat dengan tenang  Respon terlalu emosi ( marah terus-menerus, takut )  Menarik diri Gejala :  Stress  Kesulitan koping dengan stressor yang ada missal : penyakit, perawatan di RS



2) TTV a. Tekanan darah bisa normal/naik/turun (perubahan postural di catat dari tidur sampai duduk/berdiri. b. Nadi dapat normal/penuh atau tidak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratur (disritmia). c. RR lebih dari 20 x/menit. d. Suhu hipotermi/normal. 3) Pengkajian Sistem a. Sistem pernafasan (B1) Pada pengkajian ini yang perlu diketahui ialah bagaiamana respon paru dalam bentuk RR, suara nafas yang abnormal, sumbatan nafas, ketidak efektifan pola nafas, adanya sesak nafas atau tidak. b. Sistem kardiovaskular (B2) Pada sistem ini hal yang perlu dikaji ialah kerja jantung dalam bentuk TD yang meningkat, akral hangat atau dingin, CRT yang lebih dari 3 detik, suara jantung. c. Sistem persyarafan (B3) Pada sistem persyarafan hal yang perlu dikaji ialah bagaimana respon pasien saat diberi rangsang. Bagaimana keadaan indra pengecap, pendengaran, penglihatan, penciuman, dan perabaan, apakah pasien 4) Pemeriksaan Laboratorium a) CPKMB, LDH, AST



b) Elektrolit, ketidakseimbangan (hipokalemi). c) Sel darah putih (10.000-20.000). d) GDA (hipoksia) 5) Pemeriksaan Rotgen Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung di duga GJK atau aneurisma ventrikuler. 6) Pemeriksaan EKG T inverted, ST elevasi, Q patologis. 7) Pemeriksaan lainnya 8) Angiografi koroner Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner. 9) Pencitraan darah jantung (MVGA) Mengevaluasi penampilan ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional dan fraksi ejeksi (aliran darah). Tes laboratorium yang sering dilakukan diuraikan pada tabel berikut: Jenis Pemeriksaan EKG



Laboratorium: Enzim/Isoenzi m Jantung Radiologi Ekokardiografi



Radioisotop



Interpretasi Hasil Masa setelah serangan: Beberapa jam: variasi normal, perubahan tidak khas sampai adanya Q patologis dan elevasi segmen ST Sehari/kurang seminggu: inversi gelombang T dan elvasi ST berkurang Seminggu/beberapa bulan: gelombang Q menetap Setahun: pada 10% kasus dapat kembali normal. Peningkatan kadar enzim (kreatin-fosfokinase atau aspartat amino transferase/SGOT, laktat dehidrogenase/-HBDH) atau isoenzim (CPKMB)merupakan indikator spesifik IMA. Tidak banyak membantu diagnosis IMA tetapi berguna untuk mendeteksi adanya bendungan paru (gagal jantung), kadang dapat ditemukan kardiomegali. Dapat tampak kontraksi asinergi di daerah yang rusak dan penebalan sistolik dinding jantung yang menurun. Dapat mendeteksi daerah dan luasnya kerusakan miokard, adanya penyulit seperti anerisma ventrikel, trombus, ruptur muskulus papilaris atau korda tendinea, ruptur septum, tamponade akibat ruptur jantung, pseudoaneurisma jantung. Berguna bila hasil pemeriksaan lain masih meragukan adanya IMA.



C. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (iskemia)



2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke alveolus dan kapiler 3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan oksigen 4) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan afterload 5) Hipervolemia berhubungan dengan gangguan aliran balik vena



D. INTERVENSI No 1.



Diagnosa Keperawatan Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (iskemia)



Tujuan dan Kriteria Hasil (SLKI) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil : Tingkat Nyeri (L.08066) -Keluhan nyeri menurun -Meringis menurun -Gelisah menurun



Intervensi (SIKI) Manajemen nyeri (I.08238) Observasi : -Identifikasi lokasi, Karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas nyeri. - Identifikasi skala nyeri - Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri Therapeutik : -Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri missal ( Relaksasi benson) -Fasilitasi istirahat dan tidur Edukasi : -Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri -Jelaskan strategi meredahkan nyeri -Anjurkan monitor nyeri secara mandiri -Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri Kolaborasi : -Kolaborasi pemberian analgetik, jika diperlukan



2.



Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke alveolus dan kapiler



Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan Pertukaran gas meningkat dengan kriteria hasil : Pertukaran gas (L.01003) -Dispnea menurun -Pusing menurun -Napas cuping hidung menurun -PO2 membaik -Pola nafas membaik



3.



Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan oksigen



Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan Toleransi aktivitas meningkat dengan kriteria hasil : Toleransi aktivitas (L.05047) - Kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari meningkat - Keluhan lelah menurun -Dispnea saat beraktivitas menurun



Terapi Oksigen (I.01026) Observasi : -Monitor kecepatan aliran oksigen -Monitor aliran oksigen secara periodic dan pastikan fraksi yang diberikan cukup Therapeutik : -Pertahankan kepatenan jalan nafas -Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen Edukasi : -Ajarkan Pasien dankeluarga cara menggunakan oksigen, jika Kolaborasi : -Kolaborasi penentuan dosis oksigen -Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan atau tidur. Manajemen Energi (I.05176) Observasi : -Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan -Monitor kelelahan fisik dan emosional -Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas Therapeutik : -Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulasi -Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan -Fasilitasi duduk disisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan Edukasi : -Anjurkan tirah baring -Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan Kolaborasi : -Kolaborasi dengan ahli gizi



4.



Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan afterload



Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan Curah jantung meningkat dengan kriteria hasil : Curah jantung (L.02008) -Kekuatan nadi perifer meningkat -Ejection fraction meningkat -Lelah menurun -Dipsnea menurun -Tekanan darah membaik -CRT membaik



5.



Hipervolemia berhubungan dengan gangguan aliran balik vena



Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan Keseimbangan cairan meningkat dengan kriteria hasil : Keseimbangan cairan (L.05020) -Asupan cairan meningkat -Keluaran urin menurun -Membrane mukosa



tentang cara meningkatkan asupan makanan Perawatan jantung (I.02075) Observasi : -Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung - Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah jantung - Monitor intake dan output cairan - Monitor keluhan nyeri dada Therapeutik : -Posisikan pasien semi fowler -Fasilitasi pasien dan keluarga untuk memodifikasi gaya hidup sehat -Berikan oksigen untuk mempertahankan sayurasi oksigen Edukasi : -Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi - Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output cairan harian Kolaborasi : -Kolaborasi pemberian aritmia, jika diperlukan Manajemen Hipervolemia (1.03114) Observasi : -Periksa tanda dan gejala hypervolemia -Identifikasi penyebab hypervolemia -Monitor intake dan output cairan Therapeutik : -Batasi asupan cairan dan garam -Tinggikan tempat tidur 30-



membaik -Turgor kulit membaik



40 derajat Edukasi : -Anjurkan melapor jika saluran urin kurang dari 0,5 mL/ jam dalam 6 jam -Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan saluran cairan Kolaborasi : -Kolaborasi pemberian diuretic -Kolaborasi CRRT, jika perlu



DAFTAR PUSTAKA Arzfy, P. D. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan St Elevasi Myocardium Infark (Stemi) Di Ruang Cardiovaskuler Care Unit Rsup Dr M Djamil Padang. Farissa, I. P. (2012). Komplikasi Pada Pasien Infark Miokart Akut ST Elevasi (STEMI) Yang Mendapatkan Maupun TIdak Mendapat Terapi Reperfusi (Studi di RSUP Dr.Kariadi Semarang). Semarang. Nugroho, I. S. (2018). Perbedaan Kadar Sgot Pada Pasien St-Elevasi Miokard Infark (Stemi) Dan Non-St Elevasi Miokard Infark (Nstemi) Di Rsud Dr. Moewardi. Safitri, E. (2013). St Elevasi Miokard Infark (Stemi) Anteroseptal Pada Pasien Dengan Faktor Resiko Kebiasaan Merokok Menahun Dan Tingginya Kadar Kolestrol Dalam Darah. 1(4), 60–68. Saufika, C. F. (2017). Gambaran Profil Pasien Stemi Yang Dirawat Di Ruang Cvcu Rsup H.Adam Malik Medan Pada Bulan Januari - Juli 2015 Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth (Vol. 2). EGC. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing. Wahyunadi, N. M. D., Sargowo, D., & Suharsono, T. (2017). Perbedaan Keberhasilan Terapi Fibrinolitik Pada Penderita St-Elevation Myocardial Infarction (Stemi)



Dengan Diabetes Dan Tidak Diabetes Berdasarkan Penurunan St-Elevasi. Jurnal Ilmu Keperawatan, 5. Retrieved from www.jik.ub.ac.id. PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI. PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI. PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.