Lapsus HNP Cervical Yusnita Pelamonia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS KLINIK RS TK. II PELAMONIA



PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA HYPOMOBILE CERVICAL WITH RADICULAR PAIN ET CAUSA HERNIA NUCLEUS PULPOSUS GRADE II WITH STENOSIS FORAMEN INTERVERTEBRALIS C6-C7



DISUSUN OLEH : YUSNITA PO. 71.424.1.16.1.079 Tingkat IV kelas B



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR JURUSAN FISIOTERAPI PROGRAM STUDI D.IV TAHUN 2020



LEMBAR PENGESAHAN Laporan kasus praktek klinik atas nama Yusnita dengan NIM PO714241161079 di Poliklinik Fisioterapi/Rehabilitasi Medik RS TK. II Pelamonia dengan judul kasus “Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Hypomobile Cervical With Radicular Pain Et Causa Hernia Nucleus Pulposus Grade II With Stenosis Foramen Intervertebralis C6-C7”. Telah disetujui oleh Pembimbing Lahan (Clinical Educator) sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan praktek klinik di Poliklinik Fisioterapi/Rehabilitasi Medik RS TK. II Pelamonia.



Makassar, 20 Mei 2020



Clinical Educator



Andi Adriana,.S.Ft,.Physio NIP. 19760620 20007 12 2001



Preceptor



Sudaryanto, S.ST.Ft., M.Fis NIP. 19720421 199003 1 002



KATA PENGANTAR Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyusun laporan kasus ini yang berjudul “Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Hypomobile Cervical With Radicular Pain Et Causa Hernia Nucleus Pulposus Grade II With Stenosis Foramen Intervertebralis C6-C7 Laporan kasus ini merupakan salah satu dari tugas praktek klinik di Poliklinik Fisioterapi/Rehabilitasi Medik RS TK. II Pelamonia. Selain itu juga laporan kasus ini bertujuan memberikan informasi mengenani penatalaksaan fisioterapi untuk kasus tersebut. Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak / Ibu dosen Fisioterapi Politeknik Kesehatan Makassar 2. Bapak / Ibu pembimbing Poliklinik Fisioterapi/Rehabilitasi Medik RS TK. II Pelamonia selaku Clinical Edukator 3. Teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan Laporan Kasus ini. Saya menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan laporan ini. Dan semoga dengan selesainya laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman yang membutuhkan. Makassar, 20 Mei 2020



Penulis



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak orang yang menderita akibat mengalami nyeri pada leher, bahu, dan lengan. Nyeri tumpul maupun tajam yang bersifat menjalar dari leher hingga ke lengan dan jari, dan



kadang juga disertai dengan rasa tebal dan



kesemutan. Bahkan pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan motorik ekstremitas bawah. gejala – gejala tersebut sering disebut dengan nyeri radix cervical (Radicular Cervical Pain) yang paling sering disebabkan oleh



herniasi



diskus



intervertebralis



cervikalis



sehingga



menekan radix (akar saraf) pada cervikal dan menyebabkan nyeri pada daerah yang dipersarafi radix tersebut. Keadaan ini disebut sebagai HNP cervikalis atau Hernia Nukleus Pulposus Cervikal (Helmi, 2014). HNP cervikalis dapat terjadi akibat proses degeneratif maupun trauma yang mencederai



vertebra



cervikalis.



Proses



degeneratif



dan



trauma



ini



menyebabkan perubahan pada struktur diskus intervertebralis yang terletak diantara masing masing badan (corpus) vertebracervicalis, sehingga fungsinya sebagai penahan tekanan (shock absorbes) terganggu danmenyebabkan substansi diskus keluar (herniasi) hingga menekan radix saraf bahkan medulaspinalis dan menyebabkan gejala-gejala tersebut. Ketika materi lunak dari nucleus pulposus mengalami herniasi melalui robekan pada annulus fibrosus,maka disebut "soft disc herniation" karena material dari diskus yang mengalami herniasi mempunyai konsistensi yang lunak. Namun demikian, tanpa adanya robekan atau defek pada annulus fibrosus, gejala dari kelainan vertebra cervical tetap dapat terjadi akibat



pembentukan bone spur (pertumbuhan yang berlebihan dari spikula tulang) pada tepi vertebra sehingga menekan saraf atau medulla (Helmi, 2014). HNP secara umum dapat terjadi pada semua columna vertebralis, dari cervikal hinggalumbal. HNP cervikalis merupakan HNP tersering kedua setelah kasus HNP lumbalis. Sekitar 51% dari orang dewasa pernah mengalami periode nyeri pada leher dan lengan sepanjanghidupnya. 25% diantaranya terdapat gambaran herniasi diskus pada hasil MRI ( Magnetic Resonance Imaging) yang terjadi pada kelompok usia kurang dari 40 tahun, dan 60% diantaranya terjadi pada kelompok usia lebih dari 60%.



Di



Indonesia



angka



kejadian



HNPcervikalis sekitar 5-10% dari seluruh populasi penderita HNP. Sekitar 60% diantaranya terjadi pada kelompok usia lebih dari 30-40 tahun. Pada penderita HNP Cervical umumnya lebih banyak terjadi pada pria secara radiologis miolepati servical muncul pada pria diusia dekade ketiga sebanyak 13 % dan 100% pada usia 70 tahun keatas. Pada wanita mileopati muncul sebanyak 5 % didekade keempat dan 96 % diatas usia 70 tahun Pasien biasa mengeluh nyeri pada leher akan memburuk saat bergerak, tertawa, bersin dan batuk, pasien juga mengalami kelemahan pada otot sehingga menurunkan kemampuan penderita dalam bergerak. Pasien biasa mengalami kesemutan serta pada tingkat tertentu pasien merasakan mati rasa.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Tinjauan Tentang Kasus Hernia Nucleus Pulposus Cervical 1. Definisi Hernia Nucleus Pulposus Cervical Hernia Nucleus Pulposus cervikal adalah saraf terjepit juga sering terjadi di daerah leher. Herniated nucleus pulposus (HNP) secara umum digunakan untuk kelainan pada vertebra cervicalis, pergeseran (displacement) nucleus pulposus tidak selalu merupakan Herniasi vertebra cervicalis dapat dikategorikan menjadi tiga tipe : (1) herniasi tipe lunak (soft disc herniation) yang meliputi herniasi nucleus pulposus melalui robekan pada annulus fibrosus, (2) herniasi tipe keras (hard disc protrusion) yang meliputi pembentukan bone spur, atau (3) kombinasi keduanya. Ketika materi lunak dari nucleus pulposus mengalami herniasi melalui robekan pada annulus fibrosus,maka disebut "soft disc herniation" karena material dari diskus yang mengalami herniasi mempunyai konsistensi yang lunak. Namun demikian, tanpa adanya robekan atau defek pada annulus fibrosus, gejala dari kelainan vertebra cervical tetap dapat terjadi akibat pembentukan bone spur (pertumbuhan yang berlebihan dari spikula tulang) pada tepi vertebra sehingga menekan saraf atau medula spinalis. Hal ini disebut "hard disc herniation" karena terbentuk dari bone spur (Helmi, 2014).



2. Anatomi biomekanik cervical a. Anatomi segmen cervical Secara keseluruhan, cervical terdiri atas 2 segmen anatomikal dan fungsional yang terdiri dari : 1) Segmen superior (suboccipital), terdiri atas C1 atau yang biasa disebut atlas dan C2 atau yang biasa disebut axis yang dianggap sebagai upper cervical spine. Struktur tulang atlas dan axis berbeda dengan struktur tulang vertebra cervical lainnya (Shen et al., 2015). a) Atlas atau C1 Atlas adalah segmen pertama dari vertebra cervical, bersumber di occiput empat dan scleretomes cervical pertama. Atlas memiliki tiga letak ossifikasi yaitu anterior arch atau centrum dan dua neural arch yang akan menyatu menjadi posterior arch. Cincin dari atlas terdiri dari 1 sampai 5 anterior arch, 2 sampai 5 posterior arch, dan sisanya 2 sampai 5 adalah massa lateral. Atlas memiliki 2 massa lateral yaitu facies artikularis superior yang bersendi dengan condylus occipital, dan facies artikularis inferior yang bersendi dengan facies artikularis superior axis (Boriani et al., 2017). Atlas berbentuk seperti cincin dengan diameter transversal yang lebih besar daripada diameter anteroposterior. Atlas dianggap sebagai cincin antara occiput dan axis. Atlas memiliki ciri khas yang berbeda diantara segmen vertebra lainnya yaitu tidak memiliki corpus dan processus spinosus (Moore et al., 2018) (Gambar 2.1).



Gambar 2.1 Atlas (C1) sisi superior Sumber : Moore et al (2018) Atlas memiliki 2 massa lateral yang berbentuk oval dan berjalan secara oblique, anterior dan medial. Kedua massa tersebut adalah facies artikularis superior yang bersendi dengan condilus occipitalis dan facies artikularis inferior yang bersendi dengan facies artikularis axis superior. Pada arkus anterior terdapat facet artikular yang berbentuk oval kecil dan bersendi dengan processus odontoid axis dan processus transversal atlas memiliki foramen untuk lintasan arteri vertebralis yang dikenal dengan foramen tranversum (Shen et al., 2015). b) Axis atau C2 Axis adalah segmen kedua dari vertebra cervical dan dikenal juga sebagai opistropeus secara harfiah artinya tikungan karena dilihat dari susunannya itu membentuk sebuah sumbu untuk atlas dan merupakan kepala dari rotasi. Axis memiliki lima letak pusat osifikasi yaitu satu di badan, satu di setiap vertebral arch dan dua di processus odontoid (Boriani et al., 2017).



Axis merupakan vertebra cervicalis paling kuat. C1 yang membawa cranium berotasi pada C2, seperti orang menggelengkan kepala untuk mengatakan “tidak”. Axis memiliki dua permukaan yang rata dan besar yaitu facies articularis superior, yang membentuk sendi dengan atlas dengan menghasilkan gerakan rotasi. Ciri khas axis adalah dens menyerupai gigi tumpul (processus odontoid), yang berproyeksi kearah superior pada corpus atlas. Baik dens maupun medulla spinalis dengan selubungnya dikelilingi oleh atlas. Dens terletak pada bagian anterior dari medulla spinalis dan berperan sebagain poros rotasi. Dens ditahan dalam posisinya melawan aspek posterior arcus anterior atlas oleh ligamentum transversum atlantis. Ligament tersebut memanjang dari satu massa lateral atlas ke yang lain, yang berjalan diantara dens dan medulla spinalis, membentuk dinding posterior “socket” yang membungkus dens. Oleh karena itu, ligament tersebut mencegah pergeseran dens ke posterior dan pergeseran atlas ke anterior. Setiap pergeseran akan mengganggu bagian foramen vertebralis C1 yang memberikan jalur bagi medulla spinalis. C2 memiliki processus spinosus bifida yang besar dan dirasakan disebelah dalam pada sulcus nuchae, sulcus vertical superfisial pada bagian belakang cervical (Moore et al., 2018)



