LBM 3 Herbal SGD 4 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LBM 3 STEP 7 1. Bagaimana cara melakukan pemilihan subyek uji? Hewan yang dipakai untuk suatu penelitian medis: Yaitu Semua hewan. Disesuaikan dengan tujuan penelitian 



Menggunakan hewan utuh



Harmanto, Ning. Subroto, Ahkam. 2007. Pilih Jamu dan Herbal Tanpa Efek Samping. Jakarta: Elex Media Komputindo. Spesies yang ideal untuk uji toksisitas sebaiknya memenuhi criteria-kriteria sebagai berikut:       



Berat badan lebih kecil dari 1 kg Mudah di ambil darahnya dan jumlah darah yang dapat diambil cukup banyak Mudah dipegang dan dikendalikan Pemberian materi mudah dilakukan dengan berbagai rute (oral, subkutan) Mudah dikembangbiakan dan mudah dipelihara di laboratorium Lama hidup relative singkat Fisiologi diperkirakan sesuai/identik dengan manusia/hewan yang dituju



Kusumawati.2004.Bersahabat



dengan



hewan



coba.Yogyakarta:Gadjah



Mada



University Press. Pada prinsipnya jenis hewan yang digunakan untuk uji toksisitas harus dipertimbangkan berdasarkan sensitivitas, cara metabolisme sediaan uji yang serupa dengan manusia, kecepatan tumbuh serta mudah tidaknya cara penanganan sewaktu dilakukan percobaan. Hewan pengerat merupakan jenis hewan yang memenuhi persyaratan tersebut diatas, sehingga paling banyak digunakan pada uji toksisitas. Hewan yang digunakan harus sehat; asal, jenis dan galur, jenis kelamin, usia serta berat badan harus jelas. Biasanya digunakan hewan muda dewasa, dengan variasi bobot tidak lebih dari 20%. Adapun kriteria hewan yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1.



3 hal penting pemanfaatan hewan coba :  Kesehatan hewan  Pemilihan hewan  Tujuan penelitian Contoh: Louis Pasteur : 1880 , menggunakan domba untuk penelitian tentang Anthrax. Ivan Pavlov: 1890, menggunakan anjing untuk penelitian terapi diabetes. 7 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo.           2. 1. -



Obat fertilitas: tikus galur SD  cepat berkembang biak Analgesik: mencit Antidiabetes: babi, sapi  pancreas lebih mirip manusia Antiemetic: burung merpati  bisa dirangsang muntah beberapa kali Antihipertensi: kucing, anjing  kardiovaskuler mirip Antiinflamasi: tikus Antipiretik: kelinci Asam urat  ayam, burung  metabolism mirip manusia Stamina: tikus, mencit Uji libido dan kanker  tikus



Apa rancangan desain penelitian?apa saja macam2 desain yang lain? Pra ekspreminteal desain One shot case study satu kelompok ditreatment lalu di observasi hasilnya One group pre test post test design 1 kelompok ada pre n post test Intact group comparisonsatu kelompok dibagi 2, ada yg jadi control ada yg jadi perlakuan 2. True eksperimental design



-



o Variable luar bias dikontrol, lebih bagus dari pada pra o Pemilihan sampel secara sampel baik control maupun perlakuan Post test only control design Pre test post test control group  awal dan akhir Solomon four group  4 kelompok, 2 diberi pre test, 2 tidak diberi pre test. 2 kelompok di beri perlakuan, dan 2 lagi tidak.



3. Kuasi Pengembangan dari true eksperimental desain Pemilihan sampel tidak bisa secara rndom -



Time design series sampel dikasi pre test 4 kali, jka stabil maka diberi perlakuan Non equivalen control group  mirip dengan pre post test control group tapi sampel dipilih secara tidak random.



3. Apa saja faktor yang mempengaruhi hasil uji ? Faktor yang mempengaruhi hasil uji Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil percobaan diantaranya: 1. Faktor internal Meliputi variasi biologik, yaitu usia (berpengaruh pada dosis yang harus diberikan) dan jenis kelamin (ada obat-obat yang lebih peka untuk jantan dan untuk betina). Kemudian ras dan sifat genetic, faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap hewan yang akan di jadikan percobaan karena akan memepengaruhi hasil dari percobaan disebabkan oleh pengaruh dosis dan cairan tubuh hewan tersebut sehingga hasil dari pengamatan akan berbeda-beda, sehingga memepengaruhi efek farmakologinya. Selain itu, status kesehatan dan nutrisi, bobot tubuh serta luas permukaan tubuh akan berpengaruh pada dosis yang harus diberikan. 2. Faktor eksternal Meliputi suplai oksigen, pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana asing atau baru, pengalaman hewan dalam penerimaan obat, keadaan ruangan tempat hidup seperti suhu, kelembaban, ventilasai, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan), pemilihan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau organ untuk percobaan. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil percobaan, dan mempengaruhi efek farmakologinya, apabila hewan yang sudah biasa di beri obat maka akan terlihat lebih rilex dan santai berbeda dengan hewan percobaan yang masih baru dan masih asing makan akan lebih berontak dan agresif, sehingga kita membutuhkan penelitian dan perawatan yang baik terhadap hewan percobaan sebelum melakukan percobaan. 4. Apa saja jenis uji farmakologi? Uji toksisitas



Uji toksisitas akut menyangkut pemberian beberapa dosis tunggal yang meningkat secara teratur pada beberapa kelompok hewan dari jenis yang sama. Pengamatan kematian dalam waktu 24 jam digunakan untuk menghitung LD50, dan hewan dipelihara selama 14 hari. Uji toksisitas akut merupakan prasyarat formal keamanan calon fitofarmaka (obat) untuk pemakaian pada manusia. Secara ideal uji toksisitas akut dilakukan pada beberapa jenis hewan, sekurang-kurangnya jenis hewan pengerat dan satu jenis hewan bukan pengerat. Namun karena berbagai pertimbangan uji toksisitas akut pada saat ini sudah cukup memadai , bila dilakukan pada tikus dari kedua jenis kelamin, menggunakan minimal hewan dari tiap kelamin perdosis. Yang perlu dicari disini adalah :  Spektrum toksisitas akut Sistem biologik yang paling peka terhadap calon Fitofarmaka.  Cara kematian (mode of death).  Nilai dosis lethal median( LD50) yang dihitung dengan metode statistic baku. Pada kasus dimana sulit untuk memperoleh harga LD50 secara pasti seyogyanya dalam percobaan dosis yang diberikan sudah dicakup dosis terbesar yang secara teknis dapat diterima oleh hewan coba. Jenis hewan yang dipakai disini tidak perlu sama dengan hewan yang dipakai untuk uji jangka lama karena untuk uji jangka lama sebaiknya dipilih hewan yang mempunyai profil farmakokinetik yang sama dengan manusia terhadap obat tersebut. Demikian juga untuk uji karsinogenisitates, ratogenisitas dll. Teknik pelaksanaan pengujian keracunan harus memenuhi persyaratan yang lazim. Untuk tanaman yang belum dikenal, uji menggunakan dua jenis hewan coba yaitu tikus dan mencit dari dua jenis kelamin. Bila diperlukan dapat ditambah anjing. Calon Fitofarmaka yang di uji toksisitas akut dilakukan dengan tikus dan mencit dari kedua jenis dengan satu jenis hewan coba lain misalnya nantinya akan diberikan pada perlu diupayakan kesetaraan adalah yang manusia. Bentuk sediaan uji dapat berbeda, namun khasiat dan keamanan.



Spectrum toksikologik yang perlu mendapat perhatian khusus adalah kemungkinan adanya efek toksik pada system organ-organ vital seperti kardiovaskuler, susunan saraf gastroiniestinaple, pernafasan dan lain-lain Jika calon fitofarmaka mempunyai pengaruh toksik pada system ini, umumnya akan terdeteksi pada tahap uji toksisitas akut. Pengujian toksisitas lanjut meliputi : a. Toksisitas Sub Akut Rancangan uji toksisitas sub akut dibuat berdasarkan hasil uji toksisitas akut. Uji toksisitas sub akut. Dapat memberikan gambaran tentang toksisitas calon fitofarmaka pada penggunaan berulang untuk jangka waktu yang relatif lama. Kecenderungan kumulasi dan reversibilitas efek toksik calon fitofarmaka dapat dinyatakan dari hasil uji toksisitas sub akut. o Hewan coba ideal tiga jenis, yaitu 2 rodent dan 1 non rodent, untuk sementara cukup memadai menggunakan satu jenis yaitu tikus, minimal 3 dosis, salah satu dosis adalah dosis ekivalen yang akan digunakan pada manusia, 10 hewan per dosis, dua jenis kelamin. o Route pemberian sama dengan route yang digunakan pada manusia. o Jangka waktu uji pemberian calon fitofarmaka pada toksisitas sub akut 3 (tiga) bulan. Pemeriksaan organ-organ vital seperti hepar, ginjal, paru, otak, system hematologik , di kerjakan dengan metode standar (baku), termasuk pemeriksaan histopatologik . Teknis pelaksanaan pengujian harus dikerjakan dengan cara-cara standar (baku) yang memenuhi persyaratan ilmiah. Bilamana pada pengamatan Uji toksisitas akut terlihat adanya gejala toksik pada organ hati dan atau ginjal maka parameter perlu dilengkapi dengan parameter biokimia mengenai hati dan ginjal. b. Toksisitas Kronik Uji toksisitas kronik diprioritaskan pada calon fitofarmaka yang penggunaannya berulang/ berlanjut dalam jangka waktu sangat lama (lebih dari 6 bulan). Uji toksisitas kronik memberikan gambaran tentang toksisitas atau keamanan calon fitofarmaka pada penggunaan dosis lazim secara berulang selama hayat hewan. o Rancangan uji toksisitas kronik dibuat berdasarkan hasil uji toksisitas sub akut. o Jumlah hewan coba yang digunakan harus cukup banyak, minimal 20 ekor per dosis, agar hasil uji toksisitas kronik masih dapat ditafsirkan dengan



cermat, walaupun terjadi kematian hewan yang tidak berkaitan dengan hal-hal teknis percobaan selama waktu pengujian. Lama Pemberian Calon Fitofarmaka ada Uji Toksisitas. Lama pemberian fitofarmaka pada hewan coba untuk uji toksisitas dianjurkan agar disesuaikan dengan lamanya pemakaian obat pada manusia. Tabel berikut memperlihatkan skema lama pemberian yang diperlukan pada uji toksisitas dihubungkan dengan pemberian pada manusia. Tabel ini merupakan modifikasi dari pedoman FDA untuk evaluasi obat yang akan digunakan pada manusia ( 1975).



Sebagai jalan tengah, perlu selalu dicari dan dikembangkan alternatif-alternatif model dan prosedur uji toksisitas yang masih memenuhi persyaratan minimal keamanan obat. c. Toksisitas Spesifik Uji toksisitas ini misalnya uji teratogenisitas, uji karsinogenisitas , uji mutegenisitas, uji toksisitas terhadap janin, uji terhadap fungsi-fungsi reproduksi dan lain-lain. Perlu tidaknya uji-uji ini dilakukan tergantung pada kemungkinan terjadinya efek-efek toksik tersebut, sehubungan dengan pemakaiannya pada manusia. Misalnya uji teratogenisitas atau uji toksisitas terhadap janin harus dikerjakan bila pemakaian klinik fitofarmaka nantinya diberikan pada masa-masa organogenesis dan kehamilan.



Uji mutagenisitas dan karsinogenisitas harus dikerjakan bila fitofarmaka dipakai secara kronik, peraksanaan penguiian, harus memenuhi cara-cara standar (baku) yang lazim. Untuk sediaan-sediaan yang digunakan secara topikal dipersyaratkan untuk dilakukan pengujian toksisitas secara topikal misalnya iritasi kulit dengan model hewan percobaan yang sesuai. UJI FARMAKOLOGIK Penapisan efek farmakologi Fitofarmaka ditujukan untuk melihat dan kerja farmakologik pada system biologic yang dapat merupakan petuniuk terhadap adanya khasiat terapetik. Pengujian dapat dilakukan secara in vivo maupun in vitro pada hewan coba sesuai. Petunjuk tentang khasiat calon fitofarmaka seyogyanya diperoleh dari percobaan in vivo pada hewan mamalia yang sesuai, sedapat mungkin dikaitkan dengan model penyakitnya pada manusia. Tidak semua khasiat terapetik calon obat bisa diperkirakan secara langsung dari model-model percobaan hewan. Beberapa khasiat yang mungkin bisa diperkirakan dari uji penapisan dengan model percobaan hewan misalnya daya analgetik, daya menidurkan, anti hipertensia, anti diabetes, anti arthritis dll. Kegunaan uji penapisan farmakologik sebenarnya adalah untuk menghindari pemborosan dalam tahap uji lebih lanjut. Hasil positif dapat digunakan untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia UJI FARMAKODINAMIK Tahap ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara lugas penqaruh farmakologik pada berbagai system biologik. Bila diperlukan , penelitian dikerjakan pada hewan coba yang sesuai, baik secara invitro atau invivo. Bila calon fitofarmaka sudah menjalani uji penapisan biologic (tahap 2) dan dipandang belum bias atau belum mungkin untuk dikerjakan pengujian farmakodinamik , maka hal ini seyogyanya tidak merupakan penghambat untuk lebih lanjut. Tahap pengujian



farmakodinamik akan lebih banyak tergantung pada sarana dan prasarana yang ada, baik perangkat lunak maupun perangkat keras.



In vitro:  Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia  Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit  Murah dan cepat Yang dimaksud uji in vitro adalah uji pada mikroba jika antibiotic; pada sel kanker dari hewan utk obat anti kanker; pada plasmodium utk obat anti malaria; pada jamur missal candida pada obat anti keputihan/candidiasis; pada cacing utk obat cacing; pada virus utk obat antivirus; pada bagian organ tertentu dari hewan contoh obat asma bronkodilator diuji pada otot polos trachea marmot; pada jantung hewan dalam chamber utk obat angina dan aritmia; dll. In vivo:  Terletak di dalam tubuh manusia  Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak  Mahal dan lama Sedangkan uji in vivo digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar atau teranestesi). Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang jelas harus dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat badan (mempengaruhi dosis), dan harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan mengerat dan non rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi pada manusia merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent. Selain itu pemilihan jenis hewan yg dipilih pun harus tepat menggambarkan kondisi yg diinginkan. Contohnya :  Untuk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat galur Sprague Dowley/SD bukan Wistar atau jenis tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak banyak shg pengamatan akan lbh baik dg jumlah sample yg banyak. Fitokimia: Uji in vitro dan in vivo, elearning.unsri.ac.id



5. Apa manfaat uji farmakologi?  Mengidentifikasi potensi terjadinya toksisitas pada manusia  Merancang berbagai uji untuk menetapkan mekanisme toksik yang lebih lanjut  Farmakodinamik : agar tau efek tubuh setelah diberikan obat dan efek obat dalam tubuhnya



Hedi R. DewotoPengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka, Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 6. Apa saja metode2 yang dilakukan untuk uji in vivo dan in vitro? In vivo :  secondary bioassay    



Terletak di dalam tubuh manusia Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak Mahal dan lama dalam lingkungan yang terkendali Sedangkan uji in vivo digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar



atau teranestesi). Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang jelas harus dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat badan (mempengaruhi dosis), dan harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan mengerat dan non rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi pada manusia merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent (KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA) In vivo :   







Terletak di dalam tubuh manusia  digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar atau teranestesi) dalam lingkungan yang terkendali Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang jelas harus dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat badan (mempengaruhi dosis) harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan mengerat dan non rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi pada manusia merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent.



IN VITRO In vitro :  primary bioasssay adalah penelitian yang dilakukan dalam tabung uji atau media kultur di laboratorium; Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit



Murah dan cepat dilakukan mikroorganisme pada tidak hidup tetapi dalam lingkungan terkontrol, misalnya di dalam tabung reaksi atau cawan Petri Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel eksperimental pada subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung untuk memfokuskan pada organ , jaringan , sel , komponen sel, protein , dan / atau biomolekul in vitro lebih cocok untuk mengamati efek keseluruhan percobaan pada subjek hidup (KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA) In vitro : Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia dilakukan mikroorganisme pada tidak hidup tetapi dalam lingkungan terkontrol, misalnya di dalam tabung reaksi atau cawan Petri Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel eksperimental pada subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung untuk memfokuskan pada organ , jaringan , sel , komponen sel, protein , dan / atau biomolekul tingkat penyederhanaan sistem yang diteliti lebih besar , sehingga peneliti dapat fokus pada sejumlah komponen. Sebagai contoh , identitas protein dari sistem kekebalan tubuh ( misalnya antibodi ) , dan mekanisme yang mengenali dan mengikat antigen asing akan tetap sangat jelas jika tidak untuk penggunaan ekstensif kerja in vitro untuk mengisolasi protein , mengidentifikasi sel-sel dan gen yang memproduksi mereka , mempelajari fisik sifat interaksi mereka dengan antigen , dan mengidentifikasi bagaimana interaksi mereka menyebabkan sinyal seluler yang mengaktifkan komponen lain dari sistem kekebalan tubuh Respon seluler adalah spesies - spesifik , lintas analisis - bermasalah spesies . Metode baru spesies - sasaran yang sama - , studi multi- organ yang tersedia untuk memotong hidup , pengujian lintas-spesies



7. Sebutkan langkah – langkah uji in vivo dan in vitro? IN VITRO In vitro :  primary bioasssay adalah penelitian yang dilakukan dalam tabung uji atau media kultur di laboratorium; Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit Murah dan cepat dilakukan mikroorganisme pada tidak hidup tetapi dalam lingkungan terkontrol, misalnya di dalam tabung reaksi atau cawan Petri



Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel eksperimental pada subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung untuk memfokuskan pada organ , jaringan , sel , komponen sel, protein , dan / atau biomolekul in vitro lebih cocok untuk mengamati efek keseluruhan percobaan pada subjek hidup In vitro : Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia dilakukan mikroorganisme pada tidak hidup tetapi dalam lingkungan terkontrol, misalnya di dalam tabung reaksi atau cawan Petri Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel eksperimental pada subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung untuk memfokuskan pada organ , jaringan , sel , komponen sel, protein , dan / atau biomolekul tingkat penyederhanaan sistem yang diteliti lebih besar , sehingga peneliti dapat fokus pada sejumlah komponen. Sebagai contoh , identitas protein dari sistem kekebalan tubuh ( misalnya antibodi ) , dan mekanisme yang mengenali dan mengikat antigen asing akan tetap sangat jelas jika tidak untuk penggunaan ekstensif kerja in vitro untuk mengisolasi protein , mengidentifikasi sel-sel dan gen yang memproduksi mereka , mempelajari fisik sifat interaksi mereka dengan antigen , dan mengidentifikasi bagaimana interaksi mereka menyebabkan sinyal seluler yang mengaktifkan komponen lain dari sistem kekebalan tubuh Respon seluler adalah spesies - spesifik , lintas analisis - bermasalah spesies . Metode baru spesies - sasaran yang sama - , studi multi- organ yang tersedia untuk memotong hidup , pengujian lintas-spesies (KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA)



8. Apa kelebihan dan kekurangan uji invitro ? IN VITRO kekurangan : - Banyak percobaan biologi seluler dilakukan di luar organisme atau sel ; karena kondisi pengujian mungkin tidak sesuai dengan kondisi di dalam organisme, ini dapat mengakibatkan hasil yang tidak sesuai dengan situasi yang muncul dalam organisme hidup. Akibatnya, hasil eksperimen tersebut sering dijelaskan dengan in vitro, bertentangan dengan in vivo. - Namun, kondisi yang terkendali hadir dalam sistem in vitro berbeda secara signifikan dari yang in vivo, dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh karena itu, dalam studi in vitro biasanya diikuti oleh studi vivo. Contohnya termasuk:



-



Dalam biokimia, fisiologis stoikiometri konsentrasi non-aktif dapat mengakibatkan enzim dalam arah terbalik, misalnya beberapa enzim dalam siklus Krebs mungkin tampak memiliki tata-nama, salah.



-



DNA dapat mengadopsi konfigurasi lainnya, seperti A DNA .



-



Protein lipat mungkin berbeda seperti dalam sel ada kepadatan tinggi protein lain dan ada sistem untuk membantu lipat, sementara in vitro, kondisi kurang bergerombol dan tidak membantu.



