Laporan Pendahuluan Toa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TUBA OVARIUM ABCESSN (TOA) DI RUANG GINEKOLOGI RSUD ABDUL AZIZ SINGKAWANG



SILFANIA ROSEVIN GEA I4051161028



PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2016



LAPORAN PENDAHULUAN TUBA OVARIUM ABCESSN (TOA) 1. DEFINISI Tuba fallopii adalah saluran ovum yang memiliki panjang bervariasi antara 8 hingga 14 cm dan ditutup oleh peritonium serta lumennya dilapisi oleh membran mukosa. Tuba terbagi menjadi 3 bagian, yakni pars interstitial, ismus, ampula, dan infundibulum (Cunningham et al., 2006). Tuba berfungsi untuk menyalurkan ovum dari ovarium menuju uterus. Ovarium merupakan bagian dari organ reproduksi wanita bagian dalam. Ovarium berjumlah dua buah dan terletak di kiri dan kanan. Ovarium



ke



arah



uterus



bergantung pada ligamentum infundibulo pelvikum dan melekat pada ligamentum latum melalui mesovarium. Abses adalah ronga yang terbentuk karena adanya kerusakan jaringan/bengkak karena proses infeksi. Tubo-ovarian abscess (TOA) adalah pembengkakan yang terjadi pada tuba-ovarium yang ditandai dengan radang bernanah, baik di salah satu tuba-ovarium, maupun keduanya (Granberg, 2009). TOA Merupakan komplikasi termasuk efek jangka panjang dari salfingitis akut tetapi biasanya akan muncul dengan infeksi berulang atau kerusakan kronis dari jaringan adnexa. Biasanya dibedakan dengan ada tidaknya ruptur. Dapat terjadi bilateral walaupun 60% dari kasus abses yang dilaporkan merupakan kejadian unilateral dengan atau tanpa penggunaan IUD. Abses biasanya polimikroba. 2. KLASIFIKASI a. TOA yang utuh Pada umumnya prognosa baik, apabila dengan pengobatan medidinaslis tidak ada perbaikan keluhan dan gejalanya maupun pengecilan tumornya lebih baik dikerjakan laparatomi jangan ditunggu abses menjadi pecah yang mungkin perlu tindakan lebih luas. Kemampuan fertilitas jelas menurun kemungkinan reinfeksi harus diperhitungan apabila terapi pembedahan tak dikerjakan b. TOA yang pecah Kemungkinan septisemia besar oleh karenanya perlu penanganan dini dan tindakan pembedahan untuk menurunkan angka mortalitasnya. 3. ETIOLOGI TOA biasanya disebabkan oleh bakteri aerob dan anaerob, seperti Escherichia coli, Hemolytic streptococci and Gonococci, Bacteroides species dan Peptococcus (Seshadri et al., 2004). Pada beberapa kasus, Hemophilus influenzae, Salmonella, actinomyces, dan



Staphylococcus aureus juga dilaporkan menjadi penyebab TOA. Sekitar 92% penyebab TOA adalah Streptococci (Cohen et al., 2003). Dikatakan bahwa nekrosis tuba fallopi dan kerusakan epitel terjadi dikarenakan bakteri patogen menciptakan lingkungan yang diperlukan untuk invasi anaerob dan pertumbuhan. Terdapat salfingitis yang melibatkan ovarium dan ada juga yang tidak. Proses inflamasi ini dapat terjadi spontan atau merupakan respon dari terapi. Hasilnya dapat terjadi kelainan anatomis yang disertai denagn perlengketan ke organ sekitar. Keterlibatan ovarium biasanya terjadi di tempat terjadinya ovulasi yang sering menjadi tempat masuk infeksi yang luas dan pembentukan abses. Apabila eksudat purulen itu ditekan maka akan menyebabkan ruptur dari abses yang dapat disertai oleh peritonitis berat serta tindakan laparotomi. Perlengketan yang lambat dari abses akan menyebabkan abses cul de sac. Biasanya abses ini muncul ketika penggunaan IUD, atau munculnya infeksi granulomatous ( TBC, aktinomikosis). Adapun faktor risiko adalah sebagai berikut ,(Tuncer et al., 2012) : a. b. c. d. e.



Multiple partner Status ekonomi rendah. Riwayat PID Menggunakan AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim) Adanya riwayat STD



4 . PATOF I S I O L O G I Adanya penyebaran bakteri dari vagina ke uterus lalu ke tuba dan atau parametrium, terjadilah salpingitis dengan atau tanpa ooforitis. Keadaan ini bisa terjadi pada pasca abortus, pasca persalinan atau setelah tindakan genekologi sebelumnya (Mudgil, 2009). Mekanisme pembentukan TOA secara pasti masih sulit ditentukan, tergantung sampai dimana keterlibatan tuba infeksinya sendiri. Pada permulaan proses penyakit, lumen tuba masih terbuka mengeluarkan eksudat yang purulent dari febriae dan menyebabkan peritonitis, ovarium sebagaimana struktur lain dalam pelvis mengalami inflamasi, tempat ovulasi dapat sebagai tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tuba dan ovarium saja, dapat pula melibatkan struktur pelvis yang lain seperti usus besar,buli-buli atau adneksa yang lain. Proses peradangan dapat mereda spontan atau sebagai respon pengobatan, keadaan ini biasanya memberi perubahan anatomi disertai perlekatan fibrin terhadap organ terdekatnya. Apabila prosesnya menghebat dapat terjadi pecahnya abses (Mudgil, 2009). Pathway Terlampir.



5. MANIFESTASI KLINIS Pada semua kasus TOA, termasuk yang disebabkan oleh Pneumococcus, menunjukkan gejala-gejala berikut: nyeri (88%), demam (35%), massa adneksa (35%), diare (24%), mual dan muntah (18%), haid tidak teratur (12%). Pada pemeriksaan touching : nyeri goyang portio, nyeri kiri dan kanan uterus atau salah satunya, kadang-kadang terdapat penebalan tuba (tuba yang normal, tidak teraba), seta nyeri pada ovarium karena meradang. Gejala dapat sangat bervariasi dari asimptomatis sampai terjadinya akut abdomen sampai syok septik. Karateristik pasien biasanya yang muda serta paritasnya rendah dengan riwayat infeksi pelvis. Durasi dari gejala pada wanita biasanya kurang lebih 1 minggu dan onsetnya biasanya terjadi 2 minggu atau lebih setelah siklus menstruasi. 6. KOMPLIKASI a. TOA yang utuh: pecah sampai sepsis reinfeksi di kemudian hari, infertilitas b. TOA yang pecah: syok sepsis, abses intraabdominal, abses subkronik, abses paru/ otak. 7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK a. Pemeriksaan laboratorium: Hasil pemeriksaan yang didapatkan dari laboratorium kurang bermakna. Hitung jenis sel darah putih bervariasi dari leukopeni sampai leukositosis. Hasil urinalisis memperlihatkan adanya pyuria tanpa bakteriuria. Nilai laju endap darah minimal 64 mm/h serta nilai akut C-reaktif protein minimal 20 mg/L dapat difikirkan ke arah diagnosa TOA. b. USG Dapat membantu untuk mendeteksi perubahan seperti terjadinya progressi. regresi, ruptur atau pembentukan pus. Ultrasound adalah modalitas pencitraan pilihan pertama untuk diagnosis dan evaluasi TOA. USG menawarkan akurasi, siap ketersediaan, biaya rendah dan kurangnya radiasi pengion. Namun, tetap memerlukan keahlian teknis untuk mencapai potensi diagnostik yang akurat. Ini dapat dilakukan baik transvaginal atau transabdominal: pencitraan yang transvaginal memberikan gambaran lebih detail, dimana transduser berada di dalam dekat dengan daerah pemeriksaan, sedangkan pencitraan pelvis yang transabdominal menawarkan keuntungan imaging dalam satu tampilan organ besar seperti rahim. Habitus tubuh besar dan adanya loop dari usus di pelvis dapat menimbulkan kesulitan dalam pencitraan dengan US transabdominal. c. CT (computed tomography)