Gambar 2.2 Axis (C2), sisi posterosuperior Sumber : Moore et al (2018) Facies artikularis superior dari C2 bersendi dengan facies artikularis inferior dari atlas, sedangkan facies artikularis posterior bersendi dengan ligament atlas tranversal. Foramen vertebra C2 lebih kecil daripada vertebra cervical lainnya dan berbentuk segitiga (Moore et al., 2018). 2) Segmen Inferior Segmen lower cervical memiliki ciri khas yaitu memiliki corpus vertebra yang kecil, lebar dan berperan dalam weight-bearing. Permukaan superior pada setiap sisi yang bentuknya seperti tempat duduk akan membentuk processus uncinatus. Processus uncinatus bersambung dengan facet diatasnya yang sama membentuk uncovertebral joint atau joints of Luscka (Atkins et al., 2010). Facies artikularis yang hampir horizontal pada processus articularis juga memungkinkan gerakan fleksi, ekstensi dan lateral fleksi. Tepi superolateral yang meruncing adalah processu uncinatus. Processus spinosus vertebra C3-C6 pendek dan biasanya berbentuk bifida pada orang



kulit putih tetapi biasanya tidak bifida pada orang keturunan Afrika. C7 adalah vertebra yang paling menonjol, ditandai dengan processus spinosusnya yang panjang. Oleh karena processus spinosusnya sangat menonjol pada C7 maka disebut dengan vertebra prominens. (Moore et al., 2018). Segmen middle dan lower cervical memiliki gambaran anatomi dan fungsional yang sama, terdiri atas : 2 corpus vertebra, diskus intervertebralis, facet joint beserta dengan struktur ligamen dan kapsular. Setiap vertebra cervical terdiri atas 3 pilar yang membentuk 3 columna vertebra yang paralel dan berfungsi menopang beban cervical spine. Pilar anterior adalah corpus vertebralis, yang diikat oleh diskus intervertebralis untuk membentuk columna anterior. Dua columna posterior terbentuk dari pilar artikular, yaitu facet superior dan inferior yang berlawanan satu sama lain dan diikat oleh kapsul sendi. Orientasi permukaan facet yang spesifik memungkinkan facet joint dapat menopang berat segmen cervical di atasnya dan mencegah dislokasi (Menchetti, 2016). Komponen bangunan pada setiap segmen gerak vertebra terdiri atas diskus intervertebralis, facet joint dan ligament 1) Discus intervertebralis Diskus intervertebralis adalah struktur avaskular yang ada di antara corpus vertebra yang berdekatan, kecuali pada atlantooccipital dan persimpangan atlantoaksial. Setiap cakram memiliki lapisan luar yang disebut annulus fibrosus dan bagian dalam yang disebut nukleus pulposus (Gambar 2.4). Perbatasan diskus dengan corpus vertebra dibatasi oleh



lapisan ujung kartilago. Selain struktur ligamen dan sendi facet, annulus fibrosus menambah stabilitas segmen gerak (Shen et al., 2015). Segmen gerak didefinisikan sebagai dua corpus vertebra yang berdekatan dan diantaranya terdapat diskus intervertebralis. Nukleus pulposus berfungsi sebagai shock absorber. Annulus fibrosus tersusun oleh sekitar 90% serabut konsentrik jaringan collagen yang nampak menyilang satu sama lainnya secara oblique dan menjadi lebih oblique kearah sentral. Susunan serabutnya yang kuat melindungi nukleus di dalamnya dan mencegah terjadinya prolapsus nukleus. Secara mekanis, annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring atau gulungan pegas terhadap beban tension dengan mempertahankan corpus vertebra secara bersamaan melawan tahanan dari nukleus pulposus yang bekerja seperti bola (Shen et al., 2015). Bertambahnya usia menyebabkan lapisan annulus fibrosus menjadi tipis. Pada umur di atas 50 tahun, nukleus pulposus menjadi sulit diidentifikasi karena menjadi fibrocartilago yang menyerupai annulus fibrosus secara struktural. Annulus fibrosus terdiri dari cincin dengan orientasi serabut membentuk lamella. Serabut dari masing-masing lamella berorientasi dalam bidang tegak lurus terhadap lamella yang berdekatan. Serabut-serabut dari bagian posterior diskus lebih vertikal daripada miring, sehingga sebagian menjelaskan frekuensi relatif dari robekan radial yang terlihat dalam gerakan (Shen et al., 2015). Diskus cervical akan bertambah tinggi dari 0,3 menjadi 0,7 inchi sejak lahir hingga remaja. Pertumbuhan tinggi diskus lebih lambat



daripada tinggi corpus vertebra. Sepertiga dari panjang tulang belakang berhubungan dengan tinggi diskus saat lahir. Diskus intervertebralis membentuk seperlima dari total panjang tulang belakang setelah usia 7 tahun. Pada bidang coronal, permukaan superior diskus berbentuk cekung dan permukaan inferiornya berbentuk cembung untuk menyesuaikan bentuk corpus vertebra yang berdekatan (Shen et al., 2015). Pada bagian anterior diskus lebih tebal daripada bagian posterior untuk memfasilitasi kurva lordosis pada cervical. Gerakan di bidang koronal dibatasi oleh processus uncinate. Namun, diskus memungkinkan untuk melakukan gerakan anteroposterior. Hernia diskus kearah posterolateral lebih sedikit kejadiannya, hal ini kemungkinan akibat lokasi dari processus uncinate pada bagian posterolateral. Meskipun demikian, robekan radial pada diskus sisi posterior mungkin lebih relevan secara klinis, konsentris, transversus, dan robekan radial juga terjadi pada diskus cervical (Shen et al., 2015). 2) Ligament Ligament adalah jaringan konektif khusus yang sifat biomekaniknya memungkinkan untuk beradaptasi dan menjalankan fungsi kompleks yang dibutuhkan tubuh. Ligament terdiri dari pita-pita padat dari jaringan kolagen yang mmenghubungkan sendi. Ligament berfungsi sebagai stabilisasi pasif yang akan menginhibisi gerakan sendi yang abnormal (Cereatti et al., 2011). a) Ligament longitudinal anterior dan longitudinal posterior



Ligamen longitudinal



anterior dan longitudinal posterior



membentuk serabut terluar annulus fibrosus. Ligamen longitudinal anterior berjalan dari dasar tengkorak sebagai membran atlantooksipital anterior dan berlanjut ke inferior yaitu sacrum pada sisi anterior dari diskus vertebra. Ligamen



longitudinal posterior



berdekatan dengan membran tectorial dan meluas ke sakrum di dalam canal vertebralis di sepanjang sisi posterior diskus dan corpus vertebra. Ligamen longitudinal posterior memiliki dua lapisan, di mana serabut lapisan yang lebih dalam bersambung dengan annulus fibrosus dan foramina intervertebralis, dan lapisan superfisial membungkus duramater, akar saraf, dan arteri vertebra sebagai lapisan jaringan ikat (Shen et al., 2015).



Gambar 2.3 Ligament anterior dan posterior longitudinal vertebra Sumber : Shen et al (2015)



b) Ligament flavum Ligament flavum menghubungkan lamina yang berdekatan dari aksis ke sakrum (Gambar 2.6). Hal ini berjalan miring dari sisi anterior lamina cephalad ke lapisan superior lamina caudal. Ligament flavum berlanjut ke lateral menuju foramina intervertebralis, yang terdiri dari serabut elastis. Seiring bertambahnya usia, sifat elastis ligamen flavum mengalami penuruna. Selama ekstensi trunk, berkurangnya elastisitas ligamen dapat menyebabkan ligament bagian anterior tertekuk ke canal vertebralis, sehingga dapat menimbulkan kompresi pada medula spinalis. Vena keluar melalui celah garis tengah di ligament flavum (Shen et al., 2015).



Gambar 2.4 Ligament flavum Sumber : Shen et al (2015) c) Ligament interspinosus Ligament interspinosus menghubungkan processus spinosus yang berdekatan (Gambar 2.5). Ligament ini berjalan di antara ligament flavum anterior dan ligament supraspinosus posterior. Di daerah



cervical, ligamen interspinosus agak tipis dan tidak berkembang dengan baik. Ligamen ini menempel miring dari sisi posterosuperior processus spinosus ke caudal (Shen et al., 2015)



Gambar 2.5 Ligament interspinosus Sumber : Shen et al (2015) d) Ligament supraspinosus Ligament supraspinosus menghubungkan ujung posterior dari processus spinosus (Gambar 2.6). Karena tidak ada ligament supraspinosus pada level cervical ini, ligament nuchae menjadi perpanjangan ligament supraspinosus. Ligament nuchae memanjang dari tonjolan occipital eksternal ke C7 dan berfungsi sebagai titik perlekatan untuk otot yang berdekatan (Shen et al., 2015).



Gambar 2.6



Ligament supraspinosus dan ligament nuchae Sumber : Shen et al (2015) e) Ligament intertransversal Ligament ini melekat pada tuberculum accesori dari processus transversus dan berkembang baik pada regio lumbal. Ligament ini berperan sebagai stabilisator pasif pada gerakan lateral fleksi (Shen et al., 2015). 3) Facet joint dan uncovertebralis joint Facet joint adalah synovial joint sejati yang mengandung artikular kartilago dan meniscus yang dibungkus oleh ligament capsular dan dilapisi oleh sinovium. Facet joint memfasilitasi gerak fleksi dan ekstensi pada regio cervical. Garis facet joint tampak lebih horizontal dengan tepi bulat ketika dilihat dari aspek posterior. Jarak interfacet bervariasi mulai dari 9 mm sampai 16 mm (Shen et al., 2015). Uncovertebral joint atau joint of Luschka dibentuk antara processus uncinatus dan facet pada corpus vertebra diatasnya. Uncovertebral joint hanya terdapat pada cervical spine yang berkontribusi untuk mobilitas yang menyediakan komponen tranlasi gliding saat fleksi dan ekstensi dengan stabilitas spine yang baik dengan membatasi side fleksi. Uncovertebral joint memberikan proteksi tulang ke akar saraf dari pemindahan discus posterolateral (Atkins et al., 2010). Setiap facet joint dibungkus oleh kapsul fibrous, dibatasi oleh membran sinovial, serta terdapat cartilago dan meniskus. Cervical facet joint juga memiliki jaringan intraartikular yang meliputi beragam bentuk



dan ukuran, yang terdiri dari jaringan fibrous dan jaringan adipose. Penelitian Inami et al terhadap 20 cadaver menjelaskan bahwa komposisi lipatan sinovial atau meniscoid merupakan struktur yang berkembang baik didalam jaringan intraartikular. Para peneliti tersebut menemukan 3 tipe lipatan sinovial dengan jumlah jaringan fibrous dan adipose yang bervariasi, sehingga dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan level stress mekanikal yang terjadi pada struktur ini, dan lipatan sinovial ini berperan penting sebagai sumber nyeri facet cervical joint. Penelitian Kallakuri et al terhadap kapsul sendi facet cervical pada cadaver menemukan bahwa kapsul facet cervical joint terlibat langsung sebagai generator nyeri pada cervical spine (Atkins et al., 2010). Bogduk menjelaskan tentang innervasi facet cervical joint, dimana facet joint C3 – C4 sampai C8 – Th1 diinnervasi oleh cabang medial ramus dorsalis cervical pada atas dan bawah sendi sebagaimana cabang ini berjalan mengelilingi kedua pilar artikular. Facet joint C2 – C3 diinnervasi oleh 2 cabang ramus dorsalis C3 yang berbeda yaitu cabang medial yang disebut dengan saraf occipital ketiga dan cabang artikular yang terpisah muncul dari cabang yang berdampingan (Gambar 2.9). Sendi sinovial upper cervical (atlanto-occipital dan atlanto-axial joint) tidak diinnervasi oleh ramus dorsalis cervical tetapi oleh cabang ramus ventral C1 dan C2 (Atkins et al., 2010).



Gambar 2.7 Struktur Facet Joint Cervical Sumber : Atkins et al., 2010 b. Anatomi muscle dan fascia Otot-otot posterior cervical dibagi menjadi tiga kelompok: superfisial, menengah, dan dalam. 1) Kelompok superfisial diantarnya otot trapezius, yang dipersarafi oleh saraf kranial kesebelas atau saraf aksesori tulang belakang (Gambar 2.8). Otot trapezius berasal dari ligament nuchae dan tonjolan oksipital eksternal, berlanjut ke processus spinosus T12, dan termasuk tulang scapula, akromion, dan sepertiga lateral clavicula. Otot trapezius berfungsi untuk mengangkat, menambah, dan menekan skapula (Shen et al., 2015).



Gambar 2.8 Otot trapezius Sumber : Shen et al (2015)



2) Otot-otot di lapisan tengah adalah splenius capitis dan splenius cervicis (Gambar 2.9). Otot-otot ini berasal dari processus spinosus vertebra servicothoracal dan masuk ke processus transversus vertebra servical atas dan pangkal tulang oksipital. Ketika berkontraksi secara bilateral, maka gerakannya ekstensi leher, dan ketika berkontraksi secara unilateral, setiap otot maka gerakannya lateral fleksi ipsilateral (Shen et al., 2015).



Gambar 2.9 Gambar 2.9 Grup otot spinotransversales (splenius capitis and splenius cervicis) Sumber : Shen et al (2015) 3) Otot-otot dalam posterior dipersarafi oleh rami primer posterior, dan suplai darah yang berasal dari pembuluh servical bagian dalam. Lapisan dalam terdiri dari permukaan yang dangkal dan otot erector spine bagian dalam. Dari lateral ke garis tengah, otot erector spine bagian dalam meliputi iliocostalis cervicis, longissimus capitis, longissimus cervicis, dan spinalis cervicis (Gambar 2.10). Semispinalis cervicis, multifidus dan rotator cuff adalah otot-otot transversospinalis dari tulang belakang posterior yang mewakili otot-otot erector spine bagian dalam (Gambar 2.11). Otot-otot ini berasal dari processu transversus dan disisipkan pada



procesuss spinosus dengan cara miring, melintasi sejumlah segmen tulang belakang tertentu (Shen et al., 2015).



Gambar 2.10 Grup otot erector spine Sumber : Shen et al ( 2015)



Gambar 2.11 Grup otot transversospinales and segmental muscles Sumber : Shen et al (2015) Di regio upper cervical, otot-otot suboccipital melekat dari oksiput ke atlas dan akxis (Gambar 2.11). Rami primer posterior mempersarafi otot-otot ini. Otot rektus capitis posterior mayor berasal dari processus spinosus aksis dan memasukkan ke dalam garis nuchal inferior oksiput. Otot rektus capitis posterior minor berasal dari atlas tuberkulum posterior dan masuk ke dalam oksiput. Otot inferior capitis obliquus berasal dari processus spinosus aksis



dan masuk ke processus transversus atlas. Otot superior obliquus capitis berasal dari processu transversus atlas dan masuk di antara garis nuchal superior dan inferior ke oksiput (Shen et al., 2015) Segitiga suboksipital dibentuk oleh batas-batas rektus capitis mayor posterior dan otot obliquus capitis superior dan inferior. Segitiga suboksipital terdiri dari arteri vertebralis, saraf suboksipital (rami dorsal C1), dan pleksus vena suboksipital. Otot-otot ini terlibat dalam gerakan ekstensi leher dan kepala yang lebih halus (Shen et al., 2015).



Gambar 2.12 Grup otot suboccipital dan segitiga suboccipital Sumber : Shen et al (2015) Otot servical anterolateral terdiri dari platysma, sternocleidomastoid (SCM), otot hyoid, otot pengikat laring (omohyoid, thyrohyoid, sternohyoid, dan sternothyroid), scaleni, longus colli, dan longus capitis. Platysma, otot yang paling dangkal, memanjang dari pectoralis mayor dan fasia deltoid dan berlanjut dari sisi medial dan superior di atas klavikula melekat pada mandibula, otot-otot bibir, dan kulit bagian bawah wajah. Saat berkontraksi,



otot platysma menyebabkan depresi bibir dan rahang bawah, serta kerutan pada kulit di atasnya. Pada sudut mandibula dan dalam ke platysma, vena jugularis eksternal dapat terlihat turun (Shen et al., 2015). Otot Sternocledomastoideus terletak jauh ke dalam platysma dan memiliki dua kepala: sternum dan klavikula medial. Sternocledomastoideus masuk ke garis nuchal mastoid superior (Gambar 2.13). Jika hanya satu sternocledomastoideus yang berkontraksi maka menyebabkan kepala miring ke sisi ipsilateral dan dagu berputar ke sisi kontralateral. Jika kedua otot sternocledomastoideus



berkontraksi,



akan



menyebabkan



fleksi



leher.



Sternocledomastoideus dipersarafi oleh saraf aksesori tulang belakang dan saraf tulang belakang C2. Kontraktur sternocledomastoideus terlibat dalam patogenesis tortikolis (Shen et al., 2015).



