Lapsus SCB + Pterygium [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Mata merupakan salah satu organ penting dalam sistem indra tubuh kita yang berfungsi sebagai indra penglihatan. Mata kita selalu digunakan selama 24 jam, maka mata rentan terkena berbagai paparan misalnya sinar ultraviolet, angin, panas ataupun pasir yang dapat menyebabkan berbagai keluhan. Perdarahan subkonjungtiva merupakan salah satu kondisi yang sering terjadi. Dari segi usia, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok umur, namun hal ini dapat meningkat kejadiannya sesuai dengan pertambahan umur. Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%). Pada perdarahan subkonjungtiva tipe spontan tidak ditemukan hubungan yang jelas dengan suatu kondisi keadaan tertentu (64.3%).1 Kondisi lain yang sering terjadi pada mata adalah pterigium. Pterigium merupakan salah satu keluhan pada mata yang ditandai dengan pertumbuhan fibrovaskular pada konjungtiva bulbi ke arah kornea2, dan sinar ultraviolet dikatakan merupakan salah satu penyebab dari keluhan ini.2,3,4 Pterigium tersebar luas di dunia tetapi lebih sering terjadi pada daerah dengan iklim panas dan kering. Berdasarkan penelitian, pterigium terjadi 11 kali lebih banyak pada pekerja yang berhubungan dengan pasir, 9 kali pada pasien dengan riwayat tanpa memakai kacamata dan 2 kali pada pasien yang tidak memakai topi.4 Pada laporan kasus ini penting untuk membahas tentang perdarahan subkonjungtiva dan pterigium dari segi definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis banding, diagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, hingga prognosis.



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2. 1 Anatomi Konjungtiva Konjungtiva adalah membran mukosa transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebra) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbar). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.3 Konjungtiva palpebra melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konungtiva bulbar.3 Konjungtiva bulbar melekat longgar ke septum orbital di fornices dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik.3,4 Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.1 Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu:2 



Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus.







Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.







Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.



2.2 Perdarahan Subkonjungtiva a. Definisi Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rupturnya pembuluh darah konjungtiva. Darah terdapat di antara konjungtiva dan sklera sehingga mata akan terlihat merah.2 2



b. Epidemiologi Dari segi usia, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok umur, namun hal tersebut dapat meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%). Pada perdarahan subkonjungtiva tipe spontan tidak ditemukan hubungan yang jelas dengan suatu kondisi keadaan tertentu (64.3%). Kondisi lain yang memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva adalah hipertensi (14.3%).1 c. Etiologi 4,5,6,7 1. Idiopatik Suatu penelitian menyebutkan adanya kaitan genetik polimorfisme faktor XIII dengan terjadinya perrdarahan subkonjungtiva. Pada penelitian tersebut disimpulkan baik homozigot maupun heterozigot faktor XIII merupakan faktor predisposisi dari perdarahan subkonjungtiva spontan 2. Manuver Valsalva ( batuk, tegang, muntah – muntah, bersin) 3. Traumatik 4. Hipertensi 5. Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda tanpa adanya riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati atau hematologik, diabetes, SLE, parasit dan defisisensi vitamin C. 6. Beberapa obat memiliki hubungan dengan terjadinya perdarahan subkonjungtiva, seperti penggunaan heparin dan warfarin. 7. Faktor resiko mayor perdarahan subkonjungtiva yang diinduksi oleh penggunaan lensa kontak adalah konjungtivakhalasis dan pinguecula. d. Patofisiologi Konjungtiva mengandung serabut saraf dan sejumlah besar pembuluh darah yang halus. Pembuluh- pembuluh darah ini umumnya tidak terlihat secara kasat mata kecuali bila mata mengalami peradangan. Pembuluh-pembuluh darah di konjungtiva 3



cukup rapuh dan dindingnya mudah pecah sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan subkonjungtiva tampak berupa bercak berwarna merah terang di sklera.1 Karena struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat menyebar secara difus di jaringan ikat subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus. Pendarahan berkembang secara akut, dan biasanya menyebabkan kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak berbahaya. Apabila tidak ada kondisi trauma mata, maka ketajaman visual tidak berubah karena perdarahan terjadi murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai rasa sakit.7 Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan yang datar, berwarna merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat.1 Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat trauma, ataupun infeksi. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah konjungtiva atau episklera yang bermuara ke ruang subkonjungtiva. Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi dua, yaitu :7 1.



Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan Sesuai namanya perdarahan subkonjungtiva ini adalah terjadi secara tiba –



tiba (spontan). Perdarahan tipe ini diakibatkan oleh menurunnya fungsi endotel sehingga pembuluh darah rapuh dan mudah pecah. Keadaan yang dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh adalah umur, hipertensi, konjungtivitis hemoragik, anemia, pemakaian antikoagulan dan batuk rejan. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi unilateral. Namun pada keadaan tertentu dapat menjadi bilateral atau kambuh kembali 2.



Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik. Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sebelumnya mengalami trauma pada



mata secara langsung atau tidak langsung yang mengenai kepala daerah orbita. Perdarahan yang terjadi kadang – kadang menutupi perforasi jaringan bola mata yang terjadi.



4



e. Manifestasi Klinis Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan perdarahan subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera. Keadaan yang terjadi pada perdarahan subkonjungtiva antara lain :8 -



Sangat jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan subkonjungtiva pada permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa tidak nyaman, terasa ada yang mengganjal dan penuh di mata.



-



Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah terang (tipis) atau merah tua (tebal). Tidak ada tanda peradangan, kalaupun adanya biasanya peradangan yang ringan.



-



Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu kemudian akan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi.



f. Diagnosis dan Pemeriksaan Anamnesis dan temuan secara klinis dapat membantu penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut. Apabila perdarahan subkonjungtiva idiopatik terjadi untuk pertama kalinya, langkah-langkah diagnostik lebih lanjut biasanya tidak diperlukan.9 Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan memberi tetes mata proparacaine (topikal anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena sakit dan curiga etiologi lain jika nyeri terasa berat atau terdapat fotofobia. Kemudian dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan, terutama pada perdarahan subkonjungtiva traumatik. Salah satu studi mengenai perdarahan subkonjungtiva traumatik dan hubungannya dengan luka / injuri lainnya oleh Lima dan Morales di rumah sakit Juarez Meksiko tahun 1996 – 2000 menyimpulkan bahwa sejumlah pasien dengan perdarahan subkonjungtiva disertai dengan trauma lainnya (selain pada konjungtiva), ketajaman visus < 6/6 meningkat dengan adanya kerusakan pada selain konjungtiva. Maka dari itu pemeriksaan ketajaman visus merupakan hal yang wajib pada setiap trauma di mata sekalipun hanya didapat perdarahan subkonjungtiva tanpa ada trauma organ mata lainnya.8



5



Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek pupil, bila perlu, lakukan pemeriksaan dengan slit lamp. Perlu dicurigai ruptur bola mata jika perdarahan subkonjungtiva terjadi penuh pada 360°. Jika pasien memiliki riwayat perdarahan subkonjungtiva berulang, pertimbangkan untuk memeriksa waktu pendarahan, waktu prothrombin, parsial tromboplastin, dan hitung darah lengkap dengan jumlah trombosit.8 g. Diagnosis Banding 7 1. Konjungtivitis, hal ini dikarenakan memiliki kesamaan pada klinisnya yaitu mata merah. 2. Konjungtivitis hemoragik akut h. Penatalaksanaan Perdarahan



subkonjungtiva



biasanya



tidak



memerlukan



pengobatan.



Pengobatan dini pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres dingin. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobati.10 Pada bentuk-bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea, dapat dilakukan sayatan dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian air mata buatan juga dapat membantu pada pasien yang simtomatis. Untuk mencegah perdarahan



yang



semakin



meluas



beberapa



dokter



memberikan



vasacon



(vasokonstriktor). Air mata buatan dapat diberikan untuk mengatasi iritasi ringan dan mencegah risiko perdarahan berulang.11 i. Komplikasi Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorbsi sendiri oleh tubuh dalam waktu 1 – 2 minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang terjadi.10 j. Prognosis Secara umum prognosis dari perdarahan subkonjungtiva adalah baik. Karena sifatnya yang dapat diabsorbsi sendiri oleh tubuh. Namun untuk keadaan tertentu seperti



6



sering mengalami kekambuhan, persisten atau disertai gangguan pandangan maka dianjurkan untuk dievaluasi lebih lanjut lagi.7,10 2.3 Pterigium a. Definisi dan Epidemiologi Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. 1 Pterigium umumnya bersifat bilateral di sisi nasal.3 Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49 tahun. 3 Selain itu kalau berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih sering terkena pterigium daripada perempuan. 14 Pterigium juga sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah.4 b. Etiopatofisiologi Etiologi dari pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi. Akan tetapi keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan, lingkungan yang berangin dan udara yang panas.2,3,4 Patofisologi dari pterigium ditandai dengan pemanjangan degenerasi dari kolagen dan proliverasi fibrovaskular dengan adanya overlying covering dari epithelium. Histopatologi dari kolagen abnormal yang berada pada area dengan pemanjangan degenerasi kolagen akan menunjukkan adanya basophilia dengan hematoxylin dan bercak eosin.12 Sinar ultraviolet dikatakan memiliki peran dalam pathogenesis terbentuknya pterigium. Ultraviolet merupakan mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal stem cell. Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada 7



permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigiumdan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigiummerupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.4 Akibat terhambatnya p53 maka apoptosis juga akan terhambat. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis sehingga terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.4 c. Manifestasi Klinis Pterigium dapat terjadi secara unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterigium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterigium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur.4 Secara klinis pterigium muncul berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. 4 Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head) dan cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya kearah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. A



8



subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.4 Pada fase awal pterigium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigmatisme karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.3,13 Pterigium dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :2 1. Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea. 2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. 3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm) 4. Derajat 4 : pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan. d. Diagnosis Anamnesis Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.3,14 Pemeriksaaan fisik Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat. Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pada daerah temporal.14



9



Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme  ireguler yang disebabkan oleh pterigium.14 e. Diagnosis Banding Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama yaitu pinguekula dan pseudopterigium. Pinguekula berbentuk kecil, meninggi, masa kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra dan kadang-kadang mengalami inflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama pada laki-laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko penyebab pinguekula.3,14 Pseudopterigium mirip dengan pterigium, dimana adanya jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea. Pseudopterigium adalah akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi pseudopterigium, cirinya tidak melekat pada limbus kornea.3,14 f. Penatalaksanaan Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakan konservatif seperti edukasi kepada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan. Pterigium yang ringan tidak perlu diobati. Untuk pterigium yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes anti inflamasi golongan steroid dan nonsteroid. Hal yang perlu diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.13 10



Selain penatalaksanaan secara konservatif, pterigium dapat pula dilakukan tindakan bedah atas indikasi antara lain: 13 1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus 2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil 3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus 4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita 5. Berkembang dengan progresif 6. Mengganggu pergerakan bola mata 7. Mengganggu visus dan lapang pandang Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata yang licin. Suatu tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium kearah limbus. Memisahkan pterigium kearah bawah pada limbus lebih disukai, kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan sekitar otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan. 13 g. Komplikasi Komplikasi pterigium meliputi:14 Pra-operatif: 1.



Astigmatisme Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterigium adalah astigmatisme karena pterigium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang berhubungan dengan adanya astigmatisme.



2.        Kemerahan 3.        Iritasi 4.        Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea 11



5.        Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan  menyebabkan diplopia. Intra-operatif: Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen  (thinning), dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan.  Pasca-operatif: Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut: 1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina. 2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis sklera dan kornea 3. Pterigium rekuren. h. Prognosis Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi menjadi baik, rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali. 12 Rekurensi pterigium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit. Pasien dengan rekuren pterigium 3-6 bulan pasca operasi dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.3



BAB III 12



LAPORAN KASUS



3.1



Identitas Pasien



Nama



: NKS



Jenis Kelamin



: Perempuan



Umur



: 43 tahun



Alamat



: Br. Dinas Asah Badung, Sepang Kelod, Bujung Biru, Buleleng



Agama



: Hindu



Suku



: Bali



Pekerjaan



: Petani



Status



: Menikah



Tanggal Pemeriksaan : 29 Desember 2016



3.2



Anamnesis



Keluhan Utama Mata kanan merah. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke Poliklinik Mata RS Bhayangkara Denpasar dengan keluhan mata kanan merah. Keluhan tersebut dirasakan sejak 5 hari sebelumnya. Keluhan tersebut diketahui saat pasien baru bangun tidur dan melihat mata kanannya berwarna merah terang. Pasien sempat menggosok-gosok mata kanannya karena merasa tidak nyaman. Pasien mengatakan tidak ada rasa nyeri, gatal maupun pandangan kabur. Keluhan adanya sekret mata yang berlebihan disangkal. Riwayat jatuh maupun riwayat trauma sebelumnya disangkal oleh pasien. Keluhan lain yang dirasakan oleh pasien adalah rasa mengganjal pada kedua mata. Keluhan tersebut dikatakan muncul pertama kali pada mata kanan sudah sejak 2 tahun yang lalu. Awalnya dikatakan pasien merasa seperti ada yang mengganjal pada 13



mata kanannya. Namun dirasakan tidak mengganggu penglihatannya, sehingga pasien tidak pernah mencari pengobatan untuk keluhannya tersebut. Pasien juga mengeluhkan mata kanannya sering merah dan berair. Beberapa bulan yang lalu pasien juga mengeluhkan hal yang sama pada mata kirinya. Riwayat Penyakit Dahulu Keluhan mata merah ini merupakan pertama kalinya bagi pasien. Riwayat jatuh atau riwayat trauma lain pada mata serta riwayat batuk lama disangkal oleh pasien. Riwayat perdarahan spontan, memar atau lebam pada kulit secara spontan disangkal. Riwayat alergi terhadap obat dan makanan sebelumnya disangkal oleh pasien.



