LP Gadar [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS DAN GAWAT DARURAT PADA PASIEN DENGAN SUBARACHNOID HEMATOM



Fasilitator: Dr. Ninuk Dian K, S.Kep.,Ns., MANP



Disusun Oleh Ro’ihatus Siha



131711133019



PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA DESEMBER, 2020



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI..............................................................................................................................2 BAB 1.........................................................................................................................................3 PENDAHULUAN.....................................................................................................................3 1.1



Latar Belakang..........................................................................................................3



1.2



Rumusan Masalah.....................................................................................................3



1.3



Tujuan........................................................................................................................3



BAB 2.........................................................................................................................................4 ASUHAN KEPERAWATAN TEORI....................................................................................4 2.1 2.1.1 2.2



Anatomi dan Fisiologi Otak......................................................................................4 Anatomi Otak...........................................................................................................4 Konsep PSA................................................................................................................5



2.2.1



Pengertian Perdarahan Subarakhnoid (PSA)...........................................................5



2.2.2



Etiologi.....................................................................................................................6



2.2.3



Manifestasi Klinis....................................................................................................6



2.2.4



Patofisiologi.............................................................................................................8



2.2.5



Klasifikasi Perdarahan Subarachnoid......................................................................8



2.2.6



WOC......................................................................................................................10



2.2.7



Komplikasi.............................................................................................................11



2.2.8



Penatalaksanaan.....................................................................................................12



2.2.9



Pemeriksaan Penunjang.........................................................................................12



BAB 3.......................................................................................................................................14 ASUHAN KEPERAWATAN TEORI PADA LANSIA DENGAN PRESBIKUSIS........14 3.1 3.1.1



Pengkajian................................................................................................................14 Pemeriksaan Fisik................................................................................................16



3.2



Diagnosa Keperawatan...........................................................................................17



3.3



Intervensi Keperawatan..........................................................................................17



3.4



Implementasi Keperawatan....................................................................................19



3.5



Evaluasi Keperawatan............................................................................................19



DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................20



2



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Subarachnoid hemorrhage (SAH) atau perdarahan subarachnoid (PSA) menyiratkan adanya darah didalam ruang subarachnoid akibat beberapa proses patologis. Penggunaan istilah medis umum SAH merujuk kepada tipe perdarahan non-traumatik, biasanya berasal dari ruptur aneurisma Berry atau arteriovenous malformation (AVM)/malformasi arteriovenosa (MAV). Insiden tahunan PSA aneurisma non-traumatik adalah 6-25 kasus per 100.000. Lebih dari 27.000 orang Amerika menderita ruptur aneurisma intrakranial setiap tahunnya. Insiden tahunan meningkat seiring dengan usia dan mungkin dianggap remeh karena kematian dihubungkan dengan penyebab lain yang tidak dapat dipastikan dengan autopsi. Beragam insiden PSA telah dilaporkan pada daerah lain di dunia (2-49 kasus per 100.000). Insiden pendarahan subarachnoid sebesar 62% timbul pertama kali pada usia 40-60 tahun. Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi paling sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi setelah suatu cedera kepala. Pada MAV laki-laki lebih banyak daripada wanita (Zebian, 2009). Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu disusun asuhan keperawatan yan g sesuai dan mampu meningkatkan kualitas hidup pasien dengan perdarahan subbarakhnoid.



1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah konsep Perdarahan Subarachnoid? 2. Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan Perdarahan Subarachnoid?



1.3 Tujuan 1. Menjelaskan konsep terjadinya Perdarahan Subarachnoid



3



2. Menjelaskan konsep keperawatan gerontik tentang gangguan pendengaran yang dialami oleh lansia.



4



BAB 2 ASUHAN KEPERAWATAN TEORI



2.1 Anatomi dan Fisiologi Otak 2.1.1 Anatomi Otak Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea dan piamater.







Duramater Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat 5



dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak. 



Arachnoidea Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan. Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.







Piamater Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.



2.2 Konsep PSA 2.2.1



Pengertian Perdarahan Subarakhnoid (PSA) Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga



diantara otak dan selaput otak (rongga subaraknoid) atau perdarahan arteri di ruang antara dua meningen, yaitu piamater) dan arakhnoidea (Lemonick, 2010). Subarachnoid hemorrhage adalah gangguan yang mengancam nyawa yang bisa cepat menghasilkan cacat permanen yang serius, dan merupakan jenis stroke yang umum terjadi pada wanita (Zebian, 2009). 6