Gambar 2.13 Otot segitiga superior Sumber : Shen et al (2015) Kelompok otot yang melekat pada hyoid termasuk digastrik, stylohyoid, mylohyoid, geniohyoid, dan omohyoid. Sternohyoid dan sternothyroid terdiri dari otot-otot laring. Otot-otot ini penting sebagai petanda selama medekati



sisi anterior ke tulang belakang leher karena tidak secara langsung mengontrol gerakan servical (Shen et al., 2015). Otot longus colli dan longus capitis terletak di bagian anterior tulang servical dan merupakan bagian dari otot prevertebral. Longus colli berasal dari tuberkel anterior dari processus transversus C3 ke C6 dan membentang dari C1 ke T3 dengan cara miring untuk dimasukkan ke sisi anterior atlas. Berasal dari tuberkulum anterior dari processus transversus C3 ke C6, otot longus capitis menempel pada permukaan inferior bagian basilar dari tulang oksipital. Jauh ke dalam longus capitis, otot rectus capitis anterior berasal dari sisi lateral atlas dan masuk ke dalam pangkal tulang oksipital. Rektus capitis lateralis berasal dari processus transversus atlas dan masuk ke permukaan inferior dari processus jugularis oksiput. Berasal dari tuberculum anterior processus transversus C3 ke C6, otot anterior skalenus masuk ke tulang rusuk pertama. Otot skalenus medius berasal dari tuberculum posterior processus transversus C2 ke C7 dan masuknya pada tulang rusuk pertama. Scalenus posterior berasal dari tuberkel posterior processus transversus C4 ke C6 dan masuk ke permukaan superior lateral tulang rusuk kedua (Shen et al., 2015). Leher anterior terdiri dari fascia yang melekat pada otot-otot dan viscera dalam kompartemen terpisah yang dapat digunakan untuk pedoman dalam pembedahan. Fascia superfisial terletak di antara kulit dan fascia profunda, mengandung lemak dan jaringan areolar. Fascia ini membungkus otot platysma, vena jugularis eksternal, dan saraf sensorik kulit. Jauh dari fascia superfisial, terdapat tiga lapisan fascia profunda: fasia lapisan luar,



fascia cervical tengah, dan fascia prevertebralis. Lapisan terluar fascia profunda memanjang ke otot trapezius, berlanjut ke anterior di atas segitiga posterior, dan membelah untuk mengelilingi otot sternocledomastoideus. Lapisan tengah fascia servical yang dalam membungkus otot omohyoid, tali otot dan berlanjut ke lateral skapula. Kelenjar tyroid, laring, trachea, pharing, dan kerongkongan tertutup oleh fascia visceral pada aspek yang lebih dalam dari lapisan tengah. Alar fascia sering digambarkan sebagai bagian dari fascia prevertebralis dan meluas ke esophagus posterior dan menutupi selubung karotis di lateral. Isi selubung karotis adalah arteri karotis, vena jugularis interna, dan saraf vagus. Otot scalenus, longus colli, dan ligamen longitudinal anterior berhubungan dengan lapisan terdalam fascia dalam yang dikenal sebagai fascia prevertebralis (Shen et al., 2015). c. Biomekanik cervical 1) Upper Cervical a) Atlanto-occipital (C0 –C1) Atlanto occipital joint atau C0 – C1, gerakan terjadi pada bidang sagital. Gerakan yang terjadi pada atlanto occipital joint adalah fleksi dan ekstensi. Selama gerakan fleksi, condylus occipital akan rool ke depan dan translasi ke belakang terhadap massa lateral sedangkan atlas translasi ke belakang terhadap occiput. Selama gerakan ekstensi, massa lateral akan rool ke depan dan condyluss occipital translasi ke belakang (Mc Kenzie and May, 2012). Atlanto-occipital joint memberikan gerakan fleksi-ekstensi dan meminimalkan derajat lateral fleksi dan rotasi, sedangkan atlanto-axial



joint bekerja dalam dua gerakan sekaligus, yaitu rotasi ditambah dengan sedikit lateral (Tabel 2.1). Gerakan fleksi-ekstensi C1 (misalnya, gerakan mengangguk) terjadi karena permukaan artikularis superior C1 berbentuk konkaf atau cekung sedangkan condylus occipitalis berbentuk konveks atau cembung (Menchetti, 2016). Tabel 2.1 Batas pergerakan craniocervical Joint C0 – C1 C1 – C2



Motion Fleksi/Ekstensi Lateral fleksi (unilateral) Rotasi axial (unilateral) Fleksi/Ekstensi Lateral fleksi (unilateral) Rotasi axial (unilateral) Sumber : Menchetti (2016)



ROM 25 5 5 25 5 40



(1) Gerakan fleksi dihasilkan melalui gerakan roll condylus ke depan dan sliding ke belakang melewati dinding anterior cekungan occipital. Sebaliknya, kombinasi gerakan terjadi pada ekstensi. Gaya axial dibawa oleh massa kepala dan otot-otot dapat mencegah berpindahnya condylus ke atas, mempertahankan condylus tetap berada di dalam dasar rongga. Total ROM normal fleksi-ekstensi pada atlanto-occipital joint memiliki nilai rata-rata antara 14 dan 35°, berkisar dari 0 hingga 25° atau nilai rata-rata 14° dengan standar deviasi 15°. Selama gerakan ini, telah diobservasi terjadi translasi kearah anterior atau posterior. Selain itu, tahanan lain terhadap gerakan fleksi berasal dari benturan pada dasar tengkorak, ketegangan otot-otot posterior, kapsul sendi dan kontak jaringan submandibular terhadap tenggorokan (Menchetti, 2016).