Riwayat



pengobatan



sebelumnya,



pasien



mengaku



tidak



pernah



memeriksakan matanya ke dokter dan hanya meneteskan obat tetes mata “Rohto” yang dibeli sendiri oleh pasien untuk mengatasi mata merah, namun dikatakan keluhan tidak membaik. Riwayat penggunaan kacamata disangkal. Riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit sistemik lainnya disangkal oleh pasien. Riwayat Keluarga Riwayat keluhan yang sama pada keluarga pasien disangkal. Riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit sistemik lainnya pada keluarga disangkal. Riwayat Sosial Pasien sehari-hari adalah seorang petani. Dalam kesehariannya dikatakan sering terpapar oleh angin, sinar matahari dan debu. Pasien tidak pernah menggunakan alat pelindung seperti topi atau kacamata saat bekerja.



3.3



Pemeriksaan Fisik 14



Status Present Kesan umum



: Baik



Kesadaran



: Compos Mentis



GCS



: E4V5M6



Tekanan darah



: 110/80 mmHg



Nadi



: 80x/menit



Laju respirasi



: 20x/menit



Suhu aksila



: 36,50C



Status Generalis a.



Mata



: dijelaskan pada status ophthalmology



b.



THT



: kesan tenang



c.



Mulut



: sianosis (-)



d.



Leher



: pembesaran kelenjar (-)



e.



Thoraks



: simetris (+)



Cor



: S1S2 tunggal, regular, murmur (-)



Pulmo



: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)



f.



Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal



g.



Ekstremitas : hangat +



+



+



+



edema



-



-



-



-



Status Ophthalmology 15



OD



OS



6/6



Visus



6/6



Normal



Palpebra



Normal



Konjungtiva



Jaringan fibrovaskular, berbentuk seperti segitiga dengan puncak melewati limbus >2 mm, namun tidak melewati pupil



Jernih



Kornea



Jernih



Dalam



Bilik mata depan



Dalam



Bulat, regular



Iris



Bulat, regular



RP (+)



Pupil



RP (+)



Jernih



Lensa



Jernih



Jernih



Vitreous



Jernih



Reflex Fundus (+)



Funduskopi



Reflex Fundus (+)



N (Palpasi)



TIO



N (Palpasi)



Perdarahan subkonjungtiva (+) Jaringan fibrovaskular, berbentuk seperti segitiga dengan puncak melewati limbus >2 mm, namun tidak melewati pupil



3.4 Diagnosis Kerja OD Subconjungtival bleeding + ODS Pterygium grade III 3.5 Penatalaksanaan a) Medikamentosa 



Cendo Statrol 4 x 1 OD







Artifisial tears 4 x 1 ODS



b) Pembedahan



16







Rencana Eksisi Pterigium + Conjungtival Limbal Graft pada OD



c) KIE 



Hindari mengucek-ngucek mata







Hindari mata dari paparan angin, sinar matahari dan debu







Menggunakan pelindung seperti topi atau kacamata saat bekerja.



d) Monitoring Kontrol 2 minggu lagi



17



BAB IV PEMBAHASAN



Pasien perempuan 43 tahun ini terdiagnosis mengalami perdarahan subkonjungtiva berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarah pada perdarahan subkonjungtiva. Hal tersebut antara lain: merah pada mata kanan yang muncul secara tiba-tiba, pasien merasa tidak nyaman sehingga pasien sering menggosok matanya, tidak ada keluhan nyeri, gatal, bengkak, keluarnya air mata maupun sekret yang berlebihan dan pada pemeriksaan oftalmologi terdapat perdarahan subkonjungtiva pada okuli dekstra. Hal ini sesuai dengan literatur yaitu muncul mata merah terang, tidak nyeri, dan tidak nyaman pada tahap awal muncul perdarahan. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik kemungkinan penyebab timbulnya perdarahan subkonjungtiva pada pasien ini adalah secara spontan karena tidak ditemukan faktor risiko lain seperti hipertensi, riwayat batuk lama, riwayat trauma pada mata maupun pemakaian obat-obatan tertentu. Pasien ini juga didiagnosis dengan ODS Pterigium grade III. Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan keluhan rasa mengganjal pada kedua mata. Keluhan muncul pertama kali pada mata kanan sejak 2 tahun yang lalu kemudian keluhan yang sama pada mata kiri disadari sejak beberapa bulan yang lalu. Berdasarkan literatur, keluhan tersebut mengarah



ke



pterigium



dimana



pterigium



merupakan



suatu



pertumbuhan



fibrovaskular berbentuk segitiga yang biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Berdasarkan riwayat sosialnya, pasien sehari-hari adalah seorang petani. Pasien bekerja di luar ruangan yang terpapar oleh angin, sinar matahari dan debu. Pasien tidak pernah memakai pelindung berupa topi atau kacamata saat bekerja. Pada pemeriksaan fisik didapatkan jaringan fibrovaskular pada mata kanan dan kiri pasien. Bagian lensa pada kedua mata pasien jernih. Hal ini semakin menguatkan diagnosis ke arah pterigium. Pasien didiagnosis dengan ODS Pterigium 18



grade III dimana penentuan grade ini berdasarkan luasnya pterigium. Pada mata kanan dan kiri pasien didapatkan luasnya pterigium sudah melebihi 2 mm limbus kornea namun tidak sampai melebihi pupil. Untuk penatalaksanaan pada pasien ini diberikan pengobatan medikamentosa dengan Cendo Statrol 4 x 1 tetes OD dan artifisal tears 4 x 1 tetes ODS. Pada dasarnya



perdarahan



subkonjungtiva



tidak



memerlukan



pengobatan



karena



perdarahan akan diabsorbsi secara spontan dalam waktu kurang lebih 1-2 minggu. Untuk mengatasi masalah pterigium pada pasien direncanakan untuk dilakukan eksisi pterigium + Conjungtival Limbal Graft pada mata kanan. Monitoring pada pasien dilakukan selama 2 minggu untuk kontrol kembali ke poliklinik mata. Apabila perdarahan konjungtiva belum membaik maka akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memberikan penanganan yang tepat.



19



BAB V SIMPULAN



Perdarahan subkonjungtiva merupakan merupakan perdarahan yang terjadi akibat rupturnya pembuluh darah di bawah lapisan konjungtiva. Perdarahan tersebut sering terjadi spontan dan dapat juga disebabkan oleh suatu mekanisme trauma tertentu. Pada dasarnya perdarahan subkonjungtiva tidak memerlukan penanganan khusus karena darah akan diabsorbsi dengan baik dalam waktu 1-2 minggu. Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif yang biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Tingginya kejadian berulang dan pertumbuhan progresif pada pterigium berulang masih merupakan permasalahan klinis yang menantang. Selain itu, pterigium juga menimbulkan keluhan secara kosmetik dan berpotensi mengganggu penglihatan pada stadium lanjut yang memerlukan tindakan operasi untuk rehabilitasi penglihatan.



20



LAMPIRAN



21



DAFTAR PUSTAKA 1. Fineman MS, Ho AC. 2012. Color Atlas and Synopsis of Clinical Opthalmology : Cornea. China : Lippincott William & Wilkins. 2. Ilyas, Sidarta H. Mata Merah dengan Pengelihatan Normal dan Tidak Kotor atau Belek dalam Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010;116-117 3. Vaughan & Asbury. Penyakit Degeneratif Konjungtiva dalam Oftalmologi Umum. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012;119 4. Rida, Anisa. Perbandingan Hasil Operasi Pterygium Tipe Vaskular Dengan Metode Bare Sclera Dan Conjunctival Autograft. Medan : Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011. 5. Kaiser PK, Friedman NJ. 2010. The Massachusetts Eye and Ear Infimary Illustrated Manual of Opthalmology. China : Elsevier. 6. Wijaya N. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : ECG. 7. Graham RK. 2010. Subconjungtival Hemorrhage 1st Edition. UK : Lange. 8. American Academy. 2009. Subconjungtival Hemorrhage. UK : Lange. 9. Mimura T, Yamagami



S. 2010. Subconjungtival



Hemorrhage and



Conjungtivocalasis. Tokyo : Lange. 10. Kanski JJ. 2011. Clinacal Opthalmology. UK : Elesevier. 11. Wright WK. 2011. Opthalmology. UK : Springer. 12. Fisher,



Jerome



P.



Pterygium.



Diakses



pada



1



Juni



2016.



http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#a6 13. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009. 14. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of Pterygium. Opthalmic Pearls.2010.



22