Laporan Tutorial Modul Pilek Menahun Kelompok 10 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN TUTORIAL BLOK IMUNO-HEMATOLOGI MODUL PILEK MENAHUN



Disusun Oleh : Kelompok 10 1. Nur Septiani



(K1A1 17 020)



2. Nur Fitrasari Lairu



(K1A1 18 020)



3. Andi Sekar Arum Cantika Feny



(K1A1 20 038)



4. Angelia Harpahda



(K1A1 20 039)



5. Aniendya Chairuningtyas Gaffang



(K1A1 20 040)



6. Anisa Sabaruddin



(K1A1 20 041)



7. Anisha Ramadhani



(K1A1 20 042)



8. Abi Raharjo



(K1A1 20 076)



9. Afifah Putri Afrah Amatullah



(K1A1 20 077)



10. Muhammad Ihsan Yahya



(K1A1 20 109)



11. Muhammad Mustari



(K1A1 20 110)



12. Nurfadilah



(K1A1 20 116)



13. Wulan Aprilya



(K1A1 20 130)



Tutor : dr. Ika Elyana PROGRAM STUDI KEDOKTERAN 1



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2021 LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN TUTORIAL Judul Laporan : Laporan Tutorial Modul Pilek Menahun Disusun oleh : 1. Nur Septiani



K1A1 17 020



2. Nur Fitrasari Lairu



K1A1 18 020



3. Andi Sekar Arum Cantika Feny



K1A1 20 038



4. Angelia Harpahda



K1A1 20 039



5. Aniendya Chairuningtyas Gaffang



K1A1 20 040



6. Anisa Sabaruddin



K1A1 20 041



7. Anisha Ramadhani



K1A1 20 042



8. Abi Raharjo



K1A1 20 076



9. Afifah Putri Afrah Amatullah



K1A1 20 077



10. Muhammad Ihsan Yahya



K1A1 20 109



11. Muhammad Mustari



K1A1 20 110



12. Nurfadilah



K1A1 20 116



13. Wulan Aprilya



K1A1 20 130



Mata Kuliah : Hematologi+Imunologi Program Studi : Kedokteran Kendari, 2 Maret 2021 Menyetujui, 2



Tutor,



dr. Ika Elyana KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan hidayah-Nya sehingga laporan ini dapat terselesaikan tepat waktu. Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak terutama kepada Dokter Pembimbing Tutorial Modul 1 Pilek Menahun. Tak lupa pula kami sampaikan rasa terimakasih kami kepada teman-teman yang telah mendukung, memotivasi, serta membantu kami dalam menyelesaikan laporan hasil tutorial Pilek Menahun. Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami juga menyadari bahwa laporan yang kami buat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran, masukan maupun kritikkan dari semua kalangan demi kesempurnaan laporan yang kami susun ini.



Kendari, 02 Maret 2021



Kelompok 10



3



DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………….…….i KATA PENGANTAR………………………………………………………….…ii DAFTAR ISI…………………………………………………………..….………iii I.



TUJUAN PEMBELAJARAN…………………………………………..…1



II.



SKENARIO………………………………………………………………..1



III.



KATA/KALIMAT SULIT………………………………………………...1



IV.



KATA/KALIMAT KUNCI……………………………………………….1



V.



DAFTAR PERTANYAAN…...…………………………………………...3



VI.



JAWABAN PERTANYAAN……………………………………………..4



DAFTAR PUSTAKA



4



I.



TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah selesai mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyakit-penyakit yang menyebakan gejala pilek, patomekansime penyakit tersebut, utamanya immunopatogenesis terjadi reaksi alergi khususnya tipe I dari Gell dan Coombs, kerusakan jaringan, gejala dan tanda-tanda kelainan organ, dan penatalaksanaan penyakit-penyakit dengan gejala pilek



II.



SKENARIO Skenario : Pilek menahun Seorang perempuan berumur 60 datang ke puskesmas dengan keluhan pilek sejak 1 tahun yang lalu. Kadang-kadang pilek ini disertai lendir pada tenggorokan yang dirasakan berasal dari belakang hidung. Pada waktu kecil ia pernah menderita sesak napas.



III.



KATA / KALIMAT SULIT 1. Pilek : Kondisi dimana hidung mengeluarkan mucus (lendir) baik sekali maupun terus menerus. 2. Lendir : Cairan kental yang melapisi saluran napas sebagai fungsi untuk melindungi saluran napas dari benda asing. 3. Sesak napas : Keluhan sebjektif yang dirasakan pasien berupa rasa tidak nyaman, sensasi berat pada saat proses pernapasan.



IV.



KATA / KALIMAT KUNCI 1. Seorang perempuan berumur 60 tahun 2. Pilek sejak 1 tahun 3. Pilek disertai lender pada tenggorokan 4. Sesak napas sewaktu kecil



V.



PERTANYAAN 1. Jelaskan anatomi, histologi, fisiologi organ terkait! 2. Bagaimana patomekanisme dan gejala apa saja yang ditimbulkan dari pilek? 3. Bagaimana patomekanisme dari sesak napas? 4. Bagaimana hubungan gejala pilek dengan sesak napas? 5. Bagaimana reaksi inflamasi pada jaringan? 5



6. Apakah ada perbedaan dari reaksi inflamasi dari tipe alergi dan tipe infeksi? 7. Bagaimana dasar alergi dan hipersensitivitas tipe 1 pada organ terkait? 8. Sebutkan dan jelaskan gejala-gejala reaksi alergi tipe 1 pada organ THT berhubungan dengan skenario di atas! 9. Apakah ada hubungan hipersensitivitas dengan pilek menahun? 10. Apa saja DD dan DS dari skenario? 11. Bagaimana penatalaksanaan dari DS? VI.