(2) Gerakan ekstensi dibatasi oleh kompresi otot-otot suboccipital terhadap occiput. Gerakan rotasi dan lateral fleksi dari atlantooccipital joint sangat terbatas, sekitar 5°, karena adanya hambatan dari cekungan atlantal yang lebih dalam pada saat condylus occipital dalam posisi rest. Dalam pandangan biomekanik, selama gerakan rotasi aksial ke satu sisi, condilus occipital kontralateral kontak dengan dinding anterior dari cekungan atlantal, sementara condylus occipital ipsilateral terbentur pada dinding posterior atlantal. Oleh karena itu, sebagian besar stabilitas sendi berasal dari kedalaman cekungan C1; dinding kedua sisinya dapat mencegah translasi lateral, dinding bagian depan dan belakang dapat mencegah dislokasi anterior dan posterior (Menchetti, 2016). b) Atlanto-axial joint (C1 – C2) Atlanto axial joint atau C1 – C2 adalah sendi yang paling mobile saat bergerak diantara segmen lainnya dengan total 60° sampai 70° dari rotasi aksial. Selama rotasi, atlas dan occiput bergerak dalam satu unit, berputar pada processus odontoid dari axis



(Mc Kenzie and May,



2012). Complex atlanto-axial joint terbentuk oleh dua lateral facet joint, yaitu atlantodental joint yang unik dan sendi antara permukaan posterior odontoid dan ligament transversal, merupakan sendi sinovial jenis sendi putar, yang terbentuk oleh 3 sendi yaitu 1 sendi middle yang dibentuk oleh atlas arc (arkus anterior) dengan dens (proc. odontoid) dan 2 sendi lateral yang dibentuk oleh 2 massa lateralis yaitu facies



artikularis inferior atlas yang bersendi dengan facies artikularis superior axis. Sendi ini juga tidak memiliki diskus intervertebralis (Menchetti, 2016). Stabilitas pada sendi yang sangat mobile ini sangat bergantung pada struktur ligament, karena beberapa kapsul lateral sendi berbeda dengan atlanto-occiipital joint yang lunak. Fungsi utamanya adalah untuk menahan beban axial dari kepala dan atlas serta untuk mentransmisikan beban tersebut kedalam cervical dibawahnya. Untuk fungsi ini, kearah lateral C2 terdapat facet artikularis superior yang luas sehingga dapat menopang massa lateral C1 dan membentuk sendi lateral atlanto-axial. Kearah sentral terdapat processus odontoid yang bertindak sebagai "pivot" dan membentuk sendi median atlanto-aksial joint (Menchetti, 2016). Untuk mencapai gerakan rotasi axial, arkus anterior atlas berputar dan sliding disekitar pivot. Oleh karena itu, gerakan rotasi axial ini, kearah anterior ditahan oleh sendi median atlanto-axial dan kearah inferior ditahan oleh sendi lateral atlanto-aksial, yang juga subluksasi. Secara khusus, massa lateral ipsilateral C1 slide kearah belakang dan medial, sedangkan massa lateral kontralateral C1 slide ke depan dan medial (Menchetti, 2016) (Gambar 2.16). Selama rotasi aksial, sendi atlanto-axial lateral slide melintasi permukaan datar tulang cervical. Tetapi, kartilago sendi pada facet atlantial dan axial adalah konveks dalam bidang sagital, sehingga membentuk sendi bikonveks dalam strukturnya. Selain gambaran



anatomis tersebut, ruang anterior dan posterior yang dibentuk oleh permukaan articularis, terisi oleh meniscoid intra-artikular yang besar, yang berfungsi mempertahankan film cairan sinovial pada permukaan artikular (Menchetti, 2016). Ketika C1 berotasi, facet atlantial ipsilateral mengalami slide ke bawah posterior slope dari setiap facet aksial, sementara salah satu facet kontralateral akan slide ke bawah anterior slope dari facet aksial. Setelah rotasi kebalikannya, C1 naik kembali ke puncak facetnya. Jadi, rotasi aksial C1 membutuhkan anterior displacement dari salah satu massa lateral dan reciprocal posterior displacement pada massa lateral kontralateral. Jika cartilagi sendi asimetris, maka terjadi amplitudo kecil lateral fleksi yang menyertai rotasi axial. Struktur utama yang menahan rotasi aksial adalah ligamen alar dan kapsul sendi; untuk membatasi rotasi, lateral atlanto-axial joint hampir mengalami subluksasi. ROM normal rotasi C1 di atas C2 adalah bervariasi (Menchetti, 2016). Saat ini, beberapa ahli telah mengukur kinematik normal upper cervical dengan MRI dalam posisi netral dan selama fleksi-rotasi Dvorak’s test. Hasil pengukuran melaporkan rotasi segmental C1-C2 dalam posisi netral sebesar 77,6o dan dalam posisi fleksi-rotasi test sebesar 65o. Gerakan dalam bidang sagital (fleksi-ekstensi) pada C1-C2 telah dilaporkan oleh beberapa ahli menunjukkan nilai rerata 11 o dan dapat difasilitasi oleh ujung processus odontoid yang disekitarnya (Menchetti, 2016).



Selain itu, ketika seluruh cervical fleksi maka terjadi ekstensi pada C1 dan ketika cervical spine ekstensi maka C1 akan fleksi. Gerakan sliding C1 ke belakang dibatasi oleh benturan arkus anterior C1 melawan processus odontoid, sementara tergelincirnya C1 ke depan dicegah oleh ligamen transverse dan ligamen alar. Adanya subluksasi atau dislokasi dapat menyebabkan kerusakan kedua ligamen. Translasi anterior C1 diatas C2 sampai 3 mm dianggap normal dengan pengukuran anterior atlantodental interval. Jika hasil pengukuran AADI meningkat menjadi 5 mm atau lebih, maka ligamen transverse dan asesori dianggap rusak. Ketika ligamen transverse rusak maka dislokasi rotiasi juga dapat terjadi pada 45o rotasi (Menchetti, 2016).