Computed tomography telah digunakan, sejak perkembagan dari US dan MRI, peran terbatas dalam evaluasi radiologi dari PID. Penggunaan radiasi pengion yang membatasi faktor lainnya, karena mayoritas pasien tersebut dalam usia reproduksi (Tukeva et al., 1999). Kinerja CT dengan penggunaan media kontras oral dan intravena meningkatkan metode dari akurasi diagnostik karena karakterisasi jaringan yang lebih baik. Sejumlah kecil cairan dalam cul de sac bisa dideteksi oleh CT. Suatu abses Tubo-ovarium mungkin tergambar sebagai massa peradangan dengan komponen padat dan kistik, dengan peningkatan semua atau bagian dari komponen padat. Tampilan paling sering dari Tubo-ovarium abcess adalah adanya cairan yang mengandung massa dengan dinding tebal. Septations mungkin juga ada. Salah satu tanda yang lebih spesifik dari abses Tubo-ovarium, yang tidak umum pada PID, adalah munculnya gelembung gas pada massa. Limfadenopati biasanya ada di daerah paraaortic pada tingkatan dari hila ginjal (limfatik ovarium dan limfatik salpingial sejajar dengan vena gonad) (Hricak et al., 2011). Kadang-kadang ovarium dapat dideteksi dalam massa. Dalam kasus seperti diagnosis abses Tubo-ovarium tidak sulit, jika tidak, massa yang mengalami inflamasi bisa dibedakan dari proses peradangan yang timbul dari appendiks (abses appendiceal) atau divertikula (Abses divertikular) atau bahkan keganasan kandung kemih. d. Kuldosentesis Cairan kuldosentesis pada wanita denagn TOA yang tidak ruptur memperlihatkan gambaran reaction fluid yang sama seperti di salpingitis akut. Apabila terjadi ruptur TOA maka akan ditemukan cairan yang purulen. Penegakan diagnosis berdasarkan gejala-gejala yang telah didapatkan dan dapat disertai adanya : - Riwayat infeksi pelvis - Adanya massa adnexa, biasanya lunak - Produksi pus dari kuldesintesis pada ruptur Diagnosa banding : 1) TOA utuh dan belum memberikan keluhan Kistoma ovari, tumor ovari KET Abses peri, apendikuler Mioma uteri Hidrosalping 2) TOA utuh dengan keluhan - Perforasi apendik -



-



Perforasi divertikel/abses divertikel Perforasi ulkus peptikum Kelainan sistematis yang memberi distres akut abdominal Kista ovari terinfeksi atau terpuntir



8. PENATALAKSANAAN a. Curiga TOA utuh tanpa gejala - Antibotika dengan masih dipertimbangkan pemakaian golongan : doksiklin 2x / 100 mg / hari selama 1 minggu atau ampisilin 4 x 500 mg / hari, selama 1 -



minggu. Pengawasan lanjut, bila masa tak mengecil dalam 14 hari atau mungkin membesar adalah indikasi untuk penanganan lebih lanjut dengan kemungkinan



untuk laparatomi b. TOA utuh dengan gejala - Masuk rumah sakit, tirah baring posisi “semi fowler”, observasi ketat tanda vital dan produksi urine, perksa lingkar abdmen, jika perlu pasang infuse P2 Antibiotika massif (bila mungkin gol beta lactar) minimal 48-72 jam Gol ampisilin 4 x 1-2 gram selama / hari, IV 5-7 hari dan gentamisin 5 mg / kg BB / hari, IV/im terbagi dalam 2x1 hari selama 5-7 hari dan metronida xole 1 gr reksup 2x / hari atau kloramfinekol 50 mg / kb BB / hari, IV selama 5 hari metronidazol atau sefaloosporin generasi III 2-3 x /1 gr / sehari dan -



