LP COB Yusi Yulia 1440119070 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CEDERA OTAK BERAT (COB)



Disusun Oleh : Yusi Yulia Devi Nur Aziza 14.401.19.070



PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN AKADEMI KESEHATAN RUSTIDA KRIKILAN-GLENMOR-BANYUWANGI 2021



KONSEP PENYAKIT CEDERA OTAK BERAT (COB) 1.1 Kasus (Masalah Utama) Cedera Otak Berat 1.2 Definisi Cedera Otak Berat Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan diseluruh dunia serta merupakan masalah Kesehatan umum yang sangat besar, bahkan di era ilmu kedokteran modern abad ke-21 (Amila dan Sariani, 2019). Cedera kepala adalah trauma pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat sementara ataupun permanen (Aucone dkk., 2016). Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam kasus neurologi (Kastilong dkk., 2018). 1.3 Anatomi Fisiologi



Gambar 1. Anatomi Otak Otak dibungkus oleh dua selubung yaitu mesodermal, meninges. Pada lapisan luar terdapat pachymeninx atau Duramater sedangkan lapisan dalamnya, yaitu



leptomeninx yang dibagi menjadi Arachnoidea dan Piamater (Adams, 2010). Selaput otak (meningen) terdiri atas tiga lapisan yaitu: 1. Durameter Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, pada bagian tengkorak terdiri atas selaput (perios) tulang tengkorak dan durameter tropia bagian dalam. Durameter mengandung rongga yang mengalirkan darah dari vena otak, dan dinamakan sinus vena. Persarafan Duramater, persarafan ini berasal dari cabang nervus trigeminus, tiga saraf servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan nervus vagus. Reseptor-reseptor nyeri dalam duramater diatas tentorium mengirimkan impuls melalui nervus trigeminus, dan nyeri kepala dapat dirasakan hingga ke kulit dahi dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior berjalan melalui tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk kebelakang kepala dan leher (Astuti, 2016). 2. Arachnoidea Arachnoidea merupakan selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi cairan otak meliputi seluruh susunan saraf sentral, otak, dan medulaspinalis. Arachnoidea berada dalam balon yang berisi cairan. Ruang sub arachnoid pada bagian bawah serebelum merupakan ruangan yang agak besar disebut sistermagna. Ruangan tersebut



dapat



dimasukkan jarum kedalam melalui foramen magnum untuk mengambil cairan otak, atau disebut fungsi sub oksipitalis (Astuti, 2016). 3. Piameter Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak. Piameter berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat. Tepi flak serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari flak serebri tentorium memisahkan serebrum dengan serebelum (Astuti, 2016). Piamater merupakan suatu membran vaskuler yang ditutupi oleh sel-sel mesothelial gepeng. Secara erat menyokong otak, menutupi gyri dan turun kedalam sulki yang terdalam.



Piamater meluas keluar pada saraf-saraf kranial dan berfusi dengan epineurium. Arteri serebralis yang memasuki substansi otak membawa sarung pia mater bersamanya. Piamater membentuk tela choroidea dari atap ventrikulus otak ketiga dan keempat, dan berfusi dengan ependymauntuk membentuk pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga, dan keempat otak (Astuti, 2016). Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa yang konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater, membrane tengah tipis dan halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan membrane paling dalam halus dan bersifat vaskuler serta berhubungan erat dengan permukaan otak dan medulla spinalis serta dikenal sebagai piamater (Astuti, 2016). Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai periosteum tulang-tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan meningeal yang berfungsi untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya serta saraf-saraf cranial dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf kranial. Sinus venosus terletak dalam duramater yang mengalirkan darah venosa dari otak dan meningen ke vena jugularis interna dileher. Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx serebri, yang terletak vertical antara hemispherium serebri dan lembaran horizontal, yaitu tentorium serebelli, yang berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebellum, yang berfungsi untuk membatasi gerakan berlebihan otak dalam kranium. Arachnoidea mater merupakan membrane yang lebih tipis dari duramater dan membentuk penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea mater menjembatani sulkus-sulkus dan masuk kedalam yang dalam antara hemispherium serebri. Ruang antara arachnoidea dengan piamater diketahui sebagai ruang subarachnoidea dan terisi dengan cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal merupakan bahan pengapung otak serta melindungi jaringan saraf dari benturan mekanis yang mengenai kepala(Astuti, 2016).



A) Sistem saraf tepi Otak berkomunikasi dengan tubuh melalui sumsum tulang belakang dan 12 pasang syaraf kranial. Sepuluh dari 12 pasang syaraf kranial yang mengontrol pendengaran, gerakan mata, sensasi wah, rasa, menelan, dan gerakan otot-otot wajh, leher, bahu, dan lidah berasal dari batang otak. Sedangkan syaraf kranial untuk penciuman dan pengelihatan berasal dari otak besar (Hines,2018). 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius (I), optikus (II), okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abducens (VI), fasialis (VII), vestibulokoklearis (VIII), glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), dan hipoglosus (XII). Tabel 1. Ringkasan fungsi saraf kranial No



Nama



Fungsi



I



Olfactory



Penciuman



II



Optic



Pengelihatan



II



Oculomotor



Gerakan mata, pupil



IV



Trochlear



Gerakan mata kebawah dan kedalam



V



Trigeminal



Sensasi wajah -



Menutup rahang dan mengunyah (motorik)



-



Kulit wajah, reflek kornea/



reflek



mengedip (sensorik) VI



Abducens



Gerakan mata



VII



Facial



Gerakan wajah, - Ekpersi



wajah(motorik)



- Pengecapan 2/3 depan lidah VIII



Vestibulocochlear



Pendengaran dan keseimbangan



IX



Glossopharyngeal



Perasa, menelan



X



Vagus



Detak jantung, pencernaan



XI



Accessory



Gerakan tangan



XII



Hypoglossal



Gerakan lidah



Sumber : Hines, 2018.



Gambar 2. saraf kranial 1.4 Epidemiologi Kasus cedera kepala di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% pasien meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dan pasien yang sampai ke rumah sakit, 80% sebagai cedera kepala ringan, 10% cedera sedang dan 10% cedera kepala berat. Cedera kepala sering terjadi kasusnya ditiap tahun di dunia dan tidak sedikit pula orang meninggal dunia setiap tahunnya karena cedera kepala. Dan biasanya penyebab utama cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera yang cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit (Hanura, 2017). Kejadian cedera kepala di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Penderita cidera kepala meninggal sebelum tiba di rumah sakit sejumlah 10 % dan pasien yang sampai di rumah sakit, 80% di kelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10% termasuk cedera kepala sedang, dan 10% termasuk cedera kepala berat. Pada tahun 2016, di RS Fatmawati yang bekerja sama dengan Korps Lalu Lintas (Korlantas) menerangkan bahwa penyebab kematian langsung terbanyak pada kecelakaan adalah cedera kepala (Ginting dkk., 2020). 1.5 Etiologi Etiologi cedera kepala dapat berasal dari berbagai sumber yaitu : 1. Kekerasan tumpul: kasus paling sering dalam etiologi ini ialah karena kecelakaan, pembunuhan, atau dapat juga bunuh diri.



2. Kekerasan tajam: merupakan jenis kekerasan yang cukup banyak terjadi. Benda penyebab tersering ialah batang besi atu kayu runcing, pecahan kaca, atau benda-benda lain yang tajam. 3. Cedera akibat tembakan juga dapat menyebabkan kematian dimana dilihat dari kerusakan yang ditimbulkan, jenis peluru yang digunakan, jarak tembakan, jalannya peluru yang masuk pada otak. 4. Cedera kepala akibat gerakan mendadak yang dapat meyebabkan kematian meskipun tidak terdapat kekerasan yang nampak langsung pada kepala. Cedera dapat terjadi karena gerakan yang mendadak misalnya suatu percepatan, perlambatan, atau perputaran. Kerusakan yang terjadi terutama pada pembuluh darah otak dan jaringan sekitarnya. 1.6 Manifestasi Klinis Gejala Cedera otak traumatis dapat memiliki efek fisik dan psikologis yang luas. Beberapa tanda atau gejala mungkin muncul segera setelah peristiwa traumatis, sementara yang lain mungkin muncul beberapa hari atau minggu kemudian. Cedera otak traumatis ringan Tanda dan gejala cedera otak traumatis ringan dapat meliputi: 1. Gejala fisik a. Sakit kepala b. Mual atau muntah c. Kelelahan atau kantuk d. Masalah dengan ucapan e. Pusing atau kehilangan keseimbangan 2. Gejala sensorik Masalah sensorik a. Penglihatan kabur, telinga berdenging b. Rasa tidak enak di mulut atau perubahan kemampuan mencium Kepekaan terhadap cahaya atau suara 3. Gejala kognitif



a. perilaku atau mental Kehilangan kesadaran selama beberapa detik hingga beberapa menit Tidak ada kehilangan kesadaran, tetapi keadaan linglung b. Bingung atau disorientasi c. Masalah memori atau konsentrasi Perubahan suasana hati



atau



perubahan suasana hati d. Merasa tertekan atau cemas Sulit tidur Tidur lebih dari biasanya Cedera otak traumatis sedang hingga berat Cedera otak traumatis sedang hingga berat dapat mencakup salah satu tanda dan gejala cedera ringan, serta gejala berikut yang mungkin muncul dalam beberapa jam pertama hingga beberapa hari setelah cedera kepala: 1. Gejala fisik a. Kehilangan kesadaran dari beberapa menit hingga berjam-jam Sakit kepala b. persisten atau sakit kepala yang memburuk c. Muntah atau mual berulang d. Kejang atau kejang e. Pelebaran salah satu atau kedua pupil mata f. Cairan bening mengalir dari hidung atau telinga g. Ketidakmampuan untuk bangun dari tidur h. Kelemahan atau mati rasa pada jari tangan dan kaki i. Kehilangan koordinasi 2. Gejala kognitif atau mental a. Kebingungan yang mendalam Agitasi, sikap agresif, atau perilaku tidak biasa lainnya b. Bicara cadel c. Koma dan gangguan kesadaran lainnya Gejala anak-anak Bayi dan anak kecil dengan cedera otak mungkin tidak dapat mengomunikasikan sakit kepala, masalah sensorik, kebingungan, dan gejala serupa. Pada anak dengan cedera otak traumatis:



1. Perubahan dalam kebiasaan makan atau menyusui 2. Iritabilitas yang tidak biasa atau mudah 3. Menangis terus-menerus dan 4. ketidakmampuan untuk dihibur 5. Perubahan kemampuan untuk memperhatikan 6. Perubahan kebiasaan tidur 7. Kejang 8. Suasana hati sedih atau tertekan Kantuk 9. Kehilangan minat pada mainan atau aktivitas favorit 1.7 Patofisiologi Cedera kepala terjadi karena trauma tajam atau tumpul seperti terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang dapat mengenai kepala dan otak sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi otak dan seluruh sistem dalam tubuh. Bila trauma mengenai ekstra kranial dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala dan pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan. Apabila perdarahan yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan terganggunya aliran darah sehingga terjadi hipoksia. Akibat hipoksia ini otak mengalami edema serebri dan peningkatan volume darah di otak sehingga tekanan intra kranial akan meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan fraktur yang dapat menyebabkan desakan pada otak dan perdarahan pada otak, kondisi ini dapat menyebabkan cidera intra kranial sehingga dapat meningkatkan tekanan intra kranial, dampak peningkatan tekanan intra kranial antara lain terjadi kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Borley & Grace, 2006). Trauma pada kepala disebabkan oleh benda tumpul maupun benda tajam. Berat ringannya suatu trauma dilihat dari tempat atau lokasi dan kekuatan saat terjadi benturan. Benturan keras yang terjadi pada kepala mengakibatkan perdarahan pada kepala bagian dalam yakni pada bagian pembuluh darah otak. Benturan tersebut juga bisa mengakibatkan terputusnya kontinuitas kulit, jaringan kulit, otot atau vaskuler. Perdarahan pada kepala bagian dalam mengakibatkan



peningkatan intrakranial sehingga mengakibatkan penurunan suplai darah. Ketika suplai darah menurun jaringan otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup. Otak yang mengalami kekurangan oksigen mengakibatkan perubahan perfusi jaringan serebral, sehingga terjadi penurunan fungsi otak. Kompensasi Peningkatan TIK & Chusing Reflex Perubahan pada tekanan intrakranial akan mempengaruhi tekanan perfusi cerebral, dimana ini akan berakibat terjadinya iskemia otak. Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume otak, keadaan ini tidak akan cepat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Sebab volume yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan memindahkan cairan serebrospinalis dari rongga tengkorak ke kanalis spinalis dan disamping itu volume darah intrakranial akan menurun oleh karena berkurangnya peregangan durameter. Hubungan antara tekanan dan volume ini dikenal dengan complience. Jika otak, darah dan cairan serebrospinalis volumenya terus menerus meninggi, maka mekanisme penyesuaian ini akan gagal dan terjadilah peningkatan tekanan intracranial. Kenaikan TIK merespon fisiologis system saraf tubuh sehingga menimbulkan chusing reflex dengan tanda sistolik naik dan diastolic turun, bradikardi dan napas irregular. Dimana chusing reflex adalah



respon



hemodinamik terakhir mengaktifasi system saraf simpatik yang diikuti kenaikan dari TIK, respon simpatik membuat otak untuk mengoptimalkan perfusi dengan menjaga MAP tetap melebihi TIK. Akibat aktivitas tersebut, tekanan darah akan naik, dengan cara itu juga tubuh diharapkan terhindar dari hipoksia dan infark. Namun saat terjadi terus peningkatan TIK, karena akan terjadi penurunan fungsi batang otak, bradikardi, sebagai tanda awal dari periode apnea. Maka dari itu chusing reflex menjadi “sinyal” tanda prognosis pasien memburuk, dan harus ditangani segera mungkin. Rumus MAP = Sistole + (2xDiastole) 3 Atau



= 1/3 PP + Diastole



PP = Sistole – Diastole



Gambar 1. Anatomi otak



Gambar 2. Hematoma pada otak



Gambar 3. Jenis perdarahan cedera kepala



Gambar 4. Jenis cedera kepala berdasarkan tempatnya



Gambar 5. Efek primer dan sekunder cedera kepala



1.8 Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan Diagnostik pada klien cedera otak menurut Rini dkk (2019), meliputi: 1. Pemeriksaan Fisik 2. GDA (Gas Darah Sewaktu): mengetahui adanya



masalah



ventilasi atau oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK (tekanan intrakranial). 3. Kimia



atau



elektrolit



darah:



mengetahui



ketidak



seimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK dalam perubahan mental. 4. X-ray: mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, dan edema), adanya fragmen tulang. 5. CT scan dan MRI (dengan/tanpa kontras): mengidentifikasi adanya hemorogik, pergeseran jaringan otak.



6. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma. 7. EEG:



memperlihatkan



keberadaan



atau



berkembangnya



gelombang patologis. 8. PET (Positron Emission Tomography): menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak. 9. Pungsi Lumbal: jika dicurigai adanya kemungkinan perdarahan subarachnoid. 10. Pemeriksaan toksiologi: mendeteksi obat-obatan yang mungkin menyebabkan penurunan kesadaran. 1.9 Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan medis cedera kepala yang utama adalah untuk mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipoksia atau karena kompresi (pergeseran) jaringan otak. Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada penderita cedera kepala. Penatalaksanaan umum cedera kepala adalah sebagai berikut : 1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi 3. Berikan oksigenasi 4. Awasi tekanan darah 5. Tinggikan kepala Meninggikan kepala memiliki efek yang paling cepat.tekanan karotis ratarata berkurang selama elevasi kepala tempat tidur, TIK berkurang dan aliran darah otak tidak berpengaruh. 1.Terapi hiperventilasi Hiperventilasi menurunkan tekanan intrakranial dengan mengurangi tekanan parsial karbon dioksida intraarterial (PaCO2), yang kemudian menghasilkan vasokonstriksi. Sehingga dapat mengurangi volume darah serebral. Hiperventilasi profilaksis umumnya tidak dianjurkan, karena vasokonstriksi menurunkan aliran darah ke otak. 2.Pencegahan Kejang



Pedoman cedera otak saat ini menyatakan bahwa 1 minggu antiepilepsi profilaksis dapat diterima untuk membantu mencegah kejang dini. Namun, belum ada manfaat yang terbukti dalam pencegahan kejang jangka panjang setelah cedera otakI, dan karenanya, antiepilepsi umumnya dihentikan setelah 7 hari. 3.Hiportemia terapeutik Diperkirakan bahwa stres oksidatif adalah efek sekunder dari cedera kepala. Hipotermia terapeutik telah ditunjukkan pada bayi dan anak-anak untuk mengurangi cedera oksidatif. Saat suhu tubuh mendingin, kebutuhan metabolisme otak menurun. Jenis terapi ini juga disertai dengan risiko seperti perubahan gula darah, jumlah trombosit, dan faktor koagulasi. Jumlah trombosit dan faktor koagulasi harus diperiksa sebelum prosedur invasif



ketika



seseorang dibawa ke keadaan hipotermia. Pendinginan terapeutik dalam konteks cedera kepala parah memiliki hasil yang beragam dan saat ini merupakan modalitas terapi tingkat kedua (Ricker dan Arenth, 2017). 4. Pembedahan Keputusan untuk intervsni bedah untuk kraniotomi tergantung pada jenis cedera dan pemeriksaan nerulrologia pada pasien. Fraktur tengkorak, EDH, SDH, cedera pembuluh darah besar, dan kontusio intraparenkim memicu algoritma spesifik pengobatan. 1. Pemantauan ICP Pemantauan ICP Pemantauan ICP sangat membantu untuk memandu pengambilan keputusan medis dan bedah. Ini adalah penanda untuk memandu pemahaman perfusi serebral, tetapi lebih khusus itu adalah fungsi kepatuhan intrakranial. Pemantauan ICP dilakukan pada semua pasien yang dapat diselamatkan, setelah resusitasi kardiopulmonar, dengan GCS≤8 dengan CT Scan abnormal. Ini juga diindikasikan untuk cedera otak berat dengan pemindaian CTH normal dengan dua atau lebih kriteria berikut: usia> 40 tahun, atau SBP