Makalah Al - Islam & Kemuhammadiyahan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH AL – ISLAM & KEMUHAMMADIYAHAN “ AQIDAH, FIQH, DAN AKHLAK “



DISUSUN OLEH



:



1. CHRISTY OKTAVIANA



NIM



: 20171660053



2. SITI SOLICHA



NIM



: 20171660077



3. SRI WAHYUNI



NIM



: 20171660133



4. NUR AIDA PRATIWI



NIM



: 20171660134



PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN B / TRANSFER FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA TAHUN 2017



BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar belakang Manusia merupakan makhluk yang sangat rentan digoda oleh setan. Oleh karena itu, manusia harus memiliki sesuatu yang dapat menjadi pegangan dalam hidupnya. Yaitu ialah Aqidah, Akhlak dan Fiqih. Aqidah, Akhlak dan Fiqih sangat erat hubungannya dan tidak dapat dipisahkan dan sangatlah diperlukan dalam kehidupan agar kehidupan tidak berjalan seperti layaknya kehidupan dizaman jahiliyah. Namun, pada saat ini manusia dimuka bumi banyak sekali yang tidak lagi memperhatikan apa itu aqidah, akhlah, dan fiqih yang sebenarnya bahkan sama sekali tidak tahu, sehingga banyak manusia yang hidup dalam keraguan dan kebimbangan. Agar terciptanya kehidupan yang sesuai ajaran islam perlu untuk memahami apa itu aqidah, akhlak, dan fiqih. Dalam makalah ini, kami akan mencoba menjelaskan kepada pembaca apa itu aqidah, akhlak, dan fiqih, baik dalam segi makna kedudukan dan sebagainya.



1.2



Rumusan masalah 1. Apa pengertian aqidah, akhlak, dan fiqih 2. Ruang lingkup bahasa akidah 3. Perbedaan aqidah, akhlak, dan fiqih



1.3Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian dari aqidah, akhlak, dan fiqih 2. Untuk mengetahui Ruang lingkup bahasa aqidah 3. Untuk mengetahui perbedaan aqidah, akhlak, dan fiqih



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 DEFINISI 1. Pengertian Aqidah Aqidah secara bahasa berasal dari kata ( ‫ )عقد‬yang berarti ikatan. Secara istilah adalah keyakinan hati atas sesuatu. Kata ‘aqidah’ tersebut dapat digunakan untuk ajaran yang terdapat dalam Islam, dan dapat pula digunakan untuk ajaran lain di luar Islam. Sehingga ada istilah aqidah Islam, aqidah nasrani; ada aqidah yang benar atau lurus dan ada aqidah yang sesat atau menyimpang. Dalam ajaran Islam, aqidah Islam (al-aqidah al-Islamiyah) merupakan keyakinan atas sesuatu yang terdapat dalam apa yang disebut dengan rukun iman, yaitu keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta taqdir baik dan buruk. Hal ini didasarkan kepada Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Shahabat Umar bin Khathab radiyallahu anha yang dikenal dengan ‘Hadits Jibril’.  Kedudukan Aqidah dalam Islam Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan. Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal. Allah subahanahu wata`ala berfirman, .‫حد ًا‬ َ َ‫أ‬



‫صا ِل ًحا َوالَيُ ْش ِركُ ِب ِعبَادَةِ َر ِبِّ ِه‬ َ ً‫فَ َم ْن َكانَ يَ ْر ُجوا ِلقَآ َء َر ِبِّ ِه فَ ْليَ ْع َم ْل َع َمال‬



Artinya: “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110) Allah subahanahu wata`ala juga berfirman,



َ ‫ت لَيَ ْح َب‬ . َ‫س ِرين‬ َ ‫ى ِإلَي َْك َو ِإلَى الَّذِينَ ِمن قَ ْب ِل َك َلئِ ْن أ َ ْش َر ْك‬ ِ ‫ط َّن َع َملُ َك َولَت َ ُكون ََّن ِ ِّمنَ ْالخَا‬ ِ ُ ‫َولَقَ ْد أ‬ َ ‫وح‬ Artinya: “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa jika engkau betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. azZumar: 65)



Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah salallahu `alaihi wasalam berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.  SUMBER, METODE DAN CARA PENGAMBILAN AQIDAH ISLAM 1. Sumber-sumber Aqidah Islam Aqidah Islam adalah sesuatu yang bersifat tauqifi, artinya suatu ajaran yang hanya dapat ditetapkan dengan adanya dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Maka, sumber ajaran aqidah Islam adalah terbatas pada al-Quran dan Sunnah saja. Karena, tidak ada yang lebih tahu tentang Allah kecuali Allah itu sendiri, dan tidak ada yang lebih tahu tentang Allah, setelah Allah sendiri, kecuali Rasulullah salallahu `alaihi wasalam. 1. Metode Memahami Aqidah Islam dari Sumber-sumbernya Menurut Para Shahabat Generasi para shahabat adalah generasi yang dinyatakan oleh Rasululah sebagai generasi terbaik kaum muslimin. Kebaikan mereka terletak pada pemahaman dan sekaligus pengamalannya atas ajaran-ajaran Islam secara benar dan kaffah. Hal ini tidak mengherankan, karena mereka adalah generasi awal yang menyaksikan langsung turunnya wahyu, dan mereka mendapat pengajaran dan pendidikan langsung dari Rasulullah salallahu `alaihi wasalam. Setelah generasi shahabat, kualifikasi atau derajat kebaikan itu diikuti secara berurutan oleh generasi berikutnya dari kalangan tabi’in, dan selanjutnya diikuti oleh generasi tabi’ut tabi’in. Tiga generasi inilah yang secara umum disebut sebagai generasi salaf. Rasulullah bersabda tentang mereka,



…‫اس قَ ْر ِني ث ُ َّم الَّ ِذيْنَ َيلُ ْونَ ُه ْم ث ُ َّم الَّ ِذيْنَ َيلُ ْو َن ُه ْم‬ ِ َّ‫َخي ُْر الن‬ Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah generasi pada masaku, lalu generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya…” (H.R. Bukhari dan Muslim) Generasi salaf yang shalih (al-salaf al-shalih) mengambil pemahaman aqidah dari alQuran dan sunnah dengan metode mengimani atau meyakini semua yang diinformasikan



(ditunjukkan) oleh kedua sumber tersebut. Dan apa saja yang tidak terdapat dapat dalam kedua sumber itu, mereka meniadakan dan menolaknya. Mereka mencukupkan diri dengan kedua sumber tersebut dalam menetapkan atau meniadakan suatu pemahaman yang menjadi dasar aqidah atau keyakinan. Dengan metode di atas, maka para shahabat, dan generasi berikutnya yang mengikuti mereka dangan baik (ihsan), mereka beraqidah dengan aqidah yang sama. Di kalangan mereka tidak terjadi perselisihan dalam masalah aqidah. Kalau pun ada perbedaan, maka perbedaan di kalangan mereka hanyalah dalam masalah hukum yang bersifat cabang (furu’iyyah) saja, bukan dalam masalah-masalah yang pokok (ushuliyyah). Seperti ini pula keadaan yang terjadi di kalangan para imam madzhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah (th. 699-767 M), Imam Malik (tahun 712-797), Imam Syafi’i (tahun 767-820), dan Imam Ahmad (tahun 780-855 M). Karena itulah, maka mereka dipersaksikan oleh Rasulullah saw sebagai golongan yang selamat, sebagaimana sabda beliau,



‫ص َحابِى‬ ْ َ ‫ َما أَنَا َعلَ ْي ِه َوأ‬: ‫قَا َل‬ Artinya: “Mereka (golongan yang selamat) adalah orang-orang yang berada di atas suatu prinsip seperti halnya saya dan para shahabat saya telah berjalan di atasnya.” (H.R. Tirmidzi) 2. Pengertian Akhlak Kata “akhlak” berasal dari bahasa arab yaitu ” Al-Khulk ” yang berarti tabeat, perangai, tingkah laku, kebiasaan, kelakuan. Menurut istilahnya, akhlak ialah sifat yang tertanam di dalam diri seorang manusia yang bisa mengeluarkan sesuatu dengan senang dan mudah tanpa adanya suatu pemikiran dan paksaan. Sedangkan menurut para ahli, pengertian akhlak adalah sebagai berikut: 



Imam al-Ghazali : “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatanperbuaatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.







Ibnu maskawih : “ Akhlak adalah gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan dengan tidak membutuhkan pikiran”.







Ahmad amin : “Akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.



Disamping akhlak, moral dan etika juga sama-sama menentukan nilai baik dan buruk seseorang. Bedanya akhlak mempunyai standar ajaranyang bersumber kepada al-Qur’an dan sunnah Rasul, etika berstandarkan akal pikiran sedangkan moral berstandarkan adat atau kebiasaan yang terdapat didalam masyarakat. 



Ibrahim Anis: “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macammacam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”.







Abdul karim Zaidan: “Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatanya baik atau buruk untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkanya”. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan manusia baru disebut akhlak kalau terpenuhi dua syarat, yaitu: Perbuatan itu dilakukan berulang-ulang. Kalau perbuatan itu hanya dilakukan sesekali saja, maka tidak dapat disebut akhlak. Misalnya, pada suatu ketika, orang yang jarang berderma tiba-tiba memberikan uang atau bantuan kepada orang lain, karena alasan tertentu. Dengan tindakan ini ia tidak dapat disebutorang yang murah hati atau disebut sebagai orang berakhlak dermawan. Karena hal itu tidak melekat pada jiwanya. Lebih jauh tentang keterulangan perbuatan manusia, yang selanjutnya disebut akhlak, Ahmad Amin dalam bukunya al-Akhlak menyatakan bahwa pada dasarnya akhlak itu adalah membiasakan kehendak (‘adah al-iradah). Kata membiasakan disini dipahami dalam pengertian melakukan sesuatu secara berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan (‘adah). Adapun yang dimaksud dengan kehendak (iradah) adalah menangnya keinginan untuk melakukan sesuatu setelah mengalami kebimbangan untuk menentukan pilihan terbaik di antara beberapa alternatif. Apabila iradah sering terjadi pada seseorang, maka akan terbentuk pola yang baku, sehingga selanjutnya tidak perlu membuat pertimbangan-pertimbangan lagi, melainkan secara langsung melakukan tindakan yang telah dilaksanakan tersebut. Perbuatan itu timbul dengan mudah tanpa dipikir atau diteliti terlebih dahulu sehingga benar-benar merupakan suatu kebiasaan. Jika perbuatan itu timbul karena terpaksa atau setelah difikir dan dipertimbangkan terlebih dahulu secara matang, tidak disebut akhlak. Ada dua hal yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukur kebiasaan: (1) ada kecenderungan hati padanya, (2) ada pengulangan yang cukup banyak, sehingga mudah mengerjakanya tanpa memerlukan fikiran lagi. Selanjutnya, kesan yang diperoleh dari uraian di atas adalah bahwa istilah akhlak itu bersifat netral, belum menunjukan kepada baik dan buruk. Namun demikian, apabila istilah akhlak itu disebut sendirian, tidak dirangkai dengan sifat tertentu,



maka yang dimaksud adalah akhlak yang mulia. Misalnya bila seseorang berlaku tidak sopan kita mengatakan kepadanya: “Kamu tidak berakhlak”. Maksudnya adalah “kamu tidak memiliki akhlak mulia”, dalam hal ini sopan santun.  Pembagian Akhlak Segala sesuatu yang ada di dunia ini jika kita perhatikan, maka akan jelas bahwa semuanya ini berpasang-pasangan. Ada siang dan malam, ada hujan dan panas, ada laki-laki dan perempuan, ada ahklak mahmudah dan mazmumah dan sebagainya. 1. akhlak mahmudah akhlak mahmudah artinya: akhlak terpuji, contoh akhlak mahmudah adalah: 1. Sabar, adalah mampu menahan diri atau mampu mengendalikan amarah. 2. Ikhlas, adalah mengejakan sesuatu amal hanya semata-mata karena Allah, yakni harus mengharap ridhoNya. 3. Jujur, adalah mengatakan sesuatu itu dengan apa adanya dan harus dengan hati yang lurus. 4. Pemaaf, adalah orang yang memberikan maaf kepada peminta maaf yang menyadari kesalahannya. 5. Pemurah, adalah sikap seseorang yang ringan untuk mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain, 6. Menepati janji, adalah orang yang datang ketempat yang sudah disepakati sebelumnya. 2. akhlak mazmumah ahklak mazmumah adalah akhlak yang buruk atau tercela, contoh akhlak mazmumah adalah: 1. Ujub dan Takabur Ujub adalah mengagumi kemampuan dirinya sendiri. Sedangkan takabur, adalah membanggakan diri karena dirinya merasa lebih dari pada yang lain. 2. Ria dan Sum’ah Ria adalah beramal baik dan bermaksud ingin memperoleh pujian orang lain. Sedangkan sum’ah, adalah berbuat atau berkata agar didengar orang lain sehingga namanya jadi terkenal 3. Malas dan Tamak



Malas adalah enggan atau tidak mau melakukan sesuatu, dan Tamak( serakah) adalah terlalu bernafsu untuk memiliki sesuatu yang berguna bagi dirinya sendiri. 4. Dendam dan Iri hati Dendam adalah keinginan untuk membalas kejahatan yang dilakukan orang lain atas dirinya. Dan Iri hati adalah perasaan tidak senang apabila melihat orang lain mendapat kesenangan. 5. Fitnah dan Penipuan Fitnah adalah berita bohong atau desas- desus tentang seseorang dengan maksud yang tidak baik. Sedangkan penipuan adalah perkataan atau perbuatan tidak jujur dengan maksud menyesatkan seseorang dan mencari untung dari perbuatannya tersebut. 6. Bohong dan Khianat Bohong adalah dusta, berarti tidak sesuaidengan keadaan yang sebenarnya., sedangkan Khianat adalah perbuatan tidak setia terhadap pihak lain. 7. Bakhil dan Takut miskin Bakhil adalah perasaan tidak rela memberikan sesuatu kepada orang lain atau untuk kepentingan agama. Dan Takut miskin adalah rasa cemas akan menderita hidupnya karena kekurangan harta.  KEDUDUKAN DAN KEISTIMEWAAN AKHLAK DALAM ISLAM 1. Rasulullah SAW menempatkan penyempurnaan akhlak yang mulia sebagai misi pokok risalah Islam. 2. Akhlak merupakan salah satu ajaran pokok Islam 3. Akhlak yang baik akan memberatkan timbangan kebaikan sesorang nanti pada hari kiamat 4. Rasulullah menjadikan baik buruknya akhlak seseorangsebagai ukuran kualitas imanya 5. Islam menjadikan akhlak yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada allah SWT.Lihat nash tentang shalat puasa dan haji 6. Nabi Muhammad SAW selalu berdo’aagar Allah SWT membaikan akhlak beliau. 7. Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang berhubungan dengan akhlak.



3. Pengertian Fiqih Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah: “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An Nisa: 78) dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.”(Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)  Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti: 1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad. 2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukumhukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).  Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya. Penjelasannya sebagai berikut: Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:



1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah. 2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah. 3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah. 4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah. 5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat. 6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar. 7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak. Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.  Sumber-Sumber Fiqh Islam Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber: 1. Al-Qur’an Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh: Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)



Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu. 2. As-Sunnah As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan. Contoh perkataan/sabda Nabi: “Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708) Contoh perbuatan: Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab:“Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.” Contoh persetujuan: Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab,“sesungguhnya saya belum shalat sunat dua



rakaat



sebelum



subuh,



maka



saya



kerjakan



sekarang.”



Lalu



Nabishollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya. As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)



Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi lakilaki. 3. Ijma’ Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar). Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396) Contohnya: Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak. Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya. 4. Qiyas Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’. Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’. Rukun Qiyas Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil). 2. Masalah yang akan diqiyaskan. 3. Hukum yang terdapat pada dalil.



4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan. Contoh: Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer. 2.2 Ruang lingkup Aqidah Hassan al-Banna pernah membuat sistematika ruang lingkup aqidah, yaitu sebagai berikut : a. Ilahiyat Ilahiyat adalah pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan ilah (Allah), seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, perbuatan-perbuatan (Af’al) Allah dan lain-lain. b. Nubuwat Nubuwat adalah pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembicaraan mengenai Kitab-Kitab Allah, Mukjizat, Keramat dan sebagainya. c. Rukhaniyat Rukhaniyat adalah pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik, seperti setan, jin iblis, malaikat, roh dan sebagainya. d. Sam’iyat Sam’iyat adalah pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’iyat, yakni dalil naqli berupa al-Qur’an dan al-Sunnah, seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, neraka, surga, dan sebagainya. Di samping sistematika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistematika arkanul iman, yaitu : 1. Iman kepada Allah SWT. 2. Iman kepada malaikat. 3. Iman kepada kitab-kitab Allah. 4. Iman kepada nabi dan rasul Allah. 5. Iman kepada hari akhir. 6. Iman kepada qadha dan qadar Allah. Sumber :Elmubarok, Zaim, dkk. 2016. Islam Rahmatan Lil'alamin. Semarang : Unnes Press.



2.2 Perbedaan Aqidah, Akhlak dan Akhlak Aqidah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti wajib dimiliki oleh setiap orang di dunia. Alquran mengajarkan akidah tauhid kepada kita yaitu



menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak beranak-pinak. Percaya kepada Allah SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.Sedangkan aqidah yang telah tertanam akan menunjukkan peribadahan (syariat) yang lebih baik, sebagai hasilnya dia akan berperilaku lebih baik pula, sehingga aqidah dapat mempercantik akhlak seseorang. Ini karena keduanya saling keterkaitan antara aqidah dan akhlak. Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhlakul karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT mengutus Nabi Muhammd SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlaq. Setiap manusia harus mengikuti apa yang diperintahkanNya dan menjauhi laranganNya. Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalildalil yang jelas (tafshili). Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”



BAB IV PENUTUP 4.1 KESIMPULAN Aqidah, Akhlak, dan Fiqih pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Aqidah sebagai system kepercayaan yg bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan, menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yg hendak dicapai agama. Muslim yang baik adalah orang yg memiliki aqidah yg lurus dan kuat yg mendorongnya untuk melaksanakan syariah yg hanya ditujukan pada Allah sehingga tergambar akhlak yg terpuji pada dirinya. Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yg melakukan suatu perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau keimanan, maka orang itu termasuk ke dalam kategori kafir. Seseorang yg mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak mau melaksanakan syariah, maka orang itu disebut fasik. Sedangkan orang yg mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah yg tidak lurus disebut munafik. Aqidah, syariah dan akhlak dalam Al-Qur’an disebut iman dan amal saleh. Iman menunjukkan makna aqidah, sedangkan amal saleh menunjukkan pengertian syariah dan akhlak. Seseorang yg melakukan perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi Aqidah, maka perbuatannya hanya dikategorikan sebagai perbuatan baik. Perbuatan baik adalah perbuatan yg sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi belum tentu dipandang benar menurut Allah. Sedangkan perbuatan baik yg didorong oleh keimanan terhadap Allah sebagai wujud pelaksanaan syariah disebut amal saleh. Kerena itu didalam Al-Qur’an kata amal saleh selalu diawali dengan kata iman.