Makalah AQIDAH AKHLAK Fathimah Azzahra [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

UNTUK MEMENUHI TUGAS AQIDAH AKHLAK



“ Fatimah az-Zahra” dan “ Uwais Al-Qurni”



Disusun oleh SUCI MAULIDYA XI – IPS 1



MAN 19 JAKARTA



JL. H. JaeIani 3 Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan



KATA PENGANTAR



Assalamualaikum Wr.Wb



Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Fatimah azZahra” dan “Uwais Al-Qarni” . Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata pelajaran Aqidah Akhlak yang dibimbing oleh Ibu Idawati S.Ag. MM. Makalah ini berisi tentang seorang wanita sholehah bernama Fatimah binti Muhammad atau lebih dikenal dengan Fatimah az-Zahra putri bungsu Nabi Muhammad SAW dari perkawinannya dengan istri pertamanya yaitu Khadijah. Dan juga sesosok laki-laki bernama Uwais Al-Qurni yang samgat menghormati seorang perempuan atau bisa disebut Ibu, sosok yang sangat wajib kita hormati dan sayangi selama di dunia Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata saya sampaikan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai usaha kita. Aamiin.



Wassalamualaikum Wr.Wb



Jakarta, 07 Nopember 2017



Penyusun



“ Fatimah az-Zahra” Siti Fatimah merupakan nama lengkapnya. Wanita cantik istri dari Khalifah ke empat yakni Ali bin Abi Thalib ini merupakan putri baginda Rasulullah Muhammad SAW bersama Ummum Mukminin Khadijah binti Khuwalid. Fatimah juga mendapat julukan sebagai Az Zahra yang artinya wanita tak pernah mendapat haid selama hidupnya. Saat melahirkan buah hatinya, masa nifas yang dialami Fatimah pun sangat sebentar. Fatimah yang merupakan buah hati ke empat baginda Rasulullah ini sendiri lahir lima tahun setelah Muhammad diangkat menjadi rasul tepatnya pada 20 Jumadil Akhir. Kelahiran Fatimah disambut bahagia oleh Rasulullah maupun keluarga, kerabat dan juga para sahabatnya.



Fatimah az-Zahra Ketika Kecil



Fatimah kecil tumbuh dengan baik dan menggemaskan. Sayang, di usianya yang ke lima tahun sang bunda yakni Khadijah harus pulang ke Rahmatullah. Di usianya yang masih sangat dini, ia harus menggantikan pekerjaan sang bunda untuk melayani, membantu dan membela sang ayah. Masa kecil Fatimah penuh dengan tantangan juga cobaan serta kesedihan. Berkalikali ia harus menyaksikan sang ayah ditentang oleh kaum kafir Quraish. Tidak jarang Fatimah kecil meneteskan air mata di pipinya karena melihat perjuangan serta penderitaan sang ayah saat berdakwah.



Meski hidupnya penuh tantangan dan cobaan, Fatimah tak pernah mengeluh akan hal itu. Ia tetap semangat dan tumbuh menjadi gadis yang kuat, mengesankan serta selalu ada untuk sang ayah. Hari ke hari, ia pun tumbuh menjadi gadis dewasa yang cerdas, cantik jelita dan berbudi luhur serta mulia. Kisah cintanya pun dikatakan sebagai kisah cinta paling mulia sepanjang masa.



Fatimah tumbuh dewasa di rumah seorang Nabi yang penuh kasih. Nabi mendidik dan membimbingnya sedemikian rupa agar kelak ia menjadi seorang wanita yang benar-benar mampu meneladani akhlak, kehalusan hati, dan arahan-arahan yang beliau berikan. Ketika usia Fatimah menginjak lima tahun, terjadilah peristiwa besar pada ayahnya, yakni turunnya wahyu Allah. Sejak itulah, ia mulai merasakan tahapan pertama dari tugas dakwah yang harus diemban ayahnya. Fatimah sering menyaksikan gangguan kaum Quraisy kepada ayahnya, karena dia kerap menyertai Rasulullah. Seperti terjadi di Masjidil Haram, ketika Nabi sedang sujud tiba-tiba Uqbah bin Mu'ith melemparkan bangkai kambing ke punggung Nabi. Belum pulih penderitaan itu, tiba-tiba ibunya, Khadijah wafat. Sejak kematian ibunya, Fatimah menyadari bahwa ayahnya sebagai Nabi tentu telah dihadang oleh beban yang amat berat dalam menjalankan dakwah, terlebih dengan wafatnya Abu Thalib, paman Nabi. Maka, dengan setia, Fatimah terus mendampingi ayahnya untuk menggantikan peran ibunya. Dia lantas digelari Umm Abiha, ibu untuk ayahnya.



Fatimah az-Zahra Ketika Dewasa Ketika Fatimah beranjak dewasa dan siap untuk dipersunting, banyak pria mulia dan ternama di zamannya mengajukan lamaran. Sebut saja Khalifah pertama yakni Abu Bakar As Sidhiq dan Khalifah kedua yakni Umar Bin Khattab. Rupanya jodoh Fatimah bukan satu di antara keduanya. Lamaran Abu Bakar maupun Umar tidak mendapat restu dari Rasulllah SAW.



Malaikat Jibril pun turun ke bumi dan mengabarkan pada Rasulullah bahwa Fatimah hendak dinikahkan dengan Ali bin Abi Thalib. Keduanya adalah sepasang anak manusia yang memang telah ditakdirkan bersama di dunia hingga akhirat. Tak lama setelah datangnya kabar ini, Ali pun mendatangi Rasulullah dan menyampaikan niat tulusnya untuk mempersunting buah hatinya. Dengan senang hati Rasulullah pun menerima lamaran tersebut dan menikahkan Fatimah untuk Ali. Selepas menikah, pasangan Fatimah juga Ali pun akhirnya sama-sama tahu jika mereka saling mencintai satu sama lain hanya karena Allah.



Belum genap setahun, Fatimah dikaruniai putra bernama Hasan. Nabi SAW sendiri yang membacakan adzan di telinga cucunya itu. Berselang satu tahun usia Hasan, lahirlah anak ke-2, Husain, pada bulan Syaban tahun ke-4 Hijriyah. Pada tahun ke-5 Hijriyah, Fatimah kembali melahirkan seorang anak perempuan yang oleh Nabi SAW diberi nama Zainab. Dua tahun kemudian lahir kembali seorang putri yang diberi nama Ummu Kultsum. Demikian Allah memberikan kenikmatan yang besar kepada Fatimah dengan menjadikannya sebagai penerus keturunan Nabi dan sebagai keturunan paling mulia yang pernah dikenal manusia. Rasulullah SAW sangat menyayangi putrinya itu. Rasulullah pernah berkata di atas mimbar, ''Sungguh, Fatimah bagian dariku. Siapa yang membuat dia marah, berarti telah membuat aku marah,'' tegas Rasulullah. Cinta keduanya begitu suci dan mulia. Saking sucinya, sebuah riwayat menjelaskan bahwa cinta keduanya hanya Allah dan mereka yang tahu. Setan bahkan tak pernah tahu bahwa ada cinta yang begitu besar di hati keduanya hingga keduanya resmi menikah dan menjadi pasangan halal.



Fatimah az-Zahra Yang Sederhana dan Istimewa Pernah suatu hari Fatimah Az Zahra, dihampiri oleh Abdurrahman bin ‘Auf yang memberi tahu bahwa Rasulullah SAW tengah menangis sedih selepas menerima wahyu dari Jibril. Abdurrahman datang ke sana dalam rangka untuk mencari obat bagi suasana



