Makalah Analisis Semiotika Barthes Pada Kumpulan Puisi "Buku Latihan Tidur" Karya Joko Pinurbo [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANALISIS KUMPULAN PUISI “BUKU LATIHAN TIDUR” KARYA JOKO PINURBO: KAJIAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES DAN RELEVANSINYA DENGAN KEHIDUPAN MASYARAKAT MASA KINI



Oleh: Ferliana Rahmah1, Adam Rizkita Pamungkas2, Desi Zulian Ratnasari3, Safirotun Hasanah 4, Nivke Sabatimy5, dan Renaldy Nugraha6 NIM. 121711133012 1, NIM. 121711133022 2, NIM. 121711133024 3, NIM. 121711133040 4, NIM. 121711133049 5, 121711133110 6 Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga Jalan Dharmawangsa Dalam, Surabaya – 60286 Surel: [email protected]



PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Puisi adalah pikiran dan perasaan pengarang yang diungkapkan dengan kata-kata yang tepat, indah serta ditulis dalam bentuk bait dan baris. Pradopo (1987: 7) mengatakan bahwa puisi adalah karya sastra yang mengapresiasikan pemikiran, mengakibatkan perasaan yang merangsang imajinasi pancaindra dan susunan yang berirama. Selain itu, penulisan puisi biasanya terkait akan isu-isu yang sedang berkembang



di



kehidupan



masyarakat,



meliputi



politik,



sosial-budaya,



keagamaan, asmara-tragedi, dan masih banyak lainnya. Puisi berperan sebagai gambaran keresahan pengarang dalam menyikapi fenomena yang sedang atau telah terjadi. Puisi juga dapat digunakan sebagai media kritik dan kecaman dari pengarang yang mewakili suatu kelompok masyarakat tertentu atau seluruhnya dalam menanggapi kebijakan pemerintah, dan lain sebagainya. Di dalam puisi, terdapat bermacam gaya kepenulisan pengarang yang berbeda antara pengarang satu dengan pengarang lain, sehingga membuat puisi



terkesan memiliki keunikan tersendiri. Gaya kepenulisan inilah yang menjadikan puisi mampu menggambarkan suatu fenomena yang terjadi dengan simbol-simbol yang khas. Simbol-simbol inilah yang kemudian menjadi objek kajian semiotika sastra. Setiap sesuatu yang dimunculkan dalam teks puisi akan membentuk sebuah tanda yang memiliki makna tertentu. Joko Pinurbo merupakan salah satu Sastrawan Indonesia yang bergerak dalam penulisan puisi dan prosa, namun lebih fokus menekuni bidang penulisan puisi. Joko Pinurbo atau yang kerap disapa Jokpin lahir di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, pada 11 Mei 1962. Kini ia menetap di Yogyakarta. Kiprahnya dalam penulisan puisi dimulai sejak penerbitan kumpulan puisinya yang berjudul Celana (1999). Setelah penerbitan karya tersebut, karya-karyanya yang lain pun bermunculan, seperti: Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2005), Kepada Cium (2007), Tahilalat (2012), Baju Bulan (2013), Bulu Matamu: Padang Ilalang (2014), Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016), dan Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu (2016). Berbagau penghargaan telah ia dapatkan, di antaranya: Hadiah Sastra Lontar (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001, 2002), Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002, 2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2015, 2015), South East Asia (SEA) Writer Award (2014). Sejumlah puisinya pun telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Kekhasan yang dimiliki karya Jokpin di antaranya adalah menggunakan gaya bahasa yang ringan namun sarat akan makna. Sebagian besar diksi dalam puisinya menggunakan istilah bahasa sehari-hari yang umum dipakai oleh masyarakat, sehingga lebih mudah dinikmati oleh berbagai kalangan pembaca. Meski bahasanya ringan, topik yang diangkat dalam karya-karyanya juga relevan dengan fenomena-fenomena sosial dalam masyarakat. Makna yang terkadung dalam puisi-puisinya juga mendalam dan tak jarang mampu menyentil sebagian golongan masyarakat. Salah satu karya kumpulan puisinya yang menarik adalah Buku Latihan Tidur yang terbit pertama kali pada tahun 2016 oleh Gramedia Pustaka Utama. Ada 45



judul puisi yang terkumpul dalam buku tersebut. Berbagai topik puisi dihadirkan dalam buku antologi puisi tersebut, yang semuanya tidak terlepas dari isu-isu yang relevan dengan apa yang sedang dialami masa kini. Selain itu, melalui bahasa yang sederhana, Jokpin mampu meramu tanda dan simbol menjadi makna-makna puisi yang mendalam dan padat. Atas alasan itulah, peneliti tertatik untuk mengkaji puisi-puisi karya Joko Pinurbo dengan kajian semiotika, khususnya menggunakan teori Roland Barthes yaitu signifikasi, denotasi, konotasi, dan mitos. Puisi-puisi yang dipilih sebagai objek penelitian ini di antaranya: Kemacetan Tercinta (2014), Pisau (2016), Hati Jogja (2014), Lubang Kopi (2015), dan Sajak Balsem untuk Gus Mus (2016). Selain itu, peneliti juga berniat meneliti relevansi makna-makna dalam kelima puisi pada kumpulan puisi Buku Latihan Tidur dengan kehidupan masyarakat saat ini.



Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana makna yang terdapat dalam kumpulan puisi “Buku Latihan Tidur” karya Joko Pinurbo dengan menggunakan semiologi Barthes? 2. Bagaimana relevansi makna yang terdapat dalam kumpulan puisi “Buku Latihan Tidur” karya Joko Pinurbo dengan kehidupan masyarakat Indonesia masa kini?



Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan makna yag terkandung dalam kumpulan puisi “Buku Latihan Tidur” karya Joko Pinurbo dengan menggunakan semiologi Barthes.



2. Menjelaskan relevansi makna yang terdapat dalam kumpulan puisi “Buku Latihan Tidur” karya Joko Pinurbo dengan kehidupan masyarakat Indonesia masa kini.



Landasan Teori Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda. Istilah semiotika berasal dari Bahasa Yunani, semeion yang artinya ‘tanda’. Sedangkan tanda dimaknai sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Pradopo (1995: 119) berpendapat bahwa semiotika mengkaji sistem-sistem, aturan-aturan, serta konvensi-konvensi tambahan yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Tokoh yang mempelopori terbentuknya kajian ilmu ini adalah ahli linguistik bernama Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan ahli filsuf bernama Charles Sanders Peirce (1839-1914). Keduanya mengembangkan semiotika walau dengan konsep yang berbeda satu sama lain. Semiotika Saussure (dalam Ratna, 2004: 99) atau lebih sering disebut semiologi, mengacu pada kajian strukturalisme, serta memiliki konsep dikotomi (konsep ke-dua-an) dalam memaknai suatu tanda yaitu adanya unsur penanda (signifier) dan petanda (signified), sinkronik dan diakronik, pendekatan sintagmatik dan paradigmatik, serta pemahaman terkait konsep langue dan parole. Adapun tokoh yang mengembangkan teori semiotika Saussure adalah Roland Barthes. Barthes berpendapat jika kajian semiotika Saussure hanya sampai pada makna denotatif. Sedangkan menurut Barthes, pemaknaan tanda dapat dikembangkan menjadi makna konotatif hingga sampai pada pemahaman metalanguage. Beberapa konsep inti semiotika yang dikembangkan Barthes antara lain signifikasi (signification), denotasi (dennotation) dan konotasi (connotation), serta metalanguage atau mitos (myth). Lustyantie (2012) melalui artikelnya menjelaskan bahwa di dalam semiotika Barthes, denotasi (makna harfiah) merupakan sistem signifikasi tingkat



pertama, sedangkan konotasi (makna asosiasi) merupakan sistem signifikasi tahap kedua. Lebih lanjut, makna harfiah merupakan sesuatu yang bersifat alami, sehingga dikenal dengan teori signifikasi. Barthes mengembangkan teori signifikasi berdasarkan atas teori tanda dari Saussure, kemudian mengembangkan teori perluasan makna dengan adanya proses pemaknaan yang berlangsung dalam dua tahap. Berikut merupakan bentuk bagan teori semiotika Barthes.



Penanda (i) Petanda (ii) Tanda (iii) Penanda (I) Petanda (II) Tanda (III)



Tahap denotasi sama dengan tahap signifikasi, di mana unsur penanda denotatif berupa imaji bunyi (denotative signifier [i]) dan petanda denotatif berupa konsep (denotative signified [ii]) saling berkaitan sehingga membentuk tanda denotatif (denotative sign [iii]). Setelah proses signifikasi, muncul kembali unsur penanda konotatif (connotative signifier [I]) dan petanda konotatif (connotative signified [II]) yang saling berkaitan sehingga membentuk tanda konotatif (connotative sign [III]). Tahap konotasi sama dengan tahap pembentukan mitos (myth) atau metalanguage.



PEMBAHASAN Analisis Semiotika Roland Barthes Terhadap Kumpulan Puisi Buku Latihan Tidur Karya Joko Pinurbo Analisis ini akan menggunakan teori semiotika Roland Barthes, di mana penulis akan menganalisis makna konotatif dan denotatif pada puisi tersebut. Jika diperlukan, penulis juga bisa menggunakan analisis visual, verbal, serta audio, pada tahap sebelumnya. 1.



Puisi “Kemacetan Tercinta Puisi “Kemacetan Tercinta” merupakan salah satu karya Joko Pinurbo



pada tahun 2014 dan terkumpul dalam kumpulan puisi Buku Latihan Tidur. Di



dalam puisi “Kemacetan Tercinta” terdiri atas lima bait yang setiap baitnya terdiri dari empat baris puisi. Berikut merupakan deskripsi dari puisi “Kemacetan Tercinta” karya Joko Pinurbo. “Kemacetan Tercinta” Sudah jam sembilan malam dan jalan menuju rumahnya masih macet. Ia bunyikan klakson mobilnya berkali-kali hanya agar sepi tak cepat mati.



Malam adalah senja yang salah waktu. Matahari telah diganti lampu-lampu. Jerawat tumbuh di pucuk hidung. Ketiak telah kehilangan parfum.



Ia lihat wajah ibunya di kaca spion. Ia hirup harum kopi dari pendingin udara. "Selamat malam, Bu. Apakah di tengah kemacetan ini kecantikan masih berguna?"



Ibunya tidak menjawab, malah berkata, "Kemacetan ini terbentang antara hati yang kusut dan pikiran yang ruwet. Kamu dan negara sama-sama mumet."



Demi kemacetan tercinta ia rela menjadi tua di jalan; ia rela melupakan umur. Malam merayap, banjir sebentar lagi tiba. Di kaca spion ia lihat ibunya tertidur. Berikut adalah hasil analisis dari puisi “Kemacetan Tercinta” kaya Joko Pinurbo.



a. Makna Denotatif dalam Puisi “Kemacetan Tecinta” Secara sederhana, makna denotatif merupakan makna yang sebenarnya dari sebuah kata. Makna denotatif adalah makna yang (biasanya) ada dalam kamus. Dalam puisi “Kemacetan Tercinta” ini, makna denotatif yang ditemukan berupa visualisasi urban, di mana kemacetan dan hiruk pikuk suara mobil adalah hal-hal yang terkait dengan unsur urbanitas. Berikut penjelasannya: Pada bait pertama, baris pertama dan kedua sudah memberi gambaran terhadap isi puisi secara keseluruhan. Sudah jam sembilan lewat sembilan, / jalan menuju rumahnya masih macet. // Kedua baris tersebut memberi clue bahwa suasana yang terbangun pada puisi tersebut adalah saat kemacetan. Dan peristiwa tersebut terjadi pada pukul sembilan malam. Hal itu dapat dibuktikan pada bait kedua, tepatnya baris pertama dan kedua: Malam adalah senja yang salah waktu. / Matahari telah diganti lampu-lampu. // Sama seperti pada bait pertama di mana baris pertama dan kedua dijadikan sebagai penanda. Ia lihat bayangan ibunya di kaca spion. // Ia hirup harum kopi dari pendingin udara. // Dari citraan tersebut dapat diambil pemahaman bahwa stuktur puisi tersebut menggunakan orang ketiga serba tahu, dengan tokoh sopir dan ibu di dalamnya. Dengan mengesampingkan makna konotatif atau mungkin maksud lain yang terselinap di dalam puisi tersebut, diksi-diksi yang dipilih dapat secara jelas dicerna dan dipilah sebagai sebuah bagian dari visualisasi urban. Menurut Andhi Malindo, dalam artikelnya “Pengertian Urban, Rural, dan Urban Sprawl” urban adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. (Malindo, 2011). b. Makna Konotatif dalam Puisi “Kemacetan Tercinta” Makna konotatif adalah sebuah bentuk dari makna asosiatif yang di mana makna tersebut yang akan timbul berasal dari sikap sosial, sikap pribadi, dan kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual.



Makna konotatif yang terdapat dalam puisi “Kemacetan Tercinta” cenderung bias. Pada bagian akhir, disinggung mengenai kemacetan dan kaitannya dengan bobroknya negara: Kemacetan ini terbentang antara hati yang kusut dan pikiran ruwet .// Kamu dan negara sama-sama mumet. // pemilihan diksi hingga membentuk bangun imaji bahwa negara dan sopir tersebut samasama mumet adalah perbandingan sederhana dari perumpamaan akan riuhnya permasalahan negara. Dalam puisi tersebut sebenarnya juga ada masalah kelas sosial yang disinggung. Dalam kehidupan sosial bermasyarakat di Indonesia, taksi/mobil cenderung dipandang sebagai mode transportasi khusus untuk kelas menengah ke atas. Di dalam puisi tersebut juga terdapat visualisasi bagaimana keadaan kemacetan yang dalam kaitannya dengan kelas-kelas wilayah, sungguh urban sekali. Hal ini bisa membuka sedikit gambaran bahwa tokoh di dalam puisi itu adalah orang yang bekerja kantoran dan pulang malam jam sembilan menggunakan taksi. Kehidupan masyarakat urban sudah cukup terwakili bahkan hanya dari dua bait awal dalam puisi itu saja. Namun, di dalam puisi tersebut tak dijelaskan bahwa itu taksi. Tak dijelaskan juga bahwa ‘ibu’ yang dimaksud adalah penumpang atau ibu kandung dari si sopir. Namun pada kalimat “Selamat malam, Bu. Apakah di tengah kemacetan ini kecantikan masih berguna?” sekilas menandakan adanya jarak antara pengendara dengan ibu. Entah itu memang diciptakan sebagai unsur artistik yang dibangun di balik puisi ataukah memang menandakan bahwa mereka tidak memiliki hubungan darah. Namun, yang jelas, di luar semua itu, unsur urbanitas merupakan tanda yang menonjol di dalam puisi ini. c.



Makna Mitos dalam Puisi “Kemacetan Tercinta”



Puisi “Kemacetan Tercinta” merupakan representasi dari kehidupan masyarakat urban. Menurut Andhi Malindo dalam artikelnya “Pengertian Urban, Rural, dan Urban Sprawl”, urban adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. (Malindo, 2011). Dalam puisi



“Kemacetan Tercinta” ini, makna denotatif yang ditemukan berupa visualisasi urban, di mana kemacetan dan hiruk pikuk suara mobil adalah hal-hal yang terkait dengan urbanitas. Gambaran suasana klakson dan jam pulang kerja pada malam hari adalah gambaran dari kehidupan pekerja-pekerja di wilayah urban. Di mana wilayah tersebut adalah penggerak bisnis dan ekonomi, sehingga terciptalah perputaran uang. Dalam masa kini, puisi memang tak dianggap begitu krusial dalam berbagai lini kehidupan, tetapi di dalam puisi—khususnya puisi “Kemacetan Tercinta”—ini dikembangkannya imaji urban cukup menandakan hubungan antara karya sastra dengan lingkup sosial yang aktual dan yang ada di sekitarnya. Di dalam puisi tersebut secara implisit juga menyinggung soal semrawutnya negara. Di mana hal itu dalam masa kini, juga begitu digaungkan mengingat maraknya oligarki dan hal-hal lain yang kaitannya dengan menurunnya kinerja pemerintah—sebuah negara. Banyak sekali peraturan perundang-undangan yang disepakati secara sepihak dan dinilai merugikan masyarakat. 1. Penanda



2. Petanda Tersendatnya lalu lintas 3. Tanda Denotatif Macet penyebab tokoh ibu terlambat untuk pulang 4. Penanda Konotatif 5. Petanda Konotatif Pembuka obrolan antara supir dan ibu. Perbincangan urban dan politik 6. Mitos Representasi Urban Macet



Tabel Puisi 1



2.



Puisi “Pisau” Puisi “Pisau” merupakan salah satu karya Joko Pinurbo yang ditulis pada



tahun 2016 dan terkumpul dalam Buku Latihan Tidur. Di dalam puisi “Pisau”



hanya terdapat satu bait yang berisi dua baris puisi. Berikut deskripsi puisi “Pisau” karya Joko Pinurbo. “Pisau” Ia membungkus pisau dengan namaMu. Ia ingin melukai Kau dengan melukaiku. Berikut adalah hasil analisis dari puisi “Pisau” kaya Joko Pinurbo. a.



Makna Denotatif dalam Puisi “Pisau” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna denotatif adalah makna



yang bersifat denotasi. Denotasi yaitu makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa, seperti orang, benda, tempat, sifat, proses, kegiatan, dan sebagainya. Makna denotatif juga dapat diartikan sebagai makna sesungguhnya atas sesuatu hal tanpa dikaitkan dengan unsur kiasan. Berikut adalah penjabaran makna denotatif yang muncul dalam puisi “Pisau”. Ia membungkus pisau dengan namaMu. // Pada baris pertama puisi tersebut, muncul makna denotasi yaitu sosok ‘ia’ membungkus pisau dengan mengatasnamakan nama sosok ‘Kau/ -Mu’. Kata ‘ia’ secara denotatif bermakna kata ganti orang ketiga. Kata membungkus pisau pada baris pertama dapat dimaknai secara denotatif sebagai kegiatan melapisi pisau dengan sesuatu lain, seperti sarung pisau, dengan tujuan untuk menyimpan pisau tersebut secara aman. Kata pisau secara denotatif bermakna piranti manusia berwujud benda tajam yang digunakan untuk memotong atau membelah sesuatu. Kata ‘-Mu’ secara denotatif bermakna kata ganti milik orang kedua. Ia ingin melukai Kau dengan melukaiku. // Pada baris kedua puisi tersebut, muncul makna denotasi yaitu sosok ‘ia’ memiliki niat untuk menyakiti sosok ‘Kau’ dengan cara menyakiti sosok ‘-ku/ aku’. Kata melukai secara denotatif bermakna kegiatan menyakiti atau melakukan sesuatu terhadap orang, hewan, atau tumbuhan dengan maksud membuat terluka



atau merasakan sakit. Kata Kau secara denotatif bermakna kata ganti orang kedua. Kata -ku dalam kata melukaiku bermakna denotatif sebagai kata ganti milik orang pertama. Jadi, makna denotatif pada puisi “Pisau” adalah sesuatu yang disimbolkan dengan kata ‘ia’ membungkus pisau itu atas nama sesuatu yang dilambangkan dengan kata ‘-Mu’. Kemudian, ‘ia’ berniat menyakiti sosok yang disimbolkan dengan kata ‘Kau’ dengan cara melukai sosok ‘-ku’. Pada baris pertama dan baris kedua puisi “Pisau” terdapat penanda, yaitu terletak pada kata ia, membungkus, pisau, namaMu, ingin melukai, Kau (merujuk pada namaMu), serta -ku. Adapun jika dilihat dari letak sudut pandang pengarang, puisi “Pisau” menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku sampingan karena sosok ‘ia’ (mengacu pada kata ganti orang ketiga: dia/ ia) lebih ditonjolkan pengarang sebagai pelaku utama daripada sosok ‘-ku’ (mengacu pada kata ganti orang pertama: aku). b. Makna Konotatif dalam Puisi “Pisau” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna konotatif adalah makna yang bersifat konotasi. Konotasi yaitu makna berupa nilai rasa yang timbul karena adanya tautan pikiran antara denotasi dan pengalaman pribadi. Berikut adalah penjabaran makna konotatif yang muncul dalam puisi “Pisau”. Ia membungkus pisau dengan namaMu// Pada baris pertama, muncul makna konotasi yaitu suatu kelompok masyarakat yang mempergunakan ‘pisau’ (bisa bermakna benda tajam atau tindakan/ ucapan) dan dengan ‘semena-mena’ mengatasnamakan Tuhan (agama). Kata ‘ia’ secara konotatif merujuk pada suatu kelompok masyarakat tertentu terkait suatu suku, agama, rasa, atau golongan (SARA). Dalam hal ini, kata ‘ia’ lebih condong terhadap pemaknaan suatu kelompok masyarakat agama, karena terdapat lirik puisi yang mengacu pada kegiatan menyebut nama Tuhan (... dengan namaMu). Kata membungkus pisau secara denotatif dimaknai sebagai kegiatan melapisi pisau dengan sesuatu lain dengan tujuan menyimpan secara aman. Namun, jika dikaitkan pada baris kedua yang berbunyi: Ia ingin melukai



Kau dengan melukaiku//, maka membungkus pisau berkebalikan dengan makna denotatifnya sehingga menjadi kegiatan mempergunakan ‘pisau’ tersebut (bisa jadi mengasahnya atau melapisinya dengan sesuatu sehingga menjadikannya lebih tajam) dengan tujuan menyakiti manusia, hewan, atau tumbuhan (dalam hal ini lebih merujuk pada manusia). Kata pisau bermakna konotasi tindakan atau ucapan manusia yang dapat bermafaat jika dipergunakan dengan baik, namun akan menjadi ‘pisau tajam’ jika dipergunakan untuk menyakiti sesama manusia. Kata namaMu (kata -Mu biasanya digunakan untuk menyebut Tuhan) merujuk pada nama Tuhan atau agama. Ia ingin melukai Kau dengan melukaiku// Pada baris kedua, muncul makna konotasi yaitu suatu kelompok masyarakat yang menyakiti (dengan ujaran kebencian, tindakan penyiksaan atau bahkan pembantaian keji) sekelompok masyarakat lain yang sesungguhnya hal tersebut sama saja dengan mencederai ajaran Tuhan atau agama manapun. Dalam hal ini, kata ‘ia’ lebih condong terhadap pemaknaan suatu kelompok masyarakat agama (menyambung pada baris pertama). Kata melukai dapat bermakna melakukan ujaran kebencian atau tindakan melanggar HAM berupa penyiksaan, pembunuhan, bahkan pembantaian terhadap suatu anggota kelompok masyarakat lain. Kata Kau mengacu pada sosok Tuhan, di mana pada baris ini kata melukai Kau maksudnya adalah mencederai ajaran Tuhan. Tidak ada satu pun Tuhan atau ajaran agama manapun yang menyatakan bahwa melukai atau membunuh sesama manusia itu baik. Sebaliknya, hal tersebut justru menyimpang dari ajaran agama manapun yang esensinya berupa menjaga kedamaian semesta alam dan sesama makhluk. Sedangkan kata ‘-ku’ pada kata melukaiku mengacu pada kelompok masyarakat lain yang memiliki perbedaan suku, ras, agama, dan golongan (SARA). Jadi, makna konotasi pada puisi “Pisau” ialah tindakan suatu kelompok agama tertentu yang kerap kali menyakiti kelompok masyarakat lain yang berbeda suku, agama, ras, maupun golongan dan berdalih tindakannya itu benar dengan mengatasnamakan ajaran suatu agama.



c.



Makna Mitos dalam Puisi “Pisau” Berdasarkan analisis semiotika Barthes sebelumnya, puisi “Pisau” menggambarkan tentang sebagian kelompok masyarakat suatu agama, mengatasnamakan agamanya untuk menyakiti kelompok masyarakat agama lain. Hal tersebut bertentangan dengan esensi dari ajaran agama manapun, bahwa tidak ada satu pun agama yang menghalalkan manusia untuk menyakiti sesama manusia. Adapun makna dari puisi “Pisau” sangat relevan dengan apa yang terjadi di kehidupan masyarakat masa kini. Indonesia terkenal akan masyarakatnya yang multikultural serta banyak agama dan kepercayaan yang tumbuh di negara ini. Karena itulah Pancasila sebagai dasar negara terbentuk berdasarkan pemikiran para pahlawan atas keanekaragaman masyarakat Indonesia, memfilosofikan rasa persatuan dan toleransi rakyat Indonesia sejak zaman dahulu. Namun, seiring berjalannya usia NKRI, masih banyak terjadi kasus intoleransi berbau SARA maupun terorisme di berbagai wilayah Indonesia. Baru-baru ini, telah terjadi pengrusakan rumah ibadah Nasrani, pembakaran rumah warga, dan pembantaian sadis oleh teroris MIT (Mujahidin Indonesia Timur) di Dusun Lewano, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Empat korban tewas dibantai oleh teroris MIT pimpinan Ali Kalora. Menurut Adriany Badriah selaku Direktur Celebes Institute, mengatakan kepada reporter Tirto.id (Senin, 30 November 2020), “teror dan kekerasan yang mereka lakukan semua ada tujuannya. Dalam hal ini menunjukkan eksistensi telah melakukan amaliyah terhadap kafir dan tagut.” Terdapat relevansi makna puisi “Pisau” dengan peristiwa teroris Ali Kalora di Sigi, bahwa kaum teroris MIT melakukan pembantaian dan pengrusakan rumah ibadah Nasrani didasarkan atas pemahaman agama Islam terkait jihad melawan kaum kafir (kaum selain Muslim). Mereka tidak segan membantai warga setempat yang beragama Nasrani karena anggapan melakukan amaliyah terhadap kafir dan tagut. Padahal, hal tersebut justru jauh dari esensi ajaran Islam maupun agama lain, di mana setiap agama selalu mengedepankan kedamaian semesta. Islam tidak pernah membenarkan setiap tindakan keji para teori yang



mengatasnamakan Tuhan dalam aksinya. Tindakan para teroris demikian membuat agama Islam yang damai menjadi tercemar, serta semakin besar stigma kelompok masyarakat agama lain dalam memandang Islam secara umum. 1. Petanda Ia membungkus pisau dengan namaMu. Ia ingin melukai Kau dengan melukaiku.



2. Penanda Konsep tentang wujud pisau yang tertulis nama seseorang yang ingin melukai seorang yang dengan melukai



orang dari pemilik nama tersebut 3. Tanda Denotatif Benda tajam piranti rumah tangga yang digunakan untuk memotong, mengiris, atau membelah bahan makanan.



4. Penanda Konotatif Konsep tentang kelompok masyarakat yang saling melukai satu sama lain sama halnya seperti melukai seseorang / kelompok tertentu menggunakan pisau



5. Petanda Konotatif  Pada baris pertama, muncul makna konotasi



yaitu



suatu



kelompok



masyarakat yang mempergunakan ‘pisau’ (bisa



bermakna



benda



tajam



atau



tindakan/ ucapan) dan dengan ‘semenamena’ mengatasnamakan Tuhan (agama). Dalam hal ini, kata ‘ia’ lebih condong terhadap pemaknaan suatu kelompok masyarakat agama, karena terdapat lirik puisi



yang



menyebut



mengacu nama



pada



Tuhan



(...



kegiatan dengan



namaMu). Kata pisau bermakna konotasi tindakan atau ucapan manusia yang dapat bermafaat jika dipergunakan dengan baik, namun akan menjadi ‘pisau tajam’ jika dipergunakan untuk menyakiti sesama manusia.



Kata



namaMu



biasanya



digunakan



untuk



(kata



-Mu



menyebut



Tuhan) merujuk pada nama Tuhan atau agama.







Pada



baris



kedua,



muncul



makna konotasi yaitu suatu kelompok



masyarakat



yang



menyakiti



(dengan



ujaran



kebencian,



tindakan



penyiksaan



atau



bahkan



pembantaian keji) sekelompok masyarakat



lain



yang



sesungguhnya



hal



tersebut



sama saja dengan mencederai ajaran



Tuhan



atau



agama



manapun. Dalam hal ini, kata ‘ia’ lebih condong terhadap pemaknaan suatu kelompok masyarakat



agama



(menyambung



pada



baris



pertama). Kata melukai dapat bermakna melakukan ujaran kebencian



atau



melanggar



HAM



penyiksaan,



tindakan berupa



pembunuhan,



bahkan pembantaian terhadap suatu



anggota



kelompok



masyarakat lain. Kata Kau mengacu pada sosok Tuhan, di mana pada baris ini kata melukai adalah



Kau



maksudnya



mencederai



ajaran



Tuhan. Tidak ada satu pun Tuhan



atau



manapun bahwa



ajaran



yang



agama



menyatakan



melukai



atau



membunuh sesama manusia itu baik. Sedangkan kata ‘-ku’ pada kata melukaiku mengacu pada



kelompok



masyarakat



lain yang memiliki perbedaan



suku, ras, agama, dan golongan (SARA).



6. Mitos Puisi “Pisau” menggambarkan tindakan suatu kelompok agama tertentu yang kerap kali menyakiti kelompok masyarakat lain yang berbeda suku, agama, ras, maupun golongan dan berdalih tindakannya itu benar dengan mengatasnamakan ajaran suatu agama. Tabel Puisi 2



3.



Puisi “Hati Jogja” Puisi “Hati Jogja” merupakan salah satu karya Joko Pinurbo yang ditulis



pada tahun 2016 dan terkumpul dalam Buku Latihan Tidur. Di dalam puisi “Hati Jogja”, hanya terdapat satu bait yang berisi enam baris puisi. Berikut deskripsi puisi “Hati Jogja” karya Joko Pinurbo. “Hati Jogja” Dalam secangkir teh ada hati Jogja yang lembut meleleh. Dalam secangkir kopi ada hati Jogja yang alon-alon waton hepi. Dalam secangkir senja ada hati Jogja yang hangat dan berbahaya. Berikut adalah hasil analisis dari puisi “Hati Jogja” kaya Joko Pinurbo. a.



Makna Denotasi dalam Puisi “Hati Jogja” Pada baris pertama dijelaskan adanya secangkir teh, kemudian dijelaskan



bahwa dalam secangkur teh tersebut mewakili hati Jogja yang lembut dan meleleh. Pada baris kedua dijelaskan adanya secangkir kopi yang mewakili hati Jogja yang tidak hanya lembut meleleh tapi juga ada hati Jogja yang alon-alon waton hepi, atau dalam bahasa Indonesia adalah pelan-pelan asal bahagia. Baris ketiga berbeda dengan baris sebelumnya yang menggunakan minuman untuk mewakili hati Jogja, baris ketiga menggunakan senja sebagai perwakilan hati Jogja namun tetap dalam wadah sebuah cangkir. Dijelaskan bahwa dalam secangkir senja ada hati yang hangat dan berbahaya. b. Makna Konotasi dalam Puisi “Hati Jogja”



Puisi ini menggunakan kota Jogja sebagai latar tempatnya, kota Jogja saat ini sedang popuker dikalangan remaja, kota Jogja digambarkan sebagai kota yang romantis, banyak tempat yang dapat dikunjungi yang dapat meninggalkan kenangan yang manis dan tidak akan terlupakan. Teh menggambarkan sesuatu yang manis. Sejalan dengan romantisnya kota Jogja, teh seakan mampu mewakili perasaan orang yang berkunjung ke Jogja, yaitu perasaan bahagia dan senang. Kopi menggambarkan sesuatu yang pahit. Hal itu menjelaskan bahwa tidak semua tentang Jogja itu manis. Ada beberapa orang yang mungkin memiliki kenangan yang pahit di Jogja, entah karena kehilangan, patah hati, ataupun yang lainnya. Karena tidak selalu manis, maka dijelaskan pada baris alon-alon waton hepi// yang berarti menjalani hal-hal yang tidak selamanya indah sebaiknya dilakukan dengan pelan-pelan saja asalkan mampu mengobati kepahitan tersebut. Senja juga merupakan sebuah kata yang sedang populer saat ini dikalangan anak muda. Senja menggambaekan sesuatu yang indah yaitu ketika matahari terbenam dan langit akan berubah warna menjadi jingga. Terbenamnya matahari yang merupakan peralihan siang ke malam membawa suasana yang hangat sehingga di waktu senja ini sering digunakan merenung oleh sebagian remaja untuk memikirkan apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi kedepan. c.



Makna Mitos dalam Puisi “Hati Jogja” Fenomena anak indie sedang hangat-hangatnya saat ini. Bagi anak



indie,secangkir teh dan kopi merupakan hal yang sering dikonsumsi karena akan memunculkan ide-ide baru. Ide tersebut kemudian dituangkan dalam puisi maupun lagu. Dapat kita jumpai pada beberapa lagu milik Fiersa Besari yang juga bergenre indie, kata kopi, teh, maupun senja. Kata-kata tersebut sangat sering digunakan dengan tujuan untuk memperindah sebuah karya. Penggunaan kota Jogja sebagai latar tempat juga merupakan bagian dari fenomena anak indie, kota Jogja digambarkan begitu romantis sehingga sering digunakan dalam sebuah karya, misalnya pada puisi yang sedang dianalisis ini yaitu "Hati Jogja", kemudian ada lagu yang sangat populer karya Adhitya Sofyan yang berjudul "Sesuatu di Jogja".



Kemudian karena seringnya kata teh, kopi, senja, dan Jogja digunakan oleh beberapa seniman, kata-kata tersebut menjadi familiar dan sering digunakan oleh masyarakat luas dalam tulisannya di media sosial 1. Penanda



2. Petanda Secangkir teh Keadaan sore hari



3. Tanda Denotatif Sebuah benda berbentuk bundar salah satu alat rumah tangga yang digunakan untuk minum. Benda cair yang berwarna coklat menandakan bahwa itu the dan beda cair berwarna hitam menunjukkan bahwa itu kopi. Keadaan sore hari dengan ditandai terbenamnya matahari dan warna langit mejadi jingga, 4. Penanda Konotatif Dalam secangkir teh ada hati Jogja yang lembut meleleh.



5. Petanda Konotatif - Teh menggambarkan rasa yag lebih lembut dibandingkan dengan



Dalam secangkir kopi



kopi,



menikmatinya



ada hati Jogja yang alon-alon waton hepi.



dapat



menimbukan



Dalam secangkir senja



sama halnya dengan



ada hati Jogja yang hangat dan berbahaya.



kota Jogja yang penuh



perasaan yang tenang,



dengan



ketenangan



dan



kelembutan



sehingga



dapat



membuat hati meleleh. -



Kopi menggambarkan minuman yang kuat akan rasanya, dalam menikmati kopi perlu berhati-hati



karena



sebagian orang tidak bisa menikmati kopi dengan mudah. Pelanpelan



dalam



menikmati kopi akan menemukan kebahagiaan tersendiri. Seperti



halnya



kota



Jogja, tidak hanya ada hal-hal yang indah saja seperti



yang



digambarkan



oleh



media



sosial,



juga



Jogja



mempunyai



pahitnya, maka dalam menjalani



kepahitan



itu lebih baik pelanpelan saja, akan nada kebahagiaan



yang



dating. -



Senja



merupakan



waktu peralihan antara siang



ke



malam,



pemandangan



langit



yang indah membuat orang



senang



tenang.



dan



Menikmati



senja di kota Jogja yang terkenal dengan keromantisannya akan menambah



nilai



kebahagiaan. 6. Mitos Romantisasi kota Jogja dan fenomena anak indie yang selalu membawa kopi, the, dan senja dalam tulisannya. Tabel Puisi 3



4.



Puisi “Lubang Kopi” Puisi “Lubang Kopi” merupakan salah satu karya Joko Pinurbo pada tahun



2015 dan terkumpul dalam kumpulan puisi Buku Latihan Tidur. Di dalam puisi “Lubang Kopi” terdiri atas lima bait yang setiap baitnya terdiri dari tiga baris puisi. Berikut merupakan deskripsi dari puisi “Lubang Kopi” karya Joko Pinurbo. “Lubang Kopi” Jam tiga pagi Waktu Indonesia Bagian Kopi lampu tidur di matanya menyala kembali. Hujan tinggal bekas dan kopi sudah menjadi miras.



Ia sedang jatuh cinta pada kantuknya ketika dilihatnya lubang besar di layar komputernya. Lubang kopi yang hitam menganga Teh menggambarkan sesuatu yang manis. Sejalan dengan romantisnya kota Jogja, teh seakan mampu mewakili perasaan orang yang berkunjung ke Jogja, yaitu perasaan bahagia dan senang.



Kopi menggambarkan sesuatu yang pahit. Hal itu menjelaskan bahwa tidak semua tentang Jogja itu manis. Ada beberapa orang yang mungkin memiliki kenangan yang pahit di Jogja, entah karena kehilangan, patah hati, ataupun yang lainnya. Karena tidak selalu manis, maka dijelaskan pada baris alon-alon waton hepi// yang berarti menjalani hal-hal yang tidak selamanya indah sebaiknya dilakukan dengan pelan-pelan saja asalkan mampu mengobati kepahitan tersebut. Senja juga merupakan sebuah kata yang sedang populer saat ini dikalangan anak muda. Senja menggambaekan sesuatu yang indah yaitu ketika matahari terbenam dan langit akan berubah warna menjadi jingga. Terbenamnya matahari yang merupakan peralihan siang ke malam membawa suasana yang hangat sehingga di waktu senja ini sering digunakan merenung oleh sebagian remaja untuk memikirkan apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi kedepan.



Kata-kata berjatuhan ke dalam lubang dan tak kembali. Dan kembali sebagai sunyi.



Dari dalam lubang muncul seekor kucing bermata cerlang dan manis. Kucing biru yang dulu hilang di balik hujan dan ia hampir menangis.



Kucing itu terbuat dari kata kangen yang keluar dari kamus, lalu masuk ke lubang sunyi jam tiga pagi Waktu Indonesia Bagian Kopi. Berikut adalah hasil analisis dari puisi “Lubang Kopi” kaya Joko Pinurbo. a.



Makna Denotatif dalam Puisi “Lubang Kopi” Menurut KBBI Online, denotatif merupakan hal yang berkaitan dengan



denotasi. Denotasi sendiri merupakan makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif. Pada bait pertama, baris pertama sampai bari ketiga memiliki makna denotatif seperti berikut.



Lubang merupakan bentuk tidak baku atau lobang, liang seperti lekukan di tanah. Sedangkan Kopi merupakan buah kopi dapat dinikmati namun tetap harus di olah sebab teksturnya yang keras. Diolah dengan cara disangrai dan ditumbuk halus untuk dijadikan serbuk pada campuran minuman. Rasanya memiliki ciri khas yang sangat unik yaitu pahit dan nikmat. b. Makna Konotasi dalam Puisi “Lubang Kopi” Dalam KBBI Online, kata konotatif mempunyai makna tautan, mengandung konotasi, sedangkan konotasi merupakan tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata, makna yang ditambahkan pada makna denotasi. Pada puisi “Lubang Kopi”, analisis makna konotatifnya adalah sebagai berikut. Jam 3 pagi Waktu Indonesia Bagian Kopi // Lampu tidur di matanya menyala kembali. // Hujan tinggal bekas dan kopi sudah jadi miras. // Pada bait pertama baris pertama menyatakan mengenai “Jam 3 Pagi Waktu Indonesia Bagian Kopi”. Dalam pemakaian atau penyebutan waktu secara normal biasanya WIB (Waktu Indonesia Barat) atau WIT (Waktu Indonesia Timur) dan lain sebagainya yang memang semestinya digunakan dalam penyebutan waktu. Namun, dalam puisi “Lubang Kopi” dinyatakan dengan Waktu Indonesia Bagian Kopi, waktu merupakan saat tertentu atau menyatakan melakukan



sesuatu.



Pada



bait



pertama



baris



pertama



sampai



ketiga



mememberikan pernyataan mengenai waktu meminum kopi dipagi hari jam 3 dan kopi tersebutlah yang telah membuat matanya kembali hidup menyala. Ia sedang jatuh cinta pada kantuknya / Ketika dilihatnya lubang besar di layar // Komputernya Lubang kopi / Yang hitam menganga. //



Dalam bait ke dua pada baris pertama sampai keempat menyatakan mengenai kopi yang menjadi bagian dari jalan hidupnya saat itu, sampai dengan kantuknya yang menjadi kecintaannya tersebut. Kata-kata berjatuhan ke dalam lubang / Dan tak kembali. Dari dalam lubang muncul / Seekor kucing bermata ceriang dan manis. // Kucing biru yang dulu hilang di balik hujan / Dan tak pernah pulang dan ia gagal menangis. // Pada bait ke tiga baris pertama sampai dengan baris kelima menyatakan mengenai seekor kucing yang bermata ceriang dan manis, kucingnya biru yang dulu hilang dibalik hujan seperti halnya awan biru yang indah yang hilang setelah hujan datang. Kucing itu terbuat dari kata kangen // Yang mengigil di atas kamus, / Lalu masuk ke lubang sunyi // Jam 3 pagi Waktu Indonesia Bagian Kopi. / Kucing tersebut hilang masuk kedalam lubang sunyi, mungkin telah terpejam dan masuk ke lubang sunyi, tidur dapat dikatakan sebagai zona kesunyian. Kemudian, waktu telah menunjukkan jam 3 bagian kopi. c.



Makna Mitos dalam Puisi “Lubang Kopi” Dengan kehidupan saat ini, puisi “Lubang Kopi” memberikan tambahan



cerita dalam cita rasa kopi. Kopi saat ini banyak digemari oleh masyarakat. Tidak hanya kalangan tua ke atas, namun muda mudi pun juga menggandrungi kopi. Dalam sudut pandang orang yang mengolah kopi, mereka juga tidak hanya mengolah kopi dengan sederhana, namun saat ini kopi menjadi olahan minuman yang variatif seperti menjadi kopi capucinno, kopi susu, dan masih banyak olahan kopi yang memiliki cita rasa uniknya tersendiri. Waktu untuk menikmati kopi juga tidak terbatas, masyarakat saat ini bisa kapan saja menikmati minuman kopi,



baik jam 3 pagi, bahkan setiap bangun tidur mereka juga bisa menikmati kopi sesuai keinginan mereka. 1. Penanda



2. Petanda



Kopi



Buah kopi 3. Tanda Denotatif Biji bijian yang dapat digunakan sebagai minuman, memiliki cita rasa pahit dan berwarna hitam. 4. Penanda Konotatif Jam 3 pagi Waktu Indonesia Bagian Kopi. Lampu tidur kembali.



di



matanya



menyala



5. Petanda Konotatif Pada bait pertama baris pertama menyatakan mengenai “Jam 3 Pagi Waktu



Indonesia



Bagian



Kopi”.



Dalam pemakaian atau penyebutan



Hujan tinggal bekas dan kopi sudah



waktu secara normal biasanya WIB



jadi miras.



(Waktu Indonesia Barat) atau WIT (Waktu Indonesia Timur) dan lain sebagainya yang memang semestinya digunakan dalam penyebutan waktu. Namun, dalam puisi “Lubang Kopi” dinyatakan dengan Waktu Indonesia Bagian Kopi, waktu merupakan saat tertentu atau menyatakan melakukan sesuatu. Pada bait pertama baris pertama sampai ketiga mememberikan pernyataan mengenai waktu meminum kopi dipagi hari jam 3 dan kopi tersebutlah



yang



telah



membuat



matanya kembali hidup menyala. 6. Mitos Kopi saat ini banyak digemari oleh masyarakat. Tidak hanya kalangan tua ke atas, namun muda mudi pun juga menggandrungi kopi. Kopi dapat dipercaya untuk memberikan kekuatan dalam menahan rasa ngantuk entah diakibatkan oleh kelelahan atau pekerjaan yang membosankan atau bisa juga karena kekurangan pola istirahat dalam waktu panjang, hal tersebut banyak diyakini oleh kalangan penikmat minuman kopi. Tabel Puisi 4



5.



Puisi “Sajak Balsem untuk Gus Mus” Puisi “Sajak Balsem untuk Gus Mus” merupakan salah satu karya Joko



Pinurbo yang ditulis pada tahun 2016 dan terkumpul dalam Buku Latihan Tidur. Di dalam puisi “Sajak Balsem untuk Gus Mus,” terdapat enam bait yang berisi tiga sampai tujuh baris puisi. Berikut deskripsi puisi “Sajak Balsem untuk Gus Mus” karya Joko Pinurbo. “Sajak Balsem untuk Gus Mus” Akhir-akhir ini banyak orang gila baru berkeliaran, Gus. Orang-orang yang hidupnya terlalu kenceng dan serius. Seperti bocah tua yang fakir cinta.



Saban hari giat sembahyang. Habis sembahyang terus mencaci. Habis mencaci sembahyang lagi. Habis sembahyang ngajak kelahi.



Dikit-dikit marah dan ngambek . Dikit-dikit senggol bacok. Hati kagak ada rendahnya. Kepala kagak ada ademnya. Menang umuk, kalah ngamuk.



Apa maunya? Maunya apa?, Dikasih permen minta es krim. Dikasih es krim minta es teler. Dikasih es teler minta teler.



Kita sih hepi-hepi saja, Gus Ngeteh dan ngebul di beranda



bersama khong guan isi rengginang. Menyimak burung-burung. Bermain puisi di dahan-dahan. Menyaksikan matahari koprol di ujung petang.



Bahagia adalah memasuki hatimu yang lapang dan sederhana. Hati yang seluas cakrawala. Berikut adalah hasil analisis dari puisi “Sajak Balsem untuk Gus Mus” karya Joko Pinurbo.



a.



Makna Denotasi dalam Puisi “Sajak Balsem untuk Gus Mus” Menurut KBBI Online, denotatif merupakan hal yang berkaitan dengan



denotasi. Denotasi sendiri merupakan makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif. Pada puisi ini ditulis oleh Joko Pinurbo dengan menggunakan referensi Gus Mus. Yakni seorang ulama ternama di Indonesia, beliau juga seorang penyair karena pada kata balsem dalam judul merupakan perwakilan untuk menunjukkan sebuah karya antologi puisi milik Gus Mus berjudul “Ohoi: Kumpulan Puisi-puisi Balsem.” Pada bagian judul balsem merupakan sebuah benda berbentuk minyak oles untuk mengobati sakit kepala yang mana itu panas di awal namun panasnya dalam jangka waktu sementara. Pada bait pertama, baris pertama sampai baris keempat memiliki makna denotatif seperti berikut. Akhir-akhir ini banyak/ orang gila baru berkeliaran, Gus// Orang-orang yang hidupnya/ terlalu kenceng dan serius//



Orang gila secara umum dimaknai sebagai seseorang yang tidak memiliki akal sehat atau sedang mengalami gangguan jiwa. Diperjelas lagi pada baris ketiga bahwa orang gila tersebut merupakan orang-orang yang terlalu serius dalam menjalani hidup. Pada bait kedua baris pertama sampai keempat Saban hari giat sembahyang// Habis sembahyang terus mencaci// Habis mencaci sembahyang lagi// Habis sembahyang ngajak kelahi// Pada bait tersebut disebutkan bahwa setiap hari orang-orang giat sembahyang atau beribadah. Beribadah merupakan aktivitas atau perbuatan untuk menyatakan ketaatan pada Tuhan yang disembah. Ibadah juga sebagai rangkaian kegiatan yang diwajibkan pada tiap-tiap agama yang menunjukkan hal itu termasuk perbuatan baik.



b. Makna Konotasi dalam Puisi “Sajak Balsem untuk Gus Mus” Dalam KBBI Online, kata konotatif mempunyai makna tautan, mengandung konotasi, sedangkan konotasi merupakan tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata, makna yang ditambahkan pada makna denotasi. Pada puisi “Sajak Balsem untuk Gus Mus,” analisis makna konotatifnya adalah sebagai berikut. Pada bagian judul Sajak Balsem merujuk pada buku antologi puisi milik Gus Mus yang berisi tentang islam. Bisa dimaknai bahwa sajak-sajak yang dituliskan Gus Mus dalam karyanya itu memberikan sebuah pesan yang terkesan panas atau langsung menyadarkan pembacanya namun hanya sementara karena sekedar lewat telinga kanan keluar telinga kiri. Pada bait pertama baris baris ketiga terdapat makna konotasi seperti berikut.



Seperti bocah tua yang fakir cinta// Pada baris pertama dijelaskan bahwa orang gila yang dimaksud penulis merujuk pada sekelompok orang terlalu serius dalam menjalani hidup sampaisampai kehilangan akal sehat atau bisa dibilang tidak bisa menggunakan logikanya dengan baik sama seperti seorang fakir cinta yang bisa dimaknai yang benar-benar membutuhkan kasih sayang kalau istilahnya yang kekinian bucin. Identiknya orang-orang yang diberi label bucin merupakan seseorang yang terlalu memikirkan mencintai seseorang sampai-sampai ia melupakan dirinya sendiri. Habis sembahyang terus mencaci// Habis mencaci sembahyang lagi// Habis sembahyang ngajak kelahi// Pada bait kedua baris kedua dan keempat menggunakan repetisi kata habis sembahyang pengulangan ini dapat dinegasikan bahwa sembahyang atau ibadah itu penting yang mana hal itu merupakan hal yang baik, namun dilihat lebih lanjut terdapat kontradiksi pada frase terus mencaci dan ngajak kelahi kedua hal tersebut merupakan hal yang tidak bermoral. Pada bait ini penulis berusaaha menunjukan bahwasannya manusia yang tidak semata-mata berbuat baik saja namun juga bisa berbuat jahat. Kemudian pada bait ketiga baris ketiga sampai kelima terdapat makna konotasi Hati kagak ada rendahnya. Kepala kagak ada ademnya. Menang umuk, kalah ngamuk. Hati yang dimaksudkan ini merupakan perasaan seseorang yang tidak ada rendahnya yakni bersifat angkuh atau sombong, hal itu juga diperjelas dengan diksi umuk yang berarti sombong. Sedangkan kepala kagak ada ademnya yang dimaksudkan oleh penulis yakni seseorang yang tidak bersabar. Selanjutnya pada bait keempat pada baris pertama dan baris keempat terdapat makna konotasi. Apa maunya? Maunya apa? Dikasih es teler minta teler.



Pada baris pertama apa maunya yakni seseorang yang ingin memberikan sesuatu namun maunya apa dimaknai bahwa permintaannya berbeda dengan sesuatu yang diberikan lagi. Bisa dibilang maknanya bahwa terjadinya perbedaan pendapat. Pada baris keempat diksi teler dapat dimaknai seseorang yang kehilangan akal sehat karena terlanjur diberi sesuatu yang berlebihan bias dikatakan hal ini merupakan sindiran yang diberikan pada penulis terhadap orangorang yang terlalu maniak akan sesuatu hal yang berkedok agama. Karena sedari awal pada puisi ini kata sembahyang lebih sering disebutkan sebanyak empat kali. Kita sih hepi-hepi saja, Gus. Ngeteh dan ngebul di beranda bersama khong guan isi rengginang// Pada baris pertama sampai ketiga pada bait kelima dapat dimaknai bahwasannya masih ada beberapa orang yang berbeda kemauan, pendapat, atau prinsip namun masih hidup rukun bersama dengan kesederhanaan. Hal kesederhanaan ditunjukkan dari ngeteh dan ngebul di beranda yakni dimaknai mereka menikmati hidup menghabiskan waktu di beranda atau teras rumah bersama khong guan isi rengginang. Khong Guan merupakan merek biskuit namun dalam puisi tersebut bahwa dalam kotak Khong Guan isinya rengginang atau kerupuk dari beras ketan yang dikeringkan dapat dikonotasaikan sebagai sesuatu hal yang berbeda bisa jadi beda pendapat. Bahagia adalah memasuki hatimu yang lapang dan sederhana. Hati yang seluas cakrawala. Pada bait keenam ini dapat dimaknai bahwasannya penulis ingin sekali meneladani sifat Gus Mus, sebab terdapat kata ganti –mu yang ditunjukkan kepada Gus Mus. Penulis ingin meneladani sifat Gus Mus yang sabar, sederhana, dan legowo. c.



Makna Mitos dalam Puisi “Sajak Balsem untuk Gus Mus” Melalui puisi Joko Pinurbo berjudul “Sajak Balsem untuk Gus Mus”



terdapat relevansi yang nyata pada kehidupan masa kini yang mana kita melihat banyak sekali orang mengaku beragama dan percaya akan Tuhan namun saling memaki atau mencaci. Seperti contoh kejadian Habib Riziq Shihab, Ust. Maheer dan Nikita Mirzani. Sangat disayangkan memang seorang pemuka agama yang



harusnya menjadi contoh teladan yang baik dalam perkataan dan perbuatan mengatakan sesuatu hal yang tidak baik bersifat memaki dengan menggunakan berbagai istilah-istilah yang kurang menyenangkan untuk di dengar seperti yang kita ketahui Habib Riziq juga melakukan hal yang sama saat dia memaki dan mengucapkan kata-kata yang seharusnya kurang etis diucapkan apalagi saat kegiatan beragama dan di dengar oleh pengikutnya. Pengikut Habib Riziq pula melakukan hal yang sama denagn membanjiri kolom komentar instagram dengan memaki Nikita Mirzani. Hal ini sungguh miris rasanya melihat bahwasannya kita perlu memilah mana yang baik untuk ditiru dan mana yang bukan. Tuhan mengajarkan hal-hal baik melalui utusan nabi dan kitab suci, maka dari itu jangan menjadikan agama hanya sebagai rutinitas saja namun perlu tanpa memaknai hal-hal baik dan mempraktekkannya dalam kehidupan nyata. Selain itu juga banyak sekali kasus penistaan agama atau kelompok masyarakat tertentu seperi kejadian di Sulawesi tengah mengenai pembakaran gereja, dan pembunuhan beberapa jemaat gereja. Hal tersebut dikecam oleh banyak pihak. Padahal Indonesia terdiri dari berbagai kepercayaan, suku, dan ras yang harus saling memumpuk rasa toleransi satu sama lain. Jangan sampai hanya karena membela satu kepentingan atau kelompok tertentu kita justru menyakiti sesama manusia yang lain dan memecah belah persatuan. 1. Petanda Akhir-akhir ini banyak/



2. Penanda Konsep mengenai orang gila yang



orang gila baru berkeliaran, Gus//



berkeliaran bebas tanpa pengawasan



Habis sembahyang terus mencaci//



di kehidupan.



Habis mencaci sembahyang lagi//



Melakukan sesuatu hal yang baik



Habis sembahyang ngajak kelahi//



namun mengulangi kesalahan yang buruk



3. Tanda Denotatif Wujud seorang manusia yang tidak memiliki akal sehat sedang berkeliaran di jalanan



4. Penanda Konotatif Seseorang dengang wujud manusia



5. Petanda Konotatif Konsep tentang manusia yang terlalu



sebenarnya tapi tidak mampu berpikir



serius memikirkan duniawi hingga



layaknya orang normal pada



kehilangan akal sehatnya, dan lupa



umumnya



akan kodratnya sebagai seorang manusia yang bermoral.



6. Mitos Wujud manusia dengan pakaian compang-camping layaknya orang gila karena terlalu stress memikirkan masalah duniawi secara riil.



PENUTUP Simpulan Joko Pinurbo sebagai seorang penyair terkemuka di Indonesia hadir dengan berbagai karya-karyanya dengan gaya bahasa sederhana namun sarat makna. Bahasanya yang mudah dipahami yang direlevensikan dengan objek nyata dalam kehidupan menjadikan setiap karyanya seperti pada antologi puisi “Buku Latihan Tidur” terasa sangat dekat dengan realita kehidupan saat-saat ini. Ada beberapa yang bahasa yang memeberikan kesan jenaka namun sebenarnya ada sebuah pesan yang begitu dalam yang ingin disampaikan oleh Joko Pinurbo kepada setiap pembacanya. Penulisan puisi dalam buku ini divariasi oleh istilah-istilah yang umum kita ketahui sehingga pemahaman dalam pembacaan pertama dapat langsung ditangkap tetapi ada juga beberapa puisi yang dituliskan dengan simbolsimbol yang diperlukan pembacaan lebih mendalam agar dapat memaknai setiap makna denotasi dan konotasi yang diungkapkan penulis kepada setiap pembaca



DAFTAR PUSTAKA ANTARA. 2020. “Alasan Korban Selamat Serangan Teroris Sigi Enggan Pulang” (https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/alasan-korban-selamatserangan-teroris-sigi-enggan-pulang-ke-rumah-f7Gq) diakses pertama kali pada 3 Desember 2020 pukul 13:46 WIB. Barthes, Roland. 2010. Imaji Musik Teks: Analisis Semiologi Atas Fotografi, Iklan, Film, Musik, Alkitab, Penulisan dan Pembacaan Serta Kritik Sastra. (Diterjemah oleh Agustinus Hartono). Yogyakarta: Jalasutra. Briantika, Adi. 2020. “Di Balik Pembunuhan di Sigi & Biadabnya Teroris MIT Ali Kalora” (https://tirto.id/di-balik-pembunuhan-di-sigi-biadabnyateroris-mit-ali-kalora-f7AE) diakses pada 3 Desember 2020 pukul 14:11 WIB. Larasati, Rahma Yafi. 2019. “Diksi, Gaya Kalimat, dan Citraan dalam Kumpulan Puisi Buku Latihan Tidur Karya Joko Pinurbo: Kajian Stilistika dan Semiotika serta Relevansinya dalam Pembelajaran di SMA.” Skripsi. Tidak Diterbitkan. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Lustyantie, Ninuk. 2012. “Pendekatan Semiotik Model Roland Barthes dalam Karya Sastra Prancis.” Artikel dipresentasikan dalam Seminar Nasional FIB UI, 19 Desember 2012. Malindo, Andhi. 2011. “Pengertian Urban, Rural, dan Urban Sprawl” (https://malindhoandi.wordpress.com/2011/04/25/pengertian-urban-ruralurban-sprawl-dll/amp/) diakses pertama kali pada 5 Desember 2020 pukul 11:30 WIB. Pinurbo, Joko. 2019. “Buku Latihan Tidur” Kumpulan Puisi Joko Pinurbo. Cetakan Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Analisis Sastra Norma dan Analisis Struktur dan Semiotik. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. _____________________. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, N. K. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



dan