MAKALAH Dasar-Dasar Filsafat Ilmu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH DASAR- DASAR FILSAFAT ILMU



DISUSUN OLEH : RACHMANIAR BAHARUDDIN NIM. PO714241202018



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR SARJANA TERAPAN FISIOTERAPI TAHUN 2021/2022



KATA PENGANTAR



Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat meneyelesaikan makalah mata kuliah Filsafat Logika dengan judul “Dasar-Dasar Filsafat Ilmu”. Kemudian shalawat serta salam kita sampaikan kepada nabi besar kita Muhammad SAW. yang telah meberikan pedoman hidup yakni Al-Quran dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Demikian makalah ini penulis susun, apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan banyak terdapat kekurangan, penulis mohon maaf yang sebesarbesarnya. Makassar , 26 Juni 2021



Penyusun



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 A. Latar belakang......................................................................................................... 1 B. Rumusan masalah ................................................................................................... 1 C. Tujuan ..................................................................................................................... 2 D. Manfaat ................................................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 3 A. Hakikat Ilmu ........................................................................................................... 3 B. Sumber Ilmu ........................................................................................................... 9 C. Cara Kerja Ilmu ....................................................................................................... 11 D. Kebenaran Ilmiah .................................................................................................... 12 E. Metode Ilmiah ......................................................................................................... 15 F. Perkembangan Ilmu.................................................................................................. 16 G. Paradigma Ilmu........................................................................................................ 17 H. Ilmu, Teknologi, dan Seni………………………………………………………….19 BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 20 A. Kesimpulan.............................................................................................................. 21 B. Saran ....................................................................................................................... 22 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 23



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filsafat merupakan ilmu yang sudah sangat tua. Bila kita membicarakan filsafat maka pandangan kita akan tertuju jauh ke masa lampau di zaman Yunani Kuno. Pada masa itu semua ilmu dinamakan filsafat. Dari Yunanilah kata ―filsafat‖ ini berasal, yaitu dari kata ―philos‖ dan ―sophia‖. ―Philos‖ artinya cinta yang sangat mendalam, dan ―sophia‖ artinya kebijakan atau kearifan. Istilah filsafat sering dipergunakan secara populer dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak sadar. Dalam penggunaan populer, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu) dan dapat juga disebut sebagai pandangan masyarakat (masyarakat). Mungkin anda pernah bertemu dengan seseorang dan mengatakan: ―filsafat hidup saya adalah hidup seperti oksigen, menghidupi orang lain dan diri saya sendiri‖. Atau orang lain lagi mengatakan: ―Hidup harus bermanfaat bagi orang lain dan dunia‖. Ini adalah contoh sederhana tentang filsafat seseorang. Dalam pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup 4 dan makna hidup. Ada beberapa definisi filsafat yang dikemukakan Harold Titus, yaitu: (1) Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam semesta (2) Filsafat adalah suatu metode berpikir reflektif dan penelitian penalaran (3) Filsafat adalah suatu perangkat masalah-masalah (4) Filsafat adalah seperangkat teori dan sistem berpikir B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan hakikat ilmu? 2. Apa yang dimaksud dengan sumber ilmu? 3. Bagaimana cara kerja ilmu? 4. Apa yang dimaksud dengan kebenaran ilmiah? 5. Apa yang dimaksud dengan metode ilmiah? 6. Apa yaang dimaksud dengan perkembangan ilmu? 7. Apa yang dimaksud dengan paradigma ilmu? 8. Apa yang dimaksud dengan ilmu, teknologi dan seni? 1



C. Tujuan Adapun tujuan penulisan ini adalah : 1. Mengetahui hakikat ilmu 2. Mengetahui sumber ilmu 3. Mengetahui cara kerja ilmu 4. Mengetahui kebenaran ilmiah 5. Mengetahui metode ilmiah 6. Mengetahui perkembangan ilmu 7. Mengetahui paradigma ilmu 8. Mengetahui ilmu, teknologi dan seni D. Manfaat Meningkatkan wawasan dan pengetahuan bagi pembaca



2



BAB II PEMBAHASAN A. Hakikat Ilmu 1. Pengertian Hakikat Ilmu Ketika berbicara tentang hakekat, maka yang muncul dalam pikran adalah dasar dari segala dasar yang ada dalam sesuatu yang dimaksud. Pengertian secara bahasa, hakikat adalah inti sari atau dasar, kenyataan yang sebenarnya (sesungguhnya). Kemudian, selanjutnya pengertian ilmu Kata ‘ilm berasal dari bahasa Arab yang berarti “pengetahuan” dan merupakan lawan kata dari jahl yang berarti “ketidaktahuan atau kebodohan”. Kata ilmu biasanya disepadankan dengan kata Arab lainnya, yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu yang dapat dipergunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan, Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Dalam istilah inggris, ilmu diartikan sebagai science yang mempunyai arti “the study of the structure and behaviour of the physical and natural world and society, aspecially through observation and experiment” (studi struktur dan perilaku dari dunia fisik dan alam dan masyarakat, terutama melalui pengamatan dan percobaan). Ilmu dan pengetahuan itu berbeda. Jika ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang tertentu yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu yang dapat dipergunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu, sedangkan pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui. Jadi ilmu sifatnya lebih luas dan mempunyai fondasi yang kuat dalam segala aspeknya. Lebih lanjut Koento Wibisono, mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal mula sehingga seseorang akan memilih 3



pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu. Jika dirangkaikan, maka pengertian hakekat ilmu adalah dasar dari segala pengetahun. Artinya hakekat ilmu adalah jawaban atas pertanyaan tentang apakah ilmu tersebut, materi kajian ilmu, bagaimanakah mencari ilmu, dan apa nilai guna ilmu. Beberapa kajian pertanyaan tersebut merupakan dasar filosofis tentang ilmu yang nantikan akan didiskusikan secara ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Dalam konsep filsafat, ilmu mempunyai diskursus tersendiri yang membedakan ilmu dengan yang lainnya, baik dari segi ontologinya, epistomologinya, dan aksiologinya. 2. Hubungan antara Ilmu dan Filsafat Lebih lanjut Nuchelmans mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen, yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Menurut Koento Wibisono, filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono, adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang 4



lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis. Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula subsub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasispesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen, bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu system yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapanungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan. Mohammad Hatta menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu lahir karena manusia dihadapkan pada dua masalah yaitu alam luar (kosmos) dan sikap hidup (etik). Sedangkan John Ziman dalam tulisannya menyatakan bahwa ilmu pengetahuan seperti agama, hukum, filsafat dan sebagainya, dalam bentuk yang kurang lebih terpadu, terdiri dari rangkaian-rangkaian ide-ide. Dalam bahasa teknisnya, ilmu pengetahuan adalah informasi. Ia tidak berhubungan secara langsung dengan tubuh. Banyak ilmuwan yang memberikan definisi tentang ilmu pengetahuan, tetapi definisi yang paling banyak digemari oleh banyak filosof adalah bahwa ilmu pengetahuan akan menunjukkan pada kebenaran melalui kesimpulan logis yang berasal dari pengalaman empiris. Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences). Lebih lanjut Koento Wibisono menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, sehinga lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya, yaitu Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang



5



menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu. Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Oleh karena itu, hakikat ilmu pengetahuan dalam kajian filsafat ini penting untuk dipelajari dan dianalisis, agar diketahui secara pondasi yang utuh hakekat kebenaran ilmu tersebut. 3. Landasan Ontologi Ilmu Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu onta berarti “yang berada”, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Dalam ranah ontologi, cakupannya terdiri dari bagaimana kita menerangkan menerangkan hakikat dari sesuatu. Dalam artian, istilah ontologi ilmu bisa dikatakan sebagai “apanya ilmu” yang mengadung pengertian tentang hakekat dasar apa yang dimaksud ilmu itu sendiri. Ontologi berkaitan dengan bidang kajian dalam ilmu atau materi yang dikaji oleh ilmu. Esensinya, ilmu membahas tentang pengalaman manusia, benda, kejadian, situasi, proses, dan fakta yang bisa dijangkau oleh pengalaman manusia dengan menggunakan panca indera. Obyek cakupan ontologi adalah yang ada; yaitu ada umum, ada individu, ada yang terbatas, tak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika, kehidupan setelah kematian, keberadaan adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai sang pencipta dan sang pengatur, itu semua merupakan obyek kajian ontologi. Maka dalam hal ini, obyek kajian dalam ontologi ilmu adalah berkaitan dengan apa saja yang dikajia dalam ilmu, dilihat dari segi identifikasi pengertian ontologi di atas. Pengalaman manusia yang disebutkan berupa benda, kejadian, proses, dan fakta yang bisa dijangkau oleh pengalaman manusia. Pengalaman manusia tersebit disebut empiri, sifatnya disebut empiris. Fakta empiris adalah 6



fakta yang bisa dialami oleh manusia dengan menggunakan panca indera. Ilmu membatasi diri obyek penelaahan pada fakta yang bersifat empiris. Dari kajian ontologi ilmu ini, untuk memperoleh keilmuan, ilmu menyusun beberapa asumsi yang melandasi pengetahuan yang hendak ditelaah/dipelajari. Kalsifikasi tersebut berbunyi bahwa kesimpulan pengetahuan bisa berbeda hasilnya pada suatu obyek telaah yang sama, jika asumsinya berbeda. Jadi aspek ontologi ilmu berangkat dari asumsi pemahaman itu sendiri. 4. Landasan Epsitimologi Ilmu Epistimologi sering disebut juga sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistimologi berasal dari kata Yunani: episteme, yang artinya pengetahuan, dan logos yang artinya ilmu atau teori. Istilah-istilah lain yang setara dengan epistemologi adalah: a. Kriteriologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan ukuran benar atau tidaknya pengetahuan. b. Kritik pengetahuan, yaitu pembahasan mengenai pengetahuan secara kritis c. Gnosiologi, yaitu perbincangan mengenai pengetahuan yang bersifat ilahiyah (gnosis). d. Logika material, yaitu pembahasan logis dari segi isinya, sedangkan logika formal lebih menekankan pada segi bentuknya. Jadi epistimologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode, dan syahnya (validitasnya) pengetahuan. Objek material epistemologi adalah pengetahuan, objek formalnya adalah hakikat pengetahuan. Sedangkan objek material filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Dalam hal ini nampak perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan lebih bersifat umum dan didasarkan atas pengalaman sehari-hari, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bersifat khusus dengan ciri-ciri: sistematis, metode ilmiah tertentu, serta diuji kebenarannya. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu? Bagaimana cara memperoleh kebenaran? dan apa fungsi ilmu pengetahuan itu bagi manusia?. 7



Epistemologi bisa mempertimbangkan dimensi sosial-histori pengetahuan di dalam dua cara: pertama, sebagai kesulitan di dalam membuktikan bahwa kita mencapai kebenaran objektif; kedua, sebagai sumbangan terhadap pemahaman arti dari objektivitas. Bagi epistemologi, pertanyaan pertamalah yang menjadi perhatian khusus. Ilmu dalam menggali sebuah pengetahuan harus berdasarkan pada metode keilmuan , oleh karena itu ilmu tidak hanya dipahami sebagai sesuatu yang statis melainkan sebagai proses yang dinamis. Hakekat ilmu ditentukan oleh proses berfikir yang dilakukan dengan memenuhi persyaratan tertentu. Metode keilmuan berkembang dari dua sisi cara, yaitu rasionalisme dan empirisme. Cara rasionalisme didasarkan bahwa pengetahuan didapatkan dari pernyataan terdahulu yang dianggap benar yang bergantung pada ide-ide yang rasional, cara ini bersifat subyektif karena kebenaran rasional seseorang tentang fakta tertentu belum tentu benar dimata orang lain. Hal ini bergantung pada sis pandang masingmasing subyek terhadap kebenaran yang ditelaah. Cara kedua adalah dari sudut pandang empirisme yang menggali pengetahuan keilmuan dengan pengujian melalui pengalaman yang didasarkan pada fakta atau obyek yang ditelaah. Suatu fakta atau obyek tertentu disebut obyektif jika menjadi sama setelah melalui pengujian dari orang lain. Dikatakan obyektif karena kebergantungannya kepada obyek yang ditelaah. Kebenaran dalam ilmu terbatas benar dari sudut pengujian empiris. Kebenaran keilmuan disebut sah apabila telah diuji secara empiris berdasarkan fakta-fakta. Oleh karena fakta-fakta yang bisa berupa keberwujudan benda, keadaan, dan kejadian itu selalu berubah, maka kebenaran keilmuan bisa berubah dan bersirkulasi. Kebenaran rasional dijadikan dasar sebagai pembuatan hipotesis terhadap sesuatu, dan hipotesis menjadi benar apabila apabila diuji secara empiris berdasarkan fakta-fakta yang dikaji di lapangan. Hasil dari pengujian hipotesis ini menjadi pengetahuan baru sebagai khasanah bagi pengetahuan selanjutnya. Pada saatnya pengetahuan baru tersebut mejadikan ide dalam pembuatan hipotesis baru. Begilah siklus dari sebuah epistimologi dalam ilmu pengetahuan. 5. Landasan Aksiologi Ilmu Istilah Aksiologis berasal dari dialektika Yunani, axios yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Nilai 8



yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Dalam filsafat Yunani, studi mengenai nilai ini mengedepankan pemikiran Plato mengenai idea tentang kebaikan, atau yang lebih dikenal sebagai Summun Bonun (kebaikan tertinggi). Aksiologi ilmu didefinisikan sebagai kemanfaatan ilmu atau nilai/value dari sebuah ilmu. Ilmu bersifat netral karena ilmu tiada keberpihakan kepada siapapun dan apapun, ilmu akan menemukan kebenarannya sesuai dengan esensi dari sesuatu tersebut. Kemanfaatan ilmu bergantung pada pengguna ilmu itu sendiri. Jika yang memegang adalah individu yang memang baik dan benar, maka ilmu tersebut dapat menjadikan sesuatu yang bermanfaat, begitu juga sebaliknya. Maka dalam kajian aksiologi ini ilmu dianalogikan sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan sebuah kemanfaatan. Dengan ilmu orang bisa menghemat waktu, tenaga, dan biaya, sehingga disebut efisien, karena ilmu meletakkan dasar-dasar teroritis berdasarkan kajian empirik tentang berbagai strategi untuk mempermudah kehidupan. Adapun obyek aksiologisnya ilmu berkaitan dengan dua hal, dimana keduanya ini merupakan bagian umum dari aksiologi untuk membangun sebuah filsafat ilmu, kedua obyek ini adalah etika dan estetika. Etika berkaitan dengan hakikat tentang moral/ prinsip/ standar perilaku manusia, etika juga merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia, atau juga merupakan predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan dan lain sebagainya. Aksiologi ilmu adalah bagaimana sebuah ilmu atau pengetahuan tersebut memberikan kemanfaatan dalam kehidupan manusia. B. Sumber Ilmu Sumber pengetahuan adalah tanda-tanda yang ada di dalam alam semesta, yang ada dalam diri manusia sendiri, dalam sejarah, atau dalam berbagai peristiwa sosial dan berbagai aspek bangsa dan masyarakat, dalam akal atau prinsip-prinsip yang sudah jelas dan di dalam hati. Sumber-sumber ilmu pengetahuan itu secara garis besar ada tiga, yaitu alam semesta (alam fisik), Alam akal (nalar) dan Hati (intuisi dan ilham). 9



a. Alam Semesta (Alam Fisik) Tak diragukan bahwa indra-indra lahiriah manusia merupakan alat dan sumber pengetahuan, dan manusia mengenal objek-objek fisik dengan perantaraanya. Pengetahuan yang bersumber dari indra-indra lahiriah seperti hasil dari melihat, mendengar, meraba, mencium, dan merasa adalah suatu jenis pengenalan dan pemahaman yang bersifat lahiriah, permukaan, dan tidak mendalam. b.



Alam Akal (Nalar) Kaum Rasionalis, selain alam semesta atau alam fisik, meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Alam akal digolongkan sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan karena : -



Dalam pemikiran, Akal menarik kesimpulan. Yang dimaksud dengan menarik kesimpulan adalah mengambil sebuah hukum atas sebuah 5 kasus tertentu dari hukum yang general. Aktivitas ini dalam istilah logika disebut silogisme kategoris demonstratif.



-



Mengetahui



konsep-konsep



yang



general.



Mengatakan



bahwa



pengetahuan akal tentang konsep yang general melalui tiga tahapan, yaitu persentuhan indra dengan materi, perekaman ke dalam benak, dan penyimpulan. -



Pengelompokkan



Wujud.



Akal



mempunyai



kemampuan



mengelompokkan segala yang ada di alam realita ke beberapa kelompok, misalnya realita -



Realita yang dikelompokkan ke dalam substansi, apakah benda itu bersifat cair atau keras, dan lain sebagainya.Pemilahan dan Penguraian.



-



Akal dapat menggabungan dan dapat menyusun. Akal juga dapat memilah dan menguraikan.



-



Kreativitas. Dalam hal ini, akal dapat bersifat membangun dan mengeluarkan pendapat atau pemikiran dalam mengefisiankan sesuatu.



c. Hati (Intuisi dan Ilham) Kaum empiris memandang bahwa sesuatu yang inmateri adalah tidak ada, maka pengetahuan tentang inmateri tidak mungkin ada. Sebaliknya kaum Ilahi ( theosofi) yang meyakini bahwa ada sesuatu hal yang lebih luas dari sekedar materi, mereka meyakini keberadaan hal-hal yang inmate



10



C. Cara Kerja Ilmu Cara Kerja Filsafat Ilmu Cara kerja filsafat ilmu pengetahuan melebihi sekadar uraian tentang pelaksanaan teknis ilmu-ilmu, tetapi juga sebagai suatu penelitian tentang apa yang memungkinkan ilmu-ilmu itu menjadi dan berkembang. Cara kerja ini bertitik pangkal pada uraian proses terbentuknya ilmu-ilmu pengetahuan, sehingga pembentukan dan pengembangan ilmu-ilmu dapat diterangkan dan dimengerti. Filsafat Ilmu diorientasikan untuk menjelaskan bagaimana kedudukan filsafat ilmu pengetahuan dalam peta filsafat secara keseluruhan, dan secara khusus mendeskripsikan bagaimana teori-teori ilmu pengetahuan, baik dari perspektif ontologi, epistemologi maupun aksiologinya. Dilihat dari sifat objeknya, cara kerja ilmu alam bisa dirangkum dalam prinsip-prinsip seperti berikut: a. Gejala Alam Bersifat Fisik-Statis. Ahli ilmu-ilmu alam berhubungan dengan gejalagejala alam yang sifatnya fisik yang teramati dan terukur. Dari sifatnya yang fisikal, terukur, dan teramati, gejala-gejala alam memiliki sifat statis atau tetap dari waktu ke waktu (tidak mengalami perubahan) sehingga mengakibatkan objek yang diamati juga relatif lebih sederhana dan sedikit. b. Objek Penelitian Bisa Berulang. Karena sifat gejala alam fisikal statis, objek penelitian dalam ilmu-ilmu alam tidak mengalami perubahaan atau tetap. Dengan sifat ini, objek penelitian dalam ilmu-ilmu alam bisa diamati secara berulang-ulang oleh peneliti atau pengamat. Sifat-sifat gejala alam adalah seragam dan bisa diamati kapanpun. c. Pengamatan Relatif Mudah dan Simpel. Pengamatan dalam ilmu-ilmu alam lebih mudah karena bisa dilakukan secara langsung dan bisa diulang kapanpun. Kata mengamati dalam ilmu alam lebih dari sekedar interaksi langsung dengan pancaindera manusia, yang lingkup kemampuannya sangat terbatas. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, manusia menggunakan alat-alat bantu seperti mikroskop, teleskop, alat perekam gelombang dan sebagainya. Jika seseorang ingin menyatakan bahwa ia mendapatkan suatu gejala alam baru yang belum terdaftar dalam pembendaharaan ilmu-ilmu alam maka ia perlu memberikan informasi tentang lingkungan, peralatan serta cara pengamatan yang digunakan, 7 sehingga memungkinkan orang lain mengamati kembali jika ingin mengujinya. d. Subjek Pengamat (Peneliti) Lebih Sebagai Penonton. Prinsip pengamatan dalam ilmuilmu alam adalah prinsip objektif, artinya kebenaran disimpulkan berdasarkan objek yang diamati. Ilmuan alam adalah penonton alam, dia hanya mengamati alam dan 11



kemudian memperlihatkan kepada orang lain hasil pengamatannya, dimana sedikitpun tidak melibatkan subjektifitasnya, tetapi hanya sekedar menunjukkan hasil tontonannya. Karena sisi dominan pengamatan dari ilmu-ilmu alam adalah lebih dari sekedar “penonton”, maka tujuan aktivitas pengamatan adalah hanya sekedar menjelaskan objeknya menurut penyebabnya, yang dalam istilah Dilhtey disebut Erklaren. dalam Elrklaren ini, pengalaman dan teori bisa dipisahkan, artinya ada suatu jarak atau antara pengamat dan yang diamati. Sebagai “penonton”, pengamat tidak terlibat dalam objek yang diamati, dan karenanya tugasnya hanya menyelesaikan hasil pengamatannya. e. Memiliki Daya Prediktif yang Relatif Lebih Mudah Dikontrol. Ilmu-ilmu alam tidak akan menarik apabila sebatas mengumpulkan informasi tentang gejala-gejala alam semata kemudian membangun teori. Melainkan gejalagejala alam yang diketahui dan dirumuskan dalam teori-teori itu bisa digunakan untuk memprediksikan kejadiankejadian yang dimungkinkan akan timbul dari gejala tersebut. D. Kebenaran Ilmiah Benar dan kebenaran merupakan kata yang sudah tidak asing lagi dalam hidup dan kehidupan sehari-hari. Kata benar dan kebenaran sering dipergunakan manusia dalam hidup sehari-hari. Berkenaan dengan hal di atas agaknya masih cukup relevan apabila dalam tulisan ini untuk mempertanyakan (kembali), yaitu pertama “Apakah kebenaran itu?”, kemudian kedua adalah “Apakah kebenaran yang satu sama dengan kebenaran yang lain?” Pertanyaan kedua ini muncul ke permukaan karena dalam realitas kehidupan dikenal adanya dua jenis kebenaran, yaitu pertama kebenaran yang telah dianggap sebagai kebenaran umum atau disebut juga common sense dan kedua kebenaran ilmiah yang ditemukan dalam ilmu. Guna memahami secara kritis kedua persoalan tersebut, filsafat ilmu sebagai ilmu tentang ilmu, menurut penulis, merupakan sumber rujukan yang patut untuk diperhatikan. 1. Pengertian Kebenaran Secara etimologi, dengan merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa, 1994; 114-115), kata kebenaran dapat diartikan sebagai: 1) Keadaan atau hal yang cocok dengan keadaan atau hal yang sesungguhnya; 2) Sesuatu yang sungguh-sungguh atau benar-benar ada; 3) Kelurusan hati, kejujuran. Sementara itu Lorens Bagus (1996; 412) mengatakan bahwa istilah kebenaran merupakan lawan dari kesalahan, kesesatan, kepalsuan dan 12