PEMBAHASAN 1. Anatomi, Histologi dan Fisiologi dari organ terkait A. ANATOMI Telinga



Gambar 1. Anatomi Telinga Secara anatomi dari fungsi telinga dibagi atas: a. Telinga luar Ialah bagian telinga yang terdapat sebelah luar membran timpani. Terdiri dari: Daun telinga (aurikel) Daun telinga merupakan suatu lempengan tulang rawan yang berlekuklekuk ditutupi oleh kulit dan dipertahankan pada tempatnya oleh otot dan ligamentum. Liang telinga luar 2/3 bagian dalam dibentuk oleh tulang. Kulit yang melapisi tulang rawan liang telinga luar sangat longgar dan mengandung banyak folikel rambut, kelenjar serumen dan kelenjar sebasea. Gendang telinga dan kulit liang telinga bagian dalam mempunyai sifat membersihkan sendiri yang disebabkan oleh migrasi lapisan keratin epithelium dari membran timpani keluar, kebagian tulang rawan.1 6



b. Telinga Tengah Terdiri dari: 1) Membran timpani Membran timpani terdiri 3 lapisan, yaitu: lapisan squamosa, lapisan mukosa, lapisan fibrosa terdiri serat melingkar dan serat radial. Bagian membran timpani sebelah atas disebut pars flaccida (membran shrapnel) bagian yang lebih besar di sebelah bawah disebut pars tensa membran timpani.1 2) Cavum timpani 3) Tulang-tulang pendengaran 4) Tuba eustachius 5) Sel-sel mastoid c. Telinga dalam terdiri dari: 1) Koklea (rumah siput) 2) 3 buah kanalis semi sirkuler: anterior, posterior, lateral Hidung



Gambar 2. Anatomi Hidung Hidung terdiri dari:1 1) Hidung bagian luar a) Berbentuk pyramid b) Dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan. 2) Rongga hidung (cavum nasi) a) Berbentuk terowongan dari depan kebelakang b) Dipisahkan oleh septum di bagian tengah menjadi cavum nasi kanan dan kiri c) Cavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu: 7



1. Dinding medial 2. Dinding lateral 3. Dinding inferior 4. Dinding superior Dinding medial hidung yaitu septum nasi, septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, pada dinding lateral terdapat konka yaitu;1 1. Konka superior kecil, dibagian atas 2. Konka media lebih kecil, letaknya ditengah 3. Konka inferior terbesar dan paling bawah letaknya 4. Konka suprema terkecil dan rudimenter Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Ada 3 meatus, yaitu:1 1. Meatus inferior terletak diantara konka superior dengan dasar hidung dengan rongga hidung. 2. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. 3. Meatus superior merupakan ruang diantara konka superior dan konka media. Dinding superior merupakan merupakan dasar rongga hidung dengan superior atau atap hidung sangat sempit.1 Innervasi : Permukaan laur hidung dipersarafi oleh nervus nasociliaris dan nervus infraorbitalis. Septum nasi mendapat persarafan dari cabang nervus ethmoidalis anterior di bagian antero-superior, dan dari nervus sphenopalatinus yang dipercabangkan oleh ganglion pterygopalatinum di bagian postero-inferior.1 Dinding



lateran



dibagi



menjadi



4



kuadran,



sesuai



daerah



vaskularisasinya, di mana kuadran antero-superior dilayani oleh nervus ethmoidalis anterior. Kuadran anterior-inferior dipersarafi oleh nervus dentalis superior anterior, kuadran postero-superior mendapat persarafan dari ramus nasalis posterior lateralis yang dipercabangkan oleh ganglion sphenopalatinum, dan kuadran postero-inferior dilayani oleh ramus nasalis posterior-inferior yang dipercabangkan oleh nervus palatinus major.1 Vascularisasi : a.



ramus sphenopalatinus yang dipercabangkan oleh arteri maxillaries 8



b.



ramus



ethmoidalis



anterior



dan



ramus



ethmoidalis



posterior



yang



dipercabangkan oleh arteri ophtalmica c.



ramus labialis superior yang dipercabangkan oleh arteri facialis



d.



ramus ascendens dari arteri palatina major. Ke empat arteri tersebut di atas membentuk anastomosis (plexus kiesselbach), dan terletak di bagian anterior septum nasi, di dalam vestibulum nasi dekat pada atrium dan didekat meatus medius. Pada tempat ini sering terjadi epistaxis (= perdarahan hidung) dan tempat ini disebut area dari little. Pembuluh-pembuluh vena membentuk jaringan cavernosa, terutama pada concha nasalis inferior dan concha nasalis media, yang berfungsi untuk menghangatkan serta membuat udara inspirasi menjadi lembab. Pembuluh darah vena berjalan mengikuti arterinya.1 Sinus Paranasal Sinus paranasalis adalah hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara/ostium kedalam rongga hidung. Sinus paranasalis terbagi menjadi 4: a) Sinus maxilla Berbentuk piramid, dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maxilla, dinding posterior sinus adalah permukaan intra-temporal maxilla, dinding medial adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superior adalah dasar orbita dan dinding inferior adalah prosesus alveolaris dan palatum.1



. Gambar 3. Anatomi Sinus Paranasalis 9



b) Sinus frontal Yang dimana antara kiri dan kanan tidak simetris. Biasanya juga bersekat-sekat dan tepi berlekuk-lekuk, kalau tidak ada sekat-sekat tersebut maka menunjukkan infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.1 c) Sinus ethmoid Bentuknya bervariasi dan dianggap penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus ethmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon. Yang terdapat didalam massa bagian lateral os ethmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita.1 d) Sinus sfenoid Tempatnya dibelakang sinus ethmoid posterior dibagi 2 sekat yaitu septum intersfenoid, bagian superior berbatasan dengan fossa serebri media dan kelenjar hipofisis, bagian inferior berbatasan dengan atap nasofaring, bagian lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.carotis interna dan bagian posterior berbatasan dengan fossa serebri posterior di pons.1 Peranan : Udara inspirasi dapat melewati sinus paranasalis yang membuat udara tersebut menjadi basah dan panas. Selain itu menyebabkan tulang cranium menjadi ringan dan menambah resonansi suara.1 Innervasi : Sinus paranasalis dilayani oleh nervus opthalmicus dan nervus maxillaris. Sinus frontalis dipersarafi oleh nervus supra-orbitalis, cellulae ethmoidalis anterior dipersarafi oleh nervus ethmoidalis anterior, cellulae ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis mendapat innervasi dari nervus ethmoidalis posterior, dan sinus maxillaris dipersarafi oleh nervus alveolaris superior.1



10



Faring



Gambar 4. Anatomi Faring a. Dinding faring dibentuk oleh:1 1) Selaput lendir. 2) Fasia faringo basiler. 3) Pembungkus otot. 4) Sebagian fasia bukofaringeal. b. Unsur faring meliputi: 1) Mukosa. 2) Palut lendir. 3) Otot. c. Faring terdiri atas:1 1) Nasofaring Batas-batas: Superior: dasar tengkorak Inferior: palatum mole Anterior: rongga hidung Posterior: vertebra servikal 2) Orofaring (mesofaring) Batas-batas: Superior: palatum mole. Interior: tepi atas epiglotis. Anterior: rongga mulut. Posterior: vertebra servikal. 11



3) Laringofaring (hipofaring) Batas-batas: Superior: tepi atas epiglottis. Anterior: laring. Inferior: esophagus. Posterior: vertebra servikal. Laring



Gambar 5. Anatomi Laring Bagian terbawah saluran



napas atas. Dibentuk oleh kartilago,



ligamentum, otot, dan membrana mukosa. Terletak di sebelah ventral pharynx, berhadapan dengan vertebra servikalis III-VI. Berada di sebelah caudalis dari os hyoideum dan lingua serta berhubungan langsung dengan trakea. Di sebelah ventral ditutupi oleh kulit dan fascia, di kiri-kanan linea mediana terdapat otototot infrahyoideus. Di sebelah posterior terdapat faring, yang memisahkan daripada otot-otot prevertebralis. Posisi laring dipengaruhi oleh gerakan kepala, deglutition dan phonasi.1 Batas-batas: 1. Atas



: rongga laring --- aditus laring.



2. Bawah : rongga laring --- kaudal kartilago krokoid. Cartilago Laryngis Dibentuk oleh 3 buah kartilago yang tunggal, yaitu kartilago thyreoidea, kartilago cricoidea, dan kartilago epiglottica, dan 3 pasang kartilago yang terdiri atas kartilago arytenoidea, kartilago corniculata serta kartilago cuneiforme.1



12



B. HISTOLOGI Telinga Luar 1) Auricula Auricula dilapisi oleh kulit tipis dan disokong oleh lempeng tulang rawan elastis 2) Meatus Auditorius Eksternus 3) Saluran berdinding tulang rawan dibatasi oleh kulit berisi kelenjar ceruminosa dan beberapa rambut halus. Kulit meatus eksternus kontinyu dengan lapis luar membrana timpani.2 Telinga Tengah Telinga tengah terdiri atas cavum timpani yang dibatasi oleh epitel selapis kubis, berisi 3 (tiga) tulang pendengaran (malleus, incus, stapes). Cavum timpani berhubungan dengan nasopharing melalui tuba auditorius berdinding tulang rawan.2 Membrana Timpani Mikroskopis membrana timpani terdiri dari 3 (tiga) lapisan yaitu : a) Bagian luar ditutupi kulit, terdiri dari epitel berlapis gepeng tak bertanduk yang tidak ada kelenjar dan rambut.2 b) Bagian tengah (luar, dalam) disebut juga lapisan fibrosa intermedia. Lapisan ini disusun oleh berkas serat kolagen yang tersusun dalam 2 (dua) lapisan.2 c) Bagian dalam lapisan ini dibentuk oleh membrana mukosa yang merupakan lanjutan mukosa rongga timpani. Membran mukosa ini dibentuk oleh epitel selapis gepeng dengan lamina propria yang sangat tipis.2 4) Ossikula Auditorius Ossikula auditorius terdiri 3 (tiga) tulang kecil yaitu: a) Malleus (martil) b) Inkus (landasan) c) Stapes (sanggurdi)



Telinga Dalam 13



1) Koklea Koklea tulang ditempati oleh duktus koklearis yang berisi endolimfe, selanjutnya dibagi menjadi sebelah superior koklea yaitu skala vestibuli dan sebelah inferior yaitu skala timpani yang berisi perilimfe.2 5) Duktus Koklearis Duktus koklearis ditempati organ corti berbentuk spiral terletak diatas membrana basilaris. Organ corti terdiri atas sel claudis, sel Boettcher dan sel-sel Hensen yang seluruhnya membantu dalam pembentukan terowongan luar bersama-sama dengan sel rambut luar falang luar. Membrana tektoria terletak diatas sel rambut luar dan juga sel rambut dalam sehingga membentuk terowongan spiral dalam.2 6) Labirin Membrana Labirin membrana terdiri atas : utrikulus, sakulus dan 3 (tiga) kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus keduanya terisi endolimfe oleh makula. Setiap makula terdiri atas epitel selapis torak yang terdiri atas 2 (dua) jenis sel yaitu sel rambut (neuroepitelial) dan sel penyokong. Permukaan bebas makula memperlihatkan adanya membran otolit yang ditempati partikel kecil disebut otolit.2 Hidung Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius) mukosa penapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel berlapis toraks semu yang mempunyai silia (Ciliated pseudostratified collumner epithelium) dan di antaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung dan permukaan dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia (Pseudostratifed collumner non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel yaitu sel penunjang sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa.2 Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi palut lendir (mucous blanket) pada permukaannnya. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai 14



susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini



memberikan



pendarahan pada anyaman kapiler peri glanduler dan sub epitel.2 Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus



vena yang lebih dalam lalu ke venula dengan demikian



mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil yang sudah mengembang dan mengkerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.2 Faring Bentuk mukosa faring bervariasi tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi maka mukosanya bersilia sedang epitelnya torak berlapis mengandung sel goblet. Di bagian bawahnnya yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.2 Disepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.2 Laring Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid. Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid, dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot.2 Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis dan kartilago tritisea. Kartilago krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh ligamentum krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran. Terdapat 2 buah (sepasang) kartilago aritenoid yang terletak dekat permukaan belakang laring, dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, disebut artikulasi 15



krikoaritenoid. Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan aerikulasi krikoaritenoid.2 C. FISIOLOGI Telinga Seseorang dapat mendengar melalui getaran yang dialirkan melalui udara atau tulang langsung ke koklea. Aliran suara melalui udara lebih baik dibandingkan dengan aliran suara melalui tulang. Getaran suara ditangkap oleh daun Telinga yang dialirkan ke liang telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain.3 Hidung 1. Jalan napas Udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, dan seterusnya. Pada ekspirasi terjadi hal sebaliknya.3 2. Alat pengatur kondisi udara (air condition-ing) Mukus pada hidung berfungsi untuk mengatur kondisi udara. 3. Penyaring udara.3 Mukus pada hidung berfungsi sebagai penyaring dan pelindung udara inspirasi dari debu dan bakteri bersama rambut hidung, dan silia.3 4. Sebagai indra penghidu Fungsi utama hidung adalah sebagai organ penghidu, dilakukan oleh saraf olfaktorius.3 5. Untuk resonansi udara Fungsi sinus paranasal antara lain sebagai pengatur kondisi udara, sebagai penahan suhu, membantu keseimbangan kepala, membantu resonansi suara, sebagai peredam perubahan tekanan udara, membantu produksi mukus dan sebagainya.3 6. Turut membantu proses berbicara.3 7. Refleksi nasal.3 Faring a. Untuk respirasi 16



b. Membantu pada waktu menelan c. Resonansi suara. d. Untuk artikulasi.3 Laring 1. Proteksi (epiglottis). 2. Batuk. 3. Respirasi. 4. Sirkulasi. 5. Menelan. 6. Emosi. 7. Fonasi (pembentukan suara). 8. Menghasilkan bunyi. 9. Mencegah masuknya benda asing ke dalam trakea/bronkus (sphincter).3 2. Patomekanisme gejala pilek dan faktor-faktor yang menimbulkan gejala pilek.



Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presentingcells (APC).Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergendipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yangdiaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthmadan membentuk IgE. IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh 17



karena kedua seltersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofagdan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan allergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada padapermukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca+ + kedalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. 4 Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam prosesdegranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudahterkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyaisifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECFA),Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihatoleh mediator tersebut ialah obstruksi olehhistamin.Histamin menyebabkan Vasodilatasi, penurunan tekanan kapiler & permeabilitas,sekresi mukus. Sekresi mukus yang berlebih itulah yang menghasilkan pilek.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit dengan gejala pilek : 1. Genetik Seseorang dengan riwayat keluarga memiliki penyakit yang bergejala pilek memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menderita penyakit yang sama. 4 2. Lingkungan Lingkungan juga sangat mempengaruhi timbulnya penyakit dengan gejala pilek. Alergen lingkungan dapat berupa outdoor alergen dan indoor alergen. Outdoor alergen berupa pollen, spora jamur, bunga, dan rumput. Indoor alergen berupa debu, jamur, dan binatang peliharaan.4 3. Sistem imun Seseorang yang memiliki sistem imun yang baik tidak akan mudah terkena penyakit. Akan tetapi, sebaliknya seseorang yang memiliki sistem imun yang kurang baik akan mudah terkena penyakit.4 4. Kebugaran Seseorang yamng memilki tubuh yang sehat dan  bugar tidak akan mudah terkena penyakit.4



18



3. Patomekanisme sesak napas. Sesak Napas atau dispnea terjadi bila kerja pernapasan berlebihan. Peningkatan generasi tekanan diperlukan otot pernapasan untuk menimbulkan perubahan volume yang diberikan jika dinding dada atau paru kurang lentur atau jika resistensi terhadap aliran udara ditingkatkan. Peningkatan kerja pernapasan juga terjadi bila ventilasi berlebihan untuk tingkat aktivitas. Meskipun seseorang lebih mudah menjadi dispneik bila kerja pernapasan ditingkatkan, teori kerja tidak menerangkan perbedaan persepsi antara napas dalam dengan bebam mekanis normal dan napas dalam batas normal dengan peningkatan beban mekanis. Kerja mungkin merupakan hal yang sama dengan kedua pernapasan, tetapi yang normal adalah dengan peningkatan beban akan disertai dengan rasa tidak nyaman. Sebenarnya, dengan beban respirasi, seperti penambahan resistensi pada mulut, terdapat peningkatan rangsangan pusat pernapasan, diukur dengan indeks terbaru, yang tidak sesuai terhadap peningkatan kerja pernapasan.5 Pada semua kemungkinan, beberapa mekanisme yang berbeda bekerja pada tingkat yang berbeda dalam berbagai situasi klinis yang disertai dispnea. Terdapat hubungan antara deskriptor sensorik dispnea dan metode dengan dyspnea yang diinduksi pada subjek normal. Selain itu, terdapat hubungan antara deskripsi sensorik tertentu dan proses penyakit yang menyebabkan dispnea. Pada beberapa keadaan, dispnea ditimbulkan oleh stimulasi reseptor dalam traktus respiratorius bagian atas; pada keadaan lain, dispnea ditandai khas oleh aktivasi pusat pernapasan abnormal atau berlebihan dalam batang otak. Aktivasi ini berasal dari stimulus yang ditransmisi dari atau melalui variasi jaras dan struktur, yang termasuk (1) reseptor intertoraks melalui vagus, (2) saraf somatik aferen, terutama dari otot pernapasan dan dinding dada, tetapi juga dari otot dan sendi rangka lain, (3) kemoreseptor dalam otak, badan karotis dan aorta, dan di semua tempat dalam sirkulasi, (4) pusat (kortikal) yang lebih tinggi, dan mungkin (5) serat aferen dalam saraf frenikus.5 4. Hubungan gejala pilek dengan sesak napas. Sesak Napas (Dispnea) merupakan gejala yang ditandai dengan obstruksi saluran pernafasan.8Sedangkan pilek merupakan peningkatan sekret berupa mukus pada nasal. Pada kasus yang telah kami dapatkan sesak napas 19



yang dialami pasien terjadi pada saat pasien masih kecil, sehingga sesak napas ini menjadi riwayat pasien terdahulu. Kami menduga bahwa sesak napas ini merupakan suatu gejala atopik yaitu asthma bronkiale. Gejala atopik merupakan manifestasi dari reaksi hipersensitivitas tipe I, dan gejala ini dapat muncul kapanpun ketika terpapar oleh suatu antigen spesifik.6 Rhinitis Alergi merupakan penyakit yang terjurus pada kasus yang kami bahas dan kasus ini juga merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe I.6



5. Reaksi inflamasi pada jaringan. Stimulus (rangsang) eksogen dan endogen yang sama menyebabkan jejas sel juga menimbulkan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi yang dinamakan inflamasi (peradangan). Dalam arti yang sederhana, inflamasi adalah suatu respons protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal. Inflamasi melaksanakan tugas pertahanannya dengan mengencerkan, menghancurkan, dan menetralkan agen berbahaya (misalnya, mikroba atau toksin). Inflamasi kemudian menggerakkan berbagai kejadian yang akhirnya menyembuhkan dan menyusun kemballi tempat terjadinya jejas. Dengan demikian, inflamasi juga saling terkait erat dengan proses perbaikan, yang mengganti jaringan yang rusak dengan regenerasi sel parenkim, dan/atau dengan pengisian setiap defek yang tersisa dengan jaringan parut fibrosa.7 Walaupun inflamasi membantu membersihkan infeksi dan Bersama-sama dengan proses perbaikan memungkinkan terjadinya penyembuhan luka, baik inflamasi maupun proses perbaikan sangat potensial menimbulkan bahaya. Oleh karena itu, respons radang merupakan dasar terjadinya reaksi anafilaktik yang mengancam nyawa akibat gigitan serangga atau obat, dan merupakan dasar terjadinya reaksi anafilaktik yang mengancam nyawa akibat gigitan serangga atau obat, dan merupakan dasar terjadinya penyakit kronik tertentu, seperti artritis rheumatoid dan aterosklerosis.7 Respon radang memiliki banyak pemain, yaitu sel dan protein plasma dalam sirkulasi, sel dinding pembuluh darah, dan sel sertta matriks ekstraseluler jaringan ikat di sekitarnya. Sel dalam sirkulasi adalah leukosit polimorfonuklear 20



(PMN) yang berasal dari sumsum tulang (neutrophil), eosinophil, dan basophil; limfosit dan monosit; serta trombosit; protein dalam sirkulasi, meliputi faktor pembekuan, kininogen, dan komponen komplemen, sebagian besar disintesis oleh hati. Sel dinding pembuluh darah meliputi sel endotel yanag berkontak langsung dengan darah, dan sel otot polos yang mendasarinya yang memberikan tonus pada pembuluh darah. Sel jaringan ikat meliputi sentinel untuk menginvasi, misalnya sel mast, makrofag, dan limfosit, serta fibroblast yang menyintesis matriks ekstraseluler dan dapat berproliferasi mengisi luka. Matriks ekstraseluler (ECM) terdiri atas protein penyusun fibrosa (misalnya kolagen dan elastin), proteoglikan yang membentuk gel, dan glikoprotein adhesive (misalnya, fibronectin) yang merupakan penghubung sel-ECM dan ECMECM.7 Pada saat respon radang meliputi suatu perangkat kompleks berbagai kejadian yang sangat harmonis. Stimulus awal radang memicu pelepasan mediator kimiawi dari plasma atau dari sel jaringan ikat. Mediator terlarut itu, bekerja bersama atau secara berurutan, memperkuat respons awal radang dan o9memengaruhi perubahannya dengan mengatur respons vaskular dan selular berikutnya. Respons radang diakhiri ketika stimulus yang membahayakan menghilang dan mediator radang telah hilang, dikatabolisme, atau diinhibisi.7 6. Perbedaan antara reaksi inflamasi tipe alergi dan tipe infeksi Reaksi inflamasi pada tipe alergi terjadi akibat aktivasi dari sel mastosit ataupun basofil sehingga histamin dilepaskan. Histamin yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor histamin pada sel endotel dan otot polos pembuluh darah. Reaksi inflamasi yang terjadi yaitu vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler. Selain itu histamin juga sensitisasi saraf sehingga menimbulkan rasa gatal.8 Reaksi inflamasi ini berbeda dengan saat terjadinya infeksi. Pada saat terjadi infeksi, inflamasi yang terjadi diawali dengan sekresi sitokin proinflamasi dari makrofag yang telah memfagositosis mikroba sebelumnya. Selain itu mediator inflamasi juga disekresikan. Pada infeksi, memiliki tanda khas berupa rekruitmen dari sel-sel imun pada jaringan terkait.8 7. Mekanisme dasar alergi (hipersensitifitas) tipe I pada organ terkait. a. Fase Sensitisasi 21



Dalam setiap peristiwa, jika tidak dapat dicapai pemaparan allergen secara adekuat melalui kontak berulang kali dengan mukosa, penelanan, atau melalui suntikan, sedang antibody IgE telah dihasilkan, maka individu dalam jumlah tidak banyak (kadar IgE dalam darah terdapat paling rendah), molekul tersebut sangat cepat terikat oleh mastosit (IgE bersifat sitotropik) ketika beredar dalam darah. Ikatan tersebut telah diketahui berlangsung antara reseptor pada membrane mastosit dan sel basofil dengan bagian Fc dari IgE. Sekali telah terjadi ikatan tersebut, akan dipertahankan dalam beberapa minggu, dan mastosit/basofil tersebut tetap “tersensitisasi” selama IgE yang cukup terikat padanya, yang selanjutnya akan terpicu menjadi aktif apabila Fab IgE terikat oleh allergen yang spesifik.9 b. Fase Aktivasi Ikatan Fc dari IgE dengan molekul reseptor pada permukaan mastosit/sel basofil mempersiapkan sel-sel tersebut untuk bereaksi bila terjadi ikatan antara IgE dengan allergen spesifiknya. Untuk aktivasi mastosit/sel basofil diperlukan hubung silang paling paling sedikit antara 2 molekul reseptor. Hubung silang antarreseptor tersebut tidak perlu secara langsung. Mekanisme hubung silang antarreseptor:9 1) Hubungsilang melalui allergen multivalent yang terikat dengan Fab molekul IgE, 2) Hubungsilang dengan antibodi anti IgE, 3) Hubungsilang dengan antibody anti-reseptor. Aktivasi mastosit tidak saja melalui mekanisme keterlibatan IgE atau reseptornya, melainkan terdapat mekanisme lain yang dikenal. Misalnya anafilatoksin C3a dan C5a (hasil aktivasi komplemen), dan berbagai obatobatan seperti kodein, morfin, dan bahan kontras dalam radiodiagnostik, dapat mengakibatkan reaksi anafilaktoid.9 c. Fase Efektor Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik aktif yang dilepaskan oleh mastosit/sel basofl yang teraktivasi. Terdapat sejumlah mediator yang dilepaskan oleh mastosit/sel basofil yang teraktivasi sebagai pelaksanaan dalam fase efektor.9 8. Gejala-gejala reaksi alergi tipe 1 pada organ THT berhubungan dengan skenario 22



Hipersensitivitas tipe I adalah reaksi hipersensitivitas yang terjadi ketika antigen berikatan dengan antibodi immunoglobulin E (IgE) pada permukaan sel mast yang menyebabkan sel mast mengalami degranulasi dan mengeluarkan beberapa mediator inflamasi. Alergen yang terlibat di reaksi hipersensitivitas ini merupakan antigen spesifik yang pada individu normal tidak menunjukan gejala klinis, namun beberapa individu merespon substansi tersebut dengan memproduksi sejumlah besar IgE dan mengakibatkan terjadinya berbagai manisfestasi klinis alergi.10 Rinitis alergi merupakan bagian dari reaksi hipersensitivitas tipe I. Rinitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa hidung yang ditandai dengan berbagai gejala seperti bersin, gatal pada hidung, hidung tersumbat, rhinorrhea, serta post-nasal drip. Rinitis alergi merupakan reaksi inflamasi mukosa hidung akibat paparan alergen inhalan yang menyebabkan infiltrasi sel-sel inflamasi, mediator inflamasi, sitokin, dan kebocoran plasma. gejala rinitis yaitu intermiten (Intermitten Allergic Rhinitis = IAR) dan persisten (Persistent Allergic Rhinitis = PER). Pada individu dengan IAR mengalami gejala alergi kurang dari 4 kali dalam seminggu selama kurang dari 4 minggu, sedangkan PER mengalami gejala lebih dari 4 kali dalam seminggu atau hampir setiap hari selama lebih dari 4 minggu. . Gejala tipikal pada rinitis alergi yaitu rhinorrhea, bersin, hidung tersumbat, dan gatal pada hidung. Dan kadang terjadi juga gatal pada telinga dan tenggorokan Prinsip tes diagnosis alergi yaitu berdasarkan adanya IgE spesifik alergen di kulit (tes kulit) yaitu secara in vivo dan IgE total di darah (secara in vitro).10 9. Hubungan hipersensitivitas dengan pilek menahun Pilek menahun pada kasus merupakan manifestasi klinis dari rhinitis alergi. Rhinitis Alergi adalah reaksi hipersensitivitas atau reaksi alergi tipe 1 pada saluran pernafasan yang menimbulkan peradangan pada selaput lendir hidung. Definisi Reaksi Hipersensitivitas (Reaksi Alergi) adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami cedera/terluka. Mekanisme dimana sistem kekebalan melindungi tubuh dan mekanisme dimana reaksi hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga melibatkan antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya yang merupakan komponen dalam system imun yang berfungsi sebagai 23



pelindung yang normal pada sistem kekebalan.11 Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahanbahan yang umumnya imunogenik (antigenik)atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia berkasi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahanbahan



yang



menyebabkan



hipersensitivitas



tersebut



disebut



alergen.



Jadi,kesimpulan hubungan antara hipersensitivitas dengan pilek menahun adalah hipersensitivitas menyebabkan terjadinya rhinitis alergi, di mana pilek menahun merupakan gejala klinis dari rhinitis alergi itu sendiri.12 10. DD dan DS berdasarkan scenario A. RINITIS ALERGI Definisi Rinitis alergi meupakan suatu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi dengan dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik pada pasien atopik yang Leher sudah tersensitasi dengan alergen yang sama sebelumnya (Supardi dkk., 2002, Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala Edisi V).13 Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersinbersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan alergen yang diperantarai oleh Ig E.13 Etiologi Peningkatan kadar Ig E terhadap allergen tertentu menyebabkan degranulasi sel mast yang berlebihan. Degranulasi sel mast melepaskan mediator inflamasi (sebagai contoh : histamin) dan sitokin yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal.13 Patomekanisme Pada reaksi Tipe 1 alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, 24



asma dan dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut: 1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (FcЄ -R) pada permukaan sel mast dan basofil. 2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. 3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.13 Sekitar 50%-70% dari masyarakat membentuk IgE terhadap antigen yang masuk tubuh melalui mukosa seperti selaput lendir hidung, paru dan konjungtiva, tetapi hanya 10-20% masyarakat yang menderita rinitis alergi dan sekitar 3-10% yang menderita asma bronkial. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal.13 Reaksi yang terjadi dapat pula berupa eritem (kemerahan oleh karena dilatasi vaskular) dan bentol/edem (pembengkakan yang disebabkan oleh msauknya serum ke dalam jaringan). Puncak reaksi terjadi dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi terjadi perubahan dalam membran sel akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivase fosfolipase. Dalam fase ini energi diaktifkan dan menggerakkan granul – granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh terhadap degranulasi. Peningkatan cAMP akan mencegah, sedang peningkatan cGMP memacu degranulasi. Penglepasan granul ini adalah fisiologik dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi sel mast dapat pula terjadi atas pengaruh anafilatoksin, C3a dan C5a.13



25



(Sherwood, 2014) Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th. IgE diikat oleh sel mast/basofil melalui reseptor fc. Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast/basofil. Akibat ikatan antigen IgE, sel mast/basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator preformed antara lain histamin yang menimbulkan gejala reaksi hipersensitivitas tipe I.13 Ikatan IgE pada permukaan sel mast dengan antigen mengawali jalur sinyal multipel yang merangsang penglepasan granul-granul sel mast (mengandung



amin-protease),



sentesis



metabolit



asam



arakidonat



(prostaglandin,leukotrin) dan sintesis berbagai sitokin. Mediator-mediator tersebut merangsang berbagai reaksi hipersensitifitas tipe cepat.13 Gejala dan tanda Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya, bersin merupakan suatu gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan



mekanisme



fisiologik,



yaitu



proses



membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang- kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang26



kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.13 Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap didaerah bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu, sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease.13 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis mencakup durasi, lama sakit, derajat keparahan, dan sifat gejala. Pencetus, respon terhadap pengobatan, komorbid, riwayat atopi dalam keluarga, pajanan di lingkungan / pekerjaan , dan efek gejala terhadap kualitas hidup harus ditanyakan. Serta harus mendiagnosis kondisi atopi yang berhubungan.13 Komplikasi Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah : 1)



Polip hidung Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.13



2) Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.13 3) Sinusitis paranasal. Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis



alergi,



tetapi



karena



adanya



sumbatan



hidung,



sehingga



menghambat drenase.13 27



B. RINOSINUSITIS Definisi Rinosinusitis adalah penyakit akibat peradangan pada mukosa sinus paranasal dan rongga hidung. Dokter di pelayanan kesehatan primer harus memiliki



keterampilan



yang



memadai



untuk



mendiagnosis,



menatalaksana, dan mencegah berulangnya rinosinusitis. Tatalaksana rinosinusitis yang efektif dari dokter di pelayanan kesehatan primer dapat meningkatkan kualitas hidup pasien secara signifikan, menurunkan biaya pengobatan, serta mengurangi durasi dan frekuensi absen kerja.13 Etiologi a.Rinogen Obstruksi dari ostium Sinus (maksilaris/paranasalis) yang disebabkan oleh 1) Rinitis Akut (influenza) 2) Polip, septum deviasi b. Dentogen Penjalaran infeksidari gigi geraham dengan kuman penyebab : 1) Streptococcus pneumoniae 2) Hamophilus influenza 3) Steptococcus viridans 4) Staphylococcus aureus 5) Branchamella catarhati:



Epidemiologi Angka kejadian sinusitis sulit diperkirakan secara tepat karena tidak ada batasan yang jelas mengenai sinusitis. Dewasa lebih sering terserang sinusitis dibandingkan anak. Hal ini karena sering terjadinya infeksi saluran nafas atas pada dewasa yang berhubungan dengan terjadinya sinusitis. Faktor Risiko Keluhan atau riwayat terkait faktor risiko, terutama pada kasus rinosinusitis kronik, penting untuk digali. Beberapa di antaranya adalah:3 1. Riwayat kelainan anatomis kompleks osteomeatal, seperti deviasi septum 28



2. Rinitis alergi 3. Rinitis non-alergi, misalnya vasomotor, medikamentosa 4. Polip hidung 5. Riwayat kelainan gigi atau gusi yang signifikan 6. Asma bronkial 7. Riwayat infeksi saluran pernapasan atas akut yang sering berulang 8. Kebiasaan merokok 9. Pajanan polutan dari lingkungan sehari-hari 10. Kondisi imunodefisiensi, misalnya HIV/AIDS 11. Riwayat penggunaan kokain Gejala dan tanda 1. Onset timbulnya gejala, dibagi menjadi: a. Akut : < 12 minggu b. Kronis : ≥ 12 minggu 2. Khusus untuk sinusitis dentogenik: a. Salah satu rongga hidung berbau busuk b. Dari hidung dapat keluar ingus kental atau tidak beringus c. Terdapat gigi di rahang atas yang berlubang / rusak Kriteria



diagnosis



rinosinusitis



menurut



American



Academy



of



Otolaryngology : Faktor mayor : 1. Hidung tersumbat 2. Keluar sekret dari hidung atau postnasal discharge yang purulen 3. Nyeri pada wajah 4. Hiposmia/ anosmia Faktor minor: 1. Sakit kepala 2. Demam 3. Halitosis 4. Rasa lemah (fatigue) 5. Sakit gigi 6. Sakit atau rasa penuh di telinga 29



7. Batuk Diagnosis Dasar Penegakkan Diagnosis Rinosinusitis Akut (RSA) Pada orang dewasa Dasar penegakan diagnosis Kriteria



Klinis Sekurangnya 2



faktor



mayor, di mana salah satu







dari



nasal discharge yang



purulen



nyeri pada wajah



Bila rekurens,terdapat



yang jelas Rinoskopi anterior:  Edema dan hiperemia konka 



sekret



discharge



yang



dan dapat disertai: 



nyeri pada wajah







batuk (sepanjang



hari) Tiba-tiba  38oC d. Peningkatan LED / CRP e. Double



sickening,



yaitu



perburukan



setelah



terjadi



perbaikan



sebelumnya DASAR PENEGAKAN DIAGNOSIRINOSINUSITIS KRONIK (RSK) Dasar penegakan diagnosis Kriteria



Pada orang dewasa dan anak Klinis Sekurangnya 2 faktor mayor, di mana salah satu harus: 



hidung tersumbat, atau keluar sekret dari hidung atau postnasal discharge yang purulen



dan dapat disertai:  Durasi



nyeri pada wajah



 hiposmia / anosmia gejala ≥ 12 minggu Pemeriksaan fisik Rinoskopi anterior: 



Edema konka, dapat disertai hiperemia







Sekret mukopurulen



Inspeksi rongga mulut: 31







Sekret pada faring



Pemeriksaan penunjang (foto Rontgen)



 Eksklusi infeksi pada gigi Dianjurkan, bila tidak sembuh setelah 2



Pemeriksaan lain



minggu terapi Elaborasi faktor risiko yang mendasari



Komplikasi Kelainan orbita Penyebaran infeksi ke orbita paling sering terjadi pada sinusitis etmoid, frontal, dan maksila. Gejala dan tanda yang patut dicurigai sebagai infeksi orbita adalah: edema periorbita, selulitis orbita, dan nyeri berat pada mata. Kelainan dapat mengenai satu mata atau menyebar ke kedua mata.Kelainan



intrakranial



Penyebaran



infeksi



ke



intrakranial



dapat



menimbulkan meningitis, abses ekstradural, dan trombosis sinus kavernosus. Gejala dan tanda yang perlu dicurigai adalah: sakit kepala (tajam, progresif, terlokalisasi), paresis nervus kranial, dan perubahan status mental pada tahap lanjut. Komplikasi lain, terutama pada rinosinusitis kronik, dapat berupa: osteomielitis



sinus



maksila,



abses



subperiosteal,



bronkitis



kronik,



bronkiektasis.Kriteria Rujukan Pada kasus RSA, rujukan segera ke spesialis THT dilakukan bila terdapat gejala dan tanda komplikasi, di antaranya: Edema / eritema periorbital, perubahan posisi bola mata, Diplopia, Oftalmoplegia, penurunan visus, sakit kepala yang berat, pembengkakan area frontal, tandatanda iritasi meningeal, kelainan neurologis fokal.3 Prognosis a. Rinosinusitis Akut 1. Ad vitam : Bonam



2. Ad functionam : Bonam 3. Ad sanationam : Bonam b. Rinosinusitis Kronis 1. Ad vitam : Bonam 2. Ad functionam : Dubia ad bonam 3. Ad sanationam : Dubia ad bonam 32



c. Sinusitis Dentogenik 1. Ad vitam : Bonam 2. Ad functionam : Bonam 3. Ad sanationam : Bonam Pencegahan 1. Pencegahan Primer Pencegahan tingkat pertama merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit. Upaya yang dapat dilakukan yaitu memberikan imunisasi lengkap kepada bayi, meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan makanan yang bergizi, dan meminimalkan kontak dengan orang yang sedang mengalami influenza atau penyakit saluran pernafasan lainnya untuk menghindari penularan.13 2. Pencegahan Sekunder Tingkat pencegahan kedua merupakan upaya untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, dan menghindari komplikasi. 13 3. Pencegahan Tersier Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi.45 Upaya yang dapat dilakukan antara lain : makan makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh untuk mempercepat penyembuhan pasca operasi dan pengobatan dengan antibiotik.13



C. POLIP HIDUNG Definisi Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung. Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu – abuan, mengkilat, lunak karena banyak mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah



33



lama dapat berubah menjadi kekuning – kuningan atau kemerah – merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa).13 Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.13 Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan , dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak di bawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel.13 Etiologi Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu – raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak – anak. Pada anak – anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis. Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain alergi terutama rinitis alergi, sinusitis kronik, iritasi, dan sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka.13 Patomekanisme Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip.13 Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa 34



menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media.13 Gejala dan tanda Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung. Sumbatan ini tidak hilang – timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan rinore.13 Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di hidung. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapatkan post nasal drip dan rinorhea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.13 Pada pemeriksaan fisik, polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung.13 Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaannya adalah massa berwarna pucat berasal dari meatus medius, bertangkai, mudah digerakkan, konsistensi lunak, tidak nyeri bila ditekan, tidak mudah berdarah dan pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil. Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lundt (1997) :13 Stadium I: polip masih terbatas di meatus medius 35



Stadium II: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di ronggga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung. Stadium III: polip yang masif. Prognosis Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.13 Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa dekongestan yang berbentuk tetes



hidung



yang bisa mengandung



kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. 13



D. DEVIASI SEPTUM NASAL Definisi Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu:13 1.



Tipe I; benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.



2.



Tipe II; benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.



3.



Tipe III; deviasi pada konka media (area osteomeatal dan turbinasi tengah).



4.



Tipe IV, “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).



5.



Tipe V; tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih normal.



6.



Tipe VI; tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan rongga yang asimetri.



7.



Tipe VII; kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe Itipe VI. 36



Bentuk-bentuk dari deformitas hidung ialah deviasi, biasanya berbentuk C atau S; dislokasi, bagian bawah kartilago septum ke luar dari krista maksila dan masuk ke dalam rongga hidung; penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina; sinekia, bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka dihadapannya.13 Etiologi Penyebab deviasi septum nasi antara lain trauma langsung, Birth Moulding Theory (posisi yang abnormal ketika dalam rahim), kelainan kongenital, trauma sesudah lahir, trauma waktu lahir, dan perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum. Faktor resiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika berkendara.13 Diagnosis Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada batang hidungnya. Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosisnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan bisa normal. Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian, dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi. Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral atau juga bilateral. Keluhan lain ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. 13 Komplikasi Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip.13



37



Penyakit



Rhinitis



Polip



Alergi



Hidung



Defiasi



Rinosinusitis



Septum Nasi



Nasal post



+



+



+



-



drip Pilek



+



+



-



-



-



-



-



Sesak napas



Dapat meningkat



Berdasarkan gejala dan tanda yang ada maka penyakit mendekati yang terkait akan skenario adalah penyakit Rinitis Alergi.



38



11. Penatalaksanaan dari DS A. Rinitis Alergi



Frekuensi



Derajat keparahan



Tata laksana Antihistamin-H1 oral Antihistamin-H1 intranasal



Ringan



Dekongestan Antileuketrien



Intermitten Sedang – berat



Antihistamin-H1 oral Antihistamin-H1 intranasal Kortikosteroid intranasal Dekongestan



Ringan



Antileukotrien Kortikosteroid intranasal



Persisten



Antihistamin-H1



Sedang – berat



Antileukotrien Konjungtivitis : antihistamin oral, introkular atau kromon intraokular Edukasi : hindari pajanan alergen dan iritan



B.



Rinosinusitis Akut (RSA)



Tujuan



penatalaksanaan



RSA



adalah



mengeradikasi



infeksi,



mengurangi severitas dan durasi gejala, serta mencegah komplikasi. Prinsip utama tatalaksana adalah memfasilitasi drainase sekret dari sinus ke ostium di rongga hidung. Tatalaksana RSA dapat dilihat dalam gambar Algoritma tatalaksana RSA.13 Konseling dan Edukasi : 1. Pasien dan atau keluarga perlu mendapatkan penjelasan yang adekuat



mengenai penyakit yang dideritanya, termasuk faktor risiko yang diduga mendasari. 2. Dokter bersama pasien dapat mendiskusikan hal-hal yang dapat membantu



1



mempercepat kesembuhan, misalnya: a) Pada pasien perokok, sebaiknya merokok dihentikan. Dokter dapat membantu pasien berhenti merokok dengan melakukan konseling (dengan metode 5A) atau anjuran (metode pengurangan, penundaan, atau cold turkey, sesuai preferensi pasien). b) Bila terdapat pajanan polutan sehari-hari, dokter dapat membantu memberikan anjuran untuk meminimalkannya, misalnya dengan pasien menggunakan masker atau ijin kerja selama simtom masih ada. c)



Pasien dianjurkan untuk cukup beristirahat dan menjaga hidrasi.



d) Pasien dianjurkan untuk membilas atau mencuci hidung secara teratur dengan larutan garam isotonis (salin).13 C. Polip Hidung



Tujuan



utama



pengobatan



pada



kasus



polip



nasi



ialah



menghilangkan keluhan- keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.13 Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid: 1. Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari, kemudian dosis diturunkan perlahan – lahan (tappering off).



2. Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc, tiap 5– 7 hari sekali, sampai polipnya hilang. 3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan pengobatn kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil, sehingga lebih aman. Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip (polipektomi) dengan menggunakan senar polip. Selain itu bila terdapat sinusitis, perlu dilakukan drainase sinus. Oleh karena itu sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus paranasal untuk melihat adanya sinusitis yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu, pada pasien polip dengan keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus dan adanya perdarahan pembuatan foto sinus paranasal tidak boleh dilupakan.Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan 2



dengan senar polip setelah pemberian dekongestan dan anestesi lokal.Pada kasus polip yang berulang – ulang, perlu dilakukan operasi etmoidektomi oleh karena umumnya polip berasal dari sinus etmoid. Etmoidektomi ada dua cara, yakni : a. Intranasal b. Ekstranasal



Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional).13 D. Deviasi Septum Nasal



1. Analgesik. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit. 2. Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung. 3. Pembedahan, antara lain : a. Septoplasti. b. SMR (Sub-Mucous Resection).13



3



DAFTAR PUSTAKA 1. Luhulima, J. W. Buku ajar anatomi biomedik 1 edisi 3. 2013 : 163-168 2. Lianury, Robby N. Histologi biomedik II. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar 3. Guyton, C.A., Hall, J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 11. Jakarta:EGC. . 2007. 4. Abbas, A.K., Lichtman, A.H., & Pillai. Cellular and Molecular Immunology 6th Edition, Elsevier Publisher, Philadelphia. Academic Publishers, Amsterdam. 2007 5. Canonica, G.W., Durham, S.R. Allergen Immunotherapy for Allergic Rhinitis and Asthma: A Synopsis. World Allergy Organization position paper 2013 update. World Allergy Organ J. 2014 6. Effy Huriyati, Al Hafiz. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Disertai Asma Bronkial. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas - RSUP Dr. M. Djamil Padang 7. Effendi, Z. Peranan Leukosit sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran. USU. 2003. 8. Riwayati. Hipersensitivitas atau alergi. Jurnal Keluarga Sehat sejahtera. 2015:Vol. 13(26) 9. Canonica,G.W., Durham, S.R Allergen Immunotherapy for Rhinitis and Asthma: A. Synopsis. World Allergy Organization position paper 2013 update. World Allergy Organ J. 2014 ; 25-28 10. Rosalina, Elsa. Hubungan Antara Bronkitis Kronik Dengan Riwayat Rinitis



Berulang



Sebagai



Faktor



Resiko.



Skripsi.



Surakarta:



Universitas Sebelas Maret. 2011 11. Chantika Mahadini, Yuliana. Akupuntur Pada Rhinitis Alergi Dengan Menggunakan Metode Jin’s Three Needles. Prodi Akupunktur Poltekkes RS dr. Soepraoen 4



12. Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi) Nuzulul Hikmah, I Dewa Ayu Ratna Dewanti Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jembe 13. Budiman, Bestari J dan Ade Asyari.Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis dengan Polip Nasi.Padang : Jurnal Bagian Telinga Hidung Tenggorokan Balai Bedah Kela Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.Vol.14,No.4:49-61



5