LP & Askep Miastenia Gravis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

I.



NKONSEP DASAR PENYAKIT MIASTENIA GRAVIS A. Anatomi Fisiologi Sistem Saraf 1. Otak, terdiri atas : a. Selaput otak (Meninges) Terdiri atas Durameter, Arakhnoid, dan Piameter b. Otak besar (cerebrum) Terdiri atas 2 hemisfer, yang dihubungkan oleh bagian putih yang disebut korpus kolosum.



c. Basal ganglia Memegang



peranan



penting



fungsi-fungsi



motorik



tubuh



yang



berhubungan dengan gerakan-gerakan otomatis dan halus. d. Otak kecil (cerebelllum) Sebagai pusat reflek yang berfungsi memepertahankan keseimbanagan dan sikap badan.Terletak di bagian belakang kranium menempati fosa cerebri posterior di bawah lapisan durameter Tentorium Cerebelli. Di



bagian depannya terdapat batang otak. Berat cerebellum sekitar 150 gr atau 8-8% dari berat batang otak seluruhnya. Cerebellum dapat dibagi menjadi hemisper cerebelli kanan dan kiri yang dipisahkan oleh vermis. Fungsi cerebellum pada umumnya adalah mengkoordinasikan gerakangerakan otot sehingga gerakan dapat terlaksana dengan sempurna. e. Batang otak Terdiri atas diencephalon, mid brain, pons dan medula oblongata. Merupakan tempat berbagai macam pusat vital seperti pusat pernafasan, pusat vasomotor, pusat pengatur kegiatan jantung dan pusat muntah, bersin dan batuk. 1) Diensepalon a) Talamus Merupakan stasiun penerima yang penting dalam otak dan pengintegrasian. b) Hipotalamus Merupakan pusat pengatur susunan saraf otonom. c) Subtalamus Belum diketahui fungsinya secara jelas d) Epitalamus Mempunyai peran sebagai pendorong emosi dasar seseorang, integrasi informasi olfaktorius, pengaturan sirkadian tubuh, penghambat hormon gonad 2) Mensefalon Merupakan bagian pendek batang otak yang terletak di atas spons, yang terbagi atas dua bagian, yaitu : a) Bagian anterior b) Bagian posterior Bagian ini bercabang mejadi dua lagi, yaitu : Kolikulus inferior dan kolikulus superior. Kolikulus superior mengurusi masalah penglihatan dan koordinasi gerakan penglihatan



3) Pons Sebagai penghubung antara hemisfer serebri, serebelum dan mensensepalon



dan



penghubung



kortikosereberalis,



yaitu



menghubungkan antara hemisfer serebri dengan serebelum 4) Medulla oblongata Merupakan pusat refleks pada jantung, pernafasan, bersin/batuk, menelan, dan pengeluaran air liur dan muntah d. Sumsum Tulang Belakang Berfungsi sebagai pusat reflek spinal dan sebagai jalan impuls yang berjalan dari dan ke otak. 2. Sistem Saraf Perifer a. Saraf aferen Berfungsi membawa informasi sensorik baik disadari maupun tidak, dari kepala, pembeluluh darah dan ekstermitas b. Saraf eferen Menyampaikan rangsangan dari luar ke pusat c. Saraf otonom Terbagi atas : 1) Saraf simpatis Bekerja untuk meningkatkan denyut jantung dan pernafasan serta menurunkan aktifitas saluran cerna 2) Saraf parasimpatis Bekerjanya berlawanan dari saraf simpatis Komponen Saraf Kranial: a. Komponen sensorik somatik : N I, N II, N VIII b. Komponen motorik omatik : N III, N IV, N VI, N XI, N XII c. Komponen campuran sensorik somatik dan motorik somatik : N V, N VII, N IX, N X d. Komponen motorik viseral Eferen viseral merupakan otonom mencakup N III, N VII, N IX, N X. Komponen eferen viseral yang 'ikut' dengan beberapa saraf kranial