juga kadang opini. Sedemikian rupa pengertian kebenaran (truth: Inggeris, treowth [kesetiaan]: Anglo-Saxon, veritas: Latin, alerheia: Yunani) yang dituliskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diambah dengan Lorens Bagus, sehingga kiranya dapatlah dibuat suatu rumusan singkat tentang kebenaran, yaitu kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan, dalam hal ini subjek, dengan apa yang diketahui, yang disebut juga objek. Dengan demikian kebenaran dapat juga diartikan secara umum sebagai kenyataan sebagaimana adanya yang menampakan diri sebagai yang ditangkap melalui pengalaman. Pengalaman tentang kebenaran itu dialami akal si subjek dalam kesamaannya dengan kenyataan adanya yang menampakan diri kepadanya. Sementara itu dalam rentang sejarah perjalanan filsafat telah dikemukakan sejumlah teori dan kriteria kebenaran. Dalam bukunya Lorens Bagus (1996; 412) menyebutkan beberapa teori pokok tentang kebenaran, yang meliputi: Teori korespondensi (kebenaran berkorespondensi atau sepadan dengan kenyataan) teori koherensi (kebenaran adalah sistem ide yang koheren), teori pragmatis (kebenaran adalah pemecahan yang memuaskan atau praksis atas situasi problematis), teori semantik (pernyataan-pernyataan tentang kebenaran berada dalam suatu metabahasa dan mengena pada pernyataan-pernyataan dalam bahasa dasar), teori ferpormatif (pernyataan kebenaran merupakan persetujuan yang diberikan terhadap persetujuan yang diberikan terhadap pernyataan tertentu). Sementara itu Noeng Muhadjir (1998; 13-16), mengatakan bahwa selain kebenaran korespondensi, kebenaran koherensi, kebenaran performatif, dan kebenaran ilmiah, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Loren Bagus, adalah kebenaran proposisi dan kebenaran struktural paradigmatik. Adapun mengenai ukuran kebenaran Louis O. Kattsoff (1996; 177189) menyebutkan bahwa ukuran kebenaran itu berdasarkan paham keherensi, paham korespondensi, paham empiris dan pragmatisme. Selanjutnya mengenai kebenaran, Lorens Bagus (1996; 412) menambahkan dengan menuliskan beberapa kreteria kebenaran, yaitu: Kriteria kebenaran adalah tandatanda yang memungkinkan kita mengetahui kebenaran. Koherensi dan kepraktisan merupakan contoh kreteria macam ini. Adakalanya consensus gentium (kesepakatan umat manusia) dianggap sebagai salah satu kriteria kebenaran. 2. Kebenaran Biasa dan Kebenaran Ilmiah Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal adanya kebenaran yang telah dianggap sebagai kebenaran umum (common sense) dan kebenaran ilmiah yang ditemukan 13



dalam ilmu pengetahuan. Hal ini berarti bahwa kebenaran sebagai persesuaian antara pengetahuan dengan objeknya membawa implikasi terhadap adanya perbedaaan strata kebenaran. a. Kebenaran Biasa (Common Sense) Dalam hidupnya, manusia banyak menggunakan pengetahuan untuk hidupnya sehari-hari. Pengetahuan ini digunakan dalam kegiatan hidupnya sehari-hari seperti pada rumah tangga, pertanian, perikanan, dan berbagai bidang kehidupan sehari-hari lainnya. Salah satu contoh dari penggunaan pengetahuan dalam kegiatan hidup sehari-hari adalah, jika kita tahu bahwa jika air dipanaskan akan mendidih, maka pengetahuan itu dipergunakan jika kita hendak memasak air. Dengan kata lain manusia berani bertindak atas dasar pengetahuannya itu, karena pengetahuan itu bersifat pasti dan mutlak. Pengetahuan sehari-hari yang bersifat pasti itu menyebabkan manusia tidak ragu-ragu lagi untuk bertindak. Pengetahuan yang digunakan orang terutama untuk hidupnya sehari-hari tanpa mengetahui seluk-beluknya yang sedalamdalamnya dan seluas-luasnya disebut dengan pengetahuan biasa. Ciri pengenal yang penting yang dimiliki oleh pengetahuan biasa yang sering juga dipandang sebagai pengetahuan prailmiah ialah bahwa pengetahuan tersebut tidak diarahkan untuk memperoleh pengetahuan mengenai hal-hal yang patut diketahui atau untuk memperadalam pengalaman, melainkan diarahkan untuk mendapatkan manfaat praksis. Dengan kata lain dalam pengetahuan prailmiah, pengetahuan bukanlah merupakan tujuan yang terkandung dalam dirinya, melainkan dimaksudkan agar manusia dapat menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. b. Kebenaran Ilmiah Kebenaran ilmiah tidak dapat dipisahkan dari karakteristik yang bersifat ilmiah. Adapun kata ilmiah (Scientific: Inggeris) dapat diartikan sebagai sesuatu yang bersifat ilmiah; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat atau kaidah ilmu pengetahuan (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994; 370). Dari pengertian ilmiah di atas terlihat jelas bahwa kebenaran ilmiah itu dapat diaktualisasikan atau dimanifestasikan dalam pengetahuan ilmiah. Atau dengan kata lain, suatu pengetahuan disebut ilmiah justeru karena di dalam pengetahuan tersebut terdapat suatu kebenaran yang bersifat ilmiah. Pengetahuan ilmiah 14



bertitik tolak dari kekaguman terhadap pengalaman biasa atau harian, misalnya saja air jika dipanaskan akan mendidih. Kekaguman terhadap pengalaman, kebenaran, pengetahuan biasa (common sense), menimbulkan berbagai ketidakpuasan dan bahkan keraguan terhadap kebenaran harian tersebut. Ketidakpuasan dan keraguan tersebut akan melahirkan keingintahuan yang mendalam yang diwujudkan dalam berbagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut selanjutnya diikuti dengan dilakukannya sejumlah penyelidikan. Serangkaian proses ilmiah tersebut melahirkan kebenaran ilmiah yang dinyatakan dalam pengetahuan atau sain (lihat Hardono Hadi, 1994: 13- 27). Kebenaran ilmiah yang diwujudkan dalam ilmu pengetahuan atau sain dapat disebut sebagai ilmu jika memenuhi berbagai syarat. Syaratsyarat tersebut adalah objekti metodologis, universal, dan sistematis (Bandingkan Poedjawijatna, 1967; 14). Lebih lanjut Beerling (1986; 6-7) menegaskan bahwa kemandirian ilmu pengetahuan ilmiah sesungguhnya berkaitan dengan tiga norma ilmiah. Pertama pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang memiliki dasar pembenaran. Kedua pengetahuan ilmiah bersifat sistematis. Ketiga pengetahuan ilmiah bersifat intersubjektif. Dari berbagai pemahaman mengenai kebenaran ilmiah yang telah diuraikan di atas, dapat dibuat suatu kerangka pemahaman bahwa kebenaran ilmiah adalah sebagai kebenaran yang memenuhi syarat atau kaidah ilmiah atau kebenaran yang memenuhi syarat atau kaidah ilmu pengetahuan. Sedemikian rupa sehingga kebenaran ilmiah tidak dapat dipisahkan dari ilmu atau pengetahuan ilmiah atau sains sebagai a higher level of knowlwdge justeru karena ilmu atau pengetahuan ilmiah merupakan aktualisasi dari kebenaran ilmiah. E. Metode Ilmiah Metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. Juga dapat diartikan bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesuatu interelasi. Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Metode ini menggunakan 15 langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut: 1. Berdasarkan fakta 15



2. Bebas dari prasangka 3. Menggunakan prinsip-prinsip analisa 4. Menggunakan hipolesa 5. Menggunakan ukuran objektif 6. Menggunakan teknik kuantifikasi Adapun Pelaksanaan metode ilmiah ini meliputi tujuh tahap, yaitu : a. Merumuskan masalah. Masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan. b. Mengumpulkan keterangan, yaitu segala informasi yang mengarah dan dekat pada pemecahan masalah. Sering disebut juga mengkaji teori atau kajian pustaka c. Menyusun hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara yang disusun berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh selama observasi atau telaah pustaka. d. Menguji hipotesis dengan melakukan percobaan atau penelitian. e. Mengolah data (hasil) percobaan dengan menggunakan metode statistik untuk menghasilkan kesimpulan.Hasil penelitian dengan metode ini adalah data yang objektif, tidak dipengaruhi subyektifitas ilmuwan peneliti dan universal (dilakukan dimana saja dan oleh siapa saja akan memberikan hasil yang sama). f. Menguji kesimpulan. Untuk meyakinkan kebenaran hipotesis melalui hasil percobaan perlu dilakukan uji ulang. Apabila hasil uji senantiasa mendukung hipotesis maka hipotesis itu bisa menjadi kaidah (hukum) dan bahkan menjadi teori.16 g. Menulis laporan Ilmiah.Untuk mengkomunikasikan hasil penelitian kepada orang lain sehingga orang lain tahu bahwa kita telah melakukan suatu penelitian ilmiah Metode ilmiah didasari oleh sikap ilmiah. Sikap ilmiah semestinya dimiliki oleh setiap penelitian dan ilmuwan. Adapun sikap ilmiah yang dimaksud adalah : - Rasa ingin tahu - Jujur (menerima kenyataan hasil penelitian dan tidak mengada-ada) - Objektif (sesuai fakta yang ada, dan tidak dipengaruhi oleh perasaan pribadi) - Tekun (tidak putus asa) - Teliti (tidak ceroboh dan tidak melakukan kesalahan) - Terbuka (mau menerima pendapat yang benar dari orang lain) F. Perkembangan Ilmu Pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasar pada sistem Filsafat Pancasila bersifat terbuka. Penyerapan unsur dari luar dan penerapan hukum-hukum ilmiah 16



dari luar harus tidak menghilangkan sifat dasar dari kepribadian bangsa Indonesia. Ilmu pengetahuan dan hukum-hukum ilmiahnya yang berasal dari luar harus dijadikan unsur yang serangkai dan memperkaya sistem Filsafat Paneasila. Pengembangan ilmu pengetahuan dan kerjasama antar bidang hanya dapat dilakukan apabila didasarkan pada nilai-nilai hidup kemanusiaa~, khusus di Indonesia pada nilai-nilai Pancasila, agar ilmu pengetahuan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia. G. Paradigma Ilmu Dalam ilmu sosial atau sosiologi, dalam Ritzer menyebutkan paling tidak terdapat tiga paradigma besaryaitu, paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan 21 paradigma prilaku sosial. Masing-masing paradigma tersebut mempunyai kekeunikan masing-masing. a. Paradigma Fakta Sosial Paradigma fakta sosial dikaitkan dengan karya Emile Durkheim khususnya dalam Suicide dan The Rule of Sociological Method. Dua Buku ini menjelaskan konsep fakta sosial diterapkan dalam mempelajari kasus gejala bunuh diri. Konsep fakta sosial menurut Durkheim dipakai sebagai cara menghindarkan sosiologi dari pengaruh psikologi dan filsafat. Fakta sosial adalah sesuatu yang berada di luar individu dan bersifat memaksa terhadapnya. Fakta sosial dibedakan atas dua hal yakni kesatuan yang bersifat material (material entity) yaitu barang sesuatu yang nyata ada, sedangkan kesatuan yang bersifat non-material (non-material entity) yakni barang sesuatu yang dianggap ada. Sebagian besar fakta sosial ini terdiri dari sesuatu yang dinyatakan sebagai barang sesuatu yang tak harus nyata, tetapi merupakan barang sesuatu yang ada di dalam pikiran manusia atau sesuatu yang muncul di dalam dan diantara kesadaran manusia. Realitas material maupun non material ini merupakan realitas yang bersifat intrasubyektif dan intersubyektif. b. Paradigma Definisi Sosial Paradigma definisi sosial memahami manusia sebagai orang yang aktif menciptakan kehidupansosialnya sendiri. Penganut paradigma definisi sosial mengarahkan perhatian kepada bagaimana caranya manusia mengartikan kehidupan sosialnya atau bagaimana caranya mereka membentuk kehidupan sosial yang nyata. Dalam penelitiannya pengikut paradigma ini banyak tertarik kepada proses sosial yang mengalir dari pendefinisian sosial oleh individu. Melakukan pengamatan proses sosial untuk dapat mengambil kesimpulan tentang sebagian besar dari intrasubyektif dan intersubyektif yang tidak kelihatan yang dinyatakan oleh actor adalah sesuatu 17



yang sangat penting. Contoh exemplar paradigma ini ialah karya Max Weber tentang tindakan sosial. Weber tertarik kepada makna subyektif yang diberikan individu terhadap tindakan yang dilakukan. Ia memusatkan perhatian kepada intersubyektif dan intrasubyektif dari pemikiran manusia yang menandai tindakan sosial. Weber tak tertarik untuk mempelajari fakta sosial yang 22 bersifat makroskopik seperti struktur sosial dan pranata sosial. Perhatiannya lebih mikroskopik. Baginya yang menjadi pokok persoalan ilmu sosial adalah proses pendefinisian sosial dan akibatakibat dari suatu aksi serta interaksi sosial. Sasaran penyelidikannya ialah pemikiran-pemikiran yang bersifat intrasubyektif dan intersubyektif dari aksi dan interaksi sosial. Dalam penyelidikan Weber menyarankan untuk menggunakan metode interpretativeunderstandingatau yang lebih dikenal sebagai metode verstehen. Namun demikian tidak semua karya Weber ditempatkan sebagai exemplar dari paradigma definisi social karena sebagian juga masuk ke dalam golongan paradigma fakta sosial. Demikian halnya dengan Durkheim tidak semua bisa dimasukan dalam salah satu golongan saja, sehingga Ritzer menyebut kedua tokoh ini sebagai jembatan paradigma. Terdapat tiga teori utama dalam paradigmdefinisi sosial, yaitu teori aksi sosial, teori interaksionisme simbolik dan teori fenomenologi. Teori aksi (action theory) diangkat dari karya Max Weber sangat menekankan kepada tindakan intersubyektif dan intrasubyektif dari pemikiran manusia yang menandai tindakan sosial. Teori aksi ini menurut Ritzer sebenarnya tidak memberikan sumbangan yang begitu penting terhadap perkembangan ilmu sosial Amerika Serikat, tetapi dapat mendorong dalam mengembangkan teori Interaksionisme simbolik. Teori interaksionisme simbolik berbeda dengan penganut paradigma fakta sosial yang beranggapan bahwa manusia secara sederhana memberikan reaksi secara otomatis terhadap rangsangan yang datang dari luar dirinya. Menurut interaksionisme simbolik terdapat proses berpikir yang menjembatani antara stimulus dan respon. Berbeda pula dengan paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa stimulus atau dorongan menimbulkan raksi secara langsung, melainkan respon bukan merupakan hasil langsung dari stimulus yang berasal dari luar diri manusia. Demikian juga dengan pandangan paradigma fakta sosial yang menekankan kepada strukturstruktur makroskopik dan pranata social sebagai kekuatan pemaksa yang menentukan aksi atau tindakan aktor karena bagi Interaksionisme Simbolik, struktur dan pranata sosial itu hanya merupakan kerangka di dalam proses pendefinisian sosial dan proses interaksi berlangsung. 18



c. Paradigma Perilaku Sosial23 Persoalan ilmu sosial dalam hal ini sosiologi menurut paradigma ini adalah perilaku atau tingkahlaku dan perulangannya (contingencies of reinforcement). Paradigma ini memusatkan perhatian kepada tingkahlaku individu yang berlangsung dalam lingkungan yang menimbulkan akibat atau perubahan terhadap tingkahlaku selanjutnya. Paradigma perilaku sosial secara tegas menentang ide paradigma definisi sosial tentang adanya suatu kebebasan berpiker atau proses mental yang menjembatani tingkahlaku manusia dengan pengulangannya. Penganut paradigma ini menganggap kebebasan berpikir sebagai suatu konsep yang bersifat metafisik. Paradigma ini juga berpandangan negatif terhadap konsep paradigma fakta sosial yaitu struktur dan pranata sosial. Paradigma perilaku sosial memahami tingkahlaku manusia sebagai sesuatu yang sangat penting. Konsep seperti pemikiran, struktur sosial dan pranata sosial menurut paradigma ini dapat mengalihkan perhatian kita dari tingkahlaku manusia itu. Metode yang sering diterapkan oleh paradigma ini ialah eksperimen baik di laboratorium maupun lapangan. Metode ieksperimen memungkinkan peneliti melakukan kontrol yang sangat ketat terhadap kondisi obyek dan kondisi lingkungan disekitarnya. Dengan demikian diharapkan peneliti mampu membuat penilaian dan pengukuran dengan tingkat kekuratan yang tinggi terhadap pengaruh dari perubahan tingkahlaku aktor yang ditimbulkan dengan sengaja melalui eksperimen tersebut. Pada tingkat akhir peneliti tetap harus membuat kesimpulan dari pengamatan tingkahlaku yang sedang diamatinya. H. Ilmu, Teknologi, dan Seni 1. Dimensi Ilmu, Teknologi, dan Seni Penggunaan teknologi oleh manusia kini berkembang sangat pesat. Banyak teknologi baru yang diciptakan manusia untuk memudahkan keperluan mereka. Contohnya saja teknologi pertanian, teknologi internet, dan masih banyak teknologi lainnya. Teknologi adalah kemampuan menerapkan suatu pengatahuan dan kepandaian membuat sesuatu yang berkenaan pengetahuan dengan suatu produk, yang berhubungan dengan seni serta berlandasan pengetahuan ilmu ekstaksa bersandarkan pada aplikasi dan implitasi ilmu pengetahuan itu sendiri.



19



2. Defnisi seni Seni menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah ahli membuat karya yang bermutu, dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dan lain sebagainya. a. Aristoteles: seni adalah peniruan terhadap alam tetapi sifatnya harus ideal. b. Plato dan Rousseau: seni adalah hasil peniruan alam dengan segala seginya. c. Ki Hajar Dewantara: seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari perasaan dan sifat indah sehingga menggerakan jiwa perasaan manusia. d. Ahdian Karta Miharja: seni adalah kegiatan rohani yang mereesikan realitas dalam suatu karya yang bentuk dan isinya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam rohaninya penerimanya. e. Prof. Drs. Suwaji Bastomi: seni adalah aktivitas batin dengan pengalaman estetika yang menyatakan dalam bentuk agung yang mempunyai daya membangkitkan rasa takjub dan haru. Ilmu, Teknologi, dan Seni Ilmu, teknologi, dan seni sebagai produk menjadi milik manusia. Artinya, ilmu, teknologi, dan seni didapat melalui pola pikir analogi ilmiah menggunakan metode keilmuan yang runtut membawa ke arah titik temu pada suatu konklusi yang bersifat nisbi. 3. Teknologi dan seni Pengembangan ilmu, teknologi, dan seni terjadi pada saat adanya akumulasi budaya yang berdasarkan pengembangan kebudayaan di dalam kehidupan sosial sehingga pada diri manusia muncul: a. pengembangan konsep dirinya bergerak dari seorang pribadi yang bergantung ke arah pribadi yang mandiri; b. manusia akan mengakumulasi berbagai macam pengalaman yang didapatkan sebagai sumber belajar yang berkembang; c. kemampuan penalaran manusia meningkat berorientasi pada tugas perkembangan peranan sosial yang dibawa; d. orientasi pada alam semesta bergeser dari orientasi yang objektif menuju subjektif untuk melakukan suatu aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai tujuan. Pengembangan ilmu teknologi dan seni terdapat tingkatan yang melandasinya, yaitu berupa invention, discovery, innovation, dan development.



20



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1.      Beragamnya definisi filsafat menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih sudut pandang (point of view) dalam memikirkan filsafat. Bahkan, perbedaan sudut pandangan ini diusahakan untuk dapat saling melengkapi. Karena setiap sudut pandangan pasti memiliki kekurangan atau kelemahan. dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah proses berpikir secara radikal, sistematik, dan universal terhadap segala yang ada dan yang mungkin ada. Dengan kata lain, berfilsafat berarti berpikir secara radikal (mendasar, mendalam, sampai ke akarakarnya), sistematik (teratur, runtut, logis, dan tidak serampangan) untuk mencapai kebenaran universal (umum, terintegral, dan tidak khusus serta tidak persial). 2.      Setiap pemikiran manusia selalu memiliki sejarah sendiri-sendiri, dan biasanya selalu terkait dengan pola kebudayaan yang melingkupinya. Sejarah awal munculnya khazanah pemikiran filsafat tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan kebudayaan dan peradaban Yunani. Pasalnya, di negeri itulah filsafat lahir dan berkembang hingga mencengangkan peradaban dunia lain hingga abad ini. Karenanya, tak heran bila banyak pihak mengkaji filsafat berawal dari sejarah peradaban Yunani Kuno, lalu abad pertengahan, modern sampai abad kontemporer seperti saat ini. Jauh sebelum filsafat muncul, masyarakat Yunani masih menggantungkan diri pada mitos, legenda, kepercayaan, dan agama untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan mereka. Tetapi, sekitar abad ke-7 SM, di Yunani mulai berkembang suatu pendekatan yang sama sekali berlainan dibanding masa-masa sebelumnya, yaitu pendekatan filsafat. Sejak saat itulah orang mulai mencari jawaban rasional tentang berbagai problem yang dihadapi, termasuk beragam masalah mengenai alam semesta. 3.      Dari berbagai lingkup pengertian filsafat sebagai mana tersebut di atas maka secara sederhana filsafat dapat mengerti bahwa a) filsafat itu merupakan proses berpikir yang sudah barang tentu bersifat dinamis. Namun demikian b) filsafat itu merupakan produk pemikiran yang bersifat statis. Beberapa hal lagi yang menjadi lingkup filsafat. a.       Filsafat sebagai kebijaksanaan rasional dari segala sesuatu 21



b.      Filsafat sebagai sikap dan pandangan hidup c.       Filsafat sebagai kelompok persoalan d.      Filsafat sebagai kelompok teori dan sistem pemikiran yang dihasilkan oleh para filsuf.



B. SARAN Diharapkan pembaca dapat dituntut untuk memikirkan secara mendalam mengenai dasardasar filsafat ilmu untuk itu diharapkan memiliki referensi keilmuan yang mencukupi guna menguasai cabang filsafat tersebut. Hal ini amat penting mengingat filsafat ilmu adalah akar dari berbagai keilmuan yang terus berkembang pesat dewasa ini.



22



DAFTAR PUSTAKA Mustofa I. 2016. Jendela Logika Dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi Sebagai Dasar Penalaran Ilmiah. Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam Hidayat A.R. 2018. Filsafat Berfikir Tehnik-Tehnik Berfikir Logis Kontra Kesesatan berfikir. Duta Media. Pamekasan http://menzour.blogspot.com/2018/05/makalah-dasar-dasar-filsafat-ilmu.html ISI+BUKU+AJAR+FILSAFAT+PENDIDIKAN.pdf https://www.researchgate.net/publication/298787398_Pengantar_Filsafat_Ilmu



23