metronidazol 2 x1 gr selama 5-7 hari Pengawasan ketat mengenai keberhasilan terapi Jika perlu dilanjutkan laparatomi, SO unilateral, atau pengangkatan seluruh



organ genetalia interna. c. TOA yang pecah TOA yang pecah merupakan kasus darurat: dilakukan laparotomi pasang drain kultur nanah. Setelah dilakukan laparatomi, diberikan sefalosporin generasi III dan metronidazol 2 x 1 gr selama 7 hari (1 minggu). 9. ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Identitas klien :nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register. 2. Keluhan Utama - Nyeri pada kanan dan kiri perut - Demam - Mual dan muntah 3. Riwayat kesehatan - Riwayat kesehatan sekarang Mengeluhkan ada atau tidaknya gangguan atau ketidaknyamanan - Riwayat Penyakit dahulu Pernah punya riwayat penyakit radang panggul,pernah menggunakan AKDR



-



Riwayat penyakit Keluarga Ada atau tidak anggota keluarga yang pernah menderita infeksi pada organ



reproduksi 4. Riwayat obstetri Menstruasi:menarche,lama,siklus,jumlah,warna dan bau Riwayat perkawinan: berapa kali menikah,usia pernikahan 5. Riwayat persalinan: sesar atau normal, komplikasi intrapartum dan post partum,infeksi post partum,penggunaan KB B. Perubahan Pola Fungsi Menurut Doenges,2000 adalah sebagai berikut: 1. aktivitas/istirahat Gejala : kelemahan atau keletihan, adanya perubahan pola istirahat dan jam kebiasaan tidur. Adanya factor-faktor yang memengaruhi tidur, missal: ansietas, nyeri, keterbatasan, partisipasi dalam hobi dan latihan 2. Makanan/cairan Gejala : Mual atau muntah, anoreksia, perubahan pada berat badan. 3. Neurosensori Gejala : Pusing, sinkope 4. Nyeri/kenyamanan Gejala : tidak ada nyeri/derajat bervariasi, misalnya : ketidaknyamanan ringan sampai berat ( dihubungkan dengan proses penyakit ) 5. Eliminasi Gejala : perubahan pada pola defekasi, missal: darah pada feses, nyeri pada defekasi. Perubahan eliminasi urinarius misalnya : nyeri atau rasa terbakar pada saat berkemih, hematuria. Tanda : Perubahan pada bising usus, distensi abdomen. 6. Pernapasan Gejala : Merokok ( tembakau, hidup dengan seorang yang merokok), pemajanan abses 7. Integritas ego Gejala : factor stress dan cara mengatasi stress, masalah tentang perubahan dalam penampilan insisi pembedahan, perasaan tidak berdaya, putus asa, depresi, menarik diri. 8. Sirkulasi Gejala : palpitasi, nyeri dada, perubahan pada tekanan darah 9. Keamanan Gejala : pemajanan pada kimia toksik, karsinogen pemajanan matahri lama, berlebihan, demam, ruam kulit/ulserasi 10. Seksualitas Gejala : perubahan pada tingkat kepuasan 11. Interaksi sosial Gejala : ketidakadekuatan/kelemahan sistim pendukung, riwayat perkawinan, masalah tentang fungsi



C. Diagnosa 1. Nyeri b.d adanya penekanan syaraf oleh abses 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual muntah 3. Kecemasan b.d kurangnya informasi tentang proses penyakit D. Tujuan dan Intervensi Dx 1 Tujuan : melaporkan penghilangan nyeri maksimal/control dengan pengaruh minimal Kriteria hasil : mengikuti aturan farmakologis yang ditentukan, mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan sesuai indikasi untuk situasi individu. Intervensi a.



Tentukan karakteristik nyeri



R/ : informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan/keefektifan intervensi b.