ini, dalam sistem saraf otonom tergolong pada divisi parasimpatis kranial. 12 Saraf Kranial a. N. Olfactorius Saraf ini berfungsi sebagai saraf sensasi penghidu, yang terletak dibagian atas dari mukosa hidung di sebelah atas dari concha nasalis superior. b. N. Optikus Saraf ini penting untuk fungsi penglihatan dan merupakan saraf eferen sensori khusus. Pada dasarnya saraf ini merupakan penonjolan dari otak ke perifer. c. N. Oculomotorius Saraf ini mempunyai nucleus yang terdapat pada mesensephalon. Saraf ini berfungsi sebagai saraf untuk mengangkat bola mata d. N. Trochlearis Pusat saraf ini terdapat pada mesencephlaon. Saraf ini mensarafi muskulus oblique yang berfungsi memutar bola mata e. N. Trigeminus Saraf ini terdiri dari tiga buah saraf yaitu saraf optalmikus, saraf maxilaris dan saraf mandibularis yang merupakan gabungan saraf sensoris dan motoris. Ketiga saraf ini mengurus sensasi umum pada wajah dan sebagian kepala, bagian dalam hidung, mulut, gigi dan meningen. f. N. Abducens Berpusat di pons bagian bawah. Saraf ini menpersarafi muskulus rectus lateralis. Kerusakan saraf ini dapat menyebabkan bola mata dapat digerakan ke lateral dan sikap bola mata tertarik ke medial seperti pada Strabismus konvergen. g. N. Facialias



Saraf ini merupakan gabungan saraf aferen dan eferen. Saraf aferen berfungsi untuk sensasi umum dan pengecapan sedangkan saraf eferent untuk otot wajah. h. N. Statoacusticus Saraf ini terdiri dari komponen saraf



pendengaran dan saraf



keseimbangan i. N. Glossopharyngeus Saraf ini mempersarafi lidah dan pharing. Saraf ini mengandung serabut sensori khusus. Komponen motoris saraf ini mengurus otototot pharing untuk menghasilkan gerakan menelan. Serabut sensori khusus mengurus pengecapan di lidah. Disamping itu juga mengandung serabut sensasi umum di bagian belakang lidah, pharing, tuba, eustachius dan telinga tengah. j. N. Vagus Saraf ini terdiri dari tiga komponen: a) komponen motoris yang mempersarafi otot-otot pharing yang menggerakkan pita suara, b) komponen sensori yang mempersarafi bagian bawah pharing, c) komponen saraf parasimpatis yang mempersarafi sebagian alatalat dalam tubuh. k. N. Accesorius Merupakan komponen saraf kranial yang berpusat pada nucleus ambigus dan komponen spinal yang dari nucleus motoris segmen C 1-2-3.



Saraf



ini



mempersarafi



muskulus



Trapezius



dan



Sternocieidomastoideus. l. Hypoglosus Saraf ini merupakan saraf eferen atau motoris yang mempersarafi otot-otot lidah. Nukleusnya terletak pada medulla di dasar ventrikularis IV dan menonjol sebagian pada trigonum hypoglosi.



B. Pengertian Miastenia gravis merupakan gangguan yang memengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Kondisi ini merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan kombinasi antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan yang dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal (Muttaqin, 2009).



Miastenia gravis (MG) adalah suatu kelainan autoimun saraf perifer berupa terbentuknya antibodi terhadap reseptor pascasinaptik asetilkolin (ACh) nikotinik pada myoneural junction. Penurunan jumlah reseptor ACh ini menyebabkan penurunan kekuatan otot yang progresif dan terjadi pemulihan setelah beristirahat. Sedangkan menurut Corwin (2009) miastenia gravis adalah gangguan sistem saraf perifer yang ditandai dengan pembentukan autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin yang terdapat di daerah motor end-plate otot rangka.



Autoantibodi IgG secara kompetitif berikatan dengan reseptor asetilkolin, mencegah pengikatan asetilkolin ke reseptor sehingga mencegah kontraksi otot. Miastenia gravis menghasilkan kelemahan progresif, serta kelelahan abnormal pada otot skeletal, yang bertambah buruk setelah latihan atau pengulangan gerakan. Biasanya, gangguan ini menyerang otot yang dikendalikan oleh saraf kranial (wajah, bibir, lidah, leher, dan tenggorokan), tetapi dapat juga menyerang otot-otot lainnya. Miastenia gravis menyebabkan kegagalan dalam transmisi impuls saraf pada sambungan neuromuskuler akibat reaksi autoimun atau tidak berfungsinya aktivitas neurotransmiter. C. Epidemiologi Miastenia Gravis menyerang semua usia, paling banyak ditemukan pada usia 20-40 tahun. Penyakit ini menyerang pria dan wanita secara seimbang. Sedangkan bayi yang dilahirkan oleh ibu Miastenia gravis akan memiliki Miastenia transient (kadang permanen) dengan persentase 20%. Penyakit ini akan muncul bersamaan dengan gangguan sistem kekebalan dan gangguan tiroid. Sekitar 15% dari penderita Miastenia Gravis mengalami thymoma (tumor yang dibentuk oleh jaringan kelenjar timus). Remisi terjadi pada 25% penderita penyakit ini. Di Amerika prevalensi penyakit ini adalah 2 dari setiap 1.000.000 penduduk. Namun, akhir-akhir ini prevalensi di Amerika Serikat meningkat, yang berkisar antara 0,5-14,2 kasus per 100.000 orang. Sedangkan di dunia, miastenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. D. Etiologi Penyebabnya diduga merupakan gangguan autoimun (dimana antibody didalam tubuh menyerang sel ataupun jaringan yang membentuk antibody itu sendiri) yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efesiensi hubungan neuromuscular. Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepas sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan suatu kontraksi otot (otot dapat bergerak), tetapi pada miastenia gravis, jumlah reseptor asetilkolin berkurang atau



asetilkolin yang dihasilkan terlalu cepat dihancurkan, akibat gangguan autoimun, sehingga kontraksi otot lemah. (Dr. Meiny. S. Lubis) E. Patofisiologi Dasar ketidaknormalan pada miestania gravis adalah adanya kerusakan pada transmisi impuls sraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membrane postsinaps pada sambungan neuromuscular. Pada orang normal, jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk



menghasilkan



potensial



aksi.



Pada



miestania



gravis,



konduksi



neuromuscular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang, mungkin akibat cedera autoimun. Antibodi terhadap protein reseptor asetilkolin ditemukan dalam serum banyak penderita miestania gravis. Pada klien miestania gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika ada atrofi, hal ini akibat otot yang tidak pernah dipakai. Secara mikroskopis, beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten (Price dan Wilson, 2006) F. Pathway Terlampir G. Klasifikasi Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas I



Adanya kelemahan otot-otot ocullar, kelemahan pada saat menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal



Kelas II



Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.



Kelas Iia



Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan



Kelas Iib



Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih



ringan dibandingkan klas IIa. Kelas III



Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otototot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang



Kelas III a



Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan



Kelas III b



Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otototot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.



Kelas IV



Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat



Kelas IV a



Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan



Kelas IV b



Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.



Kelas V



Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.



Klasifikasi menurut osserman ada 4 tipe : 1.



Ocular miastenia terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian



2.



Generalized myiasthenia a. Mild generalized myiasthenia Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik. b. Moderate generalized myasthenia Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak memuaskan.



3.



Severe generalized myasthenia a. Acute fulmating myasthenia Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma b. Late severe myasthenia Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek



4.



Myasthenia crisis Menjadi cepat buruknya keadaan penderita myasthenia gravis dapat disebabkan :



pekerjaan fisik yang berlebihan, emosi, infeksi, melahirkan



anak



H. Manifestasi Klinis Miastenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuscular. Keadaan ini sering bermanisfestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Pada 90 % penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebrae kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian. Miastenia gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan pasien tak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung. Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat



dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak lagi mampu membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada kasus yang lebih lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang hingga terjadi kelemahan pada semua otot-otot rangka. Biasanya gejala Miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Namun gejala-gejala tersebut dapat menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab (SilviaA. Price, Lorain M. Wilson. 1995.); 1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid, 2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagianatas, dan infeksi yang disertai diare dan demam, 3. Gangguan emosi atau stres. Kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang, 4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin (suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot) dan obat-obat lainnya. Pada pemeriksaan neurologik tidak ditemukan kelainan. Gejala kelemahan otot dapat diprovokasi oleh aktivitas, stres, nervositas, demam dan obat-obat tertentu seperti B-blocker, derivat kinine, aminoglikosida dan lain-lain. Dulu diduga Miastenia gravis tidak timbul sebelum pubertas, akan tetapi dengan uji prostigmin dapat dibuktikan pada anak umur 18 bulan – 10 tahun. Millichap dan Dodge membagi Miastenia gravis pada anak dalam 3 tipe (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986) : 1. Neonatal transient Miastenia gravis Tipe ini terdapat pada 10-20% bayi baru lahir dari ibu-ibu yang menderita Miastenia gravis. Beratnya gejala tidak berkaitan dengan beratnya penyakit pada ibu . Segera atau beberapa jam setelah lahir, bayi menjadi lemah, nabgis dan gerakan berkurang, tidak dapat mengisap, sukar menelan, pernapasan melemah. Gejalaini berlangsung tidak lebih dari 1 Bulan dan bayi berangsur-



angsur kembali normal karena masuknya anti-AChR dari ibu secara transplasenter ke dalam tubuh bayi. 2. Neonatal persistent Miastenia gravis (congenital Miastenia gravis) Gejala timbul pada waktu lahir, tetapi ibunya tidak sakit Miastenia gravis. Gejala hampir sama dengan tipe neonatal transient Miastenia gravis, bersifat ringan, berlangsung lama,makin lama makin buruk . Relatif resisten terhadap pengobatan dan remisi komplit jarang. 3. Juvenile Miastenia gravis Tipe ini timbul pada umur 2 tahun sampai remaja. Keluhan dan gejala sama seperti pada orang dewasa dan gejala pertama biasanya diplopia dan ptosis atau gejala THT seperti gangguan mengunyah, menelan atau suara sengau.



I. Pemeriksaan Penunjang Penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut (Ngurah, 1991) : 1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang, penderita menjadi anartris dan afonis. 2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi. 3. Uji Tensilon (edrophonium chloride), untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak



mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat. 4. Uji Prostigmin (neostigmin), pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. 5. Uji Kinin, diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg, 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.



Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis pasti: 1.



Pemeriksaan Laboratorium a. Anti-asetilkolin reseptor antibody Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien, 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody (Howard, 2008). b. Antistriated muscle (anti-SM) antibody Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa



thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif. c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil antiAChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab. d. Antistriational antibodies Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis. e. Imaging f. Chest x-ray (foto roentgen thorak), dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum g. Chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua. h. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.



Pendekatan Elektrodiagnostik, dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik :



a. Repetitive Nerve Stimulation (RNS), pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi. b. Single-fiber Electromyography (SFEMG), menggunakan jarum singlefiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal. J. Penatalaksanaan Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan miastenia gravis adalah: 1. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat energi. 2. b.



Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan).



3. Perawatan pasca operasi dan pengontrolan jalan napas. Melemahnya penderita selama beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik. 4. Krisis miastenik dapat diatasi dengan obat tambahan dan bantuan pernapasan jika perlu. 5. Krisis kolinergik diatasi dengan atropin (penyekat asetilkolin) dan bantuan pernapasan, sampai gejala hilang. Terapi antikolinesterase ditunda sampai kadar toksik obat diatasi. 6. Krisis miastenia dan krisis kolinergik terjadi dengan cara yang sama, namun diatasi secara berbeda. Pemberian Tensilon dilakukan untuk membedakan antara dua gangguan tersebut. 7. Plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran antibodi IgG).



8. Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Plasmaferesis mungkin efektif pada krisis miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik. 9. Terapi farmakologi a. Antikolinesterase (piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam) untuk memperpanjang waktu paruh asetilkolin pada neuromuskular. Pemberian antikolinesterase sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping



pemberian



antikolinesterase



disebabkan



oleh



stimulasi



parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. b. Steroid (prednisolon sekali sehari secara selang-seling atau alternate days dengan dosis awal kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu). Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari. c. Azatioprin (merupakan obat imunosupresif dengan efek samping lebih sedikit jika dibandingkan dengan steroid, yaitu berupa gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia). Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. d. Obat anti-inflamasi untuk membatasi serangan autoimun K. Komplikasi Miastenia gravis dikatakan berada dalam keadaan krisis jika tidak dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Terdapat dua jenis krisis yang terjadi sebagai komplikasi dari miastenia gravis (Corwin, 2009), yaitu:



1. Krisis Miastenik Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh. 2. Krisis kolinergik Krisis



kolinergik



yaitu



respons



toksik



akibat



kelebihan



obat-obat



antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Status hiperkolinergik ditandai dengan peningkatan motilitas usus, konstriksi pupil, bradikardia, mual dan muntah, berkeringat, diare, serta dapat pula timbul gawat napas. Perbedaan kedua krisis di atas adalah sebagai berikut: Krisis miastenia Krisis kolinergik 1.        Meningkatnya tekanan darah 1.        Menurunnya tekanan darah 2.        Takikardia



2.        Bradikardia



3.        Gelisah



3.        Gelisah



4.        Ketakutan



4.        Ketakutan



5.        Meningkatnya sekresi



5.        Meningkatnya sekresi bronkhial,



bronkhial, air mata dan keringat



air mata dan keringat



6.        Kelemahan otot umum



6.        Kelemahan otot umum



7.        Kehilangan refleks batuk



7.        Kesultan bernapas, menelan dan



8.        Kesulitan bernafas, menelan dan bicara bicara 9.        Penurunan output urine



8.        Mual, muntah 9.        Diare 10.    Kram abdomen



Selain kedua krisis tersebut, komplikasi lainnya yaitu: 1. Gagal nafas



2. Disfagia 3. Pneumonia 4. Komplikasi sekunder dari terapi obat (terutama penggunaan steroid yang lama), yaitu: osteoporosis, katarak, hiperglikemi, gastritis, penyakit peptic ulcer, dan pneumocystis carinii. L. Prognosis Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik daripada orang dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama otot-otot tubuh bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot. Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan ± 20% antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada awal penyakit terjadi pada 10% Miasteniagravis (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).



II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN MIASTENIA GRAVIS A. Pengkajian 1. Anamnesis a. Keluhan Utama Hal yang sering menyebabkan klien miastenia meminta bantuan medis adalah kondisi penurunan atau kelemahan otot-otot, dengan manifestasi: diplopia (pengelihatan ganda), ptosis (jatuhnya kelopak mata) merupakan keluhan utama dari 90% klien miastenia gravis, disfonia (gangguan suara), masalah menelan, dan mengunyah makanan. Pada kondisi berat keluhan utama biasanya adalah ketidakmampuan menutup rahang, ketidakmampuan batuk efektif dan dispnea. b. Riwayat Penyakit Sekarang



Miestania gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika klien mencoba menelan (otototot palatum); menimbulkan suara abnormal atau suara nasal; dank lien tidak mampu menutup mulut yang disebut sebagai tanda rahang menggantung. Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan klien tidak mampu lagi membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang pula; dapat pula terjadi kelemahan semua otot-otot rangka. Biasanya gejala-gejala miestania gravis dapat berkurang dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase. c. Riwayat Penyakit Dahulu Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang memperberat kondisi miaestania gravis, seperti hiprertensi dan diabetes mellitus. d. Riwayat Penyakit Keluarga Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai persamaan dengan keluhan klien saat ini. e. Pengkajian Psikososiokultural Klien miestania gravis sering mengalami gangguan emosi pada kebanyakan klien kelemahan otot jika mereka berada dalam keadaan tegang. Adanya kelemahan pada kelopak mata ptosis, diplopia, dan kerusakan dalam komunikasi verbal menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri. 2. Pengkajian Fisik a. B1 (Breathing) Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi atau stridor pada klien, menunjukkan adanya akumulasi secret pada jalan napas dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan. b. B2 (Blood)



Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan untuk memantau perkembangan dari status kardiovaskular, terutama denyut nadi dan tekanan darahyang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak membaiknya status pernapasan. c. B3 (Brain) 1) Pengkajian Saraf Kranial a) Saraf I.



Biasanya pada klien tidak ada kelainan, terutama fungsi



penciuman b) Saraf II. Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh adanya penglihatan ganda. c) Saraf III, IV dan VI. Sering didapatkan adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia, mimic dari pseudointernuklear optalmoplegia akibat gangguan motorik pada nervus VI. d) Saraf V. Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-otot wajah. e) Saraf VII. Persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan motorik lidah. f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi. g) Saraf IX dan X. Ketidakmampuan dalam menelan. h) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. i) Saraf XII. Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot motorik pada lidah. 2) Pengkajian Sistem Motorik Karakteristik utama miestania gravis adalah kelemahan dari system motorik. Adanya kelemahan umum pada oto-otot rangka memberikan manifestasi pada hambatan mobolitas dan intoleransi aktivitas. 3) Pengkajian Refleks Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal. 4) Pengkajian Sistem Sensorik



Pemeriksaan sensorik pada penyakit ini biasanya didapatkan sensasi raba dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh. d. B4 (Bladder) Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya menunjukkan berkurangnya volume pengeluaran urine, yang berhubungan dengan penurunan perfuusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. e. B5 (Bowel) Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miestania gravis menurun karena ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari kelemahan otot-otot menelan. f. B6 (Bone) Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada mobilitas dan mengganggu aktivitas perawatan diri. (Arif Muttaqin, 2008). B. Diagnosa Keperawatan 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang b.d peningkatan produksi mukus dan penurunan kemampuan batuk efektif. 2. Ketidakefektifan pola nafas yang b.d kelemahan otot pernafasan. 3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menelan. 4. Hambatan mobilitas fisik b.d kelemahan otot-otot volunter. 5. Hambatan komunikasi verbal b.d disfonia,gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral. 6. Gangguan citra diri b.d ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal. 7. Resiko aspirasi yang b.d penutupan kontrol tersedak dan batuk efektif. C. Intervensi Keperawatan 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang b.d peningkatan produksi mukus dan penurunan kemampuan batuk efektif. Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan jalan napas kembali



efektif. Kriteria hasil: Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal Bunyi nafas terdengar jelas Respirator terpasang dengan optimal Intervensi 1. Kaji fungsi paru, adanya bunyi



Rasional 1. Memantau dan mengatasi



napas tambahan, perubahan irama



komplikasi potensial. Pengkajian



dan kedalaman, penggunaan otot



fungsi pernapasan dengan



aksesori, warna dan kekentalan



intervalyang teratur adalah penting



sputum.



karena pernapasan yang tidak



2. Atur posisi fowler dan semifowler.



efektif dan adanya kegagalan,



3. Ajarkan cara batuk efektif.



karena adanya kelemahan atau



4. Lakukan fisioterapi dada; vibrasi



paralisis pada otot-otot interkostal



dada. 5. Lakukan penghisapan lender di jalan napas. 6. Penuhi hidrasi cairan via oral,



dan diafragma yang berkembang dengan cepat. 2. Peninggian kepala tempat tidur memudahkan pernapasan,



seperti minum air putih, dan



meningkatkan ekspansi dada dan



pertahankan asupan cairan 2500



meningkatkan batuk lebih efektif.



ml/hari.



3. Klien berada pada risiko tinggi jika tidak dapat batuk dengan efektif untuk membersihkan jalan napas dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan gagal napas akut. 4. Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk lebih efektif. 5. Penghisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatenan jalan napas menjadi bersih.



6. Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mucus yang kental dan dapat membantu pemenuhan cairan yang banyak keluar dari tubuh. 2. Ketidakefektifan pola nafas yang b.d kelemahan otot pernafasan. Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan pola napas kembali efektif. Kriteria hasil: Secara subyektif sesak napas (-) Frekuensi napas 16-20 kali/menit Otot bantu napas (-) Gerakan dada normal. Intervensi 1. Kaji fungsi paru, adanya bunyi



Rasional 1. Menjadi bahan parameter



napas tambahan, perubahan irama



monitoring serangan gagal napas



dan kedalaman, penggunaan otot



dan menjadi data dasar intervensi



aksesori.



selanjutnya.



2. Evaluasi keluhan sesak napas, baik secara verbal dan nonverbal.



2. Tanda dan gejala meliputi adanya kesulitan bernapas saat berbicara,



3. Beri ventilasi mekanik.



pernapasan dangkal dan ireguler,



4. Lakukan pemeriksaan kapasitas



menggunakan otot-otot aksesoris,



vital pernapasan. 5. Kolaborasi : Pemberian humidifikasi oksigen 3 liter/menit.



takikardia, dan perubahan pola napas. 3. Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan perkembangan ke arah kemunduran, yang mengindikasi ke arah memburuknya kekuatan otot-otot pernapasan.



4. Kapasitas vital klien dipantau lebih sering dan dengan interval yang teratur dalam penambahan kecepatan pernapasan dan kualitas pernapasan, sehingga pernapasan yang tidak efektif dapat diantisipasi. Penuernan kapasitas vital karena kelemahan otot-otot yang digunakan saat menelan, sehingga hal ini menyebabkan kesulitan saat batuk dan menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernapasan. 5. Membantu pemenuhan oksigen yang sangat diperlukan tubuh dengan kondisi laju metabolism sedang meningkat. 3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menelan. Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan nutrisi klien terpenuhi. Kriteria hasil: Tanda malnutrisi (-) Nilai laboratorium dalam batas normal. Intervensi 1. Kaji kemampuan pasien dalam menelan, batuk, dan adanya secret. 2. Auskulatasi bising usus, amati penurunan atau hiperaktivitas bising usus.



Rasional 1. Faktor-faktor tersebut menentukan kemampuan menelan klien dan klien harus dilindungi dari risiko terjadinya aspirasi. 2. Fungsi gastrointestinal tergantung



3. Timbang berat badan sesuai indikasi



pula pada kerusakan otak, bising usus menentukan respon feeding



4. Berikan makanan dengan cara meninggikan kepala. 5. Pertahankan lingkungan yang tenang dan anjurkan keluarga atau orang terdekat untuk memberikan makanan pada klien.



atau terjadinya komplikasi misalnya ileus. 3. Untuk mengevaluasi efektivitas dari asupan makanan. 4. Menurunkan risiko regurgitasi atau aspirasi. 5. Membuat klien merasa aman sehingga asupan dapat dipertahankan



4. Hambatan mobilitas fisik b.d kelemahan otot-otot volunter. Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan mobilitas klien meningkat atau teradaptasi. Kriteria hasil: Peningkatan kemampuan Trombosis vena provunda dan emboli paru merupakan ancaman klien paralisis, yang tidak mampu mengerakan ekstremitas (-) Dekubitus tidak terjadi. Intervensi 1. Kaji tingkat kemampuan pasien dalam melakukaan mobilitas fisik. 2. Dekatkan alat dan sarana yang



Rasional 1. Merupakan data dasar untuk melakukan intervene selanjutnya. 2. Bila pemulihkan mulai dilakukan,



dibutuhkan klien dalam pemenuhan



klien dapat mengalami hipotensi



aktivitas sehari-hari.



ortostatik dan kemungkinan



3. Hindari faktor yang memungkinkan



membutuhkan meja tempat tidur



terjadinya trauma pada saat klien



untuk menolong mereka mengambil



melakukan mobilisasi.



posisi duduk tegak.



4. Sokong ekstremitas yang mengalami paralisis. 5. Monitor komplikasi hambatan



3. Individu paralisis mempunyai kemungkinan mengalami kompresi neuropati, paling sering saraf ulnar



mobilitas fisik. 6. Kolaborasi dengan tim fisioterapis.



dan perineal. Bantalan dapat ditempatkan di siku dan kepala fibula untuk mencegah terjadinya masalah ini. 4. Ekstremitas paralisis disokong dengan posisi fungsional dan memberikan latihan rentang gerak secara pasif paling sedikit dua kali sehari. 5. Deteksi dini thrombosis vena profunda dan dekubitus sehingga dengan penemuan yang cepat, penanganan lebih mudah dilaksanakan. 6. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk mencegah deformitas kontrktur dengan menggunakan pengubahan posisi yang hati-hati dan latihan rentang gerak..



5. Hambatan komunikasi verbal b.d disfonia, gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral. Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien mampu membuat teknik atau metode komunikasi yang dapat dimengerti sesuai kebutuhan dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi. Kriteria hasil: Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat. Klien dapat berkomunikasi dengan sumber kemampuan yang ada. Intervensi



Rasional



1. Kaji komunikasi verbal klien.



1. Kelemahan otot-otot bicara



2. Lakukan metode komunikasi



klien krisis miastenia gravis



yang ideal sesuai dengan



dapat berakibat pada



kondisi klien.



komunikasi.



3. Beri peringatan bahwa klien di



2. Teknik untuk meningkatkan



ruang ini mengalami gangguan



komunikasi meliputi



berbicara, sediakan bel khusus



mendengarkan klien,



bila perlu.



mengulangi apa yang mereka



4. Antisipasi dan bantu kebutuhan klien. 5. Ucapkan langsung kepada klien



coba komunikasikan dengan jelas dan membuktikan yang diinformasikan, berbicara



dengan berbicara pelan dan



dengan klien terhadap kedipan



tenang, gunakan pertanyaan



mata mereka dan atau



dengan jawaban ”ya”



goyangkan jari-jari tangan atau



atau”tidak” dan perhatikan



kaki untuk menjawab ya atau



respon klien.



tidak. Setelah periode krisis



6. Kolaborasi: konsultasi ke ahli terapi bicara.



klien selalu mampu mengenal kebutuhan mereka. 3. Untuk kenyamanan yang berhubungan dengan ketidakmampuan komunikasi. 4. Membantu menurunkan frustasi oleh karena ketergantungan atau ketidakmampuan berkomunikasi. 5. Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap banyaknya informasi. Memajukan stimulasi komunikasi ingatan dan katakata. 6. Mengkaji kemampuan verbal individual,sensorik, dan motorik, serta fungsi



kognitif untuk mengidentifikasi defisit dan kebutuhan terapi. 6. Gangguan citra diri b.d ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal. Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan citra diri klien meningkat. Kriteria hasil: Klien mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi Klien mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi Klien mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif. Intervensi 1. Kaji perubahan dari gangguan



Rasional 1.



Menentukan bantuan individual



persepsi dan hubungan dengan



dalam menyusun rencana



derajat ketidakmampuan.



perawatan atau pemilihan



2. Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi pada klien.



intervensi. 2.



3. Catat ketika klien menyatakan



Beberapa klien dapat menerima dan mengatur perubahan fungsi



terpengaruh seperti sekarat atau



secara efektif dengan sedikit



mengingkari dan menyatakan inilah



penyesuaian diri, sedangkan yang



kematian.



lain mempunyai kesulitan



4. Bantu dan anjurkan perawatan yang



membandingkan mengenal dan



baik dan memperbaiki kebiasaan. 5. Dukung perilaku atau usaha seperti



mengatur kekurangan. 3.



Mendukung penolakan terhadap



peningkatan minat atau partisipasi



bagian tubuh atau perasaan



dalam aktivitas rehabilitasi.



negative terhadap gambaran tubuh



6. Kolaborasi :



dan kemampuan yang menunjukan



Rujuk pada ahli neuropsikologi dan



kebutuhan dan intervensi serta



konseling bila ada indikasi.



dukungan emosional. 4.



Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan mengontrol lebih



dari satu area kehidupan. 5.



Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan pengertian tentang peran individu masa mendatang.



6.



Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk perkembangan perasaan.



7. Resiko aspirasi yang b.d penutupan kontrol tersedak dan batuk efektif. Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan aspirasi dapat dicegah. Kriteria hasil: Mendemonstrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan aspirasi tercegah. Intervensi 1. Tinjau ulang patologi atau



Rasional 1. Intervensi nutrisi atau pilihan rute



kemampuan menelan klien secara



makan ditentukan oleh faktor-



individual, catat luasnya paralisis



faktor ini.



fasial, gangguan lidah, kemampuan



2. Menetralkan hiperekstensi,



untuk melindungi jalan napas.



membantu mencegah aspirasi dan



2. Tingkatkan upaya untuk dapat



meningkatkan kemampuan untuk



melakukan proses menelan yang efektif, seperti:



menelan. 3. Menggunakan gravitasi untuk



bantu pasien dengan mengontrol



memudahkan proses menelan dan



kepala.



menurunkan risiko terjadinya



3. Letakan klien dalam posisi duduk atau tegak selama dan setelah makan. 4. Mulai untuk memberikan makanan per oral setengah cair, makanan lunak ketika klien dapat menelan air.



aspirasi. 4. Makanan lunak lebih mudah untuk mengendalikannya di dalam mulut, menurunkan risiko terjadinya aspirasi. 5. Menguatkan otot fasial dan otot menelan dan menurunkan risiko



5. Anjurkan klien menggunakan sedotan untuk meminum cairan. 6. Kolaborasi:



terjadinya tersedak. 6. Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan



Berikan cairan melalui IV atau



juga makanan jika klien tidak



makanan melalui selang.



mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut.



D. Implementasi Keperawatan Tahap ini merupakan pengelolaan, perwujudan, serta bentuk tindakan nyata dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap intervensi.



E. Evaluasi Keperawatan Dx. Keperawatan Evaluasi Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang Jalan napas kembali efektif b.d peningkatan produksi mukus dan penurunan kemampuan batuk efektif. Ketidakefektifan pola nafas yang b.d Pola napas kembali efektif kelemahan otot pernafasan Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari Nutrisi klien terpenuhi kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menelan. Hambatan mobilitas fisik b.d kelemahan Mobilitas



klien



meningkat



atau



otot-otot volunter. teradaptasi. Gangguan komunikasi verbal b.d disfonia, Klien mampu membuat teknik atau gangguan pengucapan kata, gangguan metode



komunikasi



yang



sesuai



kebutuhan



neuromuskular, kehilangan kontrol tonus dimengerti otot fasial atau oral. . Gangguan



citra



meningkatkan diri



b.d



berkomunikasi. ptosis, Citra diri klien meningkat.



ketidakmampuan komunikasi verbal.



dapat dan



kemampuan



Resiko



aspirasi



yang b.d penutupan Aspirasi dapat dicegah



kontrol tersedak dan batuk efektif.



PATHWAY



Gangguan autoimun yang merusak reseptor asetilkolin (ACh)



Jumlah reseptor asetilkolin pada membran berkurang



Kehilangan kemampuan/hilangnya reseptor normal



1



Ketidakpuasan terhadap penampilan & fungsi tubuh



Gangguan citra tubuh



2



Ketidakseimba ngan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh



3



Risiko aspirasi



4



Refleks batuk menurun



Peningkatan sekret



Jalan napas terhambat Ketidakefektifan bersihan jalan napas



DAFTAR PUSTAKA Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC. Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Jakarta : EGC. Dongoes, M.E., Mary F.M., dan Alice C. G. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC. Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-1014. Jakarta: EGC. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC Price & Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.