LP Inkontinensia Urin Sofatul Ula [PDF]

  • Author / Uploaded
  • indah
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN INKONTINENSIA URINE PADA LANSIA DI PANTI WERDHA SURABAYA



Oleh : Sofatul Ula



20151660035



PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA 2020



LAPORAN PENDAHULUAN INKONTENENSIA URINE 1.1 Konsep Lansia 1.1.1



Definisi Undang – Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia



pada Bab 1 pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 50 tahun keatas. Lanjut usia merupakan tahapan akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Karena merupakan tahap akhir perkembangan, maka ada kemunduran biologi yang terlihat sebagai gejala-gejala kemunduran fisik, antara lain kulit mulai mengendur, timbul keriput, rambut beruban, serta gigi mulai ompong. Kemunduran lain yang terjadi adalah kemampuan kognitif seperti mudah lupa kemunduran orientasi terhadap waktu, ruang, serta tempat (Maryam, 2008). Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan kematian (Hutapea, 2005). Usia lanjut adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari (Azwar, 2006). 1.1.2



Batasan Lansia WHO (1999) menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia kronologis/



biologis menjadi 4 kelompok yaitu : 1. Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 2. Lanjut usia (elderly) berusia antara 60 dan 74 tahun 3. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun 4. Usia sangat tua (Very old) di atas 90 tahun. 1.1.3



Karakteristik Lansia Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui



keberadaan masalah kesehatan lansia adalah: a. Jenis kelamin Lansia lebih banyak pada wanita. Terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang berbeda antara lansia laki-laki dan perempuan.



Misalnya lansia laki-laki sibuk dengan hipertropi prostat, maka perempuan mungkin menghadapi osteoporosis. b. Status perkawinan Status masih pasangan lengkap atau sudah hidup janda atau duda akan mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun psikologis. c. Living arrangement: misalnya keadaan pasangan, tinggal sendiri atau bersama instri, anak atau kekuarga lainnya. d. Kondisi kesehatan a)



Kondisi umum: Kemampuan umum untuk tidak tergantung kepada orang lain dalam kegiatan sehari-hari seperti mandi, buang air besar dan kecil.



b)



Frekuensi sakit: Frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan menjadi tidak produktif lagi bahkan mulai tergantung kepada orang lain.



e. Keadaan ekonomi 1)



Sumber pendapatan resmi: Pensiunan ditambah sumber pendapatan lain kalau masih bisa aktif.



2)



Sumber pendapatan keluarga: Ada bahkan tidaknya bantuan keuangan dari anak atau keluarga lainnya atau bahkan masih ada anggota keluarga yang tergantung padanya.



3)



kemampuan pendapatan: Lansia memerlukan biaya yang lebih tinggi, sementara pendapatan semakin menurun. Status ekonomi sangat  terancam, sehinga cukup beralasan untuk melakukann berbagai perubahan besar dalam kehidupan, menentukan kondisi hidup yang dengan perubahan status ekonomi dan kondisi fisik



1.1.4



Permasalahan Yang Terjadi Pada Lansia Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan



lanjut usia, antara lain: (Setiabudhi,1999) a. Permasalahan umum a)



Makin besar jumlah lansia yang berada dibawah garis kemiskinan.



b) Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut kurang diperhatikan , dihargai dan dihormati.



c)



Lahirnya kelompok masyarakat industri.



d) Masih rendahnya kuantitas dan kulaitas tenaga profesional pelayanan lanjut usia. e)



Belum



membudaya



dan



melembaganya



kegiatan



pembinaan



kesejahteraan lansia. b. Permasalahan khusus : a)



Berlangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya masalah



baik



fisik, mental maupun sosial. b) Berkurangnya integrasi sosial lanjut usia. c)



Rendahnya produktifitas kerja lansia.



d) Banyaknya lansia yang miskin, terlantar dan cacat. e)



Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah pada tatanan masyarakat individualistik.



f)



Adanya dampak negatif dari proses pembangunan yang dapat mengganggu kesehatan fisik lansia.



1.1.5



Perubahan – perubahan Yang Terjadi Pada Lansia Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara



degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan sexual (Azizah, 2011) a. Perubahan Fisik 1.



Sistem Indra Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60 tahun.



2.



Sistem Intergumen: Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan



glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal dengan liver spot. 3.



Sistem Muskuloskeletal Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia antara lain sebagai berikut: Jaringan penghubung (kolagen dan elastin). Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.



4.



