Latar Belakang Pengadilan HAM Di Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM di Indonesia Gelombang reformasi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 telah membawa banyak perubahan yang cukup signifikan terhadap permasalahan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Setelah lebih dari 32 tahun hidup dalam kekuasaan yang otoriter akhirnya Indonesia memasuki babak baru kehidupan bernegara, namun hal ini masih banyak menyisakan pekerjaan rumah bagi pemerintah. Masa 32 tahun pemerintahan orde baru disinyalir telah melakukan berbagai tindakan pelanggaran HAM. Pada masa pasca orde baru terutama pada masa transisi antara tahun 1998– 2000 banyak kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia yang menelan ratusan bahkan ribuan orang, apalagi kasus Timor Timur pasca jajak pendapat menambah rentetan panjang pelanggaran HAM di Indonesia. Berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi yang belum pernah terselesaikan secara tuntas antara lain: Kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Papua dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur selama pra dan pasca jajak pendapat. Atas kondisi ini, sorotan dunia internasional terhadap Indonesia sehubungan dengan maraknya pelanggaran HAM yang terjadi kian menguat, terlebih sorotan atas pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur selama proses jajak pendapat. Masyarakat nasional maupun internasional sangat prihatin dengan situasi yang terjadi di Timor Timur bahkan Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Geneva pada tanggal 23–27 September 1999 menyelenggarakan Special Session mengenai situasi di Timor Timur. Special Session tersebut adalah yang keempat diadakan sejak komisi ini dibentuk lima puluh tahun yang lalu. Ini menunjukkan betapa seriusnya penilaian dunia Internasional terhadap masalah pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Special Session tersebut mengeluarkan Resolusi 1999/S-4/1 yang menuntut Pemerintah Indonesia agar, antara lain: dalam kerjasama dengan Komnas HAM menjamin bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan dan pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia akan diadili. Resolusi tersebut juga meminta kepada Sekjen PBB untuk membentuk komisi penyelidik internasional dengan komposisi anggota yang terdiri dari ahli-ahli dari Asia dan bekerjasama dengan Komnas HAM Indonesia, serta mengirimkan pelapor khusus ke Timor Timur. Selain itu resolusi juga merekomendasikan untuk membentuk International Tribunal atas kasus tersebut. Atas resolusi Komisi HAM PBB tersebut Indonesia secara tegas menolak dan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan menggunakan ketentuan nasional karena konstitusi Indonesia memungkinkan untuk menyelenggarakan peradilan hak asasi manusia. Atas penolakan tersebut, mempunyai konsekuensi bahwa Indonesia harus melakukan proses peradilan atas terjadinya pelanggaran HAM di Timor Timur.



Dorongan untuk adanya pembentukan peradilan internasional ini juga didasarkan atas ketidakpercayaan dunia internasional pada sistem peradilan Indonesia jika dilihat keterkaitan antara pelaku kejahatan yang merupakan alat negara. Kepentingan untuk mengadakan proses peradilan untuk kejahatan yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan melalui mekanisme nasional mengharuskan dipenuhinya instrumen hukum nasional yang memadai sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hukum internasional. Meskipun mekanisme/sistem hukum nasional yang akan dipilih untuk menegakkan pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi, namun penting untuk memenuhi syarat adanya pengadilan nasional yang efektif. Dengan berbagai desakan yang muncul tersebut maka pada tanggal 23 September 1999 pemerintah mengeluarkan Undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang di dalam pasal 104 mengamanatkan pembentukan Pengadilan HAM untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Pada tanggal 8 Oktober 1999 Presiden Habibie mengeluarkan Perpu No. 1 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perpu tersebut memberikan kewenangan hanya kepada Komnas HAM untuk mengadakan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia yang nantinya akan diajukan ke pengadilan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ini merupakan peraturan perundang-undang yang bersifat regulatif dan represif sehingga di satu sisi dapat melindungi hak asasi manusia baik perorangan maupun masyarakat dan di sisi lain dapat memberikan penegakan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman baik perorangan maupun masyarakat terhadap tindakan pelanggaran atas hak asasi manusia. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut : 1. Ada dugaan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat di berbagai tempat yang seringkali cenderung berupa tindakan yang bersifat serperti pembunuhan massal (genocide),



pembunuhan



sewenang-wenang



atau



di



luar



putusan



pengadilan



(arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, atau yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination) yang menimbulkan kerugian baik materiil maupun imateriil serta mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perorangan maupun masyarakat; 2. Kondisi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 mempunyai dampak sangat luas baik nasional maupun internasional, antara lain mengakibatkan menurunnya kepercayaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia akibat banyaknya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yang perlu segera diatasi;



3. Tuntutan sebagian reformasi baik yang bersifat nasional maupun internasional yang sangat mengganggu jalannya pemerintahan sehingga harus segera diatasi dan diciptakan suasana kondusif berupa ketertiban, ketentraman, dan keamanan harus memperhatikan prinsipprinsip hak asasi manusia yang diakui oleh bangsa yang beradab. Perpu ini telah menjadi landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur oleh Komnas HAM. Namun karena berbagai alasan Perpu No. 1 Tahun 1999 ini kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi undang-undang. Alasan mengenai ditolaknya Perpu tersebut adalah sebagai berikut: 1. Secara konstitusional pembentukan perpu tentang pengadilan HAM dengan mendasarkan pada Pasal 22 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang dijadikan dasar untuk mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat. 2. Subtansi yang diatur dalam Perpu tentang Pengadilan HAM masih terdapat kekurangan atau kelemahan, antara lain sebagai berikut: a. Kurang mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam Perpu tersebut tidak berlaku surut/retroaktif sehingga pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum Perpu ini disahkan menjadi undang-undang tidak tercakup pengaturannya. b. Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida tahun 1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku. c. Masih menggunakan standar konvensional, yakni dengan mendasarkan pada KUHP yang hanya membatasi tuntutan pada personal sehingga tidak mampu menjangkau tuntutan secara lembaga. d. Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk berbenturan atau overlapping dengan hukum positif. Setelah adanya penolakan Perpu tersebut diatas oleh DPR, maka pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang Pengadilan HAM. Dalam penjelasannya, pengajuan RUU tentang Pengadilan HAM adalah: 1. Pertama, merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh negara Indonesia.



2. Kedua, dalam rangka melaksanakan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. 3. Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia. Dari ketiga alasan di atas, landasan hukum bahwa perlu adanya pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM berat adalah alasan yang ketiga dimana terbentuknya pengadilan HAM ini adalah pelaksanaan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Pasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun, ditetapkan undang-undang yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM, yakni Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000. Secara historis UU Pengadilan HAM lahir karena amanat Bab IX Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999. Dengan lahirnya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut, maka penyelesaian kasus HAM berat dilakukan dilingkungan Peradilan Umum. Ini merupakan wujud dari kepedulian negara terhadap warga negaranya sendiri. Negara menyadari bahwa perlunya suatu lembaga yang menjamin akan hak pribadi seseorang. Jaminan inilah yang diharapkan nantinya setiap individu dapat mengetahui batas haknya dan menghargai hak orang lain. Sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan pelanggaran HAM berat untuk kedepannya. Dengan diundangkannya UU ini, setidaknya memberikan kesempatan untuk membuka kembali kasus pelanggaran HAM berat yang penah terjadi di Indonesia sebelum diundangkan UU Pengadilan HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 43-44 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc. Dan Pasal 46 tentang tidak berlakunya ketentuan kadaluwarsa dalam pelanggaran HAM yang berat. Masuknya ketentuan tersebut dimaksudkan agar kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dapat diadili. Ketentuan tentang kadaluwarsa ini diadopsi dari statuta Roma tahun 1998, yakni ketentuan dalam artikel 29 tentang “tidak ada diterapkannya ketentuan pembatasan”. Dalam UU Pengadilan HAM terdapat asas retroactive. Masuknya asas ini dengan alasan, yakni:



1. Jauh sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, belum dikenal jenis kejahatan “genosida” dan “kejahatan terhadap kemanusiaan” ketentuan ini sesuai dengan Pasal 6 dan 7 (Rome statute of the International Criminal Court). 2. Asas



ini



sebagai



political



wisdom



(kebijaksanaan



politik)



