Makalah BPH [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih (Fadlol & Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di Indonesia berusia 60 tahun atau lebih dan 2,5 juta pria diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH (Suryawisesa, dkk. 1998). BPH didefinisikan sebagai proliferasi dari sel stromal pada prostat, yang menyebabkan perbesaran pada kelenjar prostat. Insiden BPH hanya terjadi pada laki-laki (menurut struktur anatomi), dan gejala pertama kali akan muncul pada usia kurang lebih 30 tahun. Gejala pada BPH secara umum dikenal sebagai LUTS. LUTS secara umum adalah gejala-gejala yang berkaitan dengan terganggunya saluran kencing bagian bawah. Salah satu manifestasinya adalah terganggunya aliran urin, keinginan buang air kecil (BAK) namun pancaran urin lemah (Kapoor, Anil.2012). BPH adalah suatu kondisi yang mempunyai kaitan dengan penuaan. Meskipun BPH bukan suatu kelainan yang mengancam jiwa, BPH merupakan manifestasi klinis dari LUTS yang dapat mengurangi kualitas hidup penderita. Kelainan pada LUTS muncul pada 30% laki-laki dengan usia lebih dari 65 tahun (Rosette, J. De La., et al. 2006). Pada orang-orang lansia resiko terjadinya BPH dapat meningkat seiring bertambahnya usia. Perkembangan BPH secara mikroskopis dimulai antara usia 2530 tahun. Setelah menginjak usia 45 tahun keatas maka prevalensi terjadinya BPH akan meningkat, dan mencapai 90% pada usia 90 tahun. Penderita BPH sering mengejan sebagai refleks untuk BAK, namun hal ini yang menyebabkan tekanan intraabdomen meningkat. Peningkatan tekanan intraabdomen ini akhirnya



1



menyebabkan penekanan pada dinding abdomen yang mulai melemah pada lansia. Hal ini yang menjadi salah satu faktor terjadinya hernia inguinalis. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya hernia inguinalis, salah satunya adalah obesitas dan aktivitas fisik yang berat (Reis, Rodolfo B.D., et al. 2011). Hernia adalah penonjolan organ diluar batas-batas normal atau tidak pada tempatnya (Snell, Richard S. 2006). Hernia inguinalis dapat terjadi pada anak-anak, dewasa, dan lanjut usia. Hernia inguinalis pada anak-anak dapat terjadi akibat sisa dari processus vaginalis yang tidak menutup secara sempurna sehingga dikatakan bersifat kongenital atau biasa disebut hernia inguinalis tak langsung, sedangkan hernia inguinalis pada orang dewasa dan lanjut usia dapat terjadi akibat lemahnya dinding otot abdomen, yang biasa disebut sebagai hernia inguinalis langsung. Hernia inguinalis langsung terjadi akibat adanya penekanan langsung dinding posterior abdomen pada trigonum Hesselbach’s oleh struktur intraabdomen. Oleh karena hal ini, maka hernia inguinalis langsung sering terjadi pada orang lansia (Janicki, Ryan.2006). Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia yang pesat, maka jumlah lansia diperkirakan akan meningkatkan pula. Jumlah lansia yang meningkat ini berdampak pada banyaknya angka kejadian BPH yang dicurigai sebagai salah satu faktor pencetus terjadinya hernia inguinalis. Prevalensi usia 4150 tahun sebanyak 20%, 51-60 tahun 50%, >80 tahun sekitar 90%. Angka di Indonesia, bervariasi 24-30% dari kasus urologi yang dirawat di beberapa rumah sakit. Di RS Dr. Soetomo Surabaya terdapat 1.948 kasus BPH pada periode 19932002 (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. 2013). B. Rumusan masalah 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Bagaimana anatomi fisiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia? Apa definisi dari Benigna Prostat Hiperplasia? Apa saja etiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia? Apa saja manifestasi klinis dariBenigna Prostat Hiperplasia? Bagaimana patofisiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia? Bagaimana WOC dari Benigna Prostat Hiperplasia?



2



7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia? 8. Bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan untuk penderita Benigna Prostat Hiperplasia? 9. Bagaimana komplikasi dari Benigna Prostat Hiperplasia? 10. Bagaimana asuhan keperawatan pada penderita Benigna Prostat Hiperplasia? C. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui dan mempelajari penyakit Benigna Prostat Hiperplasia yang berhubungan dengan system perkemihan 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui bagaimana anatomi dan fisiologi dari Benigna Prostat b. c. d. e. f. g.



Hiperplasia? Mengetahui apa definisi dari Benigna Prostat Hiperplasia? Mengetahui apa saja etiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia? Mengetahui apa saja manifestasi klinis dari Benigna Prostat Hiperplasia? Mengetahui bagaimana patofisiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia? Mengetahui bagaimana WOC dari Benigna Prostat Hiperplasia? Mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan pada



pasien Benigna Prostat Hiperplasia? h. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan untuk penderita Benigna Prostat Hiperplasia? i. Mengetahui bagaimana komplikasi dari Benigna Prostat Hiperplasia? j. Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada penderita Benigna Prostat Hiperplasia



D. Manfaat Mahasiswa bertambah ilmu dan wawasannya tentang penyakit Benigna Prostat Hiperplasia yang berhubungan dengan system perkemihan.



3



BAB II KONSEP TEORI



A. Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan Sistem perkemihan terdiri atas beberapa organ yaitu ginjal, ureter, vesika urinaria (kandung kemih), dan uretra.



4



1. Ginjal



Ginjal adalah organ berbetuk dua-buncis yang terletak di bagian posterior abdomen, satu buah pada setiap sisi kolumna vertebralis torakal ke-12 sampai vertebra lumbal ketiga,dimana ginjal kanan biasanya terletak agak lebih rendah dari ginjal kiri karena hubungannya dengan hati. (Watson, 2002,hlm.384).Pada orang dewasa ginjal panjangnya 12-13 cm, lebarnya 6 cm dan beratnya antara 120-150 gram. Fungsi vital ginjal : 1) Sekresi air kemih dan pengeluarannya dari tubuh manusia. 2) Sebagai homeostasis. 5



3) 4) 5) 6)



Pengeluaran zat-zat toksin/racun Memperlakukan suasana keseimbangan air, Mempertahankan keseimbangan asam-basa cairan tubuh Mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh. Ginjal terbagi menjadi bagian eksternal yang disebut korteks dan bagian



internal yang dikenal sebag/ai medula. Pada manusia, setiap ginjal tersusun dari kurang lebih 1 juta nefron.Nefron, yang dianggap sebagai unit fungsional ginjal, terdiri atas sebuah glomerulus dan sebuah tubulus.Seperti halnya pembuluh kapiler, dinding kapiler glomerulus tersusun dari lapisan-lapisan endotel dan membrane basalis. Sel-sel epitel berada pada salah satu sisi membrane basalis, dan sel-sel endotel pada sisi lainnya. Glomerulus membentang dan membentuk tubulus yang terbagi menjadi tiga bagian: tubulus proksimal, ansa henle, dan tubulus distal. Tubulus distal bersatu untuk membentuk duktus pengumpul.Duktus ini berjalan lewat korteks dan medulla renal untuk mengosongkan isinya ke dalam pelvis ginjal. Proses pembentukan urine dimulai ketika darah mengalir lewat glomerulus. Glomerulus yang merupakan struktur awal nefron, tersusun dari jonjot-jonjot kapiler yang mendapat darah dari vasa aferen dan mengalirkan darah balik lewat vasa everen. Tekanan darah menentukan berapa tekanan dan kecepatan aliran darah yang melewati glomerulus. Ketika darah berjalan melewati struktur ini, filtrasi terjadi. Air dan molekul-molekul yang kecil akan dibiarkan lewat sementara molekul-molekul yang besar tetap tertahan di dalam aliran darah. Cairan disaring lewat dinding jonjot-jonjot kapiler glomerulus dan memasuki tubulus. Cairan ini dikenal sebagai ”Fitrat”. Dalam kondisi yang normal, kurang dari 20 % dari plasma yang melewati glomerulus akan disaring ke dalam nefron dengan jumlah yang mencapai sekitar 180 liter filtrat perhari. Filtrat tersebut yang sangat serupa dengan plasma darah tanpa molekul yang besar (protein, sel darah merah, sel darah putih dan trombosit) pada hakekatnya terdiri atas air, elektrolit, dan molekul kecil lainnya. Dalam tubulus, sebagian substansi ini secara selektif diabsopsi ulang ke dalam darah.Substansi lainnya disekresikan dari darah ke dalam fitrat ketika fitrat tersebut mengalir di sepanjang tubulus. Fitrat akan dipekatkan dalam tubulus distal serta duktus pengumpul, dan kemudian menjadi urin yang mencapai pelvis ginjal.



6



Sebagai substansi, seperti glukosa, normalnya akan diabsorpsi kembali seluruhnya dalam tubulus dan tidak akan terlihat dalam urin. Proses reabsorpsi serta sekresi dalam tubulus sering mencakup transportasi aktif dan memerlukan penggunaan energi. Berbagai substansi secara normal disaring oleh glomerulus, direabsorpsi oleh tubulus dan diekskresikan ke dalam urin mencakup natrium, klorida, bikarbonat, kalium, glukosa, ureum, kreatinin, serta asam urat. Urine terbentuk dalam unit-unit fungsional ginjal yang disebut nefron. Urine yang terbentuk dalam nefron ini akan mengalir ke dalam duktus pengumpul dan tubulus renal yang kemudian menyatu untuk membentuk pelvis ginjal. Setiap pelvis akan membentuk ureter. Ureter merupakan pipa panjang dengan dinding yang sebagian besar terdiri atas otot polos.Organ ini menghubungkan setiap ginjal dengan kandung kemih dan berfungsi sebagai pipa untuk menyalurkan urin. 1. Ureter Terdiri dari dua saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria) panjangnya ± 25-30 cm dengan penampang ± 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis. Lapisan dinding ureter terdiri dari 1) Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa) 2) Lapisan tengah otot polos 3) Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa. Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik tiap 5 menit sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih (vesika urinaria). Ureter berjalan hampir vertikal ke bawah sepanjang fasia muskulus psoas dan dilapisi oleh pedtodinium. Penyempitan ureter terjadi pada tempat ureter meninggalkan pelvis renalis, pembuluh darah, saraf dan pembuluh sekitarnya mempunyai saraf sensorik. 2. Kandung kemih (vesika urinaria) Kandung kemih merupakan organ berongga yang terletak di sebelah anterior tepat dibelakang os.pubis. Organ ini berungsi sebagai wadah sementara untuk 7



menampung urine. Sebagian besar dinding kandung kemih tersusun dari otot polos yang dinamakan muskulus detrusor.Kontraksi otot ini terutama berfungsi mengososngkan kandung kemih pada saat buang air kecil (urinari). Uretra muncul dari kandung kemih; pada laki-laki, uretra berjalan lewat penis dan pada wanita bermuara tepat di sebela anterior vagina. Pada laki-laki kelenjar prostate yang terletak tepat di bawah leher kandung kemih mengelilingi uretra di sebelah posterior dan leteral. Sfingter urinalisis eksterna merupakan otot volunteer yang bulat untuk mengendalikan proses awal urinasi. Ginjal terbagi menjadi bagian eksternal yang disebut korteks dan bagian internal yang dikenal sebagai medula. Pada manusia, setiap ginjal tersusun dari kurang lebih 1 juta nefron.Nefron, yang dianggap sebagai unit fungsional ginjal, terdiri atas sebuah glomerulus dan sebuah tubulus.Seperti halnya pembuluh kapiler, dinding kapiler glomerulus tersusun dari lapisan-lapisan endotel dan membrane basalis. Sel-sel epitel berada pada salah satu sisi membrane basalis, dan sel-sel endotel pada sisi lainnya. Glomerulus membentang dan membentuk tubulus yang terbagi menjadi tiga bagian: tubulus proksimal, ansa henle, dan tubulus distal. Tubulus distal bersatu untuk membentuk duktus pengumpul. Duktus ini berjalan lewat korteks dan medulla renal untuk mengosongkan isinya ke dalam pelvis ginjal. Proses pembentukan urine dimulai ketika darah mengalir lewat glomerulus. Glomerulus yang merupakan struktur awal nefron, tersusun dari jonjot-jonjot kapiler yang mendapat darah dari vasa aferen dan mengalirkan darah balik lewat vasa everen. Tekanan darah menentukan berapa tekanan dan kecepatan aliran darah yang melewati glomerulus.Ketika darah berjalan melewati struktur ini, filtrasi terjadi. Air dan molekul-molekul yang kecil akan dibiarkan lewat sementara molekul-molekul yang besar tetap tertahan di dalam aliran darah. Cairan disaring lewat dinding jonjot-jonjot kapiler glomerulus dan memasuki tubulus. Cairan ini dikenal sebagai ”Fitrat”. Dalam kondisi yang normal, kurang dari 20 % dari plasma yang melewati glomerulus akan disaring ke dalam nefron dengan jumlah yang mencapai sekitar 180 liter filtrat perhari. Filtrat tersebut yang sangat serupa dengan



8



plasma darah tanpa molekul yang besar (protein, sel darah merah, sel darah putih dan trombosit) pada hakekatnya terdiri atas air, elektrolit, dan molekul kecil lainnya. Dalam tubulus, sebagian substansi ini secara selektif diabsopsi ulang ke dalam darah. Substansi lainnya disekresikan dari darah ke dalam fitrat ketika fitrat tersebut mengalir di sepanjang tubulus. Fitrat akan dipekatkan dalam tubulus distal serta duktus pengumpul, dan kemudian menjadi urin yang mencapai pelvis ginjal. Sebagai substansi, seperti glukosa, normalnya akan diabsorpsi kembali seluruhnya dalam tubulus dan tidak akan terlihat dalam urin. Proses reabsorpsi serta sekresi dalam tubulus sering mencakup transportasi aktif dan memerlukan penggunaan energi. Berbagai substansi secara normal disaring oleh glomerulus, direabsorpsi oleh tubulus dan diekskresikan ke dalam urin mencakup natrium, klorida, bikarbonat, kalium, glukosa, ureum, kreatinin, serta asam urat. 3. Uretra Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih yang berfungsi menyalurkan air kemiih keluar. Pada laki-laki terdiri dari : 1) Uretra prostaria 2) Uretra membranosa 3) Uretra kavernosa. Lapisan uretra laki-laki terdiri dari lapisan mukosa (lapisan paling dalam), dan lapisan submukosa. Selain saluran eksresi uretra laki-laki berfungsi sebagai saluran reproduksi (tempat keluarnya sperma). Uretra pada wanita terletak di belakang simfisis pubis, berjalan miring sedikit kearah atas, panjangnya ± 3-4 cm. Lapisan uretra pada wanita terdiri dari tunika muskularis (sebelah luar), lapisan spongeosa merupakan pleksus dari vena-vena, dan lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada wanita terletak di sebelah atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan uretra di sini hanya sebagai saluran eksresi.



B. DEFINISI



9



BPH adalah kondisi patologis yang paling lazim pada usia lansia dan merupakan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas 60 tahun (Smeltzer,2001). Hiperplasia prostatis banigna (benign protatic hyperplasia-BHP) adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria. Benigna Prostat Hiperplasia adalah suatu peenyakit perbesaran atau hipertrofi dari prostat. Kata-kata hipertrofi sering kali menimbulkan kontroversi karena sering rancu denga hiperplasia. Hipetrofi bermaka bawa dari segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak dikuti oleh jumlah. Namun hiperlasia merupakan pembesaran ukuran sel dan penambahan jumlah sel. BPH seringkali menyebab gangguan dalam eliminasi urine karena pembesaran prostat yang cenderung ke arah depan/menekan vesika urinaria. (Baugman, 2000) Hiperlasia noduler ditemukan pada sekitar 20% laki-laki dengan usia 40 tahun, meningkat 70% pada usia 60 tahun dan menjadi 90% dala usia 70 tahun. Pembesaran ini bukan merupakan kanker prostat karena konsep BPH dan karsinoma prostat berbeda. Secara anatomis sebenarnya kelenjar prostat merupakan kelenjar ejakulat yang membantu menyemprotkan sperma dari saluran (ductus). Pada waktu melakukan ejakulasi secara fisiologis prostat membesar untuk mencegah urine dari vesika urinaria melewati uretra. Namun, pembesaran prostat yang terus menerus akan berdampak pada obstruksi saluran kencing (meatus urinarius internus). (Mitchell, 2009). Pembesaran prostat di lihat dari klasifikasi TNM. Sistem staging yang digunakan untuk Kanker prostat adalah menurut AJCC(American Joint Committee on Cancer) 2010/ sistem TNM 2009. Tumor primer (T) Tx Tumor primer tidak dapat dinilai T0 Tumor primer tak dapat ditemukan T1 Tumor yang tak dapat dipalpasi atau dilihat pada pemeriksaan pencitraan (tidak terdeteksi secara klinis) T1a Tumor ditemukan secara kebetulan (PA), < 5 % dari jaringan yang direseksi T1b Tumor ditemukan secara kebetulan (PA), > 5 % dari jaringan yang direseksi T1c Tumor diidentifikasi dengan pemeriksaan biopsy jarum T2 Tumor terbatas di prostat * 10



T3 T4



T2a Tumor mengenai setengah atau kurang dari satu lobus T2b Tumor mengenai lebih setengah dari satu lobus, tetapi tidak mengenai kedua lobus T2c Tumor mengenai kedua lobus Tumor menembus kapsul ** T3a Ekstensi ekstrakapsuler (unilateral atau bilateral) T3b Tumor mengenai vesicula seminalis Tumor terfiksasi atau mengenai struktur yang berdekatan, selain vesicular seminalis, seperti leher kandung kemih, sfingter eksterna rektum dan atau dinding pelvis.



Metastasis Jauh (M) *** Mx M0 M1 M1a M1b M1c



Metastasis jauh tak dapat dinilai Tak ada metastasis jauh Terdapat Metastasis jauh Metastasis KGB Non Regional Metastasis ke tulang Metastasis ke organ lain



Kelenjar Gatah Bening (KGB) regional (N) Nx N0 N1



KGB regional tak dapat dinilai Tak ada penyebaran KGB regional Terdapat penyebaran KGB regional



Catatan : * Tumor ditemukan pada satu atau dua lobus dengan biopsi jarum akan tetapi tidak teraba atau terlihat dengan pencitraan yang ada diklasifikasikan sebagai T1c. ** Tumor yang menginvasi apeks prostat atau ke kapsul akan tetapi tidak menembus, tidak diklasifikasikan sebagai T3 akan tetapi T2. *** Bila lebih dari satu tempat metastasis, dikategorikan sebagai metastasis paling tinggi stadiumnya; M1c adalah tingkatan tertinggi. C. ETIOLOGI Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti dari hiperplasia prostat namun, faktor usia dan hormonal menjadi predisposisi terjadinya BPH. Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat sangnat erat kaitannya dengan (Purnomo, 2007): 1. Peningkatan DHT (dehidrotetosteron)



11



Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel 2.



dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperlasia. Ketidakseimbangan estrogen-testosteron Ketidakseimbnagan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses penuaan, pada pria terjadi peningktan hormon estrogen dan penurunan hormon



3.



testosteron. Hal ini yang memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat. Interaksi antar sel stroma dan selepitel prostat Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH.



4.



5.



Berkurangnya kematian sel (apoptosis) Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat Teori stem sel Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu terjadi benigna prostat hyperplasia.



D. MANIFESTASI KLINIS BPH merupakan yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rata-rata lebih dari 50 tahun. Gambaran klinis dari BPH sebenarnya sekunder dari dampak obstruksi saluran kencing, sehingga klien kesulitan untuk miksi. Berikut ini adalah gambaran klinis pada klien BPH (Schwartz, 2000; Grace, 2006): 1. Gejala prostatismus (nokturia, urgency, penurunan daya aliran urine) Kondisi ini dikarenakan oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal mengeluarkan urine scara spontan dan reguler, sehingga volume urine masih 2.



sebagai besar tertinggal dalam vesika. Retensi urine Pada awal obstruksi, biasanya pancaran urine lemah, terjadi hesistansi, intermitensi, urine menetes, dorongan mengejan yang kuat saat miksi, dan retensi urine. Retensi urine sering dialami oleh klien yang mengalami BPH kronis. Secara fisiologis, vesika urinaria memiliki kemampuan untuk mengeluarkan urine melalui kontraksi otot detrusor. Namun, obstruksi yang berkepanjangan akan membuat beban kerja m. detrusor semakin berat dan pada akhirnya mengalami dekompensasi. 12



3.



4.



Pembesaran prostat Hal ini diketahui melalui pemeriksaan rektal toucher (RT) aterior. Biasanya didapatkan gambaran pembesaran prostat dengan konsistensi jinak. Inkontinensia Inkontinensia yang terjadi menunjukkan bahwa m. detrusor gagal dalam melakkan



kontraksi.



Dekompensasi



yang



berlangsung



lama



akan



mengiritabilitas serabut syaraf urinarius, sehingga kontrol untuk miksi hilang. Gejala klinis tersebut diatas dapat terbagi 4 grade yaitu: 1. Pada grade 1 (congestif) a. Mula-mula pasien berbulan-bulan atau bertahun-tahun susah kencing dan b. c. d. e. f.



mulai mengedan. Kalau miksi terasa tidak puas. Urine keluar mentes dan kucuran lemah. Nocturia. Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal. Pada citioscopy kelihatan hyperemia dan orifreum urether internal lambat



laut terjadi varises akhirnya bisa terjadi pendarahan (blooding). 2. Pada grade 2 (residual) a. Bila miksi terasa panas. b. Nocturi bertambah berat. c. Tidak dapat buang air kecil (kencing tidak puas). d. Bisa terjadi infeksi karena sisa air kencing. e. Terjadi panas tinggi dan meninggal. f. Nyeri pada daerah pinggang dan menjalar ke ginjal. 3. Pada grade 3(retensi urine) a. Iscuria paradorsal. b. Incontinential paradorsal. 4. Pada grade 4 a. Kandung kemih penuh. b. Penderita merasa kesakitan. c. Air kencing mentees secara periodic (overflow incontential). d. Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba adanya tumor karena bendungan hebat. e. Dengan adanya infeksi penderita bisa meninggal dan panas tinggi sekitar 40-41C. f. Kesadaran bisa menurun. g. Selanjutnya penderita bisa koma. E. PATOFISIOLOGI 13



Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang sangan erat dihidrotestosteron. Hormon ini merupakan hormon yang memacu pertumbuhan prostat sebagai kelenjar ejakulat yang nantinya akan mengoptimalkan fungsinya. Hormon ini disintesis dalam kelenjar prostat dari hormon testosteron dalam darah. Proses sintesis ini dibantu oleh enzim 5- reduktase tipe 2. Selain DHT yang sebagai prekusor, estrogen juga pengaruh terhadap pembesaran kelenjar prostat. Seiring dengan penambahan usia maka prostat akan lebih sensitif dengan stimulasi androgen, sedangkan estrogen mampu memberikan proteksi terhadap BPH. Dengan pembesaran yang sudah melebihi normal,maka akan terjadi desakan pada traktus urinarius. Pada tahap awal, obtruksi traktus urinarius jarang menimbulkan keluhan karena dengan dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat dari m.detrusor mampu mengeluarkan urine secara spontan. Namun obstruksiyang sudah kronis membuat dekompensasi dari m.detrusor untuk berkontraksi yang akhirnya menimbulkan infeksi salura kemih(Mitchall,2009). Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi adalah dorongan mengejan saat miksi yang kuat, pancaran urine lemah/menetes, disuria (saat kencing terasa terbakar), palpasi rectal toucher menggambarkan hipertrofi prostat, distensi vesika. Hipertrofi fibromuskuler yang terjadi pada klien BPH menimbulkan penekanan pada prostat dan jaringan sekitar, sehingga menimbulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilitasi inilah nantinya akan mneyebabkan keluhan frekuensi, urgensi, inkontinensia urgensi dan noktuuria. Obstruksi yang berkelanjutan akan menimbulkan komplikasi ang lebih besar misalnya hidronefrosis, gagal ginjal, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, katetersasi untuk tahap awal sangat efektif untuk mengurangi distensi vesika urinaria (Mitchell, 2009). Pembesaran pada BPH terjadi secara bertahap mulai dari zona periuretral dan transisional. Hiperplasia ini terjadi secara nodular dan sering diiringi oleh poliferasi fibromuskular untuk lepas dari jaringan epitel. Oleh karena itu, hiperplasia dengan zona transisional ditandai oleh banyaknya jaringan kelenjar yang tumbuh pada pucuk dan cabang dari pada duktus. Sebenarnya poliferasi zona transisional dan zona sentral pada prostat berasal dari turunan duktus Wolffii dan poliferasi zona perifer berasal dari sinus urogenital. Sehingga berdasarkan latar belakang 14



embriologis inilah bisa diketahui mengapa BPH terjadi pada zona transisional dan sentral, sedangkan Ca prostat terjadi pada zona perifer (Heffner, 2002).



F.



15



G. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan klinis dilaksanakan untuk mengetahui apakah pembesaran prostat ini bersifat benigna atau manigna dan untuk memastikan tidak adanya penyakit penyerta lainnya. Berikut pemeriksaannya (Grace, 2006): 1. Urinalisis dan kultur urine Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red Blood 2.



Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya perdarahan/hematuria. DPL (Deep Peritoneal Lavage) Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan internal dalam abdomen. Sampel yang diambil adalah cairan abdomen dan diperiksa



3.



jumlah sel darah merahnya. Ureum, Elektrolit, dan Serum Kreatinin Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH, karena obstruksi yang berlangsung kronis seringkali menimbulkan hidronefrosis yang lambat



4.



laun akan memperberat fungsi ginjal dan pda akhirnya menjadi gagal ginjal. PA (Patologi Anatomi) Pemeriksaa ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi. Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau maligna sehingga akan menjadi landasan untuk treatment selanjutnya.



16



5.



Catatan harian berkemih Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urine sehingga akan terlihat bagaimana siklus rutinitas miksi dari pasien. Data ini menjadi bekal untuk



6.



membandingkan dengan pola eliminasi urine yang normal. Uroflowmetri Dengan menggunakan alat pengukur maka akan terukur pancaran urine. Pada obstruksi dini seringkali pancaran melemah bahkan meningkat. Hal ini disebabkan obstruksi dari kelenjar prostat pada traktus urinarius. Selain itu, volume residu urine juga harus diukur. Normalnya residual urine