Kelebihan Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit Murah dan cepat Dalam penelitian in vitro yang lebih cocok dibandingkan in vivo untuk menyimpulkan tindakan mekanisme biologis. Dengan variabel yang lebih sedikit dan perseptual diperkuat menyebabkan reaksi halus, hasil yang umumnya lebih jelas. in vitro lebih cocok untuk mengamati efek keseluruhan percobaan pada subjek hidup



Contoh : -



uji pada mikroba jika antibiotic; pada sel kanker dari hewan utk obat anti kanker; pada plasmodium utk obat anti malaria; pada jamur missal candida pada obat anti keputihan/candidiasis; pada cacing utk obat cacing; pada virus utk obat antivirus; pada bagian organ tertentu dari hewan contoh obat asma bronkodilator diuji pada otot polos trachea marmot; - pada jantung hewan dalam chamber utk obat angina dan aritmia; dll. http://chemedu09.wordpress.com/2012/05/23/apa-sih-bedanyaantara-in-vivo-in-vitro-dan-ex-vivo/



9. Apa kelebihan dan kekurangan uji invivo ? In vivo :  secondary bioassay  



Terletak di dalam tubuh manusia Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak



 



Mahal dan lama dalam lingkungan yang terkendali Sedangkan uji in vivo digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar



atau teranestesi). Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang jelas harus dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat badan (mempengaruhi dosis), dan harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan mengerat dan non rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi pada manusia merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent (KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA) In vivo :   







Terletak di dalam tubuh manusia  digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar atau teranestesi) dalam lingkungan yang terkendali Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang jelas harus dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat badan (mempengaruhi dosis) harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan mengerat dan non rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi pada manusia merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent.



kekurangan  



Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak Mahal dan lama



Contoh



:



- utk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat galur Sprague Dowley/SD bukan Wistar atau jenis tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak banyak shg pengamatan akan lbh baik dg jumlah sample yg



banyak.



- Utk uji painkiller digunakan mencit/mice jika utk menilai nyeri ringan yakni dengan penyuntikan asam asetat glacial ke peritoneum mencit, tapi jika sasarannya nyeri tekanan digunakan tikus bias Wistar atau SD, karena tikus akan dijepit ekornya atau telapak jarinya dengan alat tertentu, sementara kalo nyeri berupa panas, digunakan boleh mencit atau tikus



krn



hewan



akan



diletakkan



di



hot



plate.



- Utk antidiabetika, seharusnya digunakan babi atau sapi yg pankreasnya banyak kemiripan dg manusia, namun dengan tikus sudah cukup



dengan



adanya



keterbatasan



subyek



uji



- Utk antiemetik/anti muntah digunakan burung merpati, krn bisa dirangsang utk muntah berkali-kali sbg kuantifikasi, sementara hewan lain



hanya



muntah



sekali.



- Utk obat antihipertensi, digunakan kucing atau anjing teranestesi, krn system



kardiovaskulernya



paling



mirip



dg



manusia



- Utk obat antiinflamasi digunakan baik tikus yang disuntik karagenan di bawah kulitnya shg melepuh atau telinga mencit disuntik croton oil, bahkan kaki tikus sering dipotong utk menimbang udem yg terbentuk - utk antipiretik/penurun panas, digunakan kelinci utk diukur suhu duburnya



setelah



disuntik



pyrogen



- Utk asam urat digunakan ayam/burung yg dikasih makan jus hati ayam (ayam makan ayam) krn metabolisme asam urat pada manusia mirip dg yg



terjadi



dg



biokimiawi



di



keluarga



burung.



- Uji stamina digunakan tikus atau mencit, krn tubuhnya kuat dan tahan di dalam air, hewan diuji dg berenang dan lari di treadmill. - Uji libido, digunakan tikus dalam keadaan estrus/siap menerima pejantan. - Utk uji kanker, digunakan punggung tikus yg diimplan dg sel kanker, atau



paru-paru



tikus



setelah



dipejankan



benzo(a)pirena



Hasilnya berupa : efek farmakologi, dosis terapi ED50=dosis yang menghasilkan 50% efek maksimum. (KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA)