LP CKS Sdki [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN PADA CEDERA KEPALA SEDANG A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1.



Definisi Cidera kepala sedang merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada sekelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas ditandai dengan kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam (Mansjoer, A. 2011). Cidera kepala merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat mengakibatkan perubahan fisik intelektual, emosional, dan sosial. trauma tenaga dari luar yang mengakibatkan berkurang atau terganggunya status kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik dan emosional dengan GCS 9-13 (Judha & Rahil, 2011). Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangn bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan dan percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Redy, 2012). Jadi dapat disimpulkan bahswa cidera kepala sedang adalah trauma yang mengenai otak yang mengakibatkan berkurannya status kesadaran dengan nilai GCS berada di rentang 9-13.



2.



Etiologi Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois & Thomas, 2006). Sedangkan menurut Coronado & Thomas (2007), kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat. Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:



a) Kecelakaan Lalu Lintas Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya. b) Jatuh Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah. c) Kekerasan Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan). 3.



Patofisiologi Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi cedera kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang datang, permukaan dan kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat benturan. Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurika, suatu jaringn fibrosa, padat dan dapat digerakan dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat lapisan lemak dan membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh darah. Bila robek pembuluh ini akan sukar vasokontriksi. Tengkorak otak merupakan ruangan keras sebagai pelindung otak atau rangka otak. Pelindung lain adalah meningen yang merupakan selaput menutupi otak (Price dan Wilson, 2006). Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Pada kedua jenis kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah dan sel glia dan neuron hancur. Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi perdarahan dan peradangan yang menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (Corwin, 2001: 175). Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul,



atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak. Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup). Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibatnya, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi cerebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. (Hudak dan Galllo. 1996: 226).



Gambar 4. Coup dan Countrecoup pada cedera kepala 4.



Pathway



5.



Manifestasi Klinis Manifestasi klinis yang muncul pada trauma kepala sedang adalah hilangnya kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit dan kurang dari 24 jam, GCS 9 – 12, saturasi oksigen > 90 %, tekanan darah systole > 100 mmHg dan dapat mengalami fraktur tengkorak. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal. Secara umum gejala klinis trauma kepala adalah sebagai berikut:



a) Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia). b) Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan fungsi. c) Mual, muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia) d) Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih. e) Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi). f) Gangguan dalam regulasi tubuh. g) Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian h) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori). i) Kehilangan penginderaan seperti gangguan penglihatan, pengecapan, penciuman dan pendengaran, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh. j) Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama. 6.



Klasifikasi Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut (Nanda NIC NOC, 2015) : 1.



Berdasarkan Mekanisme a)



Trauma Tumpul Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).



b)



Trauma Tembus Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan bendabenda tajam/runcing.



2.



Berdasarkan Beratnya Cidera Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian Glasgow Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu : a) Cedera kepala ringan 1)



GCS 14 - 15



2)



Dapat terjadi



kehilangan



kesadaran



atau



amnesia tetapi kurang dari 30 menit. 3)



Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma



b)



Cedera kepala sedang 1)



GCS 9 - 13



2)



Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam



3)



Dapat mengalami fraktur tengkorak



4)



Diikuti cntusia serebral, laserasi dan hematoma intrakranial



c)



Cedera kepala berat 1)



GCS 3 – 8



2)



Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam



3)



Meliputi



hematoma



intrakrania,



kontusio



serebral dan laserasi Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai “X”, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai “T”. 3.



Berdasarkan Morfologi a)



Cedera kulit kepala Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.



b)



Fraktur Tengkorak Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan bloody otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea,



brill hematom, batle’s sign, lesi nervus cranialis yang paling sering n i, nvii dan nviii (Kasan, 2014). Sedangkan penanganan dari fraktur basis cranii meliputi : 1)



Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal



cegah



batuk,



mengejan,



makanan



yang



tidak



menyebabkan sembelit. 2)



Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (consul ahli tht) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea.



3)



Pada



penderita



dengan



tanda-tanda



bloody



otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Kasan : 2014). 4.



Cedera Otak a)



Commotio Cerebri (Gegar Otak) Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad). Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.



b)



Contusio Cerebri (Memar Otak) Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan



pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas). c)



Perdarahan Intrakranial 1) Epiduralis haematoma Epiduralis haematoma adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan durameter akibat robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior. 2) Subduralis haematoma Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak ke arteri meninggia sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial). 3) Subrachnoidalis Haematoma Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. 4) Intracerebralis Haematoma Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma.



5.



Berdasarkan Patofisiologi a)



Cedera kepala primer



Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak dan laserasi. b)



Cedera kepala sekunder Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi sistemik,



hipoksia,



hiperkapnea,



edema



otak,



komplikasi



pernapasan, dan infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain. 7.



Pemeriksa Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain : 1. Foto polos kepala Pemeriksaan ini untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intracranial. 2. CT-Scan kepala Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala, dan merupakan alat yang paling baik untuk mengetahui, menentukan lokasi dan ukuran dari perdarahan intracranial. 3. MRI (Magnetic Resonance Imaging) Kepala Pemeriksaan ini untuk menemukan perdarahan subdural kronik yang tidak tampak pada CT-Scan kepala. 4. Angiografi Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada pasien yang mengalami hemiparesis (kelumpuhan salah satu anggota tubuh) dengan kecurigaan adanya hematoma. Bila ada kelainan di dalam otak akan terlihat adanya pergeseran lokasi pembuluh darah. Pemeriksaan ini bermanfaat bila alat CT-Scan tidak ada 5. Arteriografi Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya efek massa, letak, dan luas hematoma tetapi tidak dapat menunjukkan penyebab hematoma dan kelainan otak yang terjadi 6. Analisa gas darah Pemeriksaan analisa gas darah penting untuk menilai keadaan fungsi paruparu. Pemeriksaan dapat dilakukan melalui pengambilan darah astrup dari arteri radialis, brakhialis, atau femoralis. 7. Intra Cranial Pressure (ICP)



Sikap deserbrasi merupakan suatu keadaan yang terjadi saat suatu lesi otak akibat peningkatan ICP menganggu sinyal dari struktur yang lebih tinggi ke pons dan medulla oblongata dank e struktur di bawahnya. Sikap dekortikasi merupakan bentuk lain dari respon motorik abnormal dengan cedera otak yang menunjukkan adanya lesi pada korteks bagian atas dengan cedera yang lebih ringan pada satu atau dua henister otak. Skala koma Glsglow adalah skala yang paling banyak digunakan dalam penilaian kesadaran penderita dan reaksinya terhadap rangsangan. 8. Penatalaksanaan Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi 1. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata



2. Adanya tanda herniasi/ lateralisasi 3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan. Untuk pengobatan secara umum dari cedera kepala menurut Price & Wilson (2016), disebutkan bahwa tindakan untuk mengurangi ICP adalah dengan menginduksi drainase ICP melalui ventrikulostomi, analgesia (asam mefenamat, pentalin), dan obat sedasi. Perlu juga diberikan obat diuretic manitol diberikan secara bolus dosis 0,25-1 gram/kgBB. Dan juga pemberian obat kortikosteroid seperti prednisone. 9. Komplikasi 1. Peningkatan TIK Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh hipertensi intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dihubungkan dengan penurunan tekanan perfusi dan aliran darah serebral (CBF) dibawah tingkat kritis (60 mmHg) yang berakibat kerusakan otak iskemik. Pengendalian TIK yang berhasil mampu meningkatkan outcome yang signifikan. Telah dikembangkan pemantauan TIK tapi belum ditemukan metode yang lebih akurat dan non invasive. Pemantauan TIK yang berkesinambungan bisa menunjukkan indikasi yang tepat untuk mulai terapi dan mengefektifkan terapi, serta menentukan prognosis. 2. Iskemia Iskemia adalah simtoma berkurangnya aliran darah yang dapat menyebabkan perubahan fungsional pada sel normal. Otak merupakan jaringan yang paling peka terhadap iskemia hingga episode iskemik yang sangat singkat pada neuron akan menginduksi serangkaian lintasan metabolisme



yang



berakhir



dengan



apoptosis.



Iskemia



otak



diklasifikasikan menjadi dua subtipe yaitu iskemia global dan fokal. Pada iskemia global, setidaknya dua, atau empat pembuluh cervical mengalami gangguan sirkulasi darah yang segera pulih beberapa saat kemudian. Pada iskemia fokal, sirkulasi darah pada pembuluh nadi otak tengah umumnya terhambat oleh gumpalan trombus sehingga memungkinkan terjadi reperfusi. Simtoma terhambatnya sirkulasi darah oleh gumpalan trombus disebut vascular occlusion. 3. Perdarahan otak a) Epidural hematom



Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis. Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu. b) Subdural hematoma Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut



dan



kronik.



Terjadi



akibat



pecahnya



pembuluh



darah



vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil. c) Perdarahan intraserebral Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tandatanda vital. d) Perdarahan subarachnoid: Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk. 4. Kejang pasca trauma. Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan,



antihipertensi,



antipsikotik,



buspiron,



stimulant,



benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan. 7. Sindroma post kontusio Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama. B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 1.



Pengkajian



Keperawatan



Gawat Darurat a. Pengkajian menurut (Haryanto, 2015): 1) Pengkajian Primer (ABC) a) Airway 



: Batuk dengan atau tanpa sputum, penggunaan bantuan otot  pernafasan, oksigen



b) Breathing 



: Dispnea saat aktifitas, RR lebih dari 24 kali/menit, irama



ireguler



dangkal,



pasien



tampak



menggunakan otot bantu nafas, tampak ekspansi dada tidak penuh. c) Circulation 



: Takikardi, TD meningkat / menurun, Edema pada ekstremitas, Akral dingin, Kulit pasien tampak pucat



2) Pengkajian Sekunder (AMPLE) a) Alergi : Riwayat pasien tentang alergi yang dimungkinkan pemicu terjadinya penyakitnya. b) Medikasi : Berisi tentang pengobatan terakhir yang diminum sebelum sakit terjadi (Pengobatan rutin maupun accidental).



c) Past Illness : Penyakit terakhir yang diderita klien, yang dimungkinkan menjadi penyebab atau pemicu terjadinya sakit sekarang. d) Last Meal : Makanan terakhir yang dimakan klien. e) Environment/ Event : Pengkajian environment digunakan jika pasien dengan kasus Non Trauma dan Event untuk pasien Trauma. b. Keluhan utama Pasien Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).t (Wantiyah,2010). c. Riwayat kesehatan sekarang Dalam mengkaji hal ini menggunakan analisa sistem PQRST. Untuk membantu klien dalam mengutamakan masalah keluhannya secara lengkap. Pada klien CKS umumnya mengalami mual muntah (Wantiyah,2010). d. Pemeriksaan fisik a) Keadaan umum Keadaan umum klien mulai pada saat pertama kali bertemu dengan



klien



dilanjutkan



mengukur



tanda-tanda



vital.



Kesadaran klien juga diamati apakah compos mentis, apatis, somnolen, delirium, semi koma atau koma. Keadaan sakit juga diamati apakah sedang, berat, ringan atau tampak tidak sakit. b) Pemeriksaan fisik persistem 1) Sistem persyarafan, meliputi kesadaran, ukuran pupil, pergerakan



seluruh



ekstermitas



dan



kemampuan



menanggapi respon verbal maupun non verbal (Aziza, 2010). 2) Sistem penglihatan, pada klien CKS biasanya mata mengalami gangguan Gordon, 2015) 3) Sistem pendengaran, pada klien CKS pada sistem pendengaran telinga, tidak mengalami gangguan (Gordon, 2015). 4) Sistem abdomen, pada klien CKS biasanya mengalami rasa mual (Gordon, 2015). 5) Sistem respirasi, pada klien CKS biasanya mengalami sesak nafas saat istirahat atau saat melakukan aktifitas ringan (Aziza, 2010).



6) Sistem kardiovaskuler, pada klien CKS tidak di anjurkan EKG 7) Sistem gastrointestinal, pengkajian pada gastrointestinal meliputi auskultasi bising usus, palpasi abdomen (nyeri, distensi) (Aziza, 2010). 8) Sistem muskuluskeletal biasanya terjadi kelemahan otot 9) Sistem endokrin, tidak tejadi gangguan (Aziza, 2010). 10) Sistem Integumen, Sistem perkemihan, kaji ada tidaknya pembengkakan dan nyeri pada daerah pinggang, observasi dan palpasi pada daerah abdomen bawah untuk mengetahui adanya retensi urine dan kaji tentang jenis cairan yang keluar (Aziza, 2010). A. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder 2. Resiko Ketidakseimbangan nutrisi berhubungan dengan asupan cairan



B. Rencana Perawatan No 1



Diagnosa Risiko Efektif



Perfusi



TUJUAN DAN KRITERIA HASIL



Serebral



(D.0017)



dengan infeksi otak



INTERVENSI



Tidak Setelah dilakukan asuhan keperawatan Menejemen Peningkatan Tekanan Intrakranial



berhubungan selama 3x24 jam, diharapkan pasien (I. 06198) dapat memenuhi kriteria hasil:



1.



Observasi



Perfusi Serebral (L.02014) -



Tingkat



kesadaran



(4):



cukup



-



(mis.



meningkat -



Gelisah (4): cukup menurun



-



Tekanan darah sistolik (4): cukup



-



gangguan



metabolisme,



Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. Tekanan darah meningkat, tekanan nadi melebar, bradikardia, pola napas



Tekanan darah diastolik (4): cukup membaik



Lesi,



edema serebral



membaik -



Identifikasi penyebab peningkatan TIK



ireguler, kesadaran menurun) -



Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)



-



Monitor CVP (Central Venous Pressure), jika perlu



-



Monitor PAWP, jika perlu



-



Monitor PAP, jika perlu



-



Monitor ICP (Intra Cranial Pressure),



jika tersedia -



Monitor



CPP (Cerebral



Perfusion



Pressure) -



Monitor gelombang ICP



-



Monitor status pernapasan



-



Monitor intake dan output cairan



-



Monitor cairan serebro-spinalis (mis. Warna, konsistensi)



2. -



Terapeutik Minimalkan



stimulus



dengan



menyediakan lingkungan yang tenang -



Berikan posisi semi fowler



-



Hindari maneuver Valsava



-



Cegah terjadinya kejang



-



Hindari penggunaan PEEP



-



Hindari pemberian cairan IV hipotonik



-



Atur ventilator agar PaCO2 optimal



3. -



Pertahankan suhu tubuh normal Kolaborasi Kolaborasi



pemberian



sedasi



dan



antikonvulsan, jika perlu -



Kolaborasi pemberian diuretic osmosis, jika perlu



-



Kolaborasi Pemberian pelunak tinja, jika perlu



2



Nyeri akut b.d agen pencedera fisik



Setelah diberikan asuhan keperawatan Manajemen Nyeri (I.08238) selama 2 x 24 jam, diharapkan tingkat Observasi: nyeri menurun. Dengan kriteria hasil:



-



• Keluhan nyeri berkurang



Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri



• Skala nyeri 0-1 - Meringis menurun Sikap protektif menurun -



Identifikasi skala nyeri



-



Identifikasi respon nyeri non verbal



Terapeutik: -



Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri (relaksasi nafas dalam)



Edukasi: -



Jelaskan strategi meredakan nyeri



Kolaborasi: - Kolaborasi pemberian analgetic 3



Hambatan



mobilitas



penurunan kekuatan otot



fisik



b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Dukungan Mobilisasi (I.05173 2x24 jam diharapkan L.05042Mobilitas Fisik. - Pergerakan ekstremitas meningkat - Kekuatan otot meningkat - Nyeri menurun - Kaku sendi menurun - Gerakan terbatas menurun - Kelemahan fisik menurun



Observasi: - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya - Identifikasi



toleransi



fisik



melakukan



pergerakan - Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi - Monitor kondisi umum selama melakukan



mobilisasi - Terapeutik: - Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu - Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu - Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan - Edukasi - Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi - Anjurkan melakukan mobilisasi dini Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. Duduk di tempat tidur)



C. Implementasi Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalam proses penyembuhan dan perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi pasien yang sebelumnya disusun dalam rencana keperawatan (Nursalam, 2011). D. Evaluasi Menurut Nursalam (2011), evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis yaitu: a) Evaluasi formatif Evaluasi ini disebut evaluasi berjalan dimana evaluai dikatakan sampai dengan tujuan tercapai b) Evaluasi sumatif Merupakan evaluasi akhir dimana metode evaluasi ini menggunakan SOAP S (Subjective) : informasi berupa ungkapan yang didapat dari klien setelah tindakan diberikan. O (Objective) : informasi yang di dapat berupa hasil pengamatan penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan. A (Analysis) : membandingkan antara informasi subjective dan objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan bahwa masalah teratasi,teratasi sebagian, atau tidak teratasi. P ( Planing) : rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan hasil analisa



DAFTAR PUSTAKA Lynda Juall Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC Brunner & Suddarth. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Apley graham and Solomon Louis. 1995. Ortopedi Fraktur System Apley. Edisi 7. Widya medika: Jakarta. Marilynn E, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC. Price, Silvia A. Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi 4 : EGC Rasjad Chaeruddin. 2003. Ilmu Bedah Ortopedi. bintang Lamumpatue : Makassar. Baticaca, Franssisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika. Doenges, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta Arif, Mansjoer, dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculpius, Jakarta Brunner & Suddart, 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. EGC, Jakarta Arief Mansjoer (2014), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4, Jakarta : Media Aesculapius. Huda, A. (2015). NANDA NIC NOC jilid 1 2015. Yogyakarta : Mediaction Jogja Judha M & Rahil H.N. (2014).Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan. Yogyakarta: Gosyen Publishing Price & Wilson. (2016). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC Rendy, M.C, and TH, Margareth. (2016). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika Sidharta P, Mardjono M,. (2017). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat, pp: 169-73.