hati Nabi yang sedang dilanda kalut. Satu hal yang bisa membuat bahagia Rasulullah adalah dengan melihat putrinya tersebut. Setelah mendengar kabar dari Abdurrahman itu, Fatimah Az Zahra lalu berkata: “Baik. Tolong menyingkirlah sejenak hingga aku selesai ganti pakaian.” Demikian diceritakan dalam kitab al-Aqthaf ad-Daniyyah melalui riwayat Umar bin Khattab. Keduanya lalu berangkat ke tempat Rasulullah. Kala itu, ia menyelimuti tubuhnya dengan pakaian yang usang, ada 12 jahitan di dalam lembar kain tersebut. serpihan dedaunan kurma juga tampak menempel di sela-selanya. Sayidina Umar bin Khattab menepuk kepala ketika menyaksikan penampilan Fathimah tersebut sambil berkata: “Betapa nelangsa putri Muhammad SAW. Para putri kaisar dan raja mengenakan sutra-sutra halus sementara Fathimah anak perempuan utusan Allah puas dengan selimut bulu dengan 12 jahitan dan dedaunan kurma.” Sesampainya Fatimah Az Zahra di tempat ayahnya, Fatimah bertutur, “Ya Rasulullah, tahukah bahwa Umar terheran-heran dengan pakaianku? Demi Dzat yang mengutusmu dengan kemuliaan, aku dan Ali (Sayyidina Ali bin Abi Thalib, suaminya) selama lima tahun tak pernah menggunakan kasur kecuali kulit kambing.” Fatimah menceritakan, keluarganya menggunakan kulit kambing tersebut hanya di waktu malam hari saja. Sementara pada siang hari kulit tersebut berubah fungsinya menjadi tempat makan unta. Untuk bantal mereka hanya terbuat daru kulit yang berisi serpihan dedaunan kurma. Setelah mendengarkan ucapan dari Fatimah Az Zahra, Rasulullah kemudia berkata kepada Umar “Wahai Umar, tinggalkan putriku. Mungkin Fathimah sedang menjadi kuda pacu yang unggul (al-khailus sabiq),” sabda Nabi kepada sahabatnya itu. Analogi kuda pacu tersebut merujuk pada pengertian mengenai keutamaan sikap fatimah yang mengungguli seluruh putri-putri raja lainnya. “Tebusanmu (wahai Ayah) adalah diriku,” sahut Fathimah. Demikianlah ulasan mengenai gaya hidup Fatimah Az Zahra, putri Rasulullah SAW. Sebenarnya, dengan kedudukan dan kharisama luar biasa dari ayahandanya, Fatimah Az Zahra bisa memperoleh apa saja yang dia inginkan. Akan tetapi, ia telah



mewarisi kepribadian Rasulullah SAW yang bersahaja. Ia tetap tampil dengan sederhana namun memiliki kemewahan jiwa yang luar biasa.



Fatimah az-Zahra Pemimpin Wanita di Surga



Wanita bergelar Az Zahra ini sendiri adalah seorang wanita yang sangat cantik, berakhlak mulia, penyayang, sopan santun, penuh kesabaran, lembut hati, suka menolong dan begitu patuh pada sang suami. Ia juga seorang wanita yang cerdas serta sosok yang sangat dicintai oleh Allah begitu pun oleh rasulnya.



Tak hanya dijuluki sebagai Az Zahra, Fatimah juga dijuluki sebagai seorang pemimpin para wanita penduduk surga.



Aisyah berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda, "Ketika aku dalam



perjalanan ke langit, aku dimasukkan ke surga, lalu berhenti di sebuah pohon dari pohon-pohon surga. Aku melihat yang lebih indah dari pohon yang satu itu, daunnya paling putih, buahnya paling harum. Kemudian, aku mendapatkan buahnya, lalu aku makan. Buah itu menjadi nuthfah di sulbi-ku. Setelah aku sampai di bumi, aku berhubungan dengan Khadijah, kemudian ia mengandung Fatimah. Setelah itu, setiap aku rindu aroma surga, aku menciumi Fatimah". (Tafsir Ad-Durrul Mantsur tentang surat Al-Isra: 1; Mustadrak Ash-Shahihayn 3: 156).



Wafatnya Fatimah az-Zahra Hari ketiga Ramadan adalah hari wafatnya anak kesayangan baginda Nabi Muhammad SAW, Fatimah Az-Zahra. Fatimah yang juga istri Ali bin Abu Thalib, ini wafat pada 3 Ramadan tahun 11 Hijriah atau 23 November 632 Masehi. Dia dimakamkan pemakaman Baqi, Madinah. Kepergian ibu dari Hasan dan Husein sungguh menyayat hati dan mengharu biru. Fatimah sebenarnya sudah tahu kapan dirinya akan dipanggil Ilahi.



Alkisah saat Rasulullah terbaring sakit, Fatimah tak henti-hentinya bersedih. Rasulullah pun membisikkan sesuatu ke telinga anaknya.



"Aku akan pergi tetapi engkau pertama yang akan menyusul," ujar Rasulullah dikutip dalam buku Fatimah Az-Zahra karya Sibel Eraslan, Rabu (17/5).



Sontak raut muka Fatimah menjadi senang karena keriduannya kepada ayahanda pasti segera tertambat. Banyak yang ingin tahu apa yang Rasulullah bisikkan kepada Fatimah, namun ditanya berapa kalipun Fatimah bergeming. Fatimah menyadari ajalnya makin dekat, saat itu dia menemui ayahnya dalam mimpi. " Wahai Fatimah! aku datang untuk memberi kabar gembira kepadamu. Telah datang saat terputusnya takdir kehidupannya di dunia ini, putriku. Tiba sudah saatnya untuk kembali ke alam akhirat! Wahai Fatimah bagaimana kalau besok malam kamu menjadi tamuku? "



Sebelum meninggal, Fatimah berlaku tidak biasa di dalam rumah dia menyisir Hasan dan Husein dengan air mawar dan hati terus bergetar karena tahu dia akan meninggalkan dua buah hatinya. Dia dekap Hasan dan Husein dan diciuminya dalam-



dalam.



Ali termenung dan terus memandangi belahan hatinya tersebut. lantas Fatimah berkata, "Wahai Ali. Bersabarlah untuk deritamu yang pertama dan bertahanlah untuk deritamu yang kedua! Jangan engkau melupakan diriku. Ingatlah diriku selalu mencintaimu dengan sepenuh jiwa. Engkau kekasihku, suamiku, teman hidupku yang terbaik, teman diriku berbagi derita dan teman perjalananku"



Lalu keempat orang itu menangis dan berpelukan. Fatimah lalu meminta kedua anaknya berziarah ke pemakaman Baki. Anak-anaknya menurut. Untuk terakhir kali Fatimah memandang Ali "Halal semua atasku wahai cahaya kedua mataku," ujar Fatimah memohon maaf.



Fatimah berbaring dan menyuruh Asma binti Umais menyiapkan keperluan dan makanan. Tak disangka beberapa waktu sebelum ditariknya nyawa Fatimah, dua anaknya kembali ke rumah. Fatimah pun menyuruh lagi keduanya pergi ke Raudah, dia tidak ingin anaknya sedih melihatnya menghadap Ilahi.



Dalam kesakitannya, Fatimah berbisik kepada Ali. Dia menitipkan wasiat kepada Ali, yaitu permohonan maaf kepada Ali, meminta Ali mencintai kedua anaknya, meminta dirinya dimakamkan pada malam hari agar saat dikebumikan tidak banyak dilihat manusia, dan meminta Ali untuk sering mengunjungi makamnya.



Saat menitipkan wasiat, tiba-tiba dua anaknya kembali dari Raudah. Sadar kondisi ibunya, mereka mendekap Fatimah erat-erat. Fatimah meminta keduanya agar jangan



berpaling di jalan Al-Quran, jalan Rasulullah dan melawan ayahnya.



Fatimah meminta semua orang keluar dari kamarnya, dia hendak menyendiri dan ingin bersama tuhannya. Fatimah berpesan jika tidak ada lagi sahutan dari dalam kamar maka jiwanya telah hilang. Dalam sekejap Madinah telah kehilangan mawarnya saat Fatimah kembali keharibaan tuhan.



KESIMPULAN Siti Fatimah merupakan nama lengkapnya. Wanita cantik istri dari Khalifah ke empat yakni Ali bin Abi Thalib ini merupakan putri baginda Rasulullah Muhammad SAW bersama Ummum Mukminin Khadijah binti Khuwalid. Fatimah juga mendapat julukan sebagai Az Zahra yang artinya wanita tak pernah mendapat haid selama hidupnya. Saat melahirkan buah hatinya, masa nifas yang dialami Fatimah pun sangat sebentar.



Wanita bergelar Az Zahra ini sendiri adalah seorang wanita yang sangat cantik, berakhlak mulia, penyayang, sopan santun, penuh kesabaran, lembut hati, suka menolong dan begitu patuh pada sang suami. Ia juga seorang wanita yang cerdas serta sosok yang sangat dicintai oleh Allah begitu pun oleh rasulnya.



Tak hanya dijuluki sebagai Az Zahra, Fatimah juga dijuluki sebagai seorang pemimpin para wanita penduduk surga.



Masa kecil Fatimah penuh dengan tantangan juga cobaan serta kesedihan. Berkalikali ia harus menyaksikan sang ayah ditentang oleh kaum kafir Quraish. Meski hidupnya penuh tantangan dan cobaan, Fatimah tak pernah mengeluh akan hal itu. Ia tetap semangat dan tumbuh menjadi gadis yang kuat, mengesankan serta selalu ada untuk sang ayah Hari ketiga Ramadan adalah hari wafatnya anak kesayangan baginda Nabi Muhammad SAW, Fatimah Az-Zahra. Fatimah yang juga istri Ali bin Abu Thalib, ini wafat pada 3 Ramadan tahun 11 Hijriah atau 23 November 632 Masehi. Dia dimakamkan pemakaman Baqi,



- SELESAI -



UWAIS AL-QARNI



Pada zaman Nabi Muhammad , ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerahmerahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al-Qur'an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit. Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekadar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya. Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak memengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya. Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam. Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah "bertamu dan bertemu" dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tetapi apalah daya ia tak punya bekal Di ceritakan ketika terjadi Pertempuran Uhud Rasulullah mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada dia sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah dia dari dekat?



Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditinggalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Dia memaklumi perasaan Uwais, dan berkata, "Pergilah wahai anakku! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang". Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi yang selama ini dirindukannya. Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi , diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah Sayyidah Fathimah binti Muhammad , sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata dia tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi dari medan perang. Tapi, kapankah dia pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman," Engkau harus lekas pulang". Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi . Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada Sayyidah Fathimah Radliyallahu 'anh untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi dan melangkah pulang dengan perasaan haru. Sepulangnya dari perang, Nabi langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rasulullah Sayyidatina Fathimah a.s. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi Sayyidah Fathimah Radliyallahu 'anh, memang benar ada yang mencari Nabi dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakitsakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.



Pemuda Yang Cinta Kepada Ibundanya Di Yaman, tinggallah seorang pemuda bernama Uwais Al Qarni yang berpenyakit sopak. Karena penyakit itu tubuhnya menjadi belang-belang. Walaupun cacat tapi ia adalah pemuda yang saleh dan sangat berbakti kepada ibunya, seorang perempuan wanita tua yang lumpuh. Uwais senantiasa merawat dan memenuhi semua permintaan ibunya. Hanya satu permintaan yang sulit ia kabulkan.



“Anakku, mungkin Ibu tak lama lagi akan bersamamu. Ikhtiarkan agar ibu dapat mengerjakan haji,” pinta sang ibu.



Mendengar ucapan sang ibu, Uwais termenung. Perjalanan ke Mekkah sangatlah jauh, melewati padang tandus yang panas. Orang-orang biasanya menggunakan unta dan membawa banyak perbekalan. Lantas bagaimana hal itu dilakukan Uwais yang sangat miskin dan tidak memiliki kendaraan?



Uwais terus berpikir mencari jalan keluar. Kemudian, dibelilah seekor anak lembu, kira-kira untuk apa anak lembu itu? Tidak mungkin pergi haji naik lembu. Uwais membuatkan kandang di puncak bukit. Setiap pagi ia bolak-balik menggendong anak lembu itu naik turun bukit. “Uwais gila... Uwais gila..” kata orang-orang yang melihat tingkah laku Uwais. Ya, banyak orang yang menganggap aneh apa yang dilakukannya tersebut.



Tak pernah ada hari yang terlewatkan ia menggendong lembu naik-turun bukit. Makin hari anak lembu itu makin besar, dan makin besar pula tenaga yang diperlukan



Uwais. Tetapi karena latihan tiap hari, anak lembu yang membesar itu tak terasa lagi.



Setelah 8 bulan berlalu, sampailah pada musim haji. Lembu Uwais telah mencapai 100 kilogram, begitu juga otot Uwais yang makin kuat. Ia menjadi bertenaga untuk mengangkat barang. Tahukah sekarang orang-orang, apa maksud Uwais menggendong lembu setiap hari? Ternyata ia sedang latihan untuk menggendong ibunya.



Uwais menggendong Ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Makkah! Subhanallah, alangkah besar cinta Uwais pada ibunya itu. Ia rela menempuh perjalanan jauh dan sulit, demi memenuhi keinginan ibunya.



Uwais berjalan tegap menggendong ibunya wukuf di Ka’bah. Ibunya terharu dan bercucuran air mata telah melihat Baitullah. Di hadapan Ka’bah, ibu dan anak itu berdoa.



“Ya Allah, ampuni semua dosa ibu,” kata Uwais.



“Bagaimana dengan dosamu?” tanya sang Ibu keheranan.



Uwais menjawab, “Dengan terampuninya dosa ibu, maka ibu akan masuk surga. Cukuplah ridha dari ibu yang akan membawaku ke surga.”



Itulah keinginan Uwais yang tulus dan penuh cinta. Allah subhanahu wata’ala pun memberikan karunia untuknya. Uwais seketika itu juga sembuh dari penyakit sopaknya. Hanya tertinggal bulatan putih ditengkuknya. Tahukah kalian apa hikmah dari bulatan disisakan di tengkuknya Uwais tersebut? Ituah tanda untuk Umar bin Khaththab dan Ali



bin Abi Thalib, dua sahabat Rasulullah untuk mengenali Uwais.



Beliau berdua sengaja mencari di sekitar Ka’bah karena Rasulullah berpesan, “Di zaman kamu nanti akan lahir seorang manusia yang doanya sangat makbul. Kalian berdua, pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman.”



“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu durhaka pada ibu dan menolak kewajiban, dan meminta yang bukan haknya, dan membunuh anak hidup-hidup, dan Allah, membenci padamu banyak bicara, dan banyak bertanya, demikian pula memboroskan harta (menghamburkan kekayaan).” (HR Bukhari dan Muslim)



Salam Nabi dan Undangan Umar untuk Uwais Al-Qarni “Mohon kalian semua duduk,” kata Umar kepada rombongan yang datang di sekitaran Ka'bah. Saat itu Umar sudah menjabat sebagai seorang khalifah. Artinya, itu adalah era di mana Nabi Muhammad dan Abu Bakar As-Shidiq sudah meninggal dunia. Keadaan cukup ramai karena sudah memasuki bulan Dzulhijah. Musim haji telah tiba. Orang-orang dari segala penjuru mendatangi kota Mekah untuk beribadah. Dan wajarnya ibadah haji pada era itu, yang dibawa pun sekalian barang dagangan. Ibadah sekalian berjualan. Itulah yang membuat keadaan di pusat kota Mekah saat Umar mengumpulkan para calon jamaah haji jadi terlihat semakin riuh. “Silakan duduk, kecuali orang-orang yang berasal dari daerah Qaran,” lanjut Umar bin Khattab. Semua orang-orang yang di hadapan Umar duduk bersila. Sedangkan orang-



orang dari Qaran tetap berdiri. “Siapa di antara kalian yang bernama Uwais?” tanya Umar kepada orang-orang yang masih berdiri. Semua orang yang berdiri bergeming. Saling pandang satu sama lain, seperti saling menyelidik dan bertanya-tanya. Umar pun paham, di antara orang-orang ini, tidak ada orang yang dimaksud. “Adakah di antara kalian yang mengenal orang yang bernama Uwais al-Qarni?” tanya Umar lagi dengan suara keras mengingat di hadapannya ada cukup banyak orang. Kasak-kusuk mulai terdengar, orang-orang ini mulai bingung. Ada apa sosok seterhormat khalifah Umar menanyakan Uwais? Orang-orang Qaran ini heran. Uwais hanya orang biasa, rakyat jelata, dan tidak punya kedudukan apapun. Bahkan bagi penduduk Qaran, Uwais hanyalah orang gila yang dikucilkan dari masyarakat. Itulah yang kemudian membuat salah satu pria yang berdiri sedikit maju ke depan untuk berbicara kepada Umar. “Wahai, Umar. Apa yang Anda inginkan darinya? Uwais adalah orang yang tidak dikenal kecuali oleh orang-orang sekitarnya. Ia tinggal di gubuk reyot. Hidup sendiri dan tidak bergaul dengan manusia,” kata perwakilan orang Qaran ini. Tanpa diduga oleh orang-orang Qaran dan calon jamaah haji yang duduk, Umar justru sumringah. Seperti menemukan seseorang yang selama ini ditunggu-tunggu. Dengan sedikit terburu-buru Umar mendatangi orang tersebut. “Sampaikan salamku padanya. Pada Uwais. Mohon, mintakan kepadanya untuk segera menemuiku di Mekah,” kata Umar. Tentu saja semua yang melihat ini bertanya-tanya. Siapa orang yang dimaksud Umar itu? Dan apa yang membuatnya jadi terlihat begitu istimewa sampai seorang Umar—salah satu sahabat terdekat Nabi Muhammad, khalifah penerus Abu Bakar AsShidiq—seperti berupaya keras untuk menyelidiki dan mencari sosoknya. Rasa penasaran yang tidak hanya muncul dari orang-orang Qaran, tapi juga jamaah haji yang sedang duduk.



Rasa penasaran itu mengerucut pada satu pertanyaan: Siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni? Uwais adalah pria tambun, berkulit coklat gelap, kepalanya botak, berjenggot tebal dan lebat. Sering mengenakan sorban dari kain wol, wajahnya cukup menjengkelkan sekaligus punya tatapan mata yang menakutkan. Paling tidak, itulah kesan yang dilihat oleh Harim bin Hayyan al-‘Abdi, seorang muslim yang bertemu dengan Uwais setelah kabar seorang Khalifah Umar mencari sosok tidak dikenal itu sampai ke Kota Kufah di tepi Sungai Efrat. Seperti yang diceritakan ulang oleh Abu Al-Qasim An-Naisaburi dalam kitab Uqola al-Majaaniin, kitab kebijaksanaan orang-orang yang dianggap gila atau memang gila betulan, setelah mendapat pesan dari Umar, orang Qaran ini pun pulang ke kampung halamannya setelah ibadah haji. Ia menyampaikan pesan istimewa ke Uwais dengan penuh tanda tanya. Barangkali dalam hatinya, ada urusan apa seorang Uwais, sosok yang dicampakkan di perkampungannya, malah mendapat “undangan kenegaraan” langsung dari khalifah umat Islam sedunia. Mendapat undangan istimewa tersebut, tentu saja Uwais segera ke Mekah mendatangi Umar. Begitu keduanya bertemu, Umar langsung menyapa, “Apakah benar Anda adalah Uwais? Uwais Al-Qarni?” tanya Umar. “Ya, benar, wahai Amirulmukminin,” jawab Uwais. “Apakah Anda pernah memiliki penyakit kusta, lalu Anda berdoa dan penyakit Anda sembuh? Lalu Anda berdoa kembali agar dikembalikan lagi penyakit kusta tersebut, lalu dikabulkan lagi, tapi hanya setengah dari penyakit yang pertama?” tanya Umar. Uwais terkejut luar biasa melihat Umar tahu hal tersebut. Mengingat Uwais hanyalah sebatang kara dan dianggap gila oleh orang-orang di sekitarnya. “Benar apa yang Anda sampaikan, Amirulmukminin,” kata Uwais masih terkejut, “Siapa yang mengabari Anda tentang semua itu? Demi Tuhan, tidak ada yang mengetahui peristiwa tersebut kecuali Tuhan.” Umar lalu menjawab, “Yang memberitahuku adalah Rasulullah. Beliau memerintahkanku untuk memohon kepada Anda agar berkenan mendoakan saya.”



Karuan saja Uwais semakin heran dengan penjelasan Umar. Namun sebelum keluar kata-kata dari Uwais, Umar kembali melanjutkan kata-katanya. “Karena beliau bersabda tentang seorang pria yang memberi syafaat kepada orang-orang yang jumlahnya lebih banyak dari Bani Rabi’ah dan Mudlar. Lalu beliau menyebut namamu,” jelas Umar. Apa yang disampaikan Umar adalah hadis dari riwayat Hasan. Suatu kali Nabi Muhammad bersabda, “Ada orang-orang dalam jumlah lebih banyak dari Bani Rabi’ah dan Mudlar kelak yang akan masuk surga karena syafaat seorang pria dari umatku. Maukah kalian aku beritahu siapa nama pria itu?” Para sahabat menjawab, “Tentu saja, Wahai Rasulullah.” “Pria itu adalah Uwais Al-Qarni.” Setelahnya lalu keluar perintah Nabi untuk Umar, “Wahai Umar, apabila engkau menemukannya, sampaikan salamku untuknya, berbincanglah dengannya sehingga dia mendoakanmu.” Sebuah riwayat yang juga terdapat dalam kitab Shahih al-Jami ashShaghir karya Jalaluddin as-Suyuthi. Mendengar segala keistimewaan itu Uwais bukannya jadi besar kepala, pesannya pun sederhana kepada Umar, “Wahai Amurilmukminin, saya punya permohonan untuk Anda,” kata Uwais. “Apa itu, Uwais?” tanya Umar. “Tolong sembunyikan soal jati diri saya yang Anda dengar dari Rasulullah dan izinkanlah saya untuk segera beranjak dari tempat ini,” kata Uwais. Umar pun mengabulkan permohonan tersebut. Dalam kesaksian Harim bin Hayyan, Uwais berkata kepadanya, “Aku tidak suka perkara ini,” setelah Harim meminta hadis dari riwayat Uwais. “Aku tidak ingin menjadi mukhaddits (ahli hadis), kadi (hakim), dan mufti (pencetus fatwa). Aku tak suka diriku sibuk dengan manusia,” jawab Uwais yang ingin menjauh dari gelar-gelar duniawi sekalipun itu terlihat seperti gelar dari agama.



Di tempat persembunyiannya itulah Uwais menghabiskan sisa hidupnya. Sampai kemudian keberadaan Uwais yang tidak terdeteksi oleh orang banyak itu muncul kembali saat ditemukan dalam keadaan tewas saat Perang Shiffin bergejolak.



Uwais Al Qarni Wafat



Beberapa tahun kemudian, Uwais Al Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan di mandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang ingin berebutan ingin memandikannya. Dan ketika di bawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang sudah menunggu untuk mengafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa ke pekuburannya, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk menusungnya. Meninggalnya Uwais Al Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al Qarni adalah seorang yang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orangorang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “Siapakah sebenarnya engkau Wahai Uwais Al Qarni? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai pengembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatnya, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal.mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya.” Berita meninggalnya Uwais Al Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar kemana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al Qarni. Selama ini tidak ada orang yang



mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al Qarni disebabkan permintaan Uwais Al Qarni sendiri kepada Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah di sabdakan oleh Nabi, bahwa Uwais Al Qarni adalah penghuni langit. Begitulah Uwais Al Qarni, sosok yang sangat berbakti kepada orang tua, dan itu sesuai dengan sabda Rasulullah ketika beliau ditanya tentang peranan kedua orang tua. Beliau menjawab, “Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR Ibnu Majah)



Kesimpulan Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. ahli membaca Al-Qur'an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit. Uwais merupakan pemuda yang sangat taat dam patuh kepada ibunya, ia sangat menyayangi ibunya, karena kecintaam terhadap ibunya ia dikenal oleh Nabi Muhammad SAW. Dan dikenal oleh khalifah akan do’a nya yang akan selalu tembus kelangit. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa'at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa'at sejumlah qobilah Robi'ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya. Dia adalah "ABdul Basit". Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.



“ Orang Tuamu Merupakan Kunci-mu Untuk Masuk Ke Surga Atau Neraka ”