Makalah Analisis Kasus Malpraktik Rumah Sakit Umum M. Yunus Bengkulu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Karya tulis dibawah ini merupakan murni hasil analisis dari: Nama : Raden Zulfikar Soepinarko Putra NPM : 2011 200 206 Kelas : A Adapun semua sumber telah dicantumkan pada catatan kaki. Apabila ada kesalahan penulisan ataupun substansi mohon sekiranya dimaklumi. Terima kasih.



KASUS POSISI Kasus Malpraktik di Tanah Air terasa kurang mendapat perhatian. Tak jarang, kasus itu pun menguap begitu saja. Padahal, pasien yang menjadi korban malpraktik cukup banyak. Ironisnya, pasien dan keluarga korban sericng diperlakukan tak adil. Usaha mereka untuk mendapatkan keadilan pun kerap membentur tembok (di tingkat kepolisian-Red). Karena, pembuktian masalah itu cukup rumit. Buntutnya, polisi enggan meneruskan kasus itu ke pengadilan.



Contoh, yang baru-baru ini terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. Yunus Bengkulu. Seperti biasa, rumah sakit itu dipadati pasien. Satu di antara pasien yang datang adalah Arief Budiasa (16), putra bungsu Keluarga Djuharman. Kaki sebelah kanan Arief patah. Hasil diagnosis dokter menyebutkan, pemuda yang bercita-cita menjadi pilot itu harus menjalani operasi. Pada 22 Maret 2001, Arief dinyatakan siap dioperasi. Sekitar pukul 10.00 WIB, dokter spesialis ortopedi Dicky Rachamaniady dan asistennya, serta dibantu beberapa perawat membedah kaki Arief. Sampai di situ, semua masih berjalan normal.



Keadaan mulai berubah 180 derajat saat Dicky memasukkan gas N2O dan oksigen melalui hidung Arief untuk pembiusan. Kala itu, pembedahan sempat dihentikan beberapa saat. Sebab, tubuh Arief bereaksi tak seperti yang dikehendaki. Operasi baru



dilanjutkan setelah tubuh pasien kembali normal. Tapi setelah pembedahan pengambilan dan pemasangan pen hampir kelar, tiba-tiba tekanan darah Arief drop. Masalah jadi tak sederhana. Segala usaha standar prosedural kedokteran dilakukan untuk menyelamatkan Arief. Sial, Arief tak terselamatkan.



Mendung duka langsung menyelimuti keluarga Djuharman-Yusmana. Bahkan, Yusmana sempat berang saat mengetahui anaknya mati karena gas beracun. "Rasanya, ingin aku cekik saja dokter itu," kata Nyonya Yusmana, ibunda Arief, emosi. Perasaan serupa juga dialami Djuharman. Namun, kini Djuharman pasrah dan menyerahkan semuanya pada Yang Kuasa. "Saya sadar, toh nantinya semua orang akan mati," ujar Djuharman.



Duka mendalam juga menyelimuti keluarga almarhum Syaifuddin (59), keesokan harinya. Ironisnya, kematian Syaifuddin serupa dengan Arief. Nyonya Fauziyah, istri alamarhun Syaifuddin, memaparkan padahal sebelum operasi kondisi suaminya prima. Lantaran itu, ia tak menduga bila operasi hidung--retak tulang hidung akibat kecelakaan--yang dijalani suaminya justru menjadi awal perpisahan abadi. Kini, Faudziah terpaksa harus membanting tulang seorang diri untuk menghidupi ketiga anaknya. "Suami saya meninggal saat dioperasi dokter Dody Sudjono Adipraja dan Diki," ungkap Fauziyah, tampak muram.