2.2.2



Etiologi Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya



aneurisma (85%), kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA merupakan kaitan dari pendarahan aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma yang lebih besar kemungkinannya bisa pecah. Selanjunya 10% kasus dikaitkan dengan non aneurisma perimesencephalic hemoragik, dimana darah dibatasi pada daerah otak tengah. Aneurisma tidak ditemukan secara umum. 5% berikutnya berkaitan dengan kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang mempengaruhi vessels, gangguan pembuluh darah pada sum-sum tulang belakang dan perdarahan berbagai jenis tumor (Zebian, 2009). Penyebab paling sering pada perdarahan subarakhnoid non



traumatik



adalah ruptur aneurisma serebral, yaitu sekitar 70% hingga 80%, dan malformasi arteriovenosa sekitar 5-10%. Risiko pecahnya aneurisma tergantung pada lokasi, ukuran, dan ketebalan dinding aneurisma. Aneurisma dengan diameter kurang dari 7 mm pada sirkulasi serebral anterior mempunyai risiko pecah terendah dan risiko lebih tinggi terjadi pada aneurisma di sirkulasi serebral posterior dan akan meningkat sesuai besarnya ukuran aneurisma. Kebanyakan PSA terjadi karena perdarahan intraserebral primer



(hipertensif), 10 % pada pendarahan



primesensefalik, tumor susunan saraf pusat, trauma dan cedera iatrogenic selama pembedahan (Setyopranoto, 2012). PSA primer dapat muncul dari ruptur tipe kesatuan patologis berikut ini: 1 



Aneurisma sakular







MAV







Ruptur aneurisma mikotik







Angioma







Neoplasma







Trombosis kortikal







Penyebab kongenital







Faktor lingkungan yang dihubungkan dengan defek dinding pembuluh darah dapatan termasuk usia, hipertensi, merokok dan artrosklerosis.



2.2.3



Manifestasi Klinis Gambaran klinis dari perdarahan subarakhnoid sangat bervariasi mulai dari



hampir asimptomatis hingga menyebabkan



kematian secara mendadak. Hal ini 7



dipercayai



menyebabkan terjadinya misdiagnosis



dengan konsekuensi pada



keterlambatan penanganan (Harsono, 2009). Sebelum pecah aneurisma biasanya tidak menyebabkan gejala-gejala sampai menekan saraf atau bocornya darah dalam jumlah sedikit, biasanya sebelum pecahnya besar (yang menyebabkan sakit kepala). Kemudian menghasilkan tanda bahaya, seperti berikut di bawah ini : 



Sakit kapala, yang bisa tiba-tiba tidak seperti biasanya dan berat (kadangkala disebut sakit kepala thunderclap).







Nyeri muka atau mata.







Penglihatan ganda.







Kehilangan penglihatan sekelilingnya.. Sekitar 25% orang mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan kerusakan



pada bagian spesifik pada otak, seperti berikut di bawah ini : 



Kelelahan atau lumpuh pada salah satu bagian tubuh (paling sering terjadi).







Kehilangan perasa pada salah satu bagian tubuh.







Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa (aphasia). Keluhan berupa sakit kepala adalah gejala yang paling utama dan terjadi pada



74% dari pasien yang mengalami perdarhan subarachnoid, yang diikuti dengan 77% mual dan muntah, 54% hilang kesadaran dan 35% nuchal rigidty. Dua pertiga pasien saat masuk rumah sakit dengan penurunan kesadaran, dan setengah dari mereka dalam keadaan koma. Lokasi utama kesakitan pada kepala terletak di regio nuchaloccipital dan intensitas parah tergantung pada kecepatan



mencapai intensitas



maksimum dan extravasasi pendarahan (Wijdicks et al, 2005). Nuchal rigidty atau peningkatan resistensi terhadap fleksi atau ekstensi pasif leher, adalah tanda klinis iritasi meningeal akibat ekstravasasi darah di ruang subarakhnoidal. Tanda- tanda lain dari iritasi meningeal termasuk tanda Lasegue positif atau tanda-tanda Kernig dan Brudziski. Tanda-tanda meningeal akan muncul dalam 3-12 jam dan kadangkala tanda-tanda ini tidak muncul minimal. Dengan



dalam kasus koma atau ketika ekstravasasi darah



demikian, tidak adanya gejala nuchal rigidty tidak dapat



dikecualikan dari diagnosa pendarahan subarakhnoid (Kuramatsu dan Hutter, 2014). Gejala seterusnya adalah kejang yang terjadi sekitar 7% dari semua pasien. Pendarahan ulang dan adanya hidrosefalus merupakan faktor resiko utama untuk gejala kejang awal ketika vasospasme



dengan iskemia kortikal. Perdarahan 8



intraparenkimal dan pembedahan saraf merupakan faktor risiko untuk kejang onset lambat. Sekitar 14% pasien biasanya ada pendarahan intraocular yang terjadi akibat peningkatan mendadak dalam tekanan intrakranial dant menyebabkan oklusi vena retina sentral dengan ektravasasi darah preretinal (Gijn dan Rinkel, 2001). 2.2.4



Patofisiologi Menurut penurunan sensitivitas ambang suara pada frekuensi tinggi



merupakan tanda utama presbikusis. Perubahan dapat terjadi pada dewasa muda, tetapi terutama terjadi pada usia 60 tahun keatas. Terjadi perluasan ambang suara dengan bertambahnya waktu terutama pada frekuensi rendah. Kasus yang banyak terjadi adalah kehilangan sel rambut luar pada basal koklea. Presbikusis sensori memiliki kelainan spesifik, seperti akibat trauma bising. Pola konfigurasi audiometri presbikusis sensori adalah penurunan frekuensi tinggi yang curam, seringkali terdapat notch (takik) pada frekuensi 4kHz (4000 Hz). Faktor lain seperti genetik, usia, ototoksis dapat memperberat penurunan pendengaran. Perubahan usia yang akan mempercepat proses kurang pendengaran dapat dicegah apabila paparan bising dapat dicegah. Goycoolea dkk, menemukan kurang pendengaran ringan pada kelompok penduduk yang tinggal di daerah sepi (Easter Island) lebih sedikit jika dibandingkan kelompok penduduk yang tinggal di tempat ramai dalam jangka waktu 3 5 tahun.17 Kesulitan mengontrol efek bising pada manusia yang memiliki struktur dan fungsi yang sama dengan mamalia, Mills dkk, menyatakan bahwa terdapat kurang pendengaran lebihbanyak akibat usia pada kelompok hewan yang tinggal di tempat bising. Interaksi efek bising dan usia belum dapat dimengerti sepenuhnya, oleh karena kedua faktor awalnya mempengaruhi frekuensi tinggi pada koklea. Bagaimanapun, kerusakan akibat bising ditandai kenaikan ambang suara pada frekuensi 3 6 kHz, walaupun awalnya dimulai pada frekuensi tinggi (biasanya 8 kHz). 2.2.5



Klasifikasi Perdarahan Subarachnoid Tingkatan PSA berdasarkan skema berikut Grade Grade I Grade II



Tanda Klinis nyeri kepala ringan dengan atau tanpa rangsang meningeal nyeri kepala hebat dan pemeriksaan non-fokal, dengan atau



Grade III



tanpa midriasis perubahan ringan pada pemeriksaan neurologis, termasuk status mental 9



Grade IV Grade V 



pastinya penekanan tingkat kesadaran atau defisit fokal posturisasi pasien atau koma



:  Grade I – nyeri kepala ringan dengan atau tanpa rangsang meningeal  Grade II – nyeri kepala hebat dan pemeriksaan non-fokal, dengan atau tanpa midriasis  Grade III – perubahan ringan pada pemeriksaan neurologis, termasuk status mental  Grade IV – pastinya penekanan tingkat kesadaran atau defisit fokal – posturisasi pasien atau koma fisik secara komprehensif (head to toe/per sistem) wajib dilakukan meski tidak ada keluhan berarti yang dirasakan lansia guna mengantisipasi penyakit degeneratif. Pemeriksaan fisik pada telinga biasanya normal setelah pengambilan serumen, yang merupakan problem pada penderita usia lanjut dan penyebab kurang pendengaran terbanyak. Pemberian sodium bicarbonat solusi topikal 10%, sebagai serumenolitik. Pada membran timpani normal tampak transparan (Gates, 2005)



10



2.2.6



WOC



Hipertensi



Aterosklerosis



Cedera Kepala



MAV



Aliran darah



Kerusakan dinding pembuluh darah



Autoregulasi di Otak



Arteri menerima darah dalam jumlah cukup besar



Menekan dinding pembuluh darah



Kelemahan dinding pembuluh darah



Vol. Darah di otak



Elastisitas pembuluh darah



Arteri berdilatasi Aneurisma Intrakranial Pelebaran Aneurisma dan tekanan daerah sekitar saraf kranial Aneurisma pecah



Perdarahan pada Sub Arachnoid (SAH)



Pelepasan Ca+ dari sel darah merah yang lisis



Kerusakan sirkulasi CSF



Tekanan Intrakranial



MK: Gg. Komunikassi Verbal (D. 0019)



Vasospasme Serebral Ketahanan Vaskuler



MK : Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif (D. 0017)



Aliran darah ke serebral terhambat



Perfusi jaringan otak



Aliran darah otak



Iskemi jaringan otak dan infark



Suplai darah



Kerusakan Serebral



Terjadi metabolisme Anaerob



Defisit Neurologis



Akumulasi Asam laktat Merangang reseptor nyeri



MK : Resiko Jatuh (D.0143)



MK : Gg. Mobiltas Fisik (D.0054)



MK : Nyeri Akut (D.0077)



11



2.2.7



Komplikasi



a) Vasospasme serebral Vasospasme serebral merupakan suatu penyempitan pembuluh arteri serebral yang berkepanjanganan, kadang berat, namun bersifat reversible, yang terjadi beberapa hari setelah PSA. Vasospasme serebral merupakan komplikasi yang mayor yang



berlanjut sehingga terjadi kematian dan kecacatan dalam PSA.



Vasospasme terjadi pada hari ke 3 hingga 4 setelah hemoragik, puncak setelah satu mimggu dan umunnya sembuh setelah 2 atau 3 minggu (Archavlis et al, 2013). b) Hidrosefalus Pendarahan dalam sistem ventrikel dapat menyebabkan



perubahan dalam



sirkulasi cairan serebro spinal (CSF) menyebabkan hidrosefalus akut. Sirkulasi CSF normal terhambat karena gumpalan arachnoid villi. Hidrosefalus akut



darah tebal di basal cisterns atau



setelah PSA adalah pertimbangan yang



diperlukan pada pasien dengan gangguan kesadaran dengan kriteria CT scan hadir pada 20% pasien. Presentasi klinis diwakili oleh penurunan progresif dalam kesadaran dengan kemungkinan defisit neurologis fokal yang terjadi (Harsono, 2009). c) Perdarahan ulang Merupakan komplikasi yang serius tetapi dapat dirawat dan dicegah pada pasien PSA. Pendarahan ulang terjadi dalam waktu 24 jam pertama pada sekitar 15%, 13,6% 2 jam setelah ictus dari pasien PSA dengan risiko kumulatif 40% pada bulan pertama dan kejadian 3% per tahun setelah enam bulan. Pendarahan ulang terkait dengan prognosis yang buruk yaitu mortalitas dan kecacatan dapat mencapai sehingga 80% (Kuramatsu dan Hutter, 2014) d) Delayed Cerebral Infraction (DCI) Salah satu komplikasi yang paling ditakuti adalah DCI yang terjadi pada 30% pasien initial hemoragik dan sebagian besar terjadi



antara hari 4 dan 10.



Gambaran klinis DCI terdiri dari tanda-tanda neurologis fokal, seperti aphasia dan hemiparesis, atau penurunan



tingkat kesadaran secara bertahap dan



berfluktuasi. Tanda-tanda DCI kadang kala reversibel namun dapat berkembang 12



menjadi infark



serebral yang dapat menyebabkan kecacatan berat atau



mengakibatkan kematian (Harsono, 2009) 2.2.8



Penatalaksanaan Pasien dengan SAH memerlukan observasi neurologik ketat dalam ruang



perawatan intensif, termasuk kontrol tekanan darah dan tata laksana nyeri, sementara menunggu perbaikan aneurisma defisit. Selain itu, pasien harus menerima profilaksis serangan kejang dan bloker kanal kalsium untuk vasospasme. (Michael I., 2007). Tatalaksana umum PSA menurut Guidelines Perdossi (2011) adalah sebagai berikut: a) Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess (H&H) adalah sebagai berikut : -



Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin



-



Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30° dan nyaman, bila perlu berikan oksigen 2-3 L/menit



-



Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam



penilaian tingkat



kesadaran). -



Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor ketat system kardiopulmoner dan kelainan neurologi yang timbul.



b) Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H, -



Perawatan harus lebih intensif



-



Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien diruang gawat darurat



-



Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau semiintensif



-



Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang dipertimbangkan intubasi endotrakheal



adekuat perlu



dengan hati-hati terutama apabila



didapatkan tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial -



Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan



karena akan



menyulitkan penilaian status neurologi -



Manajemen seterusnya adalah mengatasi komplikasi dari PSA



yaitu



pencegahan perdarahan ulang, pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan neurologis lainnya 13



2.2.9



Pemeriksaan Penunjang



a. Computed Tomography (CT) dan CT Angiography Scan Pemeriksaan ini dapat menunjukkan lokasi pendarahan yang terekstravasasi di ruang subarakhnoid dengan sensitivitas yang tergantung pada jumlah perdarahan serta waktu interval setelah



munculnya gejala (Wijdicks, 2005). CT scan



dikatakan positif dalam 98-100% kasus jika dilakukan dalam waktu 12 jam, persentase ini menurun menjadi 93% pada 24 jam dan 50% satu minggu setelah onset gejala. Pola khas pada darah yang tersebar dapat memberikan petunjuk awal lokasi aneurisma pecah dan prediksi jumlah darah untuk delayed infraksi. Terdapat beberapa parameter kuantitatif dijadikan panduan intervensi atau



untuk memprediksi outcome dapat



menjelaskan prognosis delayed cerebral



infraction (DCI) (Vergouwen et al, 2010). b. Digital Subtraction Angiography (DSA) Merupakan gold standard untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CTA lebih sering digunakan karena non-invasif serta sensitivitas dan spesifisitasnya lebih tinggi. Metode ini dapat memberikan informasi tentang fitur morfologi aneurisma dan



hubungannya dengan arteri lainnya sehingga memungkinkan rencana



pengobatan yang lebih baik (Setyopranoto, 2012). c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Magnetic



Resonance Angiografy



(MRA) MRI dapat memperbolehkan evaluasi pembuluh darah



serebral tanpa media



kontras. MRA digunakan untuk mengetahui etiologi dari hemoragik dan untuk mendeteksi DCI dengan difusi dan perfusion weighted imaging (Gijn, 2001). Penggunaan MRI /MRA dalam mendeteksi PSA semakin berkembang tetapi sering terbatas karena ketersediaan alat, logistik, membutuhkan kerjasama pasien, kebutuhan waktu dan biaya (Hamid, 2010). d. Lumbar Puncture Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostik selanjutnya adalah lumbar puncture. Pemeriksaan lumbar menyingkirkan diagnosis banding.



puncture sangat penting untuk



Tes Cerebrospinal fluid (CSF) dilakukan



untuk mendeteksi xantokromia yang merupakan warna kuning, hasil degradasi 14



produk eritrosit terutama oksihemoglobin dan bilirubin. Tes CSF yang paling informatif diperoleh dalam waktu 6-12 jam setelah onset gejala dan sebaiknya 12 jam untuk mendeteksi bilirubin yang hanya akan terbentuk secara in vivo dan jika interval waktu lama, dicari eritrosit yang akan terdeteksi setelah beberapa bulan dari PSA.



Selain itu, diagnosis CSF yang mendukung PSA adalah



peningkatan tekanan saat pembukaan yang dapat mengdiagnosis dari Central Vein Thrombosis (CVT) dan kultur CSF (Kuramatsu dan Hutter, 2014). e. Pemeriksaan Neurologis 1) Glasgow Coma Scale (GCS) untuk menentukan tingkat kesadaran penderita Tabel 2.2.a Glasgow Coma Scale (Junaidi, 2011) Jenis Respon Respon membuka mata



Nilai



- Spontan



4



- Terhadap rangsangan bicara



3



- Terhadap rangsangan nyeri



2



- Tidak ada tangapan Tanggapan verbal



1



- Sesuai/ berorentasi



5



- Bingung/ kacau



4



- Kata-kata yang tidak berhubungan



3



- Suara tidak dapat dimengerti



2



- Tidak ada Tanggapan motorik



1



- Sesuai perintah 6



6



- Gerakan setempat 5



5



- Tanggapan motorik fleksor 4



4



- Fleksi abnormal 3



3



- Tanggapan motorik ekstensor 2



2



2) National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) Tabel 2.2.b National Institute of Health Stroke Scale (Perdossi, 2009) Item 1(a). Derajat Kesedaran



Definisi Skala 0 = Sadar penuh 15



1 = Somnolen 2 = Stupor 1(b). Menjawab pertanyaan



3 = Koma 0 = dapat menjawab dua pertanyaan dengan benar (misal: bulan apa sekarang dan usia pasien) 1 = hanya dapat menjawab satu pertanyaan dengan benar / tidak dapat berbicara karena terpasang pipa endotrakea atau disartria 2 = tidak dapat menjawab kedua pertanyaan dengan benar / afasia /



1(c). Mengikuti perintah



stupor 0 = dapat melakukan dua perintah dengan benar (misal: buka dan tutup mata, kepal dan buka tangan pada sisi yang sehat) 1 = hanya dapat melakukan satu perintah dengan benar 2 = tidak dapat melakukan kedua



2.



Gerakan



horinzontal



mata



perintah dengan benar konyugat 0 = Normal 1 = Gerakan abnormal hanya pada satu mata 2 = Deviasi konyugat yang kuat atau paresis konyugat total pada kedua



3. Lapangan konfrontasi



mata pandang pada tes 0 = Tidak ada gangguan 1 = Kuandranopia 2 = Hemianopia total 3



4. Paresis wajah



=



Hemianopia



bilateral/buta



kortikal 0 = normal 16



1 = paresis ringan 2 = paresis parsial 5.Motorik lengan



3 = paresis total 0 = Tidak ada simpangan bila pasien mengangkat kedua lengannya selama 10 detik 1 = Lengan menyimpang ke bawah sebelum 10 detik 2 = Lengan terjatuh ke kasur atau badan



atau tidak dapat diluruskan



secara penuh 3 = Tidak dapat melawan gravitasi 4 = Tiadak ada gerakan 6. Motorik kaki



X = amputasi/ tidak dapat diperiksa 0 = Tidak ada simpangan bila pasien disuruh mengangkat kedua kakinya selama 5 detik 1 = Kaki menyimpang ke bawah sebelum 5 detik 2 = Kaki terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh 3 = Tidak dapat melawan gravitasi, kaki



jatuh ke katil dengan



cepatnya 4 = Tidak ada gerakan 7.Motorik tungkai kanan



X = Amputasi/ tidak dapat diperiksa 0 = tidak ada simpangan bila pasien disuruh mengangkat kedua tungkai secara bergantian selama 10 detik 1 = tungkai menyimpang ke bawah sebelum 10 detik 17



2 = tungkai terjatuh ke kasur atau



badan



atau



tidak



dapat



diluruskan secara penuh 3 = tidak dapat melawan gravitasi 4 = tidak ada gerakan 8.Motorik tungkai kiri



X = tidak dapat diperiksa 0 = tidak ada simpangan bila pasien disuruh mengangkat kedua tungkai secara bergantian selama 10 detik 1 = tungkai menyimpang ke bawah sebelum 10 detik 2 = tungkai terjatuh ke kasur atau badan



atau tidak dapat diluruskan



secara penuh 3 = tidak dapat melawan gravitasi 4 = tidak ada gerakan 9.Ataksia anggota badan



X = tidak dapat diperiksa 0 = Tidak ada 1 = Pada satu ekstremitas 2 = Pada dua atau lebih ekstremitas



10.Sensorik



X = Amputasi/tidak dapat diperiksa 0 = Normal 1 = Defisit parsial yaitu merasa tetapi berkurang 2 = Defisit berat yaitu jika pasien tidak merasa atau terdapat gangguan



11.Bahasa Terbaik



bilateral. 0 = Tidak ada afasia 1 = Afasia ringan-sedang 2 = Afasia berat 3 = Tidak dapat bicara (bisu)/ global



12. Disartria



afasia/ koma 0 = Artikulasi normal 18



1 = Disartria ringan-sedang 2 = Disartria berat 13.Neglect/ Tidak ada Atensi



X = Tidak dapat diperiksa 0 = Tidak ada 1 = Parsial 2 = Total



3) Tanda-tanda dan gangguan neurologis yang perlu diobservasi (Junaidi, 2011) Gangguan kesadaran, yaitu bila penurunan respon verbal,



gerakan



volunteer, dan gangguan membuka mata. Timbulnya atau adanya perburukan defisit neurologis, bila



terjadi hemiparesis, dilatasi pupil.



sistemik, terjadi penurunan denyut nadi dan



Perubahan



frekuensi pernapasan serta



peningkatan tekanan darah.



19



BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN TEORI PADA LANSIA DENGAN PRESBIKUSIS



3.1 Pengkajian 1) Identitas Pengumpulan data adalah kegiatan dalam menghimpun informasi dari penderita dan sumber-sumber lain yan meliputi unsur bio psikososio spiritual yang komprehensif dan dilakukan pada saat penderita masuk. 2) Keluhan Utama Keluhan utama penderita dengan CVA bleeding datang dengan keluhan kesadaran menurun, kelemahan/kelumpuhan pada anggota badan (hemiparese/hemiplegi), nyeri kepala hebat -



Riwayat Penyakit Sekarang Adanya nyeri kepala hebat atau akut pada saat aktivitas, kesadaran menurun sampai dengan koma, kelemahan/kelumpuhan anggota badan sebagian  atau keseluruhan, terjadi gangguan penglihatan, panas badan.



-



Riwayat Penyakit Dahulu Penderita punya riwayat hipertensi atau penyakit lain yang pernah diderita oleh penderita seperti DM, tumor otak, infeksi paru, TB paru.



3) Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keturunan yang pernah dialami keluarga seperti DM, penyakit lain seperti hipertensi dengan pembuatan genogram. 4) Data biologis -



Pola Nutrisi Dengan adanya perdarahan di otak dapat berpengaruh atau menyebabkan gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi karena mual muntah sehingga intake nutrisi kurang atau menurun.



-



Pola Eliminasi



Karena adanya CVA bleeding terjadi perdarahan dibagian serebral atau 20



subarochnoid, hal ini dapat berpengaruh terhadap reflex tubuh atau mengalami gangguan dimana salah satunya adalah hilangnya kontrol spingter sehingga terjadi inkonhnentia atau imobilisasi lama dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. -



Pola istirahan dan tidur Penderita mengalami nyeri kepala karena adanya tekanan intrakronial yang meningkat sehingga penderita mengalami gangguan pemenuhan tidur dan istirahat



-



Pola aktivitas



-



Adanya perdarahan serebral dapat menyebabkan kekakuan motor neuron yang berakibat kelemahan otot (hemiparese/hemiplegi) sehingga timbul keterbatasan aktivitas



5) Pemeriksaan Fisik a) Keadaan mum Keadaan umum penderita dalam kesadaran menurun atau terganggu postur tubuh mengalami ganguan akibat adanya kelemahan pada sisi tubuh sebelah atau keseluruhan lemah adanya gangguan dalam berbicara kebersihan diri kurang serta tanda-tanda vital (hipertensi) b) Kesadaran Biasanya penderita dengan CVA bleeding terjadi perubahan kesadaran dari ringan sampai berat, paralise, hemiplegi, sehingga penderita mengalami gangguan



perawatan



diri



berupa



self-toileting,



self-eating.



6) Data Psikologis -



Konsep diri Penderita mengalami penurunan konsep diri akibat kecacatannya.



7) Data social -



Hubungan Sosial Akibat



perdarahan



intraserebral



terjadi



gangguan



bicara,



penderita



mengalami gangguan dalam berkomunikasi dan melaksanakan perannya. -



Faktor sosio kultural 21



Peran penderita terhadap keluarga menurun akibat adanya perasaan rendah diri akibat sakitnya tidak dapat beraktifitas secara normal karena adanya kelemahan dan bagaimana hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa . 8) Data Spiritual Penderita mengalami kesulitan dalam menjalankan ibadahnya karena adanya kelumpuhan. 9) Data Penunjang Penderita mengalami nyeri kepala karena adanya tekanan intrakronial yang meningkat sehingga penderita mengalami gangguan pemenuhan tidur dan istirahat.. 3.1.1



Pemeriksaan Fisik Temuan pada pemeriksaan fisik bisa jadi normal, atau dokter mungkin



menemukan beberapa hal berikut: 



Kelainan neurologis global atau fokal pada lebih dari 25% pasien







Sindroma kompresi nervus kranialis -



Kelumpuhan nervus okulomotorius (aneurisma arteri komunis posterior) dengan atau tanpa midriasis ipsilateral.



-



Kelumpuhan nervus abdusens



-



Hilangnya penglihatan monokuler (aneurisma arteri oftalmika menekan nervus optikus ipsilateral)







Defisit motorik dari aneurisma arteri serebral media pada 15% pasien







Tidak ada tanda-tanda lokal pada 40% pasien







Kejang







Tanda-tanda oftalmologis



22



-



Perdarahan retina subhyaloid (perdarahan bulat kecil, mungkin terlihat miniskus, dekat dengan pangkal nervus optikus), perdarahan retina lainnya.







Edema papil



Tanda – tanda vital -



Sekitar setengah pasien memiliki peningkatan tekanan darah (TD) ringan sampai sedang.



-



TD menjadi labil seiring meningkatnya TIK.



-



Demam tidak biasa pada awalnya namun umum setelah hari keempat dari gangguan darah didalam ruang subarachnoid.



-



Takikardi mungkin muncul selama beberapa hari setelah kejadian perdarahan.



3.2 Diagnosa Keperawatan Diagnosa Keperawatan yang Dapat Muncul 1) Risiko peningkatan TIK b.d adanya peningkatan volume intrakranial 2) Perubahan perfusi jaringan otak b.d perdarahan intraserebral 3) Nyeri Akut b.d 3.3 Intervensi Keperawatan Diagnosa Risiko



Perfusi



Serebral



Tidak Efektif (D.0017) d.d aneurisma serebri



Tujuan/Kriteria Hasil Tujuan:



Intervensi Manajemen Peningkatan



Setelah dilakukan asuhan



Tekanan Inrakranial



keperawata selama 3x24 jam (I.06194) diharapkan aliran darah



Observasi



serebral klien adekuat



- Identifikasi penyebab



dengan kriteria hasil:



peningkantan tekanan



Perfusi Serebral (L.02014)



intrakranial.



- Tingkat kesadaran meningkat (5)



- Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (misal: 23



- Kesadaran membaik (5)



Tekanan Darah meningkat,



- Nilai rata-rata tekanan



Tekanan nadi melebar,



darah membaik (5)



brdikardia, pola napas



- Refleks dsarf membaik (5) - Tekanan intrakranial menurun (5)



iregular, kesadaran menurun) - Monitor MAP (Mean Aterial Pressure) - Monitor CVP (Central venous Pressure) - Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), Jika tersedia alat - Monitor gelombang ICP - Monitor Status pernapasan - Monitor intake dan outpun cairan - Monitor cairan serebrospinalis (warna dan konsistensi) Terapeutik - Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang - Berikan posisi semifowler - Cegah terjadinya kejang - Hindari penggunaan PEEP pada pemasangan ventilator - Atur ventilator agar PaCO2 Optimal - Hindari pemberian cairan 24



IV hipotinik - Pertahankan suhu tubuh normal. Kolaborasi - Kolaborasikan pemberian sedasi atau anti Gangguan Komunikasi Verbal (D.0119) b.d penurunn sirkulasi serebral



konvulsan, jika perlu Promosi Komunikasi :



Tujuan: Setelah dilakukan asuhan Defisit Bicara (I.13492) keperawatan selama 3x24 Observasi jam diharapkan Komunikasi verbal klien dapat berjalan - Identifikasi perilaku dengan baik dengan kriteria emosional dan fisik hasil: sebbagai bentuk kommunikasi Komunikasi Verbal (L.13118) Terapeutik - Kemampuan berbicara - Gunakan metode meningkat (5) komunikasi alternatif - Kesesuaian ekspresi wajah/tubuh meningkat (misal: menulis, mata (5) berkedip, isyarat tangan, , - Afasia menurun (5) ata papan komunikasi - Apraksia menurun (5) dengan gambar dan huruf) - Pemahaman Komunnikasi Membaik - Modifikasi lingkungan (5) untuk meminimalkan bantuan - Berikan dkungan psikologis Edukasi Ajarkan pasien dan kelarga proses anatomis dan fisiologis berkaitan dengan kemampuan berbicara 25



3.4 Implementasi Keperawatan Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana perawat melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah dilaksanakan sebelumnya (Koizer, dkk., 2011). Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan. Tindakan-tindakan pada intervensi keperawatan terdiri atas observasi, terapeutik, edukasi dan kolaborasi (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). 3.5 Evaluasi Keperawatan Evaluasi Keperawatan adalah aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan, dan terarah, ketika pasien dan professional kesehatan menentukan kemajuan pasien menujun pencapaian tujuan/hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan. Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP ( Subjektif, Objektif, Assessment, Planing ). Adapun komponen SOAP yaitu S (subjektif) adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari pasien setelah tindakan diberikan, O (objektif) adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan, penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan, A (assessment) adalah membandingkan antara informasi subjektif dan objektif, P (planning) adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan hasil analisa (Dermawan, 2012).



DAFTAR PUSTAKA



26



Archavlis, Eleftherios., Nievas, Mario Carvi Y., 2013. Cerebral Vasospasm : A Review of Current Developments in Drug Therapy and Research, Journal of Pharmaceutical Technology and Drug Research, Vol.12, p.2-18 Gijn, J. Van., Rinkel, G. J. E., 2001. Subarachnoid Haemorrhage: Diagnosis, Cause Management. Department of Neurology, Vol.124, p. 249-278. Hamid, Rana Shoaib., Haq, Tanveer-ul., Chishti, Ishtiaq., Azeemuddin, Muhammad., Sajjad, Zafar., Salam, Basit., 2010. Treatment of Intracranial Aneurysms



using Detachable



Coils: Initial Results at a University Hospital in Pakistan, Journal Pakistan Medical Association, Vol. 60, No. 8, p. 638-641. Harsono, 2009. The Characteristics of Subarachnoid Hemorrhage, Majades Kedokteran Indonesia, Vol. 59, No. 1, p. 20-26. Junaidi, Iskandar. 2011. Stroke Waspadai Ancamannya.Yogyakarta : CV. Andi Offset. p. 1-232 Kuramatsu, Joji B., Huttner, Hagen B., 2014. Medical Interventions



for Subarachnoid



Hemorrhage. In: Critical Care of The Stroke Patient, 1st Ed. United Kingdom : Cambridge University Press. p.423-435. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2011.Guideline Stroke.perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Setyopranoto, I., 2012. Penatalaksanaan Pendarahan Subarakhnoid. In: Continuing Medical Educatio., Vol. 39, No. 11, p. 807-811. Vergouwen, Mervyn D I., Vermeulen, Marinus., Gijn, Jan Van., Rinkel, Gabriel J. E., Wijdicks, Eelco F., Muizelaar, J. Paul., Mendelow, A. David., Juvela, Seppoo., Yonas, Howard., Terbrugge, Karel G., Macdonald, R.Loch., Diringer, Michael N., Broderick, Joseph P., Dreier, Jens P., Roos, Yvo B. W. E. M., 2010. Definition of Delayed Cerebral Ischemia After Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage as an Outcome Event in Clinical Trials and Observational Studies Proposal of a Multidisciplinary Research Group of American Heart Association/American Stroke Association, Stroke. Vol 41: 2391–2395.



27



Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (I). Jakarta. Retrieved from http://www.inna-ppni.or.id Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Retrieved from http://www.innappni.or.id Zebian RC. Subarachnoid Hemorrhage : Subarachnoid Hemorrhage: Differential Diagnoses & Workup. Available from http://emedicine.medscape.com/article/794076-treatment Zebian RC. (2009). Subarachnoid Hemorrhage : Treatment & Medication. Available from http://emedicine.medscape.com/article/794076-treatment



28