Laprak Parasitologi 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI BLOK 3.4 DIGESTIVE AND NEPHROURINARY DISORDER PEMERIKSAAN FESES



Oleh : Bhargo Hare Nanda Gopala



G1A020091



Rr. Berliana Putri Dyah Anjani



G1A020092



M. Raihan Syaifullah Aditya



G1A020093



KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN PURWOKERTO 2021



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI................................................................................................................2 BAB I PENDAHULUAN............................................................................................3 A. Latar Belakang......................................................................................................3 B. Tujuan Praktikum...................................................................................................4 C. Manfaat Praktikum.................................................................................................4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................5 A. Nematoda Usus......................................................................................................5 B. Soil Transmitted Helminth....................................................................................8 BAB III METODE PRAKTIKUM..........................................................................9 A. Metode Natif (Direct slide)...................................................................................9 B. Metode Apung (Flotation method)......................................................................10 BAB IV HASIL PEMBAHASAN.............................................................................11 A. Hasil..................................................................................................................11 BAB V KESIMPULAN..........................................................................................12 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................13 LAMPIRAN



2



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Feses merupakan hasil dari digesti dan absorpsi asupan air, makanan, saliva, cairan lambung, cairan yang berasal dari pankreas, dan cairan empedu yang berperan pada proses pencernaan makanan. Orang dewasa mengeluarkan feses antara 100-300 gram/hari yang 70% diantaranya adalah tinja. Bentuk dan komposisi feses bergantung pada proses absorbsi, sekresi dan fermentasi. Feses normal akan berwarna kuning yang berasal dari pigmen empedu oleh bakteri, tidak lembek, tidak keras, berbau khas (Setya, 2015). Pemeriksaan feses merupakan pemeriksaan yang umum dilakukan untuk mendeteksi dan menemukan adanya telur cacing pada feses manusia. Pemeriksaan laboratorium lainnya yang dapat dilakukan sebagai penanda infeksi parasit adalah pemeriksaan eosinofil (Suraini dan Irwan, 2020). Pemeriksaan feses bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif. Kualitatif yaitu pemeriksaan yang ditemukan adalah telur cacing pada masing-masing metode pemeriksaan tanpa dihitung jumlahnya. Pemeriksaan feses secara kuantitatif yaitu pemeriksaan feses didasarkan pada penemuan telur pada setiap gram feses (Regina et al., 2018). Metode natif (direct slide) merupakan pemeriksaan kualitatif yang sensitif, murah, mudah dan pengerjaan cepat, namun kurang sensitif pada infeksi ringan. Metode lain yang sering digunakan adalah metode sedimentasi yang menggunakan larutan dengan berat jenis yang lebih rendah dari organisme parasit, sehingga parasit dapat mengendap di bawah. Metode ini terdiri dari metode sedimentasi biasa yang hanya memanfaatkan gaya gravitasi, dan metode sedimentasi Formol-Ether (Ritchie) yang menggunakan gaya sentrifugal dan



3



larutan formalin-eter pada cara kerjanya (Regina et al., 2018). Metode Apung pengerjaannya cukup lama dan lebih sering digunakan pada feses yang mengandung sedikit telur cacing. Sedangkan metode sedimentasi kadang memberikan hasil negatif palsu karena terdapat partikel yang rusak atau tidak mengendap karena kesalahan pada sentrifugasi (Suraini dan Sophia, 2020 ). B. Tujuan Praktikum 1. Mahasiswa mampu menjelaskan dan melakukan pemeriksaan feses dengan metode natif dan metode apung. 2. Mahasiswa mampu menganalisis dan menginterpretasi hasil pemeriksaan pada metode apung. 3. Mahasiswa mengetahui macam - macam Soil Transmitted Helminth yang menginfeksi sistem digestif. C. Manfaat Praktikum 1. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan feses dengan metode natif dan apung 2. Mahasiswa memahami mekanisme metode natif dan apung untuk pemeriksaan feses 3. Mahasiswa dapat menganalisis hasil pemeriksaan feses dengan metode natif dan metode apung terutama pada infeksi cacing atau parasit yang terdapat pada feses 4. Mahasiswa dapat menginterpretasi hasil pemeriksaan feses