dari



DPR



untuk



merekomendasikan kepada Presiden dengan mempertimbangkan bahwa kedua jenis kejahatan tersebut merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang dikutuk secara internasional sebagai enemies all mankind (hotis humani generis) dan dirumuskan sebagai kejahatan internasional (international crime). Namun dengan munculnya asas retroactive sangat bertentangan dengan ide perlindungan HAM yang diatur dalam Pasal 11 UDHR/DUHAM, Pasal 15 Ayat (1) International Convention on Civil and Political Right (ICCPR), Pasal 22 Ayat (1) dan Pasal 24 Ayat (1) Satuta Roma tentang International crime court. Dengan kata lain, pemberlakuan asas retroactive memungkinkan dibuka kembali kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan ini merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas dari sisi hukum positif Indonesia (KUHP). Akan tetapi menurut Hukum Pidana Internasional, berlakunya asas retroactive bertujuan untuk mencapai keadilan yang diwujudkan dengan pembentukan pengadilan tribunal seperti: ICTR (International Court Tribunal for Rwanda), ICTY (International Court Tribunal for Yugoslavia) dan ICC International Criminal Court) dalam statuta Roma. Seiring dengan itu, berjalan atau tidaknya suatu lembaga peradilan HAM yang berat sangat tergantung sekali kepada aparat penegak hukum itu sendiri. Hal ini sesuai dengan cita-cita negara hukum, yaitu keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. Ini menjadi barometer masyarakat demi terlaksananya penegakan pelanggaran HAM yang berat di Indonesia. Masyarakat selalu menginginkan keadilan itu tetap ditegakan dan berharap penegak hukum tidak menyalahkan kewenangannya dalam menjalankan tugas sehingga tidak merugikan semua pihak, baik dari pelaku, korban maupun masyarakat. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dimasa lampau, yang memerlukan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc tersebut terdapat subjetivitas dalam relativitas dan tergantung pada kepentingan yang ada serta lebih tertumpu pada nilai politis yang tersembunyi. Dalam hukum dikenal istilah ”sumum ius suma iuria” artinya adil tidaknya sesuatu tergantung dari pihak yang merasakannya. Apa yang dirasakan adil bagi seseorang belum tentu adil bagi orang lain. Di sinilah peran penegak hukum dibutuhkan yang mana bisa menjembatani antara kepentingan pelaku dan korban, sehingga perasaan ketidakadilan dapat diminimalisir seoptimal mungkin. Berhasil atau tidaknya peran penegak hukum dalam menjembatani permasalahan ini dapat dilihat dari adanya reaksi dari para pihak dan masyarakat.



Dengan banyaknya aturan tidak menutup kemungkinan akan banyaknya tuntutan. Bila itu terjadi maka masalah yang dihadapi bukanlah masalah pranata, produk, subtansi maupun materi hukum dalam UU melainkan mengenai penegakan dan penerapan hukum (law enforcement). Hukum itu akan bermakna setelah ditegakan dan sebaliknya hukum itu akan jadi “macan ompong” tidak ada apa-apa tanpa adanya penegakan hukum. Yang memberi makna pada hukum itu adalah aparat penegak hukum serta masyarakat. Bahkan tanpa substansi hukum pun sebenarnya hukum dapat dihasilkan, karena mengenai hal ini menjadi tugas para hakim untuk menciptakan hukum baru. Mengenai penegakan hukum agar tetap menjadi pelindung terhadap manusia maka dibutuhkan sifat baik dari aparatur penegak hukum. Sehingga hukum itu benar-benar memberikan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Sifat baik tersebut mencakup integritas moral serta profesionalisme intelektual. Kualitas intelektual tanpa diimbangi integritas akan dapat mengarah kepada rekayasa yang tidak dilandasi moral. Sementara integritas tanpa profesionalisme bisa menyimpang keluar dari jalur-jalur hukum. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa penegakan hukum merupakan suatu sistem. Ini berarti, penegakan hukum merupakan rangkaian dari suatu proses yang dilaksanakan oleh beberapa komponen sebagai sub-sistem. Rangkaian proses tersebut satu sama lain saling terkait secara erat dan tidak terpisahkan karena itu disebut sebagai integrated criminal justice system. Pada umumnya, sub-sistem tersebut mencakup: 1. Penyidik (Kepolisian/Penyidik Pegawai Negeri Sipil) 2. Kejaksaan (Penuntut Umum) 3. Penasehat hukum (Korban/Pelaku) 4. Pengadilan (Hakim) 5. Pihak-pihak lain (Saksi/Ahli/Pemerhati) Dalam UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, hukum acara atas pelanggaran HAM berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang terdiri dari: 1. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan. 2. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan. 3. Komnas HAM sebagai penyelidik berwenang melakukan penyelidikan. 4. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penyidikan. 5. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penuntutan. 6. Pemeriksaan dilakukan dan diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM. Masing-masing komponen tersebut memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama untuk menegakan keadilan. Dengan demikian apabila muncul ketidakadilan dapat ditelusuri di mana sebenarnya penyebab utamanya. Meskipun pada umumnya ketidakadilan ini berasal dari aparat, bukan berarti komponen lain tidak bisa menyimpang atau setidaknya memberi dorongan untuk



menyimpang. Aparat penegak hukum mengambil porsi tanggung jawab terbesar dalam penegakan hukum karena fungsi mereka adalah menegakan hukum. Namun saat ini sangat disayangkan, krisis moral dan lemahnya integritas penegak hukum serta adanya ketimpangan dalam sistem hukum kita membuat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan tidak mempunyai tempat dihati. Jika ini terus dibiarkan dan tidak mendapati perhatian serius dari pihak terkait maka lama kelamaan peradilan akan ditinggalkan dan beralih cara dengan main hakim sendiri. Karena apa, apa yang diharapkan dicita-citakan tidak mendapat perhatian serius dari aparatu negara.