Laporan Praktikum Korosi Andrew 1706037453 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

UNIVERSITAS INDONESIA



LAPORAN PRAKTIKUM KOROSI



ANDREW 1706037453 KELOMPOK 3



LABORATORIUM KOROSI DAN METALURGI EKSTRAKSI FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK METALURGI DAN MATERIAL DEPOK MEI 2020



UNIVERSITAS INDONESIA



PRAKTIKUM KOROSI LAPORAN AKHIR



MODUL I JENIS-JENIS KOROSI



ANDREW 1706037453 KELOMPOK 3



LABORATORIUM KOROSI DAN METALURGI EKSTRAKSI FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK METALURGI DAN MATERIAL DEPOK MEI 2020



MODUL I JENIS-JENIS KOROSI 1.1 Data Praktikum dan Perhitungan Larutan



Logam



Potensial (V) vs Ag/AgCl



Pontensial (V) vs SHE



NaCl 1 M



Fe



+0.1636



+0.3856



Cu



+0.1165



+0.3385



Zn



+0.1562



+0.3782



Cu-Fe



+0.551



+0.773



Cu-Zn



+0.584



+0.806



Fe-Zn



+0.866



+1.088



Tabel 1. Tabel perbandingan potensial beberapa jenis pelat logam dan coupling dalam SSC dan SHE Berikut merupakan pengolahan data dari potensial standar SSC menuju potensial standar SHE: a) Fe: x – 0.222 = +0.1636, sehingga x = +(0.1636 + 0.222) = +0.3856 Volt b) Cu: x – 0.222 = +0.1165, sehingga x = +(0.1165 + 0.222) = +0.3385 Volt c) Zn: x – 0.222 = +0.1562, sehingga x = +(0.1562 + 0.222) = +0.3782 Volt d) Fe/Cu: x – 0.222 = +0.551, sehingga x = +(0.551 + 0.222) = +0.773 Volt Katoda:



Cu2+ + 2e- → Cu



Anoda:



Fe → Fe2+ + 2e-



e) Cu/Zn: x – 0.222 = +0.584, sehingga x = +(0.584 + 0.222) = +0.806 Volt Katoda:



Cu2+ + 2e- → Cu



Anoda:



Zn → Zn2+ + 2e-



f) Fe/Zn: x – 0.222 = +0.866, sehingga x = +(0.866 + 0.222) = +1.088 Volt Katoda:



Fe2+ + 2e- → Fe



Anoda:



Zn → Zn2+ + 2e-



1.2 Analisis 1.2.1 Prosedur Kerja Sebelum mengikuti prosedur kerja yang ada, terlebih dahulu harus memastikan bahwa alat dan bahan telah disediakan dan dipastikan kebersihannya. Mulai dari beaker



glass, hingga logam sampel. Pembersihan ditujukan agar meningkatkan tingkat presisi dari pengukuran yang dilakukan. Untuk material logam seperti Cu, Fe, dan Zn, perlu dilakukan pengamplasan permukaan yang bertujuan menghilangkan segala kotoran yang tidak diinginkan. Setelah alat dan bahan telah dipreparasi dengan baik, maka pengisian dua beaker glass dengan larutan NaCl 3% sebanyak 400 mL pun dilakukan. Selanjutnya pengujian potensial tiap jenis logam dilakukan dengan membandingkannya dengan elektroda banding (reference elektrode) dan dibantu dengan alat multitester yang disusun sedemikian rupa. Kutub positif disambung dengan elektroda banding SSC sementara kutub negatif tersambung dengan pelat logam yang akan diuji. Penting untuk diperhatikan bahwa luas daerah yang tercelup kedalam larutan NaCl 1M yang ada dalam beaker glass untuk logam serta elektroda banding harus sama ukurannya dan tidak boleh bersentuhan dengan beaker glass, hal ini bertujuan untuk memperoleh potensial logam yang presisi. Proses selanjutnya dilakukan dengan menggabungkan dua pelat logam (coupling) yang berbeda, yaitu Cu-Fe, Cu-Zn, dan Fe-Zn yang nantinya disambung ke multitester seperti langkah yang dilakukan pada proses sebelumnya agar diperoleh besaran potensial dari material coupling.



1.2.2 Pengukuran Potensial Pengukuran dilakukan dengan elektroda banding Ag/AgCl (SSC) yang kemudian akan dikonversikan menjadi SHE dengan menambahkan nilai +0.222 Volt pada nilai pengukuran yang diperoleh dari SSC. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1. dan juga dapat dibandingkan dengan literatur pada Gambar 1. Terdapat beberapa perbedaan antara hasil pengukuran dengan standar, hal ini bisa diakibatkan dari berbedanya kondisi pengukuran seperti temperatur, luasan permukaan yang berbeda antara elektroda banding dengan pelat logam ataupun kemurnian dari logam yang digunakan. Jika dirujuk pada deret elektrokimia, potensial dari ketiga logam tersebut jika diurutkan dari yang paling besar ke kecil, maka hasil pengujian yang dilakukan juga tidak sesuai dengan literatur. Urutan berdasarkan literatur menunjukkan Cu > Fe > Zn, namun dari hasil pengujian Fe > Zn > Cu. Sama halnya dengan ketidaksesuaian pengukuran yang bisa terjadi jika dibandingkan dengan kondisi standar. Kesalahan dapat diangkat dari segi proses pengaliran arus, luas permukaan pencelupan yang berbeda antara pelat logam



dengan elektroda banding, temperatur pengujian, preparasi permukaan yang kurang baik, ataupun multitester yang tidak stabil atau tidak andal.



Gambar 1. Tabel perbandingan potensial reduksi standar beberapa jenis logam dalam SHE 1.2.3 Sel Galvanik (Potensial Coupling) Secara prinsipnya korosi galvanik identik dengan prinsip pada proses elektrokimia dimana elektroda, arus listrik dan elektrolit memegang peran yang sangat penting dalam prosesnya. Logam dengan potensial reduksinya yang lebih rendah merupakan logam yang



lebih aktif mengalami oksidasi atau reaksi pelarutan yang menghasilkan ion, oleh karenanya ia akan bertindak sebagai anoda. Sedangkan logam-logam dengan potensial reduksinya yang lebih tinggi disebut sebagai katoda. Potensial galvanik (coupling) adalah potensial hasil penggabungan kedua logam yang berbeda potensialnya. Laju korosi yang terjadi dapat diperkirakan dari besarnya selisih potensial reduksi yang terjadi antara kedua logam tersebut. Potensial itu juga dapat diukur dengan menyambungkan kedua logam dengan jenis yang berbeda secara elektrokimia. Selain kedua logam tersebut, metallic pathway dan elektrolit pun dibutuhkan. Berdasarkan literatur, pada sistem Cu-Fe, yang bertindak sebagai anoda adalah Fe sedangkan katoda ialah Cu. Dengan besarnya potensial sel standar dari kedua logam tersebut:



E°cell = Ered – Eoks = +0.342 + 0.447 = +0.789 vs SHE Katoda:



Cu2+ + 2e- → Cu



Anoda:



Fe → Fe2+ + 2e-



Pada sistem Cu-Zn, yang bertindak sebagai anoda ialah Zn sedangkan katoda ialah Cu. Dengan besarnya potensial sel standar dari kedua logam tersebut: E°cell = Ered – Eoks = +0.342 + 0.762 = +1.104 vs SHE Katoda:



Cu2+ + 2e- → Cu



Anoda:



Zn → Zn2+ + 2e-



Pada sistem Fe-Zn, yang bertindak sebagai anoda ialah Zn sedangkan katoda ialah Fe. Dengan besarnya potensial sel standar dari kedua logam tersebut: E°cell = Ered – Eoks = –0.447 + 0.762 = +0.315 vs SHE Katoda:



Fe2+ + 2e- → Fe



Anoda:



Zn → Zn2+ + 2e-



Namun apabila dibandingkan dengan data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa terdapat kesalahan dalam pengujian. Kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi ialah alat multitester yang kurang akurat, kurang stabil ataupun kurang andal.



1.3 Kesimpulan 1. Potensial logam Fe, Cu, dan Zn yang diperoleh dari data percobaan tidak sesuai dengan literatur (vs SHE), sama halnya dengan potensial coupling Cu-Zn, CuFe, dan Fe-Zn. Ketidaksesuaian ini dapat diakibatkan berbagai aspek, seperti multitester yang tidak stabil, tidak akurat, ataupun tidak andal, reaksi



elektrokimia yang berjalan tidak sempurna oleh karena preparasi sampel kurang baik, bisa juga karena luasan permukaan celupan yang berbeda antara sampel degnan elektroda banding. 2. Dalam mengukur potensial dapat dilakukan dengan membandingkan antara potensial logam yang hendak diukur dengan elektroda banding. Elektroda banding merupakan elektroda standar yang dijadikan acuan titik nol pengukuan, sehingga perlu dikonversikan lagi menjadi jika dibutuhkan potensial dengan elektroda standar yang berbeda jenis. 3. Potensial galvanik ialah potensial penggabungan dari dua logam yang berbeda potensialnyaa. Laju korosi dapat diperkirakan dari besarnya selisih nilai potensial reduksi dari dua jenis logam yang berbeda. Semakin besar nilainya maka semakin cepat pula laju korosi yang terjadi. Potensial ini dapat diukur dengan menyambungkan kedua jenis logam yang berbeda secara elektrokimia, dimana selain logam juga harus terdapat metallic pathway dan elektrolit.



1.4 Saran 1. Menunjukkan video yang dapat mengilustrasikan atau mewakilkan praktikum yang sesuai dengan prosedur percobaan. 2. Memberikan data yang mendekati literatur, karena analisis yang dilakukan cenderung sembarangan karena tidak diikuti dengan praktikum yang sebenarnya.



1.5 Referensi 1. Modul Praktikum Korosi dan Proteksi Logam 2020, Departemen Teknik Metalurgi dan Material Universitas Indonesia. 2. Jones, Denny A. (1996). Principles and Prevention of Corrosion. USA: Prentice Hall. 3. Ahmad, Z. (2006). Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control. Amsterdam: Elsevier.



UNIVERSITAS INDONESIA



PRAKTIKUM KOROSI LAPORAN AKHIR



MODUL II KINETIKA KOROSI



ANDREW 1706037453 KELOMPOK 3



LABORATORIUM KOROSI DAN METALURGI EKSTRAKSI FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK METALURGI DAN MATERIAL DEPOK MEI 2020



MODUL II KINETIKA KOROSI 2.1



Linear Polarization 2.1.1 Data Praktikum Kelompok



Larutan



1



HNO3 1 M



2



NaCl 1 M



3



NaOH 1 M



Working



Auxiliary



Reference



Electrode



Electrode



Electrode



Fe



Pt



Ag/AgCl



Tabel 2. Tabel perbandingan larutan kerja 2.1.2 Analisis 2.1.2.1



Grafik



Gambar 2. Grafik Linear Polarization Besi dalam HNO3 1 M



Gambar 3. Grafik Linear Polarization Besi dalam NaCl 1 M



Gambar 4. Grafik Linear Polarization Besi dalam NaOH 1 M



Pada pengujian linear polarization, diperoleh grafik mixed-potential dimana sumbuX pada grafik tersebut menunjukkan nilai potential applied dengan satuan Volt dan sumbu-Y menunjukkan nilai current dengan satuan Ampere. Melalui grafik ini selanjutnya nilai Icorr dan Ecorr ditentukan dengan memperhatikan perpotongan garis reaksi katodik dan anodik.



2.1.2.2



Laju Korosi



a) Data laju korosi Fe terhadap HNO3 •



Ecorr



: –268.490 mV vs SCC = –46.490 mV vs SHE







Icorr



: 0.077461 A/cm2 = (7.77461 x 10-2) A/cm2







Corrosion rate : 0.91375 mm/year



b) Data laju korosi Fe terhadap NaCl •



Ecorr



: –248.75 mV vs SCC = –26.75 mV vs SHE







Icorr



: 753.260 nA/cm2 = (7.5326 x 10-7) A/cm2







Corrosion rate : 0.0087528 mm/year



c) Data laju korosi Fe terhadap NaOH •



Ecorr



: –1.12900 V vs SCC = –907 mV vs SHE







Icorr



: 82.0880 µA/cm2 = (8.2088 x 10-5) A/cm2







Corrosion rate : 0.95386 mm/year



Dengan pengujian linear polarization, data seperti Ecorr, Icorr, dan corrosion rate yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk melihat/mengetahui laju korosi yang terjadi. Terlihat bahwa corrosion rate yang terjadi ialah :



Kel. 3 > Kel. 1 > Kel. 2.



Berdasarkan literatur, corrosion rate bergantung dengan berbagai aspek seperti weight loss, densitas, luasan dan waktu pencelupan. Pada kesempatan ini, perbandingan laju korosi dilakukan terhadap jenis elektrolit yang digunakan dan senyawa seperti apa yang akan terbentuk dari ketiga jenis larutan yang berbeda tersebut.



2.1.2.3



Pengaruh Larutan Terhadap Laju Korosi



Perlu diperhatikan dari jenis larutan yang digunakan, terdapat asam kuat, basa kuat dan garam (netral) sebagai perbandingan. Dengan konsentrasi yang sama, menghasilkan output yang berbeda pada laju korosi. Hal tersebut tentunya harus dibandingkan dengan literatur diagram pourbaix besi dan diperhatikan pH sistem korosi yang terjadi. Perlu



diketahui bahwa pada larutan asam, terdapat proton yang mampu berdifusi lebih cepat dibandingkan larutan lainnya. Proton tersebut kemudian membentuk ion-ion H+, sehingga pada larutan asam, logam akan lebih mudah mengalami korosi.



Gambar 5. Diagram Pourbaix Fe yang dilengkapi dengan garis bantu yang menunjukkan peristiwa korosi sesuai dengan data percobaan Jika diperhatikan dari titik yang telah dibuat terhadap literatur Diagram Pourbaix, maka dapat dilihat pada percobaan Fe terhadap HNO3 1 M, diperoleh pH 0 dan membentuk ion Fe2+. Berbeda pada percobaan Fe terhadap NaCl 1 M yang memperoleh pH 7 dan membentuk Fe(OH)3. Namun berbeda dengan Fe terhadap NaOH 1 M pada pH



14 mengalami korosi dan membentuk HFeO2- pada literatur. Maka dari itu seharusnya laju korosi yang terjadi jika dilihat dari literatur:



Kel. 1 > Kel. 2 > Kel. 3.



Gambar 6. Diagram perbandingan antara pH dengan laju korosi pada Besi 2.1.3 Kesimpulan 1. Larutan asam cenderung mempercepat laju korosi karena terdapat proton yang berlebih dan dapat dengan mudah berdifusi lebih cepat dibandingkan larutan yang lainnya. Hal tersebut kemudian memicu terbentuknya ion-ion agresif seperti H+. 2. Laju korosi dapat kita tentukan dengan melihat perpotongan gradien dari kurva polarisasi anodik dan katodik pada grafik yang diberikan. 3. Lingkungan atau elektrolit mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan laju korosi, maka dari itu dibutuhkan rekayasa pada lingkungan untuk mencegah meningkatnya atau cepatnya laju korosi.



2.1.4 Saran 1. Memberikan pH spesifik dari larutan yang digunakan pada saat pengujian.



2.1.5 Referensi 1. Modul Praktikum Korosi dan Proteksi Logam 2020, Departemen Teknik Metalurgi dan Material Universitas Indonesia. 2. Jones, Denny A. (1996). Principles and Prevention of Corrosion. USA: Prentice Hall. 3. Ahmad, Z. (2006). Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control. Amsterdam: Elsevier. 4. Pourbaix, Marcel. (1974). Atlas of Electrochemical Equilibria in Aqueous Solution. Houston: National Association of Corrosion Engineers.



2.2



Pasivitas 2.2.1 Data Praktikum Kelompok



Larutan



3



H2SO4 1 M



4



Working



Auxiliary



Reference



Electrode



Electrode



Electrode



Al



Pt



Ag/AgCl



SS Tabel 3. Tabel perbandingan elektroda yang bekerja



2.2.2 Analisis 2.2.2.1 Grafik



Gambar 7. Kurva Pasivasi Aluminium



Gambar 8. Kurva Pasivasi Stainless Steel



Pasivasi merupakan proses terbentuknya lapisan tipis pada permukaan material ketika material tersebut telah mengalami oksidasi dengan polarisasi anodik yang tinggi, sehingga ketahanan korosi material pun meningkat. Lapisan tipis inilah yang melindungi permukaan logam terhadap serangan langsung lingkungan yang mengakibatkan laju difusi ion-ion melambat hingga 106 kali. Dalam membentuk lapisan ini pun dibutuhkan driving force yang cukup signifikan, sehingga logam haruslah teroksidasi terlebih dahulu. Titik Epp atau disebut sebagai primary passive potential merupakan titik dimana logam mulai membentuk lapisan pasif. Titik Icrit yang disebut sebagai critical current density merupakan titik yang menunjukkan rapat arus maksimum pada daerah aktif untuk menunjukkan perilaku aktif-pasif pada logam. Selain Epp dan Icrit, terdapat juga Ipass yang disebut sebagai passive current density merupakan titik yang menunjukkan arus minimum yang diperlukan untuk menjaga ketebalan lapisan pasif pada zona pasif.



2.2.2.2 Perilaku Logam Al Logam Aluminium sebagai elektroda yang bekerja dapat dimanfaatkan sebagai pengujian ketahanan Aluminium terhadap korosi. Berdasarkan hasi percobaan, dapat dikatakan bahwa logam Aluminium murni mempunyai reaktivitas yang tinggi dalam berikatan dengan oksigen untuk membentuk lapisan oksida (Al2O3.3H2O) yang sangat bersifat inert. Pada keadaan normal, lapisan pelindung oksida ini mempunyai ketebalan sekitar 5nm yang cukup melindungi logam. Apabila lapisan ini rusak, maka akan segera terbentuk lagi lapisan baru. Penting untuk memperhatikan pH yang tidak dapat ditoleransi oleh lapisan pasif, seperti dibawah pH 4 dan diatas pH 8,6.



Gambar 9. Diagram Pourbaix Al Pada logam Austenitic Stainless Steel, dapat diperhatikan dari Diagram Pourbaix, korosi dapat terjadi pada kondisi pH dibawah 2,3 dan diatas 9. Selebihnya logam Austenitic Stainless Steel akan bersifat pasif sehingga sulit mengalami korosi. Lapisan-



lapisan pasif yang terbentuk pada Austenitic Stainless Steel ialah Cr2FeO4, NiO.Fe2O3, dan Fe3O4.



Gambar 10. Diagram Pourbaix Austenitic Stainless Steel



2.2.2.3 Pasivitas Pada Logam Berbeda



Gambar 10. Diagram Pourbaix Emas sederhana Berbeda dengan emas yang mempunyai area imuniti di daerah evolusi hidrogen dan air, hal tersebut menyebabkan emas tidak akan terkorosi pada lingkungan yang kaya akan



air dan oksigen. Sehingga untuk menyebabkan korosi atau ekstraksi dari emas, dibutuhkan lingkungan yang lebih agresif yang dapat menurunkan daerah korosi emas pada daerah diantara evolusi air dan hidrogen. Dengan begitu, pelarutan emas pun dapat dilakukan.



Gambar 11. Diagram Pourbaix Emas lengkap 2.2.3 Kesimpulan 1.



Logam Aluminium serta Stainless Steel dapat membentuk lapisan pasif dengan baik



2.2.4 Saran



1.



Untuk membandingkan lapisan pasif, mungkin akan lebih baik apabila perbandingan dilakukan dengan logam yang mudah mengalami korosi.



2.2.5 Referensi 1.



Modul Praktikum Korosi dan Proteksi Logam 2019, Departemen Teknik Metalurgi dan Material Universitas Indonesia



2.



Jones, Denny A. (1996). Principles and Prevention of Corrosion. USA: Prentice Hall.



3.



Ahmad, Z. (2006). Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control. Amsterdam: Elsevier.



4.



Pourbaix, Marcel. (1974). Atlas of Electrochemical Equilibria in Aqueous Solution. Houston: National Association of Corrosion Engineers.



5.



Lyon, Stuart. (2020). Overview of Corrosion Science. University of Manchester.



2.3



Cyclic Potentiodynamic Polarization 2.3.1 Data Praktikum Larutan



HCl 1 M



Working



Auxiliary



Reference



Electrode



Electrode



Electrode



SS



Pt



Ag/AgCl



Tabel 4. Data pengujian Cyclic Potentiodynamic Polarization 2.3.2 Analisis 2.3.2.1 Grafik



Gambar 10. Diagram Cyclic Potentiodynamic Polarization Logam Stainless Steel digunakan sebagai elektroda yang bekerja dengan dicelupkan kedalam larutan HCl 1 M. Data yang diperoleh dari grafik yaitu perilaku aktif-pasif dari logam Stainless Steel secara kontinu hingga terjadinya korosi pitting. Dengan grafik diatas kita dapat menentukan nilai potensial pitting (Epit) serta potensial proteksi (Eprot), dan arus korosi (Icorr). Apabila potensial ditingkatkan akan ada kenaikan pula pada kurva yang membuatnya memasuki daerah aktif, dengan demikian Eprot akan bertemu dengan Icorr dan lapisan pasif pun terbentuk. Penting untuk memperhatikan peristiwa histeresis sebagai akibat dari kenaikan potensial yang berlebih, hal tersebut diikuti oleh peristiwa transpasif. Daerah transpasif menunjukkan material yang dapat aktif terkorosi setelah membentuk lapisan pasif sebagai akibat dari tingginya potensial listrik. Pada daerah transisi inilah korosi pitting mulai terjadi.



2.3.2.2 Parameter Cyclic Polarization Fenomena yang sangat diperhatikan pada Cyclic Polarization ialah besaran daerah loop histeresis. Histeresis terbentuk ketika logam mengalami transisi dari pasif menjadi transpasif dan kembali mempasifkan diri. Pada logam Stainless Steel yang diuji, dapat dilihat bahwa besar daerah loop histeresis yang cukup signifikan. Hal tersebut juga menunjukkan peristiwa korosi pitting yang drastis karena material lama untuk mempasifkan diri kembali.



2.3.3 Kesimpulan 1. Dari sisi ketahanan pasif, lapisan pasif Stainless Steel tidak terlalu baik dalam lingkungan asam. 2. Parameter penting yang harus diperhatikan pada Cyclic Polarization ialah garis indikasi korosi pitting, ukuran loop histeresis yang terjadi dan parameterparameter lainnya pada simulasi. 3. Grafik Cyclic Polarization menunjukkan perilaku aktif-pasif dari suatu logam secara terus menerus hingga terjadi korosi pitting, selain itu juga dari grafik dapat ditentukan nilai potensial pitting (Epit), potensial proteksi (Eprot) dan arus korosi (Icorr).



2.3.4 Saran 1. Alangkah lebih baik apabila terdapat grafik pembanding dari logam lain, sehingga analisis dilakukan dengan komparasi.



2.3.5 Referensi 1. Modul Praktikum Korosi dan Proteksi Logam 2019, Departemen Teknik Metalurgi dan Material Universitas Indonesia 2. Jones, Denny A. (1996). Principles and Prevention of Corrosion. USA: Prentice Hall. 3. Ahmad, Z. (2006). Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control. Amsterdam: Elsevier.



2.4



Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS) 2.4.1 Data Praktikum Kelompok



Larutan



Inhibitor



WE



AE



RE



Fe



Pt



Ag/AgCl



(mL) 1



HCl 1 M



0



2



2



3



4



4



6 Tabel 5. Data pengujian Cyclic Potentiodynamic Polarization



2.4.2 Analisis 2.4.2.1 Grafik



Gambar 11. Diagram Nyquist dengan 0 mL Gambar 12. Diagram Nyquist dengan 2 mL inhibitor inhibitor



Gambar 13. Diagram Nyquist dengan 4 mL Gambar 14. Diagram Nyquist dengan 6 mL inhibitor inhibitor



Dari Diagram Nyquist yang diberikan, dapat diperhatikan perbedaan yang terjadi akibat penambahan inhibitor. Cara melihat efektivitas inhibitor dengan menggunakan Diagram ini adalah membandingkan diameter setengah lingkaran dan kelandaian gradien. Jika diperhatikan, penambahan 4 mL inhibitor menghasilkan ketahanan korosi yang paling efektif dibandingkan yang lainnya. Pada prinsipnya inhibitor yang berlebih juga tidak akan bersifat menguntungkan secara fungsional ataupun ekonomi, sehingga dari percobaan ini dapat di lihat kenyataannya bahwa inhibitor juga mempunyai titik optimalnya.



2.4.2.2 Parameter EIS Terdapat empat jenis parameter EIS yang dapat dilihat dan dianalisa melalui kurva ini, antara lain: 1. Rs (Tahanan Larutan), ketahanan larutan ionik sangat tergantung pada konsentrasi ionik, jenis ion, suhu, serta geometris luas area penyaluran muatan. 2. Rct (Tahanan Transfer Muatan), ketahanan yang dibentuk oleh reaksi elektrokimia tunggal yang dikontrol secara kinetik. 3. CPE (Constant Phase Element), kapasitor pada percobaan EIS sering tidak memberikan sifat yang baik atau ideal. 4. Cdl (Kapasitansi Lapisan Ganda), lapisan listrik ganda yang muncul pada antarmuka antara elektroda dan elektrolit di sekitarnya.



2.4.2.3 Perbandingan Jumlah Inhibitor Semakin tinggi jumlah inhibitor yang diaplikasikan kedalam suatu sistem, maka semakin rendah pula laju korosi yang terjadi pada sistem tersebut. Namun hal tersebut tentunya harus diperhatikan kembali pada nilai titik optimum dari inhibitor. Ketika jumlah inhibitor yang ditambahkan melebihi nilai titik optimumnya, maka laju korosi akan kembali meningkat. Berdasarkan grafik yang diberikan, inhibitor dengan jumlah 4 mL merupakan yang paling optimum daripada 2 mL ataupun 6 mL.



2.4.3 Kesimpulan 1. Kurva EIS menunjukkan hubungan impedansi real dengan impedansi imajiner karena adanya gangguan potensial sinusoidal yang diberikan dengan amplitudo



kecil yang diaplikasikan dengan frekuensi yang bervariasi. EIS adalah metode ketika impedansi suatu sistem elektrokimia dipelajari sebagai fungsi gelombang frekuensi AC. 2. Inhibitor mempunyai nilai titik optimumnya yang mana ketika jumlah inhibitor yang ditambahkan melebihi nilai tersebut, maka efisiensi inhibitor tidaklah meningkat, melainkan menurun.



2.4.4 Saran 1. Diagram Nyquist yang lebih mudah diamati akan sangat membantu praktikan dalam menganalisis.



2.4.5 Referensi 1.



Modul Praktikum Korosi dan Proteksi Logam 2019, Departemen Teknik Metalurgi dan Material Universitas Indonesia



2.



Jones, Denny A. (1996). Principles and Prevention of Corrosion. USA: Prentice Hall.



3.



Ahmad, Z. (2006). Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control. Amsterdam: Elsevier.



UNIVERSITAS INDONESIA



PRAKTIKUM KOROSI LAPORAN AKHIR



MODUL II KINETIKA KOROSI



ANDREW 1706037453 KELOMPOK 3



LABORATORIUM KOROSI DAN METALURGI EKSTRAKSI FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK METALURGI DAN MATERIAL DEPOK MEI 2020



MODUL III PROTEKSI KOROSI 3.1



Inhibitor 3.1.1 Data Praktikum dan Perhitungan (Laju Korosi & Efisiensi Inhibitor)



Larutan Logam Inhibitor (mL)



HCl 1 M



Fe



(200 mL)



Berat



Berat



Waktu



Efisiensi



Corrosion



Awal



Akhir



(jam)



Inhibitor



Rate



(gr)



(gr)



(%)



(MPy)



0



318.125



0



13.5655 13.4608



24



2



15.7302 15.6602



33.142



212.691



4



10.2641 10.2257



63.324



116.676



6



14.089



42.025



184.433



14.0283



Tabel 6. Data pengujian efisiensi inhibitor dan laju korosi yang terjadi terhadap jumlah inhibitor yang digunakan Laju korosi diperhitungkan dengan rumus: 𝐶𝑅 =



534 𝑊 𝐷𝐴𝑇



, dimana:



CR



= laju korosi (MPy)



W



= massa yang hilang (mg)



D



= densitas (gr/cm3)



: densitas Fe = 7.874 gr/cm3



A



= area (inch2)



: ukuran sampel = (1 x 1 x 1) cm, maka A = 0.930002 in2



T



= waktu (jam)



Untuk mencari luas permukaan sampel berbentuk kubus: 6s2 = 6 cm2 = 0.930002 in2



3.1.2 Analisis 3.1.2.1 Prosedur Besi dengan ukuran (1 x 1 x 1) cm digunakan sebagai sampel korosi dengan tujuan menilai efisiensi cuka apel sebagai inhibitor korosi. Fe tersebut kemudian dimasukkan kedalam HCl 1 M 200 mL yang telah/tidak ditambahkan inhibitor. Kemudian besi tersebut didiamkan selama 24 jam dan selanjutnya ditimbang lagi massanya.



3.1.2.2 Weight Loss Jumlah inhibitor (mL)



Weight loss (mg)



0



104.7



2



70



4



38.4



6



60.7



Tabel 7. Data perbandingan jumlah inhibitor yang digunakan dengan weight loss Semakin kecil weight loss yang terjadi pada suatu material, maka semakin tinggi juga efisiensi dari inhibitor yang bekerja. Jika dibandingkan dengan percobaan sebelumnya yang memanfaatkan inhibitor, dapat terlihat pola yang sama, yaitu 4 mL inhibitor merupakan titik optimal. Dapat diperhatikan juga, semakin banyak inhibitor yang ditambahkan maka semakin tinggi pula efisiensinya hingga ia mencapai titik optimalnya, setelah itu efisiensi akan menurun.



3.1.2.3 Efisiensi Inhibitor Dalam menghitung efisiensi dari inhibitor yang digunakan, persamaan yang digunakan ialah: 𝐸𝐼 (%) = Dimana :



(𝐶𝑅𝑢𝑛ℎ𝑖𝑏𝑖𝑡𝑒𝑑 − 𝐶𝑅𝑖𝑛ℎ𝑖𝑏𝑖𝑡𝑒𝑑 ) 𝑥 100% (𝐶𝑅𝑢𝑛ℎ𝑖𝑏𝑖𝑡𝑒𝑑 )



EI = Efisiensi Inhibitor CRunhibited = laju korosi yang tidak terinhibisi (0 mL inhibitor) CRinhibited = laju korosi yang terinhibisi



Berdasarkan perhitungan ini maka diperoleh persen efisiensi inhibitor. Perhitungan memanfaatkan nilai laju korosi yang telah dihitung sebelumnya (MPy) dan dibandingkan antara perubahan laju korosi setelah diberikan inhibitor dengan tanpa inhibitor.



3.1.3 Kesimpulan 1. Fungsi dari inhibitor ialah menahan laju korosi pada logam 2. Inhibitor dapat secara efisien menghambat laju korosi pada titik tertentu 3. Semakin efektif inhibitor menghambat laju korosi, maka semakin sedikit pula weight loss yang terjadi pada logam



3.1.4 Saran 1. Pemberian data yang lebih lengkap dan jelas



3.1.5 Referensi 1. Modul Praktikum Korosi dan Proteksi Logam 2019, Departemen Teknik Metalurgi dan Material Universitas Indonesia. 2. Jones, Denny A. (1996). Principles and Prevention of Corrosion. USA: Prentice Hall. 3. Ahmad, Z. (2006). Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control. Amsterdam: Elsevier.



3.2



Anoda Korban 3.2.1 Data Praktikum Anoda Korban



Berat Awal (gr)



Berat Akhir (gr)



Selisih Berat (mg)



Al (1&2)



13.5408



12.4883



1052.5



Al (3&4)



13.9505



13.3329



617.6



Al (5&6)



15.6127



14.5544



1058.3



Tabel 8. Data perbandingan weight loss yang terjadi pada anoda korban Al Panjang



Diameter



Luas Permukaan



Arus



Potensial



Waktu



Anoda (cm)



Anoda (cm)



Anoda (cm2)



(A)



(V)



(Menit)



3.8



1.2



15.463



2.9



0.763



10



0.7



0.55



10



2.6



0.812



30



2.9



0.776



10



2.7



0.555



10



0.7



0.581



10



2.3



0.83



30



2.6



0.546



10



3.1



0.39



10



0.8



0.00217



10



2.7



0.741



30



3.1



0.335



10



3.3



1.2



3



1.2



13.577



12.446



Tabel 9. Data weight loss yang terjadi pada anoda korban Al Rumus yang digunakan untuk menghitung Luas Permukaan Anoda ialah: 𝐴 = (𝑃)(𝜋𝐷) +



1 4



(πD2)



Maka diperolehlah luas permukaan yang bersesuaian dengan panjang dan diameter anoda yang digunakan.



3.2.2 Analisis 3.2.2.1 Prosedur



Dalam pengujian ini percobaan dilakukan dengan proteksi katodeik yang memanfaatkan metode anoda korban. Terdapat beberapa cara penyusunan rangkaian anoda korban, sementara anoda yang digunakan dalam praktikum ini ialah logam Aluminium (Al). Untuk memulai percobaan anoda yang dipakau di ukur massanya terlebih dahulu, setelah anoda korban melakukan kerja hingga beberapa jam, massa akhirnya kembali diukur untuk melihat weight loss yang terjadi pada anoda korban. Anoda korban dipasang sesuai dengan gambar yang ditunjukkan dibawah.



Gambar 15. Skema kerja anoda korban 3.2.2.2 Pengaruh Arus Arus berperan pada rangkaian anoda korban sebagai penyuplai elektron pada bagian logam yang akan terkorosi. Hukum Faraday dapat dikaitkan dengan peristiwa ini dimana rumusnya ialah sebagai berikut: 𝑊 𝑀𝑖 = 𝐴𝑡 𝑛𝐹 Dimana :



W = Weight loss i = Rapat arus M = Massa molar A = Luas permukaan anoda n = Jumlah elektron yang berpartisipasi F = Besarnya muatan Faraday yang berkerja t = Waktu kerja



Sehingga, semakin besar arus yang diaplikasikan maka nilai W juga akan meningkat. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa pada logam Aluminium yang diberikan arus lebih besr, meningkat pula weight loss-nya. 3.2.2.3 Pengaruh Luas Permukaan Anoda Dapat diperhatikan dari rumus yang diberikan sebelumnya, bahwa semakin besar luas permukaan anoda maka semakin besar pula laju weight loss-nya. Hal ini dikarenakan daerah kontak antara lingkungan dengan anoda semakin besar.



3.2.2.4 Pengaruh Lingkungan Pengaruh lingkungan terhadap korosi material diantaranya pada lingkungan air, dimana korosi menjadi lebih mudah terjadi. Faktor lingkungan lainnya yang mempengaruhi korosi antara lain, kandungan gas oksigen baik di udara atau larut dalam zat cair, temperatur, kelembaban, keberadaan partikel-partikel abrasif dan ion-ion agresif yang terkandung dalam lingkungan sekitar. Selain itu pula pH juga memberikan kontribusi kepada korosi, sehingga hal ini juga tidak boleh terlewatkan.



3.2.3 Kesimpulan 1. Metode proteksi logam dengan metode anoda korban mempunyai prinsip mengorosi anoda sehingga logam yang bertindak sebagai katoda tidak mengalami reaksi korosi. Hal tersebut terjadi karena perbedaan potensial antara anoda dan katoda 2. Arus yang diaplikasikan melalui rangkaian anoda korban mempunyai pengaruh laju korosi, yang mana semakin besar arusnya maka laju korosi per satuan areanya pun meningkat. Hal ini tentunya berhubungan dengan hukum Faraday 3. Semakin besar luas permukaan anoda, maka semakin besar pula lajur korosi per satuan areanya, hal ini berhubungan dengan hukum Faraday 4. Lingkungan tempat mateial berada mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mempengaruhi reaksi korosi pada suatu rangkaian proteksi logam



3.2.4 Saran 1. Data yang diberikan seharusnya lebih akurat dan sesuai dengan parameter perbandingan yang diberikan



3.2.5 Referensi 1. Modul Praktikum Korosi dan Proteksi Logam 2019, Departemen Teknik Metalurgi dan Material Universitas Indonesia. 2. Jones, Denny A. (1996). Principles and Prevention of Corrosion. USA: Prentice Hall. 3. Ahmad, Z. (2006). Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control. Amsterdam: Elsevier.



TUGAS TAMBAHAN 1



Perbedaaan karakteristik lapisan pasif Fe3O4 dan Fe2O3 Lapisan pasif Fe2O3 kurang diinginkan karena lapisan ini akan berpori ketika terbentuk, hal tersebut tentunya merugikan untuk bagian yang tidak terlindungi, karena dapat memicu terjadinya korosi pitting pada daerah yang tak terlindungi dengan baik. Walaupun nantinya Fe2O3 akan membentuk Fe3O4 pada kondisi oksigen berlebih di lingkungan, namun hal ini tentunya terlambat, karena logam yang seharusnya terlindungi telah terserang oleh spesies korosif. Berbeda dengan lapisan pasif Fe3O4, lapisan ini lebih stabil dan tidak berpori dibandingkan dengan Fe2O3. Hal tersebut menyebabkan lapisan ini merupakan lapisan yang disukai/diinginkan dalam proteksi logam. Oleh karenanya pada pipapipa bawah tanah, dikondisikan agara lapisan pasif yang terbentuk ialah Fe3O4, tanpa harus berlama-lama atau masuk ke kondisi Fe2O3.



2



Apa itu Warburg Element di EIS & Nyquist Element warburg merupakan suatu komponen yang sirkuit elektrik yang dapat memodelkan fenomena semi-infinite diffusion. Dengan memanfaatkan warburg impedance dimana perhitungan memanfaatkan koefisien warburg dalam diagram Nyquist. Impedansi warburg menunjukkan adanya garis lurus yang terbentuk dari hasil 45°, dan tentunya hal ini menjadi sangat mudah dikenali pada EIS.