Kedua kasus itu mengundang perhatian kepolisian setempat. Sebab, selain terjadi dua hari berturut-turut, kedua pasien pun tewas dengan cara sama. Sebagai proses awal, polisi menangkap dua dokter yang dianggap bertanggung jawab pada saat proses operasi. "Setelah diselidiki, ternyata benar gas yang digunakan bukan N20. "Tapi, CO2," ungkap Kepala Direktorat Reserse Kepolisian Daerah Bengkulu Genot Hariyanto. Menurut Genot, bila keduanya terbukti bersalah, mereka bisa dijerat delik



Culpa karena kelalaian yang menyebabkan kematian. Pada 4 Februari 2002, kasus kedua dokter itu sudah mulai digelar di Pengadilan Negeri Bengkulu. Kini, kedua dokter itu berstatus tersangka.



Seusai persidangan Dicky mengaku sama sekali tak mengetahui bahwa gas yang keluar dari konektor bertanda N20 itu berisi C02. "Demi Allah, saya sama sekali tak mengetahui," kata dokter yang baru setahun tinggal di Bengkulu itu. Ia menjelaskan, pada saat kejadian semua petugas yang berada di ruangan operasi juga telah bertindak sebisa mungkin untuk menyelamatkan pasien. "Tapi, ternyata Tuhan berkendak lain," ungkap dokter yang pernah bertugas secara suka rela di Irian Jaya, dan menuntaskan pendidikan spesialis ortopedi pada 2001 itu, merasa diperlakukan tak adil.



Ungkapan tak bersalah juga diutarakan Dodi. Bahkan, dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung itu mengaku sangat tertekan karena harus mempertanggungjawabkan kesalahan yang tak pernah dilakukannya. "Yang meninggal itu ketika diperiksa ternyata karena kesalahan CO2. Jadi, yang mestinya bertanggung jawab adalah bagian pengadaan tabung," paparnya.



Penahanan terhadap Dicky dan Dodi pun ditentang keras para dokter di RSUD Bengkulu. Menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kota Bengkulu Hamzah, kedua dokter itu sudah melakukan tindakan sesuai dengan standar operasional kedokteran. "Itu terjadi bukan lantaran kelalaian dokter yang menanganinya. Tapi, dari mana tabung itu didapatkan," katanya. Dukungan buat Dicky dan Dodi juga datang dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) wilayah Bengkulu. Sebaliknya, MKEK menilai, penahanan terhadap keduanya adalah pelecehan terhadap profesi dokter. "Dokter sudah bekerja dengan betul, tapi malah dianggap lalai," kata anggota MKEK wilayah Bengkulu, Boediono, miris.



Hal serupa juga dilontarkan Azi Ali Tjasa, kuasa hukum kedua terdakwa. Azi mangatakan, seharusnya polisi menyelidiki dahulu kenapa tabung berisi gas beracun itu sampai di ruang operasi. "Jadi jangan langsung menyalahkan dokter yang menangani operasi," jelasnya. Penilaian Azi diamini Direktur RSUD Bengkulu Suhardi M. Nur. Menurut Suhardi, seharusnya tabung beracun itu tak ada di rumah sakit. "Kesalahan itu bisa saja dilakukan pihak manajemen rumah sakit," ungkap dokter yang baru menjabat sebagai Direktur RSUD Bengkulu itu.



Setali tiga uang, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta menilai, yang paling bertanggung jawab atas tertukarnya gas CO2 adalah pihak manejemen rumah sakit. "Pasca penahanan kedua dokter spesialis itu berdampak cukup besar. Buktinya, para dokter di Bengkulu kini tak lagi memiliki rasa aman menjalankan profesi," papar Marius. Penilaian Marius dibenarkan Ketua MKEK wilayah Bengkulu Zaini Dahlan. Ia mengatakan ada 51 orang dokter yang akan pindah karena merasa sudah tak memiliki rasa aman bekerja. Sebab, mereka merasa sudah bekerja sesuai protap, tapi masih saja dihukum. Lantaran itu, mereka sepakat mau meninggalkan Bengkulu.



