Makalah Antidotum Dan Penanganan Keracunan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang efek toksik atau efek



berbahaya dari suatu zat kimia terhadap jaringan biologi. Zat kimia yang potensial toksik sangat banyak terdapat dilingkungan manusia, menyebabkan pembahasan toksikologi menjadi sangat luas. Ada beberapa bidang toksikologi berkaitan dengan zat kimia penyebab toksisk. Toksikologi lingkungan (polusi udar dan air), toksikologi ekonomi (zat tambahan makanan, pestisida), toksikoligi medio-legal (forensik, regulasi zat tambahan makanan, zat berbahaya), toksikologi bio-medika (obat dan zat diognostik) dan toksikologi laboraturiun (analisa kimiawi zat toksik. Banyaknya zat kimia yang dapat menimbulkan efek toksik, namun sebagian besar tidak tersedia antidotumnya, sehingga kalau terjadi keracunan olehnya hanya dilakukan tindakan simtomatik untuk meminimalkan resiko. Secara umum, terapi antidotum didefinikan sebagai tata cara yang ditunjukkan untuk membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau menyembuhkannya sehingga bermanfaat dalam mencegahnya timbulnya bahaya selanjutnya.



1.2



Pembatasan Masalah Melihat dari latar belakang masalah serta memahami pembahasannya maka kami dapat memberikan batasan-batasan pada materi mengenai : a. Penanganan Keracunan b. Terapi Antidotum c. Terapi Non Spesifik d. Terapi Spesifik e. Mekanisme Kerja Antidotum



1.3



Rumusan Masalah Masalah yang dibahas dalam makalah ini yaitu mengenai : a. Bagaimana penangana terhadap keracunan? b. Apa itu terapi antidotum dan bagaimana pula terapi antidotum itu?



1



c. Apa itu terapi non spesifik dan bagaimana pula terapi non spesifik itu? d. Apa itu terapi spesifik dan bagaimana pula terapi spesifik itu? e. Bagaimana mekanisme kerja antidotum?



1.4



Tujuan Makalah 1. Dapat mengetahui pembahasan mengenai treatment penanggulangan efek toksik. 2. Mampu menjelaskan terapi antidotum, terapi non spesifik, dan terapi spesifik. 3. Mampu menjelaskan bagaimana mekanisme kerja antidotum.



1.5



Manfaat Makalah Hasil dari makalah ini dapat diharapkan bermanfaat bagi para membaca



dengan informasi yang ada didalamnya, secara keseluruhan mengenai Treatment Penanggulangan Efek Toksik.



2



BAB II PEMBAHASAN



2.1



Penanganan Keracunan Penanganan keracunan adalah menjaga fungsi organ dan menghindari



absorpsi lebih lanjut, mempercepat eliminasi, dan menormalkan fungsi tubuh. a. Melalui mulut : 



mengurangi absorbsi dengan merangsang muntah (sirup ipeca).







menguras lambung (air hangat dengan tube nasogantrik)







karbon aktif, membersihkan usus ( laksan)







pemberian antidotum.







meningkatkan eliminasi ( diuretic asam atau basa).







transfuse penukar.







Dialysis.







hemodialisis.







hemoperfusi.



b. Melalui hidung : memindahkan penderita dari ruangan yang tercemar racun, trakeotomi, resuscitator. c. Kontaminasi kulit : siram dengan air. d. Kontaminasi mata : dibilas dengan air/laritam Na Cl fisiologis. e. Sengatan/gigitan binatang berbisa : diikat didaerah luka gigitan, beri antidotum, pendinginan local, mengisap dari luka.



2.2



Defenisi Terapi Antidotum Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang efek toksik atau efek



berbahaya dari suatu zat kimia terhadap jaringan biologi. Zat kimia yang potensial toksik sangat banyak terdapat dilingkungan manusia, menyebabkan pembahasan toksikologi menjadi sangat luas. Ada beberapa bidang toksikologi berkaitan dengan zat kimia penyebab toksisk. Toksikologi lingkungan (polusi udar dan air), toksikologi ekonomi (zat tambahan makanan, pestisida), toksikoligi medio-legal



3



(forensik, regulasi zat tambahan makanan, zat berbahaya), toksikologi bio-medika (obat dan zat diognostik) dan toksikologi laboraturiun (analisa kimiawi zat toksik. Banyaknya zat kimia yang dapat menimbulkan efek toksik, namun sebagian besar tidak tersedia antidotumnya, sehingga kalau terjadi keracunan olehnya hanya dilakukan tindakan simtomatik untuk meminimalkan resiko. Secara umum, terapi antidotum didefinikan sebagai tata cara yang ditunjukkan untuk membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau menyembuhkannya sehingga bermanfaat dalam mencegahnya timbulnya bahaya selanjutnya. Efek toksik suatu zat kimia dapat terjadi jika kadar zat toksik melampaui kadak toksik minimal (KTM)nya dalam sel sasaran. Untuk mencapai KTMnya, untuk zat yang masuk melalui oral atau topikal harus melalui bebrapa tahap. Tahapan tersebut adalah absorbsi masuk ke sirkulasi sistematik lalu mengalami distribusi menuju tempat kerjanya. Kedua proses diatas (absorpsi dan distribusi) menyebabkan meningkatnya kadar obat dalam sel sasaran. Proses berikutnya yang dapat mengurangi kadar obat dalam sel sasaran adalah metabolisme dan ekskresi atau sering disebut eliminasi. Sehingga efek toksik suatu zat kimia sangat dipengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabilisme, dan ekskresi (ADME) karena akan menentukan jumlah zat di sel sasarannay. Dengan demikian untuk mengurangi jumlah zat kimia dalam sel sasarannya dapat dilakukan dengan cara : menghambat absorpsi dan distribusi serta mempercepat metabolisme dan ekskresi (eliminasi). Meningkatkan nilai ambang toksik (KTM, kadar toksik minimal) juga merupakan cara untuk mencegahan efek toksik. Kesemua hal di atas sering merupakan strategi terapi antidotum. 2.3



Terapi Non Spesifik Terapi non spesifik adalah suatu terapi keracunan yang bermanfaat hampir



pada semua kasus, melalui cara-cara seperti memasu muntah, bilas lambung, dan memberikan zat absorben. Cara lain adalah mempercepat eliminasi dengan pengasaman dan pembasaan urin atau hemodialisis.



a. Menghambat absorpsi zat racun



4



Menghambat absorpsi zat racun dapat dilaksanakan dengan beberapa cara antara lain dengan membersihkan atau mencuci kulit yang terkontaminasi zat toksik, mengeluarkan racun dalam lambung, mencegah absorpsi, dan memberikan pencahar. Mencuci kulit dilakukan dengan air mengalirkan dan jika zat mengenai pakaian, pakaiannya ditanggalkan. Zat toksik yang sudah masuk ke dalam lambung dapat dilakukan dengan pembarian norit (arang aktif), memuntahkan atau memberi pencahar atau bilas lambung. 1. Pemberian arang aktif (norit) Arang aktif diberikan pada kasus keracunan karena dapat mengabsorpsi zat racun atau toksin dalam saluran pencernaan. Lenih dini norit diberikan akan lebih efektif hasilnya. Norit masih efektif hingga 2 jam drai racun tertelan dan lebih lama lagi pada keracunan obat sediaan lepas lambat atau keracunan obat-obat yang bersifat kolinergik. Karbon aktif relatif aman dan dosisnya sangat tergantung dari jumlah zat toksik yang tertelan. Dosis minimumnya adalah 30 gram. Dosis pada orang dewasa adalah 50 g dapat diulang setiap 4-6 jam. Pemerian dosis berulang juga bermanfaat mempercepat eleminasi zat toksik yang sudah terabsorpsi. Karbon aktif dapat menyerang zat zat seperti salisilat, acataminophen, karbamazepin, dapson, teofilin, quinin, dan obat-obat anti depresan. Pemebrian karbon aktif dapat dikombinasikan dengan bilas lambung atau katartik, tetapi tidak dengan sirup ipekak atau susu karena akan mengurangi efektifitasnya. 2. Mengeluarkan racun dari lambung Pengeluaran zat racun dari lambung harus mempertimbangkan yang tertelan, tingkat keracunan dan berapa lama zat racun tertelan. Pengosongan lambung tidak berguna jika resiko dari keracunan kecil atau pasien sudah datang terlambat. Pengosongan dengan bilas lambung diragukan kegunaannya bila dilakukan lebih dari 1-2 jam setelah racun tertelan. Bahaya dari bilas lambung adalah teraspirasinya isi lambung, karena itu tidak boleh dilakukan pada pasien yang mengantuk atau koma kecuali jika reflek batuk sangat baik atau saluran napas dapat dilindungi



5



dengan pipa endotrakea. Pipa lambung tidak boleh dimasukkan pada keracunan zat korosif. Produk petroleum lebih berbahaya di dalam paru-paru dibandingkan di lambung, karena itu pencucian lambung tidak dianjurkan karena ada resiko terhirup. Dengan berbagai pertimbangan, bilas lambung umumnya tidak praktis dan jarang diperlukan, kecuali di rumah sakit. Memuntahkan isi perut dengan pemberian ipecacuanha telah dipakai baik pada orang dewasa atau anak-anak, tetapi sangat terbatas kegunaannya. Tidak terbukti bahwa ipecacuanha megurangi penyerapan secara bermakna (walaupun digunakan 1-2 jam) dan efek sampingnya dapat menyulitkan penegakan diagnosa terutam pda keracunan zat besi. Pemberian ipecacuanha hanya boleh dipertimbangkan bila pasien sadar sepenuhnya, atau bila zat racun yang tertelan tidaj korosif dan produk petroleum atau tidak dijerap dangan arang aktif. 3. Pemberian katartik/pencahar Pencahar digunakan untuk mempercepat pengeluaran zat racun dari saluran gastrointestinal (GI) terutama untuk racun yang sudah mencapai usus halus. Pemberian sorbitol direkomendasikan pada penderita yang tidak ada gangguan jantung. Magnesium sulfat dapat digunakan pada penderita yang tidak ada gangguan ginjal. Pemberian magnesium sulfat sering kali diberiakan setelah pemberian arang aktif sebagiamana dijelaskan sebelumnya. Dosis oral yang sering dipakai adalah 5-15 g yang diberikan dengan segelas air. Efek katartiknya dimulai dari 0,5-2 jam setelah pemerian. Magnesium sulfat dikontraindikasikan pada pasien obstruksi usus, mual, muntah dan gangguan ginjal. Jika pemberian obat ini diperpanjang, kondisi pasien harus dipantau kemungkinannya terjadi dehidrasi dan ketidak seimbangan elektolit. b. Mempercepat eliminasi Kecepatan eliminasi akan mempengaruhi jumlah obat yang berada di sel sasaran dalam melampaui nilai KTMnya. Percepatan eleminasi dapat



6



dilakukan dengan cara meningkatkan ekskresi melalui pengasaman atau pembasaan urin dan diuresis paksa. Pengasaman urin (menurunkan pH urin) dengan memberikan zat seperti ammonium klorida atau vitamin C akan mengurangi reabsorpsi zat atau obat yang bersifat basa lemah seperti amfetamin. Sebaliknya pembasaan urin melalui pemberian natrium bikarbonat akan mengurangi reabsorpsi pada obat / zat yang bersifat asam lemah seperti aspirin dan fenobarbital. Pengurangan reabsorpsi tubulus terjadi karena pengasaman / pembasaan urin tersebut di atas akan meningkatkan derajat ionisasi di tubulus sehingga akan mengurangi reabsorpsi. Hemodialisis adalah salah satu cara untuk mempercepat eleminasi suatu zat dan mengembalikan keseimbangan elektrolit. Cara ini efektif jika zatnya sudah terabsorpsi dan berada pada cairan sistemik dan tidak mempunyai volume distribusi terlalu beras atau obat tidak terdistribusi secara ekstentif pada



jaringan.



Salisilat,



methanol,



etilen



glikol,



paraquat



dan



litiumeleminasinya dapat efektif ditingkatkan dengan cara hemodialisis.



2.4



Terapi Spesifik Terapi antidotum spesifik adalah terapi antidotum yang hanya efektif untuk



zat-zat tertentu. Cukup banyak antidotum spesifik telah digunakan dalam klinik. Untuk memudahkan mempelajarinya, antidotum yang spesifik dikelompokan menjadi : antidotum yang bekerja secara kimiawi, bekerja secara farmakologi dan yang bekerja secara fungsional. a. Antidotum yang bekerja secara kimiawi Contoh paling sederhana dari antidotum jenis ini adalah penggunaan zat pembentuk kelat. Penggunaan antidotum jenis ini akan menyebabkan terjadinya reaksi antara abtidotum dengan zat toksik membentuk suatu produk yang kurang toksik dan mudah dieksresikan. Ada banyak contoh zat pembentuk kelat yang sering digunakan seperti untuk keracunan logamlogam berat ; cobalt-containing cyanide untuk keracunan cyanide dan fabfragment untuk keracunan digoksin.



7



a. Zat-zat pembentukan kelat Zat pembentuk kelat biasanya mengandung dua atau lebih gugus elektronegatif yanf membentuk ikatan kovalen komplek stabil dengan logam-logam atau kation menghasilkan zat komplek yang kurang toksik daripada logam berat bebas atau membatasi logam-logam berat untuk berikatan dengan tempat kerjanya sehingga mudah tereleminasi. Dalam semua keadaan semua proses diatas akan memberikan kontribusi dari effektifitas antidotum. Semakin banyak ikatan ligan terbentuk, semakin stabil ikatan komplek yang terjadi dan semakin efisien proses chelatornya. Zat-zat kelat umunya mempunyai gugus-gugus fungional seperti –OH, -SH dan –NH yang akan berkompetisi logam-logam pada tempat ikatannya pada protein sel. Contoh zat-zat chelator adalah : 1) Dimercaprol (British anti-lewisite, atau BAL) 



Zat mirip minyak, tidak berwarna, bau tidak enak (busuk). Pemerian umumnya melalui injeksi im 10% dalam minyak kacang







Bereaksi dengan logam-logam berat sehingga mencegah inaktivasi enzim-enzim yang mengandung gugus SH. Dimercaprol paling efektif jika deberikan segera setelah terpapar logam berat







Berguna untuk keracunan arsen, merkuri dam timbal







Efek samping takijardia, hipertensi, mual dan iritasi lambung







Sekarang tersedia 2 macam obat yang mirip dengan dimercaprol yaitu dimercaptosuccinic acid (DMSA) dan dimercaptopropane sulphonic acid (DMSP). Kedua zat chelat tersebut juga mempunyai 2 gugus thiol (-SH) tetapi lebih hirofilik. Tidak seperti dimercaprol, DMSA dam DMPS dapat diberikan secara oral dan mempunyai indek terapi yang lebih besar



2) EDTA (etilendiamin tetra asetat) 8







Efektif untuk logam-logam transisi, oleh karena itu EDTA juga membentuk kelat dengan Ca tubuh







EDTA diberikan dalam bentuk injeksi im atau iv dalam bentuk garamnya, Na atau Ca







Dieksresi melalui filtrasi glomelurus







Digunakan terutama pada keracunan Pb







Pada dosis tinggi bersifat neprotoksik terutama pada tubulus renal



3) Penisilamin (Cuprin) 



Enyawa mirip dengan pinisilamin







Sangat baik diabsorpsi pada saluran pencernaan







Toksik pada sumsum tulang belakang dan ginjal adalah efek yang paling merugikan







Biasanya digunakan untuk keracunan Cu pada individu yang menderita penyakit Wilson’s. Kelebihan Cu akan toksik pada herpa dan CNS







Penisilamin juga digunakan pada keracunan Cu juga Hg serta sebagai tambhan untuk terapi keracunan Pb dan arsen



4) Deferoksamin 



Spesifik membentuk kelat dengan logam besi, dengan ion feri membentuk feroxamin. Defaroxamin dapat mingikat zat besi dari feritin dan homosiderin, tetapi tidak dapat menarik zat besi dari hemoglobin, sitokrom dan mioglobin.







Pemerian infus secara cepat dapat menimbulkan shok hipotensi



karena



memacu



pelepasan



histamin.



Deferoksamin dapat juga diberikan melalui injeksi im 



Deferoksamin dimetabolisme dan diekskresi melalui ginjsl dan menyebabkan urin berwarna merah



9







Dapat menyebebkan neurotoksik atau toksik pada ginjal. Dikonraindikasikkan pada pasien dengan gangguan ginjal



5) Trientin (cuprid) 



Membentuk chelat dengan Cu







Terapi terbatas untuk penyakit Wilson’s pada individu yang tidak dapat mentolerir penisilamin



b. Fab Fragment Antiserum telah lama digunakan untuk pengobatan keracunan toksin yang berasal dari botulimus atau ular. Secara teoritis pendekatan seperti ini diadopsi untuk pengobatan keracunan. Fab fragment adalah suatu antibodi monoklonal dapat mengikat digoksin dan mempercepat ekskresinya melalui filtrasi glomelurus c. Dikobaltedet dan Hidrokobalamin Telah lama diketahui bahwa logam-logam transisi dapat membentuk dengan sianida yang stabil dan bersifat non toksik. Disamping logamlogam transisi, hidrokobalamin (vitamin B12a) juga telah terbukti efektif untuk dikobalt edetat, digunakan hanya menjelang pasien kehilangan kesadaran atau sudah kehilangan kesadarn, bukan untuk tindakan pencegahan. Cobalt edetat diberikan melalui injeksi iv 300 mg (20 ml) dalam 1 menit (5 menit jika kondisi tidak berat) disusul dengan 50 ml infus glukosa 50% jika tidak menunjukkkan perbaikan yang memadai. Jika ada perbaikan setelah 5 menit boleh diberikan dosis ke 2. Pemberian Na-nitrit yang diikuti dengan pemberian Na-tiosulfat juga dapat digunakan untuk keracunan sianida



d. Detoksifikasi enzimatik



10



Detoksifikasi enzimatik dapat delakukan dengan dua jalur, dengan memberikan kosubtrat pada reaksi yang terjadi dan memberikan enzim dari luar nmempercepat metabolisme zat racun 1). Etanol Etanol dapat digunakan untuk keracunan methanol atau etilen glikol. Metanol dan etilenglikol dalam tubuh akan mengalami oksidasi olehg enzim alkoholdehidrogenase menghasilkan formaldehid dan asam format. Pemberian etanol akan menyebabkan kompetisi dengan methanol atau etilenglikol dalam memperebutkan enzim alkohol dehidrogenase. Hasil reaksi antara etanol dengan enzim alkohol dehidrogenase adalah asam asetat yang relatif tidak toksik dan mudah dieksresikan dibandingkan dengan formaldehid dan asam format 2). Atropin dan Pralidoksin Keracunan pestisida organofosfat dan carbamat dapat menyebabkan timbulnya perangsangan kolinergik yang berlebihan. Gejala yang timbul seperti cemas, gelisah, pusing, sakit kepala miosis, mual, hipersaliva, muntah kolik andomen, diare, brandikardi, dan berkeringat, lemah otot menyebabkan paralisis umum (lemas) termasuk otot mata atu pernapasan Gejala diatas dapat terjadi karena pestisida dapat mengikar enzim asetil kolinesterasa yang berfungsi untuk menguraikan asetilkolin menjadi aseil Co A dan kolin. Menyebabkan jumlah asetil kolin berlebih sehingga timbul perangsangan parasimpatik (kolinergik) yang berlebih pula (ingat asetilkolin adalah neorotransmiter sistem saraf parasimpatik). Atropin adalah suatu antikolinergik yang bekerja berlawanan dengan asetilkolin. Atropin diberikan dalam bentuk garamnya (atropin sulfat) dengan dosis 2 mg melalui injeksi (iv, im), pemberian dapat diulang tergantung pada tingkat keparahan, setiap 20-30 menit hingga kulit kelihatan memerah dan kering, pupil dilatasi dan timbul takikardia.



11



Pralidoksim adalah suatu reaktivator kolinesterase yang biasanya ditambahkan pada atropin sulfat pada keracunan pestisida sedang hingga berat. Dosis umumnya sebesar 30 mg / Kg BB dilarutkan dalam 10-50 ml air, diberikan melalui injeksi iv perlahan-lahan. Pada kasus keracunan yang berat, pemberian dapat di ulang. Dengan cara yang sama, fisotigmin dapat digunsksn untuk keracunan atropin. Sifat fisostigmin sebagai antikolinesterase dapat menyebabkan akumulasi asetilkolin sehingga akan melawan efek antikolinergik yang berlebihan dari atropin. 3). N-asetilsistein dan Metionin Pada keracunan parasetamol (asetaminofen), toksisitas terjadi karena



parasetamol



dimetabolisme



menjadi



N-acetyl-p-



benzoquinoneimine (NABQI). Pada dosis normal, parasetamol tidak berbahaya karena tidak dimetabolisme menjadi NABQI, dan hanya pada over dosis terbentuk NAQBI. NAQBI dapat menyebabkan kerusakan sel terutama sel herpa, sehingga akan meningkatkan enzin intraseluler SGPT dan SGOT. Asetilsistein suatu obat dapt diberikan dengan NABQI membentuk senyawa non toksik. Metionin dalam tubuh akan mengelami metabolisme homosistein berfungsi sebagai donor sulfur untuk diikat oleh NABQI sehingga dapat sebagai alternatif asetil siistein. b. Antidotum yang bekerja secara farmakologi Antidotum farmokologi adalah suatu antidotum yang bekerja mirip dengan zat toksik, bekerja pada reseptor yang sama atau berbeda. 1. Nalokson hidroklorida Keracunan opioid dapat menyebabkan koma, depresi pernapasan, brandikardi, depresi pernapasan dan pupil mengecil (pint point). Nalokson adalh antagonis opioid yang bekerja pada reseptor yang sama sehingga berkompetisi dalam memperebutkan reseptor opioid. Karena kerja dari naloksaon sangat singkat, maka diperlukan pemberian berulang sesuai dengan frukuensi nafas dan kedalaman koma. Alternatif



12



lain, nalokson dapat diberikan melalui infus yang kecepatannya dapat diatur sesuai respon yang diinginkan. Dosis pemberian inj iv adalaj 0,82 mg dapat diulang setiap 2-3 mnit sampai dosis maksimal 10 mg



2. Flumazamil Flumazamil adalah suatu antagonis benzodiazepin. Benzodiazepin sebagai obat tunggal (besar) dapat menyababkan mengantuk, ataksia, disatria dan kadang-kadang depresi. Obat-obat golongan benzodiazepin bersifat sinergis dengan obat depresan lain jika diminum bersamaan. Flumazamil juga dapat digunakan untuk diagnosa dalam memastikan adanya keracunan yang penyebabnya tidak jelas. Analisa atau nasehat ahli sangat penting dalam pemberian obat ini karena dapat manyebabkan konvulsi pada pasien yang ketergantungan obat-obat benzodiazepin seperti diazepam, nitrazepam atau lorazepam. 3. Oksigen Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan keracunan karena kemampuannya dalam mengikat homoglobin (Hb) dan membentuk zat kompek yang tidak dapat berfungsi mengikat oksigen lagi. Afinitas ikatan Hb dengan CO 200 kali lebih kuat dibandngkan ikatan Hb dengan oksigen. Namun dengan pemberian oksigen dalam jumlah banyak dan murni dapat mendesak ikatan Hb-CO dan menggantikan posisi CO kembali ke oksigen. c. Antidotum yang bekerja sebagai antagonis fungsional Antidotum antagonis fungsional dapat juga digolongkan sebagai antidotum non spesifik karena berguna sebagai terapi simtomatik dan mengantagonis beberapa jenis zat toksik. Sebagai contoh penggunaan diazepam untuk mengahambat konvulsi (kejang) dan fasciculasi yang disebabkan zat seperti organofosfat, karbamat dan stimulan



Tabel. Daftar zat toksik beserta antidotum spesifiknya No.



Zat toksik



Antidotum



13



1



Parasetamol



N-asetil sistein



2



Arsen, Hg, Pb, Au



BAL (dimercaprol)



3



Beta-bloker



Glukakon



4



Benzodiazepin



Flumazemil



5



CO



Oksigen, hiperbaik oksigen



6



Koumarin



Vit K



7



Sianida



Nitrit dan nitrat



8



Digoksin



Digoksin-fab fragment



9



Methanol dan eilen glikol



Etanol



10



Heparin



Promatin



11



Zat besi



Deferoksiman



12



INH



Piridoksin



13



Narkotika (opioid)



Nalokson



14



Nitrit



Metilen blue



15



Organofosfat dan karbamat



Atropin, pralidoksim



2.4



Mekanisme Kerja Antidotum 



Membentuk senyawa kompleks dengan racun : dimerkaprol, EDTA, penisilamin, dikobal edetat, pralidoksin.







Mempercepat detoksifikasi racun : natrium tiosulfat,dll.







Berkompetisi dengan racun dalam interaksi dengan reseptor : oksigen, nalokson.







Memblokade reseptor esensial : atropine.







Efek antidot melampaui efek racun : oksigen, glukagon.







Mempercepat pengeliaran racun : NaCl untuk meningkatkan pengeluaran urin pada keracunan bromid







Mengabsorpsi racun : karbon







Menghambat absorpsi racun : MgSO4.







Perangsang muntah : sir. Ipeca.



14







Menginaktifkan racun : natrium tiosulfat, antibisa, antitoksin botulinus.







Pengendap racun : natrium sulfat, kalsium laktat.







Antidot universal (campuran karbon, asam tanat, MgO (1:1:2): asam , alkali, logam berat, glikosida.







Antidot multiple (campuran besi sulfat, Mg S04, air, karbon) : As, opium, Zn, digitalis, Hg, strihnin.







Serum anti bisa ular : neurotoksis, hemotoksis.



15



BAB III PENUTUP



3.1



Kesimpulan a. Penanganan keracunan adalah menjaga fungsi organ dan menghindari absorpsi lebih lanjut, mempercepat eliminasi, dan menormalkan fungsi tubuh. b. Terapi antidotum didefinikan sebagai tata cara yang ditunjukkan untuk membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau menyembuhkannya sehingga



bermanfaat



dalam



mencegahnya



timbulnya



bahaya



selanjutnya. c. Terapi non spesifik adalah suatu terapi keracunan yang bermanfaat hampir pada semua kasus, melalui cara-cara seperti memacu muntah, bilas lambung, dan memberikan zat absorben, mempercepat eliminasi dengan pengasaman dan pembasaan urin atau hemodialisis. d. Terapi antidotum spesifik adalah terapi antidotum yang hanya efektif untuk zat-zat tertentu. Cukup banyak antidotum spesifik telah digunakan dalam klinik. Untuk memudahkan mempelajarinya, antidotum yang spesifik dikelompokan menjadi : antidotum yang bekerja secara kimiawi, bekerja secara farmakologi dan yang bekerja secara fungsional.



3.2



Saran Dalam kondisi telah terpapar toksik dan mengalami keracunan dapat



ditanggulangi dengan melakukan terapi antidotum



16



DAFTAR PUSTAKA



Priyanto.2014.Toksikologi, Mekanisme, Terapi Antidotum, dan Penilaian Resiko.Jakarta:Leskonfi



Aisyah.2012.Toksikologi dan Penanganan Kecarunan Dapat diakses melalui : http://aisyahpoetrisunda.Blogspot.com/2012/02/toksikologi-dan-penanganan-keracunan.html



Ayu.2013.Tugas Toksikologi Analisa Kasus Dapat diakses melalui : http://s1farmasiayu.blogspot.com/2013/09/tugastoksikologi-analisis-kasus.html



17