Laporan Praktikum PH [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM PERANAN MUSUH ALAMI DALAM PENGENDALIAN HAMA



Oleh : Nadya Dewi Kirana ( 1606541099 ) I Komang Budiartamaysa (1606541100) I Putu Arya Wijaya ( 1606541103)



KONSENTRASI PERLINDUNGAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA 2019



Kata Pengantar Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum yang berjudul “Peranan Musuh Alami Dalam Pengendalian Hama”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan saran, arahan, dan motivasi sehingga usulan laporan praktikum ini dapat penulis selesaikan dengan baik dan semoga laporan ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua terlebih bagi mahsiswa yang mengerjakan laporan praktikum ini. Laporan praktikum ini dibuat untuk menyesesaikan tugas dari mata kuliah Pengendalian Hayati pada Konsentrasi Perlindungan tanaman program studi agroekoteknologi semester VII Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan laporan kelompok kami yang mengerjakan laporan praktikum ini.



Denpasar, 15 Desember 2019



Penulis



1



DAFTAR ISI



Cover ............................................................................................................ i Kata pengantar ............................................................................................ 1 Daftar Isi ...................................................................................................... 2 BAB I .......................................................................................................... 3 PENDAHULUAN ...................................................................................... 3 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 3 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 4 1.3 Tujuan Praktikum .................................................................................. 4 BAB II .......................................................................................................... 5 2.1 Pengendalian Hayati .............................................................................. 5 2.2 Pendekatan dlam pengendalian hayati ................................................... 6 2.3 Karakteristik Parasitoid dan Predator .................................................... 9 BAB III ....................................................................................................... 11 3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ 11 3.2 Alat Dan Bahan ..................................................................................... 11 3.3 Metode .................................................................................................. 11 BAB IV ....................................................................................................... 13 Hasil Dan Pembahasan ................................................................................ 13 BAB V PENUTUP ...................................................................................... 16 LAMPIRAN ................................................................................................ 17 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 18



2



I.



PENDAHULUAN



1. Latar Belakang Penegndalian hayati sebagai komponen utama PHT pada dasarnya adalah pemaanfatan dan penggunaan musuh alami untuk menggendalikan populasi hama yang merugikan. Pengendalian hayati sangat dilatar belakangi oleh sebagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengandalian dan kesemimbangan ekosistem. Musuh alami yang terdiri dari parasitoid, predator dan patogen merupakan pengendalian alami utama hama yang bekerja secara (terkait kepadatan populasi) sehingga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan perkembangbiakan hama. Serangga predator merupakan serangga yang memangsa atau memakan serangga lain. Keberadaannya sangat penting terutama bagi manusia sebagai musuh alami berbagai jenis hama sehingga bias mengendalian populasi hama tersebut tanpa campur tangan manusia. Karna itulah serangga predator banyak di teliti untuk upaya pengendalian hayati. Peningkatan populasi inang akan ditanggapi secara numeric yaitu dengan meningkatnya jumlah predator dan respon fungsional di harapkan jumlah inang akan berkembang. Respon fungsional predator merupakan



faktor yang mengatur dinamika



populasi antara predator-mangsa. Hal ini menggambarkan dimana prodator membunuh mangsanya dengan demikian dapat menentukan efisiensi dari predator dalam mengatur populasi mangsa. Tanggap pungsional juga memberikan deskripsi kuantitatif perilaku predator ketika bertemu mangsanya dengan kepadatan yang berbeda dan salah satu kunci komponen dalam pemilihan agen pengendalian biologis. Interaksi antara predator dan mangsa memainkan peran penting dalam bentuk distribusi



spasial



organisme



dikomunitas



biologi.



Teori



terbaru



telah



mempertimbangkan strategi pilihan habitat yang optimal bagi predator dan mangsa yang berintraksi secara nyata. Hal itu bias adaptif bagi predator untuk menilai dan menanggapi kualiats sumber daya yang dikomsumsi oleh mangsanya. Agregasi



3



predator dalam menanggapi kepadatan mangsa berkembang dari tindakan kolektif individu predator, dimana prilaku mencari makan biasanya sangat dipengaruhi oleh tingkat dan sifat bertemu mangsa. Memahami hubungan antara predator dan mangsa adalah tujuan utama dalam ekologi dan salah satu komponen hubungan predator dan mangsa adalah tingkat makan dari predator pada mangsa. Cara pengandalian ramah lingkungan yang telah mendapat perhatian dan dikembangkan untuk menanggulangi serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) adalah dengan pengendalian hayati. Pengendalian hayati diartikan sebagai penggunaan musuh alami, yaitu predator, predasi diasumsikan salah satu faktor biotik untuk mengurangi populasi serangga hama dan telah menjadi perhatian banyak orang dalam program pengendalian serangga hama untuk mengurangi penggunan insektisida.



1.2 Rumusan Masalah Bagaimana kemampuan predasi predator Aphis spp ? 1.3 Tujuan Praktikum Untuk mengetahui kemampuan predasi predator Aphis spp Untuk mengetahui siklus atau daur hidup dari Aphis sp.



4



II.



TINJAUAN PUSTAKA



2.2. Pengendalian Hayati Pengendalian hayati adalah pengurangan atau penekanan populasi serangga hama dengan cara memanfaatkan musuh alaminya. Perbedaan prinsif antara pengendalian hayati (biological control) dan pengendalian alamiah (natural control) adalah bahwa pada pengendalian hayati musuh alami diusahakan oleh manusia untuk digalakkan sebagai alat pengendalian, sedangkan pada pengendalian secara alamiah (natural control) musuh alami tidak diusahakan oleh manusia tetapi diatur oleh alam. Menurut Untung (1996), pengendalian hayati merupakan strategi pengelolaan hama yang dilakukan secara sengaja dengan memanfaatkan atau memanipulasi musuh alami untuk menurunkan atau menekan populasi hama. De Bach pada tahun 1964 telah mengkaji semantik dari istilah pengendalian hayati. Dia menyatakan bahwa istilah pengendalian hayati merujuk pada fenomena alamiah,



suatu bidang studi atau suatu taktik pengendalian yang memanipulasi



musuh alami.



Dalam kaitannya dengan pendapat tersebut, DeBach memberikan



batasan pengandalian hayati sebagai berikut: “Pengendalian hayati adalah kegiatan parasitoid, predator, dan patogen dalam memelihara kerapatan populasi organisme lain pada kerapatan rata-rata yang lebih rendah daripada kerapatan jika musuh alami tersebut tidak ada”. Dari batasan tersebut pengendalian hayati merupakan kegiatan oleh faktor biotik saja, yaitu parasitoid, predator dan patogen dalam memelihara kerapatan populasi organisme lain, sedangkan pada pengendalian alami kegiatan tersebut dilakukan baik oleh faktor biotik maupun abiotik. Pengendalian alami terjadi tidak hanya oleh musuh alami saja tetapi juga karena bekerjanya faktor ekosistem lainnya, seperti suhu, kelembaban, curah hujan, makanan dan faktor abiotik lainnya. Dengan demikian, batasan pengendalian hayati berbeda dengan pengendalian alami. Batasan pengendalian hayati yang dinyatakan oleh DeBach di atas merupakan batasan yang banyak diikuti hingga saat ini.



5



Namun, ada juga ahli lain yang



berpendapat bahwa pengendalian hayati memiliki pengertian yang lebih luas mencakup penggunaan varietas tahan hama, pengendalian melalui pemandulan dan manipulasi genetik. Batasan pengendalian hayati menurut DeBach di atas tidak satupun yang merujuk pada pengertian ekonomi. dalam kerapatan populasi



Dengan demikian, penurunan



berapapun karena musuh alami menunjukkan bahwa



pengendalian hayati tersebut telah terjadi. Penurunan kerapatan populasi tersebut tidak harus mencapai kerapatan di bawah ambang ekonomi. Pengendalian hayati dapat



dikelompokkan



sebagai



pengendalian



hayati



sempurna



dan



parsial.



Pengendalian hayati sempurna menyebabkan penurunan populasi hama hingga di bawah ambang ekonomi, sedangkan pengendalian hayati parsial penurunan populasi hama tetapi hamanya masih di atas ambang ekonomi. 2.2 Pendekatan Dalam Pengendalia Hayati 



Introduksi Pengendalian hayati klasik umumnya dilakukan dengan pendekatan introduksi.



Introduksi musuh alami dilakukan apabila hama yang akan



dikendalikan itu merupakan hama yang eksotik yang berasal dari negeri lain atau tempat lain.



Namun, saat ini tidak menutup kemungkinan



introduksi musuh alami dilakukan untuk mengendalikan hama “pribumi” atau lokal.



Introduksi dilakukan dengan cara mengimpor atau



memasukkan musuh alami dari negeri lain. Karena introduksi melibatkan hubungan antar dua negara, maka introduksi umumnya dilakukan pada level pemerintah. Misalnya, Departemen Pertanian, Republik Indonesia pada bulan Agustus 1986 memasukkan predator kutu loncat lamtoro, Curinus coeruleus Mulsant (Coleoptera: untuk mengendalikan kutu loncat,



Coccinellidae)



dari Hawaii



Heteropsylla cubana Crawford



(Homoptera: Psyllidae) yang menyerang lamtoro di Indonesia. Prosedur introduksi telah dikemukakan oleh van den Bosch et al. (1985) ada delapan, yaitu identifikasi spesies hama eksotik, penenetuan habitat asli hama eksotik, agen importasi, eksplorasi musuh alami, karantina,



6



pembiakan masal, kolonisasi dan evaluasi musuh alami.



Prosedur



introduksi musuh alami secara lengkap akan diuraikan pada bab berikutnya. 



Augmentasi Augmentasi dilakukan apabila musuh alami itu tidak cukup efektif atau tidak efektif pada waktu tertentu.



Augmentasi bertujuan untuk



meningkatkan kemampuan musuh alami dalam mengendalikan hama. Augmentasi dilakukan dengan cara menambahkan musuh alami melalui pelepasan. Augmentasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu inokulasi dan inundasi. Inokulasi adalah pelepasan sejumlah kecil musuh alami pada saat populasi hama masih rendah, biasanya pada awal musim tanam. Musuh



alami



ini



diharapkan



dapat



berkembangbiak



sehingga



keturunannya mampu mengendalikan hama selama musim tanam. Inokulasi ini diharapkan permanen keberadaannya di lapangan. Sasaran inokulasi adalah mempertahankan populasi hama tetap berada di bawah tingkat yang merugikan secara ekonomi. Berbeda dengan inokulasi, inundasi merupakan pelepasan musuh alami dalam jumlah besar dengan tujuan musuh alami tersebut langsung dapat menurunkan populasi hama dengan segera sampai tingkat yang tidak merugikan. Musuh alami ini digunakan sebagai insektisida biologis (bioinsecticide). Pada inundasi, tidak ada maksud supaya musuh alami itu berkembangbiak dan dapat menetap terus.



Karena hasil pengendalian



inundasi ini lebih bersifat sesaat, maka pada satu musim tanam pelepasan perlu diulang beberapa kali.



Hal ini berbeda dengan inokulasi yang



biasanya hanya memerlukan satu kali pelepasan. Hama yang sesuai dikendalikan secara augmentasi memiliki ciri berikut, hama tersebut tidak memungkinkan dikendalikan secara konservasi, hama sulit dikendalikan atau terlalu mahal dikendalikan dengan metode lain, hama tersebut tidak dapat dikendalikan secara kimiawi karena akan berdampak pada residu, resistensi dan resurjensi, dan hama yang selalu menimbulkan kerugian



7



hanya satu atau dua jenis saja. Musuh alami yang sesuai untuk kegiatan augmentasi harus memenuhi ciri, yaitu musuh alami yang dilepaskan harus mampu berkembangbiak dan menyebar di pertanaman. Selain itu, musuh alami mudah dibiakkan secara masal, lebih memilih hama sasaran daripada inang atau mangsa alternatif, dan kepridian yang tinggi. Di Indonesia, salah satu jenis musuh alami sejak tahun 1984 digunakan dalam inokulasi adalah Sturmiopsis inferens Towns (Diptera: Tachinidae) yang merupakan parasitoid penggerek tebu raksasa, Phragmatoecia parvipuncta Hamps (Lepidoptera: Cossidae). Trichogramma merupakan parasitoid yang paling umum digunakan untuk inundasi dalam mengendalikan hama dari golongan Lepidoptera. 



Konservasi Lingkungan hama dan musuh alaminya dapat dimanipulasi untuk meningkatkan kehidupan dan dampak musuh alami yang sudah ada. Cara ini disebut juga sebagai metode konservasi. Jadi, konservasi merupakan usaha untuk memanfaatkan musuh alami yang sudah ada di lapangan atau pertanaman dengan cara memanipulasi lingkungan sedemikian rupa agar perannya dalam menekan populasi hama dapat ditingkatkan. Manipulasi lingkungan dapat dilakukan dengan cara pengembangan teknik bercocok tanam yang sesuai, penyediaan sumber daya pakan bagi musuh alami, inang alternatif,



sinkronisasi fenologi hama dan musuh alami,



pengendalian pesaing biologi, modifikasi praktek bercocok tanam, dan mengurangi gangguan dan kematian musuh alami. Musuh alami sering lebih memilih habitat yang berbeda dari tanaman pokok yang diusahakan. Menanam tanaman sela dalam bentuk barisan dapat menyediakan habitat yang sesuai bagi musuh alami. Musuh alami biasanya lebih beragam di habitat pertanaman tumpangsari dibandingkan monokultur. Pertanaman tumpangsari menyediakan berbagai alternatif habitat. Kebanyakan imago parasitoid memerlukan nektar, embun madu atau serbuk sari untuk melengkapi siklus hidupnya.



Musuh alami yang bersifat generalis



8



biasanya akan mencari inang lain bila inang atau mangsa utamanya tidak tersedia.



Residu pestisida dapat membunuh musuh alami termasuk fase



yang tidak terbunuh pada saat aplikasi. 2.3 Karakteristik Parasitoid dan Predator 



Parasitoid Parasitoid adalah serangga yang hidup sebagai parasit pada atau di dalam serangga atau artropoda lainnya. Parasitoid bersifat parasitik pada fase larva atau pradewasa, sedangkan pada fase imago atau dewasa hidup bebas tidak terikat pada serangga inangnya. Parasitoid dewasa hidup dari mengisap nektar, embun madu, air, meskipun kadang-kadang juga mengisap cairan tubuh serangga inang. Parasitoid berbeda dengan parasit karena parasitoid memiliki inang dari golongan takson yang sama, yaitu serangga atau artropoda lainnya, sedangkan parasit memarasit takson yang berbeda, misalnya lalat mengisap darah sapi. Ukuran parasitoid relatif besar dibandingkan ukuran inang, dan tidak pernah pindah inang selama perkembangannya.



Parasitoid dapat menyerang



setiap instar



inang,



meskipun instar dewasa yang paling jarang terparasit. Sebagian besar parasitoid tergolong dalam ordo Hymenoptera dan Diptera. Ordo Hymenoptera yang terbanyak mengandung parasitoid berasal dari famili Ichneumonidae dan Braconidae, sedangkan pada ordo Diptera, famili Tachinidae yang semua spesiesnya hidup sebagai parasitoid. spesies parasitoid



Contoh



terkenal adalah Trichogramma sp. yang dapat



memarasit telur berbagai jenis Lepidoptera dan Diadegma semiclausum yang hanya memarasit larva Plutella xylostella. 



Predator Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memangsa atau memakan binatang lainnya. Predator berasal dari kelompok serangga, laba-laba, tungau, dan vertebrata. Kalau parasitoid selama perkembangan dari telur sampai menjadi imago hanya membutuhkan satu serangga inang,



9



predator membutuhkan banyak mangsa.



Predator fase imago juga



memangsa serangga yang sama seperti larvanya. Mangsa predator dapat berupa telur, larva (nimfa), kepompong atau imago serangga lainnya. Pada umumnya predator bersifat polifag dari segi mangsanya, meskipun ada yang relatif spesifik, artinya ia mempunyai preferensi yang tinggi terhadap satu spesies mangsa. Banyak ordo serangga yang memiliki spesies yang berperan sebagai predator, misalnya ordo Coleoptera, Neuroptera, Diptera, Hemiptera, bahkan ada famili yang seluruh atau hampir seluruh spesiesnya hidup sebagai predator, seperti famili Carabidae,



Mantidae



(Dictyoptera,



Mantodea),



dan



Chrysopidae



(Neuroptera). Beberapa contoh spesies predator hama padi yang terkenal ialah kumbang tanah (Pheropsophus spp.), laba-laba pemburu (Pardosa pseudoannulata).



10



III.



METODOLOGI



1.



Waktu dan Tempat Praktikum lapangan dilaksanakan pada hari senin, 02 Desember 2019 pukul 08.30 WITA - selesai yang bertempat di Desa Kerta, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar dan dilanjutkan di Lab Ilmu Hama Fakultas Pertanian Universitas Udayana. 2.



Alat dan Bahan Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah sebagai berikut : 1. Alat tulis 2. Gelas Plastik 3. Kain kasa 4. Karet Gelang. 5. Cawan petri Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Predator pada tanaman jeruk yang ada di lapangan 2. Jenis Hama pada tanaman jeruk yang ada di lapangan 3. Jurnal Penuntun 3.3



Metode Adapun metode yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah sebagai berikut



: Pengambilan Sampel di Lapangan 1.



2.



3.



Menentukan unit pengambilan sampel pada praktikum ini dilakukan pada kebun dengan luas 1 ha untuk pengambilan sampel ditentukan 5 unit titik sampel dengan luas 1 titik unit sampel seluas 12m x 12 m Melihat dan mengamati jenis hama dan predator pada tanaman jeruk untuk mempermudah menemukan hama dan predator perhatikan gejala pada tanaman. Mengambil hama dan predator yang kemudian dimasukkan kedalam plastic untuk dibawa ke labolatorium.



11



Uji kemampuan predasi predator Aphis spp. 1. Aphis spp. yang telah diambil dari lapang dibawa ke lab 2. Pada satu cawan petri diisi 1 jenis predator tidak diberi makan selama 24 jam. 3. Selanjutnya diberikan 30 Aphis spp.dibuat tiga kali ulangan 4. Diamati kemampuan predator dalam memangsa Aphis spp. dalam 24 jam.



12



IV.



HASIL DAN PEMBAHASAN



1.1 Hasil Tingkat Parasitisasi



Kelompok Telur



Larva Muncul



T. Japonicum



1 2 3 4



30 22 15 35



11 15 3 5



T. rowani



Jumlah T. scoenobi



12 20 15 10



Tingkat Parasitisasi Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Tingkat Parasitisasi Jumlah Kelompok T. Japonicum T. rowani T. scoenobi Telur 15.49 0.00 54.55 70.04 1 25.42 47.62 0.00 73.04 2 9.09 0.00 75.00 84.09 3 6.67 22.22 0.00 28.89 4 14.17 17.46 43.18 64.02 Rataan Tingkat Predasi Predator M. Pericae Kelompok Telur 1 2 3 4 Rataan



Tingkat predasi ( 24 jam ) (%) Micromus



Koksi



36.67



36.67



30.00



33.33



30.00



40.00



33.33 32.50



36.67 36.67



13



4.2 Pembahasan Kutu daun merupakan jenis serangga kecil pemakan getah tanaman. Kutu daun hidup secara berkelompok (koloni), berwarna hitam, coklat atau hijau. Kutu daun berukuran kecil dan panjangnya antara 1 mili meter sampai 2 mili meter. Kutu daun merupakan salah satu hama yang paling merusak pada tanaman. Kerusakan yang mereka buat terhadap tanaman membuat mereka menjadi musuh bagi para petani. Kumbang koksi adalah salah satu hewan kecil anggota ordo Coleoptera. Mereka mudah dikenali karena penampilannya yang bundar kecil dan punggungnya yang berwarna-warni serta pada beberapa jenis berbintik-bintik. Serangga ini dikenal sebagai sahabat petani karena beberapa anggotanya memangsa serangga-serangga hama seperti kutu daun. Walaupun demikian, ada beberapa spesies koksi yang juga memakan daun sehingga menjadi hama tanaman. Dari praktikum dapat diketahui bagaimana kemampuan parasitoid telur penggerek batangpadi dapat di lihat pada tabel hasil, dalam praktikum ini pula tingkat parasitasi yang paling tinggi adalah T.schoenobi, ysitu berkisar 43, 18 % dan pada T.japonicum 14,17 % dan T. rowani 17,46 %. Jumlah yang terdapat pada tabel diatas tidak lebih dari 50% atas telur yang terkena parasitoid. Adanya beberpa hal yang mungkin mempengaruhi hasil dari praktikum ini kareana kareana di setiap ulamngan tingkat tidak ditemukan parasitoid T.schoenobi, dan T. rowani pada telur penggerek batang padi. Mayoritas dari koksi adalah karnivora yang memakan hewan heawan kecil penghisap tanaman semisal kutu daun. Larva dan koksi dewasa dari spesies yang biasanya memakan makanan yang sama. Koksi memakan dengan cara menghisap cairan tubuh mangsanya. Dan pada bagian kepala terdapat sepasan rahang bawah untuk membantunya dalam hal memegang mangsa saat melakuakn proses memakan. Ia lalu menusuk tubuh mangsanya dengan tabung khusus di mulutnya untuk menyuntikan enzi penvernaan ketubuh mangsanya, lalau menghisap jarinag tubuh



14



mangsanya.yang sudah berbentuk cairan . tingkap predas pada Micromus tasmaniae dalam 24 jam oleh Micromus adalah 32,50 juamlah ini juga tidak berbda dengan kumbang koksi 36,67 Hal ini cukup membuktikan tingkat predasi Micromus tasmaniae dan koksi cukup baik terhadap M. Pericae, kareana dalam waktu 24 jam 1 predator dapat menyerang sekitar 32-36 % dari jumlah populasi M. Pericae.



15



V.



PENUTUP



5.1 Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa Dari praktikum dapat diketahui bagaimana



kemampuan parasitoid telur penggerek batangpadi dapat di lihat pada tabel hasil, dalam praktikum ini pula tingkat parasitasi yang paling tinggi adalah T.schoenobi, ysitu berkisar 43, 18 % 5.2 Saran Dari hasil pembahasan diatasaseharusnya T.schoenobi,dapat digunakan sebagai musuh alami yang ampuh dan dapat mengurangkan menggunkan pestisida sintetis.



16



LAMPIRAN FOTO



17



DAFTAR PUSTAKA



Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Lestari dengan Konservasi. Faperta IPB. Bogor. Sukirno, 1995. Hand Out Teknik Konservasi Tanah. Program Studi Teknik Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta DeBach P, Rosen D. 1991. Biological Control by Natural Enemies. Cambridge University Press. Cambridge. 440p. DeBach P. 1964. Biological Control of Insect Pests and Weeds. Chapman and Hall, Ltd., London. 843 hal. Untung K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 273h. van den Bosch R, Messenger PS, Gitierrez AP. 1985. An Introduction to Biological Control. Plenum Press. New York and London.



18



19