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nematoda Usus 1. Ascaris lumbricoides Ascaris lumbricoides, adalah parasit nematoda (Keluarga Ascaridida) yang menginfeksi manusia. Cacing gelang manusia A. lumbricoides adalah salah satu parasit paling umum di dunia, menginfeksi 1,2 miliar orang di seluruh dunia. Infeksi paling sering didokumentasikan di sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia Timur. Spektrum penyakit yang terkait dengan infeksi A. lumbricoides dikenal sebagai ascariasis, dan morbiditas yang dinilai sebagai disabilitas yang disesuaikan dengan kehidupan (DALYs) adalah sekitar 10,5 juta] Selanjutnya, morbiditas dengan konsekuensi kesehatan yang serius diamati pada 122 juta kasus per tahun. Namun, ascariasis masih dianggap sebagai penyakit tropis yang terabaikan (NTD) (Dold et al, 2011). 2. Cacing Tambang a. Necator americanus Cacing tambang Necator americanus adalah parasit manusia yang ditularkan melalui tanah yang dominan. Cacing dewasa memakan darah di usus kecil, menyebabkan anemia defisiensi besi, malnutrisi, stunting pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak, dan morbiditas dan mortalitas yang parah selama kehamilan pada wanita. Siklus hidup N. americanus dimulai dengan telur yang ditumpahkan dalam tinja orang yang terinfeksi. Telur berembrio di tanah dalam kondisi yang menguntungkan, dan kemudian larva tahap pertama menetas, memakan mikroba lingkungan dan berganti kulit dua kali untuk menjadi larva tahap ketiga yang infektif (iL3). Larva ini menginfeksi inang manusia melalui



5



penetrasi kulit, memasuki pembuluh darah dan getah bening subkutan, dan berjalan melalui sirkulasi ke paru-paru. iL3 masuk ke alveoli dan bermigrasi melalui trakea ke orofaring, setelah itu mereka ditelan dan berjalan ke usus kecil, di mana mereka berkembang menjadi dewasa dioecious. Cacing dewasa (panjang ~ 1 cm) menempel pada mukosa, di mana mereka memakan darah (hingga 30 l per hari per cacing), dan dapat bertahan hidup di inang manusia hingga satu dekade. Masa pra-paten N. americanus adalah 4-8 minggu, dan cacing betina dapat menghasilkan hingga 10.000 telur per hari (Tang et al, 2014) b. Ancylostoma duodenale A. duodenale endemik di wilayah Mediterania, di wilayah utara India dan Cina dan di Afrika Utara. Di beberapa bagian Afrika, Cina, India dan tempat lain, tidak jarang ditemukan infeksi campuran pada manusia dengan N. americanus dan A. duodenale. A. duodenale dianggap sebagai pemakan boros (tidak semua darah yang dicerna dicerna) dan bertanggung jawab atas kehilangan darah yang 10 kali lipat lebih berat daripada yang disebabkan oleh N. americanus. Selain itu, infeksi A. duodenale dikaitkan dengan peningkatan prevalensi IDA lebih banyak dibandingkan dengan infeksi N. americanus (Loukas et al, 2016) 3. Strongyloides stercoralis Mayoritas dari 30-100 juta orang yang terinfeksi Strongyloides stercoralis, nematoda usus yang ditularkan melalui tanah, memiliki infeksi subklinis (atau tanpa gejala). Infeksi ini umumnya kronis dan berlangsung lama karena proses autoinfeksi yang terkait dengan siklus hidupnya yang unik. Perubahan status kekebalan dapat meningkatkan jumlah parasit, menyebabkan sindrom hiperinfeksi, penyebaran, dan kematian jika tidak dikenali. Penggunaan kortikosteroid dan infeksi HTLV-1 paling sering dikaitkan dengan sindrom hiperinfeksi. Parasit dewasa Strongyloides berada di usus kecil dan menginduksi respon imun baik lokal maupun sistemik yang 6



tetap ditandai dengan buruk. Diagnosis pasti infeksi S. stercoralis didasarkan pada pemeriksaan tinja untuk larva, tetapi diagnostik yang lebih baru – termasuk immunoassay baru dan tes molekuler – akan menjadi primadona dalam beberapa tahun ke depan. Meskipun pilihan pengobatan yang baik ada untuk infeksi dan pengendalian infeksi ini mungkin dilakukan, S. stercoralis sebagian besar tetap diabaikan (Nutman et al, 2017). 4. Trichuris trichiura Trichuris trichiura, juga dikenal sebagai cacing cambuk manusia, adalah cacing gelang yang menyebabkan trikuriasis pada manusia. Disebut cacing cambuk karena bentuknya seperti cambuk dengan gagang lebar di ujung belakangnya. Cacing cambuk memiliki kerongkongan anterior yang sempit dan anus posterior yang tebal. Cacing biasanya berwarna merah muda dan menempel pada inang melalui ujung anterior yang ramping. Ukuran cacing ini bervariasi dari 3 sampai 5 cm. Betina biasanya lebih besar dari jantan. Cacing betina dapat bertelur dari 2.000 hingga 10.000 telur per hari. Telur-telur tersebut disimpan di tanah dari kotoran manusia. Setelah 14 hingga 21 hari, telur matang dan memasuki tahap infektif. Jika manusia menelan telur berembrio, telur mulai menetas di usus kecil manusia dan memanfaatkan mikroflora usus dan nutrisi untuk berkembang biak dan tumbuh. Mayoritas larva pindah ke sekum, menembus mukosa, dan matang menjadi dewasa. Infeksi yang melibatkan beban cacing tinggi biasanya akan melibatkan bagian distal usus besar. Trichuriasis adalah 1 dari 3 infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah (STH) yang terdokumentasi dengan baik; 2 lainnya adalah ascariasis dan infeksi cacing tambang. Ini dianggap sebagai penyakit tropis yang terabaikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC). Anak-anak tampaknya rentan terhadap parasit dan sanitasi yang buruk dikaitkan dengan beban penyakit yang berat. Di beberapa bagian Asia dan Afrika di mana kondisi kebersihan



7



kurang, prevalensi cacing cambuk manusia sangat tinggi (Viswanath et al, 2021). B. Soil Transmitted Helminth Soil-transmitted helminths (STH) yaitu Ascaris lumbricoides, cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan Trichuris trichiura adalah salah satu infestasi cacing gastrointestinal yang paling umum pada manusia di negara tropis dan subtropis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan lebih dari dua miliar penduduk dunia terinfeksi STH. Sejumlah penelitian telah menyarankan bahwa bahkan infeksi dengan intensitas sedang dapat mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan fisik dan gangguan perkembangan kognitif, terutama di antara anak-anak usia sekolah dan infeksi STH dianggap sebagai penyebab utama penyakit, ketidakhadiran dan kecacatan yang disesuaikan dengan tahun kehidupan. DALYs) hilang. Di India, prevalensi STH yang dilaporkan berkisar antara 12,5-66 persen, dengan tingkat prevalensi yang bervariasi untuk parasit individu. Risiko tertular infeksi STH dan prevalensi yang lebih tinggi tidak dapat dikaitkan hanya dengan satu faktor, tetapi karena koeksistensi dan penggabungan berbagai faktor biologis, sosial, perilaku dan lingkungan seperti kemiskinan, kondisi hidup di bawah standar dan kurangnya kebersihan pribadi, baik di tingkat individu dan masyarakat. Studi di negara tropis lainnya telah mendalilkan bahwa lingkungan dan perilaku penduduk setempat mempengaruhi tingkat infeksi (Kattula et al, 2014).



8



BAB III METODE PRAKTIKUM A. Metode Natif (Direct slide) Metode natif dapat digunakan untuk mengidentifikasi telur cacing khususnya pada infeksi yang berat. Kekurangan dari metode ini adalah kurang sensitif untuk mengidentifikasi telur cacing pada infeksi ringan. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaan eosin 2% dimaksudkan untuk memberi warna sehingga telur terlihat lebih jelas dan memudahkan membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya. A. Alat dan Bahan 1.



Object glass



2.



Pipet tetes



3.



Lidi



4.



Cover glass



5.



Mikroskop



6.



Feses



7.



Eosin 2%



B. Cara kerja 1. Object glass yang bersih di teteskan 1-2 tetes NaCl fisiologis atau eosin 2% 2. Ambil sedikit tinja dengan menggunakan lidi kemudian letakkan pada object glass yang sudah ditetesi dengan Nacl fisiologis atau eosin 2% 3. Ratakan /larutkan campuran tersebut, kemudian tutup dengan cover glass. 4. Amati dibawah mikroskop



9



B. Metode Apung (Flotation method) Metode ini menggunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. A. Alat dan Bahan 1. Tabung reaksi 2. Rak tabung 3. Gelas ukur 4. Penyaring teh 5. Batang pengaduk (Lidi) 6. Object glass 7. Cover glass 8. Mikroskop 9. Beaker glass B. Cara kerja 1. Siapkan alat dan bahan 2. Tuangkan NaCl 33% jenuh kedalam beaker glass sebanyak 100 ml. 3. Campurkan 100 ml NaCl jenuh dengan 10 gram tinja, aduk sehingga homogen. 4. Selanjutnya disaring dengan menggunakan penyaring teh. 5. Masukkan campuran tinja dan larutan NaCl yang telah disaring tersebut ke dalam tabung reaksi hingga penuh dan terlihat cembung. 6. Diamkan selama 5-10 menit, lalu tempelkan cover glass, lalu letakkan cover glass pada permukaan campuran yang terdapat pada tabung reaksi. Kemudian pindahkan ke atas object glass 7. Selanjutnya letakkan preparat pada meja spesimen kemudian amati menggunakan mikroskop. 10



BAB IV HASIL PEMBAHASAN A. Hasil



Interpretasi hasil : Negatif karena tidak ditemukan sel telur cacing maupun larva infektif B. Pembahasan Pada praktikum parasitologi kali ini sampel feses diambil dari seorang anak berusia 9 tahun bernama Mulki Alfarisi. Berdasarkan pemeriksaan mikroskopis sampel feses menggunakan metode apung didapatkan hasil negatif dari infeksi parasit. Hasil ini ditunjukkan oleh tidak ditemukannya sel telur cacing maupun larva infektif dalam sampel feses probandus. Hal ini sebagai parameter bahwa hygiene dari probandus yang baik.



11



BAB V KESIMPULAN 1. Pemeriksaan feses merupakan pemeriksaan yang umum dilakukan untuk mendeteksi dan menemukan adanya telur cacing pada feses manusia. 2. Pemeriksaan feses bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif. 3. Metode natif (direct slide) merupakan pemeriksaan kualitatif yang sensitif, murah, mudah dan pengerjaan cepat, namun kurang sensitif pada infeksi ringan 4. Metode Apung pengerjaannya cukup lama dan lebih sering digunakan pada feses yang mengandung sedikit telur cacing. 5. Pada praktikum kali ini, hasil pemeriksaan feses pada responden bernama Mulki Alfarisi dengan metode apung didapatkan bahwa hasil negatif karena tidak ditemukan adanya telur cacing ataupun larva infektif dalam feses.



12



DAFTAR PUSTAKA Dold, C., Holland, C.V., 2011. Ascaris and ascariasis. Microbes and infection, 13(7): 632-637. Kattula, D., Sarkar, R., Ajjampur, S.S.R., Minz, S., Levecke, B., Muliyil, J., Kang, G. 2014. Prevalence & Risk Factors for Soil Transmitted Helminth Infection Among School Children in South India. The Indian journal of medical research. 139(1): 76. Loukas, A., Hotez, P.J., Diemert, D., Yazdanbakhsh, M., McCarthy, J.S., CorreaOliveira, R., Croese, J., Bethony, J.M. 2016. Hookworm infection. Nature Reviews Disease Primers. 2(1): 1-18. Regina, M. P., Halleyantoro, R., Bakri, S. 2018. Perbandingan Pemeriksaan Tinja Antara Metode Sedimentasi Biasa Dan Metode Sedimentasi Formol-Ether Dalam



Mendeteksi



Soil-Transmitted



Helminth.



Jurnal



Kedokteran



Diponegoro. 7(2): 527–537. Setya, A.K. 2015. Parasitologi: Praktikum Analis Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Suraini, S., Irwan, L. 2020. Pengaruh Infeksi Kecacingan Terhadap Nilai Laju Endap Darah. In Prosiding Seminar Kesehatan Perintis. 3(1): 25-25. Suraini, S., Sophia, A. 2020. Evaluasi dan Uji Kesesuaian Pemeriksaan Telur Cacing Soil Transmitted Helminths Menggunakan Metode Langsung, Sedimentasi Dan Flotasi. In Prosiding Seminar Kesehatan Perintis. 3(2): 31-36. Tang, Y.T., Gao, X., Rosa, B.A., Abubucker, S., Hallsworth-Pepin, K., Martin, J., Tyagi, R., Heizer, E., Zhang, X., Bhonagiri-Palsikar, V.,Minx, P. 2014. Genome of the human hookworm Necator americanus. Nature genetics. 46(3): 261-269.



13



Viswanath, A., Yarrarapu, S.N.S. and Williams, M., 2021. Trichuris Trichiura. StatPearls LAMPIRAN



14