LP HPP [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KASUS HEMORAGIK POST PARTUM (HPP) Di Ruang IGD Kebidanan RS. dr. H. M. Ansari Saleh Banjarmasin



Tanggal 9 April s/d 14 April 2018



Oleh : Winda Permatasari, S. Kep NIM. 1730913320078



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT 2018



LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KASUS HEMORAGIK POST PARTUM (HPP) Di Ruang IGD Kebidanan RS. dr. H. M. Ansari Saleh Banjarmasin



Tanggal 9 April s/d 14 April 2018



Oleh :



Winda Permatasari, S. Kep NIM. 1730913320078



Banjarmasin, April 2018 Mengetahui,



Pembimbing Akademik



Emmelia Astika, S.Kep., Ns, M.Kep NIK. 1990 2001 198



Pembimbing Lahan



Hj. Fauziah, S.Kep., Ns NIP. 19730323 199703 2 011



LAPORAN PENDAHULUAN HEMORAGIK POST PARTUM (HPP) 1.



Pengertian Perdarahan pasca persalinan didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml atau lebih darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih setelah seksio sesaria (Kenneth, 2009). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Wiknjosastro (2010) yang mengatakan perdarahan postpartum adalah perdarahan 500cc atau lebih setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir). Perdarahan setelah melahirkan atau hemmorrhagic postpartum (HPP) adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma di traktus genetalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya (Walyani, 2015).



2.



Klasifikasi BBLR Perdarahan postpartum dibagi atas dua bagian menurut waktu terjadinya (Manuaba, 2001): -



Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) ialah perdarahan >500 cc yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir.



-



Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) ialah perdarahan >500 cc setelah 24 jam pasca persalinan.



Selaras dengan Mochtar (2011) juga mengklasifikasikan perdarahan postpartum menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian: -



Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir.



-



Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi setelah 24 jam, biasanya antara hari ke 5 sampai 15 postpartum.



Kemenkes RI (2013) juga mengatakan, perdarahan pascasalin primer terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan, sementara perdarahan pascasalin sekunder adalah perdarahan pervaginam yang lebih banyak dari normal antara 24 jam hingga 12 minggu setelah persalinan.



3.



Etiologi Perdarahan setelah melahirkan menurut Walyani (2015), disebabkan karena atonia uteri, retensio plasenta, dan robekan jalan lahir. Mochtar (2011) menyebutkan, etiologi perdarahan postpartum yakni atonia uteri, sisa plasenta dan selaput ketuban, robekan jalan lahir (robekan perineum, vagina serviks, forniks dan rahim), serta kelainan pada darah. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir. Penyebab utama perdarahan postpartum sekunder adalah robekan jalan lahir dan sisa plasenta (Manuaba, 2001). Etiologi perdarahan postpartum dini diantaranya atonia uteri, laserasi jalan lahir, hematoma, dan lain-lain (sisa plasenta atau selaput janin, ruptura uteri, inversio uteri), serta etiologi perdarahan postpartum lambat yakni tertinggalnya sebagian plasenta, subinvolusi di daerah insersi plasenta, luka bekas seksio sesarea. (Winkjosastro, 2010)



Faktor Predisposisi terjadinya atonia uteri adalah umur yang terlalu tua atau muda, paritas yang sering dijumpai pada multipara dan grandemultipara, partus lama dan partus terlantar, obstetri operatif dan narkoba, uterus terlalu regang dan besar (misalnya pada gemeli, hidramnion, dan janin besar), kelainan pada uterus (seperti mioma uteri, uterus couvelair pada solusio plasenta) dan faktor sosio ekonomi yaitu malnutrisi (Mochtar, 2011).



Departemen kesehatan RI menyebutkan bahwa kematian ibu akibat perdarahan postpartum dapat dicegah melalui deteksi dini adanya faktor resiko.



Faktor



risiko



yang



mempengaruhi



kejadian



perdarahan



pascapersalinan pada kehamilan, antara lain placenta previa, atonia uteri, infeksi penyakit, gizi buruk, eklamsia, paritas ibu hamil, anemia kehamilan, jarak persalinan, usia kehamilan, umur ibu, riwayat pemeriksaan kehamilan (ANC), dan riwayat persalinan terdahulu.(Manuaba, 2001).



4.



Patofisiologi (Pathway) a. Atonia uteri Atonia uteri yakni keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi lahir dan plasenta lahir. Pada atonia uteri, uterus tidak mengadakan kontraksi dengan baik, dan ini merupakan sebab utama dari perdarahan postpartum (Walyani, 2015). Uterus yang sangat teregang (hidramnion, kehamilan ganda atau kehamilan dengan janin besar), partus lama dan pemberian narkosis merupakan predisposisi terjadinya atonia uteri (Wiknjosastro, 2005). b. Retensio plasenta Perdarahan akibat Retensio plasenta yakni perdarahan yang disebabkan karena plasenta belum lahir hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hal itu disebabkan karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan (Wiknjosastro, 2010). Menurut Mochtar (2011), sebab-sebabnya adalah : 1) Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena tumbuh melekat lebih dalam, yang menurut tingkat pelekatannya dibagi menjadi (a) Plasenta adhesiva, yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam; (b) Plasenta inkreta, dimana vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai ke miometrium; (c) Plasenta akreta, yang menembus lebih dalam kedalam miometrium tetapi belum menembus serosa; (d) Plasenta parkreta, yang menembus sampai serosa atau peritoneum dinding rahim. 2) Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahimakibat kesalahan penanganan kala III, yang menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata) c. Robekan jalan lahir Perdarahan akibat robekan jalan lahir adalah perdarahan yang terjadi karena adanya robekan pada jalan lahir (perineum, vulva, vagina, portio, atau uterus). Robekan pada perineum, vulva, vagina dan portio biasa



terjadi pada persalinan pervaginam (Manuaba,2001). Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir. (Walyani, 2015). d. Kelainan pada Darah Perdarahan dapat terjadi karena terdapat kelainan pada pembekuan darah. Sebab tersering perdarahan postpartum adalah atonia uteri, yang disusul dengan tertinggalnya sebagian plasenta. Namun, gangguan pembekuan darah dapat pula menyebabkan perdarahan postpartum. Hal ini disebabkan karena defisiensi faktor pembekuan dan atau penghancuran fibrin yang berlebihan (Wiknjosastro, 2010). e. Sisa plasenta Sisa plasenta atau selaput janin yang menghalangi kontraksi uterus, sehingga masih ada pembuluh darah yang tetap terbuka sehingga terjadi perdarahan (Wiknjosastro, 2010). f. Inversio uteri Inversio uteri sangat jarang terjadi. Menurut kepustakaan angka kejadiannya adalah 1 : 5000-20000 persalinan. Sebab inversio uteri yang tersering adalah kesalahan dalam memimpin kala III, yaitu menekan fundus terlalu kuat dan menarik tali pusat pada plasenta yang belum terlepas dari insersinya (Wiknjosastro, 2010).



PATHWAY Etiologi



Atonia uteri Kegagalan miometrium berkontraksi Uterus dalam keadaan relaksasi, melebar & lembek



Episiotomi, robekan serviks, robekan perinium Terputusnya kontinuitas pembuluh darah



Hemoglobin dalam darah menurun



Penurunan cairan intraseluler dalam jumlah banyak



Ketidakffektifan perfusi jaringan perifer



Fundus uteri terbalik sebagian/selur uhnya masuk dalam cavum uteri



Rentan hipovolemik Resiko syok hipovolemik



Episiotomi, serviks, perinium



Lingkaran kontruksi uterus akan mengecil Uterus akan terisi darah



Perdarahan Post Partum



Berlangsung terus-menerus



5L, mukosa pucat, akral dingin, konjungtiva anemis, nadi cepat tapi lemah



Plasenta tidak dapat terlepas/masih ada sisa plasenta dalam rahim



Pembuluh darah tidak dapat menutup



Penurunan cairan intravaskuler



Suplay oksigen ke jaringan menurun (hipoksia)



Inversio uteri



Mengganggu kontraksi uterus



Pembuluh darah tak mampu kontraksi Pembuluh darah tetap terbuka



Retensio plasenta



robekan robekan



Prosedur invasif Terputusnya kontinuitas jaringan Nyeri Akut



Terbentuknya pintu masuk virus dan bakteri Virus dan bakteri masuk menyebabkan infeksi Risiko infeksi



5.



Manisfestasi Klinis Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinis umum yang biasa terjadi pada perdarahan post partum adalah kehilangan darah dalam jumlah yang banyak (lebih dari 500 cc), nadi lemah, pucat, ekstremitas dingin, lochia berwarna merah, haus, pusing, gelisah, mual, tekanan darah lemah dan dapat terjadi syok hipovolemik (Wiknjosastro, 2005).



6.



Pemeriksaan Diagnostik Diagnosis biasanya tidak sulit bila timbul perdarahan banyak dalam waktu pendek. Tetapi apabila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah. Beberapa gejala yang bisa menunjukkan perdarahan postpartum yakni terdapat pengeluaran darah yang tidak terkontrol, penurunan tekanan darah, peningkatan detak jantung, penurunan hitung sel darah merah (hematokrit) dan pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum (Wiknjosastro, 2010)



Pada tiap-tiap perdarahan postpartum harus dicari apa penyebabnya. Secara ringkas membuat diagnosis adalah sebagai berikut: a.



Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri



b.



Memeriksa plasenta dan ketuban: apakah lengkap atau tidak



c.



Lakukan eksplorasi kavum uteri untuk mencari sisa plasenta dan ketuban, robekan rahim, plasenta suksenturiata



d.



Inspekulo: untuk melihat robekan pada vagina, serviks, dan varises yang pecah



e.



Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan darah, Hb, clot bservation test (COT), dan lain-lain (Mochtar, 2011).



7.



Komplikasi Menurut Oxorn Forte (2010), bahaya perdarahan postpartum ada dua yakni:



a. Anemia yang diakibatkan perdarahan tersebut memperlemah keadaan pasien, menurunkan daya tahannya dan menjadi factor predisposisi terjadinya infeksi nifas. b. Jika kehilangan darah ini tidak dihentikan, akibat akhir tentu saja kematian.



8.



Penatalaksanaan Menurut Rukiyah (2010), langkah-langkah penanganan perdarahan primer maupun sekunder adalah: a.



Langkah penanganan perdarahan postpartum primer 1) Pijat uterus agara berkontraksi dan keluarkan bekuan darah. 2) Kaji kondisi pasien (denyut jantung, tekanan darah, warna kulit, kesadaran, kontraksi uterus) dan perkirakan banyaknya darah yang keluar. 3) Berikan oksitosin (10 IU IV dan ergometrin 0,5 IV. Berikan melalui IM apabila tidak bisa melalui IV). 4) Siapkan donor untuk transfuse, ambil darah untuk kroscek, berikan NaCl 11/15 menit. 5) apabila pasien mengalami syok (pemberian infuse sampai sekitar 3 Lt untuk mengatasi syok). 6) Kandung kemih selalu dalam kondisi kosong. 7) Awasi agar uterus dapat terus berkontraksi dengan baik 8) Jika perdarahan persisten dan uterus tetap rileks, lakukan kompresi bimanual. 9) Jika perdarahan persisten dan uterus berkontraksi dengan baik, maka lakukan pemeriksaan pada vagina dan serviks untuk menemukan laserasi yang menyebabkan perdarahan tersebut. 10) Jika ada indikasi bahwa mungkin terjadi infeksi yang diikuti dengan demam, menggigil, lokhea yang berbau busuk, segera berikan antibiotic berspektrum luas. 11) Lakukan pencatatan yang akurat.



b.



Langkah penanganan perdarahan postpartum sekunder 1) Prioritas dalam penatalaksanaan HPP sekunder (sama dengan HPP primer). 2) Masukkan pasien ke rumah sakit sebagai salah satu kasus kedaruratan. 3) Percepatan kontraksi dengan cara melakukan massage uterus, jika uterus masih teraba. 4) Kaji kondisi pasien, jika pasien di daerah terpencil mulailah sebelum dilakukan rujukan. 5) Berikan oksitosin (oksitosin 10 IU IV dan ergometrin 0,5 IV. 6) Berikan melalui IM apabila, tidak bisa melalui IV) 7) Siapkan darah untuk transfuse, ambil darah untuk cross cek, berikan NaCl 11/15 menit apabila pasien mengalami syok (pemberian infuse sampai sekitar 3 Lt untuk mengatasi syok), pada kasus syok yang parah gunakan plasma ekspander. 8) Awasi agar uterus tetap berkontraksi dengan baik. 9) Tambahkan 40 IU oksitosin dalam 1 liter cairan infuse dengan tetesan 40 tetes/menit. 10) Berikan antibiotic berspektrum luas. 11) Jika mungkin siapkan pasien untuk pemeriksaan segera di bawah pengaruh anastesi.



c.



Langkah penanganan syok hipovolemik Syok hemoragik secara khusus merupakan hilangnya darah secara akut dalam jumlah yang signifikan dalam rongga dada atau abdomen sehingga volume sirkulasi menjadi tidak adekuat. Syok hemoragik diklasifikasikan menjadi 4 derajat, yaitu (Vincent, 2013):



Tujuan utama dalam mengatasi syok hipovolemik adalah (1) memulihkan volume intravascular untuk membalik urutan peristiwa sehingga tidak mengarah pada perfusi jaringan yang tidak adekuat. (2) meredistribusi volume cairan, dan (3) memperbaiki penyebab yang mendasari kehilangan cairan secepat mungkin. Jika pasien sedang mengalami hemoragi, upaya dilakukan untuk menghentikan perdarahan mencakup pemasangan tekanan pada tempat perdarahan atau mungkin diperlukan pembedahan untuk menghentikan perdarahan internal. Pemasangan dua jalur intra vena dengan jarum besar dipasang untuk membuat akses intra vena guna pemberian cairan. Maksudnya memungkinkan pemberian secara simultan terapi cairan dan komponen darah jika diperlukan. Contohnya : Ringer Laktat dan Natrium clorida 0,9 %, Koloid (albumin dan dekstran 6 %). Pemberian posisi trendelenberg yang dimodifikasi dengan meninggikan tungkai pasien, sekitar 20 derajat, lutut diluruskan, trunchus horizontal dan kepala agak dinaikan. Tujuannya, untuk meningkatkan arus balik vena yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan antara lain:



1) Kaji jumlah kehilangan volume cairan dan mulai lakukan penggantian cairan sesuai order. Pastikan golongan darah untuk pemberian terapi transfusi 2) Kaji AGD/Analisa Gas Darah, jika pasien mengalami cardiac atau respiratory arrest lakukan CPR 3) Berikan terapi oksigen sesuai order. Monitor saturasi oksigen dan hasil AGD untuk mengetahui adanya hypoxemia dan mengantisipasi diperlukannya intubasi dan penggunaan ventilasi mekanik. Atur posisi semi fowler untuk memaksimalkan ekspansi dada. Jaga pasien tetap tenang dan nyaman untuk meminimalkan kebutuhan oksigen 4) Monitor vital sign, status neurologis, dan ritme jantung secara berkesinambungan. Observasi warna kulit dan cek capillary refill 5) Monitor parameter hemodinamik, termasuk CVP, PAWP, dan cardiac output, setiap 15 menit, untuk mengevaluasi respon pasien terhadap treatmen yang sudah diberikan 6) Monitor intake dan output. Pasang selang cateter dan kaji urin output setiap jam. Lapor dokter jika urin output tidak meningkat 7) Berikan transfuse sesuai lorder, monitor Hb secara serial dan HCT 8) Berikan Dopamin atau norepineprin I.V., sesuai order untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan perfusi renal 9) Awasi tanda-tanda adanya koagulopati seperti petekie, perdarahan, catat segera 10) Berikan support emosional 11) Siapkan pasien untuk dilakukan pembedahan, jika perlu. (Dewi & Rahayu, 2010).



Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus: Nadi: nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia. Tekanan darah: bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan darah turun > 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya transfuse cairan. Produksi urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin harus



dipertahankan minimal ½ ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya hipovolemia. Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila volume intra vaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisa diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine. Dopamin 2-5 μg/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8-12 cmH2O), dan bila masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus, sesak, pucat, dan ekstremitas dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan (Dewi & Rahayu, 2010).



9.



Pengkajian Keperawatan a. Riwayat kesehatan



Hal penting yang perlu dikaji adalah riwayat penyakit sekarang, dahulu dan keluarga, hal-hal yang perlu ditanyakan misalnya riwayat kehamilan: riwayat hipertensi dalam kehamilan, preeklamsi / eklamsia, bayi besar, gamelli, hidroamnion, grandmulti gravida, anemia, perdarahan saat hamil. Persalinan dengan tindakan, robekan jalan lahir, partus precipitatus, partus lama/kasep, chorioamnionitis, induksi persalinan, manipulasi, tanyakan juga adakah kelemahan,serta perasaan pusing.



1) Pemeriksaaan fisik



Pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh untuk mengetahui adanya gangguan lain atau masalah lain yang berhubungan, fokus pengkajian adalah: - Tanda-tanda vital Tanda-tanda vital dalam batas normal - Inspeksi Inspeksi perineum apakah ada memar, bengkak, dan karakteristik episiotomi. Kaji karakter lokia, yakni warna, bau dan jumlah. Pervaginam: keluar darah, robekan. Inspeksi kaki apakah ada edema atau goresan merah.



Inspeksi tanda-tanda anemia. - Palpasi Palpasi apakah uterus lembek, lokasi dan nyeri tekan Palpasi adakah nyeri tekan, hangat, benjolan, dan nyeri pada kaki Kulit apakah dingin, berkeringat, kering, hangat, pucat, capilary refil memanjang Kandung kemih : distensi, produksi urin menurun/berkurang.



2) Pemeriksaan Penunjang No. 1.



Jenis pemeriksaan



Nilai normal



Hitung darah lengkap



Hb: 12-16 gr/dL Hct: 12-16 gr/dL



Manfaat Untuk



menetukan



hemoglobin



(Hb)



(Hct),



melihat



trombositopenia,



tinghkat



dan



hematocrit adanya



serta



jumlah



leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi. 2.



Menentukan



adanya



gangguan kongulasi



Dengan hitung protombrin time (PT) dan activated Partial Tromboplastin Time



(aPTT)



atau



yang



sederhanadengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan garis spons desidua.



10. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan jumlah hemoglobin dalam darah, perdarahan pasca persalinan c. Risiko syok hipovolemik d. Risiko infeksi



11. Intervensi keperawatan No 1.



Diagnosa Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik



NOC Tingkat Nyeri Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam, nyeri dapat teratasi dengan kriteria hasil: 1. Nyeri yang dilaporkan dari skala 3 (sedang) ke skala 4 (ringan) 2. Ekspresi nyeri wajah dari skala 3 (sedang) ke skala 4 (ringan) 3. Tidak bisa beristirahat dari skala 3 (sedang) ke skala 4 (ringan)



NIC Manajemen Nyeri - Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi, karakteristik ,onset /durasi, frekuensi dan kualitas dan intensitas atau beratnya nyeri - Observasi adanya petunjuk non verbal mengenai ketidaknyamanan - Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai nyeri - Evaluasi pengalaman nyeri pasien dan tim kesehatan lainya mengenai efektifitas tindakan - Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri berapa lama nyeri akan dirasakan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur - Gali penggunaan metode farmakologi yang dipakai pasien saat ini untuk menurunkan nyeri - Dorong pasien untukmenggunakan obat –obatan penurun nyeri yang adekuat - Ajarkan prinsip manejemen nyeri - Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat dan tim kesehatan lainnya Pemberian Obat - Pertahankan aturan dan prosedur yang sesuai dengan keakuratan dan keamanan pemberian obat-obatan - Ikuti prosedur lima benar dalam pemberian obat - Catat alergi yag dialami klien sebelum pemberian obat - Beritahukan klien mengenai jenis obat alasan pemberian obat dan hasil yang di harapkan - Siapkan obat-obatan dengan menggunakan peralatan yang sesuai selama pemberian terapi



2.



Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan jumlah hemoglobin dalam darah, perdarahan pasca persalinan



Status sirkulasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam, perfusi jaringan menjadi efektif dengan kriteria hasil: 1. Tekanan darah sistol dari skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal) ke skala 5 (tidak deviasi dari kisaran normal) 2. Tekanan darah diastol dari skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal) ke skala 5



Manajemen Elektrolit/ cairan - Monitor perubahan status paru atau jantung yang menunjukkan kelebihhan cairan atau dehidrasi - Berikan cairan, yang sesuai - Monitor tanda-tanda vital yang sesuai - Timbang berat badan harian dan pantau gejala - Jaga infus intravena yang tepat ,transfuse darah,atau laju aliran enternal , terutama jika tidak di atur pompa



3.



4.



3.



Risiko hipovolemik



4.



Risiko infeksi



syok



(tidak deviasi dari kisaran normal) Tekanan nadi dari skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal) ke skala 5 (tidak deviasi dari kisaran normal) Capillary refill dari skala 4 (deviasi ringan dari kisaran normal) ke skala 5 (tidak deviasi dari kisaran normal)



-



pantau adanya tanda gejala retens i cairan Monitor hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan cairan misalnya hemetokrin protein BUN , albumin protein total dan urin spesifik tingkat grafitasi



Keparahan syok:hipovolemik Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam, syok hipovolemik tidak terjadi dengan kriteria hasil : 1. Penurunan tekanan darah sistolik dari skala 4 (ringan) ke skala 5 (tidak ada) 2. Penurunan tekanan darah diastolik dari skala 4 (ringan) ke skala 5 (tidak ada) 3. Melambat waktu pengisian kapiler dari skala 4 (ringan) ke skala 5 (tidak ada) 4. Nadi lemah dan halus dari skala 4 (ringan) ke skala 5 (tidak ada) 5. Akral dingin, kulit lembab /basah dari skala 4 (ringan) ke skala 5 (tidak ada)



Manajemen hipovolemi - Monitor status hemodinamik - Monitor adanya tanda dehidrasi - Monitor asupan dan pengeluaran - Dukung asupan cairan oral - Jaga kepatenan akses IV - Berikan transfuse darah - Instruksikan pada pasien untuk menghindari posisi yang berubah cepat, khususnya dari posisi telentang pada posisi duduk atau berdiri - Implementasikan posisi trendelenburg yang dimodifikasi saat hipotensi



Kontrol Risiko Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam, masalah teratasi dengan kriteria hasil: 1. Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi 2. Jumlah leukosit dalam batas normal (4.300-10.800/mm3)



Kontrol infeksi - Kaji tanda-tanda terjadinya infeksi (Hasil Lab, dll) - Lakukan pencucian tangan pada 5 momen - Lakukan tindakan pencegahan infeksi dengan melakukan tindakan secara aseptic - Batasi jumlah pengunjung - Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan pada saat memasuki dan meninggalkan ruangan pasien - Tingkatkan intake nutrisi yang tepat - Dorong intake cairan yang sesuai - Berikan terapi antibiotic yang sesuai - Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan kapan harus melaporkan kepada penyedia perawatan kesehatan - Ajarkan pasien dan keluarga mengenai bagaimana menghindari infeksi



DAFTAR PUSTAKA



1. Herdman, TH & Kamitsuru, S. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10. Jakarta: EGC. 2. Moorhead, S, et al. 2013. Nursing Outcomes Classificaton (NOC). Edisi Kelima. UK: Elsevier. 3. Bulechek, GM., et al. 2013. Nursing Interventions Classificaton (NIC). Edisi Keenam. 4. Rukiyah. 2010. Asuhan Kebidanan IV (Patologi Kebidanan). Jakarta: Trans Info Media. 5. Oxorn, Forte. 2010. Ilmu Kebidanan : Patologi & Fisiologi Persalinan. Yogyakarta: C.V Andi Offset. 6. Walyani, Elisabeth Siwi. 2015. Asuhan kebidanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal. Cetakan pertama. Yogyakarta : Pustaka baru press. 7. Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. Edisi 3 Cetakan ke-10. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. 8. Wiknjosastro, Hanifa. 2010. Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi 1 Cetakan 6. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. 9. Manuaba, I.B.G. 2001. Kapita selekta penatalaksanaan rutin obstetri ginekologi dan KB. Jakarta: EGC. 10. Mochtar, Rustam. 2011. Sinopsis Obstetri. Edisi 3. Hal 109-111, 199, 207208. Jakarta: EGC. 11. Vincent J, De Backer D. 2013. Circulatory shock. N Engl J Med. 369(18):1726-34. 12. Dewi, Enita & Rahayu, Sri. 2010. Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik. Jurnal Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol. 2. No. 2. Juni 2010, 93-96.