Agak berbeda, bekas Direktur RSUD Bengkulu Zayadi Hoesein mengatakan, jangan pernah menyalahkan pihak manajemen. Sebab, pihak manajemen hanya memesan dan kemudian diantarkan. "Jadi, jangan serta merta menyalahkan pihak manajemen," jelas Zayadi. Kontroversial masalah itu masih berlangsung. Meskipun kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit kian menurun karena pemberitaan kasus itu, namun masyarakat setempat menyayangkan jika para dokter meninggalkan Kota Bengkulu. "Akan banyak pasien yang terlantar. Padahal, hanya di RSUD Bengkulu, masyarakat



miskin bisa mendapat pengobatan murah," ungkap sebagian masyarakat. Lantas? (ICH/Tim Derap Hukum)1



ISU HUKUM Dari fakta-fakta hukum yang didapat pada kasus posisi diatas, maka dapat ditarik isu hukum, yaitu: Terjadi malpraktik pada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. Yunus Bengkulu yang mengakibatkan meninggalnya 2 orang pasien yang bernama Arief Budiasa (16) dan Syaifuddin (59) pada 22 dan 23 Maret 2001. Keduanya meninggal ketika sedang menjalani operasi oleh dokter spesialis ortopedi Dicky Rachamaniady dan Dody Sudjono Adipraja.



RUMUSAN MASALAH 1. Siapakah pihak yang bertanggungjawab atas meninggalnya Arief Budiasa (16) dan Syaifuddin (59)?



ANALISIS HUKUM Setelah ditelaah dari kasus posisi yang ada, maka ada beberapa pihak yang sekiranya dapat dimintakan pertanggungjawaban, antara lain: 1. Dr. Dicky Rachamaniady dan Dr. Dody Sudjono Adipraja; 2. Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. Yunus Bengkulu; 3. Pihak penyedia tabung oksigen. Seperti yang banyak diberitakan di media mengenai kasus ini, Dokter selaku orang yang berhubungan secara langsung dengan pasien-pasiennya yang kemudian 1 http://news.liputan6.com/read/28945/dokter-dianggap-lalai-dua-nyawamelayang diakses pada 3 September 2015



meninggal dunia, dianggap pihak yang paling kuat dituduhkan mengenai terjadinya malpraktik. Sebelum menganalisi lebih lanjut mengenai kasus, penulis akan menganalisis mengenai apa itu Malpraktik. Kata Malpraktik sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak dapat ditemukan artinya. Sehingga penulis akan merajuk kepada pengertian kata Malpraktik menurut kamus hukum. Menurut Black’s Law Dictionary: “Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually applied to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiciary duties, evil practice, or illegal or immoral conduct.” “Malpraktek adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk di dalamnya setiap sikap tindak profesional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-



hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk atau ilegal atau sikap immoral.” Sedangkan apabila kita menelaah makna kata Malpraktik pada hukum positif Indoneisa, maka tidak ditemukan pengertian mengenai malpraktik. Akan tetapi makna atau pengertian malpraktik justru didapati dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”) yang telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Oleh karena itu secara perundang-undangan, menurut Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H., ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan dapat dijadikan acuan makna malpraktik yang mengidentifikasikan malpraktik dengan melalaikan kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.2 Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan: (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip dalam hal sebagai berikut: a. melalaikan kewajiban; b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan; c. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan; d. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini.



2 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51314ec548bec/hukum-malpraktikdi-indonesia diakses pada 4 September 2015



Jadi, dilihat dari arti istilah malpraktik itu sendiri, malpraktik tidak merujuk hanya kepada suatu profesi tertentu sehingga dalam hal ini kami akan menjelaskan dengan merujuk pada ketentuan beberapa profesi yang ada. Tapi yang akan ditekankan pada karya tulis disini adalah malpraktik yang dilakukan oleh tenaga medik. Dari sekian definisi malpraktik, J. Guwandi menyimpulkan bahwa terdapat malpraktik bila: 1. ada tindakan atau sikap dokter yang bertentangan dengan etik dan moral; bertentangan dengan hukum; bertentangan dengan standar profesi medik (SPM); dan kurang pengetahuan atau ketinggalan ilmu pada bidangnya yang berlaku umum; dan 2. adanya kelalaian, kurang hati-hati atau kesalahan.3 Dari unsur-unsur diatas, jika diterapkan dalam kasus posisi yang ada, para dokter tersebut tidak berindikasi melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik dan moral, dokter juga tidak bertentangan dengan standar profesi medik (SPM), dokter tersebut juga tidak dapat dikatakan ketinggalan ilmu pada bidangnya. Tetapi ketika menerapkan unsur nomer 2, dokter tersebut bisa saja dikatakan telah melakukan kelalaian atau kekurang hati-hati. Karena ketika melakukan tindakan medik, semua harus diperhatikan hingga hal yang sekecil mungkin. Sehingga hal tersebut bisa meminimalisir adanya kesalahan. Apabila dokter tersebut benar-benar memperhatikan hal sekecil mungkin, maka kesalahan pemberian tabung oksigen tidak dapat terjadi. Tetapi apakah parameter/tolak ukur yang digunakan untuk menentukan kelalaian seseorang? Maka penulis akan menjelaskan pada paragraph berikutnya.



3 J. Guwandi, Kelalaian Medik, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1994



Dalam kasus ini, tidak dapat dikatakan juga ada kesalahan murni dari dokter atau tenaga medik saja, tetapi pihak lain diluar kegiatan medik pun dapat disalahkan. Sebutlah pihak penyedia tabung gas yang telah melakukan kelalaian dengan tidak sesuai memberikan tabung gas seperti yang dipesan oleh pihak rumah sakit. Dalam beberapa artikel lainnya dikatakan bahwa pihak rumah sakit telah melakukan pemesanan sesuai dengan kebutuhan. Tetapi apabila memang pihak rumah sakit pun melakukan pemesanan tabung gas CO2 dan kemudian tabung gas CO2 tersebut tertukar dengan tabung gas O2, maka hal tersebut murni kesalahan dari pihak manajemen rumah sakit. Karena pada umumnya tabung CO2 tidaklah seharusnya ada pada ruang operasi. Dalam hukum pidana, kelalaian (culpa) memiliki unsur tersendiri. Adapun culpa diatur dalam Pasal 359 KUHP: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Adapun unsur-unsur kelalaian menurut Jan Remmelink dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana (hal. 177) mengatakan bahwa pada intinya, culpa mencakup kurang (cermat) berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah. Menurut Jan Remmelink, ihwal culpa di sini jelas merujuk pada kemampuan psikis seseorang dan karena itu dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang menduga secara nyata (terlebih dahulu kemungkinan munculnya) akibat fatal dari tindakan orang tersebut – padahal itu mudah dilakukan dan karena itu seharusnya dilakukan.



Mengenai ukuran kelalaian dalam hukum pidana, Jan Remmelink (Ibid, hal. 179) mengatakan bahwa menurut MvA (memori jawaban) dari pemerintah, yang menjadi tolak ukur bagi pembuat undang-undang bukanlah diligentissimus pater familias (kehati-hatian tertinggi kepala keluarga), melainkan warga pada umumnya. Syarat untuk penjatuhan pidana adalah sekedar kecerobohan serius yang cukup, ketidakhatihatian besar yang cukup; bukan culpa levis (kelalaian ringan), melainkan culpa lata (kelalaian yang kentara/besar).4 Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan yang mengacu kepada beberapa kemungkinan dimana kemungkinan-kemungkinan tersebut ditarik berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada, dan dikarenakan simpang siurnya pemberitaan di media, dan atas kekurangan data yang didapat oleh penulis, maka penulis hanya dapat menyimpulkan berdasarkan fakta-fakta yang didapat. Adapun kemungkinan-kemungkinannya adalah: 1. Seperti yang telah dijelaskan diatas, unsur kelalaian adalah tidak adanya tindakan penghati-hatian dan tindakan penduga-dugan padahal seharusnya melakukan tidakan penghati-hatian dan tindakan penduga-dugaan, tetapi menurut parameter orang pada umumnya dan bukan menurut tolak ukur orang yang sangat hati-hati. Lantas apakah memeriksa isi tabung gas oksigen sebelum digunakan kepada pasien itu merupakan tindakan yang umum atau merupakan tindakan yang dilakukan oleh orang yang sangat berhati-hati? Dalam kasus posisi diatas, meninggalnya Arief Budiasa menurut saya hal tersebut tidak dapat menjadi kesalahan dokter dan tenaga medik apabila didasari oleh pasal tentang kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain (Pasal 359 KUHP). Karena menurut pendapat saya merupakan hal yang umum 4 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51d592cf9865d/adakah-ukurankelalaian-dalam-hukum-pidana? Diakses pada 4 September 2015



ketika dokter langsung memberikan nafas bantuan dari tabung oksigen kepada pasien tanpa memeriksa isi tabung tersebut. karena pumumnya memnag tabung gas tersebut berisikan O2 atau oksigen. Tetapi pada kasus meninggalnya Syaifuddin, jelas kesalahan dari dokter, dikarenakan dokter seharusnya telah mempelajari penyebab meninggalnya pasien Arief Budiasa itu dikarenakan kesalahan pemberian nafas bantuan dari tabung gas tersebut. Sehingga apabila dokter bisa lebih berhati-hati lagi tidak akan terulang kejadian yang menimpa Arief Budiasa kepada pasien-pasien selanjutnya. 2. Kesalahan pihak manajemen rumah sakit pun dapat dijadikan faktor penyebab meninggalnya 2 pasien tersebut. Pihak rumah sakit seharusnya memeriksa ulang pesanan tabung gas tersebut apakah sesuai pesanan dari isi dan lainlainnya. Sehingga terjadinya kesalahan teknis yang berakibat fatal tersebut bisa dicegah. Atau pun apabila memang pihak rumah sakit memesan tabung gas yang berisikan CO2, pihak rumah sakit tidak boleh sembarangan menyimpan gas tersebut. Apalagi tabung gas tersebut letaknya di dalam ruang operasi. Menurut penulis, hal tersebut tidaklah lazim mengingat tabung gas yang seharusnya diletakan di dalam ruang operasi adalah tabung gas berisikan O2 dan bukan CO2 sehingga kesalahan-kesalahan sepele berakibat fatal tersebut tidaklah harus terjadi. 3. Selain pihak-pihak yang dianggap sebagai penyebab langsung dari meninggalnya 2 pasien RSUD Bengkulu, ada juga pihak-pihak yang dianggap sebagai penyebab tidak langsung dari meninggalnya 2 pasien tersebut, yaitu pihak penyedia tabung gas oksigen. Menurut pendapat penulis, apabila pihak rumah sakit telah sesuai memesan tabung gas oksigen berisikan O2 sedangkan tabung gas yang diberikan kepada pihak rumah sakit tidak sesuai dengan



pesanan (berisikan gas CO2), maka kesalahan murni pada pihak penyedia tabung gas tersebut. Maka, dari ketiga kesimpulan tersebut, penulis masing-masing memberikan alasan mengapa penulis memberikan dugaan mengenai siapakah pihak yang dapat bertanggungjawab. Sekali lagi penulis tekankan, kurangnya data mengenai karya tulis ini membuat penulis memberikan 3 kesimpulan yang disesuaikan dengan fakta-fakta hukum yang ada. Sehingga penulis tidak dapat menyimpulkan 1 jawaban mengenai siapakah yang dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam kasus tersebut.