Makalah 2 Stilistika Cerpen [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KAJIAN STILISTIKA CERPEN TUNGGU! KARYA DJENAR MAESA AYU  Disusun guna Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Stilistika Dosen Pengampu : Drs. Narsidi M.Pd



Disusun Oleh: Bintang Sagesti PRODI



(181310024) : PBSI



SEMESTER : V



SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA STKIP PGRI METRO TA. 2020/2021 KATA PENGANTAR



Alhamdulillahirobbil ‘Alamin segala Puji dan Syukur Penulis Panjatkan kepada Allah SWT  yang telah memberikan taufik dan hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini, namun penulis menyadari makalah ini belum dapat dikatakan sempurna karena mungkin masih banyak kesalahan-kesalahan. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjunan kita semua habibana wanabiana Muhammad SAW, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya, dan mudah-mudahan sampai kepada kita selaku umatnya. makalah ini penulis membahas mengenai “ KAJIAN STILISTIKA CERPEN TUNGGU!



KARYA DJENAR MAESA AYU”, dengan makalah ini penulis



mengharapkan agar dapat membantu sistem pembelajaran. Penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih atas segala perhatiannya. Metro, 25 November 2020



Penyusun  



DAFTAR ISI



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu jenis karya sastra berupa  karangan yang bersifat fiktif yang menceritakan suatu peristiwa dalam kehidupan. Cerpen merupakan karangan yang singkat, tetapi biasanya memiliki isi yang padat. Media yang digunakan dalam cerpen untuk menyampaikan pikiran pengarang adalah bahasa. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Oleh karena banyak penyimpangan arti di dalam karya sastra, maka pengamatan atau pengkajian terhadap karya sastra (cerpen) khususnya dilihat dari gaya bahasa yang digunakan pengarang. Cerpen berjudul “TUNGGU!” karya Djenar Maesa Ayu merupakan salah satu cerpen yang memperkaya kekayaan sastra di Indonesia. Cerpen ini memiliki gaya bahasa yang unik dalam penulisannya. Selain itu, dengan gaya khas penulisan dari Djenar cerpen ini menjadi menarik untuk dikaji menggunakan pendekatan stilistika untuk menganalisis gaya bahasa yang terdapat di dalamnya.



BAB II PEMBAHASAN



A. Sinopsis Cerpen Tunggu! Karya Djenar Maesa Ayu Waktu menunjuk pukul tujuh. Di sudut kafe ketiak saya berpeluh. Namun tak bisa mengeluh. Kecuali pada ponsel yang suaranya tak juga melenguh. Dua belas jam yang lalu ada yang mengaku akan datang. Yang saya harapkan selalu di kafe itu senyumnya akan mengembang. Ketika melihat saya. Karena berdekatan dengan pujaan hati, katanya. Biasanya kami akan menghabiskan waktu dengan percakapan. Saling bertatapan. Saling bertukar harapan. Harapan untuk bisa merapat dan berdekapan. Di suatu tempat yang jauh dari kegaduhan. Namun, sebenarnya, hati saya selalu gaduh. Ketika di atas tubuhnya saya mengaduh. Karena setelahnya saya akan mengeluh. Bertanya, ke manakah hubungan ini akan berlabuh? ”Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidaktahuan yang memabukkan.” ”Hah?!” Saya bukan orang yang mengerti bahasa isyarat. Apalagi kalau itu mengandung makna filosofis berat. Saya cuma tahu karena saya merasa. Bukan karena teoriteori yang tercantum dalam buku-buku yang pemikir sepertinya biasa baca. Saya hanya mau mencinta. Apakah lewat buku-buku bermartabat itu baru cinta bisa dicerna? Ia selalu menyebutkan nama-nama terkenal yang saya tidak kenal. Ia selalu menyebutkan nama-nama yang bahkan di dalam kepala saya pun tak akan lama mengental. Badiout? Platoy? Badut yang letoi, begitu yang selalu ada di dalam kepala saya tercantol. Bukan karena pemikiran mereka tentang kebenaran yang tidak saya pahami. Tapi lebih karena setiap kali melihat badut yang letoi, saya merasa tak sampai hati. Saya tidak pernah habis pikir mengapa ada karakter semacam badut di sirkus. Rata-rata mereka sebenarnya berbadan kurus. Bermuka tirus. Hanya kosmetik di



mukanya memberangus. Dan buntalan di perutnya yang besar membungkus. Sehingga ia kelihatan lucu dan mungkin bagus. Bagi mata orang-orang tua yang membawa anak-anaknya hanya untuk sejenak melupakan haus. Haus hiburan. Haus kebersamaan. Haus tertawa bersama dalam suasana kekeluargaan. Padahal mata anak-anak itu mungkin bisa melihat apa yang ada di balik mata badut-badut. Mata yang bersungut. Dan mulut yang merengut di balik riasan begitu lebar dan memerah di mulut. Salah satu mata anak-anak itu, adalah mata saya. Mungkin di antara banyaknya anak-anak itu, hanya saya satu-satunya. Melihat badut yang itu-itu saja di setiap pertunjukan sirkus apa pun dan di mana pun juga. Badut yang letoi. Letoi yang adalah seperti tak bersendi dalam bahasa asli Jakarta. Dan selalu ada garis merah di bawah mata mereka seperti air mata. Jadi saya tidak pernah mengerti mengapa mereka menertawakannya. Bahkan sampai sekarang, ketika usia saya menginjak dewasa. Menertawakan kesedihan. Menertawakan kebersamaan. Menertawakan keadaan merekakah yang terpaksa datang bersama sanak keluarga hanya atas nama kekeluargaan? Menertawakan diri mereka sendiri. Dan untuk itu ada harga yang harus mereka beli? ”Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahaha.” Akhirnya saya tertawa lepas sebelum ia menjawab reaksi saya. Sangat lepas melebihi tawa saya melihat badut-badut letoi di sirkus. Berikut binatang-binatang yang tidak seharusnya diberangus. Sangat sangat lepas melebihi tawa-tawa dengannya yang sudah hangus. ”Kenapa kamu ketawa, Sayang? Saya kan udah bilang, kalau kamu mau jadikan anak kita, sekarang saatnya. Saya tidak akan bisa kasih anak ke kamu lagi mengingat umur saya sudah lima puluh tahun sekarang. Tapi, saya tidak bisa jamin apakah saya bisa tanggung jawab secara material.” Kupu-kupu melebarkan sayapnya tepat di depan bebungaan di mana kami duduk. Ia pun melebarkan jangkauan tangannya di mana tangan saya sedang diam merunduk. Mencoba meredam tawa saya yang sudah terdengar seperti orang



mabuk. Tenang gerakannya sangat saya tahu sebenarnya memendam rasa amuk. Karena itu segera saya kibaskan tangan itu berpura-pura menghalau nyamuk. ”Kamu…” ”Hah?!” Saya memotong kalimatnya. Persis seperti apa yang dilakukan badut-badut ketika berada di atas arena. Berteriak ketika ada yang mengolok-oloknya. Terjatuh. Mengaduh. Berlari. Tanpa berani memaki. Menghilang ke balik panggung. Disertai dengan sorak-sorai dan tawa menggunung. Sorak-sorai itu yang mengingatkan saya atas kutipan-kutipan yang disebutkan ia dari nama-nama pemikir. Membuat saya mencibir. Karena ada letupan kembang api di kepalanya. Dan warna-warni serpihan kembang api itu jatuh ke bahunya. Ia tidak pernah mengetahuinya. Maka, ia tak merasakannya. Ketika serpihan kembang api itu melumatnya. Bahkan ketika ia berkata, ”Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidaktahuan yang memabukkan.” Tapi di manakah sekarang ia? ”Hah?!” Terkejut saya ketika bahu ditepuk seseorang. ”Boleh saya ambil bangku yang tak terpakai?” ”Hah?!” Saya tidak bisa menentukan. Saya sudah menunggu dua jam dengan perut kram akibat pengguguran. Namun ia tak juga datang. Tapi apakah saya harus menyerahkan bangku kosong di sebelah saya ke seseorang? Seseorang yang membutuhkan bangku tambahan di mejanya karena ia bersama banyak teman tak terkecuali perempuan? ”Boleh saya pakai bangkunya, Mbak?” Saya menatapnya. ”Maaf, ada yang saya tunggu.” ”Waktu?” Waktu menunjuk pukul tujuh.



