LP Batu Pyelum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A.Konsep Dasar Penyakit 1.



Definisi/Pengertian Batu saluran kemih dapat ditemukan sepanjang saluran kemih mulai



dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan uretra. Batu ini mungkin terbentuk di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada batu buli-buli karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang terbentuk di dalam divertikel uretra. Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal dan merupakan batu slauran kemih yang paling sering terjadi (Purnomo, 2000). Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi (Hassan, 1985) Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis, dan dapat terbentuk pada : 1. Ginjal (Nefrolithiasis) 2. Ureter (Ureterolithiasis) 3. Vesica urinaria (Vesicolithiasis) 4. Uretra (Urethrolithiasis). (Hassan, 1985) 2.



Epidemiologi Epidemiologi batu ginjal di Indonesia masih belum jelas. Di dunia,



prevalensi penyakit ini sekitar 5%. Distribusi usia terkena batu ginjal paling sering terjadi di usia 20 – 49 tahun dengan puncaknya di usia 35 – 45 tahun.



Meskipun dapat terjadi pada rentang usia yang lain. Jarang ditemukan serangan batu ginjal pertama pada usia 50 tahun keatas. Batu ginjal lebih sering terjadi pada pria disbanding wanita (3 ; 1) kecuali pada batu Karen infeksi (struvit) lebih banyak terjadi pada wanita. Secara global angka kejadian pada tahun 1990an adalah 5,4%,sedangkan di Thailand timur Laut berkisar 16.9%. 3.



Etiologi Menurut Williams (2012) Penyebab dari batu terdiri daripada



beberapa hal yang sangat kompleks dan dijelaskan seperti berikut : -



Diet Defisiensi vitamin A menyebabkan terjadinya deskuamasi lapisan epitel sehingga terbentuknya nidus yang terdeposisi menjadi batu. Mekanisme ini biasanya aktif terjadi pada pembentukan batu bulu-bulu (vesikolithiasis) (Williams, 2012).



-



Gangguan pengendapan urin dan koloid Dehidrasi



mengakibatkan



larutan



urin



terkonsentrasi



sehingga



terbentuk persipitat. Kurangnya koloid urin yang berfungsi menyerap bahan larut, atau mukoprotein, yang memecahkan kalsium, akan terkristalisasi sehingga membentuk batu (Williams, 2012). -



Kekurangan sitrat pada urin Adanya sitrat pada urin, sekitar 300 – 900 mg per 24 jam (1, 6 – 4, 7 mmol per 24 jam) yang terdiri dari asam sitrus menyebabkan kalsium fosfat tidak larut dan mempertahankan sitrat dalam larutan (Purnomo, 2003 dan Williams, 2012).



-



Infeksi pada ginjal Infeksi rentan menyebabkan pembentukan batu saluran kemih. Baik secara klinis maupun eksperimental sudah membuktikan bahwa batu sangat sering terjadi apaila air kemih terinfeksi dengan adanya streptococci pemecah-urea, staphylococci dan terutamanya Proteus spp (Purnomo, 2003 dan Williams, 2012).



-



Stasis Urin dan Inadequasi Drainase Urin Secara teoritis batu dapat terbentuk di saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (stasis urin), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada sistem pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia prostat benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu (Purnomo, 2003 dan Williams, 2012).



-



Immobilisasi yang Lama Immobilisasi sangat rentan untuk menyebabkan dekalsifikasi tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium pada urin sehingga memicu pembentukan batu kalsium fosfat (Purnomo, 2003 dan Williams, 2012).



-



Hiperparatiroidisme Hiperparatiroidisme yang mengakibatkan terjadinya hiperkalsemia dan hiperkalsuria ditemukan pada 5 persen atau kurang penderita BSK dengan gambaran batu radiopak pada pemeriksaan foto polos abdomen. Pada kasus-kasus batu rekuren atau batu multipel, penyebab ini harus disingkirkan dengan pemeriksaan yang tertentu (Purnomo, 2003 dan Williams, 2012).



4.



Klasifikasi a. Batu kalsium Kalsium adalah batu yang paling banyak menyebabkan BSK (70%80%). Dijumpai dalam bentuk batu kalsium oksalat, batu kalsium fosfat atau campuran. Terbentuknya batu terkait kadar kalsium yang tinggi di dalam urine atau darah dan akibat dari dehidrasi,



overdosis vit D, gangguan kelenjar paratiroid, kanker, penyakit ginjal. Batu kalsium terdiri dari dua tipe : (Purnomo, 2003). -



Whewellite (monohidrat): batu padat, konsentrasi as. oksalat tinggi pada air kemih.



-



Kombinasi kalsium - magnesium menjadi weddllite (dehidrat): kuning, mudah hancur (Purnomo, 2003).



Faktor terjadinya batu oksalat adalah sebagi berikut: (Purnomo, 2003) -



Hiperkalsiuri : kenaikan kadar kalsium urin > 250-300mg/24jam, disebabkan oleh peningkatan absorbs kalsium melalui usus, gangguan reabsorbsi kalsium oleh ginjal, dan peningkatan reabsorbsi tulang karena hiperparatiroid atau tumor paratiroid.



-



Hiperoksaluri : peningkatan ekskresi oksalat > 45 gram/ hari, banyak diderita oleh penderita yang mengalami kelainan usus karena post operasi, diet kaya oksalat, (teh, kopi instant, minuman soft drinks, kokoa, jeruk, sitrun, dan sayuran hijau terutama bayam.)



-



Hiperurikosuri : kadar asam urat urin > 850mg/ 24 jam. Asam urat urin yang berlebihan bertindak sebagai inti batu terhadap pembentukan batu kalsium oksalat. Sumber asam urat urin berasal dari makanan kaya purin maupun berasal dari metabolisme endogen.



-



Hipositraturia : sitrat berikatan dengan kalsium di dalam urin sehingga calsium tidak lagi terikat dengan oksalat maupun fosfat, karenanya merupakan penghambat terjadinya batu tersebut. Kalsium sitrat mudah larut sehingga hancur dan dikeluarkan melalui urin.



-



Hipomagnesia, magnesium juga merupakan penghambat seperti halnya sitrat. Penyebab tersering hipomagnesuria ialah penyakit inflamasi usus diikuti gangguan malabsorbsi (Purnomo, 2003).



b. Batu asam urat Terjadi pada 5-10% penderita dengan komposisi asam urat. biasanya berusia > 60 tahun. Batu asam urat dibentuk hanya oleh asam



urat.



Gout



kemoterapi,



obat



salisilat.pasien



arthritis,



mieloproliferative,



urikosurik



obesitas,



penggunaan



sulfinpirazone,



alkoholik,



diet



tinggi



thiazide, protein,



hiperurikosurik dan dehidrasi berpeluang besar menderita BSK ini, karena meningkatkan ekskresi asam urat sehingga pH air kemih menjadi rendah. Ukuran batu bervariasi dari kecil, besar hingga membentuk staghorn (tanduk rusa). Batu asam urat ini adalah batu yang dapat dipecah dengan obat. 90% berhasil dengan kemolisis (Purnomo, 2003). c. Batu struvit (magnesium-amonium fosfat) Batu struvit disebut juga batu infeksi, terbentuknya batu ini disebabkan adanya ISK. Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan kuman pemecah urea atau urea splitter yang dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak. Kuman yang termasuk pemecah urea di antaranya adalah : Proteus spp, Klebsiella,



Serratia,



Enterobakter,



Pseudomonas,



dan



Staphiloccocus. Ditemukan sekitar 15-20% pada penderita BSK ditandai dengan kadar amoniak urin tinggi, sering terjadi pada wanita daripada laki-laki. Pada batu struvit volume air kemih yang banyak sangat penting untuk membilas bakteri dan menurunkan supersaturasi dari fosfat (Purnomo, 2003). d. Batu Sistin Batu Sistin terjadi saat kehamilan, disebabkan gangguan ginjal, kelainan metabolism sistin yaitu kelainan absorpsi sistin di mukosa usus.. Merupakan batu yang jarang dijumpai dengan insiden 1-2%. Reabsorbsi asam amino, sistin, arginin, lysin dan ornithine berkurang, pembentukan batu terjadi saat bayi. Disebabkan faktor



keturunan dan pH urine asam (Pearl, 2012). Pembentukan batu dapat terjadi karena urine sangat jenuh, individu yang memiliki riwayat batu sebelumnya, individu yang statis karena imobilitas. Batu lainnya : batu xantin (defisiensi enzim xantin oksidase), triamteren, silikat 5. Tanda dan gejala (manifestasi klinis) Batu ginjal dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala berupa obstruksi aliran kemih dan infeksi. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan pada penderita batu ginjal antara lain : 1.



Tidak ada gejala atau tanda



2.



Nyeri pinggang, sisi, atau sudut kostovertebral



3.



Hematuria makroskopik atau mikroskopik



4.



Pielonefritis dan/atau sistitis



5.



Pernah mengeluarkan baru kecil ketika kencing



6.



Nyeri tekan kostovertebral



7.



Batu tampak pada pemeriksaan pencitraan



8.



Gangguan faal ginjal.



Efek Batu Pada Saluran Kemih : Ukuran dan letak batu biasanya menentukan perubahan patologis yang terjadi pada traktus urinarius : a.



Pada ginjal yang terkena - Obstruksi - Infeksi - Epitel pelvis dan calis ginja menjadi tipis dan rapuh. - Iskemia parenkim. - Metaplasia



b.



Pada ginjal yang berlawanan



- Compensatory hypertrophy - Dapat menjadi bilateral 6.



Patofisiologi Terbentuknya batu biasanya terjadi air kemih jenuh dengan garamgaram yang dapat membentuk batu atau karena air kemih kekurangan penghambat pembentukan batu yang normal. Sekitar 80% batu terdiri dari kalsium sisanya mengandung berbagai bahan, termasuk asam urat, sistin dan mineral struvit. Terdapat beberapa teori tentang pembentukan batu pada ginjal, yaitu: a. Teori inti matrik Terbentuknya batu ginjal, batu seperti pada saluran kemih atau ginjal memerlukan substansi organik sebagai inti pebentukan. Matrik organik berasal dari serum dan protein urine yang memberikan kemungkinan pengendapan kristal sehingga akan menjadi pembentukan inti. b. Teori saturasi Teori ini berkaitan dengan terjadinya kejenuhan substansi bembentukan batu di ginjal, dalam urine seperti sistin, vantin, asam urat, kalsium oksalat akan mengakibatkan pembentukan batu. c. Teori presipitasi- kristal Terjadinya perubahan pH urine mempengaruhi substansi dalam urine. Pada urine yang bersifatasam akan mengendap asam urat, garam urat, sistin dan santin. Sedangkan urine yang bersifat basa akan mengendapkan garam-garam fosfat. Pengendapan ini baik urine yang bersifat asam maupun basa akan menjadi inti pembentukan batu. d. Teori berkurangnya faktor penghambat seperti peptisida fosfat, pirofosfat, sistrat, magnesium akan mempermudah terbentuknya batu pada ginjal.



7.



Pemeriksaan Fisik a.



Kulit kepala Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan,



nyeri tekan serta adanya



sakit kepala (Delp &



Manning. 2004). b.



Wajah Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata



jangan lalai



memeriksa



mata



mata,



karena



pembengkakan



di



akan



menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS. 1) Mata: periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia 2) Hidung:periksa penyumbatan



adanya



perdarahan,



penciuman,



apabila



perasaan ada



nyeri,



deformitas



(pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur. 3) Telinga:periksa



adanya



nyeri,



tinitus,



pembengkakan,



penurunan atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai



keutuhan



membrane



timpani



hemotimpanum 4) Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas



atau



adanya



5) Rahang bawah



: periksa akan adanya fraktur



6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian



mucosa terhadap



tekstur, warna,kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi



amati adanya



tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri c.



Vertebra servikalis dan leher Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.



Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol



perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder. d.



Toraks Inspeksi: Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (lombardo, 2005) Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi. Perkusi: untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan Auskultasi: suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)



e.



Abdomen Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen,



asites, luka, lecet, memar, ruam, massa,



denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010). f.



Pelvis (perineum/rectum/vagina) Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010). Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum



dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang,



Sebuah sampel urin



harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). g.



Ektremitas Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra



kompartemen



dalam



ekstremitas



meninggi



sehingga



membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi,



gerakan, dan sensasi harus diperhatikan,



paralisis,



atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik. Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa



disertai fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah : 1)



Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi syok yang dpat berakibat fatal



2)



Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini dikenali.



3)



Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).



h.



Bagian punggung Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.



i.



Neurologis Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi



penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan



pergerakan),



distaksia



(



kesukaran



dalam



mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon sensori 8.



Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang 1.



Laboratorium Pada urin biasanya dijumpai hematuria dan kadang-kadang kristaluria. Hematuria biasanya terlihat secara mikroskopis, dan derajat hematuria bukan merupakan ukuran untuk memperkirakan besar batu atau kemungkinan lewatnya suatu batu. Tidak adanya hematuria dapat menyokong adanya suatu obstruksi komplit, dan ketiadaan ini juga biasanya berhubungan dengan penyakit batu yang tidak aktif. Pada pemeriksaan sedimen urin, jenis kristal yang ditemukan dapat memberi petunjuk jenis batu. Pemeriksaan pH urin < 5 menyokong suatu batu asam urat, sedangkan bila terjadi peningkatan pH (≥7) menyokong adanya organisme pemecah urea seperti Proteus sp, Klebsiella sp, Pseudomonas spdan batu struvit (Purnomo, 2003 dan Sjamsuhidayat, 2003).



2.



Radiologis Ada beberapa jenis pemeriksaan radiologis yaitu menurut Purnomo (2003) dan Sjamsuhidayat (2003).: a. Foto polos abdomen Foto polos abdomen dapat menentukan besar, macam dan lokasi Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radiopaque dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan batu asam urat bersifat radiolusen. b. Intravenous Pyelography(IVP) IVP dapat menentukan dengan tepat letak batu, terutama batubatu yang Radiolusen dan untuk melihat fungsi ginjal. Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semi opaque ataupun batu non opaque yang tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. c. CT Scan CT Scan (Computerized Tomography)adalah tipe diagnosis sinar X yang dapat membedakan batu dari tulang atau bahan radiopaque lain. d.



Retrograde Pielography (RPG) Dilakukan bila pada kasus-kasus di mana IVP tidak jelas, alergi zat kontras, dan IVP tidak mungkin dilakukan



e. Ultrasonografi (USG) USG



dilakukan



bila



pasien



tidak



mungkin



menjalani



pemeriksaan IVP, yaitu pada keadaan-keadaan : alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun dan pada wanita yang sedang hamil. USG ginjal merupakan pencitraan yang lebih peka untuk mendeteksi batu ginjal dan batu radiolusen daripada foto polos abdomen. Cara terbaik untuk mendeteksi BSK ialah dengan kombinasi USG dan foto polos abdomen. USG dapat melihat bayangan batu baik di ginjal maupun di dalam kandung kemih dan adanya tanda-tanda obstruksi urin.



f. Radioisotop Untuk mengetahui fungsi ginjal secara satu persatu, sekaligus adanya sumbatan pada gagal ginjal. 9.



Penatalaksanaan Medis Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih harus segera dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk melakukan tindakan/terapi pada BSK adalah apabila batu telah menimbulkan obstruksi, infeksi atau harus diambil karena sesuatu indikasi sosial (Purnomo, 2003). BSK dapat dikeluarkan dengan cara medikamentosa, dipecahkan dengan ESWL, melalui tindakan endourologi, bedah laparoskopi ataupun pembedahan terbuka (Purnomo, 2003). -



Medikamentosa



Terapi medikamentosa ditujukan untuk BSK dengan ukuran kurang dari 5mm karena diharapkan batu dapat keluar spontan, terutama batu pada ureter. Batu pada ureter dengan ukuran 4-5mm memiliki kemungkinan sekitar 40-50% untuk keluar spontan. Sedangkan batu ureter dengan ukuran lebih dari 6mm memiliki kemungkinan



sekiar



15%



untuk



keluar



spontan.



Terapi



medikamentosa atau biasa disebut Medical Expulsive Therapy (MET) ini bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri, memperlancar aliran urin untuk membantu batu keluar spontan. Obat-obatan yang biasa diberikan berupa alpha-blocker, obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS), agen diuretikum dan steroid dosis rendah (Purnomo, 2003 dan Stoller, 2013). - Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL) ESWL adalah alat pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter proksimal atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan. Melalui gelombang kejut, batu



dipecah



menjadi



fragmen-fragmen



kecil



sehingga



mudah



dikeluarkan melalui saluran kemih. Namun tidak jarang pecahanpecahan batu yang sedang keluar menimbulkan rasa nyeri kolik dan menyebabkan hematuria (Purnomo, 2003). - Endourologi Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan BSK yang terdiri atas memecah batu dan kemudian mengeluarkannya melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat tersebut dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi hidraulik, energi gelombang suara atau dengan insersi laser. Beberapa tindakan endourologi menurut Purnomo (2003) dan Stoller (2013), antara lain : 1) PCNL (Percutaneous Nephro Lithotomy) yaitu usaha pengeluarkan batu yang berada di ginjal dan ureter



proksimal



dengan



memasukkan



alat



endoskopi kedalam sistem kalises melalui insisi pada kulit. PCNL biasanya dilakukan pada BSK dengan ukuran lebih dari 2,5cm, BSK yang resisten terhadap ESWL, batu kaliks inferior dengan bentuk infundibulum yang sempit dan panjang serta adanya tanda-tanda obstruksi. 2) Litotripsi adalah memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat pemecah batu (litotriptor)



kedalam



buli-buli.



Pecahan



batu



dikeluarkan melalui evakuator Ellik. 3) Ureteroskopi



atau



Uretero-renoskopi



adalah



memasukkan alat ureteroskopi per-uretram guna melihat keadaan ureter atau sistem pelviokaliks ginjal. Dengan menggunakan energi tertentu, batu



dalam ureter atau sistem pelviokaliks ginjal dapat dipecah. 4) Bedah Terbuka Di rumah sakit yang belum memiliki fasilitas untuk melakukan



tindakan



endourologi,



laparoskopi



maupun ESWL, pengambilan batu masih dilakukan melalui tindakan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka meliputi pielolitotomi atau nefrotomi untuk mengambil



batu



pada



saluran



ginjal,



dan



ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang pasien



harus



menjalani



nefrektomi



atau



pengangkatan ginjal karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis atau mengalami pengkerutan akibat BSK



yang menimbulkan obstruksi dan



infeksi menahun (Purnomo, 2003). 10. Konsep Perioperatif (Pre Operasi, Intra Operasi dan Post Operasi) Perawatan perioperatif adalah periode sebelum, selama dan sesudah operasi berlangsung. Keperawatan perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien. Keperawatan perioperatif adalah fase penatalaksanaan pembedahan yang merupakan pengalaman yang unik bagi pasien. Kata perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencangkup 3 fase pengalaman pembedahan yaitu praoperatif, intraoperatif, dan pascaoperatif. a. Fase Praoperatif Merupakan ijin tertulis yang ditandatangani oleh klien untuk melindungi dalam proses operasi yang akan dilakukan. Prioritas pada prosedur pembedahan yang utama adalah inform consent yaitu pernyataan persetujuan klien dan keluarga tentang tindakan



yang akan dilakukan yang berguna untuk mencegah ketidaktahuan klien tentang prosedur yang akan dilaksanakan dan juga menjaga rumah sakit serta petugas kesehatan dari klien dan keluarganya mengenai tindakan tersebut. Pada periode pre operatif yang lebih diutamakan adalah persiapan psikologis dan fisik sebelum operasi b. Fase Intraoperatif Dimulai ketika pasien masuk ke bagian atau ruang bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Lingkup aktifitas keperawatan, memasang infus, memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Perawat yang bekerja di ruang bedah harus telah mengambil program Proregristation Education Courses in Anasthetic and Operating Teather Nursing . Dalam pembedahan perawat disebut scrubbed nurse yang bertindak sebagai asisten ahli bedah. Perawat bertanggung



jawab



akan



pemeliharaan



sterilitas



daerah



pembedahan dan instrumen dan menjamin ketersediaan peralatan ahli bedah untuk terlaksananya pembedahan yang direncanakan. - Perlindungan terhadap injury Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini adalah macam aktivitas yang dilakukan oleh perawat di ruang operasi. Aktivitas di ruang operasi oleh perawat difokuskan pada pasien yang menjalani prosedur



pembedahan



untuk



perbaikan,



koreksi



atau



menghilangkan masalah – masalah fisik yang mengganggu pasien. Tentunya pada saat dilakukan pembedahan akan muncul permasalahan baik fisiologis maupun psikologis pada diri pasien. Untuk itu keperawatan intra operatif tidak hanya berfokus pada masalah fisiologis yang dihadapi oleh pasien selama operasi, namun juga harus berfokus pada masalah psikologis yang dihadapi oleh pasien. Sehingga pada akhirnya



akan menghasilkan outcome berupa asuhan keperawatan yang terintegrasi - Safety Management merupakan tindakan keamanan bagi pasien selama prosedur pembedahan tindakan yang dilakukan yaitu : 



Pengaturan



posisi



pasien,



yang



bertujuan



untuk



memberikan kenyamanan pada pasien dan memudahkan pembedahan 



Monitoring fisiologis, diantaranya melakukan balance cairan,memantau kondisi kardiopulmonal,pemantauan terhadap vital sign,







Monitoring dukungan psikologis (sebelum indikasi dan bila pasien sadar), mengkaji status emosional pasien.



- Pengaturan dan koordinasi nursingcare dengan mempertahankan teknik asepsis c. Fase Postoperatif Dimulai pada saat pasien masuk ke ruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah. Lingkup aktifitas keperawatan, mengkaji efek agen anestesi, membantu fungsi vital tubuh, serta mencegah komplikasi. Peningkatan penyembuhan pasien dan penyuluhan, perawatan tindak lanjut, rujukan yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Upaya



yang



dapat



dilakukan



diarahkan



untuk



mengantisipasi dan mencegah masalah yang kemungkinan mucul pada tahap ini. Pengkajian dan penanganan yang cepat dan akurat sangat dibutuhkan untuk mencegah komplikasi yang memperlama perawatan di rumah sakit atau membahayakan diri pasien. Memperhatikan hal ini, asuhan keperawatan postoperatif sama pentingnya dengan prosedur pembedahan itu sendiri Faktor yang Berpengaruh Postoperatif :



- Mempertahankan



jalan



nafas



dengan



mengatur



posisi,



memasang suction dan pemasangan mayo/gudel. - Mempertahankan ventilasi/oksigenasi ventilasi dan oksigenasi dapat dipertahankan dengan pemberian bantuan nafas melalui ventilaot mekanik atau nasal kanul. - Mempertahakan sirkulasi darah dapat dilakukan dengan pemberian caiaran plasma ekspander. -



Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui keadaan pasien, seperti kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau muntahan mungkin saja terjadi akibat penagaruh anastesi sehingga perlu dipantau kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk dilakukan obeservasi terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien.



- Balance cairan harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output caiaran klien. Cairan harus balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti dehidrasi akibat perdarahan atau justru kelebihan cairan yang justru menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin terkait dengan fungsi eleminasi pasien. - Mempertahanakan kenyamanan dan mencegah resiko injury. Tindakan Postoperatif yang harus perawat lakukan, yaitu : - Monitor tanda – tanda vital dan keadaan umum pasien, drainage, tube/selang, dan komplikasi. Begitu pasien tiba di bangsal langsung monitor kondisinya. Pemerikasaan ini merupakan pemmeriksaan pertama yang dilakukan di bangsal setelah postoperatif. - Manajemen Luka amati kondisi luka operasi dan jahitannya, pastikan luka tidak mengalami perdarahan abnormal. Observasi discharge untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Manajemen luka meliputi perawatan luka sampai dengan pengangkatan jahitan.



- Mobilisasi dini Mobilisasi dini yang dapat dilakukan meliputi ROM, nafas dalam dan juga batuk efektif yang penting untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskuler dan mengeluarkan sekret dan lendir. - Rehabilitasi Rehabilitasi diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kondisi pasien kembali. Rehabilitasi dapat berupa berbagai macam latihan spesifik yang diperlukan untuk memaksimalkan kondisi pasien seperti sedia kala. B.Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis 1. Primary Survey Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari mengidentifikasi



dan memperbaiki



Primary survey adalah untuk dengan segera masalah



yang



mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) : 



Airway maintenance dengan cervical spine protection







Breathing dan oxygenation







Circulation dan kontrol perdarahan eksternal







Disability-pemeriksaan neurologis singkat







Exposure dengan kontrol lingkungan Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary



survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan



sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) : a) General Impressions 



Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.







Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera







Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)



b) Pengkajian Airway Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000). Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain : 



Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan bebas?







Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:  Adanya snoring atau gurgling



 Stridor atau suara napas tidak normal  Agitasi (hipoksia)  Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements  Sianosis 



Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :  Muntahan  Perdarahan  Gigi lepas atau hilang  Gigi palsu  Trauma wajah







Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.







Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.







Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :  Chin lift/jaw thrust  Lakukan suction (jika tersedia)  Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway  Lakukan intubasi



c) Pengkajian Breathing (Pernafasan) Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan



adalah:



dekompresi



dan



drainase



tension



pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).



Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain : 



Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.  Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.  Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.  Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.







Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.







Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.







Penilaian kembali status mental pasien.







Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan







Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:  Pemberian terapi oksigen  Bag-Valve Masker  Intubasi



(endotrakeal



atau



nasal



dengan



konfirmasi



penempatan yang benar), jika diindikasikan  Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures 



Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.



d)



Pengkajian Circulation Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000).. Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain : 



Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.







CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.







Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan secara langsung.







Palpasi nadi radial jika diperlukan:  Menentukan ada atau tidaknya  Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)  Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)  Regularity







Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).







Lakukan treatment terhadap hipoperfusi



e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :  A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang diberikan  V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti  P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)  U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun stimulus verbal. f)



Expose, Examine dan Evaluate Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:  Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien  Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis. (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)



2.



Secondary Assessment Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik. a. Anamnesis Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007): A



: Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,



makanan) M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani pengobatan



hipertensi,



kencing



manis,



jantung,



dosis,



atau



penyalahgunaan obat P



: Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit



yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal) L



: Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,



dikonsumsi berapa



jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen ini) E



: Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian



yang menyebabkan adanya keluhan utama) Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):  C. have you ever felt should Cut down your drinking?  A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?  G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?  E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or get rid of a hangover (Eye-opener) Jawaban Ya pada beberapa kategori



sangat berhubungan dengan



masalah konsumsi alkohol. Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu” (Emergency Nursing Association, 2007):  Hurt you physically?  Insulted or talked down to you?  Threathened you with physical harm?  Screamed or cursed you? Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :



 Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?



 Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.



 Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?



 Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat



 Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda? Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri. 3. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul Pre operatif 1. Retensi urin b.d pembentukan batu 2. Ansietas b.d prosedur pembedahan 3. Resiko cedera b.d efek obat anastesi dan pembedahan



Intra Operatif 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d skresi trakeobronkial 2. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan volume cairan aktif 3. Resiko hipotermi b.d pemajanan lingkungan



Post Operatif 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d sekresi trakeobronkial 2. Nyeri akut b.d agen cedera fisik/biologi 3. Resiko infeksi b.d prosedur invasif



4. Rencana Keperawatan Pra operatif No 1.



Diagnosa



NOC



Retensi urin b.d sumbatan



NIC



Urinary Urinary elimination



Rasional



Retention



Care



Setelah dilakukan -kaji haluaran urin Retensi urin dapa terjadi tindakan



dan sistem kateter



karena spasme kandung



keperawatan



kemih



selama …x… jam -lakukan kateterisasi



Membantu haluaran urin



pasien diharapkan bila perlu tidak



mengalami -edukasi pasien dan Memberikan pengetahuan



retensi uri dengan keluarga criteria hasil :



lakukan cara meningkatkan



kompres



-kandung



kemih untuk



kosong



secara bladder



penuh



dingin konrol kandung kemih stimulasi



Kolaborasi



dengan membantu



proses



-tidak ada residu dokter



dalam penyembuhan klien



urin >100-200cc



terapi



pemberian



-tidak ada spase sesuai medikasi bladder -balance



cairan



seimbang 2



Anxietas b.d NOC:



Anxiety Reduction :



prosedur



Self Control



pembedahan



Setelah



Kaji



tingkat Untuk mengetahui tingkat



diakukan kecemasan klien



kecemasan klien



tindakan keperawatan



Dorong pasien untuk Untuk



selama …x… jam mengungkapkan diharapkan



mengetahui



penyebab cemas



perasaan cemas



kecemasan



kien Instruksikan



klien Agar lien tidak mrasa



berkurang dengan untuk menggunakan cemas criteria hasil: Klien



teknik relaksasi



mampu Kolaborasi



dengan Untuk



meningkatkan



mengungkapkan



dokter



gejala cemas



pemeberian KIE



Klien 3



tenang NOC:



infeksi



b.d Risk Control



tenaga medis



Infection control : -kaji



tanda-tanda



obat Setelah dilakukan infeksi



anastesi dan tindakan pembedahan



kepada



tampak



Resiko efek



dalam kepercayaan



keperawatan



Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada kien



selama..x…jam



-lakukan perawatan Untuk meminimalkan luka dengan terjadinya resiko infeksi



diharapkan



mempertahankan



resikoinfeksi tidak teknik aseptik terjadi



dengan -berikan



informasi



yang Untuk mencegah terjadi infeksi pada kien -Klien bebas dari dapat menyebabkan criteria hasil :



tentang



hal



tanda dan gejala infeksi dapat terjadi infeksi -klien



-kolaborasi



menunjukkan



dokter



kemampuan untuk pemberian mencegah timbulnya infeksi



dengan



Membantu proses dalam penyembuhan luka terapi



sesuai medikasi



Rencana Keperawatan Intra Operatif No 1



Diagnosa



NOC



Ketidakefekti



NIC



Rasional



Respiratory Airway suction :



fan bersihan status:Airway



-Monitor



jalan



oksigen pasien



b.d



napas patency



status Membantu



sekresi Setelah dilakukan -Suction



status oksigen pasien secret Membantu mengeluarkan



trakeobronkia tindakan



dalam jalan nafas



l



-Berikan



keperawatan selama



..x…jam kepada



diharapkan napas



secret dari jalannafas



edukasi Meberi pengetahuan klien kien



keluarga



bersihan



jalan tindakan



dan dan keluarga



dengan -kolaborasi



criteria hasil : -Klien



dokter



tentang



tentang tindakan yang diberikan yang



kembali diberikan



efektif



mengetahui



Untuk dengan memenuhi



membantu kebutuhan



dalam O2



mampu pemberian terapi O2



mengeluarkan secret dan mudah bernafas -klien



mampu



bernafas



spontan



dengan



rentang



normal



(16-



20x/menit) -bunyi



nafas



vesikuler



2



Kekurangan



Nutrition



volume



Setelah diberikan -Monitor vital sign



cairan



status Fluid management :



b.d tindakan



kehilangan



keperawatan



-berikan



cairan aktif



..x..jam



intravena



diharapkan



cairan



Untuk mengetahui perkembangan pasien Untuk mengganti cairan yang dikeuarkan



volume dapat



cairan -dorong



keluarga



tercukupi untuk



dengan



membantu



Membantu memenuhi memenuhi kebutuhan cairan



kiteria klien



hasil :



kebutuhan makan



Tidak ada tanda -kolaborasi tandadehidrasi



3



Resiko



dengan



dokter



dalam



pemberian



terapi



sesuai medikasi Setelah dilakukan Observasi vital sign



hipotermi b.d tindakan pemajanan



selama



..x…jam Berikan



lingkungan



diharapkan



yang dingin



mampu gejala



Berikan



hipotermi kondisi



dengan



criteria kepada



hasil: Klien



Untuk mengetahui keadaan umum pasien



selimut Mengurangi terjadi nya hipotermi



klien hangat



menunjukkan



Untuk mengganti dan memberikan asupan nutrisi pada pasien



informasi



Mengurangi resiko lingkungan hipotermi klien



sebelum



tindakan



mampu operasi



menunjukkan gejala hipotermi Klien



Kolaborasi



tidak dokter



dengan



Membantu proses dalam pemulihan klien



mengalami



pemberian



terapi



hipotermi



sesuai medikasi



Rencana Keperawatan Post Operatif No 1.



Diagnosa Ketidakefekti



NOC



NIC



Respiratory



Rasional



Airway suction :



fan bersihan status:Airway



-Monitor



jalan



oksigen pasien



b.d



napas patency



status Membantu



sekresi Setelah dilakukan -Suction



status oksigen pasien secret Membantu mengeluarkan



trakeobronkia tindakan



dalam jalan nafas



l



-Berikan



keperawatan selama



..x…jam kepada



diharapkan



kien



dan dan keluarga yang



kembali diberikan



efektif



dengan -kolaborasi



criteria hasil :



tentang



tentang tindakan yang diberikan



jalan tindakan



napas



secret dari jalannafas



edukasi Meberi pengetahuan klien



keluarga



bersihan



mengetahui



Untuk dengan memenuhi



dokter



membantu kebutuhan



dalam O2



mampu pemberian terapi O2



-Klien



mengeluarkan secret dan mudah bernafas -klien



mampu



bernafas



spontan



dengan



rentang



normal



(16-



20x/menit) -bunyi



nafas



vesikuler



2.



Nyeri b.d



akut



Pain control:



agnen Setelah



Pain management:



diakukan -Lakukan



Untuk mengetahui skala nyeri pada klien



cedera fisik/ tindakan



pengkajian



biologi



keperawatan



(P,Q,R,S,T)



selama...x…jam



-Bantu klien dalam Membantu mengalihkan



diharapkan dapat



nyeri posisi nyaman



nyeri Membantu klien kurangi nyeri nyeri



berkurang/hilang dengan



Ajarkan teknik napas Membantu



criteria dalam (reaksasi)



pasien



hasil : -Klien



pemulihan dan



meminimalkan nyeri mampu Kolaborasi



mengontrol nyeri



dokter



-klien melaporkan pemberian nyeri



dengan dalam terapi



sesuai medikasi



berkurang/hilang



3



Resiko infeksi



Risk Control :



Infection control :



b.d Setelah dilakukan -Monitortanda-tanda



prosedur



tindakan



infeksi



invasive



keperawatan



-Pertahankan teknik



Untuk mengetahui keadaan luka pasien Untuk mencegah infeksi



selama …x…jam aseptic pada klien diharapkan terjadi infeksi



tidak -Berikan



informasi



keluarga Agar keluarga paham tentang tanda dan gejala tanda-tanda dan infeksi gejala infeksi -Kolaborasi dengan Mempercepat proses penyembuhan klien dokter dalam kepada



pemberian



obat



topikal



5.



Implementasi Keperawatan



Pelaksanaan adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan keperawatan yang telah ditetapkan untuk perawat bersama pasien. Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, disamping itu juga dibutuhkan ketrampilan interpersonal, intelektual, teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat dengan selalu memperhatikan keamanan fisik dan psikologis.



Setelah selesai implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi intervensi yang sudah dilakukan dan bagaimana respon pasien.



6.



Evaluasi Keperawatan



Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan. Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan tercapai: 1.



Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang ditetapkan di tujuan.



2.



Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam pernyataan tujuan.



3.



Belum



tercapai.



: pasien tidak mampu



sama



sekali



menunjukkan prilaku yang diharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan



DAFTAR PUSTAKA iii. Nurarif.A.H dan Kusuma,H2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC.NOC. Yogyakarta : Salemba Medika Wilkinson,Judith.2008.Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NICdan Kriteria Hasil NOC.Edisi 7. Jakarta EGC Purnomo B.B (2008). Dasar-dasar urologi, Ed 2 Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta www.alomedika.com/penyakit/urologi/batu-ginjal/epidemiologi tanggal 14 november 2018



diakses



LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS BATU PYELUM DI RUANG OK RSUD KAB. BULELENG



OLEH: IDA AYU MAS NARAYANI 15060140079



PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG 2018