Literature Review Trauma Muskuloskeletal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LITERATURE REVIEW LAPORAN KASUS : RISIKO MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) PADA PERAWAT INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)



Anna Kartika, Rinta Nevi Andriyani,



Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui risiko musculoskeletal disorder yang berhubungan dengan pekerjaan perawat Instalasi Gawat Darurat (IGD). Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif melalui pengamatan langsung dengan bantuan alat perekam



dan



stopwatch



untuk



melihat



pergerakan/postur



terhadap



risiko



muskuskeletal disorder pada aktifitas perawat yang dikerjakan secara manual handling, kemudian dianalisis menggunakan software WinOwas. Hasil penelitian ini menunjukkan perawat mempunyai risiko MSDs. Pekerjaan yang dilakukan perawat didominasi postur janggal dengan frekuensi yang berulang-ulang dan durasi yang lama pada setiap shift adalah pada aktifitas menjahit luka, ganti perban, memasang infus, mendorong pasien, EKG dan memberikan nebulizer. Minimnya pengetahuan tentang ergonomi dan tingginya beban kerja perawat di IGD merupakan hal yang menambah risiko terjadinya MSDs. Oleh karena itu, rumah sakit perlu melaksanakan program



Pendidikan



dan



pelatihan



untuk



meningkatkan



pengetahuan



dan



keterampilan tentang ergonomi bagi perawat. Pendidikan dan pelatihan ergonomic perlu dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan perawat tentang sikap kerja yang benar, Latihan peregangan dan penguatan yang tepat dan melaksanakan program aerobic progresif untuk meningkatkan kebugaran tubuh secara menyeluruh. Kata kunci: MSDs, Ergonomi, OWAS.



Latar Belakang Di Indonesia pada tahun 2013, angka prevalensi gangguan muskuloskeletal berdasarkan gejala yang ada yaitu sebesar 24,7% (Riskesdas, 2013). Pada tahun 2003, WHO melaporkan Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah penyakit akibat kerja yang paling banyak terjadi dan diperkiraan mencapai 60% dari semua penyakit akibat kerja. Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2005, terdapat 40,5% pekerja di Indonesia mempunyai gangguan kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan diantaranya



adalah



gangguan



muskuloskeletal



sebanyak



16%,



gangguan



kardiovaskular 6%, kulit 1,3% dan gangguan THT 1%. (О.В.Ковалишина, 2017) Pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di Rumah Sakit. Pelayanan keperawatan tersebut harus memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan pelayanan keperawatan yang profesional. Pada saat ini secara umum pelayanan keperawatan yang dilaksanakan oleh rumah sakit masih belum terstandarisasi. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan pada kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dan masih kurangnya sistem pengelolaan pelayanan keperawatan. Di negara industri, nyeri pinggang bawah dan gangguan fleksibilitas pinggang diderita oleh 50 – 80 % tenaga kerja. Sering kali pihak manajemen di perusahaan tidak menyadari bahwa cidera akibat pekerjaan yang disebabkan oleh aspek ergonomi menempati urutan terbesar, yaitu kurang lebih sebesar 30 – 40 % dari total keseluruhan. Faktor gangguan muskuloskeletal disorders di rumah sakit diakibatkan oleh kondisi berdiri lebih dari 6 jam dan membungkuk lebih dari 10 kali/ jam dan melaksanakan beberapa sikap paksa. Sedangkan menurut Vipiana, penyebab MSDs adalah peralatan medis dan non medis didatangkan dari luar negeri sehingga perlu banyak penyesuaian bentuk dan ukuran tubuh tenaga kerja/ perawat. Yeo



et.all



(2019)



dalam



penelitiannya



bahwa



prevalensi



kejadian



musculoskeletal disorder pada staf perawat tinggi terutama pada perawat yang tidak berolahraga, bekerja shif malam sementara David (2013) dalam studi 5 tahunnya tang dilakukan terhadap 12.426 peserta yang mewakili 47 pekerjaan yang berbeda di 18 negara hasilnya adalah pegawai negeri sipil, pengolah makanan, perawat, operator



dan lain- lain, yang memiliki prevalensi gangguan musculoskeletal yang berhubungan dengan pekerjaan terutama adalah perawat. (Dewi, 2019) DISKUSI Definisi Trauma merupakan suatu cedera atau rupadaksa yang dapat mencederai fisik maupun psikis. Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus (luka), perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain), putus atau robekan (avulsi atau rupture), gangguan pembuluh darah dan gangguan saraf. Cedera pada tulang menimbulkan patah tulang (fraktur) dan dislokasi. Fraktur juga dapat terjadi di ujung tulang dan sendi (intra-artikuler) yang sekaligus menimbulkan dislokasi sendi. Fraktur ini juga disebut fraktur dislokasi. (Mahartha et al., 2017) Musculoskeletal disorders (MSDs) atau gangguan muskuloskeletal merupakan suatu gangguan pada sistem muskuloskeletal yang mengakibatkan gejala seperti nyeri akibat kerusakan pada nervus, dan pembuluh darah pada berbagai lokasi tubuh seperti leher, bahu, pergelangan tangan, pinggul, lutut, dan tumit [ (Cho et al., 2016) dalam (О.В.Ковалишина, 2017) ] Klasifikasi Muskuloskeletal Disorders (MSDs) diklasifikasikan menjadi beberapa stadium menurut Oliveira dan Browne. a. Menurut Oliveira 1. Stadium I : Lelah, tidak nyaman, nyeri terlokalisasi yang memburuk saat bekerja dan membaik saat istirahat. 2. Stadium II : Nyeri persisten dan lebih intens, diikuti dengan parestesia dan perasaan terbakar. Memburuk saat bekerja dan aktivitas sehari-hari. 3. Stadium III : Nyeri persisten dan berat diikuti penurunan kekuatan otot dan kontrol pergerakan, edema dan parestesia. 4. Stadium IV : Nyeri kuat dan berlangsung terus menerus.



b. Menurut Browne 1. Stadium I : Nyeri saat bekerja, berhenti saat malam hari tanpa gangguan tidur 2. Stadium II : Nyeri selama bekerja, menetap sampai malam menyebabkan gangguan tidur 3. Stadium III : Nyeri bahkan saat beristirahat dengan gangguan tidur (О.В.Ковалишина, 2017)



Etiologi / Faktor Risiko Hernandez dan Peterson (2013) mengelompokkan faktor risiko dari MSDs ke dalam tiga kelompok besar yaitu faktor pekerjaan, faktor psikososial, dan faktor individu. a. Faktor pekerjaan 1. Postur tubuh saat bekerja Berdasarkan posisi tubuh dan pergerakan, postur tubuh saat bekerja terdiri atas : a) Posisi netral adalah postur tubuh dimana setiap anggota tubuh berada pada posisi yang sesuai dengan anatomi tubuh, sehingga tidak terjadi kontraksi otot yang berlebihan serta pergeseran atau penekanan pada bagian tubuh. b) Posisi janggal adalah postur dimana posisi tubuh menyimpang secara signifikan dari posisi netral saat melakukan aktivitas yang disebaban oleh keterbatasan tubuh dalam menghadapi beban dalam waktu lama, Lalu berdasarkan pergerakan, postur kerja dapat dibedakan menjadi : a) Postur statis adalah postur dimana sebagian besar tubuh tidak aktif atau hanya sedikit terjadi pergerakan. Postur statis dalam waktu lama dapat menyebabkan



kontraksi otot terus menerus dan tekanan pada anggota tubuh. b) Postur Dinamis adalah postur yang terjadi dimana sebagian



besar



anggota



tubuh



bergerak.



Bila



pergerakan tubuh wajar, hal ini dapat membantu mencegah masalah yang ditimbulkan postur statis, namun bila terjadi pergerakan berlebihan, hal ini dapat menyebabkan masalah Kesehatan. 2. Force / beban Pada pekerjaan mengangkat atau mengangkut, efisiensi kerja dan pencegahan terhadap tulang belakang harus mendapat perhatian cukup. Pemindahan material secara manual apabila tidak dilakukan secara ergonomis dapat menimbulkan pembebanan pada tulang punggung. 3. Frekuensi Frekuensi merupakan banyaknya gerakan yang dilakukan dalam satu periode waktu. Jika aktivitas pekerjaan dilakukan secara berulang, maka disebut sebagai gerakan repetitif.



Keluhan



muskuloskeletal



terjadi



karena



otot



menerima tekanan akibat kerja terus menerus tanpa ada kesempatan untuk berelaksasi. 4. Durasi Durasi adalah lamanya waktu pajanan terhadap faktor risiko. Asumsinya bahwa semakin lama durasi paparan semakin besar cedera yang terjadi (Kantana, 2010). Durasi diklasifikasikan menjadi : a. Durasi singkat : < 1 jam/ hari b. Durasi sedang



: < 1-2 jam/hari



c. Durasi lama



: > 2 jam/hari



5. Paparan Pada Getaran Getaran akan menyebabkan bertambahnya kotraksi otot. Hal ini akan menyebabkan tidak lancarnya aliran darah,



meningkatnya penimbunan asam laktat dan akhirnya timbul nyeri otot. b. Faktor Individu 1. Usia Usia mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk mengalami MSDs. Otot memiliki kekuatan maksimal pada saat mencapai usia 20-29 tahun, lalu setelah usia mencapai 60 tahun kekuatan otot akan menurun hingga 20%. Berdasarkan faktor tersebut dan dikombinasikan dengan sikap yang tidak ergonomis akan menyebabkan terjadinya MSDs. 2. Jenis kelamin Pada semua kelompok pekerjaan, angka prevalensi masalah muskuloskeletal lebih besar pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat prevalensi nyeri muskuloskeletal yang lebih tinggi bagi perempuan daripada laki-laki dalam populasi umum dengan rentang usia 25 sampai 64 tahun. Untuk nyeri muskuloskeletal di setiap lokasi, 39% pria dan 45% wanita dilaporkan dengan keluhan kronis. Dominasi tertinggi pada wanita ditemukan untuk



pinggul



dan



pergelangan



tangan.



Hal



tersebut



dipengaruhi oleh faktor fisiologis kekuatan otot pada perempuan yang berkisar 2/3 kekuatan otot dari pria. 3. Indeks Massa Tubuh (IMT) Indeks massa tubuh merupakan suatu rumus matematis yang berkaitan dengan lemak tubuh orang dewasa dan menyatakan status gizi seseorang. IMT dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kwadrat tinggj badan (dalam ukuran meter). Status gizi seseorang yang dinyatakan oleh IMT diukur oleh batas nilai ambang berikut, dinyatakan normal apabila IMT



18.5-24.9, kurus apabila IMT 17-18.49, overweight apabila IMT 25-29,9 dan obesitas bila IMT >30. Pada individu yang overweight ataupun obesitas ditemukan terdapat kerusakan pada sistem muskuloskeletal yang yang bermanifestasi sebagai nyeri dan discomfort. Hal ini dinyatakan dalam penelitian Alley dan Chang (2007) bahwa terdapat peningkatan kerusakan fungsional dan disabilitas pada populasi obesitas. Keluhan tersebut dapat menghalangi dan mengganggu aktivitas fisik. Keluhan MSDs yang umum terjadi pada individu yang obesitas seperti nyeri leher, tendinitis rotator cuff, osteoatritis pada lutut, nyeri kaki, dan cedera tendon Achilles. Keluhan muskuloskeletal yang terjadi disebabkan oleh pengaruh ukuran antropometri terkait pada keseimbangan dari struktur rangka dalam menerima beban baik berat tubuh maupun beban dari pekerjaan. 4. Kebiasaan merokok Kebiasaan merokok menjadi faktor risiko pada pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot, karena nikotin pada rokok dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan. Selain itu,



merokok



dapat



pula



menyebabkan



berkurangnya



kandungan mineral pada tulang sehingga menyebabkan nyeri akibat terjadinya keretakan atau kerusakan pada tulang. Perokok diklasifikasikan sebagai perokok ringan bila merokok kurang dari 1 bungkus perhari atau kurang dari 15 batang perhari dan perokok berat bila merokok lebih dari 25 batang perhari. 5. Kebiasaan Olahraga Tingkat kesegaran jasmani yang rendah akan meningkatkan risiko terjadinya keluhan otot.



6. Masa Kerja Masa kerja merupakan faktor risiko yang dapat mempengaruhi seorang pekerja untuk meningkatkan risiko terjadinya MSDs, terutama untuk jenis pekerjaan yang menggunakan kekuatan kerja yang tinggi. Selain itu, semakin lama waktu bekerja atau semakin lama seseorang terpapar faktor risiko maka semakin besar pula risiko untuk mengalami keluhan musculoskeletal disorders. c. Faktor Psikososial Faktor-faktor psikososial merupakan interaksi yang terjadi diantara lingkungan kerja, pekerjaan, kondisi organisasi, kapasitas serta pemenuhan pekerja, budaya, dan pertimbangan pribadi dengan pekerjaan yang berlebih, melalui persepsi dan pengalaman serta berpengaruh pada kesehatan, kinerja, dan kepuasan kerja. Faktorfaktor tersebut dijelaskan oleh Johansson dan Rubenowitz pada tahun 1996 diantaranya : 1. Pengaruh dan kontrol pekerjaan Pada aspek ini beberapa hal yang dapat ditinjau antara lain seperti pengaruh tingkatan kerja, pengaruh metode kerja, pengaruh alokasi kerja, dan control teknis, serta pengaruh peraturan kerja. 2. Iklim terhadap supervisor (pengawas) Dapat dilihat hubungan dengan penyelia, bagaimana komunikasi dalam lingkup pekerjaan saat meminta masukan, pertimbangan sudut pandang mengenai masalah dan memberikan informasi. 3. Rangsangan dari pekerjaan itu sendiri Hal-hal yang patut diperhatikan adalah apakah pekerjaan tersebut menarik dan dapat menstimulasi individu untuk bekerja atau tidak, apakah pekerjaan bervariasi atau monoton, terdapat kesempatan untuk menggunakan bakat dan keterampilan, dan untuk belajar hal baru dari pekerjaan.



4. Hubungan dengan rekan kerja Hal-hal yang patut diperhatikan adalah hubungan dengan rekan kerja, komunikasi yang berkaitan dengan pekerjaan dengan rekan kerja. 5. Beban kerja secara psikologis Pertimbangkan pengaruh stress



kerja, beban kerja, perasaan lelah dan kejenuhan sehabis bekerja yang meningkat, ada atau tidaknya kemungkinan untuk istirahat saat bekerja, dan beban mental yang muncul dari pekerjaan itu sendiri. (О.В.Ковалишина, 2017) Patofisiologi Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan daya pegas untuk menahan tekanan, tetapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang diserap tulang maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur periosteum dari pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow dan jaringan lunak membungkus tulang rusak. Pendarahan terjadi karena kerusakan tersebut maka terbentukla hematoma di rongga medulla tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit serta infiltrasi sel adalah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya dan apabila kerusakan sudah parah akan diganti oleh jaringan baru. (О.В.Ковалишина, 2017)



Manifestasi Klinis Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus (luka), perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain), putus atau robekan (avulsi atau rupture), gangguan pembuluh darah dan gangguan saraf. Selain itu tanda gejala yang ditimbukan antara lain : a. Nyeri atau ngilu.



b. Kelelahan. c. Gangguan tidur. d. Peradangan. e. Pembengkakan. f. Kemerahan. g. Penurunan rentang gerak. h. Hilangnya fungsi. i. Kesemutan. j. Mati rasa atau kekakuan. k. Kelemahan otot atau kekuatan cengkeraman menurun. (Mahartha et al., 2017) Diagnosis Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain. Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni inspeksi / look : deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan), bengkak. Palpasi / feel (nyeri tekan, krepitasi). Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapler, sensasi. Pemeriksaan gerakan / moving dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur. Pemeriksaan trauma di tempat lain meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis. Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. (Mahartha et al., 2017)



Temuan Data Penunjang (Laboratorium, Radiologi Dll) Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain laboratorium meliputi darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan urinalisa. Pemeriksaan radiologis untuk lokasi trauma muskuloskeletal harus menurut rule of two: dua gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral, memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur, memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) dan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan. (Mahartha et al., 2017) Penatalaksanaan 1. Relaksasi Nafas Dalam Hasil yang didapatkan terdapat 2 jurnal yang menggunakan relaksasi nafas dalam untuk mengatasi nyeri yang dirasakan oleh pasien fraktur. Hasil penelitian yang didapatkan menurut dengan hasil relaksasi nafas dalam efektif digunakan untuk menurunkan skala nyeri yang dirasakan oleh pasien pre maupun post operasi fraktur. 2. Kompres Dingin (Cold Pack) Hasil yang didapatkan terdapat 2 jurnal yang menggunakan teknik non farmakologi yaitu kompres dingin (Cold Pack) hasil penelitian dari kedua jurnal tersebut adalah terdapat pengaruh kompres dingin terhadap penurunan skala nyeri yang dirasakan oleh pasien fraktur. Kompres dingin (Cold Pack) efektif digunakan untuk menurunkan nyeri yang dirasakan oleh pasien. 3. Range of Motion (ROM) Hasil yang didapatkan terdapat 1 jurnal yang menggunakan Range of motion (ROM) sebagai terapi non farmakologi untuk menurunkan skalai nyeri. Hasil penelitian yang didapatkan ROM efektif digunakan untuk menurunkan skala nyeri pada pasien post operasi fraktur. 4. Suntikan dengan obat anestesi atau anti-inflamasi. (Risnah et al., 2019)



Nursing Diagnosis 1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik. (NANDA,2012) 2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor psikologis. (NANDA,2012) 3. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan mobilitas tempat tidur. (NANDA,2012) 4. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan perubahan peran social. 5. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma. (NANDA,2012) Kesimpulan Musculoskeletal disorders (MSDs) atau gangguan muskuloskeletal merupakan suatu gangguan pada sistem muskuloskeletal yang mengakibatkan gejala seperti nyeri akibat kerusakan pada nervus, dan pembuluh darah pada berbagai lokasi tubuh seperti leher, bahu, pergelangan tangan, pinggul, lutut, dan tumit. Hasil penelilain risiko MSDs yang dilakukan pada perawat IGD didapatkan hasil bahwa perawat berisiko terhadap MSDs, hal ini disebabkan karena aktivitas yang dilakukan menggunakan postur janggal dan berulang. Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi (mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan, dan rehabilitasi). Terapi non farmaologi yang efekti dalam menurunkan skala nyeri pada pasien fraktur adalah Distraksi pendengaran, Relaksasi nafas dalam, kompres dingin (Cold Pack) dan Range of Motion (ROM).



DAFTAR PUSTAKA



Dewi, N. F. (2019). Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Perawat Instalasi Gawat



Darurat



(IGD).



Jurnal



Vokasi



Indonesia,



7(2),



39–48.



https://doi.org/10.7454/jvi.v7i2.152 Mahartha, G. R. A., Maliawan, S., & Kawiyana, K. S. (2017). Manajemen Fraktur Pada Trauma Muskuloskeletal. E-Jurnal Medika Udayana, 2(3), 548–560. Risnah, R., HR, R., Azhar, M. U., & Irwan, M. (2019). Terapi Non Farmakologi Dalam Penanganan Diagnosis Nyeri Pada Fraktur :Systematic Review. Journal of Islamic Nursing, 4(2), 77. https://doi.org/10.24252/join.v4i2.10708 О.В.Ковалишина, О. Р. Ш. И. В. И. (2017). Опыт аудита обеспечения качества и безопасности медицинской деятельности в медицинской организации по разделу



«Эпидемиологическая



Росздравнадзора, 4, 9–15.



безопасностьNo



Title.



Вестник