Laporan Pendahuluan Tumor Sigmoid [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN KASUS TUMOR SIGMOID RUANG PERAWATAN LONTARA 2 ATAS DEPAN (BEDAH DIGESTIF) RS WAHIDIN SUDIROHUSODO



Nama Mahasiswa Nim



: Nurhidayanti M.S : R014181001



CI LAHAN



[



CI INSTITUSI



]



[



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018



]



BAB I KONSEP MEDIS A. ANATOMI DAN FISIOLOGI KOLON 1. Anatomi Intestinum crassum (usus besar) terdiri dari caecum, appendix vermiformiis, colon, rectum dan canalis analis. Caecum adalah bagian pertama intestinum crassum dan beralih menjadi colon ascendens. Panjang dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Caecum terletak pada fossa iliaca kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinale (Sherwood, 2014) Appendix Vermiformis berupa pipa buntu yang berbentuk cacing dan berhubungan dengan caecum di sebelah kaudal peralihan ileosekal (Moore, 2002). Colon ascendens panjangnya kurang lebih 15 cm, dan terbentang dari caecum sampai ke permukaan visceral dari lobus kanan hepar untuk membelok ke kiri pada flexura coli dextra untuk beralih menjadi colon transversum (Widjaja, 2009). Pendarahan colon ascendens dan flexura coli dextra terjadi melalui arteri ileocolica dan arteri colica dextra, cabang arteri mesenterica superior. Vena ileocolica dan vena colica dextra, anak cabang mesenterika superior, mengalirkan balik darah dari colon ascendens (Sherwood, 2014). Colon transversum merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling dapat bergerak bebas karena bergantung pada mesocolon, yang ikut membentuk omentum majus. Panjangnya antara 45-50 cm. Pendarahan colon transversum terutama terjadi melalui arteria colica media, cabang arteria mesenterica superior, tetapi memperoleh juga darah melalui arteri colica dextra dan arteri colica sinistra. Penyaluran balik darah dari colon transversum terjadi melalui vena mesenterica superior (Smeltzer & G.Bare, 2001). Colon descendens panjangnya kurang lebih 25 cm. Colon descendens melintas retroperitoneal dari flexura coli sinistra ke fossa iliaca sinistra dan disini beralih menjadi colon sigmoideum. Colon sigmoideum merupakan lanjutan dari kolon desenden disebut juga colon pelvinum (Moore, 1992). Panjangnya kurang lebih 40 cm, berukuran pendek, dan berbentuk lengkungan huruf S. Kolon sigmoid terletak di sisi kiri bawah perut yangmemiliki jaringan otot kuat sehingga dapat menjalankan fungsinya yaitu menekan feses agarmenuju rectum (Brunner & Suddarth, 2014).



Rectum adalah bagian akhir intestinum crassum yang terfiksasi ke arah kaudal rectum beralih menjadi canalis analis. Rectum memiliki struktur lapisan mukosa yang tebal dan kaya akan pembuluh darah. fungsi utama rectum adalah tempat penyimpanan feses yang kemudian akan disekresikan keluar melalui anus. Penumpukan feses akan merangsang saraf yang terdapat padarektum untuk melakukan defekasi (BAB) (Sherwood, 2014).



2. Fisiologi Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan kolon mengubah 1000-2000mL kimus isotonik yang masuk setiap hari dari ileum menjadi tinja semipadat dengan volume sekitar 200-250mL. Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan proksimal kolon, sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorpsi, sedangkan kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses sampai waktu yang tepat untuk ekskresi feses dan oleh karena itu disebut kolon penyimpanan. Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini mampu mencernakan sejumlah kecil selulosa, dengan cara ini menyediakan beberapa kalori nutrisi tambahan untuk tubuh (Sherwood, 2014).



B. DEFENISI Tumor merupakan suatu pertumbuhan sel tubuh yang mengalami transformasi dan tumbuh secara autonom tanpa kendali pertumbuhan sel normal sehingga memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan sel normal pada umumnya. Tumor adalah suatu benjolan atau struktur yang menempati area tertentu pada tubuh dengan pertumbuhan selsel baru (neoplasma) yang membelah secara tidak terkendali dan tidak memiliki fungsi bagi tubuh. Pertumbuhan tumor dapat bersifat jinak atau ganas dalam tubuh sehingga tumor dapat membahayakan keselamatan hidup seseorang (Handerson, 1997 & FKUI, 2008). Tumor sigmoid adalah pertumbuhan jaringan abnormal dalam tubuh akibat adanya ketidakseimbangan pertumbuhan dan regenerasi sel pada daerah kolon sigmoid. Sigmoid merupakan bagian terakhir kolon desenden yang berbentuk huruf “S” dan berlanjut membentuk rektum dengan bentuk lurus (Sherwood, 2014).



C. ETIOLOGI Penyebab tumor hingga saat ini sulit diketahui. Namun, faktor pencetus tumor diantaranya: usia, jenis kelamin, respon kekebalan, dan virus. Selain itu, penyebab tumor rektosigmoid pada usus besar telah dikenali dari beberapa faktor predisposisi (Price &Wilson, 2005) yaitu:



1. Usia Resiko terkena kanker kolon meningkat dengan bertambahnya usia. Kebanyakan kasus terjadi pada orang yang berusia 60 – 70 tahun. Jarang sekali ada penderita kanker kolon yang usianya di bawah 50 tahun. Kalaupun ada, bisa dipastikan dalam sejarah keluarganya ada yang terkena kanker kolon juga 2. Polip kolon Polip adalah suatu massa seperti tumor yang menonjol ke dalam lumen usus. Polip dapat terbentuk akibat pematangan, peradangan atau arsitektur mukosa yang abnormal. Polip ini bersifat nonneoplatik dan tidak memiliki potensi keganasan. Polip yang terbentuk akibat proliferasi dan displasia epitel disebut polip adenomatosa atau adenoma. 3. Riwayat kanker Seseorang yang pernah terdiagnosis mengidap kanker kolon (bahkan pernah dirawat untuk kanker kolon) beresiko tinggi terkena kanker kolon lagi dikemudian hari. Wanita yang pernah mengidap kanker ovarium (indung telur), kanker uterus, dan kanker payudara juga memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena kanker kolon. 4. Faktor keturunan/genetika Sejarah adanya kanker kolon dalam keluarga, khususnya pada keluarga dekat. Orang yang keluarganya punya riwayat penyakit FAP (Familial Adenomatous Polyposis) atau polip adenomatosa familial memiliki resiko 100% untuk terkena kanker kolon sebelum usia 40 tahun bila FPA-nya tidak diobati. Penyakit lain dalam keluarga adalah HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer), yakni penyakit kanker kolorektal nonpolip yang menurun dalam kelurga atau syndrome Lynch. 5. Penyakit kolitis (radang kolon) ulseratif yang tidak terobati 6. Kebiasaan merokok Perokok memiliki resiko jauh lebih besar untuk terkena kanker kolon dibandingkan dengan yang bukan perokok. Meskipun penelitian awal tidak menunjukkan hubungan merokok dengan kejadian tumor rektosigmoid, tetapi penelitian terbaru menunjukkan perokok jangka lama (periode induksi 30-40 tahun) mempunyai risiko relatif 1,5-3 kali terkena tumor rektosigmoid. 7. Pola makan (kebiasaan makan) Pernah diteliti bahwa kebiasaan makan banyak daging merah (dan sebaliknya sedikit makan buah, sayuran serta ikan) turut meningkatkan resiko terjadinya kanker



kolon. Hal ini karena daging merah banyak mengandung zat besi yang jika sering dikonsumse akan mengakibatkan kelebihan zat besi. 8. Teralalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung pewarna, apalagi jika pewarnanya adalah pewarna non makanan 9. Terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung bahan pengawet 10. Kurangnya aktivits fisik Jika individu tidak aktif secara fisik, maka individu tersebut memilki kesempatan lebih besar terkena tumor rektosigmoid. Meningkatkan aktivitas fisik adalah salah satu upaya untuk mengurangi risiko terkena penyakit tumor ini. 11. Obesitas Lebih dari 20 penelitian, mencakup lebih dari 3000 kasus secara konsisten mendukung bahwa terdapat hubungan yang positif antara obesitas dan kejadian tumor rektosigmoid 12. Konsumsi alkohol Hubungan tumor rektosigmoid dengan konsumsi alkohol tidak jelas. Meskipun kebanyakan hasil penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara konsumsi alkohol dengan kejadian tumor rektosigmoid.



D. PATOFISIOLOGI Kanker kolon dan rektum (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (paling sering ke hati) Japaries, 2013. Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi penyumbatan lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta perdarahan. Penetrasi kanker dapat menyebabakan perforasi dan abses, serta timbulnya metastase pada jaringan lain. Prognosis relativ baik bila lesi terbatas pada mukosa dan submukosa pada saat reseks dilakukan, dan jauh lebih jelek telah terjadi metastase ke kelenjar limfe (Japaries, 2013). Mnenurut Diyono (2013), tingkatan kanker kolorektal dari duke sebagai berikut : 1.



Stadium 1 : terbatas hanya pada mukosa kolon (dinding rektum dan kolon)



2.



Stadium 2 : menembus dinding otot, belum metastase



3.



Stadium 3 : melibatkan kelenjar limfe



4.



Stadium 4 : metastase ke kelenjar limfe yang berjauhan dan ke organ lain. Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker usus yang dapat tumbuh secara



lokal dan bermetastase luas. Adapaun cara penyebaran ini melalui beberapa cara. Penyebaran secara lokal biasanya masuk ke dalam lapisan dinding usus sampai ke serosa dan lemak mesentrik, lalu sel kanker tersebut akan mengenai organ disekitarnya. Adapun penyebaran yang lebih luas lagi di dalam lumen usus yaitu melalui limfatik dan sistem sirkulasi. Bila sel tersebut masuk melalui sistem sirkulasi, maka sel kanker tersebut dapat terus masuk ke organ hati, kemudian metastase ke organ paru-paru.penyebaran lain dapat ke adrenal, ginjal, kulit, dan otak. Sel kanker pun dapat menyebar ke daerah peritoneal pada saat akan dilkukan reseksi tumor (Diyono, 2013). Hampir semua kanker kolorektal ini berkembang dari polip adenoma jenis villous, tubular, dan vilotubular. Namun dari ketiga jenis adenoma ini, hanya jenis villous dan tubular yang diperkirakan akan menjadi premaglina. Jenis tubuar berstruktur seperti bola dan bertungkai, sedangkan jenis villous berstruktur tonjolan seperti jari-jari tangan dan tidak bertangkai. Kedua jenis ini tumbuh menyerupai bunga kol di dalam kolon sehingga massa tersebut akan menekan dinding mukosa kolon. Penekanan yang terus menerus ini akan mengalami lesi-lesi ulserasi yang akhirnya akan menjadi perdarahan kolon. Selain perdarahan, maka obstruski pun kadang dapat terjadi. Hanya saja lokasi tumbuhnya adenoma tersebut sebagai acuan. Bila adenoma tumbuh di dalam lumen luas (asenden dan tranversum), maka obstruksi jarang terjadi. Hal ini dikarenakan isi (feses masih mempunyai konsentrasi air cukup) masih dapat melewati lumen tersebut dengan mengubah bentuk (disesuaikan dengan lekukan lumen karena tonjolan massa). Tetapi bila adenoma tersebut tumbuh dan berkembang di daerah lumen yang sempit (desendens atau bagian bawah), maka obstruksi akan terjadi karena tidak dapat melewati lumen yang telah terdesak oleh massa. Namun kejadian obstruksi tersebut dapat menjadi total atau parsial (Diyono, 2013). Secara genetik, kanker kolon merupakan penyakit yang kompleks. Perubahan genetik sering dikaitkan dengan perkembangan dari lesi permaligna (adenoma) untuk adenokarsinoma invasif. Rangkaian peristiwa molekuler dan genetik yang menyebabkan transformasi dari keganasan polip adenomatosa. Proses awal adalah mutasi APC (Adenomatosa Poliposis Gen) yang pertama kali ditemukan pada individeu dengan keluarga adenomatosa poliposi = FAP (Familial Adenomatous Polyposis). Protein yang dikodekan olh APC penting dalam aktivasi pnkogen c=myc dan siklin D1 yang mendorong pengembangan menjadi fenotipe ganas (Muttaqin, 2013)



E. MANIFESTASI KLINIK Gejala sangat ditentukan oleh lokasi tumor, tahap penyakit dan fungsi segmen usus tempat tumor berlokasi tekanan (Smeltzer & G.Bare, 2001) 1. Adanya perubahan dalam defekasi 2. Baik mucus maupun darah segar sering terlihat pada feses. 3. Konstipasi 4. Perubahan dalam penampilan feses 5. Tenesmus 6. Anemia dan pendarahan rectal merupakan keluhan yang umum terjadi akibat kehilangan darah kronik 7. perubahan defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks. 8. Feses dapat kecil dan berbentuk seperti pita. 9. Pertumbuhan pada sigmoid atau rectum dapat mengenai radiks saraf, pembuluh limfe atau vena, menimbulkan gejala-gejala pada tungkai atau perineum. 10. Nyeri pinggang/abdomen bagian kiri bawah 11. Diare dan sering berkemih dapat timbul sebagai akibat gejala yang sering terjadi.



F. KOMPLIKASI Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus parsial atau lengkap. Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga menyerang pembuluh darah sekitar kolon yang menyebabkan hemoragi. Perforasi dapar terjadi dan mengakibatkan pembentukan abses. Peritonitis dan/atau sepsis dapat menimbulkan syok (Smeltzer & G.Bare, 2001).



G. PEMERIKSAAN PENUNJANG Beberapa pemeriksaan pada tumor rektosigmoid diantaranya



(Kementerian



Kesehatan RI, 2015) 1. Laboratorium a) Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis b) Kimia darah c) Tumor marker CEA 2. Pemeriksaan radiologi Terdapat beberapa macam pemeriksaan penunjang yang terbukti efektif untuk diagnosis karsinoma kolorektal, yaitu endoskopi, CT Scan, MRI, barium enema, dan CEA (Sjamsuhidajat, 2004):



a) Endoskopi Jenis endoskopi yang dapat digunakan adalah sigmoidosskopi rigid, sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi. Sigmoidoskopi Rigid digunakan untuk visualisasi kolon dan rektum sebenarnya kurang efektif dibandingkan dengan sigmoidoskopi fleksibel (Sjamsuhidajat, 2004). Sigmoidoskopi Fleksibel yaitu visualisasi langsung pada 40 hingga 60 cm terminal rektum dan kolon sigmoid dapat dilakukan dengan persiapan yang minim dan lebih nyaman bagi pasien. Enam puluh persen dari semua tumor usus besar dapat terlihat secara langsung menggunakan alat ini (Price & Wilson, 2006). Kolonoskopi adalah pemeriksaan endoskopi yang sangat efektif dan sensitif dalam mendiagnosis karsinoma kolorektal. Tingkat sensitivitas di dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal adalah 95% (Sjamsuhidajat, 2004). Pemeriksaan endoskopi yang dapat dilakukan: 



Sigmoidoskopi rigid / Rektoskopi,







Sigmoidoskopi fleksibel (lebih efektif dibandingkan dengan sigmoidoskopi rigid untuk visualisasi kolon dan rektum)







Kolonoskopi (Akurasi sama dengan kombinasi enema barium kontras ganda + sigmoidoskopi fleksibel untuk KKR atau polip > 9 mm.



b) CT Scan dan MRI CT Scan dan MRI digunakan untuk mendeteksi metastasis ke kelenjar getah bening retroperitoneal dan metastasis ke hepar. Akurasi pembagian stadium dengan menggunakan CT-Scan adalah 80% dibanding MRI 59%. Untuk menilai metastase kelenjar getah bening akurasi CT-Scan adalah 65%, sedang MRI 39% (Sjamsuhidajat, 2004). c) Barium Enema Merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan untuk mendeteksi gangguan kolon. Penambahan kontras-udara dengan radiografi enema barium bersifat akurat hingga 90% pemeriksaan (Price & Wilson, 2006). d) CEA (Carcinoembrionik Antigen) Screening CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam peredaran darah dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status karsinoma kolorektal dan mendeteksi rekurensi dini dan



metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan non spesifik untuk bisa digunakan sebagai screening karsinoma kolorektal (Kendal & Tao, 2013).



H. PENATALAKSANAAN Beberapa penatalaksanaan pada umor rektosigmoid ialah (Smeltzer & G.Bare, 2001): 1. Pembedahan Pembedahan merupakan terapi utama untuk kanker rektum. Beberapa metode yang dipakai antara lain : a. Transanal excision. Metode ini digunakan untuk lesi yang superfisial pada



pasein dengan derajat I atau II. b. Low anterior resection (LAR). Metode ini digunakan untuk lesi yang terletak



di tengah atau 1/3 atas rektum. c. Coloanal anastomosis d. Abdominal perineal resection (APR)



2. Kemoterapi dan Radioterapi Kemoterapi dan radioterapi biasa dilakukan pada pasien dengan stadium Dukes C untuk menurunkan tingkat rekurensi, meningkatkan tingkat keberhasilan operasi, dan memelihara keutuhan sfingter anus. Radioterapi preoperatif dapat menurunkan angka rekurensi setelah pembedahan dari 27% menjadi 11%, dan meningkatkan angka keberhasilan jangka panjang dari 48% menjadi 58%. Konsensus



The



US



National



Institutes



of



Health



merekomendasikan



kemoradioterapi preoperatif untuk semua stadium II dan III. 3. Penyinaran (radioterapi) : Terapi radiasi menggunakan sinar gelombang partikel berenergi tinggi misalnya sinar X atau sinar gamma untuk merusak daerah yang ditumbuhi tumor dan merusak genetik sel tumor.



BAB II KONSEP KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN Pengkajian keperawatan dengan masalah gastrointestinal menurut Smeltzer & Bare (2013) sebagai berikut: 1. Kaji riwayat kesehatan a) Riwayat kesehatan sekarang : mendapatkan informasi tentang perasaan lelah, adanya nyeri abdomen atau rektal dan karakteristiknya (lokasi, fekuensi, durasi, berhubungan dengan makan atau defekasi), pola eliminasi terdahulu dan saat ini, deskripsi tentang warna, bau, dan konsistensi feses, mencakup adanya darah dan mucus, serta terapiobat saat ini b) Riwayat kesehatan masa lalu : mengenai penyakit usus inflamasi kronis atau polip pada kolon, rektal atau sikmoid c) Riwayat kesehatan keluarga : adanya riwayat penyakit pada bagian kolon d) Kaji kebiasaan diet : mencakup masukan lemak dan/atau serat serta jumlah konsumsi alkohol e) Kaji riwayat penurunan berat badan 2. Pengkajian objektif a) Auskultasi abdomen terhadap bising usus b) Palpasi abdomenuntuk area nyeri tekan, distensi, dan massa padat c) Inspeksi spesimen feses terhadap karakterdan adanya darah



B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Nyeri akut 2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 3. Ansietas



C. RENCANA / INTERVENSI KEPERAWATAN Rencana/intervensi keperawatan berdasarkan diagnosa yaitu sebagai berikut (Bulechek & et.al, 2016 &Moorhead,dkk, 2016): DIAGNOSA



NOC



NIC



Nyeri akut berhubungan







pain level,



dengan:







pain control,



secara



Agen injuri (biologi,







comfort level



termasuk



lokasi, durasi,



1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif



kimia, fisik, psikologis),



Setelah dilakukan tinfakan



karakteristik,



kerusakan jaringan



keperawatan



frekuensi, kualitas dan faktor



DS:



jam, pasien tidak mengalami



- Laporan secara verbal



nyeri, dengan kriteria hasil:



DO:



1. Mampu mengontrol nyeri



- Posisi untuk menahan nyeri - Tingkah laku berhatihati - Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek,



(tahu



selama



penyebab



mampu tehnik



2x24



presipitasi 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan



nyeri, 3. Bantu pasien dan keluarga



menggunakan nonfarmakologi



untuk



untuk mengurangi nyeri, 4. Kontrol



2. Melaporkan bahwa nyeri



seperti



kacau, menyeringai)



menggunakan manajemen 5. Kurangi



- Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan) - Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan



lingkungan



yang



dapat mempengaruhi nyeri



mencari bantuan)



berkurang



sendiri



dan



menemukan dukungan



sulit atau gerakan



- Terfokus pada diri



mencari



dengan



suhu



ruangan,



pencahayaan dan kebisingan faktor



presipitasi



nyeri



nyeri



3. Mampu mengenali nyeri 6. Kaji tipe dan sumber nyeri intensitas,



untuk menentukan intervensi



frekuensi dan tanda nyeri)



7. Ajarkan tentang teknik non



(skala,



4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 5. Tanda vital dalam rentang



gangguan tidur



mengalami



napas



dala,



relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin 8. Berikan



normal 6. Tidak



farmakologi:



analgetik



untuk



mengurangi nyeri: ……... 9. Tingkatkan istirahat 10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri,



DIAGNOSA



NOC



NIC



darah, perubahan



berapa



nafas, nadi dan dilatasi



berkurang



dan



antisipasi



pupil)



ketidaknyamanan



dari



- Perubahan autonomic



lama



nyeri



akan



prosedur



dalam tonus otot



11. Monitor vital sign sebelum



(mungkin dalam



dan



sesudah



pemberian



rentang dari lemah ke



analgesik pertama kali



kaku) - Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah) - Perubahan dalam nafsu makan dan minum Ketidakseimbangan







nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh



Status



nutrisi:



asupan



nutrisi 



Manajemen



gangguan



makan 1. Monitor intake/asupan cairan



Nafsu makan



Setelah dilakukan tinfakan keperawatan







selama



secara tepat



1x24 2. Ajarkan dan dukung konsep



jam:



nutrisi yang baik dengan



1. Asupan makanan secara



klien



oral



menjadi



sebagian 3. Bangun



2. Asupan cairan secara oral



baik, intake makanan/cairan dan jumlah aktivitas fisik



sepenuhnya adekuat



untuk 4. Ajarkan teknik makan sedikit



makan tidak terganggu 4. Menyenangi



terkait



dengan perilaku makan yang



besar adekuat



3. Hasrat/keinginan



harapan



tapi sering



makanan 5. Kolaborasi



untuk



DIAGNOSA



NOC



NIC



tidak terganggu



mengembangkan



rencana



perawatan klien



Ansietas







Tingkat kecemasan







Pengurangan kecemasan







Koping







Teknik relaksasi



Setelah dilakukan tinfakan 1. Gunakan pendekatan dengan keperawatan



selama



1x24



jam:



2. Berikan



1. Dapat beristirahat dengan tenang 2. Tidak



tenang dan meyakinkan informasi



factual



terkait diagnosis, perawatan, dan prognosis



ada



perasaan 3. Dorong



gelisah



untuk



mendampingi klien dengan



3. Tidak adarasa cemas yang disampaikan secara lisan 4. Tidak



mengalami



gangguan tidur



cara yang tepat 4. Dukung mekanisme



penggunaan koping



yang



sesuai



5. Mengidentifikasi



pola 5. Berikan informasi mengenai



koping yang efektif 6. Menyatakan



keluarga



manfaat melakukan relaksasi



perasaan



napas dalam



akan kontrol diri secara 6. Ciptakan lingkungan yang konsisten



tenang



7. Melaporkan



peningkatan 7. Mintaklien untuk rileks



kenyamanan psikologis 8. Menggunakan koping yang efektif



strategi



8. Tunjukkan dan praktikkan teknik relaksasi napas dalam pada klien 9. Dorong



klien



untuk



mengulangi praktik relaksasi



DAFTAR PUSTAKA Brunner, & Suddarth. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC. Bulechek, G. M., & et.al. (2016). Nursing Intervention Classification (6 ed.). Yogyakarta: Moco Media. Kementerian Kesehatan RI. (2015). Panduan Nasional Penanganan Kanker Rektum. Jakarta. Moorhead,dkk. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC). Singapore: Elsevier. Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (6 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC. Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (8 ed.). Jakarta: EGC. Smeltzer, S. C., & G.Bare, B. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth (8 ed.). Jakarta: EGC.