Evaluasi atau sadari terapi tertentu,mis pmbedahan



R/ : ketidaknyamanan rentang luas adalah umum, (misalnya: nyeri insisi, kulit terbakar, sakit kepala, nyeri punggung bawah) tergantung pada prosedur dan agen yang digunakan. c.



Berikan tindakan kenyamanan dasar,mis reposisi dan aktivitas hiburan



R/ : meningkatkan relaksasi dan membantu memfokuskan kembali perhatian d.



Dorong penggunaan keterampilan manajemen nyeri,mis



teknik relaksasi,visualisasi,bimbingan imajinasi R/ : memungkinkan pasien untuk berpartisiasi secara aktif dan meningkatkan rasa kontrol e.



Evaluasi penghilngan kontrol nyeri



R/ : tujuannya adalah control nyeri maksimum dengan pengaruh minimal. f.



Berikan analgesik sesuai indikasi



R/ : nyeri adalah komplikasi yang sering terjadi, meskipun respon individe berbedabeda. Saat perubahan penyakit pengobatan terjadi penilaian dosis dan pemberian akan diperlukan. Dx 2 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, klien menunjukan BB stabil



Kriteria hasil : Klien menunjukan peningkatan masukan diet,BB dalam batas normal



Intervensi a.



Dorong klien untuk makan diit tinggi kalori kaya nutrisi dengan cairan adekuat



R/ : memberi informasi menu diet klien dengan TOA. Kebutuhan jaringan metabolic ditingkatkan begitu juga dengan cairan untuk mempertahankan kalori dan protein adekuat b.



Anjurkan klien hindari makan terlalu manis,berlemak,makanan pedas



R/ : Dapat mengurangi respon mual muntah c. Timbang BB dan ukur TB R/ : Membantu dalam identifikasi mal nutrisi protein kalori, khususnya bila BB dan pengukuran antropemetrik kurang dari normal d.



Tinjau ulang dengan klien dan keluarga pentingnya mempertahankan status nutrisi



optimal R/ : Memudahkan pemulihan, dan memungkinkan klien mentoleransi pengobatan Dx 3 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, kecemasan klien berkurang Kriteria hasil : Klien tampak rilex, kecemasan berkurang Intervensi a.



Berikan informasi atau penkes mengenai persiapan pre op



R/



:



Tujuan



pengobatan



kanker



adalah



menghancurkan



sel







sel



maligna



sambil meminimalisir kerusakan pada sel yang normal. Pengobatan dapat melalui pembedahan dan kemoterapi / radiasi b.



Jelaskan pengobatan yang dianjurkan,tujuan dan potensial efek samping



R/ : Membantu alam identifikasi rasa takut dan kesalahan konsep berdasarkan pada pengalaman dengan kanker c.



Dorong klien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan



R/ : Memberikan kesempatan untuk memeriksa rasa takut realistis serta kesalahan konsep tentang diagnosis d.



Ajarkan/lakukan cara untuk mengurangi kecemasan sperti teknik relaksasi napas



R/ : Mengurangi kecemasan yang dirasakan klien (Doengoes,2000)



DAFTAR PUSTAKA Cunningham, F.G. 2006. Obstetri Williams. Jakarta: EGC Cohen, I., dkk. 2003. Simple Ovarian Cyst In Postmenopausal Patients with Breast Carcinoma Treated with Tamoxifen: Long Term Follow Up Radiology. Doenges M.2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakata : EGC. Heffner, Linda J, dkk. 2008. At a Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. Mudgil, Shikha, 2009. Tubo Ovarium Abscess. http://emedicine.medscape.com/ Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta: EGC Rasjidi, Imam. 2009. Deteksi dini Pencegahan Kanker Pada Wanita. Jakarta: CV Sagung Seto. Wiknjosastro, Hanifah. 2007. Ilmu Kandungan Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Veldhuis, W., Smithuis, R., Akin, O., Hricak, H. 2011. Diagnostic work up of ovarian cysts. Radiology assistant. Department of Radiology of the University Medical Center of Utrecht, of the Rijnland hospital in Leiderdorp.



PATHWAY TOA