Gaya Kata dan Kalimat I.1.1



Pemilihan Kata Pada cerpen “TUNGGU!” terdapat kekhasan pemilihan kata. Yaitu



dipilihnya kata yang berima akhir sama. Hal tersebut menimbulkan harmonisasi saat pembacaan dan menimbulkan nilai estetik yang lebih daripada menggunakan kata-kata biasa. Cuplikan bagian cerpen dengan pemilihan kata yang khas terdapat dalam cuplikan-cuplikan berikut. a. “Waktu menunjuk pukul tujuh. Di sudut kafe ketiak saya berpeluh. Namun tak bisa mengeluh. Kecuali pada ponsel yang suaranya tak juga melenguh.” Pada cuplikan cerpen tersebut terdapat kekhasan pemilihan kata yang memiliki rima akhir sama. Yaitu kata-kata berima akhir /-uh/. Bisa saja kata berpeluh diganti dengan kata ‘berkeringat’, lalu kata ‘melenguh’ bisa diganti dengan kata ‘berbunyi’. Namun penulis lebih memilih kata-kata tersebut dengan tujuan menimbulkan kesan estetik yang lebih mendalam. b. “Biasanya kami akan menghabiskan waktu dengan percakapan. Saling bertatapan. Saling bertukar harapan. Harapan untuk bisa merapat dan berdekapan. Di suatu tempat yang jauh dari kegaduhan.” Cuplikan tersebut sama dengan cuplikan sebelumnya, perbedaannya hanya pada perbedaan rima akhir yang digunakan. Apabila sebelumnya digunakan rima /uh/ pada bagian ini digunakan rima akhir /an/ c. “Saya cuma tahu karena saya merasa. Bukan karena teori-teori yang tercantum dalam buku-buku yang pemikir sepertinya biasa baca. Saya hanya mau mencinta. Apakah lewat buku-buku bermartabat itu baru cinta bisa dicerna?” Pada cuplikan cerpen berikut, terdapat pilihan kata dengan rima akhir /a/. Seperti pada dua bagian sebelumnya, rima akhir /a/ bertujuan memberi efek estetik saat dibaca. d. “Bukan karena pemikiran mereka tentang kebenaran yang tidak saya pahami. Tapi lebih karena setiap kali melihat badut yang letoi, saya merasa tak sampai hati.”



Pada cuplikan berikut terdapat perulangan rima akhri /i/. Seperti pada dua bagian sebelumnya, rima akhir /i/ bertujuan memberi efek estetik saat dibaca. e. “Saya tidak pernah habis pikir mengapa ada karakter semacam badut di sirkus. Rata-rata mereka sebenarnya berbadan kurus. Bermuka tirus. Hanya kosmetik di mukanya memberangus. Dan buntalan di perutnya yang besar membungkus. Sehingga ia kelihatan lucu dan mungkin bagus. Bagi mata orang-orang tua yang membawa anak-anaknya hanya untuk sejenak melupakan haus.” Pada cuplikan berikut terdapat perulangan rima akhri /us/. Seperti pada dua bagian sebelumnya, rima akhir /us/ bertujuan memberi efek estetik saat dibaca. f. “Padahal mata anak-anak itu mungkin bisa melihat apa yang ada di balik mata badut-badut. Mata yang bersungut. Dan mulut yang merengut di balik riasan begitu lebar dan memerah di mulut.” Pada cuplikan berikut terdapat perulangan rima akhri /ut/. Seperti pada dua bagian sebelumnya, rima akhir /ut/ bertujuan memberi efek estetik saat dibaca. g. “Kupu-kupu melebarkan sayapnya tepat di depan bebungaan di mana kami duduk. Ia pun melebarkan jangkauan tangannya di mana tangan saya sedang diam merunduk. Mencoba meredam tawa saya yang sudah terdengar seperti orang mabuk. Tenang gerakannya sangat saya tahu sebenarnya memendam rasa amuk. Karena itu segera saya kibaskan tangan itu berpura-pura menghalau nyamuk.” Pada cuplikan berikut terdapat perulangan rima akhri /uk/. Seperti pada dua bagian sebelumnya, rima akhir /uk/ bertujuan memberi efek estetik saat dibaca. Bisa saja pengarang memilih menggunakan kata ‘marah’ daripada kata ‘amuk’, namun pengarang lebih memilih yang kedua karena untuk menyesuaikan kata-kata di akhir kalimat-kalimat sebelumnya. I.1.2



Pemanfaatan Bahasa Daerah



Pada cerpen “TUNGGU!” terdapat pemanfaatan bahasa daerah. Walaupun tidak banyak, tetapi ada beberapa kata dari bahasa daerah yang digunakan dengan tujuan untuk memberi efek yang pas dibanding apabila menggunakan bahasa Indonesia secara benar. Pemanfaatan bahasa daerah terlihat dalam cuplikan cerpen berikut. a. “Badiout? Platoy? Badut yang letoi, begitu yang selalu ada di dalam kepala saya tercantol.” Pada cuplikan cerpen tersebut, penulis menggunakan kata “letoi” untuk menjelaskan si Badut. Kata ‘letoi’ digunakan untuk menyesuaikan kata yang dipakai sebelumnya. Yaitu kata ‘badiout’ dan ‘platoy’ yang digabungkan oleh penulis dan menimbulkan kesan bunyi ‘badut letoi’. Kata ‘letoi’ berasal dari bahasa Betawi yang berarti lemas tak bertulang. Sehingga dari hal tersebut dapat terlihat bahwa cerpen ini memanfaatkan bahasa daerah untuk menimbulkan kesan estetik dalam teks. b. “Boleh saya pakai bangkunya, Mbak?” Pada cuplikan cerpen tersebut terdapat pemanfaatan bahasa daerah dari bahasa Jawa yaitu kata ‘Mbak’. Kata ‘Mbak’ memang berasal dari bahasa Jawa, namun untuk saat ini kata tersebut sudah digunakan secara universal sebagai kata sapaan bagi wanita muda. I.1.3



Pemendekan Kata



a. “Waktu menunjuk pukul tujuh.” Terjadi pemendekan kata pada kata ‘menunjuk’. Kata tersebut lazimnya digunakan secara lengkap dengan bentuk ‘menunjukkan’. Penulis lebih memilih menggunakan kata ‘menunjuk’ untuk menyesuaikan kata-kata sesudahnya. Karena dalam cerpen ini kalimat-kalimat yang digunakan cenderung singkat dengan kata-kata yang singkat pula. b. “Namun tak bisa mengeluh. Kecuali pada ponsel yang suaranya tak juga melenguh.”



Ciri khas cerpen ini yang terletak pada kata-katanya yang pendek menyebabkan pengarang lebih memilih menggunakan kata ‘tak’ dibanding kata ‘tidak’. I.1.4



Penggunaan Bentuk Ulang



a. “Sangat-sangat lepas melebihi tawa-tawa dengannya yang sudah hangus.” Kata ulang yang terdapat dalam cuplikan tersebut digunakan untuk memberi suasana tentang banyaknya tawa yang ada atau sudah terjadi. b. “Kupu-kupu melebarkan sayapnya tepat di depan bebungaan di mana kami duduk.” Kata ‘bebungaan’ pada cuplikan cerpen tersebut merupakan kata ulang yang tidak utuh. Kata tersebut menunjukkan situasi banyak dan beragamnya jenis bunga-bunga. c. “Karena itu segera saya kibaskan tangan itu berpura-pura menghalau nyamuk.” Pengulangan kata juga terjadi pada kata ‘berpura-pura’. Kata tersebut digunakan untuk menenujukan bahwa adegan mengibaskan tangan itu hanyalah gerakan kamuflase untuk mengusir kupu-kupu. d. “Persis seperti apa yang dilakukan badut-badut ketika berada di atas arena.” Kata ulang yang terdapat dalam cuplikan tersebut digunakan untuk memberi suasana tentang banyaknya badut yang ada. e. “Disertai dengan sorak-sorai dan tawa menggunung.” Kata ‘sorak-sorai’ digunakan untuk memberi kesan ramainya tawa yang terjadi. Kata tersebut sesuai dengan kata-kata berikutnya yaitu kata ‘tawa menggunung’.



I.1.5



Pemanfaatan Kata Majemuk



a. “Karena berdekatan dengan pujaan hati, katanya.”



Kata ‘pujaan hati’ merupakan kata majemuk yang bermakna kekasih. Kata tersebut lebih memiliki efek puitis dibandingkan dengan kekasih. Selain itu, pujaan hati lebih memiliki makna yang tersirat dibanding langsung menggunakan kata kekasih. b. “Dan selalu ada garis merah di bawah mata mereka seperti air mata.” Kata majemuk juga dimanfaatkan dengan digunakannya kata ‘air mata’. Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan atau untuk perumpamaan atas adanya garis merah di bawah mata. Walaupun tidak diketahui pasti apakah itu air mata atau bukan, penulis memberi gambaran seperti itu untuk memberi kesan lebih mendalam tentang keadaan bmenyedihkan badut-badut dalam cerpen tersebut. c. “Dan warna-warni serpihan kembang api itu jatuh ke bahunya.” Kembang api juga merupakan kata majemuk yang dimanfatakan oleh penulis untuk memberi penegasan atas apa yang terjadi pada tokoh antagonis dalam cerita. Bahwa ada kembang api yang seolah-olah menyala di atas kepala tokoh antagonis. Pemakaian istilah tersebut memberikan efek lebih puitis terhadap cerita. I.1.6



Penggunaan Kalimat Pendek Pada cerpen “TUNGGU!” penulis lebih banyak menggunakan kalimat-



kalimat pendek untuk menimbulkan kesan singkat, ringkas, dan padat. Penulis tidak bertele-tele dalam menyampaikan cerita. Melalui kalimat-kalimat pendek tersebut penulis mengajak pembaca menebak inti dan arti cerita tersebut. Salah satu contoh penggunaan kalimat pendek terdapat dalam cuplikan berikut. “Waktu menunjuk pukul tujuh. Di sudut kafe ketiak saya berpeluh. Namun tak bisa mengeluh. Kecuali pada ponsel yang suaranya tak juga melenguh.”



Selain itu, dalam cerpen ini juga penulis menggunakan kalimat yang diungkapkan hanya dengan satu kata. Contohnya seperti dalam kutipan berikut.



“Saya memotong kalimatnya. Persis seperti apa yang dilakukan badutbadut ketika berada di atas arena. Berteriak ketika ada yang mengolokoloknya.



Terjatuh.



Mengaduh.



Berlari.



Tanpa



berani



memaki.



Menghilang ke balik panggung. Disertai dengan sorak-sorai dan tawa menggunung.” Dalam cuplikan tersebut terdapat kata ‘terjatuh’, ‘mengaduh’, dan ‘berlari’. Apabila tidak masuk dalam suatu konteks, unsur-unsur tersebut hanya sebuah kata. Namun karena sudah masuk dalam suatu wacana, unsur tersebut dikatakan sudah menjadi sebuah kalimat. Penggunaan satu kata sebagai kalimat juga bertujuan memberi efek singkat dalam penyampaian cerita tersebut. I.2 Bahasa Figuratif dan Citraan I.2.1 a.



Gaya Bahasa Kias



Perbandingan (simile) Gaya bahasa kias yang pertama digunakan oleh penulis adalah



perbandingan atau simile. Melalui gaya bahasa ini, penulis menggambarkan suatu keadaan dengan keadaan lain agar pembaca mudah membayangkan apa yang terjadi. Kutipan pertama menunjukkan tentang garis merah di bawah mata badut yang dibandingkan oleh penulis dengan air mata. “Dan selalu ada garis merah di bawah mata mereka seperti air mata.” Kemudian perumpamaan selanjutnya digunakan oleh penulis untuk menggambarkan



tokoh



utama



yang



tertawa.



Pada



cuplikan



berikut



menggambarkan tokoh utama yang tawanya sudah tidak beraturan seperti orang mabuk sehingga perlu diredam. “Mencoba meredam tawa saya yang sudah terdengar seperti orang mabuk.” b.



Personifikasi Personifikasi adalah gaya bahasa yang menggambarkan benda mati dapat



berlaku seolah-olah seperti benda hidup. Personifikasi terdapat dalam cuplikan berikut.



“Ketika serpihan kembang api itu melumatnya.” Gaya tersebut digunakan oleh penulis untuk menggambarkan bagaimana serpihan kembang api mampu melumat manusia. Melumat adalah hal yang hanya mungkin dilakukan oleh makhluk hidup. Yaitu proses menghancurkan sampai remuk, tetapi oleh penulis kata ‘melumat’ digunakan untuk menggambarkan kembang api yang mampu melumat. Hal tersebut digunakan dengan tujuan memberi efek estetik dan puitik dalam cerita. c.



Sinekdoki Sinekdoki merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk mewakili



sebagian atau keseluruhan suatu benda. Dalam cerpen ini tedapat sinekdok pars pro toto, yaitu suatu kata yang digunakan untuk mewakili keseluruhan benda. Hal tersebut tampak dalam cuplikan berikut. “Badiout? Platoy? Badut yang letoi, begitu yang selalu ada di dalam kepala saya tercantol.” Kata ‘Badiout? Platoy?’ merupakan kata yang digunakan penulis untuk mewakili nama-nama penulis besar yang tidak dipahami oleh tokoh utama. Mungkin maksudnya adalah ‘Baudelaire’ dan ‘Plato’. Namun karena tokoh utama tidak paham siapa tokoh yang dimaksud, dia menangkapnya seperti itu. I.2.2 a.



Sarana Retorika



Hiperbola Hiperbola merupakan sarana yang digunakan untuk memberi gambaran



penyangatan atas suatu hal. Seperti pada cuplikan berikut. “Sangat-sangat lepas melebihi tawa-tawa dengannya yang sudah hangus.” Pada cuplikan tersebut, digambarkan bahwa tawa yang terjadi saat itu lebih lepas dibanding tawa-tawa lain yang sudah berlalu. Selain itu, sarana hiperbola juga terdapat dalam cuplikan berikut. “Disertai dengan sorak-sorai dan tawa menggunung.” Cuplikan tersebut menggambarkan tawa yang terjadi secara berlebihan bersama dengan sorak-sorai dari penonton. Sebenarnya penulis bisa saja



menggunakan kata ‘tawa’ saja, namun untuk menimbulkan kesan lebih maka pengarang menambahkan kata ‘menggunung’ menjadi ‘tawa menggunung’. I.2.3 a.



Citraan



Imaji Penglihatan (visual) Imaji penglihatan merupakan citraan yang ditampilkan oleh indra



penglihatan atau mata. Seperti pada cuplikan berikut ini. “Sehingga ia kelihatan lucu dan mungkin bagus.” Penulis menggambarkan bahwa tokoh utama sedang meilhat badut dengan perut buncit yang dibuat-buat yang mungkin dapat menyebabkan orang-orang yang melihat merasa itu lucu dan bagus. Contoh lain imaji penglihatan terdapat dalam cuplikan berikut. Yaitu tentang tokoh utama yang melihat bahwa di pertunjukan sirkus manapun ia hanya akan menemukan badut yang letoi. “Melihat badut yang itu-itu saja di setiap pertunjukan sirkus apa pun dan di mana pun juga. Badut yang letoi.” b.



Imaji Pendengaran (auditory) Imaji penglihatan merupakan citraan yang ditampilkan oleh indra



pendengaran atau telinga. Seperti pada cuplikan berikut ini. “Mencoba meredam tawa saya yang sudah terdengar seperti orang mabuk.” Penulis memberi gambaran bahwa tokoh utama sedang tertawa. Dan tawanya itu terdengar seperti orang mabuk. Gambaran seperti itu yang bisa diungkapkan melalui imaji pendengaran. c.



Imaji Gerak (movment) Imaji gerak merupakan citraan yang digambarkan melalui kinestetik



manusia. Seperti pada kutipan berikut. “Di sudut kafe ketiak saya berpeluh.” Kutipan tersebut menunjukkan citraan tentang ketiak yang berkeringat. Digambarkan hal tersebut dapat dirasa karena ketiak tersebut berpeluh dan terasa basah.



Selanjutnya imaji gerak juga terdapat dalam cuplikan berikut. Cuplikan ini menggambarkan citraan gerak tangan dari tokoh utama yang berpura-pura menghalau nyamuk. “Karena itu segera saya kibaskan tangan itu berpura-pura menghalau nyamuk.” d.



Warna lokal (local colour) Warna lokal merupakan citraan yang ditimbulkan akibat penggunaan



istilah-istilah dari warna lokal. Seperti yang terdapat dalam cuplikan berikut. ”Boleh saya pakai bangkunya, Mbak?” Kata ‘mbak’ merupakan kata sapaan yang berasal dari bahasa Jawa. Kata tersebut digunakan oleh penulis untuk menggambarkan bahwa tokoh utama adalah seorang wanita yang masih muda. Karena kata ‘mbak’ merupakan kata sapaan untuk wanita muda. Secara tidak langsung penulis menjelaskan bahwa tokoh utama tersebut masih muda. II. SIMPULAN Simpulan dari analisis cerpen “TUNGGU!” karya Djenar Maesa Ayu menggunakan pendekatan stilistika adalah bahwa dalam cerpen ini penulis cenderung menggunakan kalimat-kalimat singkat dengan kata-kata yang singkat pula. Hal tersebut tampak pada dimanfaatkannya teknik pemendekan kata oleh penulis. Selain itu penulis juga menggunakan kata majemuk, pengulangan kata, dan gaya bahasa serta citraan selain untuk mempertegas maksud dari penulis itu sendiri juga untuk memberi kesan atau efek yang lebih puitik dan estetik.



DAFTAR PUSTAKA Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.



Pradopo, Rachmad Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.



Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.



Supriyanto, Teguh. 2014. Kajian Stilistika dalam Prosa. Yogyakarta: Elmatera Publishing.



Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Girimukti Pasaka.