Kartilago Jaringan kartilago pada persendian lunak dan mengalami granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata, kemudian kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung kearah progresif, konsekuensinya kartilago pada persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan.



5.



Tulang Berkurangnya kepadatan tualng setelah di obserfasi adalah bagian dari penuaan fisiologi akan mengakibatkan osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur.



6.



Otot Perubahan struktur otot pada penuaan sangat berfariasi, penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif.



7.



Sendi Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan fasia mengalami penuaan elastisitas.



8.



Sistem kardiovaskuler Massa jantung bertambah, vertikel kiri mengalami hipertropi dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan ikat dan penumpukan lipofusin dan klasifikasi Sa nude dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.



9.



Sistem respirasi Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas total paru



tetap,



tetapi



volume



cadangan



paru



bertambah



untuk



mengompensasi kenaikan ruang rugi paru, udara yang mengalir ke paru berkurang.



Perubahan



pada



otot,



kartilago



dan



sendi



torak



mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks berkurang. 10. Pencernaan dan Metabolisme Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata : a. Kehilangan gigi, b. Indra pengecap menurun, c. Rasa lapar menurun (sensitifitas lapar menurun), d. Liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan, berkurangnya aliran darah 11. Sistem perkemihan Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan. Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal. 12. Sistem saraf Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. 13. Sistem reproduksi Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur. 14. Perubahan Kognitif a. Memory (Daya ingat, Ingatan) b. IQ (Intellegent Quocient) c. Kemampuan Belajar (Learning) d. Kemampuan Pemahaman (Comprehension) e. Pemecahan Masalah (Problem Solving) f. Pengambilan Keputusan (Decission Making)



g. Kebijaksanaan (Wisdom) h. Kinerja (Performance) i. Motivasi 15. Perubahan mental Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental : a. Pertama- tama perubahan fisik, khsusnya organ perasa. b. Kesehatan umum c. Tingkat pendidikan d. Keturunan (hereditas) e. Lingkungan f. Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian. g. Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan. h. Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan famili. i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri. 16. Perubahan spiritual Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya (Maslow, 1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya, hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari (Murray dan Zentner, 1970) 1.2 Konsep Penyakit 1.2.1



Definisi Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang



tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002). Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya (FKUI, 2006). Inkontinensia didefinisikan sebagai berkemih (defekasi) di luar kesadaran, pada waktu dan tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan atau social (Watson, 1991). Menurut International Continence Society,



inkontinensia urin merupakan kondisi keluarnya urin tak terkendali yang dapat didemontrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan hygiene dan social. 1.2.2



Klasifikasi Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006)



a. Inkontinensia Dorongan Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat untuk berkemih. b. Inkontinensia Total Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. c. Inkontinensia Stres Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan urin kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen. d. Inkontinensia refleks Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu. e. Inkontinensia fungsional Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. 1.2.3



Etiologi Etiologi



Inkontinensia



Urine



menurut



(Soeparman



&



Waspadji



Sarwono,2001) : a. Poliuria, nokturia b. Gagal jantung c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun. d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh :



1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan dapat mgengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul. 2) Perokok, Minum alkohol. 3) Obesitas 4) Infeksi saluran kemih (ISK) 1.2.4



Patofisiologi Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit



infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia. Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase. Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intraabdomen meningkat seperti sewaktu batuk atau meloncat-loncat. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan. Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi pengendoran pada uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu



fase pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks). Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul. 1.2.5



Manifestasi klinis Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)



1)



Inkontinensia Dorongan a) Sering miksi b) Spasme kandung kemih



2) Inkontinensia total a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan. b) Tidak ada distensi kandung kemih. c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil. 3) Inkontinensia stres a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen b) Adanya dorongan berkemih. c) Sering miksi. d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.



4)



Inkontinensia refleks a) Tidak dorongan untuk berkemih. b) Merasa bahwa kandung kemih penuh. c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.



5)



Inkontinensia fungsional a) Adanya dorongan berkemih. b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.



1.2.6



WOC



1.2.7



Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine menurut (Soeparman &



Waspadji S,2001). Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih. a.



Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria. Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosasitol.



b.



Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urine dan tidak inkontinensia urine, dan gejala berkaitan denga inkontinensia urine. Pencatatan  pola berkemih tersebut dilakukan selam 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respons terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor pemicu.



1.2.8



Penatalaksanaan Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor



resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut : a.



Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar



secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum. b.



Terapi non farmakologi Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada



interval



waktu



tertentu,



mula-mula



setiap



jam,



selanjutnya



diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara : Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik. c.



Terapi farmakologi Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik



seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine,



flavoxate,



Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik



antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat. d.



Terapi pembedahan Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe



overflow umumnya



memerlukan



tindakan



pembedahan



untuk



menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita). e.



Modalitas lain Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter.



f.



Pemantauan Asupan Cairan Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari dengan rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan asumsi tidak ada kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat membatasi asupan cairan secara tidak tepat untuk mencegah kejadian-kejadian yang memalukan. Pengurangan asupan cairan sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari, tetapi cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total asupan cairan setiap harinya tetap sama.



1.2.9



Pencegahan



a. Menjaga diri agar terhindar dari penyakit yang dapat menyebabkannya. b. berhenti merokok dan jauhi asap rokok orang lain. c. Makan tinggi serat agar terhindari dari sembelit. d. Berhenti mengkonsumsi alkohol. e. Mengurangi konsumsi caffein dan minuman bersoda.



f. Menjadi pribadi yang aktif secara fisik dan rutin berolah raga. g. Mengontrol berat badan agar tidak menjadi kegemukan. h. Jangan menahan-nahan keinginan untuk BAK. i. Untuk wanita: jangan terlalu sering hamil dan melahirkan.



1.2.10 Prognosis Inkontinensia urin tipe stress biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar panggul, prognesia cukup baik. Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive blader umumnya dapat diperbaiki dengan obat – obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik. Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan mengatasi sumbatan / retensi urin).



ASUHAN KEPERAWATAN 2.1 Pengkajian Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine : 1.



Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.



2.



Keluhan Utama Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia, urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.



3.



Riwayat Penyakit Sekarang Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.



4.



Riwayat Penyakit Dahulu Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih) yang berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.



5.



Riwayat Penyakit keluarga Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang menderita DM, Hipertensi.



6.



Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :



a.



B1 (breathing) Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.



b.



B2 (blood) Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah



c.



B3 (brain) Kesadaran biasanya sadar penuh



d.



B4 (bladder) Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih



e.



B5 (bowel) Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.



f.



B6 (bone) Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.



2.2 Diagnosa 1.



Gangguan eliminasi urine



2.



Resiko Infeksi



3.



Resiko Gangguan Intergritas Kulit



4.



Gangguan Rasa Nyaman



5.



Ansietas



6.



Keletihan



7.



Gangguan Pola Tidur



2.3 Intervensi No 1



Diagnosa Gangguan eliminasi urine b/d penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kandung kemih ditandai dengan desakan berkemih, urine menetes, sering buang air kecil, distensi kandung kemih



SLKI Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 jam diharapkan eliminasi urine membaik dengan kriteria hasil :  Sensasi berkemih meningkat  Distensi kandung kemih



SIKI Dukungan perawatan diri Bak/Bab Observasi 1 identifikasi kebiasaan bak sesuai usia 2 monitor intergritas kulit pasien Terapeutik 1 latih BAK



 



menurun Urine menetes menurun Disuria menurun



2



Resiki infeksi dibuktikan dengan peningkatan paparan organisme patogen lingkungan



Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 jam diharapkan tingkat infeksi menurun dengan kriteria hasil :  Kebersihan badan menngkat  Kemerahan menurun  Gangguan kognitif menurun



3



Resiko gangguan intergritas Setelah dilakukan kulit dibuktikan dengan tindakan keperawatan kelembapan selama 3 jam diharapkan intergritas kulit dan jaringan meningkat dengan kriteria hasil :  kemerahan menurun  pigmentasi abnormal menurun



sesuai jadwal sediakan alat bantu mis kateter eksternal jika perlu edukasi 1 anjurkan kekamar mandi/toilet jika perlu Pencegahan infeksi Observasi 1. monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistematik Terapeutik 1 berikan perawatan kulit pada area edema 3 pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi edukasi 1 jelaskan tanda dan gejala infeksi 2 anjarkan cuci tangan dengan baik 3 anjurkan meningkatkan asupan nutrisi kolaborasi 1 kolaborasi pemberian imunisasi jika perlu Perawatan intergritas kulit Observasi 1. identifikasi penyebab gangguan intergritas kulit (mis, perubahan sirkulasi, perubahan nutrisi, penurunan kelembapan) Terapeutik 1 ubah posisi tiap 2 2







suhu kulit jam jika tirah baring 2 bersihkan membaik perineal dengan air hangat 4 hindari produk berbahan dasar alkohol pada kuliut kering edukasi 1 anjurkan 1 1meingkatkatkan nutrisi 2 anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya