LP Inkontinensia Urine Luluk [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN GERONTIK “INKONTINENSIA PADA LANSIA “



Oleh : Lu’luul Jannah 20204663046



PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA 2020



LAPORAN PENDAHULUAN 2.1 Konsep Lanjut Usia 2.1.1 Pengertian Lanjut Usia Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode di mana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Secara biologis lansia adalah proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian (Wulansari, 2011). 2.2.1 Batasan Lanjut Usia Batasan usia lansia menurut WHO meliputi (Santi, 2009): a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun b. Lanjut usia (elderly) : antara 60 dan 74 tahun c. Lanjut usia tua (old) : antara 75 dan 90 tahun d. Usia sangat tua (very old) : diatas 90 tahun BatasanLansia menurut Depkes RI(2009)meliputi: a. Menjelang usia lanjut (45-54 thn) : masa vibrilitas b. Kelompok usia lanjut (55 – 64 thn) : masa pre senium c. Kelompok usia lanjut (> 64 thn) : masa senium Pemerintah Indonesia dalam hal ini Departemen Sosial membagi lansia ke dalam 2 kategori yaitu usia lanjut potensial dan usia lanjut non potensial. Usia lanjut potensial adalah usia lanjut yang memiliki potensi dan dapat membantu dirinya sendiri bahkan membantu sesamanya. Sedangkan usia lanjut non potensial adalah usia lanjut yang tidak memperoleh penghasilan dan tidak dapat mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhannya sendiri (Hayati, 2010).



2.3.1 Proses Menua Proses menua menurut (Santi, 2009), (aging) adalah suatu keadaan alami selalu berjalan dengan disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi. Hal tersebut berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa. Secara individu, pada usia di atas 55 tahun terjadi proses menua secara alamiah. Menua didefinisikan sebagai perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain. Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability) dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran. Proses menua dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis. Apabila seseorang mengalami proses menua secara fisiologis maka proses menua terjadi secara alamiah atau sesuai dengan kronologis usianya (penuaan primer). Proses menua seseorang yang lebih banyak dipengaruhi faktor eksogen, misalnya lingkungan, sosial budaya dan gaya hidup disebut mengalami proses menua secara patologis (penuaan sekunder). Teori-teori yang menjelaskan bagaimana dan mengapa penuaan terjadi biasanya dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu teori biologis dan psikososial. Secara umum teori biologi dan psikososiologis dijelaskan sebagai berikut (Stanley, 2008): a. Teori Biologi 1) Teori Genetika Teori sebab-akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama dipengaruhi oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada pembentukan kode genetik. Menurut teori genetik, penuaan adalah suatu proses yang secara



tidak sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu untuk mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata lain, perubahan rentang hidup dan panjang usia telah ditentukan sebelumnya. 2) Teori Wear and Tear Teori Wear and Tear (Dipakai dan Rusak) mengusulkan bahwa akumulasi sampah metebolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi molecular dan akhirnya malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan mengalami kerusakan berdasarkan suatu jadwal. 3) Riwayat Lingkungan Menurut teori ini, faktor-faktor di dalam lingkungan (misalnya karsinogen dari industry, cahaya matahari, trauma dan infeksi) dapat membawa perubahan dalam proses penuaan. Walaupun faktor-faktor ini diketahui dapat mempercepat penuaan, dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan merupakan faktor utama dalam penuaan. 4) Teori Imunitas Teori Imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, pertahanan mereka terhadap orgenisme sering mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring dengan berkurangnya fungsi sistem imun, terjadilah peningkatan dalam respons autoimun tubuh. 5) Teori Neuroendokrin Para ahli menyatakan bahwa penuaan terjadi karena suatu perlambatan dalam suatu sekresi hormon tertentu yang mempunyai suatu dampak pada reaksi yang diatur oleh suatu sistem saraf. Hal ini lebih jelas ditunjukkan dalam kelenjar hipofisis, tiroid, adrenal dan reproduksi. b. Teori Psikososiologis 1) Teori Kepribadian



Kepribadian manusia adalah suatu wilayah pertumbuhan yang subur dalam tahun-tahun akhir kehidupannya. Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia. 2) Teori Tugas Perkembangan Tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam hidupnya untuk mencapai penuaan yang sukses. Pada kondisi tidak adanya pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati kehidupan yang baik, maka lansia tersebut berisiko untuk mengalami penyesalan atau putus asa. 3) Teori Disengagement Teori Disengagement (teori pemutusan hubungan) menggambarkan proses penarikan diri oleh lansia dari peran bermasyarakat dan tanggung jawabnya. Menurut ahli teori ini. Proses penarikan diri ini dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. Manfaat pengurangan kontak sosial untuk lansia adalah agar ia dapat menyediakan waktu untuk merefleksikan pencapaian hidupnya dan untuk menghadapi harapan yang tidak terpenuhi. 4) Teori Aktivitas Menurut teori ini, jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif. Berbagai penelitian telah memvalidasi hubungan positif antara mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang lain dan kesejahteraan fisik dan mental orang tersebut. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pentingnya aktivitas mental dan fisik yang berkesinambungan untuk mencegah kehilangan dan pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kehidupan manusia. 5) Teori Kontinuitas Teori kontinuitas, juga dikenal sebagai suatu teori perkembangan, merupakan suatu kelanjutan dari kedua teori sebelumnya dan mencoba



untuk menjelaskan dampak kepribadian pada kebutuhan untuk tetap aktif atau memisahkan diri agar mencapai kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan di usia tua. Teori ini menekankan pada kemampuan koping individu sebelumnya dan kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat penuaan. Ciri kepribadian dasar dikatakan tetap tidak berubah walaupun usianya telah lanjut. Selanjutnya, ciri kepribadian secara khas menjadi lebih jelas pada saat orang tersebut bertambah tua. 2.4.1 Kebutuhan Hidup Lanjut Usia Secara lebih detail, kebutuhan lansia terbagi atas (Subijanto et al, 2011): a. Kebutuhan fisik meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan. b. Kebutuhan



psikis



yaitu



kebutuhan



untuk



dihargai,



dihormati



dan



mendapatkan perhatian lebih dari sekelilingnya. c. Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. d. Kebutuhan ekonomi, meskipun tidak potensial lansia juga mempunyai kebutuhan secara ekonomi sehingga harus terdapat sumber pendanaan dari luar, sementara untuk lansia yang potensial membutuhkan adanya tambahan keterampilan, bantuan modal dan penguatan kelembagaan. e. Kebutuhan spiritual, spiritual adalah kebutuhan dasar dan pencapaian tertinggi seorang manusia dalam kehidupannya tanpa memandang suku atau asal-usul. Kebutuhan spiritual diidentifikasi sebagai kebutuhan dasar segala usia. Fish dan Shelly mengidentifikasi kebutuhan spiritual sebagai kebutuhan akan makna dan tujuan, akan cinta dan keterikatan dan akan pengampunan (Stanley, 2008). 2.5.1 Perubahan-perubahan yang terjadi pada Lanjut Usia Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut (Stanley, 2008): a. Perubahan Fisik 1) Perubahan penampilan



Saat seseorang memasuki usia lanjut, penampilan secara fisik akan berubah. Misal sudah mulai terlihat kulit keriput, bentuk tubuh berubah, rambut mulai menipis. 2) Perubahan fungsi fisiologis Perubahan pada fungsi organ juga terjadi pada lansia. Perubahan fungsi organ ini yang menyebabkan lansia tidak tahan, terhadap temperatur yang terlalu panas atau terlalu dingin, tekanan darah meningkat, berkurangnya jumlah waktu tidur. 3) Perubahan panca indera Perubahan pada indera berlangsung secara lambat dan bertahap, sehingga setiap individu mempunyai kesempatan untuk melakukan penyesuain dengan perubahan tersebut. Misal, kacamata dan alat bantu dengar hampir sempurna untuk mengatasi penurunan kemampuan melihat atau kerusakan pendengaran. 4) Perubahan seksual Pada lansia, terjadi penurunan kemampuan seksual karena pada fase ini klimakterik pada lansia laki-laki dan menopause pada wanita. Tapi, hal itu juga tidak membuat potensi seksual benar–benar menurun. Ini disebabkan penurunan atau peningkatan potensi seksual juga dipengaruhi oleh kebudayaan, kesehatan dan penyesuain seksual yang dilakukan di awal. 5) Perubahan Kemampuan Motorik a) Kekuatan Terjadi penurunan kekuatan otot. Hal ini menyebabkan lansia lebih cepat capai dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk memulihkan diri dari keletihan dibandingkan orang yang lebih muda. b) Kecepatan Kecepatan dalam bergerak nampak sangat menurun setelah usia enam puluhan. c) Belajar keterampilan baru



Lansia yang belajar keterampilan baru cenderung lebih lambat dalam belajar dibanding dengan yang lebih muda dan hasil akhirnya juga cenderung kurang memuaskan. d) Kekakuan Lansia cenderung canggung dan kagok, yang menyebabkan sesuatu yang dibawa dan dipegangnya tertumpah dan jatuh. Selain itu, lansia juga melakukan sesuatu dengan tidak hati-hati dan dikerjakan secara tidak teratur. 6) Perubahan Kemampuan Mental a) Belajar Lansia lebih berhati-hati dalam belajar, memerlukan waktu yang lebih banyak untuk dapat mengintegrasiakan jawaban mereka dan kurang mampu mempelajari hal-hal baru yang tidak mudah diintegrasikan dengan pengalaman masa lalu. b) Berpikir dalam memberi argument Secara umum terdapat penurunan kecepatan dalam mencapai kesimpulan, baik dalam alasan induktif maupun deduktif. c) Kreativitas Kapasitas atau keinginan yang diperlukan untuk berpikir kreatif bagi lansia cenderung berkurang. d) Ingatan Lansia pada umumnya cenderung lemah dalam mengingat hal-hal yang baru dipelajari dan sebaliknya baik terhadap hal-hal yang telah lama dipelajari. e) Mengingat kembali Kemampuan dalam mengingat ulang banyak dipengaruhi oleh faktor usia dibanding pemahamam terhadap objek yang ingin diungkapkan kembali. Banyak lansia yang menggunakan tanda-tanda, terutama simbol visual, suara, dan gerakan, untuk membantu kemampuan mereka dalam mengingat kembali.



f) Mengenang Kecenderungan untuk mengenang sesuatu yang terjadi pada masa lalu meningkat semakin tajam sejalan dengan bertambahnya usia. g) Rasa humor Kemampuan lansia dalam hal membaca komik berkurang dan perhatian terhadap komik yang dapat mereka baca bertambah dengan bertambahnya usia. h) Perbendaharaan kata Menurunnya perbendaharaan kata yang dimiliki lansia menurun dengan sangat kecil, karena mereka secara konstan menggunakan sebagian besar kata yang pernah dipelajari pada masa anak – anak dan remajanya. i) Kekerasan mental Kekerasan mental tidak bersifat universal bagi usia lanjut. j) Perubahan Minat -



Minat Pribadi Minat pribadi meliputi minat terhadap diri sendiri, minat terhadap penampilan, minat pada pakaian dan minat pada uang. Minat terhadap diri sendiri pada lansia cenderung meningkat, sedangkan minat terhadap uang dan penampilan cenderung menurun. Untuk minat terhadap pakaian, disesuaikan dengan kegiatan sosial lansia.



-



Minat Kegiatan Sosial Dalam bertambahnya usia mengakibatkan banyak orang yang merasa



menderita



karena



jumlah



kegiatan



sosial



yang



dilakukannya semakin berkurang. Hal ini lazim diistilahkan sebagai



lepas



disengagement). -



Minat Rekreasi



dari



kegiatan



kemasyarakatan



(social



Lansia cenderung untuk tetap tertarik pada kegiatan rekreasi yang biasa dinikmati pada masa mudanya, dan mereka hanya akan mengubah minat tersebut kalau betul – betul diperlukan. -



Minat Kegiatan Keagamaan Sikap sebagian besar lansia terhadap agama mungkin lebih sering dipengaruhi oleh bagaimana mereka dibesarkan atau apa yang telah diterima pada saat mencapai kematangan intelektualnya. Bagaimanapun juga, perubahan minat dan sikap terhadap kegiatan keagamaan merupakan ciri orang berusia lanjut dalam beberapa kebudayaan dewasa ini. Beberapa perubahan keagamaan selama usia lanjut memberi pengaruh pada usia lanjut, antara lain dalam hal toleransi keagamaan dan ibadat keagamaan. Terdapat bukti-bukti bahwa kualitas keanggotan dalam tempat peribadatan memainkan peranan yang lebih penting bagi penyesuaian individual pada usia lanjut dibanding keanggotan itu sendiri. Mereka yang aktif di tempat peribadatan secara sukarela di waktu masih muda cenderung dapat menyesuaikan diri dengan pada masa tuanya dibanding mereka yang minat dan kegiatannya dalam perkumpulan keagamaan terbatas.



-



Minat Mengenai Kematian Semakin lanjut usia seseorang, biasanya mereka menjadi semakin kurang



tertarik



terhadap



kehidupan



akherat



dan



lebih



mementingkan tentang kematian itu sendiri serta kematiannya 2.2 Konsep Inkontinensia urine 2.2.1. Pengertian Inkontinensia urine adalah eleminasi urin dari kandung kemih tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan (Brunner & Sudart,2002; Aspiani,2014). Inkontinensia urin adalah kondisi ketika dorongan berkemih tidak mampu dikontrol oleh sfingter eksternal. (Mubarak dan Chayatin Nurul,2007; Aspiani,2014). Inkontinensia urin merupakan masalah yang meluas dan merugikan. Masalah



ini merupakan salah satu faktor utama yang membuat banyak keluarga menempatkan lansia di panti jompo untuk mendapatkan perawatan yang layak (Agoes, 2010). Beberapa kondisi yang sering menyertai inkontinensia urin antara lain kelainan kulit, gangguan tidur, dampak psikososial dan ekonomi, seperti depresi, mudah marah, terisolasi, hilang percaya diri, pembatasan aktivitas sosial, dan besarnya biaya rawatan (Juananda, 2017). 2.2.2. Etiologi Inkontinensia urine pada umumnya disebabkan karena adanya kelainan urologis, fungsional atau neurologis. Inkontinensia urine karena kelainan urologis disebabkan adanya penyakit lain yang mempengaruhi urologi seperti adanya tumor, batu,



dan



peradangan.



Adanya



kelaianan-kelainan



tersebut



menimbukan



gangguanpada fungsi dan hilangnya sensibilitas pada kandung kemih (Setiati dan Pramantara, 2007). Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan fungsi dari organ kemih karena adanyanya penurunan esterogen, kebiasaan mengejan yang tidak benar, dan adanya kelemahan pada otot dasar panggul yang disebabkan oleh menopause, kegemukan, kehamilan, setelah melahirkan, operasi vagina atau kurangnya aktivitas. Berat



badan



yang



berlebih



dan



kehamilan



dapat



menekan



otot



dasar



panggulsehingga dapat menimbulkan kelemahan. Kerusakan pada otot panggul karena keregangan otot atau robekan pada jalan lahir dapat mempengaruhi proses persalinan sehingga beresiko terjadi inkontinensia urine. Menoupause yang terjadi pada wanita usia 50 tahun ke atas akan mengalami penurunan pada kadar hormon esterogen yang mengakibatkan otot pada uretra atau tonus otot vagina mengalami kelemahan sehingga terjadi inkontinensia urine. Obesitas atau kegemukan adalah salah satu faktor resiko terjadinya inkontinensia urine selain karena riwayat operasi kandungan. Nilai indek masa tubuh yang lebih besar pada wanita akan menimbulkan resiko terjadinya inkontinensia urine. Semakin bertambahnya usia semakin besar resiko terjadinya inkontinensia urine yang



disebabkan oleh struktur kandung kemih yang berubah, kelemahan otot dasar panggul, atau kontraksi abdomen terhadap dinding kandung kemih (Setiati dan Pramantara,2007). 2.2.3. Patofisiologi Penyebab dari inkontinansia urine adalah adanya ketidakmampuan mengontrol sfingter, tekanan abdomen yang mengalami perubahan secara tiba-tiba, atau adanya komplikasi dari penyakit pada saluran kemih. Inkontinensia urine dapat bersifat temporer karena struktur dasar panggul lemah yang biasanya dialami oleh wanita hamil. Inkontinensia urine juga dapat bersifat permanen misalnya pada spinalcord trauma.



Inkontinensia



urine



dapat



terjadi



pada



berbagai



usia,



namun



ketidakmampuan mengontrol urinari adalah masalah bagi lansia. 2.2.4.



Manifestasi Klinis



Menurut Aspiani ( 2014) ada beberapa manifestasi klinis inkontinensia urin, antara lain : a. Inkontinensia urge Gejala dari inkontinensia urge adalah tingginya frekuensi berkemih (lebih sering dari 2 jam sekali). Spasme kandung kemih atau kontraktur berkemih dalam jumlah sedikit (kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih dari 500 ml). b. Inkontinensia stress Gejalanya yaitu keluarnya urin pada saat tekanan intra abdomen meningkat dan seringnya berkemih. c. Inkontinensia overflow Gejala dari inkontinensia jenis ini adalah keluhan keluarnya urin sedikit dan tanpa sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh, distensi kandung kemih. d. Inkontinensia refleks Orang yang mengalami inkontinensia refleks biasanya tidak menyadari bahwa kandung kemihnya sudah terisi, kurangnya sensasi ingin berkemih, dan kontraksi spasme kandung kemih yang tidak dapat dicegah.



e. Inkontinensia fungsional Mendesaknya keinginan berkemih sehingga urin keluar sebelum mencapai toilet merupakan gejala dari inkontinensia urin fungsional. 2.2.5. Klasifikasi Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006) a. Inkontinensia Dorongan Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat untuk berkemih. b. Inkontinensia Total Inkontinensia



Total



merupakan



keadaan



dimana



seseorang



mengalami



pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. c. Inkontinensia Stres Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan urin kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen. d. Inkontinensia reflex Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu. e. Inkontinensia fungsional Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. 2.2.6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Aspiani (2014) yaitu dengan mengurangi faktor risiko, mempertahankan homeostatis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis, dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut, dapat dilakukan sebagai berikut :



a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih Yang dicatat dalam kartu catatan yaitu waktu berkemih, jumlah urin yang keluar baik secara normal maupun karena tak tertahan. Banyaknya minuman yang diminum, jenis minuman yang diminum, dan waktu minumnya juga dicatat dalam catatan tersebut. b. Terapi non farmakologi Terapi ini dilakukan dengan cara mengoreksi penyebab timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, dan hiperglikemi. Cara yang dapat dilakukan adalah : 1. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dilakukan dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga waktu berkemih 6-7x/hari. Lansia diharapkan mampu menahan keinginan berkemih sampai waktu yang ditentukan. Pada tahap awal, diharapkan lansia mampu menahan keinginan berkemih satu jam, kemudian meningkat 2-3 jam. 2. Promited voiding yaitu mengajari lansia mengenali kondisi berkemih. Hal ini bertujuan untuk membiasakan lansia berkemih sesuai dengan kebiasaannya.



Apabila



lansia



ingin



berkemih



diharapkan



lansia



memberitahukan petugas. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif. 3. Melakukan latihan otot dasar panggul atau latihan kegel. Latihan kegel ini bertujuan untuk mengencangkan otot-otot dasar panggul dan mengembalikan fungsi kandung kemih sepenuhnya serta mencegah prolaps urin jangka panjang. c. Terapi farmakologi Obat yang dapat diberikan pada inkontinensia dorongan (urge) yaitu antikolenergik atau obat yang bekerja dengan memblokir neurotransmitter, yang disebut asetilkolin yang membawa sinyal otak untuk mengendalikan otot. Ada beberapa contoh obat antikolenergik antara lain oxybutinin, propanteline, dyclomine, flsavoxate, dan imipramine. Pada inkontinensia tipe stress diberikan obat alfa adregenic yaitu obat untuk melemaskan otot. Contoh dari obat tersebut



yaitu pseudosephedrine yang berfungsi untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter yang mengalami relaksasi diberikan obat kolinergik agonis yang bekerja untuk meningkatkan fungsi neurotransmitter asetilkolin baik langsung maupun tidak langsung. Obat kolinergik ini antara lain bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk menstimulasi kontraksi. d. Terapi pembedahan Terapi ini bisa dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urge, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Pada inkontinensia overflow biasanya dilakukan pembedahan untuk mencegah retensi urin. Terapi ini biasanya dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvis. e. Modalitas lain Terapi modalitas ini dilakukan bersama dengan proses terapi dan pengobatan masalah inkontinensia urin, caranya dengan menggunakan beberapa alat bantu bagi lansia antara lain pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal dan bedpan. 2.2.7.



Pemeriksaan penunjang



Menurut Artinawati (2014) terdapat beberapa pemeriksaan penunjang untuk masalah inkontinensia urin, antara lain : a. Urinalis Spesimen urin yang bersih diperiksa untuk mengetahui penyebab inkontinensia urin seperti hematuria, piuria, bakteriuria, glukosuria, dan proteinuria. b. Pemeriksaan darah Dalam pemeriksaan ini akan dilihat elektrolit, ureum, kreatinin, glukosa, dan kalsium serum untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria. c. Tes laboratorium tambahan



Tes ini meliputi kultur urin, blood urea nitrogen, kreatinin, kalsium, glukosa, dan sitologi. d. Tes diagnostik lanjutan 1. Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah 2. Tes tekanan uretra untuk mengukur tekanan di dalam uretra saat istirahat dan saat dinamis. 3. Imaging tes untuk saluran kemih bagian atas dan bawah. e. Catatan berkemih (voiding record) Catatan berkemih ini dilakukan selama 1-3 hari untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, serta gejala yang berhubungan dengan inkontinensia urin.



2.2.8. Web Of Caution Multipararitas (penurunan otot dasar panggul) ketika batuk, bersin, tertawa, mengejan



Tekanan kandung kemih meningkat Peningkatan tenakanan intraabdominal Otot sfringter uretra melemah



Inkontinensia stress



Obstruksi kandung kemih Otot detrusor tidak stabil



Hambatan/obstruksi uretra inkoordinasi antara detrusor uretra kelamin otot detrusor



Lesi spinal cord dibawah S2



Lansia



Kehilangan fungsi kognitif



Penurunan otot detrusor



Kegagalan pengeluaran urin Tekanan intrabesika meningkat



Tidak dapat mengontrol keluaran urin



Penurunan fungsi otot detrusor



Retensi Kontraksi kandung kemih involunter Kebocoran urin involunter



Inkontinensia urgensi



Kronis



Inkontinensi refleks



Inkontinensia fungsional



Tidak dapat mengontrol keluaran urin



Inkontinensia overflow



MK: Gangguan Eliminasi Urin



INKONTINENSIA URINE MK: Risiko Infeksi



MK: Ansietas



Perubahan status kesehatan



Genitalia eksterna basah



Tubuh berbau pesing



Keluar malam atau siang hari



Menggangg u aktivitas tidur



MK: Gangguan Pola Tidur



2.3 Konsep Asuhan Keperawatan 2.2.1. Pengkajian a. Identitas Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis. a



Riwayat kesehatan 







Keluhan utama : Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia, urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.







Riwayat kesehatan sekarang: Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.







Riwayat penyakit dahulu : Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih) yang berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.







Riwayat kesehatan keluarga : Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang menderita DM, Hipertensi.







Pola-pola fungsi kesehatan 1) Pola nutrisi Pola nutrisi meliputi frekuensi makan, nafsu makanan, jenis makanan yang dimakan, kebiasaan sebelum makan, makanan yang disukai dan tidak disukai, alergi dengan makanan, dan keluhan yang berhubungan dengan makan. Selain makan juga perlu dikaji asupan cairannya, meliputi jumlah air yang diminum dalam sehari, jenis minuman (air putih, teh, cokelat, minuman berkafein, bersoda, dan beralkohol), dan minuman kesukaan. 2) Pola eliminasi Menurut Maas, (2014) pengkajian pola eliminasi khusus untuk lansia dengan inkontinensia urin yaitu : a) Buang air kecil, frekuensi berkemih sepanjang hari, frekuensi berkemih di malam hari, kesulitan dalam berkemih (perlu mengejan atau tidak), aliran urin, nyeri saat berkemih, adanya campuran darah saat berkemih, dan warna urin b) Buang air besar, frekuensi buang air besar, konsistensi, warna feses, keluhan saat buang air besar, dan penggunaan obat pencahar.



3) Pola personal hygiene Menggambarkan frekuensi mandi, gosok gigi, mencuci rambut, penggunaan alat mandi (sabun, pasta gigi, dan shampo), dan kebersihan tangan serta kuku. 4) Pola istirahat dan tidur Menggambarkan pola tidur, lamanya tidur saat malam hari, lama tidur saat tidur siang, dan keluhan saat tidur. 5) Pola hubungan dan peran Menggambarkan hubungan responden dengan keluarga, masyarakat, dan tempat tinggal. 6) Pola sensori dan kognitif Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori meliputi pengkajian penglihatan, pendengaran, perasaan, dan pembau. 7) Pola persepsi dan konsep diri Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap kemampuan konsep diri. Konsep diri menggambarkan gambaran diri, harga diri, peran dan identitas diri. Mengkaji tingkat depresi responden menggunakan format pengkajian status psikologis. 8) Pola seksual dan reproduksi Menggambarkan masalah terhadap seksualitas 9) Pola mekanisme stress dan kopping Menggambarkan kemampuan untuk menangani stress. 10) Pola tata nilai dan kepercayaan Menggambarkan pola, nilai keyakinan termasuk spiritual. 11) Kebiasaan mengisi waktu luang Menggambarkan kegiatan responden dalam mengisi waktu luang seperti mencuci baju, merajut, membaca majalah atau koran, mendengarkan radio, dan beribadah. 12) Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan Menggambarkan kebiasaan responden yang berdampak pada kesehatan meliputi merokok, minum minuman beralkohol, dan ketergantungan terhadap obat.







Pemeriksaan fisik



B1 (breathing ) Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi. B2 (blood) Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah  B3 (brain) Kesadaran biasanya sadar penuh B4 (Bladder) Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing. B5 (bowel) Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal. B6 (Bone) Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.



2.2.2. Diagnosa Keperawatan 1. Risiko infeksi berhubungan dengan genetalia eksterna basah 2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan kelemahan otot pelvis di tandai dengan desakan berkemih dan nokturia 3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan ditandai dengan mengeluh istirahat tidak cukup 4. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri ditandai dengan khawatir dengan akibat dari kondisi yang di hadapi



2.2.3. Intervensi Keperawatan No



Diagnosa Keperawatan 1 Risiko infeksi berhubungan dengan genetalia eksterna basah



2 Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan kelemahan otot pelvis di tandai dengan desakan berkemih dan nokturia



Luaran



Intervensi



Tingkat Infeksi L.14137 Definisi : Derajat infeksi beradasarkan observasi atau sumber informasi. Ekspetasi : Menurun Kriteria hasil : - Demam menurun (5) - Nyeri menurun (5) - Kebersihan badan meningkat (5)



Pencegahan Infeksi I.14539 Definisi : Mengidentifikasi dan menurunkan resiko terserang organisme patogenik. Tindakan : Observasi - Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik Terapeutik - Berikan perawatan kulit pada area edema - Cuci tangan sebelum dan sesudh kontak dengan pasien dan lingkungan pasien - Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi Edukasi - Jelskan tanda dan gejala infeksi - Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi Kolaborasi Kolaborasi pemberian imuniasasi, jika perlu Manajemen Eliminasi Urin I.04152 Definisi : Mengidentifikasi dan mengelola gangguan pola eliminasi urine. Tindakan : Observasi - Identifikasi tanda dan gejala retensi atau inkontinensia urin - Identifikasi faktor yang menyebabkan retttensi atau inkontinensia urin - Identifikasi eliminasi urin



Eliminasi Urin L. 04034 Definisi : Pengosongan kandung kemih yang lengkap. Ekspetasi : Membaik Kriteria hasil : - Sensasi berkemih menurun (1) - Desakan berkemih urgensi menurun (5) - Distensi kandung kemih menurun (5)



-



Nokturia menurun (5) Mengompol menurun (5)



(misal konsistensi, warna)



freskuensi, aroma, dan



Terapeutik - Catat waktu dan haluaran berkemih - Ambil sampel urin tengah (midstream) atau kultur Edukasi - Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih - Ajarkan mengambil spesimen urin midstream - Ajarkan mengenali tanda berkemih dan waktu yang tepat untuk berkemih - Anjurkan mengurangi minum menjelang tidur



3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan ditandai dengan mengeluh istirahat tidak cukup



Pola Tidur L. 05045 Definisi : keadekuatan kualitas dan kuantitas tidur Ekspetasi : Membaik Kriteria hasil : - Keluhan sulit tidur menurun (1) - Keluhan pola tidur menurun (1) - Keluhan istirahat tidak cukup menurun (1)



Kolaborasi - Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra, jika perlu Dukungan Tidur I.05174 Definisi : Memfasilitasi siklus tidur dan terjaga yang teratur Tindakan : Observasi - Identifikasi faktor pengganggu tidur (fisik dan/atau psikologis) - Identifikasi makan dan minum yang mengganggu tidur (mis.kopi, teh, alcohol, makan mendekati waktu tidur, minum banyak air sebelum tidur) - Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi Terapeutik - Modifikasi lingkungan (mis. Pencahayaan, kebisingan, suhu, matras, dan tempat tidur)



-



4. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri ditandai dengan khawatir dengan akibat dari kondisi yang di hadapi



Tingkat Ansietas L. 09093 Definisi : kondisi emosi dan pengalaman subyektif terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang, memungkinkan individu melakukan tindakan untuk menghadapi



Batasi waktu tidur siang, jika perlu - Fasilitasi menghilangkan stress sebelum tidur - Tetapkan jadwal tidur rutin - Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan (mis. Pijat, pengaturan posisi, terapi aku pressure) - Sesuaikan jadwal pemberian obat dan/atau tindakan untuk menunjang siklus tidurterjaga Edukasi - Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit - Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur - Anjurkan menghindari makanan / minuman yang mengganggu tidur - Anjurkan penggunaan obat tidur yang tidak mengandung supresor terhadap tidur REM - Ajarkan faktor- faktor yang berkontribusi terhadap gangguan pola tidur (mis. Psikologis, gaya hidup, sering berubah shift bekerja) - Ajarkan relaksasi otot autogenic atau cara nonfarmakologi lainnya Reduksi Anxietas I.09314 Definisi : Meminimalkan kondisi individu dan pengalaman subjektif terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan individu melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman. Tindakan : Observasi



ancaman. Ekspetasi : Menurun - Identifikasi saat tingkat Kriteria hasil : anxietas berubah (mis. - Vervalisasi Kondisi, waktu, stressor) kekhawatiran - Identifikasi kemampuan akibat kondisi mengambil keputusan yang dihadapi - Monitor tanda anxietas menurun (5) (verbal dan non verbal) - Perilaku gelisah Terapeutik menurun (5) - Pola tidur - Ciptakan suasana  terapeutik membaik (5) untuk menumbuhkan kepercayaan - Temani pasien untuk mengurangi kecemasan , jika memungkinkan - Pahami situasi yang membuat anxietas - Dengarkan dengan penuh perhatian - Gunakan pedekatan yang tenang dan meyakinkan - Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan - Diskusikan perencanaan  realistis tentang peristiwa yang akan dating Edukasi -



Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami Informasikan secara factual mengenai diagnosis, pengobatan, dan prognosis Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai kebutuhan Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi



-



Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi ketegangan - Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat - Latih teknik relaksasi Kolaborasi - Kolaborasi pemberian obat anti anxietas, jika perlu



2.2.4 IMPLEMENTASI Pelaksanaan intervensi keperawatan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan dan hasil Ketika tahap pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan, perawat harus mengkaji respon pasien dan memodifikasi setiap rencana sesuai kebutuhan



pasien.



Selanjutnya,



perawat



perlu



memastikan



terdapat



pendokumentasian setiap tahapan proses pelaksanaan asuhan keperawatan (Kardiyudiani dan Susanti, 2019). 2.2.5



EVALUASI Tahap evaluasi dilakukan untuk menentukan tingkat keefektifan pelaksanaan asuhan keperawatan, proses evaluasi dilakukan dengan melakukan pengkajian respons pasien berdasarkan kriteria tujuan. Apabila tujuan dan outcomes tidak tercapai, perlu dipikirkan kembali rencana kerja melalui suatu proses untuk mengembangkan rencana perawatan yang lebih efektif (Kardiyudiani dan Susanti, 2019).



DAFTAR PUSTAKA Tim Pokja SIKI DPP PPNI.(2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.Edisi 1. Cetakan II. Jakarta: Penerbit Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia Tim Pokja SLKI DPP PPNI.(2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.Edisi 1. Cetakan II. Jakarta: Penerbit Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia Tim Pokja SDKI DPP PPNI.(2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.Edisi 1. Jakarta: Penerbit Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia