LP Tetanus [PDF]

  • Author / Uploaded
  • nike
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PENYAKIT TETANUS GENERALISATA



Oleh : EMMY MULYANI 131923143041



PROGRAM STUDI KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2020



A. TINJAUAN TEORI KASUS 1.



DEFENISI Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani (Safrida and Syahrul 2018).



2.



ETIOLOGI C. tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di tanah dan kotoran binatang. Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. C. tetani merupakan bakteri yang motil karena memiliki flagella, dimana menurut antigen flagellanya, dibagi menjadi 11 strain dan memproduksi neurotoksin yang sama. Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia. Spora C. tetani dapat bertahan dari air mendidih selama beberapa menit (meski hancur dengan autoclave pada suhu 121° C selama 15-20 menit). Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin (Bae and Bourget. 2020)



3.



MANIFESTASI KLINIS Periode inkubasi bervariasi 3 - 21 hari dengan rerata 8 hari. Makin jauh lokasi luka dari SSP, periode inkubasi makin lama. Singkatnya periode inkubasi berkaitan dengan



peningkatan



risiko



kematian.



Tetanus



dikelompokkan



menjadi



generalisata, neonatus, lokal, dan sefalik. Sekitar 80% tetanus merupakan tipe generalisata. Tetanus generalisata tampak dengan pola menyebar ke distal. Gejala awal bermula dari trismus diikuti spasme leher, kesulitan menelan, dan rigiditas otot abdominal. Kontraksi otot tetanus dapat terlokalisasi atau digeneralisakan namuna pada tetanus geenralisata, otot rahang dan leher adalah bagian yang paling sering berpengaruh (Rhee et al. 2014). Tungkai biasanya sedikit terpengaruh; jika terdapat opistotonus penuh, akan muncul fleksi lengan dan ekstensi kaki seperti posisi dekortikasi. Gejala lain meliputi peningkatan suhu, berkeringat, peningkatan tekanan darah, dan takikardia episodik. Hal ini disebabkan oleh peningkatan dramatis adrenalin dan noradrenalin yang dapat berujung pada nekrosis miokardial.



Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Toksin tetanus dapat menyerang saraf sensorik yang menyebabkan perubahan sensasi seperti nyeri dan alodinia. Toksin tidak dapat menyeberangi ganglia sensorik spinal, sehingga efek sensorik seharusnya terjadi di perifer. Akan tetapi, pelepasan neurotransmitter dari saraf sensorik terjadi sentral di medula spinalis atau batang otak. Paradoks ini merefleksikan bahwa perubahan sensasi dapat terlihat di daerah kepala seperti daerah saraf trigeminus. 4.



PEMERIKSAAN PENUNJANG Diagnosis ditegakkan sepenuhnya dari tanda dan gejala klinis tanpa konfirmasi tes laboratorium. Definisi WHO untuk tetanus dewasa membutuhkan penemuan salah satu tanda klinis, yaitu trismus atau risus sardonikus atau kontraksi otot yang nyeri. Hanya sekitar 30% kasus tetanus dapat mengisolasi C. tetani pada pemeriksaan bakteriologik; C. tetani dapat ditemukan dari pasien yang tidak tetanus. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan spatula yang nilai positif apabila pasien menggigit spatula dengan keras.



5.



KOMPLIKASI Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas sehingga pada tetanus yang berat , terkadang memerlukan bantuan ventilator.2 Sekitar kurang lebih 78% kematian tetanus disebabkan karena komplikasinya.26 Kejang yang berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang panjang, serta rabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut. Infeksi nosokomial umum sering terjadi karena rawat inap yang berkepanjangan. Infeksi sekunder termasuk sepsis dari kateter, pneumonia yang didapat di rumah sakit, dan ulkus dekubitus. Emboli paru sangat bermasalah pada pengguna narkoba dan pasien usia lanjut. Aspirasi pneumonia merupakan komplikasi akhir yang umum dari tetanus, ditemukan pada 50% -70% dari kasus diotopsi. Salah satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan otonom karena pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan bradikardi. Walaupun demikian, pemberian magnesium sulfat saat gejala tersebut sangat bisa diandalkan. Magnesium sulfat dapat mengontrol gejala spasme otot dan disfungsi otonom (Rahmanton 2016).



6.



PATOFISIOLOGI C. tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora berkembang pada keadaan anaerobik (oksigen rendah). Toksin yang dihasilkan dapat menyebar melalui pembuluh darah dan saluran limfatik. Selain itu, toksin dapat diabsorpsi di tautan saraf otot yang kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat (SSP). Toksin tetanus merupakan metaloproteinase tergantung seng yang menarget protein (sinaptobrevin/ vesicle-associated membrane protein – VAMP) untuk melepaskan neurotransmitter dari ujung saraf melalui fusi vesikel sinaps dengan membran plasma saraf. Gejala awal infeksi lokal tetanus ialah paralisis flaksid akibat gangguan pelepasan asetilkolin di tautan saraf otot. Toksin tetanus dapat menyebar secara retrograde di akson lower motor neuron (LMN) dan akhirnya mencapai medula spinalis atau batang otak. Di tempat ini, toksin ditransportasikan menyeberangi sinaps dan diambil oleh ujung saraf inhibitor GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan/atau saraf glisinergik yang mengontrol aktivitas LMN. Sesampainya toksin pada terminal saraf inhibitor, toksin tetanus akan memecah VAMP, sehingga menghambat pelepasan GABA dan glisin. Hal ini mengakibatkan denervasi fungsional dan parsial LMN menyebabkan hiperaktivitas dan peningkatan aktivitas otot dalam bentuk rigiditas dan spasme (Hassel 2013).



7.



PENATALAKSANAAN a. Umum Pasien sebaiknya ditempatkan di ruang perawatan yang sunyi dan dihindarkan dari stimulasi taktil ataupun auditorik. b. Imunoterapi Antitoksin tetanus intramuskuler (IM) dengan dosis human tetanus immunoglobulin (TIG) 3.000-10.000 U dibagi tiga dosis yang sama, diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Rekomendasi British National Formulary ialah 5.000-10.000 unit intravena. Bila human TIG tidak tersedia, dapat digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit, diberikan 50.000 unit intravena dan 50.000 unit IM. Antitoksin diberikan untuk menginaktivasi toksin tetanus bebas, sedangkan toksin yang sudah berada di saraf terminal tidak dapat ditangani dengan antitoksin. Oleh karena itu, gejala otot dapat tetap berkembang karena toksin tetanus berjalan melalui akson dan trans-sinaps serta memecah VAMP. Selain itu, dapat ditambahkan vaksin tetanus toksoid (TT) 0,5 ml. IM. Pasien



yang tidak memiliki riwayat vaksinasi sebaiknya mendapat dosis kedua 1-2 bulan setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan setelahnya. c. Antibiotik Beberapa antibiotik pilihan di antaranya metronidazol 500 mg setiap 6 jam intravena atau per oral, penisilin G 100.000-200.000 IU/kgBB/hari intravena dibagi 2-4 dosis. Pasien alergi golongan penisilin, dapat diberi tetrasiklin, makrolid, klindamisin, sefalosporin, atau kloramfenikol. d. Kontrol Spasme Otot Golongan benzodiazepin menjadi pilihan utama. Diazepam intravena dengan dosis mulai dari 5 mg atau lorazepam dengan dosis mulai dari 2 mg dapat dititrasi hingga tercapai kontrol spasme tanpa sedasi dan hipoventilasi berlebihan. Magnesium sulfat dapat digunakan tunggal atau kombinasi dengan benzodiazepin untuk mengontrol spasme dan disfungsi otonom dengan dosis loading 5 mg intravena diikuti 2-3 gram/jam hingga tercapai kontrol spasme. e. Kontrol Disfungsi Otonom Dapat menggunakan magnesium sulfat atau morfin. 6. Kontrol Saluran Napas Obat yang digunakan untuk mengontrol spasme dan memberikan efek sedasi dapat menyebabkan depresi saluran napas. Ventilasi mekanik diberikan sesegera mungkin. Trakeostomi lebih dipilih dibandingkan intubasi endotrakeal yang dapat memprovokasi spasme dan memperburuk napas. f. Cairan dan Nutrisi yang Adekuat Diperlukan cairan serta nutrisi yang adekuat mengingat tetanus meningkatkan status metabolik dan katabolik.



8.



WOC



Port d’entree antara lain luka tusuk, luka bakar otitis media, perawatan



Suasana yang memungkinkan organisme anaerob Colostridium Tetani



Colostridium tetani mengeluarkan toksin yang d absorbsi ujung saraf motorik dan melalui sumbu silindrik ke SSP



Tetanospasmin beredar malalui aliran darah dan limpa dan masuk ke intrakranial



Perubahan intrakranial



Penekanan area fokal kortikal



Kesulitan membuka mulut (trismus), kaku kuduk (episiotonus), kaku dinding perut, dan kaku tulang belakang



kejang tonik umum, kejang rangsang (visual, suara, gerak), kejang spontan, kejang abdomen, dan retensi urin



Perubahan eliminasi urin dan alvi MK : Retensi Urin



Perubahan mobilitas fisik



Perubahan reflek batuk



MK : Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif



Peningkatan permeabilitas darah otak



Proses inflamasi di jaringan otak, peningkatan suhu tubuh



MK : Hipertemia Penurunan tingkat kesadaran



Susah menelan Koma Asupan nutrisi yang tidak adekuat



MK : Risiko Defisit Nutrisi



MK : Intoleransi Aktivitas



MK : Gangguan Mobilitas Fisik



MK : Pola Nafas Tidak Efektif Risiko tinggi kejang berulang MK : Risiko Cedera



Koping tidak efektif MK :Ansietas



B. TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN 1.



PENGKAJIAN a.



Identitas Mengkaji meliputi naman, usia, agama, pendidikan, suku, pekerjaan dan alamat.



b.



Keluhan Utama Biasanya berupa demam yang tidak kunjung reda hingga penurunan kesadaran



c.



Riwayat Penyakit Sekarang Klien dapat mengalami kejang yang berulang hingga masalah pada pernafasan



d.



Riwayat Penyakit Dahulu Penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor; karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Adakah porte d’entree lainnya seperti luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang dikorek dengan benda yang kotor



e.



Riwayat Kesehatan Keluarga Penyakit yang didertita oleh keluarga yang mungkin berkaitan dan dapat memperburuk kondisi kien



f.



Pemeriksaan Fisik 1) TTV Dapat terjadi peningkatan frekuensi pernafasan dan suhu tubuh akibat proses infeksi 2) Sistem Pernafasan Peningkatan frekuensi pernafasan akibat episode kejang, sesak nafas, penurunan kemampuan batuk 3) Sistem Kardiovaskuler Pengkajian pada system kardiovaskular didapatkan syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien tetanus. TD biasanya normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena hancurnya eritrosit



4) Sistem Persarafan Pasien dapat mengalami keluhan fotofobia sehingga memerlukan intervensi menurunkan stimulasi cahaya tersebut. Reflek mesester meningkat ditemukan mulut mencucu seperti mulut ikan. Selain itu, pasien juga dapat mengalami kesulitan dalam menelan makanan, adanya kaku kuduk, ketegangan pada leher dan dan rahang, hingga penurunan kekuatan otot. 5) Sistem Perkemihan Dapat terjadi retensi urin akibat episode kejang berulang sehingga sebaiknya dilakukan pemasangan kateter 6) Sistem Pencernaan Mual dan muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga pemenuhan nutrisi menurun 7) Sistem Muskuloskeletal Pergerakan sendi terbatas, kekuatan otot dapat menurun, pasien dapat mengalami opisthonothos, risus sardonicus, hingga risiko fraktur 2.



DIAGNOSA KEPERAWATAN a. Pola nafas tidak efektif (D.0005) berhubungan dengan gangguan neurologis kejang d.d dispneu, penggunaan otot bantu pernafasan, pola nafas abnormal b. Hipertermi (D.0130) b.d proses penyakit d.d suhu tubuh diatas nilai normal c. Risiko cedera (D.0136) dibuktikan dengan perubahan fungsi psikomotor



3. No. 1.



INTERVENSI KEPERAWATAN Diagnosa Keperawatan



Intervensi Keperawatan



Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan Manajemen jalan nafas (I.01011) neurologis kejang d.d dispneu, penggunaan otot bantu Observasi pernafasan, pola nafas abnormal (D.0005)



1) Monitor pola nafas frekuensi kedalaman usaha nafas



Tujuan : setelah pemberian asuhan keperawatan selama 3x24



2) Monitor bunyi nafas tambahan (misalnya gargling, mengi,



pola nafas membaik dengan kriteria hasil :



wheezing,)



Pola Nafas (L.01003)



3) Monitor sputum (jumlah, aroma, warna)



a. Dispneu menurun (5)



Terapiutik



b. Frekuensi nafas membaik (5)



4) Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head tilt dan Chin lift atau jaw trush 5) Jika curiga trauma cervical posisikan semifowler atau fowler 6) Berikan Minum hangat 7) Lakukan fisioterapi dada jika perlu 8) Lakukan pengisapan lendir kurang dari 15 detik 9) Lakukan hiperoksigenasi sebelum pengisapan endotrakeal 10) Berikan oksigen Jika perlu Edukasi 11) Anjurkan asupan cairan 2000 mili per hari Jika tidak kontraindikasi ajarkan teknik batuk efektif Kolaborasi



12) Kolaborasi pemberian bronkodilator ekspektoran mukolitik Jika perlu 2.



Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit d.d suhu Manajemen Hipertermia (I.15506) tubuh diatas nilai normal (D.0130)



Observasi



Tujuan : setelah pemberian asuhan keperawatan selama 3x24 1) Identifikasi penyebab hipertermia jam suhu dalam batas normal dengan kriteria hasil :



2) Monitor suhu tubuh



Termoregulasi (L.14134)



3) Monitor haluaran urin



a. Suhu tubuh membaik (5)



Terapeutik



b. Suhu kulit membaik (5)



4) Berikan cairan oral



c. Pucat menurun (5)



5) Berikan oksigen jika perlu Edukasi 6) Anjurkan tirah baring Kolaborasi 7) Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit jika perlu 8) Kolaborasi pemberian antipiretik



3.



Risiko cedera dibuktikan dengan perubahan fungsi psikomotor Manajemen kejang (I.06193) (D.0136)



Observasi



Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 kali 24 jam



1) Monitor terjadinya kejang berulang



kontrol kejang meningkat dengan kriteria hasil :



2) Monitor karakteristik kejang misalnya aktivitas motorik dan



a. kemampuan mengidentifikasi faktor risiko atau pemicu kejang meningkat



progresi kejang monitor status neurologis 3) Monitor tanda-tanda vital



b. kemampuan mencegah faktor risiko atau pemicu kejang meningkat



Terapiutik 4) Baringkan pasien agar tidak terjatuh 5) Berikan alas untuk dibawa kepala, Jika memungkinkan 6) Pertahankan kepatenan jalan nafas 7) Longgarkan pakaian terutama di bagian leher 8) Dampingi selama periode kejang 9) Jauhkan benda-benda berbahaya terutama benda tajam 10) Catat durasi kejang 11) Reorientasikan setelah periode kejang 12) Dokumentasikan periode terjadinya kejang 13) Pasang akses IV jika perlu 14) Berikan oksigen jika perlu Edukasi 15) Anjurkan keluarga menghindari memasukkan apapun kedalam mulut pasien saat pasien kejang 16) Anjurkan keluarga tidak menggunakan kekerasan untuk menahan gerakan pasien Kolaborasi 17) Kolaborasi pemberian antikonvulsan Jika perlu



DAFTAR PUSTAKA Bae, Crystal, and Daniele Bourget. 2020. “Tetanus.” StatPearls. Hassel. 2013. “Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms.” 5(1): 73-8. Rahmanton, Danawan. 2016. “FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG BERPENGARUH PADA KEMATIAN PASIEN TETANUS DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG.” Rhee, Peter et al. 2014. “Tetanus and Trauma: A Review and Recommendations.” Journal of Trauma - Injury, Infection and Critical Care 58(5): 1082–88. Safrida, Wati, and Syahrul. 2018. “Tata Laksana Tetanus Generalisata Dengan Karies Gigi (Laporan Kasus).” Cakradonya Dental Journal 10(2): 86–95. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI