LP EDH Revisi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN EPIDURAL HEMATOMA (EDH) DI RUANG GARDENA RSD dr. SOEBANDI JEMBER



disusun guna memenuhi tugas pada Program Profesi Ners (P2N) Stase Keperawatan Bedah



oleh Desi Rahmawati, S.Kep NIM 122311101021



PROGRAM PROFESI NERS PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER 2016



LEMBAR PENGESAHAN



Laporan pendahuluan asuhan keperawatan pada pasien dengan Epidural Hematoma (EDH) di ruang Gardena telah disetujui dan disahkan pada: Hari, tanggal :



Januari 2017



Tempat: Ruang Gardena RSD dr. Soebandi Jember



Jember, Pembimbing Klinik



Oktober 2016 Mahasiswa



(..................................................) NIP.



(................................................) NIM



Pembimbing Akademik ,



(...........................................................) NIP.



LAPORAN PENDAHULUAN EPIDURAL HEMATOMA (EDH) Oleh: Desi Rahmawati, S.Kep 1. Kasus Epidural Hematoma (EDH) 2. Anatomi Kepala



Gambar 1. Tengkorak a. Tengkorak Tulang tengkorak menurut Price (2008) merupakan struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum.



Gambar 2. Lapisan cranium b. Meningen Menurut Price (2008) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembulu darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu: 1)



Dura mater Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan



endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat . Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat



menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan. 2) Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis . Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala. 3) Pia mater Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater. c. Otak Menurut Ganong (2002) otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu: 1) Cerebrum



Gambar 3. Lobus-lobus Otak Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri



dari lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu: a) Lobus frontalis Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam. b) Lobus parietalis Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisipada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.



c) Lobus temporalis Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang nondominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual. d) Lobus Oksipital Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan. 2) Cereblum Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu; merangsang dan menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input sensori. 3) Brainstem Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak tengah midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak tengah dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara medula dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula oblomata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusat-pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital



seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin. 3. Konsep Penyakit a.



Pengertian Epidural hematom adalah salah satu akibat yang ditimbulkan dari sebuah



trauma kepala (Andrews, 2000). Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak di regio temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada 1/3 kasus (Agamanolis, 2003). Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama di regio parietal-oksipital atau fossa posterior (Vacca 2007,



dalam



Smeltzer & Bare, 2010) . Epidural hematom adalah hematom/perdarahan yang terletak antara durameter dan tubula interna/lapisan bawah tengkorak, dan sering



terjadi



pada



lobus temporal dan paretal (Smeltzer & Bare, 2010).



Epidural hematom sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan (Japardi, 2004).



Gambar 4. Epidural Hematom



Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala) harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam (Agamanolis, 2003). b. Epidemiologi Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal. c. Etiologi Epidural hematom terjadi karena laserasi atau robekan pembuluh darah yang ada diantara durameter dan tulang tengkorak akibat benturan yang menyebabkan fraktur



tengkorak



2004). Perdarahan media



seperti biasanya



kecelakaan bersumber



kendaraan dari



dan



robeknya



trauma arteri



(Japardi, meningica



(paling sering), vena diploica (karena fraktur kalvaria), vena emmisaria,



dan sinus venosus duralis. d. Tanda dan Gejala



Tanda dan gejala yang biasanya dijumpai pada orang yang menderita epidural hematom



diantaranya



adalah



mengalami



“lucid interval” , yaitu selang



waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral, tekanan darah yang semakin bertambah tinggi, nadi semakin bertambah lambat, sakit kepala yang semakin hebat, disertai dengan penurunan kesadaran yang terjadi kemudian (Jennet, 2007 dalam Soertidewi, 2012). Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang dari 24 jam, terjadi penurunan kesadaran dengan penilaian GCS sampai koma secara mendadak dalam kurun waktu beberapa jam hingga 1-2 hari. Menurut Smetlzer & Bare (2010) ketika kompensasi CSF terhadap hematoma gagal maka terjadi peningkatan tekanan intrakranial sehingga mengakibatkan sindrom herniasi uncal dengan gejala pasien semakin, gelisah, sampai koma. Nyeri kepala semakin hebat disertai muntah proyektik, defisit neurologis (dilatasi pupil yang ipsilateral, kelumpuhan ekstremitas/hemiparesis). Selain itu tanda gejala epidural hematome menurut Evans (2006) antara lain: keluarnya darah



yang bercampur CSS dari hidung (rinorea) dan telinga



(othorea), refleks patologis Babinski positif kontralateral terjadi terlambat pada sisi yang mengalami lesi, susah bicara, mual, pernafasan dangkal dan cepat kemudian irregular, suhu meningkat, funduskopi dapat memperlihatkan papil edema (setelah 6 jam kejadian), dan foto rontgen menunjukan garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalan arteri meningeamedia atau salah satu cabangnya. Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk cembung. (Andrews, 2000 dalam Soertidewi, 2012). e. Patofisiologi Epidural hematom secara khas timbul sebagai akibat dari sebuah luka atau trauma atau fraktur pada kepala yang menyebabkan laserasi pada pembuluh darah arteri, khususnya arteri meningea media dimana arteri ini berada diantara durameter dan tengkorak daerah temporal.



Rusaknya arteri menyebabkan



perdarahan yang memenuhi epidural. Apabila perdarahan terus mendesak durameter, maka darah akan memotong atau menjauhkan daerah durameter dengan tengkorak, hal ini akan memperluas



hematoma.



Perluasan



hematom



akan menekan hemisfer otak dibawahnya yaitu lobus temporal ke dalam dan



ke bawah. Seiring terbentuknya hematom maka akan memberikan



efek



yang



cukup berat yakni isi otak akan mengalami herniasi. Herniasi menyebabkan penekanan saraf yang ada dibawahnya seperti



medulla



oblongata



yang



menyebabkan terjadinya penurunan hingga hilangnya kesadaran. Pada bagian ini terdapat nervus okulomotor yang menekan saraf sehingga menyebabkan peningkatan TIK, akibatnya terjadi penekanan saraf yang ada diotak (Japardi, 2004).



f. Komplikasi Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut pada cedera kepala meliputi : 1) Koma Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh. 2) Kejang



Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurangkurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy 3) Infeksi Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain. 4) Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah kesadaran. 5) Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera. g. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks-refleks.



1) CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.



Gambar 5. CT Scan Epidural Hematoma 2) Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma. 3) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang. 4) Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.



5) Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial. h. Penatalaksanaan 1) Perawatan sebelum ke Rumah Sakit a) Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah. b) Berikan O2 dan monitor c) Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak kurang dari 90 mmHg. d) Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler 2) Perawatan di bagian Emergensi a) Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg. b) Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obatobatan sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi digunakan sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan hiperventilasi bila diperlukan. c) Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau gunakan posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan untuk menambah drainase vena. d) Berikan manitol 0,25-1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai 90 mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya peningkatan tekanan intra kranial. e) Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg apabila sudah ada herniasi atau adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (ICP). f) Berikan phenitoin untuk kejang-kejang pada awal post trauma, karena phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang dengan onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan kejang sebelumnya. 3) Terapi operatif



Terapi operatif bisa melakukan kraniotomi.



menjadi Terapi



penanganan



ini



darurat



dilakukan



jika



yaitu



hasil



dengan



CT



Scan



menunjukan volume perdarahan/hematom sudah lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari 1 cm atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom untuk menghentikan sumber perdarahan sedangkan operasi



tidak



tulang



kepala



dikembalikan.



Jika



saat



didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak



dikembalikan (Bajamal, 2007). 4) Terapi obat-obatan: a) Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan intrakranial



dan metabolisme



otak.



Pemakaian



tiophental



tidak



dianjurkan, karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol dapat



digunakan



untuk



mengurangi



tekanan



intrakranial



dan



memperbaiki sirkulasi darah. Phenitoin digunakan sebagai obat propilaksis untuk kejang – kejang pada awal post trauma. Pada beberapa pasien diperlukan terapi cairan yang cukup adekuat yaitu pada keadaan tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH 2O, dapat digunakan norephinephrin untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 90 mmHg. b) Diuretik Osmotik Misalnya Manitol : Dosis 0,25-1 gr/ kg BB iv. Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti paru, dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progreasiv dan gagal jantung yang progresiv. Fungsi : Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi darah otak dan kebutuhan oksigen. c) Antiepilepsi Misalnya Phenitoin : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh berlebihan dari 50 (Dilantin) mg/menit. Kontraindikasi; pada penderita hipersensitif, pada penyakit dengan blok sinoatrial, sinus bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes.



Fungsi : Untuk mencegah terjadinya kejang pada awal post trauma.



4. Clinical Pathways Luka, trauma, fraktur kepala dll. Trauma pada jaringan lunak



Fraktur tulang tengkorak Terjadi robekan arteri meningeal



Rusaknya jaringan kepala Rusaknya pembuluh darah arteri meningeal luka terbuka Darah keluar dari vaskuler



Resiko infeksi



Darah hematoma



memenuhi



Peningkatan TIK



naiknya volume intrakranial



Syok hipovolemik



herniasi



epidural edema otak



peningkatan TIK



Kompensasi tubuh vasokonstriksi



Menekan lobus temporalis penegangan N. Batang otak



gangguan autoregulasi Penurunan



kompresi



korteks serebri



Nyeri akut



Suplai oksigen ke otak menurun



gangguan pusat



hipoksia Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral



kesadaran dan motorik



pernafasan hiperventilasi



Hambatan mobilitas fisik



rentan jatuh Ketidakefektifan pola nafas



penurunan kesadaran tirah baring



Resiko jatuh



Defisit perawatan diri



Penekana pada kulit dalam waktu yang lama Resiko dekubitus



Resiko kerusakan integritas kulit



1. Asuhan Keperawatan a. Pengkajian Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe, lokasi dan keparahan cedera meliputi : a) Data yang perlu dikaji 1. Identitas klien meliputi: a) Nama b) Umur: EDH biasanya sering terjadi pada usia produktif dihubungkan enganangka kejadian kecelakaan yang rata-rata sering dialami oleh usia produktif c) Jenis kelamin: EDH dapat terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan d) Agama e) Pendidikan f) Alamat g) Pekerjaan h) Status perkawinan 2. Riwayat kesehatan: a) Diagnosa medis, b) Keluhan utama: keluhan utama biasanya nyeri kepala setelah kecelakaan, dapat menjadi lucid interval (kehilangan kesadaran secara mendadak) ketika EDH tidak ditangani dengan segera. c) Riwayat penyakit sekarang berisi tentang kejadian yang mencetuskan EDH, kondisi paseien saat ini serta uapaya yang d)



sudah dilakukan pada pasien. Riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah dialami, alergi, imunisasi, kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang



digunakan, riwayat penyakit keluarga 3. Genogram 4. Pengkajian Keperawatan (11 pola Gordon) 5. Pemeriksaan fisik a) Keadaan umum, tanda vital b) Breathing : Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. Pada EDH



ditemukan pola nafas cepat, deangkal, kemudian ireguler bila EDH tidak segera ditangani dengan baik c) Blood : Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah



bervariasi.



Tekanan



pada



pusat



vasomotor



akan



meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia), tekanan darah meningkat. d) Brain : Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi



adanya



gangguan



otak



akibat



cidera



kepala.



Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi : 1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori) 2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia 3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata. 4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh. 5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma. 6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan. 7) Pemeriksaan GCS No RESPON 1 Membuka Mata : -Spontan -Terhadap rangsangan suara -Terhadap nyeri



NILAI 4 3 2



-Tidak ada 2 Verbal : -Orientasi baik -Orientasi terganggu -Kata-kata tidak jelas -Suara tidak jelas -Tidak ada respon 3 Motorik : - Mampu bergerak -Melokalisasi nyeri -Fleksi menarik -Fleksi abnormal -Ekstensi -Tidak ada respon Total



1 5 4 3 2 1 6 5 4 3 2 1 3-15



Pengkajian saraf kranial : Pengkajian saraf kranial yang ditemui pada Epidural Hematom : 1) Saraf I : klien akan mengalami gangguan penciuman/anosmia unilateral dan bilateral 2) Saraf II : klien yang mengalami hematom palpebra akan mengalami penurunan lapang pandang dan mengganggu fungsi saraf optikus 3) Saraf III, IV, dan VI : klien mengalami gangguan anisokoria 4) Saraf V : klien mengalami gangguan koordinasi kemampuan dalam mengunyah 5) Saraf VII : persepsi pengecapan mengalami perubahan 6) Saraf VIII ; pendengaran mengalami perubahan 7) Saraf IX dan X : kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan dalam membuka mulut 8) Saraf XI : klien tidak mampu mobilisasi 9) Saraf XII : indra pengecapan mengalami perubahan e) Bladder : Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi. f) Bowel : Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi. g) Bone : Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena



imobilisasi



dan



dapat



pula



terjadi



spastisitas



atau



ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.



b. Diagnosa Keperawatan 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik 2) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral 3) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak) 4) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neuromuskular 5) Resiko infeksi 6) Defisit perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan penurunan kesadaran



c. Perencanaan keperawatan No. 1.



2.



Diagnosa keperawatan Nyeri akut berhubungan dengan injuri fisik



Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral



Tujuan dan Kriteria Hasil



Intervensi



Rasional



NOC 1. Tingkat nyeri 2. Kontrol nyeri 3. Tingkat kenyamanan Kriteria Hasil : 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) 2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri 3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 5. Tanda vital dalam rentang normal



NIC Manajemen nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3. Kurangi faktor presipitasi nyeri 4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi 5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 6. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil



1. Mengetahui karakteristik nyeri secara menyeluruh untuk menentukan intervensi selanjutnya 2. Mengetahui perkembangan respon nyeri 3. Mengurangi peningkatan nyeri 4. Meniminalkan nyeri yang dirasakan 5. Mengetahui keefektifan intervensi 6. Pengobatan medis untuk mengurangi nyeri



NOC 1. Status sirkulasi 2. Perfusi jaringan serebral Kriteria Hasil: 1. Tekanan darah sistolik dan



NIC Monitor tekanan intrakanial 1. Catat perubahan respon klien terhadap stimulus/rangsangan 2. Monitor TIK klien dan respon



1. Mengetahui perubahan respon klien 2. Mengetahui perfusi jaringan serebral klien



diastolik dalam rentang normal 2. Tidak ada ortostatik hipotensi 3. Tidak ada tanda peningkatan tekanan intrakranial yaitu klien mampu komunikasi dengan jelas dan sesuai kemampuan, klien menunjukkan perhatian konsentrasi dan orientasi, klien mampu memproses informasi, tingkat kesadaran klien membaik.



3.



Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak)



NOC 1. Status pernafasan 2. Status pernafasan: kepatenan jalan nafas Kriteria Hasil: 1. tidak ada sesak 2. pernafasan dalam batas normal 1620 x/menit



neurologis terhadap aktivitas Monitor intake dan output Pasang restrain bila perlu Monitor suhu Kaji adanya kaku kuduk Monitor ukuran, kesimetrisan reaksi dan bentuk pupil 8. Kelola pemberian antibiotik 9. Berikan posisi dengan kepala elevasi 30 derajat 10. Minimalkan stimulus dari lingkungan 11. Kolaborasi pemberian obatobatan untuk mempertahankan TIK dalam batas spesifik 3. 4. 5. 6. 7.



NIC 1. Kaji airway, breathing, sirkulasi 2. Kaji klien apakah ada fraktur servikal dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi b ila ada cedera vertebra



3. Mengetahui keseimbangan intake dan output 4. Menjaga keamanan pasien bila pasien gelisah 5. Mengetahui kondisi pasien 6. Menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial 7. Menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial 8. Mengurangi kesakitan yang dirasakan pasien 9. Jalan nafas pasien agar lebih paten 10. Lingkungan yang nyaman membuat pasien rileks 11. Menunjang kesembuhan pasien 1. Untuk mengetahui pernafasan klien 2. Posisi yang salah pada klien fraktur akan membuat klien tidak nyaman dan sedikit kesulitan dalam bernafas 3. Pengisapan lendir



4.



Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neuromuskular



NOC 1. Gerakan: aktif 2. Tingkat mobilitas 3. Perawatan diri: ADL Kriteria Hasil : 1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik 2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas 3. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah 4. Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)



3. Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya secret dan bila ada segera lakukan pengisapan lendir 4. Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas 5. Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15-30 derajat 6. Berikan oksigen sesuai program



dilakukan untuk mempermudah jalan nafas 4. Status pernafasan dikaji untuk mengetahui pola nafas klien 5. Posisi dengan kepala sedikit ekstensi akan membuat klien bernafas dengan baik 6. Pemberian oksigen untuk memenuhi kebutuhan oksigen klien



NIC Latihan Kekuatan 1. Ajarkan dan berikan dorongan pada klien untuk melakukan program latihan secara rutin Latihan untuk ambulasi 1. Ajarkan teknik ambulasi & perpindahan yang aman kepada klien dan keluarga. 2. Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi roda, dan walker 3. Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri dalam batasan



1. Pasien dapat termotivasi untuk melakukan program latihan 2. Mencegah resiko cedera 3. Memudahkan pasien untuk melakukan mobilisasi 4. Pasien terus termotivasi untuk tetap melakukan ambulasi 5. Klien dan keluarga memahami mobilisasi dengan benar 6. Klien termotivasi untuk memperkuat anggota



5



Resiko infeksi



NOC : 1. Status imun 2. Kontrol resiko Kriteria Hasil : 1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 3. Jumlah leukosit dalam batas normal 4. Menunjukkan perilaku hidup sehat



yang aman. Latihan mobilisasi dengan kursi roda 1. Ajarkan pada klien & keluarga tentang cara pemakaian kursi roda & cara berpindah dari kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya. 2. Dorong klien melakukan latihan untuk memperkuat anggota tubuh 3. Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara penggunaan kursi roda



tubuh 7. Klien tidak akan mengalami kekakuan sendi dan keluarga dapat membantu klien untuk mobilisasi



NIC : Kontrol infeksi 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain 2. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan 3. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan 4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung 5. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat 6. Tingktkan intake nutrisi 7. Berikan terapi antibiotik bila



1. Untuk mencegah infeksi yang ditularkan oleh pasien lain 2. Memotong rantai infeksi 3. Memotong rantai infeksi 4. Tenaga kesehatan dapat mencegah infeksi nosokomial 5. Resiko infeksi tidak terjadi 6. Diet makanan tinggi protein untuk mempercepat



perlu



6



Defisit perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan penurunan kesadaran



NOC NIC 1. Perawatan diri: berpakaian Perawatan diri: Mandi 2. Perawatan diri: makan 1. Tempatkan alat-alat mandi di 3. Perawatan diri: mandi tempat yang mudah dikenali dan Kriteria Hasil: mudah dijangkau klien, 2. libatkan klien dan dampingi 1. Pasien mengerti cara memenuhi 3. berikan bantuan selama klien ADL secara bertahap tidak mampu mengerjakan 2. Pasien mampu berpartisipasi dalam sendiri pemenuhan ADL Perawatan diri: Berpakaian 1. informasikan pada klien dalam memilih pakaian selama perawatan 2. sediakan pakaian di tempat yang mudah dijangkau 3. bantu berpakaian yang sesuai 4. jaga privacy klien 5. berikan pakaian pribadi yang digemari dan sesuai Perawatan diri: Makan 1. anjurkan duduk dan berdoa bersama teman 2. dampingi saat makan



penyembuhan luka 7. Untuk mencegah atau mengobati infeksi



Agar klien mampu belajar untuk melakukan aktivitasnya sendiri walaupun hanya minimal dan diberikan bantuan sedikit agar tidak bergantung seterusnya kepada keluarga dan petugas Dengan memberikan pakaian yang disukai klien maka klien akan lebih nyaman dalam memakai. Letakkan baju pada tempat yang mudah dijangkau pasien untuk mengurangi resiko injury serta dengan kenyamanan maka akan membantu proses kesembuhan pasien Dengan mendampingi pasien makan maka keamanan juga terjaga serta lingkungan yang



7



Resiko kerukasan integritas kulit



3. bantu jika klien belum mampu dan berikan contoh 4. berikan lingkungan nyaman saat makan Setelah dilakukan tindakan keperawatan PENGAWASAN KULIT selama .......x24 jam integritas jaringan: 1. Inspeksi kondisi luka operasi kulit dan mukosa normal dengan 2. Observasi ekstremitas untuk indikator: warna, panas, keringat, nadi, NOC: Integritas kulit tekstur, edema, dan luka 1. temperatur jaringan dalam rentang 3. Inspeksi kulit dan membran yang diharapkan mukosa untuk kemerahan, 2. elastisitas dalam rentang yang di panas, drainase 4. Monitor kulit pada area kemerahan 5. Monitor penyebab tekanan Monitor adanya rashes dan abrasi 6. Monitor warna kulit 7. Catat perubahan kulit dan membran mukosa MANAJEMEN TEKANAN 1. Tempatkan pasien pada terapeutic bed 2. Monitor status nutrisi pasien 3. Monitor sumber tekanan 4. Monitor mobilitas dan aktivitas pasien



baik dapat membuat pasien semakin rileks.



1. Mengetahui kondisi luka operasi 2. Mengatahui adanya tanda gejala kerusakan integritas kulit 3. Mengetahui ada tanda gejala resiko kerusakan integrtias kulit pada mukosa 4. Mengetahui penyebab tekanan untuk dimodifikasi 5. Mengetahui kondisi kulit 6. Mengetahui setiapperubahan warna kulit 1. Menghindari terjadinya tekanan yang menyebabkan kerusakan integritas kulit 2. Nutrisis dapat mempengaruhi pertumbuhan sel



5. Mobilisasi pasien minimal setiap 2 jam sekali 6. Back rub 7. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar



3. Mengetahui sumber tekanan yang dapat memperparah kerusakan integritas kulit 4. Mobiliasi yang kurang dapat meningkatkan resuko kerusakan kulit 5. Memperlancar darah dan menghindaari resiko kerusakan integritas kulit 6. Memperlancar aliran darah pada punggung yang digunakan tirah baring 7. Meminimalkan tekanan



DAFTAR PUSTAKA Agamanolis DP. 2003.



Brain Injury and Increased Intracranial Pressure.



Northeastern Ohio Universities College of Medicine. [serial online] diakses melalui: http://www.neuropathologyweb.org/chapter4/chapter4aSubduralepi dural.html. (8 Januari 2017) Andrews PJD. 2000. Traumatic brain injury. In: Neurological Emergencies. Hughes R (ed.). 3rd ed. Philadelphia: BMJ books Bajamal, AH. 2007. Pedoman tatalaksana cedera otak (Guideline for Management of Traumatic Brain Injury). RSU dr. Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya. Bulechek G, dkk. 2008. Nursing Interventions Clarification (NIC) Firth Edition. Mosby : Lowa city Evans RW. 2006. Neurology and Trauma. Philadelphia: W.B. Saunders Ganong. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. Herdman, T. 2015. Diagnosa Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Alih bahasa, Budi Ana Keliat. Edisi 10. Jakarta: EGC. Japardi, I, 2004. Memasyarakatkan Penatalaksanaan Cedera Kepala dalam Rangka Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka Kematian Akibat Cedera Kepala. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Bedah Saraf pada Fakultas Kedokteran USU, Medan. Moorhead S, dkk. 2000. Nursing Outcames Clasification (NOC) Third Edition. Mosby : Lowa city NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC. Price, S.A. 2008. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta: EGC. Smeltzer, SC., Bare B.G. 2010. Medical Surgical Nursing Brunner& Suddarth. Philadhelphia: Lippincott Williams & Wilkins.