LP - Post Operasi BPH [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN



ASUHAN KEPERAWATAN KDM PADA KLIEN DENGAN POST OPERASI PROSTATEKTOMI SEDERHANA Et Causa BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA DI RUANG BEDAH CEMPAKA



Oleh: Rahma Eka Faradilla



131911133120



Iswatul Saldina



131911133096



Pembimbing Akademik: Hakim Zulkarnain, S.Kep., Ns., MSN



PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2021



BAB I TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium uretra (Smeltzer dan Bare, 2013). Hyperplasia merupakan pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh penambahan jumlah sel. BPH merupakan suatu kondisi patologis yang paling umum di derita oleh laki-laki dengan usia rata-rata 50 tahun ( Prabowo dkk, 2014). B. ANATOMI FISIOLOGI a.



Ginjal



Secara anatomi, kedua ginjal terletak pada setiap sisi dari kolumna tulang belakang antara T12 dan L3. Ginjal kiri terletak agak lebih superior dibandingkan ginjal kanan. Permukaan anterior ginjal kiri diselimuti oleh lambung, pangkreas, jejenum, dan sisi fleksi kolon kiri. Permukaan superior setiap ginjal terdapat pada kelenjar adrenal. Posisi dari kedua ginjal didalam rongga abdomen dipelihara oleh dinding peritoneum, kontak dengan organorgan viseral, dan dukungan jaringan penghubung. Ukuran ginjal setiap orang dewasa adalah panjang 10 cm; 5.5 cm pada sisi lebar; dan 3 cm pada sisi sempit dengan berat setiap ginjal berkisar 150 gram. Pembentukkan urine terjadi diginjal dengan kecepatan ekskresi berbagai zat dalam urine menunjukkan ketiga proses ginjal, yaitu: filtrasi glomerulus, reabsorpsi zat dari tubulus renal kedalam darah dan sekresi zat dari darah ketubulus renal. Pembentukkan urine dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang bebas protein dari kapiler glomerulus kekapsula bowman.



Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali untuk protein, difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan plasma. Produksi urine akan memelihara homeostatis tubuh dengan meregulasi volume dan komposisi dari darah. Proses ini berupa eksresi dan eliminasi dari berbagai larutan, terutama hasil sisa metabolisme yang meliputi hal-hal berikut ini: b. Ureter



Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urine dari pielum ginjal kedalam kandung kemih. Pada orang dewasa, panjangnya kurang lebih 20 cm. Dindingnya terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional, otot-otot polos sirkuler dan longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltik guna mengeluarkan urine kekandung kemih. Ureter



memasuki



kandung kemih menembus otot detrusor didaerah



trigonum kandung kemih. Normalnya



ureter berjalan secara oblique



sepanjang beberapa sentimeter menembus kandung kemih yang disebut ureter intramural kemudian berlanjut pada ureter submukosa. c.



Kandung kemih (Vesika urinaria) Kandung kemih berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian mengeluarkan melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Dalam menampung urine, kandung kemih mempunyai kapasitas maksimal, dimana pada orang dewasa besarnya adalah ± 300-450 ml pada saat kosong, kandung kemih terletak dibelakang simfisis pubis dan pada saat penuh berada diatas simfisis sehingga dapat dipalpasi dan diperkusi.



Kandung kemih adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang saling beranyaman. Pada dinding kandung kemih terdapat 2 bagian yang besar. Ruangan yang berdinding otot-otot polos adalah sebagai berikut: 1) Badan (korpus) merupakan bagian utama kandung kemih dimana urine



berkumpul. 2) Leher (kolom), merupakan lanjutan dari badan yang berbentuk corong,



berjalan secara inferior dan anterior kedalam daerah segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra. Bagian yang lebih rendah dari leher kandung kemih disebut uretra posterior karena berhubunganya dengan uretra. d.



Uretra Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari kandung kemih melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada pembatasan kandung kemih dan uretra, serta sfingter uretra eksternal yang terletak pada pembatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada saat kandung kemih penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat BAK, sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan urine. Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria. Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat dan uretra pars membranasea pada bagian posterior lumen uretra prostatika, terdapat suatu tonjolan verumentanum dan disebelah proksimal dan distal dari verumentanum ini terdapat crista uretralis. Bagian akhir dari pars deferens yaitu kedua duktus ejakolatorius terdapat dipinggir kiri dan kanan verumontanum. Sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara didalam duktus prostatikus yang tersebar diuretra prostatika.



e.



Kelenjar prostat Prostat adalah organ genetalia pria terletak disebelah inferior kandung kemih, didepan rectum dan pembungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri



dengan ukuran 4 × 3 × 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Secara histopatologik kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblast, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyangga yang lain. Prostat menghasikan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulasi. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara diuretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan ± 25% dari seluruh volume ejakulasi. Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus, pleksus pelvikus menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus hipograstikus (pada torakal 10 sampai lumbal 12). Stimulsi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra posterior, seperti pada ejakulasi. Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat dan leher kandung kemih. Pada tempat-tempat tersebut banyak terdapat reseptor adernergik. Rangsangan simpatik menyebabkan tonus otot polos tersebut dipertahankan. Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuat uretra posterior menjadi buntuh sehingga menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih. f.



Berkemih (micturition) Berkemih (micturition) adalah pengeluaran urine dari tubuh. Berkemih terjadi sewaktu sfingter uretra internal dan eksternal didasar kandung kemih relaksasi. Kandung kemih terdiri atas sel-sel otot polos yang dipersarafi oleh neuron-neuron sensorik yang berespon terdapat perenggangan kandung kemih dan serat-serat parasimpatis yang berjalan dari daerah sacrum dikandung kemih. Bagian otot polos yang terletak didasar kandung kemih (sfingter internal) juga dipersarafi oleh saraf parasimpatis, sfingter eksternal terdiri atas otot-otot rangka dan terletak diuretra bagian atas. Sfingter eksternal dipersarafi oleh neurun-neuron motorik dari saraf pundendus. Apabila urine menampung, maka terjadi perenggangan kandung kemih yang dirasakan oleh serat-serat aferen yang mengirim sinyal kekorda spinalis.



Saraf



parasimpatis



kekandung



kemih



diaktifkan



sehingga



menyebabkan kontraksi otot polos. Sewaktu kandung kemih berkonstraksi, sfingter interna membuka. Pada proses selanjutnya, informasi sensorik mengenai perenggangan kandung kemih berjalan dari korda spinal kebatang



otak dan korteks serebrum sehingga individu dapat merasakan keinginan berkemih (Muttaqin dan Sari, 2011).



C. KLASIFIKASI Menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim De Jong ( 2010 ), klasifikasi BPH meliputi : a. Derajat 1 : Biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi



pengobatan



konservatif.8 b. Derajat 2 : Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection / TUR ). c. Derajat 3 : Reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan pembedahan terbuka, melalui trans retropublik / perianal. d. Derajat 4 : Tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari retensi urine total dengan pemasangan kateter.



D. ETIOLOGI Penyebab yang pasti dari benigne prostat hyperplasia sampai



sekarang belum



diketahui secara pasti, namun ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya benigne prostat hyperplasia yaitu usia dan



hormonal menjadi prediposisi terjadinya BPH. usia lanjut.



beberapa hipotesis menyebutkan bahwa benigna prostat hiperplasia sangat erat kaitannya dengan: 1. Peningkatan Dihidrotestosteron (DHT) Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasia. 2. Ketidak seimbangan estroge–testoteron Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses penuaan, pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan hormon testosteron. Hal ini memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat. 3. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat Peningkatan kadar epidermal gorwth factor atau fibroblas gorwth



factor dan



penurunan transforming gorwth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH. 4. berkurangnya kematian sel Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.



5. Teori stem sel Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu terjadinya BPH (Prabowo dan Andi, 2014).



E. FAKTOR RISIKO Faktor yang menjadi risiko terjadinya pembesaran prostat yaitu usia, riwayat keluarga, obesitas, diabetes melitus, pola konsumsi sayur dan buah, merokok, alkohol, perilaku seksual dan olahraga. Volume prostat juga meningkat seiring bertambahnya usia, dengan data dari Krimpen dan Baltimore Longitudinal Study of Aging (BLSA) kohort menunjukkan tingkat pertumbuhan prostat dari 2,0% menjadi 2,5% per tahun pada pria yang lebih tua, pada penelitian sebelumnya Rasydin, (2013) sebanyak 88,9% lansia menderita hyperplasia prostat dan 58, 1% pada penelitian Setyawan, (2015) sedangkan pada penelitian Suryawan (2015) sebanyak 59.8% penderita BPH berada pada usia diatas 65 tahun. Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin banyak anggota keluarga yang menderita BPH semakin besar risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat terkena BPH. Bila satu anggota keluarga mengidap penyakit BPH, maka risiko meningkat 2 kali bagi yang lain. Bila 2 anggota keluarga, maka risiko meningkat menjadi 2-5 kali (Fitria, 2013) Sindrom metabolik dikatakan memiliki hubungan dengan terjadinya BPH. Beberapa studi menyebutkan bahwa pasien obesitas mempunyai nilai PSA lebih rendah dibandingkan dengan pasien non obesitas, karena adanya hemodilusi karena besarnya volume plasma pada pasien obesitas. Pasien obesitas juga mempunyai volume prostat yang lebih besar, inilah yang menjelaskan hubungan antara obesitas dengan LUTS.(Sari et al., 2019)



F. PATOFISIOLOGI Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor bertambahnya usia, dimana terjadi perubahan keseimbangan testosterone, esterogen, karena produksi testosterone menurun, produksi esterogen meningkat dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Keadaan ini tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensistesis protein sehingga mengakibatkan kelenjar prostat mengalami hyperplasia yang akan meluas menuju kandung kemih sehingga mempersempit saluran uretra prostatika dan penyumbatan aliran urine.



Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu (Presti et al, 2013). Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel bulibuli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada bulibuli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase 13 dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Retensi urine ini diberikan obat-obatan non invasif tetapi obat-obatan ini membutuhkan waktu yang lama, maka penanganan yang paling tepat adalah tindakan pembedahan, salah satunya adalah TURP (Joyce, 2014) . TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotongan dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Trauma bekas resectocopy menstimulasi pada lokasi pembedahan sehingga mengaktifkan suatu rangsangan saraf ke otak sebagai konsekuensi munculnya sensasi nyeri (Azizah, 2018)



G. MANIFESTASI KLINIS 1. Gejala obstruktif a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan sering kali disertai dengan mengejan. b. Intermittency, yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan oleh ketidak mampuan otot destrussor dalam mempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi. c. Terminal dribbling, yaitu menetesnya urin pada akhir kencing. d. Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra. e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas. 2. Gejala iritasi a. Urgensi, yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit di tahan. b. Frekuensi, yaitu penderita miksi lebih sering miksi dari biasanya dapat terjadi pada malam dan siang hari. c. Disuria, yaitu nyeri pada waktu kencing.



H. WOC Faktor Usia



Perubahan keseimbangan hormon testosterone dan esterogen Kadar testosteron menurun



Kadar esterogen meningkat



Memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat



Hiperplasia sel prostat



Poliferasi sel prostat BPH (Benign prostatic hyperplasia)



Post operasi prostatektomi



Kurangnya perawatan



Trauma bekas insisi



MK : Nyeri Akut MK : Risiko Infeksi Pendarahan Terjadi obstruksi



MK : Retensi Urine MK : Risiko Ketidakseimbangan Cairan



Anemia



MK : Intoleransi Aktivitas



I. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien. b. Pemeriksaan urine lengkap. c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan (Padila, 2012 dalam Annisa, 2017). 2. Pemeriksaan Uroflowmetri Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urine. Secara



obyektif



pancaran urine dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian : a. Flow rate maksimal > 15 ml/detik : non obstruktif b. Flow rate maksimal 10-15 ml/detik : border line c. Flow rate maksimal < 10 ml/detik : obstruksi d. (Padila, 2012 dalam Annisa, 2017). 3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik a. BOF (Buik Overzich) : untuk menilai adanya batu dan metastase pada tulang. b. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostate juga keadaan buli-buli termasuk residual urine. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transurethral, dan supra pubik. c. IVP (Pyelografi Inravena), digunakan untuk melihat exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis. d. Pemeriksaan panendoskop : untuk mengetahui keadaan uretra dan buli-buli (Padila, 2013 dalam Annisa, 2017).



J. PENATALAKSANAAN PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi : 1. Terapi medikamentosa a. Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin. b. Penghambat enzim, misalnya finasteride c. Fitoterapi, misalnya eviprostat 2. Terapi bedah Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah meliputi: a. Prostatektomi



1) Prostatektomi suprapubis , adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas. 2) Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. 3) Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum di [endekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih



banding



rendah mendekati kelenjar



prostat yaitu antara arkuspubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. b. Insisi prostat transurethral (TUIP) Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus dalam BPH. c. Transuretral Reseksi Prostat (TURP) Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop dimana resektroskop merupakan endoskopi dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang di



lengkapi dengan alat pemotong dan counter yang di



sambungkan dengan arus listrik. PENATALAKSANAAN POST OPERASI 1) Setelah dilakukan pembedahan klien akan di pantau di PACU untuk memantau tandatanda vitalnya, sampai ia pulih dari anastesi dan bersih secara medis untuk meninggalkan unit. Dilakukan pemantauan spesifik termasuk ABC yaitu airway, breathing, circulation. Tindakan dilakukan untuk upaya pencegahan post-operasi, ditakutkan ada tanda-tanda syok seperti hipotensi, takikardi, gelisah, susah bernafas, sianosis, SpO2 rendah. 2) Membantu klien dalam latihan post-operasi yaitu membebat insisi berguna untuk meredekan tekanan garis jahitan abdomen untuk meredakan nyeri. Teknik ini membantu membuat batuk atau pernafasan dalam menjadi lebih nyaman dan meningkatkan oksigenasi lebih baik. 3) Latihan tungkai (ROM). 4) Memberikan tindakan dukungan tambahan yaitu memberikan nutrsi yang adekuat, untuk membentuk kembali jaringan setelah trauma pembedahan, klien memerlukan nutrisi yang lebih dari kebutuhan tubuh normal, tinggi protein diperlukan untuk membentuk kembali jaringan yang terluka dan mempercepat proses penyembuhan luka operasi.



5) Irigasi luka harus dengan teknik steril atau teknik bersih. Pengantian balutan harus dengan teknik aseptik (DA Pupung, 2019)



PENATALAKSANAAN NON FARMAKOLOGIS Banyak intervensi keperawatan nonfarmakologis yang dapat dilakukan dengan mengkombinasikan pemberian analgesik dengan terapi nonfarmakologis seperti distraksi dan relaksasi. a. Relaksasi merupakan terapi perilaku-kognitif pada intervensi nonfarmakologis yang dapat mengubah persepsi pasien tentang nyeri, mengubah perilaku nyeri dan memberi pasien rasa pengendalian yang lebih besar terhadap nyeri. Relaksasi akan menimbulkan respon fisiologis seperti penurunan denyut nadi, penurunan konsumsi oksigen, penurunan kecepatan pernapasan, penurunan tekanan darah dan penurunan tegangan otot. Selain itu, relaksasi akan berdampak terhadap respon psikologis yaitu menurunkan stress, kecemasan, depresi dan penerimaan terhadap kontrol nyeri pasca bedah (Azizah, 2018) b. Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain sehingga dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Azizah, 2018)



K. KOMPLIKASI Menurut Widijanto ( 2011 ) komplikasi BPH meliputi : a) Aterosclerosis b) Infark jantung c) Impoten d) Haemoragik post operasi e) Fistula f) Struktur pasca operasi dan inconentia urin g) Infeksi Komplikasi BPH adalah : 1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi 2. Infeksi saluran kemih 3. Involusi kontraksi kandung kemih 4. Refluk kandung kemih



5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat. 6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi 7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis. 8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi pasien harus mengedan.(Caesar, 2017)



BAB II ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN 1) Identitas BPH merupakan pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Muttaqin, 2012). 2) Keluhan utama Keluhan yang paling dirasakan oleh klien pada umumnya adalah nyeri pada saat kencing atau disebut dengan disuria , hesistensi yaitu memulai kencing dalam waktu yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan disebabkan karena otot detrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika dan setelah post operasi TURP klien biasanya mengalami nyeri di bagian genetalianya. Untuk penilaian nyeri berdasarkan PQRST yaitu -



P = oleh luka insisi



-



Q = seperti ditusuk-tusuk/ disayat-sayat pisau/terbakar panas,



-



R = di daerah genetalia bekas insisi



-



S = dari kategori 0 = tidak nyeri, 1-3 = nyeri ringan,4-6 = nyeri sedang, 7-9 = nyeri berat, 10 = sangat berat tidak bias ditoleransi.



-



T = Sering timbul/tidak sering/sangat sering. (Muttaqin, 2012)



3) Riwayat penyakit sekarang Klien datang dengan keluhan adanya nyeri tekan pada kandung kemih, terdapat benjolan massa otot yang padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung kemih), adanya hernia inguinalis atau hemoroid yang



menyebabkan peningkatan tekanan



abdominal yang memerlukan pengosongan kandung kemih dalam mengatasi tahanan (Dongoes, 2012). 4) Riwayat penyakit dahulu Klien dengan BPH biasanya sering mengkonsumsi obat-obatan seperti antihipetensif atau antidepresan, obat antibiotic urinaria atau agen antibiotik, obat yang dijual bebas untuk flu/alergi serta obat yang mengandung simpatomimetik ( Dongoes, 2012). 5) Riwayat Penyakit Keluarga



Adanya riwayat keluarga yang pernah mengalami kanker prostat, hipertensi dan penyakit ginjal ( Doengoes, 2012). 6) Keadaan umum Keadaan klien BPH biasanya mengalami kelemahan setelah dilakukan tindakan post operasi prostatektomi, untuk tingkat kesadaran



composmentis tanda-tanda vital :



tekanan darah meningkat, nadi meningkat akibat nyeri yang dirasakan oleh klien , RR umumnya dalam batas normal 18-20x/ menit .22 7) Pemeriksaan fisik( Mustika,dkk, 2012) (1) B1 (Breathing) •



Inspeksi: Bentuk hidung simetris keadaan bersih dan tidak ada secret, pergerakan



dada



simetris, irama nafas regular tetapi ketika nyeri timbul kemungkinan dapat terjadi nafas pendek dan cepat dan tidak ada retraksi otot bantu nafas, tidak ada nafas cuping hidung,frekuensi pernfasan dalam batas normal 18-20x/menit. •



Palpasi : Taktil fermitus antara kanan dan kiri simetris.







Perkusi : Pada thoraks didapatkan hasil sonor.







Auskultasi: Suara nafas paru vesikuler.



(2) B2 (Blood) •



Inspeksi : Tidak terdapat sianosis , tekanan darah meningkat, tidak ada varises, phelbritis maupun oedem pada ekstremitas.







Palpasi : Denyut nadi meningkat akibat nyeri setelah pembedahan, akral hangat,CRT < 3 detik, tidak ada vena jugularis dan tidak ada clubbing finger pada kuku.







Perkusi : Terdengar dullness23







Auskultasi : BJ 1tunggal terdengar di ICS 2Mid klavikula kiri dan mid sternalis kiri , BJ 2 tunggal terdengar di ICS 5 sternaliskiri dan sternalis kanan.



(3) B3 (Brain) •



Inspeksi : Kesadaran composmentis, GCS 4-5-6 ,bentuk wajah simetris, pupil isokor.







Palpasi : Tidak ada nyeri kepala.



(4) B4 (Bladder) •



Inspeksi : Terdapat bekas luka post operasi TURP di daerah genetalia,bisa terjadi retensi urin karena adanya kloting (post-op), terpasang kateter DC yang terhubung urin bag, warna urin bisa kemerahan akibat bercampur dengan darah ( hematuria), umumnya klien juga terpasang drainase dibawah umbilicus sebelah kanan.







Palpasi : Terdapat nyeri tekan di bagian genetalia.



(5) B5 (Bowel) •



Inspeksi : Nafsu makan klien baik,bentuk abdomen simetris, tidak ada asites,terdapat luka jahit di area supra pubic (kuadran VIII), tidak mual muntah, tonsil tidak oedem dan mukosa bibir lembab, anus tidak terdapat hemoroid.24







Palpasi : Tidak terdapat massa dan benjolan, tidak ada nyeri tekan pada abdomen dan tidak ada pembesaran organ.







Perkusi : Terdengar suara tympani.







Auskultasi: Bising usus normal 15- 35x/menit.



(6) B6 (Bone) •



Inspeksi : Terdapat luka insisi di bagian supra pubis akibat operasi prostat klien umumnya tidak memiliki gangguan pada system musculoskeletal tetapi



tetap perlu dikaji



kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah dengan berdasarkan pada nilai kekuatan otot 0-5, di kaji juga adanya kekuatan otot atau keterbatasan gerak, warna kulit normal,rambut warna hitam keturanan asia, kaji keadaan luka apa terdapat pus atau tidak, kaji ada tidaknya infeksi, dan kaji keadaan luka bersih atau tidak. •



Palpasi : Turgor kulit elastis, akral teraba hangat.



B. DIAGNOSIS



1. Risiko ketidakseimbangan cairan d.d perdarahan. 2. Retensi urin b.d terjadinya obstruksi 3. Nyeri akut b.d agen pencendera fisik ( trauma bekas insisi ) 4. Intolerensi aktivitas b.d anemia 5. Risiko infeksi d.d kurangnya perawatan pasca operasi



C. INTERVENSI No



Diagnosis Keperawatan



Tujuan, kriteria hasil



Intervensi (SIKI)



(SLKI) 1.



Risiko Ketidakseimbangan Keseimbangan Cairan ( L.03020) Cairan (D.0036) d.d perdarahan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 × 24 jam diharapkan cairan klien seimbang, dengan kriteria hasil : a. Asupan cairan meningkat b. Keluaran urin meningkat c. Kelembaban membran mukosa meningkat d. Asupan makan meningkat e. Dehidrasi menurun f. Tekanan darah membaik ( 120/80) g. Denyut nadi radial membaik h. Tekanan arteri rata-rata membaik i. Membran mukosa membaik j. Berat badan membaik



2.



Retensi Urin (D.0050) b.d terjadinya obstruksi



Eliminasi Urin ( L.04034 ) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 × 24 jam diharapkan retensi urin klien membaik, dengan kriteria hasil : a. Sensasi berkemih meningkat b. Desakan berkemih ( urgensi ) menurun c. Distensi kandung kemih menurun d. Berkemih tidak tuntas menurun e. Volume residu urin menurun f. Urin menetes menurun g. Mengompol menurun



Manajemen Cairan ( 1.03098 ) Observasi : a. Monitor status hidrasi b. Monitor berat badan harian c. Monitor berat badan sebelum dan sesudah dianalisis d. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium e. Monitor status hemodinamik Terpeutik : a. Catat intake-output dan hitung balance cairan 24jam b. Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan Kolaborasi : a. Kolaborasi pemberian diauretik, jika perlu.



Katerisasi Urine ( 1.04148 ) Observasi : a. Periksa kondisi pasien Terapeutik : a. Siapkan peralatan, bahanbahan dan ruangan tindakan b. Siapkan pasien, bebaskan pakaian bawah dan posisikan dorsal rekumben c. Bersihkan daerah parineal atau propesium dengan cairan NaCl atau aquades d. Lakukan insersi kateter urin dengan urine bag e. Isi balon dengan NaCl 9% sesuai anjuran pabrik



h. i. j. k. l.



3.



Nyeri Akut (D.0077) b.d agen pecendera fisik ( trauma bekas insisi )



Enuresis menurun Disuria menurun Anuria menurun Frekuensi BAK membaik Karakteristik urin membaik



Tingkat Nyeri ( L.08066 ) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 × 24 jam diharapkan nyeri klien menurun, dengan kriteria hasil : a. Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat b. Keluhan nyeri menurun c. Meringis menurun d. Kesulitan tidur menurun e. Frekuensi nadi membaik f. Pola napas membaik g. Tekanan darah membaik h. Fungsi berkemih membaik i. Nafsu makan membaik



f. Fiksasi selang kateter diatas simpisis atau dipaha g. Pastikan kantung urine ditempatkan lebih rendah dari kantung kemih Edukasi : a. Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan kateter urine b. Anjurkan menarik napas saat insersi selang kateter Manajemen Nyeri ( 1.08238 ) Observasi : a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan intensitas nyeri b. Identifikasi skala nyeri c. Identifikasi skala nyeri non verbal d. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri e. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup Terapeutik : a. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri b. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri c. Fasilitasi istirahat dan tidur d. Pertimbangkan sumber nyeri dan jenis dalam pemilihan strategi meredakan nyeri Edukasi : a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri b. Jelaskan strategi meredakan nyeri c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri d. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat e. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri Kolaborasi : a. Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu.



DAFTAR PUSTAKA Azizah, L. (2018). Asuhan Keperawatan Klien Post Operasi Bph (Benign Prostatic Hyperplasia) Dengan Masalah Nyeri Akut Di Rumah Sakit Panti Waluya Malang. Jurnal Keperawatan, 2. Caesar. (2017). Anatomi Fisiologi Benign Prostat Hyperplasia. Benigna Prostate Hiperplasia (BPH), 1(3), 7–39. DA Pupung. (2019). Konsep Penyakit BPH. Convention Center Di Kota Tegal Fitria. (2013). Benigna Prostate Hiperplasia (BPH). Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699. Sari, Y. A., Duarsa, G. W. K., & Mahadewa, T. G. B. (2019). Faktor risiko yang mempengaruhi pembesaran volume prostat pada pasien pembesaran prostat jinak yang dilakukan reseksi prostat transuretra. Medicina, 50(2), 330–334. https://doi.org/10.15562/medicina.v50i2.702 PPNI (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI Nugroho A. 2002. Pengaruh faktor usia, status gizi dan pendidikan terhadap International Prostate Symptom Score (IPSS) pada penderita prostat hyperplasia. Diambil tanggal 5 Juni 2021 dari: http://eprints.undip.ac.id/14692/1/2002FK525