LP Apendisitis Akut [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Keperawatan Gadar dan Disaster



LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS AKUT



OLEH : NOER MIFTAH MUBARAQ 14420192132



CI INSTITUSI



CI LAHAN



(.............................)



(..........................)



PROGRAM STUDI PROFESI NERS UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2020



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Apendisitis akut merupakan salah satu kegawatan bedah yang paling sering, dan apendiktomi termasuk operasi darurat yang paling sering dilakukan di seluruh dunia (Tampi, Sapan, & Sumangkut, 2016). Berdasarkan data dari World Health Organization/WHO tahun 2010, angka mortalitas akibat apendisitis adalah 22.000 jiwa dimana populasi lakilaki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan dengan angka 12.000 jiwa pada laki-laki dan sekitar 10.000 jiwa pada perempuan (Faridah, 2015). Di Indonesia sendiri apendisitis masuk ke dalam peringkat 2 dalam 10 besar penyakit tidak menular penyebab rawat inap pada tahun 2010 setelah penyakit hipertensi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia/Kemenkes RI, 2012). Kasus Apendisitis akut mampu berkembang menjadi perforasi apendiks yang nantinya dapat mengakibatkan 67% kematian (Yulianto dkk., 2016). B. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, adalah:



1. Mengetahui mendeskripsikan secara teoritis tentang apendisitis akut yang terjadi pada pasien.



2. Mengetahui asuhan keperawatan yang tepat yang dapat dilakukan pada pasien dengan apendisitis akut.



BAB II TINJUAN TEORI



1.



Konsep Medis A. Definisi Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada lapisan mukosa dari apendiks vermiformis yang kemudian dapat menyebar ke bagian lainnya dari apendiks. Peradangan ini terjadi karena adanya sumbatan atau infeksi pada lumen apendiks. Apendisitis yang tidak segera ditangani dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti perforasi atau sepsis, bahkan dapat menyebabkan kematian. Apendisitis akut merupakan kasus abdomen akut paling sering yang membutuhkan pembedahan darurat (Craig, 2017). B. Etiologi Penyebab



terjadinya



Apendisitis



sebenarnya



masih



dalam



perdebatan, namun diyakini bahwa penyebab utama terjadinya Apendisitis adalah sumbatan di lumen apendiks. Sumbatan ini dapat disebabkan oleh fekalit, hyperplasia kelenjar limfoid, benda asing, parasit dan tumor maupun keganasan. Tersumbatnya apendiks menyebabkan penumpukan cairan di dalam lumen, karena kapasitasnya yang kecil maka terjadi peningkatan tekanan intraluminal dan dilatasi dengan cepat (Bhangu et al., 2015; Petroianu dan Barroso, 2016). Saat tekanan intraluminal mencapai lebih dari 85 mmHg, terjadi peningkatan tekanan pada vena sedangkan aliran dari arteri masih berlanjut. Hal ini mengakibatkan gangguan pada aliran vaskular dan limfatik yang menyebabkan pembengkakan dan iskemia pada apendiks. Mukosa mengalami hipoksia dan mulai membusuk, mengakibatkan invasi dari bakteri intraluminal pada dinding apendiks. Bakteri yang biasa mengakibatkan Apendisitis adalah Escherichia coli (76%), Enteroccocus



(30%), Bacteroides (24%) dan Pseudomonas (20%) (Petroianu dan Barroso, 2016). Infeksi menyebabkan peradangan yang dapat meluas ke serosa, peritoneum parietal, dan organ lain yang berdekatan. Peradangan ini menstimulasi ujung saraf aferen dari T8-T10 menghasilkan nyeri alih di daerah epigastrik dan periumbilikus. Nyeri ini biasanya akan bergeser dan kemudian menetap di kuadran kanan bawah. Jika hal ini terus dibiarkan aliran darah pada arteri akan terganggu dan menyebabkan infark. Lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan gangren dan perforasi, yang biasanya terjadi antara 24 dan 36 jam (Petroianu dan Barroso, 2016). Apendsitis akut diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu : 1) Non complicated : peradangan pada apendiks tanpa disertai perforasi, abses, gangrene, maupun abses disekitar apendiks. 2) Complicated : peradangan pada apendiks yang disertai perforasi, abses atau gangrene, atau adanya abses periapendikular (Bhangu et al., 2015; Petroianu dan Barroso, 2016). C. Patofisiologi Patofisiologi dari apendisitis dimulai dari terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat, kemungkinan disebabkan oleh fekalit (massa keras dari feses), tumor, atau beda asing. Proses inflamasi ini menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal, sehingga menimbulkan nyeri abdomen dan menyebar secara hebat dan progresif dalam beberapa jam terlokalisasi di kuadran kanan bawah abdomen. Hal tersebut menyebabkan apendik yang terinflamasi tersebut berisi pus (Smeltzer & Bare, 2012). Menurut bagian bedah staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas



Indonesia



(2012),



patofisiologi



apendisitis



mula-mula



disebabkan oleh sumbatan lumen. Obstruksi lumen apendiks disebabkan oleh penyempitan lumen akibat hiperplasia jaringan limfoid submukosa. Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang akhirnya menjadi penyebab sumbatan



tersebut.sumbatan lumen tersebut menyebabkan keluhan sakit disekitar umbilikus dan epigastrium, mual dan muntah. Proses selanjutnya adalah invasi kuman Entamoeba Coli dan spesies bakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan muskularis dan akhirnya ke peritoneum parietalis kemudian terjadilah peritonitis lokal kanan bawah, hal ini menyebabkan suhu tubuh mulai naik. Gangren dinding apendiks disebabkan oleh oklusi pembuluh darah dinding apendiks akibat distensi lumen apendiks. Bila tekanan intra lumen meningkat maka akan terjadi perforasi yang ditandai dengan kenaikan suhu tubuh dan menetap tinggi. Tahapan peradangan apendisitis dimulai dari apendisitis akuta yakni sederhana tanpa perforasi, kemudian menuju apendisitis akuta perforata yani apendisitis gangrenosa. D. Komplikasi Apendisitis merupakan penyakit yang jarang mereda dengan spontan, namun penyakit ini mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, sehingga observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut. Perforasi dapat terjadi dengan menimbulkan tanda-tanda seperti nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis. Apabila perforasi dengan peritonitis umum telah terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat segera ditegakkan (Mansjoer, 2012). Komplikasi seperti abses apendik, akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Trom boplebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi merupakan komplikasi yang letal. Hal tersebut dapat dicurugai apabila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdomen lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan (Mansjoer, 2012).



E. Manifestasi klinik Apendisitis sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney dan nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Sjamsuhidayat & de Jong, 2012). Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, dan hilangnya nafsu makan, dan selain itu nyeri tekan lepas juga sering dijumpai pada klien dengan apendisitis. Nyeri dapat dirasakan saat defekasi atau pun saat berkemih Nyeri saat defekasi menunjukkan bahwa ujung apendik berada di dekat rektum, sedangkan nyeri saat berkemih menunjukkan bahwa letak ujung apendik dekat dengan kandung kemihh atau ureter (Smeltzer & Bare, 2012). Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dantanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya (Sjamsuhidayat & de Jong, 2012). F. Diagnosis Sampai saat ini penegakkan diagnosis untuk Apendisitis akut masih menjadi sebuah tantangan tersendiri bahkan bagi ahli dan professional sekalipun. Hal ini karena tanda dan gejala yang terjadi pada pasien tidak spesifik dan memiliki banyak diagnosis banding yang harus disingkirkan,



sedangkan



komplikasi



yang



dihadapi



pun



tidak



sembarangan. Pemeriksaan yang dilakukan haruslah kompleks untuk dapat



menghasilkan akurasi diagnosis yang baik sehingga angka negatif apendiktomi dapat diminimalisir (Petroianu, 2012; Shogilev et al., 2014). 1. Anamnesis Pasien Apendisitis akut biasanya datang dengan keluhan nyeri pada perut bagian kanan bawah. Nyeri ini biasanya digambarkan sebagia nyeri kolik di daerah periumbikal yang nyerinya dirasa intensif pada 24 jam pertama, kemudian menjadi nyeri tajam dan konstan yang berpindah ke daerah fosa iliaka kanan. Anamnesis dilakukan untuk menanyakan adanya gejala lain yang menyertai seperti adanya mual, muntah, konstipasi, penurunan nafsu makan, dan demam. Namun gejala gejala ini tidak spesifik karena dapat terjadi pada gangguan lain dari abdomen (Petroianu, 2. Pemeriksaan Fisik Lokasi dari apendiks sangan bervariasi pada tiap individu, oleh karena itu tanda dan gejala Apendisitis biasa bisa muncul atau tidak pada individu yang berbeda. Pemeriksaan fisik digunakan untuk memastikan adanya nyeri yang ditimbulkan oleh apendisitis pada berbagai posisi tubuh tertentu. Berikut ini merupakan beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menunjang diagnosis apendisitis : a) Rovsing’s sign : positif bila terdapat nyeri pada perut kuadran kanan bawah saat dilakukan penekana pada perut kuadran kiri bawah. b) Blumberg’s sign : positif bila terdapat nyeri pada perut kuadran kanan bawah saat tekanan pada perut kuadran kiri bawah dilepas. c) Psoas sign : positif bila terdapat nyeri pada kuadran kanan bawah yang muncul saat dilakukan gerakan ekstensi paha kanan pasien, meregangkan otot iliopsoas dengan pasien dalam posisi dekubitus lateral kiri, ini mungkin menandakan lokasi retrocaecal dari apendisitis. d) Obturator sign : positif bila terdapat nyeri pada kuadran kanan bawah yang muncul saat dilakukan rotasi internal pasif dari paha



kanan yang dilipat, ini mungkin menandakan lokasi apendisitis yang dekat m.obturatorius (Barlow et al., 2013; Petroianu, 2012). 3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan



laboratorium



untuk



Apendisitis



terdiri



dari



pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan protein reaktif. Pada pemeriksaan darah lengkap yang dijadikan penanda untuk apendisitis akut adalah leukositosis dan neutrofilia. Peningkatan sel darah putih lebih dari 10.000/ml menandakan Apendisitis sederhana, sedangkan peningkatan lebih dari 18.000/ml menandakan Apendisitis dengan perforasi. Peningkatan C-reactive protein (CRP) biasanya terjadi pada Apendisitis yang gejalanya telah timbul lebih dari 12 jam. Dari kombinasi ketiga temuan tersebut dapat meningkatkan sensitifitas diagnosis untuk Apendisitis akut sebesar 97%- 100% (Petroianu, 2012; Sevinc, 2016). 4. Pemeriksaan Radiologi a) Apendikogram Pemeriksaan apendikogram dilakukan dengan meminta pasien untuk meminum cairan kontras kemudian dilakukan pengambilan hasil X-ray. Prosedur ini cukup invasif dan radiatif sehingga membutuhkan indikasi yang kuat untuk penggunaannya. Kecurigaan terjadinya Apendisitis pada pemeriksaan ini adalah jika tidak terdapat pengisian dari cairan kontras atau pengisian sebagian, ditemukan gambaran lumen yang ireguler, dan adanya edema mukosa lokal pada ujung caecum. Sebuah penelitian mengaatakan bahwa apendikogram memiliki sensitifitas sebesar 83% (Kusuma et al., 2015; Soetikno, 2011). b) USG Alat pencitraan yang paling sering digunakan sebagai penunjang



diagnosisi



akurasinya



lebih



Apendisitis



rendah



adalah



dibanding



USG,



CT-Scan



walaupun dan



MRI.



Ultrasonografi menjadi pilihan utama karena penggunaanya yang mudah, murah, dan tidak invasif. Sayangnya tingkat akurasi USG



sangat bergantung pada operator dan alat yang digunakan. Faktor lain yang mempengaruhi hasil USG adalah obesitas, gas dalam lengkungan usus di depan apendiks, jumlah cairan inflamasi di sekitar apendiks, dan posis dari apendiks (Hussain et al., 2014; Sezer et al., 2012). Cara melakukan pemeriksaan menggunakan USG adalah sebagai berikut : Pasien berbaring dalam posisi telentang pada permukaan yang tegas. Kuadran kanan bawah dieksplorasi dengan kompresi yang tegas dan bertahap menggunakan transduser garis frekuensi tinggi. Posisi tangan kiri pemeriksa di daerah lumbal pasien dan mencoba untuk mengecilkan perut melawan transduser. Atau meminta pasien untuk berbaring dalam posisi dekubitus lateral kiri dan pemeriksa melakukan pendekatan USG dari lateral dan posterior (Espejo et al., 2014). Kriteria



pencitraan



USG



yang



digunakan



untuk



mendiagnosis Apendisitis adalah jika terdapat : i. Temuan appendiceal : Penebalan dinding apendiks, diameter lumen >6mm, hiperekoik dengan bayangan posterior karena adanya



apendikolith,



17



non-compressible



apendiks,



hiperekoik pada mukosa dan lapisan otot lumen, dan peningkatan aliran darah pada dinding apendiks pada pewarnaan dopler. ii. Temuan periappendcieal : Hiperekoik lemak perienterik karena adanya peradangan pada lemak di sekitar apendiks, penebalan dinding caecum >5mm, apendikolith ekstra luminal, dan adanya cairan bebas disekitar apendiks. Minimal terpenuhi 2 dari kriteria di atas untuk dapat menegakkan diagnosis apendisitis (Espejo et al., 2014; Hussain et al., 2014; Mostbeck et al., 2016). Sebuah penelitian menyebutkan bahwa dari beberapa kriteria diatas, yang paling baik spesifisitasnya dalam mendisgnosis apendisitis adalah jika ditemukan



diameter lumen >6mm dan non-compressible apendiks (Hussain et al., 2014). G. Penatalaksanaan Peritonitis umum yang terjadi dapat dilakukan operasi untuk menutup asal perforasi dan tindakan penunjang adalah tirah baring dalam posisi semi fowler, pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas dan dilanjutkan antibiotik yang sesuai hasil kultur, tranfusi untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif. Apabila terbentuk abses apendik, terapi dini yang dapat diberikan adalah kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin). Menggunakan sediaan ini, maka abses akan menghilang dan dapat dilakukan apendektomi 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif dan abses yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fluktuasi positif harus segera dilakukan drainase (Mansjoer, 2012).



2.



ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. WawancaraDapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya mengenai: a. Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas. b. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah. kesehatan klien sekarang. c. Diet,kebiasaan makan makanan rendah serat.



d. Kebiasaan eliminasi. 2. Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan



fisik



keadaan



umum



klien



tampak



sakit



ringan/sedang/berat. b. Sirkulasi : Takikardia. c. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal. d. Aktivitas/istirahat : Malaise. e. Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang. f. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus. g. Nyeri/kenyamanan,



nyeri



abdomen



sekitar



epigastrium



dan



umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak. h. Demam lebih dari 38oC. i. Data psikologis klien nampak gelisah. j. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan. k. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi. l. Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat. B. Diagnosa Keperawatan 1. Pre operasi a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh inflamasi) b. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan peritaltik. c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah. d. Cemas  berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.



2. Post operasi a. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi). b. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan). c. Defisit self care berhubungan dengan nyeri. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi. C. Rencana Keperawatan N O 1.



Pre Operasi DIAGNOSA KEPERAWATAN Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh inflamasi)



NOC



NIC



Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan nyeri klien berkurang dengan kriteria hasil:



1.    Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.



·         Klien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) ·         Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri



2.    Jelaskan pada pasien tentang penyebab nyeri



3.    Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragmatik lambat / napas dalam



RASIONAL 1. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya 2. informasi yang tepat dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien dan menambah pengetahuan pasien tentang nyeri. 3. napas dalam dapat menghirup O2 secara adequate sehingga otot-



·         Tanda vital dalam rentang normal TD (systole 110130mmHg, diastole 7090mmHg), HR(60100x/menit), RR (16-24x/menit), suhu (36,5-37,50C)



4.    Berikan aktivitas hiburan (ngobrol dengan anggota keluarga) 5.    Observasi tanda-tanda vital



·         Klien tampak rileks mampu tidur/istirahat 6.    Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik 2.



Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan peritaltik.



Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan konstipasi klien teratasi dengan kriteria hasil:



1.    Pastikan kebiasaan defekasi klien dan gaya hidup sebelumnya. 2.    Auskultasi bising usus



·        BAB 1-2 kali/hari ·        Feses lunak ·        Bising usus 5-30 kali/menit



3.    Tinjau ulang pola diet dan jumlah / tipe masukan cairan.



otot menjadi relaksasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri. 4. meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan kooping. 5. deteksi dini terhadap perkembangan kesehatan pasien. 6. sebagai profilaksis untuk dapat menghilangkan rasa nyeri. 1. membantu dalam pembentukan jadwal irigasi efektif



2. kembalinya fungsi gastriintestinal mungkin terlambat oleh inflamasi intra peritonial 3. masukan adekuat dan serat, makanan kasar memberikan bentuk dan cairan adalah faktor penting dalam menentukan



4.    Berikan makanan tinggi serat.



5.    Berikan obat sesuai indikasi, contoh : pelunak feses 3.



Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.



Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan dapat dipertahankan dengan kriteria hasil: ·        kelembaban membrane mukosa ·        turgor kulit baik ·        Haluaran urin adekuat: 1 cc/kg BB/jam ·        Tanda-tanda vital dalam batas normal TD (systole 110130mmHg, diastole 7090mmHg), HR(60100x/menit), RR



1.    Monitor tandatanda vital



2.    Kaji membrane mukosa, kaji tugor kulit dan pengisian kapiler.



3.    Awasi masukan dan haluaran, catat warna urine/konsentrasi, berat jenis.



4.    Auskultasi bising usus, catat kelancaran flatus, gerakan usus.



konsistensi feses. 4. makanan yang tinggi serat dapat memperlancar pencernaan sehingga tidak terjadi konstipasi. 5. obat pelunak feses dapat melunakkan feses sehingga tidak terjadi konstipasi.



1. Tanda yang membantu mengidentifikasi kan fluktuasi volume intravaskuler. 2. Indicator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.



3. Penurunan haluaran urin pekat dengan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi/kebutuh an peningkatan cairan. 4. Indicator kembalinya peristaltic, kesiapan untuk pemasukan per



(16-24x/menit), suhu (36,5-37,50C)



5.    Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada perlindungan bibir. 6.    Pertahankan penghisapan gaster/usus.



7.    Kolaborasi pemberiancairan IV dan elektrolit



4.



Cemas  berhubungan dengan akan dilaksanakan



Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan



1.    Evaluasi tingkat ansietas, catat verbal dan



oral. 5. Dehidrasi mengakibatkan bibir dan mulut kering dan pecahpecah



6. Selang NG biasanya dimasukkan pada praoperasi dan dipertahankan pada fase segera pascaoperasi  untuk dekompresi usus, meningkatkan istirahat usus, mencegah mentah. 7. Peritoneum bereaksi terhadap iritasi/infeksi dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolemia. Dehidrasi dapat terjadi ketidakseimbang an elektrolit 1. ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat, penting pada



operasi.



kecemasab klien berkurang dengan kriteria hasil: ·        Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat teratasi ·        Tampak rileks



non verbal pasien.



2.    Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum dilakukan



3.    Jadwalkan istirahat adekuat dan periode menghentikan tidur.



4.    Anjurkan keluarga untuk menemani disamping klien



prosedur diagnostik dan pembedahan. 2. dapat meringankan ansietas terutama ketika pemeriksaan tersebut melibatkan pembedahan. 3. membatasi kelemahan, menghemat energi dan meningkatkan kemampuan koping. 4. Mengurangi kecemasan klien



Post Operasi N O



DIAGNOSA KEPERAWATAN



1.



Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi).



NOC



NIC



Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria hasil:



1.    Kaji skala nyeri lokasi, karakteristik dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.



·        Melaporkan



2.    Monitor tanda-



RASIONAL 1. Berguna dalam pengawasan dan keefesien obat, kemajuan penyembuhan,peru bahan dan karakteristik nyeri.



nyeri berkurang



tanda vital 2. deteksi dini terhadap perkembangan kesehatan pasien.



·        Klien tampak rileks ·        Dapat tidur dengan tepat



3.    Pertahankan istirahat dengan ·        Tanda-tanda posisi semi powler. vital dalam batas normal TD (systole 110130mmHg, diastole 7090mmHg), HR(60100x/menit), RR (16-24x/menit), suhu (36,537,50C)



2.



Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan).



Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan infeksi dapat diatasi dengan kriteria hasil: ·        Klien bebas dari tanda-tanda infeksi



4.    Dorong ambulasi dini.



5.    Berikan aktivitas hiburan. 6.    Kolborasi tim dokter dalam pemberian analgetika. 1.    Kaji adanya tanda-tanda infeksi pada area insisi 2.    Monitor tandatanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental



3. Menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang. 4. Meningkatkan kormolisasi fungsi organ. 5. meningkatkan relaksasi.



6. Menghilangkan nyeri. 1. Dugaan adanya infeksi



2. Dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis, abses, peritonitis



·        Menunjukk an kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi



3.    Lakukan teknik isolasi untuk infeksi enterik, termasuk cuci tangan efektif.



3. mencegah transmisi penyakit virus ke orang lain.



·        Nilai leukosit (4,511ribu/ul)



4.    Pertahankan teknik aseptik ketat pada perawatan



4. mencegah meluas dan membatasi penyebaran organisme infektif /



luka insisi / terbuka, bersihkan dengan betadine. 5.    Awasi / batasi pengunjung dan siap kebutuhan. 6.    Kolaborasi tim medis dalam pemberian antibiotik 3.



Defisit self care berhubungan dengan nyeri.



Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan kebersihan klien dapt dipertahankan dengan kriteria hasil: ·        klien bebas dari bau badan ·        klien tampak bersih ·        ADLs klien dapat mandiri atau dengan bantuan



kontaminasi silang. 5. menurunkan resiko terpajan.



6. terapi ditunjukkan pada bakteri anaerob dan hasil aerob gra negatif.



1.    Mandikan pasien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri serta cuci rambut dan potong kuku klien.



1. Agar badan menjadi segar, melancarkan peredaran darah dan meningkatkan kesehatan.



2.    Ganti pakaian yang kotor dengan yang bersih.



2. Untuk melindungi klien dari kuman dan meningkatkan rasa nyaman



3.    Berikan Hynege Edukasipa da klien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan diri.



3. Agar klien dan keluarga dapat termotivasi untuk menjaga personal hygiene. 4. Agar klien merasa tersanjung dan lebih kooperatif dalam kebersihan



4.    Berikan pujian pada klien tentang kebersihannya.



5.    Bimbing keluarga klien memandikan / menyeka pasien



5. Agar keterampilan dapat diterapkan



6.    Bersihkan dan atur posisi serta tempat tidur klien.



4.



Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi.



Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan pengetahuan bertambah dengan kriteria hasil:



1.    Kaji ulang pembatasan aktivitas pascaoperasi



·        menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan dan



2.    Anjuran menggunakan laksatif/pelembek feses ringan bila perlu dan hindari enema



·        berpartisipa si dalam program pengobatan



3.    Diskusikan                                perawatan insisi, termasuk             mengamati balutan, pembatasan mandi, dan kembali ke dokter untuk mengangkat jahitan/pengikat



4.    Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medic, contoh peningkatan nyeri edema/eritema



6. Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta mencegah terjadinya infeksi. 1. Memberikan informasi pada pasien untuk merencanakan kembali rutinitas biasa tanpa menimbulkan masalah. 2. Membantu kembali ke fungsi usus semula mencegah ngejan saat defekasi



3. Pemahaman meningkatkan kerja sama dengan terapi, meningkatkan penyembuhan



4. Upaya intervensi menurunkan resiko komplikasi lambatnya penyembuhan peritonitis.



luka, adanya drainase, demam



Daftar Pustaka



Bhangu, A., Søreide, K., Di Saverio, S., Assarsson, J.H., et al. (2015) Acute appendicitis: modern understanding of pathogenesis, diagnosis, and management. The Lancet. 386 (10000), 1278–1287. Craig,



S.,



Brenner,



B.



E.



2017.



Appendicitis.,



http://emedicine.medscape.com/article/773895-



diunduh



dari:



overview?pa=Ltf3RY



%2FuW8KkhiBpKPKoTz3r2J6LR8OqY5wenULq3b



S



%2FWW3Lt3mWs3mwqJxbaVPdNFsYxDuz%2Fz2hge3aAwEFsw%3D %3D#a7., 20 April 2017 Faridah, V. N. (2015). Penurunan tingkat nyeri pasien post op apendisitis dengan teknik distraksi nafas ritmik. Surya, 7(02): 68-74. Mostbeck, G., Adam, E.J., Nielsen, M.B., Claudon, M., et al. (2016) How to diagnose acute appendicitis: ultrasound first. Insights into Imaging. [Online] 7 (2), 255–263. Available from: doi:10.1007/s13244-016-0469-6. Petroianu A, Barroso TVV. (2016). Pathophysiology of Acute Appendicitis. JSM Gastroenterology and Hepatology. 2016 April; 4(3) Tampi, H. M., Sapan, H. B., & Sumangkut, R. M. (2016). Hubungan kadar fibrinogen dengan apendisitis akut. Jurnal Biomedik (JBM), 8(2): 83-87. Yulianto, F. A., Sakinah, R.K., Kamil, M. I., & Wahono, T. Y.K. (2016). Faktor prediksi perforasi apendiks pada penderita apendisitis akut dewasa di RS Al-ihsan kabupaten Bandung periode 2013-2014. Global Medical Health Communication, 4(2): 114- 120.