LP Gerontik Hipertensi - ELVERDA [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GERONTIK DENGAN HIPERTENSI



Oleh : ELVERDA KIRANA NADIA R.17.01.018



YAYASAN INDRA HUSADA INDRAMAYU SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) INDRAMAYU PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN INDRAMAYU 2021



LAPORAN PENDAHULUAN GERONTIK DENGAN HIPERTENSI A. Konsep Lanjut Usia 1. Pengertian lansia Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008). Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009). 2. Batasan lansia Departemen Kesehatan RI (dalam Mubarak et all, 2006) membagi lansia sebagai berikut: a. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas b. Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium c. Kelompok usia lanjut (65 tahun >) sebagai senium Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut: a. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”. b. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia



(elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun. c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu : pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia. d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age): > 65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old ( > 80 tahun) (Efendi, 2009). 3. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia Menurut Mubarak et all (2006), perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan kondisi fisik, perubahan kondisi mental, perubahan psikososial, perubahan kognitif dan perubahan spiritual. a. Perubahan kondisi fisik meliputi perubahan tingkat sel sampai ke semua organ tubuh, diantaranya sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh, muskuloskeletal, gastrointestinal, genitourinaria, endokrin dan integumen. 1)



Keseluruhan Berkurangnya tinggi badan dan berat badan, bertambahnya fat-to-lean body mass ratio dan berkuranya cairan tubuh.



b. Sistem integumen Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan kurang elastis karena menurunnya cairan dan hilangnya jaringan adiposa, kulit pucat dan terdapat bintik-bintik hitam akibat menurunnya aliran darah ke kulit dan menurunnya sel-sel yang memproduksi pigmen, kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal dan rapuh, pada wanita usia > 60 tahun rambut wajah meningkat, rambut menipis atau botak dan warna rambut kelabu, kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya. Fungsi kulit sebagai proteksi sudah menurun 1) Temperatur tubuh



Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang menurun, keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak diakibatkan oleh rendahnya aktifitas otot. 2) Sistem muskular Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang, pengecilan otot akibat menurunnya serabut otot, pada otot polos tidak begitu terpengaruh. 3) Sistem kardiovaskuler Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% per tahun. Berkurangnya cardiac output, berkurangnya heart rate terhadap respon stres, kehilangan elastisitas pembuluh darah, tekanan darah meningkat akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer, bertaTn. Sanjang dan lekukan, arteria termasuk aorta, intima bertambah tebal, fibrosis. 4) Sistem perkemiha Ginjal mengecil, nephron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50 %, filtrasi glomerulus menurun sampai 50%, fungsi tubulus berkurang akibatnya kurang mampu mempekatkan urin, BJ urin menurun, proteinuria, BUN meningkat, ambang ginjal terhadap glukosa meningkat, kapasitas kandung kemih menurun 200 ml karena otot-otot yang melemah, frekuensi berkemih meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan pada pria akibatnya retensi urin meningkat, pembesaran prostat (75% usia di atas 65 tahun), bertambahnya glomeruli yang abnormal, berkurangnya renal blood flow, berat ginjal menurun 39-50% dan jumlah nephron menurun, kemampuan memekatkan atau mengencerkan oleh ginjal menurun. 5) Sistem pernafasan Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya aktifitas cilia, berkurangnya elastisitas paru, alveoli ukurannya melebar dari biasa dan jumlah berkurang, oksigen arteri menurun menjadi 75 mmHg, berkurangnya maximal oxygen uptake, berkurangnya reflek batuk. 6) Sistem gastrointestinal



Kehilangan gigi, indera pengecap menurun, esofagus melebar, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan lambung menurun, peristaltik melemah sehingga dapat mengakibatkan konstipasi, kemampuan absorbsi menurun, produksi saliva menurun, produksi HCL dan pepsin menurun pada lambung. 7) Rangka tubuh Osteoartritis, hilangnya bone substance. 8) Sistem penglihatan Korne lebih berbentuk sferis, sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, lensa menjadi keruh, meningkatnya ambang pengamatan sinar (daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat cahaya gelap), berkurangnya atau hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang (berkurangnya luas pandangan, berkurangnya sensitivitas terhadap warna yaitu menurunnya daya membedakan warna hijau atau biru pada skala dan depth perception). 9) Sistem pendengaran Presbiakusis atau penurunan pendengaran pada lansia, membran timpani menjadi atropi menyebabkan otoklerosis, penumpukan serumen sehingga mengeras karena meningkatnya keratin, perubahan degeneratif osikel, bertambahnya obstruksi tuba eustachii, berkurangnya persepsi nada tinggi. 10) Sistem syaraf Berkurangnya berat otak sekitar 10-20%, berkurangnya sel kortikol, reaksi menjadi lambat, kurang sensitiv terhadap sentuhan, berkurangnya aktifitas sel T, hantaran neuron motorik melemah, kemunduran fungsi saraf otonom. 11) Sistem endokrin Produksi hampir semua hormon menurun, berkurangnya ATCH, TSH, FSH dan LH, menurunnya aktivitas tiroid akibatnya basal metabolisme menurun, menurunnya produksi aldosteron, menurunnya sekresi hormon gonads yaitu progesteron, estrogen dan aldosteron. Bertambahnya insulin, norefinefrin, parathormon. 12) Sistem reproduksi



Selaput lendir vagina menurun atau kering, menciutnya ovarie dan uterus, atropi payudara, testis masih dapat memproduksi, meskipun adanya penurunan berangsur-angsur dan dorongan seks menetap sampai di atas usia 70 tahun, asal kondisi kesehatan baik, penghentian produksi ovum pada saat menopause. 13) Daya pengecap dan pembauan Menurunnya kemampuan untuk melakukan pengecapan dan pembauan, sensitivitas terhadap empat rasa menurun yaitu gula, garam, mentega, asam, setelah usia 50 tahun. c. Perubahan kondisi mental Pada umumnya usia lanjut mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Dari segi mental emosional sering muncul perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, adanya kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit atau takut diterlantarkan karena tidak berguna lagi. Faktor yang mempengaruhi perubahan kondisi mental yaitu: 1) Perubahan fisik, terutama organ perasa 2) Kesehatan umum 3) Tingkat pendidikan 4) Keturunan (hereditas) 5) Lingkungan 6) Gangguan syaraf panca indera 7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan 8) Kehilangan hubungan dengan teman dan famili 9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri. d. Perubahan psikososial Pada saat ini orang yang telah menjalani kehidupannya dengan bekerja mendadak diharapkan untuk menyesuaikan dirinya dengan masa pensiun. Bila ia cukup beruntung dan bijaksana, mempersiapkan diri untuk pensiun dengan menciptakan minat untuk memanfaatkan waktu, sehingga masa pensiun memberikan kesempatan untuk menikmati sisa hidupnya. Tetapi banyak pekerja pensiun berarti terputus dari lingkungan dan teman-teman yang akrab dan disingkirkan untuk duduk-duduk di



rumah. Perubahan psikososial yang lain adalah merasakan atau sadar akan kematian, kesepian akibat pengasingan diri lingkungan sosial, kehilangan hubungan dengan teman dan keluarga, hilangnya kekuatan dan ketegangan fisik, perubahan konsep diri dan kematian pasangan hidup. e. Perubahan kognitif Perubahan fungsi kognitif di antaranya adalah: 1) Kemunduran umumnya terjadi pada tugas-tugas yang membutuhkan kecepatan dan tugas tugas yang memerlukan memori jangka pendek. 2) Kemampuan intelektual tidak mengalami kemunduran. 3) Kemampuan verbal dalam bidang vokabular (kosakata) akan menetap bila tidak ada penyakit. f. Perubahan spiritual 1) Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya. 2) Lanjut usia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Fowler: universalizing, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah berfikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai dan keadilan. 4.



Masalah Keperawatan Pada Lansia a. Fisik/Biologis 1) Gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh s.d intake yang tidak adekuat 2) Gangguan pesepsi s.d gangguan pendengaran/penglihatan 3) Kurangnya perawatan diri s.d menurunnya minat dalam merawat diri 4) Resiko cidera fisik (jatuh) s.d penyesuaiaan terhadap penurunan fungsi tubuh tidak adekuat 5) Perubahan pola eliminasi s.d pola makan yang tidak efektif 6) Gangguan pola tidur s.d kecemasan atau nyeri 7) Gangguan pola nafas s.d penyempitan jalan napas/sumbatan jalan napas 8) Gangguan mobilisasi s.d kekakuan sendi b. Psikologis-Sosial 1) Menarik diri dari lingkungan s.d perasaan tidak mampu



2) Isolasi sosial s.d perasaancuriga 3) Depresi s.d isolasi perasaan ditolak 4) Koping yang tidak adekuat s.d ketidak mampuan mengungkapkan perasaan secara tepat 5) Cemas s.d sumber keuangan yang tidak terbatas c. Spiritual 1) Reaksi berkabung/berduka s.d ditinggal pasangan 2) Penolakan terhadap proses penuaaan s.d kektidaksiapan menhadapi kematian 3) Marah terhadap Tuhan s.d kegagalan yang dialami 4) Perasaan tidak tenang s.d ketidakmampuan melakukan imadah secara tepat 5. Terapi Keperawatan Pada Lansia a. Program Fisioterapi Dalam penanganan terapi latihan untuk lansia dimulai dari aktivitas fisik yang paling ringan kemudian bertahap hingga maksimal yang bisa dicapai oleh individu tersebut, misalnya : Aktivitas di tepat tidur,Positioning, alih baring, latihan pasif&aktif lingkup gerak sendi,Latihan bangun sendiri, duduk, transfer dari tempat tidur ke kursi, berdiri, jalan b.



Program Okupasiterapi Latihan ditujukan untuk mendukung aktivitas kehidupan sehari-hari, dengan memberikan latihan dalam bentuk aktivitas, permainan, atau langsung pada aktiviats yang diinginkan. Misalnya latihan jongkok-berdiri di WC yang dipunyai adalah harus jongkok, namun bila tidak memungkinkan maka dibuat modifikasi.



c. Program Ortotik-prostetik Bila diperlukan alat bantu dalam mendukung aktivitas pada lansia maka seorang ortotis-prostetis akan membuat alat penopang, atau alat pengganti bagian tubuh yang memerlukan sesuai dengan kondisi penderita. Dan untuk lansia hal ini perlu pertimbangan lebih khusus, misalnya pembuatan alat diusahakan dari bahan yang ringan, model alat yang lebih sederhana sehingga mudah dipakai, dll. d.



Program Terapi Wicara



Program ini kadang-kadang tidak selalu ditujukan untuk latihan wicara saja, tetapi perlu diperlukan untuk memberi latihan pada penderita dengan gangguan fungsi menelan apabila ditemukan adanya kelemahan pada otot-otot sekitar tenggorokan. Hal ini sering terjadi pada penderita stroke, dimana terjadi kelumpuhan saraf vagus, saraf lidah, dll. e. Program Sosial-Medik Petugas sosial-medik memerlukan data pribadi maupun keluarga yang tinggal bersama lansia, melihat bagaimana struktur/kondisi di rumahnya yang berkaitan dengan aktivitas yang dibutuhkan penderita, tingkat sosial-ekonomi. Hal ini sangat penting sebagai masukan untuk mendukung program lain yang ahrus dilaksanakan, misalnya seorang lansia yang tinggal dirumahnya banyak trap/anak tangga, bagaimana bisa dibuat landai atau pindah kamar yang datar dan biasa dekat dengan kamar mandi, dll. f. Program Psikologi Dalam



menghadapi



lansia



sering



kali



harus



memperhatikan



keadaan



emosionalnya, yang mempunyai ciri-ciri yang khas pada lansia, misalnya apakah seorang yang tipe agresif, atau konstruktif, dll. Juga untuk memberikan motivasi agar lansia mau melakukan latihan, mau berkomunikasi, sosialisasi dan sebgainya. Hal ini diperlukan pula dalam pelaksanaan program lain sehingga hasilnya bisa lebih baik. g. Terapi Individual Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan hubungan individual antara seorang terapi dengan seorang klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan. h.



Terapi Lingkungan



Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif. Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi. i. Terapi Biologis Penerapan terapi biologis atau terapi somatic didasarkan pada model medical di mana gangguan jiwa dipandang sebagai penyakit. Ini berbeda dengan model konsep yang lain yang memandang bahwa gangguan jiwa murni adalah gangguan pada jiwa semata, tidak mempertimbangkan adanya kelaianan patofisiologis. Tekanan model medical adalah pengkajian spesifik dan pengelompokkasn gejala dalam sindroma spesifik. Perilaku abnormal dipercaya akibat adanya perubahan biokimiawi tertentu. j. Terapi Kognitif Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami pola keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut. Fokus auhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini, harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif. k.



Terapi Keluarga Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya.



l.



Terapi Kelompok



Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku maladaptive. Tahapannya meliputi: tahap permulaan, fase kerja, diakhiri tahap terminasi. m. Terapi Perilaku Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa perilaku timbul akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya dapat dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat n.



Terapi Bermain Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan ekspresi verbal. Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan, status emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut.



6. Tipe lansia Ada beberapa tipe lanjut usia, yang menonjol antara lain : a.



Tipe arif bijaksana



b.



Tipe mandiri



c.



Tipe tidak puas



d.



Tipe pasrah



e.



Tipe bingung



B. KONSEP HIPERTENSI 1. Pengertian Hipertensi Hipertensi di definisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg. Pada populasi



lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolic 90 mmHg (Sheps, 2009) Hipertensi adalah tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg (Smeltzer, Bare, 2010) Hipertensi lebih di kenal dengan penyakit tekanan darah tinggi. Batas tekanan darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk untuk menentukan normal atau tidaknya tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastolic. Berdasarkan JNC (Joint National Comitee) VII, seseorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan diastolic 90 mmHg atau lebih (Chobaniam, 2009) 2. Etiologi Berasarkan penyebabnya hipertensi di bagi menjadi 2 golongan, yaitu : 1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak di ketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetic, lingkungan, hiperaktifitas. Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi, faktor tersebut yaitu: a. Faktor keturunan b. Ciri perorangan c. Kebiasaan hidup (Kowalski, Robert, 2010) 2. Hipertensi sekunder atau renal yaitu yang di sebabkan oleh penyakit lain. merupakan 10% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi sekunder, faktor pencetus munculnya hipertensi sekunder antara lain : penggunaan kontrasepsi oral, neurogenic (tumor otak, ensefalitis, gangguan psikiatris), kehamilan, peningkatan tekanan intravaskuler, luka bakar dan stress. (Ujdianti. Wajan, 2011)



3. Patofisiologi Mekanisme yang mengontrol kontraksi dan relaksasi pembuluh darah terletah di pusat vasomotor pada medulla otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla



spinalis ke ganglia simpatis di thoraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang akan merangsang serabut saraf pascaganglion ke pembuluh darah, dimana dengan di lepaskannya norpinefrin mengakibatkan kontraksi pembuluh darah. (Brunner, 2012) Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terserang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresikan kortisol dan steroid lainnya yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriktor yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal dapat menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian di ubah menjadi angiotensisn II, suatu vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormone ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal sehingga menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua vaktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi. (Brunner, 2012)



Pathway



4. Manifestasi Klinis Menurut Prince, gejala hipertensi antara lain sakit kepala bagian belakang, kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada berdebar-debar, lemas, sesak nafas dan berkeringat. (Prince, 2008) 5. Komplikasi 1. Otak a. Pemekaran pembuluh darah b. Perdarahan c. Kematian sel otak : stroke 2. Ginjal a. Malam banyak kencing b. Kerusakal sel ginjal c. Gagal ginjal 3. Jantung a. Membesar b. Sesak nafas c. Cepat lelah d. Gagal jantung



6. Pengkajian a. Aktivitas / istirahat Gejala



: Kelemahan, letih, napas pendek, gaya hidup monoton



Tanda



: Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung



b. Sirkulasi Gejala



: Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler



Tanda



: Kenaikan TD, hipotensi postural, takhikardi, perubahan warna kulit, suhu dingin



c. Integritas Ego



Gejala



: Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria, factor stress multiple



Tanda



: Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinue perhatian, tangisan yang meledak, otot muka tegang, pernapasan menghela, peningkatan pola bicara



d. Eliminasi Gejala



: Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu



e. Makanan / Cairan Gejala



: Makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi garam, lemak dan kolesterol



Tanda



: BB normal atau obesitas, adanya edema



f. Neurosensori Gejala



: Keluhan pusing/pening, sakit kepala, berdenyut sakit kepala, berdenyut, gangguan penglihatan, episode epistaksis



Tanda



: Perubahan orientasi, penurunan kekuatan genggaman, perubahan retinal optic



g. Nyeri/ketidaknyamanan Gejala



: Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, sakit kepala oksipital berat, nyeri abdomen



h. Pernapasan Gejala



: Dispnea yang berkaitan dengan aktivitas, takipnea, ortopnea, dispnea nocturnal proksimal, batuk dengan atau tanpa sputum, riwayat merokok



Tanda



: Distress respirasi/ penggunaan otot aksesoris pernapasan, bunyi napas tambahan, sianosis



i. Keamanan



j.



Gejala



: Gangguan koordinasi, cara jalan



Tanda



: episode parestesia unilateral transien, hipotensi psotural



Pembelajaran/Penyuluhan



Gejala



: Factor resiko keluarga ; hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung, DM



, penyakit ginjal, Faktor resiko etnik, penggunaan pil KB atau hormon 7. Pemeriksaan Penunjang a. Riwayat dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh b. Pemeriksaan retina c. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kerusakan organ seperti ginjal dan jantung d. EKG untuk mengetahui hipertropi ventrikel kiri e. Urinalisa untuk mengetahui protein dalam urin, darah, glukosa f. Pemeriksaan : renogram, pielogram intravena arteriogram renal, pemeriksaan fungsi ginjal terpisah dan penentuan kadar urin. g. Foto dada dan CT-Scan 8. Penatalaksanaan 1. Terapi nonfarmakologis Pengendalian faktor risiko : a. Mengatasi obesitas b. Mengurangi asupan garam di dalam tubuh c. Ciptakan keadaan rileks d. Melakukan olahraga teratur e. Berhenti merokok f. Tidak mengkonsumsi alcohol 2. Terapi farmakologis a. Diuretik b. Agen penghambat beta adrenergic c. Penghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme) d. Agen penghambat reseptor angiotensin II e. Agen penghambat saluran kalsium f. Antagonis adrenoseptor alfa



g. Obat-obat dengan aksi simpatolitik sentral h. Dilator arteriolar



DAFTAR PUSTAKA Kowalski, Robert. 2010. Terapi Hipertensi: Program 8 minggu Menurunkan Tekanan Darah Tinggi. Alih Bahasa: Rani Ekawati. Bandung: Qanita Mizan Pustaka Brunner & Suddarth. 2012. Keperawatan Medikal Bedah.(edisi 8). Jakarta : EGC Smeltzer & Bare. (2001). Buku AjarKeperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth Vol 2. Jakarta : EGC Udjianti, Wajan. 2011. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika.