Laporan Proyek Nondisjuction Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Segera setelah Erich Von Tschermack (Austria), Carl Correns (Denmark) dan Hugo De Vries (Belanda) merampungkan kerja penelitiannya, dan masing-masing menemukan kembali hukum pemisahan Mendel dan hukum pilihan bebas Mendel, pada tahun 1990 berbagai kegiatan penelitian banyak dilakukan di banyak negara. Melalui kegiatan penelitian tersebut segera terungkap bahwa hukum pemisahan Mendel dan hukum pemilihan bebas Mendel berlaku pada lingkup seluruh makhluk hidup diploid yang berbiak secara seksual termasuk manusia (Corebima, 2013). Dari hukum-hukum Mendel tersebut, ditemukan beberapa penyimpangan. Salah Seorang peneliti yang berjasa menemukan penyimpangan tersebut adalah Hugo De Vries. Hugo De Vries mengetengahkan sebuah teori yang disebutnya dengan Teori Mutasi (De Vries Theory of Mutation). Teori ini diperoleh dari pengamatannya terhadap tanaman Oenothera lamarckiana. Teori ini kemudian berkembang menjadi teori evolusi atas dasar mutasi (Corebima, 2013). Dari teori evolusi tersebut juga ditemukan teori pautan kelamin, teori ini dikemukakan oleh Morgan. Morgan adalah yang pertama kali menginterpretasikan hasil persilangannya dengan benar mengenai adanya pautan, dengan melakukan percobaan persilangan antara strain-strain Drosophila melanogaster (Corebima, 2013). Morgan memiliki strain Drosophila melanogaster yang bermata putih dan ternyata strain tersebut tergolong galur murni. Jika strain bermata putih disilangkan dengan strain bermata merah ternyata turunannya yang muncul tidak sesuai dengan yang seharusnya berdasarkan kebakaan Mendel. Bila mata merah betina disilangkan dengan strain mata putih jantan, maka F1 yang muncul bermata merah seluruhnya, jika faktornya mata merah dominan terhadap factor mata putih, selanjutnya jika F 1 disilangkan satu sama lain maka ¾ bagian F 2 bermata merah dan ¼ bagiannya bermata putih, ini terjadi jika faktor mata merah dominan terhadap faktor mata putih. Tetapi setelah dikaji ulang ternyata seluruh F2 yang betina bermata putih sedangkan separuh jantan bermatabermata merah dan separuhnya lagi bermata putih, hal inilah yang menyimpang dan tidak sesuai terhadap prinsip kebakaan Mendel. Fenomena ini dijelaskan oleh Morgan bahwa, 1) Faktor warna mata terdapat pada kromosom kelamin X, dan 2) Kromosom kelamin jantan tidak mengandung faktor warna mata tersebut (Corebima, 2013).



2



Beberapa tahun terakhir ditemukan beragam cara pewarisan sifat pada mahkluk hidup, salah satunya adalah pewarisan sifat-sifat yang terpaut kromosom kelamin X. Pewarisan sifat-sifat yang terpaut kromosom kelamin X mengikuti pola khas yaitu crisscross pattern of inheritance. Crisscross pattern of inheritance adalah pola pewarisan menyilang. Dalam hal ini suatu sifat fenotip yang ada pada induk betina diwariskan dan terekspresi pada turunan jantan, sifat yang ada pada induk jantan diwariskan pada turunan betina (Corebima, 2013). Namun, terdapat penemuan menyimpang dari pola pewarisan tersebut diatas. Corebima (2013) menjelaskan bahwa persilangan pada D. melanogaster antara individu betina bermata putih dan jantan bermata merah menghasilkan turunan jantan bermata putih dan betina bermata merah, sebagaimana yang pertama kali dilaporkan T. H. Morgan dan Bridges. Dilaporkan pula bahwa satu diantara 2000 turunan F1 tersebut mempunyai warna mata menyimpang, betina bermata putih atau jantan bermata merah. Penyimpangan tersebut dijelaskan oleh Morgan sebagai teori gagal berpisah (nondisjunction). Gagal berpisah terjadi pada kromoson X, dalam hal ini kedua kromosom X gagal memisah selama meiosis sehingga keduanya menuju kutub yang sama dan terbentuklah telur yang memiliki dua kromosom kelamin X maupun yang tidak memiliki kromosom kelamin X. Gagal berpisah terjadi pada gamet betina (Corebima, 2013). Hal ini juga dibuktikan oleh Janicke., et al (2007) melalui penelitiannya pada tahun 2006, Janicke., et al (2007) membuktikan bahwa nondisjunction disebabkan oleh malorientasi pada kromosom. Janicke., et al (2007) juga menyebutkan bahwa nondisjunction merupakan hasil anomali dari mitosis atau meiosis sehingga salah satu kutub mengandung ekstra kromosom sedangkan yang lainnya kehilangan kromosom. Peristiwa gagal berpisah dibedakan menjadi gagal berpisah primer dan sekunder. Contoh gagal berpisah primer adalah sebagaimana yang telah dikemukakan. Gagal berpisah sekunder ditemukan oleh Lilian V. Morgan (Istri dari T.H.Morgan) pada tahun 1992. Peristiwa gagal berpisah itu disebut sebagai gagal berpisah sekunder karena kejadianya berlangsung pada turunan dari individu betina, yang keberadaanya merupakan produk gagal berpisah primer. Dalam hal ini, individu betina termaksud memiliki dua kromosom kelamin X dan satu kromosom kelamin Y. Frekuensi kejadian gagal berpisah sekunder adalah sekitar 100 kali lebih tinggi (1dalam 25 turunan) daripada frekuensi gagal berpisah primer (1 dalam 2000 turunan) (Corebima, 2013).



3



Herskowitz (1965) menyatakan bahwa gagal berpisah dipengaruhi faktor luar maupun faktor dalam. Faktor luar yang mempengaruhi peristiwa gagal berpisah pada D. Melanogaster adalah suhu, energi tinggi, karbondioksida, dan zat kimia lain. Sementara faktor dari dalam adalah umur dari induk dan adanya gen mutan yang menyebabkan sentromer tidak dalam keadaan normal. Pada faktanya, peristiwa gagal berpisah (nondisjunction) belum dipahami dengan baik, sehingga perlu untuk dilakukan penelitian strain-strain mutan yang terpaut kromosom



dengan menggunakan



X. Peristiwa gagal berpisah



(nondisjunction) bisa diketahui dengan melakukan persilangan pada Drosophila melanogaster Strain N♀ >< wa♂ Dan N♀ >< m♂ beserta resiproknya. Peneliti menggunakan strain N, wa dan m karena strain-strain tersebut merupakan strain yang terpaut kromosom X. Menurut Sved (1976) yang menyatakan bahwa terdapat gen yang berperan dalam menyebabkan fenomena gagal berpisah. Selain itu dilakukan perhitungan untuk mengetahui frekuensi gagal berpisah pada strain yang mengalami fenomena gagal berpisah. Sebagaimana hal-hal yang diungkapkan diatas, maka diadakan penelitian berjudul “Fenomena Gagal Berpisah (Non-disjunction) pada Persilangan Drosophila melanogaster Strain N♀ >< wa♂ Dan N♀ >< m♂ Beserta Resiproknya”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah untuk penelitian adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah fenotip F1 pada persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N >< ♂wa dan ♀N >< ♂m beserta resiproknya? 2. Adakah fenomena gagal berpisah (nondisjuction) pada persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N >< ♂wa dan ♀N >< ♂m beserta resiproknya? 3. Apakah terdapat perbedaan frekuensi gagal berpisah pada persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N>< ♂wa dan ♀N >< ♂m beserta resiproknya.



4



2. Untuk mengetahui fenomena gagal berpisah berpisah (nondisjuction) pada persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N >< ♂wa dan ♀N >< ♂m beserta resiproknya. 3. Untuk mengetahui perbedaan frekuensi gagal berpisah pada persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N>< ♂wa dan ♀N >< ♂m beserta resiproknya serta membekali mahasiswa agar dapat terampil sehingga nantinya dapat diaplikaskan pada tahap selanjutnya. 1.5 Asumsi Penelitian Adapun asumsi penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Faktor internal seperti umur Drosophila melanogaster yang digunakan dalam penelitian dan aspek biologis setiap individu, khususnya saat persilangan dianggap sama. 2. Faktor abiotik atau kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban, cahaya dianggap sama dan tidak berpengaruh terhadap persilangan Drosophila melanogaster selama penelitian. 3. Kondisi medium sebagai tempat perkembangbiakan Drosophila melanogaster dianggap sama selama penelitian. 4. Usia Drosophila melanogaster dianggap sama selama penelitian.



1.6 Batasan Masalah Adapun batasan masalah untuk memberikan gambaran terhadap penelitian yaitu sebagai berikut: 1. Penelitan menggunakan Drosophila melanogaster strain N, wa dan m. 2. Penelitian ini dibatasi pada persilangan Drosophila melanogaster strain 3. 4. 5. 6. 7.



♀N>< ♂m beserta resiproknya. Drosophila melanosger yang disilangkan maksimal berusia 3 hari. Data yang diambil pada jumlah fenotipnya sampai F1 pada setiap persilangan. Ciri fenotip yang diamati meliputi warna mata, warna tubuh, dan keadaan sayap. Pengambilan data dari hari menetesnya pupa yang dihitung sebagai hari ke 1-7. Indikator terjadinya gagal berpisah dilihat dari munculnya anakan yang menyimpang dari yang seharusnya muncul.



1.7 Definisi Operasional



5



1. Strain adalah suatu kelompok intraspesifik yang memilliki hanya satu atau sejumlah kecil ciri yang berbeda, biasanya secara genetik dalam homozygote untuk ciri-ciri tersebut atau galur murni (King R. C. 1985). Dalam penelitian ini, strain yang digunakan adalah strain N, wa, dan m. 2. Perkawinan resiprok merupakan perkawinan kebalikan dari perkawinan yang dilakukan (Suryo, 1996). Dalam penelitian ini, perkawinan resiprok adalah perkawinan antara ♀N >< ♂wa dengan ♀ wa >< ♂ N dan ♀N >< ♂m dengan ♀m >< ♂N. 3. Fenotip adalah kenampakan yang mencakup fermokologi, fisiologi, dan tingkah laku (Ayala, 1984 dalam Corebima, 2013). Fenotip yang diamati dalam penelitian ini adalah warna mata, warna tubuh, dan keadaan sayap. 4. Gagal berpisah adalah suatu peristiwa yang terjadi pada kromoson X, dalam hal ini kedua kromosom X gagal memisah selama meiosis sehingga keduanya menuju kutub yang sama dan terbentuklah telur yang memiliki dua kromosom kelamin X maupun yang tidak memiliki kromosom kelamin X. Gagal berpisah terjadi pada gamet betina) (Corebima, 2013). Dalam penelitian ini, fenomena gagal berpisah dapat dilihat dari rekonstruksi persilangan pada persilangan yang tidak mengalami gagal berpisah dan persilangan yang mengalami gagal berpisah. 5. Frekuensi gagal berpisah adalah banyaknya individu dari Drosophila melanogaster



yang



muncul



pada F1 yang



mengalami



penyimpangan



dibandingkan dengan jumlah keseluruhan individu yang dihasilkan. Dalam penelitian ini, frekuensi gagal berpisah dapat dihitung dengan cara analisis



frekuensi gagal berpisah dengan rumus



6



BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Drosophila melanogaster 2.1.1 Pengenalan Drosophila melanogaster Drosophila melanogaster (lalat buah) adalah suatu serangga kecil dengan panjang dua sampai lima milimeter dan komunitasnya sering kita temukan di sekitar buah yang busuk (Iskandar, 1987 dalam Aini, 2008). Drosophila melanogaster sering digunakan dalam penelitian biologi terutama dalam perkembangan ilmu genetika (Manning, 2006). Dalam penelitian dibidang genetika, organisme yang sering digunakan salah satunya adalah D. melanogaster. Menurut T. H. Morgan, D. melanogaster sering digunakan sebagai hewan percobaan dalam mempelajari ilmu-ilmu biologi, khususnya genetika, karena hewan ini mudah didapat dan mudah dikembangkan, ukuran tubuhnya kecil, mempunyai siklus yang pendek, hanya mempunyai 4 pasang kromosom, dapat menghasilkan ratusan telur yang dibuahi dalam siklus hidupnya yang pendek tersebut (Kimball, 1983). Hal ini juga dijelaskan oleh Champbell (2010), bahwa Drosophila melanogaster merupakan lalat yang hanya mempunyai 4 pasang kromosom, yang dapat dengan mudah dibedakan melalui mikroskop cahaya. Terdapat tiga pasang kromosom autosom dan satu pasang kromosom seks. Lalat buah betina mempunyai sepasang kromosom X yang homolog, sedangkan yang jantan mempunyai satu kromosom X dan satu kromosom Y. Pada kondisi laboratorium lalat buah dewasa rata-rata mati dalam 6 atau 7 hari (Shorrocks, 1972). Keberadaan organisme di alam ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar termasuk lingkungan. Faktor luar meliputi faktor fisik, kimia dan biologis. Untuk hewan, faktor fisik termasuk di dalamnya adalah makanan mempunyai peranan lebih besar dibandingkan dengan faktor kimia. Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap kehidupan lalat buah (Junitha, 1991 dalam Aini, 2008). Menurut Strorer dan Usinger (1965) sistematika dari Drosophila melanogaster adalah sebagai berikut: Kingdom



: Animalia



7



Phylum



: Arthropoda



Class



: Insecta



Subclass



: Pterygota



Ordo



: Diptera



Subordo



: Cyclorihapha



Family



: Drosophilidae



Subfamily : Drosophilinae Marga



: Drosophila



Spesies



: Drosophila melanogaster



2.1.2 Ciri-ciri Morfologi Drosophila melanogaster Tubuh lalat jantan lebih kecil dibandingkan betina dengan tanda-tanda secara makroskopis adanya warna gelap pada ujung abdomen, pada kaki depannya dilengkapi dengan sisir kelamin yang terdiri dari gigi hitam mengkilap (Shorrock, 1972). Banyak mutan Drosophila melanogaster yang dapat diamati dengan mata biasa, dalam artian tidak memerlukan alat khusus. Drosophila melanogaster tipe liar mempunyai mata merah, tipe sepia mempunyai mata coklat tua dan tipe ebony mempunyai tubuh berwarna hitam mengkilap (Iskandar, 1987 dalam Aini, 2008). Ciri-ciri morfologi Drosophila melanogaster beraneka ragam tergantung gengen yang diekspresikannya sehingga dapat kita lihat tipe yang sering dipakai dalam penelitian yaitu tipe liar dan tipe mutan. Ciri-ciri Drosophila melanogaster ¬ normal (wild type) adalah sebagai berikut: 1. Drosophila melanogaster tipe liar (wild type) memiliki mata bulat lonjong dengan warna merah cerah. Warna pigmen mata pada Drosophila melanogaster berasal dari pigmen pteridin dan ommochrome (Klug & Curmings, 1994). 2. Lalat tipe liar memiliki warna tubuh cokelat keabu-abuan dengan panjang ukuran sayap normal (Campbell, 2010). 3. Indikasi sayap normal adalah sayap yang panjangnya lebih panjang melebihi panjang tubuhnya (Campbell, 2010). Menurut Russell (1992), hal yang harus diperhatikan dalam pengamatan terhadap Drosophila melanogaster adalah jenis kelamin, keadaan mata, keadaan sayap, dan warna tubuh. Mutasi yang terjadi pada mata Drosophila melanogaster diantaranya adalah:



8



1. White (w) merupakan mutan dengan warna mata putih karena tidak memiliki pigmen pteridin dan ommochrome. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 1, lokus 1,5. 2. Vermilion (v) merupakan mutan dengan warna mata merah yang sangat terang (warna vermilion). Mutasi teradi pada kromosom nomor 1, lokus 33. 3. Bar (B) merupakan mutan dengan bentuk mata yang sipit. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 1, lokus 57. 4. Carnation (car) merupakan mutan dengan warna mata seperti anyelir. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 1, lokus 62,5. 5. Purple (pr) merupakan mutan dengan mata warna ungu. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 2, lokus 54,5. 6. Brown (bw) merupakan mutan dengan mata warna cokelat. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 2, lokus 104. 7. Lobe (L) merupakan mutan dengan mata yang tereduksi, sehingga mata terlihat sangat kecil dan tidak berbentuk bulat lonjong. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 2, lokus 72,0. 8. Cinnabar (cn) merupakan mutan dengan mata berwarna merah sedikit agak orange. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 2, lokus 57,5. 9. Star (S) merupakan mutan dengan mata kasar dan kecil. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 2, lokus 1,3. 10. Sepia (se) merupakan mutan dengan mata warna cokelat tua agak kehitaman, hal tersebut karena mutan kelebihan pigmen sepiapterin. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 26. 11. Scarlet (st) merupakan mutan dengan mata warna merah tua. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 44. 12. Rough (ro) merupakan mutan dengan permukaan mata yang agak kasar dan faset abnormal. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 91,1. 13. Claret (ca) merupakan mutan dengan mata berwarna merah anggur atau merah delima (ruby). Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 100,7. 14. Eyemissing (eym) merupakan mutan yang tidak mempunyai organ mata. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 4, lokus 2,0. Mutasi yang terjadi pada sayap Drosophila melanogaster adalah sebagai berikut: 1. Cut wings (ct) merupakan mutan dengan sayap yang terpotong. Mutasi terjadi pada kromosom nomoe 1, lokus 20. 2. Miniature (m) merupakan mutan dengan panjang sayapnya sama dengan panjang tubuhnya. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 1, lokus 36,1. 3. Dumpy (dp) merupakan mutan dengan bentuk sayap yang terbelah sehingga panjang sayap tampak hanya dua per tiga dari panjang sayap normal.



9



4. Vestigial (vg) merupakan mutan dengan sayap yang tereduksi yang berarti panjang sayap mutan jauh lebih pendek dibanding panjang sayap Drosophila melanogaster normal, akibatnya Drosophila melanogaster dengan bentuk sayap tersebut tidak dapat terbang. Mereka hanya mengandalkan bristle sebagai alat sensor mekaniknya. 5. Curly (Cy) merupakan mutan dengan sayap melengkung ke atas, baik pada saat terbang mahupun hinggap. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 50,0. 6. Taxi (tx) merupakan mutan dengan sayap yang terentang, baik ketika terbang mahupun hinggap. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 91,0. Mutasi pada warna tubuh Drosophila melanogaster adalah sebagai berikut: 1. Yellow (y) merupakan mutan dengan warna tubuh kuning. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 1, lokus 0,0. 2. Black (b) merupakan mutan dengan warna tubuh hitam pekat. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 2, lokus 48,5. 3. Ebony (e) merupakan mutan dengan warna tubuh gelap. Mutasi terjadi pada kromosom nomor 3, lokus 70,7. 2.1.3 Ciri-ciri Fisiologi Drosophila melanogaster Drosophila melanogaster tergolong serangga, pada umumnya ringan dan memiliki eksoskeleton atau integumen yang kuat. Di seluruh permukaan tubuhnya, integumen serangga memiliki berbagai syaraf penerima rangsang cahaya, tekanan, bunyi, temperatur, angin dan bau. Pada umumnya, serangga memiliki 3 bagian tubuh yaitu kepala, toraks dan abdomen. Kepala berfungsi sebagai tempat dan alat masukan makanan dan rangsangan syaraf, serta untuk memproses informasi (otak). Lalat memiliki tipe mulut spons pengisap. Toraks yang terdiri atas tiga ruas memberikan tumpuan bagi tiga pasang kaki (sepasang pada setiap ruas), dan jika terdapat sayap, dua pasang pada ruas kedua dan ketiga. Fungsi utama abdomen adalah untuk menampung saluran pencernaan dan alat reproduksi (Iskandar, 1987 dalam Aini, 2008). Ada beberapa tanda yang dapat digunakan untuk membedakan lalat jantan dan betina, yaitu bentuk abdomen pada lalat betina kecil dan runcing, runcingnya ujung posterior abdomen betina tersebut adalah karena adanya ovipositor. Pada jantan ujung posteriornya agak membulat. Tanda hitam pada ujung abdomen juga bisa menjadi ciri dalam menentukan jenis kelamin lalat ini tanpa bantuan mikroskop. Ujung abdomen lalat jantan berwarna gelap, sedang pada betina tidak. Jumlah segmen pada lalat jantan hanya 5, sedang pada betina ada 7. Lalat jantan memiliki



10



sex comb yang berjumlah 10, terdapat pada sisi paling atas kaki depan berupa bulu rambut kaku dan pendek (Demerec dan Kaufmann, 1961). Lalat betina memiliki 5 garis hitam pada permukaan atas abdomen, sedangkan pada lalat jantan hanya 3 garis hitam (Wiyono, 1986 dalam Aini, 2008). 2.1.4 Siklus Hidup Drosophila melanogaster Ketika serangga ini ditetaskan dari telur, dihasilkan serangga yang tidak memiliki wujud sama dengan serangga dewasa. Drosophila melanogaster tergolong Holometabola, memiliki periode istirahat yaitu dalam fase pupa. Dalam perkembangannya,



D. melanogaster mengalami metamorfosis sempurna yaitu



melalui fase telur, larva, pupa dan D. Melanogaster dewasa (Frost, 1959). Lalat betina setelah perkawinan menyimpan sperma di dalam organ yang disebut spermatheca (kantong sperma). Lalat jantan dan betina adalah diploid. Setiap kali pembelahan meiosis dihasilkan 4 sperma haploid di dalam testes lalat jantan dewasa sedangkan pada lalat betina dewasa hanya dihasilkan 1 butir telur dari setiap kali pembelahan (Wiyono, 1986 dalam Aini, 2008). Lamanya siklus hidup Drosophila melanogaster bervariasi sesuai suhu. Rata-rata lama periode telur-larva pada suhu 20oC adalah 8 hari; pada suhu 25oC lama siklus menurun yaitu 5 hari. Siklus hidup pupa pada suhu 20oC adalah sekitar 6,3 hari, sedangkan pada suhu 25oC sekitar 4,2 hari. Sehingga pada suhu 25oC siklus hidup Drosophila melanogaster dapat sempurna sekitar 10 hari, tetapi pada suhu 20oC dibutuhkan sekitar 15 hari. Pemeliharaan Drosophila sebaiknya berada dalam suhu ruang dimana temperatur tidak dibawah 20oC atau diatas 25oC. Suhu tinggi atau diatas 30oC dapat mengakibatkan



sterilisasi



atau



kematian,



dan



pada



temperatur



rendah



keberlangsungan hidup dari lalat ini terganggu dan memanjangkan siklus hidup (pada suhu 10oC untuk mencapai tingkat larva dibutuhkan sekitar 57 hari dan pada suhu 15oC sekitar 18 hari). Hal yang perlu diingat adalah bahwa suhu di dalam biakan botol dapat lebih tinggi dibandingkan suhu lingkungan sekitar di luar botol, karena adanya peningkatan panas akibat fermentasi ragi (Demerec dan Kaufmann, 1961). 1. Telur Telur Drosophila memiliki panjang kira-kira setengah millimeter. Bagian struktur punggung telur ini lebih datar dibandingkan dengan bagian perut. Telur lalat



11



akan nampak di permukaan media setelah 24 jam dari perkawinan (Wiyono, 1986 dalam Aini, 2008). Perkembangan embrio, yang mengikuti pembuahan dan bentuk zigot, terjadi dalam membran telur (Demerec dan Kaufmann, 1961). Setelah fertilisasi acak, telur berkembang kurang lebih satu hari, kemudian menetas menjadi larva (Wiyono, 1986 dalam Aini, 2008). 2. Larva Sekitar satu hari setelah fertilisasi, embrio berkembang dan menetas menjadi larva (Manning, 2006). Larva yang baru menetas disebut sebagai larva fase (instar) pertama dan nampak jelas bila diamati menggunakan alat pembesar. Larva makan dan tumbuh dengan cepat (Demerec dan Kaufmann, 1961) kemudian berganti kulit mejadi larva fase kedua dan ketiga. Larva fase ketiga, dua sampai tiga hari kemudian berubah menjadi pupa (Wiyono, 1986 dalam Aini, 2008). Setelah penetasan dari telur, larva mengalami dua kali molting (ganti kulit) (Demerec dan Kaufmann, 1961), memakan waktu kurang lebih empat hari untuk selanjutnya menjadi pupa (Wiyono, 1986 dalam Aini, 2008). Fase terakhir dapat mencapai panjang sekitar 4,5 milimeter. Larva sangat aktif dan termasuk rakus dalam makan, sehingga larva tersebut bergerak pelan pada media biakan. Saat larva siap menjadi pupa, larva berjalan perlahan dan menempel di permukaan relatif kering, seperti sisi botol atau di bagian kertas kering yang diselipkan ke pakannya (Demerec dan Kaufmann, 1961). 3. Pupa Pupa yang baru terbentuk awalnya bertekstur lembut dan putih seperti kulit larva tahap akhir, tetapi secara perlahan akan mengeras dan warnanya gelap (Demerec dan Kaufmann, 1961). Di atas dari empat hari, tubuh pupa tersebut sudah berubah bentuk dan akan tumbuh menjadi individu baru setelah 12 jam (waktu perubahan fase diatas berlaku untuk suhu 25 °C) (Manning, 2006). Tahap akhir fase ini ditunjukkan dengan perkembangan dalam pupa seperti mulai terlihatnya bentuk tubuh dan organ dewasa (imago). Ketika perkembangan tubuh sudah mencapai sempurna maka Drosophila melanogaster dewasa akan muncul melalui anterior dari pembungkus pupa. Lalat dewasa yang baru muncul ini berukuran sangat panjang dengan sayap yang belum berkembang. Waktu yang singkat, sayap mulai berkembang dan tubuhnya berangsur menjadi bulat (Demerec dan Kaufmann, 1961). Hari kelima, pupa terbentuk dan pada hari kesembilan keluarlah imago dari selubung pupa (Wiyono, 1986 dalam Aini, 2008).



12



4. Imago Perkawinan biasanya terjadi setelah imago berumur 10 jam, tetapi meskipun demikian lalat betina biasanya tidak segera meletakkan telur sampai hari kedua. Lalat buah Drosophila pada suhu 25°C, dua hari setelah keluar dari pupa mulai dapat bertelur kurang lebih 50 sampai 75 butir per hari sampai jumlah maksimum kurang lebih 400-500 dalam 10 hari, tetapi pada suhu 20°C mencapai kira-kira 15 hari (Iskandar, 1987 dalam Aini, 2008). Jumlah telur tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik, temperatur lingkungan dan volume tabung yang digunakan (Mulyati, 1985 dalam Aini, 2008). Siklus hidup total terhitung dari telur sampai telur kembali berkisar antara 10-14 hari. Siklus hidup Drosophila melanogaster selengkapnya adalah sebagai berikut :



Gambar 1. Siklus hidup D. Melanogaster Sumber: Aini (2008)



Lalat dewasa dapat hidup hingga 10 minggu (Wiyono, 1986 dalam Aini 2008). Dalam kondisi menguntungkan, Drosophila dewasa dapat hidup lebih dari 40 hari. Sedangkan pada kondisi laboratorium banyak dilaporkan bahwa lalat buah dewasa rata-rata mati dalam 6 atau 7 hari (Shorrocks, 1972). 2.2 Peristiwa Gagal Berpisah pada Drosophila melanogaster T.H Morgan dan Bridges pertama kali melaporkan persilangan Drosophila melanogaster antara individu betina bermata putih, dan jantan bermata merah menghasilkan turunan jantan bermata putih dan betina bermata merah. Dilaporkan pula bahwa satu diantara 2000 turunan F1 tersebut mempunyai warna mata menyimpang, entah betina bermata putih atau jantan bermata merah. Bridges menduga bahwa penyimpangan itu terjadi karena gagal berpisah pada kromosom



13



kelamin X. Dalam hal ini kedua kromosom kelamin X gagal memisah selama meiosis sehingga keduanya menuju ke kutub yang sama dan terbentuklah telur yang memiliki 2 kromosom kelamin X maupun yang tidak memiliki kromosom kelamin X. Penemuan tentang adanya peristiwa gagal berpisah juga merupakan bukti yang kesekian terhadap teori pewarisan kromosom. Dalam hal ini yang sangat jelas terlihat yaitu adanya faktor (gen) tertentu yang tidak diragukan lagi terpaut pada kromosom tertentu (Corebima, 2013). Peristiwa gagal berpisah dibedakan menjadi gagal berpisah primer dan gagal berpisah sekunder. Contoh gagal berpisah primer adalah sebagaimana yang telah dikemukakan. Gagal berpisah sekunder ditemukan oleh Lilian V.Morgan (istri dari T.H Morgan) pada tahun 1922. Peristiwa gagal berpisah itu disebut gagal berpisah sekunder karena kejadiannya berlangsung pada turunan dari individu betina, yang keberadaannya merupakan produk dari gagal berpisah primer. Dalam hal ini individu betina termaksud memiliki dua kromosom kelamin X dan satu kromosom kelamin Y. Frekuensi kejadian gagal berpisah sekunder adalah sekitar 100 kali lebih tinggi (1 dalam 25 turunan) daripada frekuensi kejadian gagal berpisah primer (1 dari 2000 turunan) (Corebima, 2013).



14



Gambar 2.



Persilangan pada Drosophila melanogaster antara individu betina bermata putih dan jantan bermata merah, yang memperlihatkan peristiwa gagal berpisah pada kromosom kelamin X (Ayala dkk, 1984 dalam Corebima, 2013).



Menurut Pai (1987), nondisjuction adalah penyimpangan pembelahan sel, dimana kromosom atau kromatid yang secara normal berpisah pada waktu anafase tetap tinggal bersama, menghasilkan sel anak dengan kebanyakan atau kekurangan kromosom. Hal ini juga didukung pernyataan dari Gardner, dkk. (1991) bahwa Nondisjunction (gagal berpisah) adalah kegagalan untuk memisah pada kromosom pada peristiwa mitosis dan meiosis. Sebagai contoh pada meiosis, tiap-tiap anggota suatu pasangan kromosom menuju hanya satu kutub, sehingga kutub yang lain tidak menerima pasangan kromosom.



15



Gambar 3.



Peristiwa gagal berpisah: Kiri: Metafase. Kromosom di tengah, dan kinetochores dari kromatid melekat pada mikrotubulus. Kanan: Anafase, sister kromatid memisahkan diri dan mikrotubulus menarik ke arah yang berlawanan. Kromosom yang ditampilkan dalam warna merah gagal untuk memisahkan, kromatid sesaudara tetap bersama-sama dan ditarik ke sisi yang sama, sehingga nondisjunction terjadi pada mitosis kromosom ini. Sumber: Koehler, et al., (1996)



Peristiwa nondisjunction dibedakan menjadi nondisjunction primer dan sekunder. Nondisjunction primer dapat terjadi pada induk lalat yang belum mengalami nondisjunction atau lalat normal, sedangkan nondisjunction sekunder terjadi pada keturunan yang merupakan hasil nonodisjunction primer. Seperti yang dijelaskan oleh Corebima (2013) bahwa peristiwa itu disebut sebagai gagal berpisah sekunder karena kejadiannya berlangsung pada turunan dari individu betina, yang keberadaannya merupakan produk gagal berpisah primer. Dalam hal ini individu betina yang dimaksud memiliki dua kromosom kelamin X dan satu kromosom Y. Nondisjunction terjadi ketika terjadinya peristiwa meiosis pembentukan sel gamet. Saat itu kromosom terbagi menjadi setengah set untuk setiap sel gamet yang terbentuk. Ketika nondisjunction terjadi maka satu sel gamet itu tidak berisi setengah dari kromosom sel induk, tapi tetap berisi satu set lengkap, dalam hal ini gamet yang harusnya haploid menjadi diploid atau bahkan tidak berisi. Pai (1985) dalam Corebima (2013) mengatakan bahwa sel diploid berisi dua perangkat kromosom yang lengkap, satu berasal dari gamet ayah dan yang lainnya dari gamet ibu. Karena meiosis menghasilkan gamet-gamet semacam itu, akibatnya adalah bahwa reduksi meiosis 2n menjadi n pasti terjadi sedemikian sehingga setiap produk meiosis yang haploid diberi jatah satu perangkat kromosom lengkap yang berisi semua informasi genetik yang berkaitan dengan jenis yang bersangkutan. Peristiwa nondisjunction persisnya terjadi saat tahap anafase, baik anafase I maupun anafase II. Jika nondisjuncton terjadi pada anafase I maka yang mengalami gagal berpisah adalah kromosom homolog yang mana kedua kromosom homolog



16



sama-sama tertarik ke kutub yang sama. Sementara jika nondisjunction terjadi pada anafase II maka yang mengalami gagal berpisah adalah sister kromosom. Pai (1985) mengatakan bahwa nondisjungsi dapat terjadi baik sebelum pembelahan meitotik pertama maupun kedua. Kejadian dasar pada nondisjungsi adalah kromosomkromosom tidak berpisah. Hal ini menyebabkan aneuploidi pada sel-sel anak. Corebima (2013) menyatakan bahwa peristiwa gagal berpisah dibedakan menjadi gagal berpisah primer dan gagal berpisah sekunder. Mengenai hal ini, Pai (1985) menyatakan jika nondisjungsi terjadi pada sel benih yang normal, hal ini disebut nondisjungsi primer. Namun jika individual trisomi bereproduksi, nondisjungsi yang menyebabkan aneuploidi pada sel-sel benih disebut nondisjungsi sekunder. Lebih lanjut Corebima (2013) menyatakan bahwa frekuensi kejadian gagal berpisah sekunder (sebagaimana yang dilaporkan) adalah sekitar 100 kali lebih tinggi (1 dalam 25 turunan) daripada frekuensi kejadian gagal berpisah primer (1 dalam 2000 turunan). 2.3 Faktor-faktor Penyebab Gagal Berpisah Peristiwa gagal berpisah (nondisjunction) dapat dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar menurut Herskowitz (1977) dalam Abidin (1997) adalah energi radiasi tinggi, karbon dioksida, dan zat kimia lain, serta suhu. Suhu tidak berpengaruh terhadap frekuensi gagal berpisah primer kromosom kelamin X Drosophila melanogaster, akan tetapi mempunyai pengaruh terhadap frekuensi gagal berpisah sekunder kromosom kelamin X Drosophila melanogaster individu betina mata putih hasil dari gagal berpisah primer. Suhu yang berpengaruh disini adalah suhu kamar dan suhu antara 29˚C – 31˚C (Abidin, 1997). Faktor dari dalam yang berpengaruh terhadap frekuensi gagal berpisah diantaranya adalah umur induk. Menurut Suryo (1996) peristiwa gagal berpisah kebanyakan dipengaruhi oleh umur individu. Semakin tua individu semakin besar peluangnya mengalami nondisjunction di waktu pembentukan gamet. Faktor dari dalam lainnya yang berpengaruh terhadap gagal berpisah adalah adanya gen mutan yang menyebabkan sentromer tidak berada pada keadaan normal atau abnormal (Herkowitz, 1977). Dikatakan Herkowitz bahwa dalam keadaan normal dua sentromer sesaudara saling menutup. Satu sentromer akan berorientasi ke salah satu kutub, sedang sentromer lain berorientasi ke salah satu kutub yang berlawanan. Dengan adanya gen mutan, dalam hal ini gen mei-s332, yaitu gen semi dominan



17



pada kromosom II Drosophila melanogaster, maka metafase II dua sentromer sesaudara akan terletak memisah, sehingga kedua sentromer tersebut akan berorientasi ke kutub yang sama, akibatnya pada anafase II terjadi peristiwa nondisjunction atau gagal berpisah. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Davis (1971), Goldstein (1980), Mason (1976), dan Sandler (1968) dalam Kerrebrock (1991) menambahkan bahwa peristiwa gagal berpisah (nondisjunction) diketahui disebabkan oleh adanya gen mutan yaitu gen Mei-S332 dan ord. Kedua gen tersebut menyebabkan sentromer tidak berada pada keadaan normal atau abnormal. Dengan adanya gen tersebut, pada tahap anafase kromatin tidak memisah kedua kutub yang berlawanan. Sehingga terjadi peristiwa gagal berpisah (nondisjunction) .



Gambar 4.



Pewarisan sifat-sifat (resesif) terpaut kromosom kelamin X dari induk betina Drosophila melanogaster langsung pada turunan betina dan diekspresikan, akubat peristiwa gagal berpisah (primer) pada induk betina (Rothwell, 1983 dalam Corebima, 2013).



18



BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konseptual Pada penelitian ini dilakukan persilangan antara strain N♂ >< wa♀ dan N♀ >< m♂ beserta resiproknya yang merupakan strain yang terpaut kromosom kelamin karena berada pada kromosom I. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan F1 yang muncul memiliki fenotip yang mengalami pertautan kelamin tetapi pada kenyataannya



ada



fenotip



yang



mengalami



peristiwa



gagal



berpisah



(nondisjunction). Oleh karena itu perlu dilakukan analisis frekuensi gagal berpisah pada persilangan strain ini. Hukum pemisahan Mendel: Kedua faktor (gen) untuk tiap sifat tidak bergabung dengan cara apapun, tetap berdiri sendiri selama hidupnya individu dan memisah saat pembentukan gamet, sehingga separuh gamet mengandung satu gen sedangkan separuhnya lagi mengandung gen lainnya Hasil kajian lanjutan menunjukkan bahwa faktor yang memisah secara bebas sebagaimana yang diungkapkan oleh Mendel sebenarnya adalah kromosom.



D. melanogaster memiliki 4 kromosom, kromosom I merupakan kromosom kelamin X



Sifat yang terpaut kromosom tubuh mengikuti pola pewarisan menurut Mendel



Proses meiosis penting bagi makhluk hidup. Meiosis menghasilkan sel-sel dengan jumlah perangkat kromosom yang separuh dari sel indukan



Pewarisan sifat yang terpaut kromosom kelamin X mengikuti pola khas yaitu crisscross patern of inheritance (pola pewarisan menyilang).



Strain mutan yang digunakan merupakan strain mutan yang terpaut kromosom X, antara lain strain wa dan m.



Gagal berpisah adalah kegagalan untuk memisah pada kromosom pada peristiwa mitosis dan meiosis. Pada meiosis, tiap anggota pasangan kromosom menuju hanya satu kutub, sehingga kutub yang lain tidak menerima pasangan kromosom



Mengetahui frekuensi kejadian gagal berpisah pada persilangan D. melanogaster strain N♂ >< wa♀ dan N♀ >< m♂ beserta resiproknya



19



3.2 Hipotesis. Hipotesis penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut: 2.3.1 Ada fenomena gagal berpisah (nondisjunction) pada persilangan Drosophila melanogaster strain N♂>< m♀ berserta resiproknya. 2.3.2 Ada perbedaan frekuensi gagal berpisah (nondisjunction) pada persilangan Drosophila resiproknya.



melanogaster



strain



N♂>< wa♂ dan N♀ >< m♂ beserta resiproknya, pengamatan fenotip keturunan pertama (F1), dan menghitung jumlahnya pada masing-masing persilangan. Pembuatan medium 1. Menimbang bahan berupa pisang, tape singkong, dan gula merah dengan 4.6.1



perbandingan 7 : 2 : 1 untuk satu resep, yaitu 700 gram pisang rajamala, 200 gram tape singkong, dan 100 gram gula merah 2. Memblender pisang rajamala dan tape singkong dan menambahkan air secukupnya 3. Mencairkan gula merah yang telah ditimbang yaitu sebanyak 100 gram untuk 1 resep 4. Memasukkan hasil blender pisang rajamala dan tape yang telah halus kedalam panci dan memanaskan diatas kompor dengan api sedang 5. Memasukkan gula merah yang sudah dicairkan sebelumnya kedalam adonan setelah adonan cukup panas 6. Memasak adonan tersebut selama 45 menit 7. Mematikan kompor dan memasukkan campuran pisang rajmala, tape, dan gula merah yang telah dimasak tersebut ke dalam botol selai dalam keadaan panas sebanyak ± ¼ botol selai dan langsung ditutup dengan penyumbat gabus yang telah dipotong bulat sesuai untuk tutup botol kemudian mendinginkannya dengan cara direndam di air dingin 8. Setelah medium dingin, memasukkan ± 3-5 butir yeast ke dalam medium dan membersihkannya dari uap air serta memberi kertas pupasi pada medium tersebut 9. Medium siap digunakan Peremajaan stok 1. Menyiapkan beberapa botol selai yang berisi medium baru dan telah diberi yeast 4.6.2



dan kertas pupasi 2. Memindahkan lalat jantan dan betina dari masing-masing strain dari stok ke botol selai yang berbeda pada medium baru minimal masing-masing 3 pasang jantan dan betina 3. Mengamati perkembangannya, jika muncul pupa warna hitam maka dilakukan pengampulan untuk melakukan persilangan. Pengampulan stok 1. Pupa dari masing-masing strain yang sudah menghitam diambil menggunakan 4.6.3



kuas 2. Mengisi bagian tengah tempat dalam selang plastik kecil dengan irisan kecil pisang



22



3. Memasukkan pupa tersebut ke sisi kiri dan kanan dalam selang plastik kecil yang telah diisi dengan irisan kecil pisang 4. Menutupnya dengan gabus 5. Masing-masing selang diberi label nama strain maupun tanggal mengampul 6. Menunggu ampulan sampai menetas dan lalat siap untuk disilangkan. Umur lalat dalam ampulan maksimal 3 hari untuk persilangan 4.6.4 1. 2.



Persilangan P1 Menyiapkan medium baru yang telah diberi yeast dan kertas pupasi Ampulan yang sudah menetas dan siap disilangkan dari masing-masing strain dimasukkan ke dalam botol selai. Strain lalat yang disilangkan antara lain N♂ ♀wa dan N♂>< m♀ beserta resiproknya meliputi warna



23



mata, warna tubuh, dan keadaan sayap serta menghitung jumlah keturunan F1 yang didapatkan dari masing-masing hasil persilangan. Kemudian data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel pengamatan. Misal : Macam Persilangan



Ulangan



Fenotip N



1 wa N 2 wa N 3 wa a



N♂>< ♀wa



b.



c.



d.



Persilangan



Fenotipe



Sex



♂N >< ♀wa



N N wa wa



♂ ♀ ♂ ♀



1 0 89 77 0



2 0 45 40 0



Ulangan 3 4 0 0 118 93 92 50 0 0



5 0 99 60 0



6 3 55 74 0







Total



3 410 316 0



729







Total



366 414 25 0



805







Total



3 307 320 0



630







Total



194 207 24 0



425



Persilangan ♀N >< ♂wa Persilangan



Fenotipe



Sex



♀N >< ♂wa



N N wa wa



♂ ♀ ♂ ♀



1 52 71 7 0



2 66 73 10 0



Ulangan 3 4 55 61 89 55 8 0 0 0



5 68 76 0 0



6 64 50 0 0



1 0 46 46 0



2 0 54 50 0



Ulangan 3 4 0 0 50 55 60 52 0 0



5 0 57 60 0



6 3 45 52 0



2 30 39 6 0



Ulangan 3 4 31 36 28 34 9 0 0 0



5 35 38 0 0



6 28 31 0 0



Persilangan ♂N >< ♀m Persilangan



Fenotipe



Sex



♂N >< ♀m



N N m m



♂ ♀ ♂ ♀



Persilangan ♀N >< ♂m Persilangan



Fenotipe



Sex



♀N >< ♂m



N N m m



♂ ♀ ♂ ♀



1 34 37 9 0



27



5.2 ANALISIS DATA 1. Persilangan antara N♂ >< wa♀ a. Rekontruksi persilangan yang tidak mengalami peristiwa nondisjunction P1 : N♂ >< wa ♀ Genotip



:



Gamet F1



: wa- ,⇁ ; wa- ,wa♀



b.



>
< wa♀



wa- wa-



wa+ ⇁



2.



N♀



Genotip



:



>
< wa♂ a. Rekontruksi persilangan yang tidak mengalami peristiwa nondisjuction P1 : N♀ >< wa ♂ Genotip



:



Gamet F1



: wa+, wa+ ; wa-, ⇁ ♂



b.







>
< wa ♂ Genotip



>
< m♀ a. Rekontruksi persilangan yang tidak mengalami nondisjunction. P1 : N♂ >< m♀ Genotip



:



Gamet F1



: m+, ⇁ ; m-, m♂



b.







>
< m♀ Genotip :



>
< m♂ a. P1



Rekontruksi persilangan yang tidak mengalami nondisjunction : N♀ >< m♂



Genotip



:



Gamet F1



: m+, m+ ; m-, ⇁ ♀



>
< m♂ Genotip



:



>
< ♀wa Persilangan



Ulangan



♂N >< ♀wa



1 2 3 4 5 6



∑ Keturunan NDJ 0 0 0 0 0 3



Frekuensi 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.41%



Transformasi 0.04% 0.04% 0.04% 0.04% 0.04% 0.41%



0.114843841 0.114843841 0.114843841 0.114843841 0.114843841 0.375644317



b. Persilangan ♀N >< ♂wa



Persilangan



♀N >< ♂ wa



Ulangan 1 2 3 4 5 6



∑ Keturunan NDJ 7 10 8 0 0 0



Frekuensi 0.87% 1.24% 0.99% 0.00% 0.00% 0.00%



Transformasi 0.87% 1.24% 0.99% 0.04% 0.04% 0.04%



0.534427203 0.638031985 0.570095215 0.114591635 0.114591635 0.114591635



c. Persilangan ♂N >< ♀m Persilangan



Ulangan



♂N >< ♀m



1 2 3 4 5 6



∑ Keturunan NDJ 0 0 0 0 0 3



Frekuensi 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.47%



Transformasi 0.04% 0.04% 0.04% 0.04% 0.04% 0.47%



0.114591635 0.114591635 0.114591635 0.114591635 0.114591635 0.392803151



30



d. Persilangan ♀N >< ♂m



Persilangan



Ulangan 1 2 3 4 5 6



♀N >< ♂m



∑ Keturunan NDJ 9 6 9 0 0 0



Frekuensi 2.12% 1.42% 2.12% 0.00% 0.00% 0.00%



Transformasi 2.12% 1.42% 2.12% 0.04% 0.04% 0.04%



0.834268621 0.682774171 0.834268621 0.114591635 0.114591635 0.114591635



ANALISIS DATA ANAVA TUNGGAL Ulangan 1 2 3 4 5 6 Total X



a



♂N >< ♀w 0.114843841 0.114843841 0.114843841 0.114843841 0.114843841 0.375644317 0.949863522 0.158310587



Persilangan ♀N >< ♂wa ♂N >< ♀m 0,534427203 0.114843841 0.638031885 0.114843841 0.570095215 0.114843841 0.114843841 0.114843841 0.114843841 0.114843841 0.114843841 0.392803151 1.552658623 0.967022356 0.258776437 0.161170393



♀N >< ♂m 0.834268621 0.682774171 0.834268621 0.114843841 0.114843841 0.114843841 2.695842936 0.449307156



Penyelesaian: JKtotal= 0.1148438412 + 0,5344272032 + …. + 0.1148438412 – = 6.63681464 - 1.583833427 = 5.052981213 JKperlakuan



= = 1.919281814



JKgalat



= JKtotal - JKperlakuan =5.052981213 - 1.919281814 = 3.133699399



Jumlah 1.063956303 1.550493738 1.634051518 0.459375364 0.459375364 0.99813515 6.165387437 1.027564573



31



Tabel Anava SK Perlakuan Galat Total



db 3 20 23



JK 1.919281814 3.133699399



KT 0,639760604 0.164931547



KTp =



=



= 0,639760604



KTG =



=



= 0.164931547



Fhit (perlakuan) =



=



Fhit



Ftab 5%



Ftab 1%



3,878946239



3.10



4.94



= 3,878946239



Dari tabel Anava terlihat bahwa Fhit (3,878946239) > Ftabel (3.10). Ini berarti H0 ditolak, kesimpulannya Hipotesis penelitian diterima jadi, ada perbedaan frekuensi gagal berpisah pada persilangan Drosophilla melanogaster strain N♂>< m♀ beserta resiproknya.



Uji Lanjutan (BNT)



BNT(0.05)



= tα (20) x



= 2.0860 x



= 2.0860 x = 2.0860 x 0.234472134 = 0.489108873



32



BNT 0.01)= tα (20) x



= 2.8453 x = 2.8453 x 0.234472134 = 0.667143562 Tabel Uji BNT Perlakuan ♂N >< ♀ wa ♂N >< ♀m ♀N >< ♂ wa ♀N >< ♂m



Frekuensi Gagal Berpisah 0.158310587 0.16117039 0.258776437 1.027564573



Notasi BNT 0.05 a a a b



Dari uji BNT tersebut, didapatkan hasil bahwa frekuensi gagal berpisah tertinggi adalah pada persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N>< ♀wa , ♂N>< ♂wa dan ♀N>< N♂ menghasilkan keturunan N♂, N♀ dan w a♂. Berdasarkan hasil rekonstruksi persilangan N♂ >< m♂ dihasilkan keturunan F1 yaitu strain N♂, N♀, m♂. Berdasarkan hasil rekonstruksi yang tidak mengalami nondisjunction, strain yang dihasilkan adalah N♀ dan N♂. Sehingga disimpulkan bahwa strain m dari keturunan F1 mengalami peristiwa nondisjunction. Hal ini didukung dengan hasil rekonstruksi yang mengalami nondisjunction, yaitu keturunan pertama yang dihasilkan adalah N♂, N♀, dan m♂. Jadi, dalam hal ini keturunan F1 strain N♂, N♀ menunjukkan hasil dari fertilisasi antara gamet jantan dan gamet betina yang mengalami pembelahan meiosis secara normal dengan satu dari salah satu keturunan N♀ hasil dari induk yang mengalami nondisjunction. Sedangkan keturunan F1 strain m♂ merupakan hasil dari peristiwa nondisjunction pada peristiwa oogenesis. Fenotip dari strain m♂ dari hasil persilangan ini yaitu yaitu



. mmerupakan kromosom X



hasil dari pembelahan meiosis pada induk m jantan, sedangkan 0 mengindikasikan



35



bahwa tidak adanya pewarisan kromosom X oleh induk N betina karena adanya peristiwa nondisjunction. Berdasarkan hasil perhitungan frekuensi nondisjunction, frekeuensi nondisjunction pada persilangan ini adalah sebesar 5.65% 6.2 Fenomena gagal berpisah (nondisjuction) pada persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N >< ♂wa dan ♀N>< ♂mbeserta resiproknya. Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa peristiwa nondisjunction merupakan peristiwa yang tidak sengaja atau tidak selalu terjadi pada setiap ulangan persilangan. Gagal berpisah (nondisjunction) adalah kegagalan sepasang kromatid atau kromosom homolog untuk memisah selama pembelahan meiosis saat terjadinya peristiwa oogenesis, sehingga keduanya menuju ke kutub yang sama (Russel, 1992). Pada kondisi normal terdapat mekanisme yang menjaga pembentukan benang spindel dan depolarisasi



spindel secara tepat. Saat anafase 1 dan 2, terjadi



pembongkaran protein yang melekatkan kromatid sister sepanjang lengan kromatid dan penarikan oleh kinetokor sehingga kromosom homolog dapat berpisah. (Campbell, 2010). Pada sel yang mengalami nondisjunction terdapat gen yang mempengaruhi dalam pemisahan benang spindel tersebut (Robinson, 2003). Hal ini menyebabkan satu gamet menerima 2 kromosom sementara yang lain tidak memperoleh kromosom (Robinson, 2003). Benang spindel seharusnya bertugas memisahkan kromosom untuk menuju ke kutub berlawanan pada saat anaphase, namun ketika terjadi nondisjunction pasangan kromosom homolog gagal memisah pada saat meiosis I atau pada meiosis II. Produk gagal berpisah yang terjadi pada persilangan ♀N >< ♂wa dan ♀N>< ♂m beserta resiproknya merupakan hasil peristiwa gagal berpisah yang terjadi selama meiosis. Saat itu kromosom terbagi menjadi setengah set untuk setiap sel gamet yang terbentuk. Ketika nondisjunction terjadi, maka satu sel gamet itu tidak berisi setengah dari kromosom sel induk, tapi tetap berisi satu set lengkap, dalam hal ini gamet yang harusnya haploid menjadi diploid atau bahkan tidak berisi. Pai (1985) dalam Corebima (2013) mengatakan bahwa sel diploid berisi dua perangkat kromosom yang lengkap, satu berasal dari gamet ayah dan yang lainnya dari gamet ibu. Karena meiosis menghasilkan gamet-gamet semacam itu, akibatnya adalah bahwa reduksi meiosis 2n menjadi n pasti terjadi sedemikian sehingga setiap produk meiosis yang haploid diberi jatah satu perangkat kromosom lengkap yang berisi semua informasi genetik yang berkaitan dengan jenis yang bersangkutan.



36



Jadi, gagal berpisah merupakan peristiwa yang menyimpang, dimana kromosom-kromosom atau kromatid yang secara normal berpisah pada waktu anafase tetap tinggal bersama, sehingga menghasilkan sel anak dengan kebanyakan atau kekurangan kromosom. Hal ini mengakibatkan aneuoploidi pada sel-sel anak (Pai, 1987). 6.3 Perbedaan Frekuensi Gagal Berpisah Pada Persilangan Drosophila Melanogaster Strain ♀N >< ♂wa dan ♀N >< ♂m Beserta Resiproknya. Pada perhitungan analisis data dengan menggunakan anava diketahui bahwa nilai Fhitung yang dperoleh lebih besar daripada nilai Ftabel. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan frekuensi gagal berpisah pada persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N >< ♂wa dan ♀N >< ♂m beserta resiproknya. Hal tersebut dimungkinkan karena pada tiap strain terdapat perbedaan morfologis, perilaku maupun aktivitas fisiologis individu. Aktivitas sel terutama saat anafase meiosis sangat menentukan terjadinya nondisjunction. Pada penelitian strain D. melanogaster yang digunakan dalam pengamatan frekuensi nondisjunction adalah strain N, wa, dan m. Persilangan heterogami yang dilakukan adalah N>< m♀ beserta resiproknya. 7.1.3 Terdapat perbedaan frekuensi gagal berpisah pada persilangan Drosophila melanogaster strain N♂ >< wa♀ dan N♂>< m♀ beserta resiproknya. 7.2 Saran 7.2.1 Peneliti sebaiknya lebih cermat dalam mengamati dan menghitung fenotip baik F1 maupun F2. 7.2.2 Peneliti sebaiknya menjaga kebersihan baik dalam pembuatan medium maupun dalam membersihkan botol, kertas pupasi, dan gabus. 7.2.3 Peneliti sebaiknya lebih memahami dan mengeksplorasi mengenai fenomena Non-Disjunction dengan cara mencari lebih banyak sumber yang terkait. 7.2.4 Diharapkan penelitian mengenai fenomena gagal berpisah pada Drosophila Melanogaster dapat diteliti secara lebih lanjut, khususnya mengenai frekuensi gagal berpisah yang disebabkan oleh faktor-faktor lain.



39



DAFTAR RUJUKAN Abidin,



Khoirul. 1997. Pengaruh Sodium Siklamat Terhadap Frekuensi Nondisjunction Kromosom Kelamin X D. melanogaster. Skripsi tidak diterbitkan, Malang: IKIP



Aini, N. 2008. Kajian Awal Kebutuhan Nutrisi Drosophila melanogaster. Skripsi: Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bembenek J., White J., Zheng Y. 2010. A Role For Separase In The Regulation Of RAB-11-Positive Vesicles At The Cleavage Furrow And Midbody. Curr Biol. Vol. 20, pp 259-264. Campbell, N. A., Reece, J. B., Urry, L.A., Chain, M. L., Wasserman, S. A., Minorsky, P. V., & Jackson, R.B. 2010. BIOLOGI Edisi Kedelapan Jilid 1. Jakarta : Penerbit Erlangga Corebima, A. D. 2013. Genetika Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press. Corebima, A. D. 2013. Genetika Mendel. Surabaya: Airlangga University Press. Demerec dan Kaufmann. 1961. Drosophila Guide. Introduction to the Genetics and Cytology of Drosophila melanogaster. Washington D.C: Carnegie Institution of Washington. Frost, S.W. 1959. Insect Life and Insect Natural History. Second Revised Edition. New York: Dover Publication, Inc. Gardner., Simmons, Michael., and Snustad, Peter. 1991. Principles of Genetics. New York: John Willey and Sons Inc. Herkowitz, J. H.1977. Genetics. Canada: Little, Brown And Company. Janicke, M.A., Lasko, Loren., Oldenbourg, Rudolf., and LaFountain, James. 2007. Chromosome Malorientations after Meiosis II Arrest Cause Nondisjunction. Journal of Molecular Biology of the Cell. Vol. 18, 1645– 1656. Kerrebrock, A. W., Miyazaki, W. Y., Birnbyt, D., & Weaver, T. L. 1991. The Drosophila mei-S332 Gene Promotes Sister-Chromatid Cohesion in Meiosis Following Kinetochore Differentiatio. Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, Massachusetts. Copyright 0 1992 by the Genetics Society of America.



40



Kidwell, Margaret. 1976. Hybrid dysgenesis in Drosophila melanogaster: The Relationship between the P-M and I-R Interaction System. Journal of Genetics Research.Vol. 33, pp. 205-217. Kimball, J. W. 1989. Biologi edisi kelima. Surabaya: Erlangga. Klugs, W. S. & M.R Cummings. 1994. Concept Of Genetics Drosophila. Prentice Hall Inc., Englewoo Drosophil. Koehler, KE; Hawley, RS; Sherman, S; Hassold, T. 1996. Recombination and Nondisjunction in Humans and Flies. Journal of Human Molecular Genetics. Vol. 5. Pp. 1495–1504. Manning, Gerard. 2006. A quick and simple introduction to Drosophila melanogaster. (Online) (http://ceolas.org/VL/fly/intro.html) diakses tanggal 18 April 2016. Pai, C. A. 1987. Dasar-dasar Genetika. Jakarta: Erlangga. Pierce, B. A. 2003. Genetics Conceptual Approach 4th Edrosophila. USA: W. H. Freeman& Company. Robinson, Richard. 2003. Genetics. Volume III. New York: MacMillan. Russell, P. J. 1992. Foundamental of Genetics. New York: Harper Collins College Publishers. Shorrocks, B. 1972. Drosophila, Ginn and Company Limited, London. pp 31-48; 7176; 103-116. Suryo. 1996. Genetika. Proyek Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sved, J. A. 1976. Hybrid Dysgenesis In Drosophila Melmogaster: A Possible Explanation In Terms Of Spatial Organization Of Chromosomes. Australian Journal Biology Science. No. 29. Pp. 375-388. Usinger R.L. Store T.I. 1965. General Zoologi. International Student Edition.