Gambar 2.14 Rotasi axial (C1-C2) : (a). axial view, lengkungan anterior C1 bergeser disekitar processus odontoid (arrows). (b). sagital view, massa lateral C1 subluksasi (arrow) bergerak ke depan melintasi artikularis superior C2 Sumber : Menchetti (2016) c) Vertebroaxial joint (C2-C3) Meskipun C2-C3 sering dianggap sendi lower cervical, namun sendi ini memeliki beberapa perbedaan yang khas dalam morfologi. Sebuah pilar yang menunjukkan axis pada corpus terlihat menyerupai



"akar" yang dalam pada cervical spine yang khas, mempertahankan upper cervical tetap pada columna cervical. Bahkan, orientasi facet joint C2-C3 terlihat unik; orientasi facetnya inklinasi kearah medial sekitar 40o dan kearah bawah, sementara facet joint level lower secara khas dalam arah transversal (Menchetti, 2016). Kinematik utama dari sendi C2-C3 terjadi selama rotasi axial plus lateral fleksi. Menurut Mimura et al, rotasi axial C2-C3 adalah sama dengan rotasi segmen lower servical, dengan nilai rerata 7o, sedangkan lateral fleksi secara signifikan adalah berbeda, dengan nilai rerata -2 o pada C2-C3 dibandingkan level C3-C4 dan C4-C5. Dengan kata lain, tilting kearah sisi yang sama terjadi saat C2-C3 berotasi kearah lateral fleksi ipsilateral (Menchetti, 2016). 2) Mid dan Lower Cervical Spine Mulai dari C2 ke bawah terbentuk intervertebral joint atau facet joint dimana terletak lebih kearah bidang transversal. Facet joint dibentuk oleh processus artikular inferior vertebra atas dengan processus artikular superior vertebra bawah, sehingga memungkinkan gerakan leher ke segala arah. Disamping facet joint, juga terbentuk uncovertebralis joint yang bukan merupakan sendi sebenarnya tetapi merupakan pertemuan tepi lateral dari corpus vertebra cervical (Menchetti, 2016). Gerakan pada segmen C2-C3 sampai C6-C7 melibatkan diskus intervertebralis dan 4 sendi yaitu 2 sendi facet dan 2 sendi uncovertebralis (joint of Luschka). Karena orientasi facet joint lebih kearah bidang transversal maka lateral fleksi dan rotasi terjadi secara bersamaan dalam



arah yang sama, sehingga tidak pernah terjadi lateral fleksi murni atau rotasi murni (Menchetti, 2016). Pada segmen C3 – C7 dapat menghasilkan luas gerak sendi yang paling luas pada leher. Inklinasi dari permukaan facet pada vertebra C3 – C7 adalah 45° kearah bidang horizontal. Seperti pada segmen C2 – C3, lateral fleksi dan rotasi pada segmen C3 – C7 terjadi secara bersamaan dalam arah yang sama karena permukaan sendi dalam bidang oblique. Bagaimanapun juga, pada setiap segmen gerak terjadi slide yang berlawanan arah dalam permukaan sendi. Sebagai contoh, pada saat rotasi kanan atau lateral fleksi kanan maka facet articular superior sisi kiri akan slide kearah superior – anterior sementara facet articular superior sisi kanan akan slide kearah posterior – inferior diatas permukaan articular inferior. Total Luas gerak sendi lateral fleksi pada regio ini adalah 35 – 37°, dan total rotasi adalah 45°. Pada saat fleksi dan ekstensi murni maka kedua facet superior pada setiap segmen gerak akan slide dalam arah yang sama. Pada saat fleksi, kedua facet bergerak kearah superior, dan pada saat ekstensi kedua facet bergerak kearah inferior. Total luas gerak sendi fleksi – ekstensi pada lower cervical adalah 100 – 120° (Menchetti, 2016).



3. Etiologi Hernia Nucleus Pulposus Cervical Penyebab dari Hernia Nucleus Pulposus biasanya didahului dengan perubahan degeneratif. Kehilangan protein polisakarida dalam discus menurunkan kandungan air. Perkembangan pecah yang menyebar di anulus



melemahkan pertahanan pada herniasi nucleus. HNP kebanyakan oleh karena adanya



suatu



trauma



derajat



sedang



yang



berulang



pada



discus



intervertebralis sehingga menimbulkan sobeknya annulus fibrosus. Pada kebanyakan pasien gejala trauma bersifat singkat. Kemudian pada generasi diskus kapsulnya mendorong kearah medulla spinalis, memungkinkan nucleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal (Helmi, 2014). 4. Proses Patologi Hernia Nucleus Pulposus Cervical Diskus intervertebralis didesain untuk mengabsorbsi goncangan dan tekanan yang ditransmisikan melalui struktur rangka tubuh. Bagian tengah diskus intervertebralis tersusun dari bahan mirip gel yang disebut nucleus pulposus. Nucleus tersebut dikelilingi oleh jaringan ikat kolagen yang menyusun batas luar discus disebut annulus fibrosus. HNP (Herniated Nucleus Pulposus) terjadi akibat adanya beban tekanan terhadap tulang belakang yang terjadi secara tiba-tiba atau dalam jangka waktu lama. Ketika terjadi beban tekanan pada diskus intervertebralis, nucleus akan terdorong ke arah dinding annulus. Seiring dengan terjadinya peningkatan beban tekanan, maka mulai terjadi robekan pada serat annulus dan terjadi perubahan bentuk diskus intervertebralis. Diskus biasanya akan terdorong kearah postero-lateral (49 % kasus), posterocentral (8%), lateral/foraminal (