Makalah Dentoalveolar Ok [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian terutama tulang ( Kamus kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Literatur lainnya menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer,2000). Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka fraktur dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada struktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma. Insidensi fraktur dentoalveolar sering terjadi di Indonesia, maka dari itu penting untuk memahami berbagai hal mengenai fraktur dentoalveolar seperti definisi, etiologi, insidensi, klasifikasi, tanda-tanda klinis, penegakan diagnosa, perawatan/penanggulangan trauma secara umum, perawatan segera, perawatan fraktur mahkota atau akar gigi, penanggulangan gigi sulung yang terkena trauma dan macam-macam stabilisasi.



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Definisi Fraktur Dentoalveolar Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian terutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Literatur lain menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer,



2000).



Berdasarkan



definisi-definisi



tersebut



maka



fraktur



dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma. 2.2 Etiologi Etiologi dari fraktur itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu ekstrinsik dan intinsik. Fraktur paling sering disebabkan oleh kecelakaan ketika sedang berkendara dan juga kekerasan di seluruh dunia. Tetapi bisa juga disebabkan karena kecelakaan kerja, aktivitas olahraga, jatuh dan sebagainya. (Balaji : 2007) Penyebab ekstrinsik antara lain direct violence (fraktur pada bagian yang terkena), indirect violence (fraktur karena trasmisi dari yang terkena), bending forces, torsional forces, compression forces, dan shearing forces. (Balaji : 2007) Penyebab Intrinsik dapat disebabkan karena lemah secara intrinsic dari tulang tanpa adanya force of impact. Fraktur patologis terjadi karena penyakit sistemik atau dari tulang itu sendiri memiliki sistem yang abnormal sehingga dapat menyebakan fraktur. (Balaji : 2007)



2



2.3 Insidensi Menurut Peterson, injuri dentoalveolar sering terjadi pada populasi anakanak, remaja dan dewasa. Pada anak penyebab utama injuri adalah terjatuh. Pada skala besar, kurang lebih 5% balita pernah mengalami fraktur wajah. Andreasen melaporkan bahwa trauma paling sering terjadi pada anak usia 2 sampai 4 tahun dan 8 samapai 10 tahun. Secara keseluruhan 11-30% merupakan anak dengan primary dentition sedangkan permanent dentition memiliki insidensi 5-20%. Pada anak anak dan remaja biasanya disebabkan oleh olahraga dan playground activities. Kenyataannya sepertiga dari trauma dental disebabkan oleh kecelakaan pada saat berolahraga. Penggunaan mouthguard dan helm yang memadai dapat mengurangi injuri karena olahraga. Kekerasan pada anak menjadi penyebab signifikan lainnya yang sering menyebabkan trauma dentolaveolar. Pada tahun 200 sekitar 879.000 anak mengalami kekerasan anak. 19,3% mengalami kekerasan anak secara fisik. Trauma pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh kecelakaan berkendara, olahraga, berkelahi, kecelakaan kerja, iatrogenic, dsb. Kelompok yang memiliki resiko besar terhadap trauma ini adalah orang orang pecandu alcohol sebagai suatu faktor kebiasaan. Kelompok lainnya adalah orang dengan penyakit kejang, gangguan mental, dan orang yang memiliki maxiofacial abnormal sejak lahir.



2.4 Klasifikasi WHO (World Health Organization) telah memiliki klasifikasi tersendiri dengan menggunakan International Classification of Disease Code. Klasifikasi ini dapat diapliaksikan pada gigi sulung dan gigi tetap. Injuri pada gigi dan jaringan



3



pendukungnya dibagi menjadi jaringan dental, pulpa, jaringan periodontal, dan tulang pendukungnya seperti ini; a. Cedera pada jaringan gigi dan pulpa 



Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa retakan tanpa hilangnya substansi gigi.







Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja.







Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada email dan dentin tanpa melibatkan pulpa gigi.







Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur email dan dentin dengan pulpa yang terpapar.







Fraktur



mahkota-akar



tidak



kompleks



(uncomplicated



crown-root



fracture): fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa. 



Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture): fraktur email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang terpapar.







Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa, dapat disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga koronal (gingiva).



4



Gambar 2.1 Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa (Fonseca, 2005) b. Cedera pada njuri pada jaringan periodontal 



Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi.







Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi.







Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari soket.







Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket alveolar.







Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur soket alveolar.







Avulsi: gigi lepas dari soketnya.



5



Gambar 2.2 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005).



c. Cedera pada tulang 



Pecahnya dinding soket alveolar mandibular atau maksila : hancur dan tertekan soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusive dan lateral luksasi







Fraktur dinding soket alveolar mandibular atau maksila : fraktur yang terbatas pada fasial atau lingual/palatal dinding soket







Fraktur processus alveolar mandibular atau maksila : fraktur prosesus alveolar yang dapat melibatkan soket gigi







Fraktur mandibular atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket alveolar



6



Gambar 2.3 Cedera pada Tulang (Fonseca, 2005).



Klasifikasi Menurut Ellis a. Klas I : tidak ada fraktur atau fraktur mengenai email dengan atau tanpa perubahan tempat, menunjukkan luka kecil dengan chipping kasar b. Klas II : fraktur mengenai dentin dan belum mengenai pulpa dengan atau tanpa memakai perubahan tempat. Pasien mulai peka dengan sentuhan dan udara c. Klas III : Fraktur mahkota dengan pulpa terbuka dengan atau tanpa perubahan tempat d. Klas IV : gigi mengalami trauma sehingga menjadi non vital dengan atau tanpa hilangnya struktur mahkota e. Klas V : Hilangnya sebagian gigi akibat trauma



7



f. Klas VI : Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan mahkota atau akar gigi g. Klas VII : perpindahan gigi atau tanpa fraktur mahkota atau akar gigi h. Klas VIII : fraktur mahkota sampai akar i. Klas IX : fraktur pada gigi deciduous



Gambar 2.4 Klasifikasi Menurut Ellis



2.5 Tanda – Tanda Klinis Fraktur Dentoalveolar Tanda-tanda klinis fraktur alveolar diantaranya adalah adanya kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada gingiva dan vermilion bibir, serta adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk



8



menegakkan diagnosa diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan Radiografi . Tanda-tanda klinis lainnya dari fraktur alveolar yaitu adanya luka pada gingiva dan hematom di atasnya, serta adanya nyeri tekan pada daerah garis fraktur. Pada kasus ini fraktur alveolar mungkin terjadi karena adanya trauma tidak langsung pada gigi atau tulang pendukung yang dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu. Hal ini biasa terlihat dengan adanya pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada bibir.



2.6 Penegakan Diagnosis Penegakan diagnosis pemeriksaan terhadap pasien meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terdiri atas keadaan umum, kondisi ekstra oral dan intra oral. Dari anamnesis dapat diketahui mekanisme trauma, yang berguna untuk mengetahui ada tidaknya fraktur di bagian tubuh lain. Keadaan umum pasien dengan fraktur dentoalveolar yang berdiri sendiri biasanya baik, dengan kesadaran kompos mentis. Apabila disertai cedera kepala dan fraktur serta vulnus di bagian tubuh lain yang dapat menimbulkan gangguan pernafasan, sirkulasi, atau neurologi, maka kesadaran dapat menurun. Pada pemeriksaan ekstra oral dapat ditemukan asimetri wajah berupa bengkak di bibir, hematoma, abrasi, dan laserasi. Kedalaman laserasi sebaiknya diperiksa untuk mengetahui apakah ada struktur vital yang terlibat, seperti duktus kelenjar parotis atau nervus fasialis. Pemeriksaan intra oral meliputi jaringan lunak dan jaringan keras. Trauma di anterior biasanya mengakibatkan kerusakan bibir yang parah. Hematoma sering



9



ditemukan dan pada palpasi dapat teraba kepingan gigi atau benda asing yang tertanam di jaringan lunak. Bibir bawah dapat tergigit sehingga terjadi laserasi. Bila gigi avulsi, pada gingiva akan tampak luka seperti bekas ekstraksi. Selain itu bisa ditemukan juga laserasi gingiva dan deformitas tulang alveolar. Pada anterior mandibula dapat terjadi degloving, yaitu sobekan horisontal di sulkus labialis pada perbatasan attached dan free gingiva, bila pasien jatuh tertelungkup dan terseret ke depan. Sobekan terjadi di periosteum dan pada kasus yang parah saraf mentalis dapat terbuka. Pada gigi dapat terjadi fraktur mahkota, dengan atau tanpa terbukanya kamar pulpa, dengan perkusi yang positif. Gigi dapat goyang, bergeser ke segala arah, ekstrusi, intrusi dan bahkan avulsi. Perubahan tersebut dapat menimbulkan maloklusi. Gigi yang tidak tampak bergeser tetapi goyang dicurigai telah mengalami fraktur akar, baik vertikal maupun horisontal. Fraktur yang 4 paling sulit dideteksi adalah fraktur akar yang stabil dan retak vertikal mahkota gigi posterior. Dalam keadaan itu harus dilakukan sondasi, perkusi dan tekan. Bila ada gigi yang tampak hilang, perlu dipastikan bahwa tidak ada akar gigi yang tertinggal. Trauma pada gigi posterior dapat disebabkan benturan rahang atas oleh rahang bawah sehingga gigi dapat terbelah secara vertikal. Serpihan gigi dapat tertanam di jaringan lunak, tertelan, atau terinhalasi pada pasien yang kehilangan kesadaran. Pada keadaan demikian perlu dibuat foto toraks. Kegoyahan beberapa gigi dalam satu segmen menunjukkan fraktur tulang alveolar. Fraktur alveolar dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur gigi. Fraktur alveolar di mandibula lebih sering merupakan bagian dari fraktur komplit mandibula, sedangkan di maksila lebih sering berdiri sendiri. Gigi yang terdapat



10



dalam fragmen fraktur harus dicurigai vitalitasnya. Fraktur tulang alveolar dapat terbuka atau tertutup, tunggal atau multipel. Pada saat pemeriksaan awal dapat dilakukan reposisi fragmen yang goyah, karena semakin cepat hal itu dilakukan semakin baik prognosis gigi geliginya. Setiap fragmen harus diperiksa untuk melihat apakah lengkap atau tidak lengkap. Fraktur alveolar di maksila paling sering terjadi di regio insisif. Fraktur tuberositas maksilaris dan dasar antrum merupakan komplikasi ekstraksi gigi molar atas yang sering terjadi. Pemeriksaan radiografis yang paling sering digunakan untuk evaluasi fraktur dentoalveolar adalah foto dental dan panoramik.



2.7 Perawatan/ Penanggulangan Trauma Secara Umum 1.



Kondisi Saluran Pernapasan Pasien yang mengalami trauma orofasial harus diperhatikan benar-benar



mengenai



pernapasannya.



Tindakan



pertama



adalah



aspirasi



darah,



pengambilan serpihan gigi atau protesa. Dasar dari usaha mempertahankan jalan napas adalah dengan mengontrol perdarahan dari mulut/hidung dan membersihkan orofaring. Gigi yang sangat goyang yang dikhawatirkan akan terlepas sendiri, atau terhisap sebaiknya dicabut. Fraktur-fraktur tertentu misalnya fraktur bilateral melalui region mentalis atau fraktur maksilla dengan pergesaran ke arah posteroinferior menuju faring, cenderung menyumbat saluran pernapasan. Jika fragmen symphysis mandibulae bergeser ke posterior, maka dukungan ke arah anterior terhadap lidah akan hilang, sehingga mengakibatkan kolaps lidah ke arah posterior (ke faring). Pergeseran maksilla kearah inferoposterior bias mengakibatkan penyumbatan mekanis langsung pada orofaring. Lidah bis dikontrol dengan melakukan



11



penjahitan menggunakan benang sutera tebal pada ujung lidah dan menahan lidah untuk tetap pada posisi anterior. Keterlibatan maksila tidak mudah diatasi dan mungkin tergantung pada reduksi dari fraktur, atau paling tidak pada imobilisasi sementara yang dilakukan dengan jalan mengfiksasinya terhadap mandibula yang masih utuh. 2. Sumbatan Jalan Napas yang Tertunda Sumbatan tertunda dari jalan napas bisa disebabkan karena pembengkakan atau edema lidah atau faring yang diakibatkan oleh hematom sublingual, luka-luka lingual, menghisap udara panas atau menelan bahan kausatik. Hematom bias menyebabkan elevasi dan penempatan lidah ke arah posterior. Luka-luka dan luka bakar sering menyebabkan terjadinya edema lidah yang besar dan juga menyebabkan lidah tergeser kearah posterior. Cedera pada saraf sering mempersulit masalah yang sudah ada, yakni berupa gangguan dalam melakukan control gerakan lidah. Apabila diperkirakan akan terjadi



edema



lingual



atau



faringeal,



maka



penggunaan



fiksasi



maksilomandibular ditunda. Fiksasi interdental yang kaku menyebabkan lidah tidak dapat diprotrusikan, sehingga membuat lidah cenderung bergerak kea rah posterior dan berakibat fatal. Apabila kondisi saluran pernapasan diragukan, bias dilakukan pemasangan alat bantu pernapasan oro- atau nasofaringeal, intubasi endotracheal dan tracheostomi pada kasus tertentu. 3. Perdarahan Perdarahan yang menyertai trauma orofasial jarang berakibat fatal. Penekanan, baik langsung dengan jari atau secara tidak langsung dengan menggunakan kasa, bisa menghentikan sebagian besar kasus perdarahan



12



rongga mulut. Untuk membatasi perdarahan kadang-kadang diperlukan klem dan pengikat pembuluh yang terlibat (biasanya a. maksillaris, a. lingualis, a. karotis eksterna). Walaupun perdarahan yang tertunda jarang menimbulkan masalah yang serius, tetapi karena diperlukan untuk tindakan bedah pada waktu selanjutnya, maka pada sebagian besar trauma orofasial mayor harus dilakukan pemeriksaan golongan darah untuk keperluan tranfusi. 4. Antibiotik Terapi antibiotik profilaksis diberikan berdasarkan pada kondisi individu. Terapi ini diperuntukkan pada individu resiko tinggi, terutama untuk pasien di mana daerah yang mengalami fraktur terbuka (berhubungan dengan permukaan kulit atau mukosa) dan kemungkinan besar terkontaminasi, atau apabila perawatan definitive harus ditunda. 5. Kontrol Rasa Sakit Terapi untuk menghilangkan rasa sakit biasanya minimal, karena pasien yang mengalami cedera yang relatif berat, tidak terlalu menderita seperti kelihatannnya. Karena analgesic narkotik cenderung menimbulkan edema serebral dan menyulitkan penentuan tingkat kesadaran, pemberiannya ditunda sampai pasien jelas mengalami cedera kranioserebral. Pada mulanya obat-obatan narkotik untuk pemberian intravena atau intramuscular sering digunakan. Namun selanjutnya, kombinasi narkotik/ non narkotik mulai dapat diberikan secara oral dan sering terdapat dalam bentuk cairan. Aplikasi dingin pada bagian yang mengalami cedera bisa mengurangi ketidaknyamanan, dan sekaligus mengontrol edema.



13



6. Perawatan Pendukung Karena pasien biasanya tidak bisa makan secara normal, terapi pendukung untuk pasien orofasial terdiri atas pemberian cairan yang cukup. Di rumah sakit hal ini dilakukan dengan pemberian cairan intravena (biasanya larutan elektrolit yang seimbang). Untuk perawatn di rumah, maka pemberian cairan bias dilakukan lewat mulut. Pasien diberi diet cairan, kadang ditambah dengan protein



atau vitamin. Seringkali pasien trauma orofasial harus



berpuasa selama menunggu pembedahan.



2.8 Perawatan Segera Perawatan fraktur prosessus alveolar sebaiknya dilakukan 48-72 jam sesudah kecelakaan, sering dilakukan dengan bantuan anestesi local, apabila diperlukan bisa ditambahkan dengan sedasi yang sesuai. Pemeriksaan awal yang dilakukan adalah ada tidaknya pergeseran segmen, adanya dikontinuitas lengkung rahang dan terjadi hambatan oklusi. Juga cedera pada jaringan lunak diatasnya misalnya luka-luka atau hematom. Penatalaksanaan : 1) Menenangkan pasien dan memberi sedative sesuai 2) Lakukan anestesi local biasanya sudah cukup, tetapi mungkin diperlukan anestesi umum apabila anestesi local tidak berhasil, atau pada pasien yang sangat takut 3) Gerakan segmen dengan jari dan periksa hubungan oklusalnya (reduksi) 4) Imobilisasi segemn pada posisi sudah di reduksi degan arch bar atau splint 5) Perlu dipertimbangkan untuk melakukan fiksasi maksilo mandibular apabila melibatkan segemn luas.



14



6) Teliti hubungan oklusi. Apabila mungkin, gigi pada segmen fraktur dibebaskan dari oklusi apabila tidak digunakan fiksasi maksilomandibular 7) Resep obat untuk menghilangkan rasa sakit, kadang-kadang diperlakukan antibiotic 8) Intruksikan pengaplikasian es pada bagian yang fraktur, dan pemberian makanan lunak dan cair, serta hygiene mulut. Jangan mencabut gigi pada segmen kecuali bila ada kemungkinan terjadi avulsi atau aspirasi karena akan mengakibatkan hilangnya tulang dalam waktu singkat. Dan jangan melakukan prosedur dimana harus membuka flap dan mengangkat periosteum yang dapat mengakibatkan gangguan suplai darah yang biasanya diikuti dengan resobsi atau nekrosis tulang.



2.9 Perawatan Fraktur Perawatan fraktur dentoalveolar sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, karena penundaan perawatan akan mempengaruhi prognosis gigi geligi. Bila fraktur dentoalveolar merupakan bagian dari fraktur wajah yang lebih serius, perawatan dapat dilakukan secara efektif untuk menstabilkan keadaan umum pasien terlebih dahulu. Tujuan perawatan fraktur dentoalveolar adalah mengembalikan bentuk dan fungsi organ pengunyahan senormal mungkin. Prognosis fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh keadaan umum dan usia pasien serta kompleksitas fraktur. Fraktur Pada Jaringan gigi dan Pulpa 1. Fraktur Email Yang dimaksud dengan fraktur email disini adalah fraktur tidak mengenai jaringan gigi yang lebih dalam (dentin mauapun pulpa) namun



15



hanya sebagatas email. Sebenarnya kasus ini memiliki prognosis yang baik.. Namun tidak memungkinkan timbulnya pergeseran letak gigi (luksasi). Perawatan yang dapat diberikan antara lain dengan menghaluskan bagian email yang kasar akibat fraktur tersebut atau dengan memperbaiki struktur gigi tersebut. 2. Fraktur Makhota dengan Pulpa Masih Tertutup Fraktur ini mengenai jaringan gigi yang lebih dalam, tidak hanya sebatas pada email namun juga sudah mengenai dentin namun pulpa masih terlindungi. Perawatan yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan material komposit untuk mengembalikan struktur gigi atau dengan cara yang lebih konservatif lagi yakni menempelkan kembali fragmen fraktur tersbut pada jaringan gigi setelah sebelumnya dilakukan etsa asam dan dengan bantuan bonding agent. 3. Fraktur Mahkota dengan Pulpa Terbuka Fraktur jenis ini adalah tipe fraktur yang bisa dikatakan complicated, karena fraktur melibatkan daerah email, dentin dan juga pulpa. Perawatannya pun agak sedikit berbeda dan tidak sesederhana dua kasus di atas. Hal lain yang harus diperhatikan saat menangani kasus ini adalah maturasi gigi, ini penting untuk menentukan apakah apeks gigi sudah menutup sempurna atau belum karena akan membedakan langkah perawatan yang akan diberikan.



16







Gigi dengan apeks yang masih terbuka Kondisi ini sangat tidak memungkinkan dilakukan pulpektomi, karena dinding akar masih tipis, vitalitas gigi harus tetap dipertahankan demi kelangsungan hidup gigi selanjutnya. Hal yang bisa dilakukan pada tahap ini adalah dengan melakukan pulpotomi dangkal dengan formokresol. Tahap yang bisa dilakukan:



1. Anestesi lokal dan pemasangan isolator karet 2. Pembuangan jaringan pulpa bagian koronal samapi garis serviks dengan bur bulat steril. 3. Kemudian lakukan irigasi dengan aquadest steril atau garam fisiologis (NaCl) dan keringkan dengan cotton pellet steril. 4. Letakkan cotton pellet yang sudah diberi formokresol di atas sisa jaringan pulpa (3 menit) 5. Setelah tiga menit, angkat dan letakkan adukan encer pasta Zn oksid dan



17



formokresol di atas jaringan pulpa. 6. Tambahkan adukan kental semen ZOE 7. Tutup kavitas dengan semen Zn oksifosfat 8. Lakukan pemeriksaan radiografis selang 6 bulan samapi penutupan apeks memungkinkan untuk dilakukan perawatan saluran akar. 9. Namun ada jika ingin hasil restorasi yanglebih estetik dapt dilakukan restorasi komposit, dengan tahapan: 1)



Lakukan langkah a-c seperti di atas.



2)



Diberikan pelapis CaOH



3)



Tambahkan semen glass ionomer



4) Lakukan restorasi komposit sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada perawatan dengan CaOH ini , jika memungkinkan dilakukan pembukaan gigi kembali sekitar 6-12 bulan kemudian untuk membuang lapisan kalsium hidroksida dan menggantinya dengan material adhesif. Hal ini dikarenakan CaOH adalah bahan yang semakin lama akan makin terdisintegrasi.



Pembongkaran



kembali



ini



diharapkan



dapat



meminimalisir kebocoran mikro yang nantinya akan menyebabkan adanya rongga antara jembatan dentin yang baru dengan restorasi yang menutupinya. Lain halnya jika kita menggunakan MTA (mineral trioksid agregat), jika menggunakan material ini maka tidak diperlukan pembukaan gigi kembali setelah 6-12 bulan. Namun ada tahapan yang berbeda yakni, pengaplikasikan MTA harus pada keadaan gigi yang



18



lembab diletakkan sedikit demi sedikit pada pulpa lalu biarkan mengeras selama 6-12 jam (tidak perlu ditutupi restorasi, pada saat ini pasien diharapkan tidak menggunakan gigi tersebut). Setelah itu barulah diberikan tambalan komposit. 



Gigi dengan apeks yang sudah menutup sempurna Perawatan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pulpektomi disertai dengan perawatan saluran akar. Perawatan saluran akar biasanya dilakukan jika fraktur yang terjadi sudah mencapai daerah margin ginggiva dan diperlukan pembuatan mahkota pasak dan inti. Perawatan saluran akar tentunya akan sangat membantu sebagai tahap persiapan. Lain halnya jika fraktur dengan pulpa terbuka ini terjadi pada gigi sulung. Ada dua hal yang diindikasikan yakni pencabutan dan pulpotomi. Semua ini bergantung pada usia pasien, jika setengah bagian apeks sudah resorpsi maka pemcabutan adalah indikasi utama namun jika akar belum mengalami resorpsi bisa dilakukan perawatan saluran akar dengan pasta OSE yang bisa diresopsi, mahkota yang fraktur kemudian bisa direstorasi menggunakan komposit.



4. Fraktur Mahkota dengan pulpa nekrotik dan terbuka Perawatan untuk kasus seperti ini juga dibedakan



berdasarkan



keadaan di derah apeks, jika apeks sudah tertutup maka perawatannya sama seperti perawatan abses alveolar akut. Namun jika apeks masih terbuka maka perawatan yang bisa dilakukan:



19



1) Perawatan seperti abses alveolar akut 2) Jika terjadi drainease maka biarkanterbuka dan pasien diminta datang 57 hari kemudian 3) pada kunjungan berikutnya, dilakukan pembersihan saluranakar 4) Kemudian dikeringkan dengan kertas isap steril 5) Pasta campuran CaOH dan CMCP diletakkan di saluran akar 6) Penutupan kavitas dengan semen ZnOe dan Zn oksifosfat. 7) Pasien diminta datang 6 bulan kemudian untuk pemeriksaan klinis dan radiografik.



5.



Fraktur Akar Fraktur pada akar tidak selalu memerlukan perawatan saluran akar, hal terpenting yang harus dilakukan adalah dengan menempatkan kembali segmen koronal dan distabilkan dengan splin selama kurang lebih 12 minggu. Kemudian pasien diminta datang untuk melakukan pemeriksaan apakah fraktur sudah membaik serta mengetahui kevitalan pulpa. 1)



Fraktur Sepertiga Serviks dengan Pulpa Nekrotik Perawatan yang bisa dilakukan antara lain: 1. Melakukan anestesi lokal 2. Melepaskan segmen korona 3. Lakukan ginggivektomi dan alveoplasti agar akar terlihat sehingga bisa dilakukan perawatan saluran akar dan preparasi untuk pasak dan mahkota.



20



2)



Fraktur Sepertiga Tengah Perawatan yang bisa dilakukan antara lain dengan stabilisasi fragmen fraktur, implant endosseous atau pengambilan kedua fragmen fraktur.



3)



Stabilisasi fragmen fraktur Kunjungan pertama 1. Penstabilan gigi dengna menggunakan splin 2. Preparasi kedua segmen saluran akar dan lakukan pembersihan. Preparasi saluran akar dengan file 3. Tutup kavitas dengan cotton pellet dan semen ZnOE. 4. Pasien diminta datang 1-2 minggu kemudian. Kunjungan kedua 1. Lakukan irigasi dan pembersihan saluran akar 2. Keringkan dengan kertas isap (paper point) 3. Pilih pin chrome-cobalt yang sesuai dengan panjang saluran akar, dapat di cek dengan bantuan rontgen. 4. Jika letaknya sudah sesuai maka pada bagian pin kita beri takik kira-kira pada bagian orifis agar bisa dipisahkan ketika sementasi. 5. Sterilkan pin dan kemudian dimasukkan ke dalam saluran akar dengan bantuan semen saluran akar, sambil ditekkan ke arah apeks dilakukan pemutaran pin agar patah pada bagian takik yang sudah dibuat. 6. Periksa kedudukan pin, jika sudah pas bisa dilakukan



21



restorasi tetap.



4)



Penempatan implant endosseous Pada perawatan jenis ini, diharapkan penyembuhan akan memungkinkan tulang baru terbentuk di sekitar pin dan gigi akan menjadi stabil.



22



Tahapan yang dilakukan: 1. Preparasi saluran akar 2. Pengambilan bagian apeks dengan teknik bedah, bagian apeks dibuka dan fragmen akar diangkat. 3. Pilih pin chrome-cobbalt yang sesuai, masukkan melalui lubang preparasi. 4. Usahakan posisi pin mencapai posisi ujung akar semula, namun jangan sampai menyentuh tulang. Setelah di dapat posisi yang pas, maka buat takik pada pin. 5. Ketika saluran akar sudah bersih dansudahdikeringkan dapat dimasukkan adukan semen saluran akar, ulasi pin dengan adukan semen yang sama. Masukkan pin ke dalam saluran akar. 6. Tutup kavitas dengan restorasi kemudian flap dijahit. 7. Selama periode penyembuhan dapat dipakai splint jika sesudah perawatan gigi terlihat goyang. 5) Fraktur sepertiga apeks Perawatannya bisa berupa stabilisasi kedua fragmen seperti pada kasus fraktur sepertiga tengah atau dengan preparasi fragmen korona secara konvensional dan diisi gutta perca, fragmen apeks dibiarkan dan jaringan pulpa mungkin tetap vital. Terapi lain yang mungkin diberikan adalah dengan preparasi fragmen korona dan mengisinya secara konvensional, fragmen apeks di angkat dengan cara bedah dan dilakukan pengisian retrogard dengan amalgam.



23



5. Fraktur Mahkota-Akar Fraktur mahkota akar sangat sulit dirawat dan keberhasilannya tergantung pada kedalaman garis fraktur di palatal. Bila pasien datang, fragmen korona sering sangat goyang dapat tetap melekat melalui ligament periodontal. Biasanya anestesi local perlu diberikan agar fragmen dapat dilepas dan dilakukan pemeriksaan dari luas fraktur. Bila fraktur terletak superficial, maka perawatan saluran akar dapat dilakukan dan dilakukan pembuatan mahkota pasak. Bila fraktur lebih dalam, akan lebih sulit untuk mengisolasi gigi untuk perawatan saluran akar dan ekstruksi ortodonti dari akar perlu dipertimbangkan sebelum merestorasi dengan mahkota pasak (Heithersay). Bila fraktur sangat dalam maka apa yang tertinggal terlalu kecil untuk mendukung restorasi bahkan setelah dilakukan ekstruksi ortodonti; gigi seperti ini juga cenderung tanggal (Feiglin).



Fraktur yang mengenai jaringan periodontal 1. Malposisi Gigi yang luksasi, ekstrusi dan intrusi direposisi dan di-splint untuk imobilisasi gigi selama 7-21 hari. Setelah periode imobilisasi selesai vitalitas gigi tersebut harus diperiksa. 2. Avulsi Gigi Avulsi gigi merupakan suatu kondisi dimana gigi terlepas dari soketnya. Untuk menanganinya, dokter gigi



perlu



melakukan



suatu



tindakan



untuk



mengembalikan gigi ke dalam soketnya semula.



24



Tindakan untuk mengembalikan gigi yang lepas dari soket, baik karena disengaja atau karena kecelakaan disebut replantasi. Sebagai tindakan darurat untuk mengembalikan gigi avulsi karena trauma, replantasi merupakan teknik yang penting. Prosedur Perawatan (Replantasi) 1.



Golden periode untuk melakukan replantasi gigi adalah 2 jam setelah gigi tersebut terlepas. Jika lebih dari 2 jam, kemungkinan gigi akan menjadi non vital sehingga gigi tersebut perlu dilakukan perawatan endodontik setelah difiksasi.



2.



Cuci gigi dengan air yang mengalir tanpa menyikat atau membersihkannya, dan periksa giginya untuk meyakinkan bahwa gigi masih utuh.



3.



Minta kepada pasien untuk berkumur. Tempatkan gigi kembali dalam soketnya dengan tekanan jari yang lembut dan mantap. Bila pasien kooperatif dan mampu, minta kepada pasien untuk mengatupkan gigigiginya secara hati-hati, untuk mengatupkan gigi kembali pada posisinya semula.



4.



Bawa pasien segera ke dokter gigi. Bila pasien atau orang tua tidak dapat menempatkan kembali gigi pada soketnya, maka cepat membawa gigi tersebut ke dokter gigi merupakan suatu keadaan yang penting. Gigi harus dibawa di dalam sarana yang basah untuk menjaga kelangsungan hidup ligamen periodontal yang tersobek.



5.



Selama gigi terlepas, gigi harus selalu berada dalam keadaan yang lembab. Gigi disimpan didalam kassa steril yang sudah dibasahi



25



NaOCl fisiologis 0,9%, dalam susu murni, atau dengan menggunakan saliva sendiri. Namun, bukanlah dengan cara direndam. 6.



Menghindari memegang bagian akar gigi.



7.



Setelah pasien tiba di tempat dokter gigi, bila gigi di dalam soketnya, lakukan ligasi, stabilisasi, dan buka oklusi gigi yang di-replantasi. Bila gigi keluar dari soketnya atau posisinya tidak baik, gigi direplantasi secara baik sebelum dilakukan ligasi.



8.



Buat suatu radiograf untuk memeriksa posisi gigi di dalam soket dan untuk mengetahui apakah terdapat fraktur akar atau tulang alveolar. Periksa gigi-gigi di dekatnya untuk kemungkinan adanya fraktur akar.



9.



Diberikan anastesi lokal untuk meyakinkan bahwa replantasi tidak akan menimbulkan rasa sakit.



10. Akar diperiksa lalu dibersihkan, tidak perlu menghilangkan ligament periodontium, namun jaringan yang hancur sebaiknya dibuang 11. Soket dikuret dengan hati-hati dan diirigasi untuk menghilangkan darah dan kotoran yang ada. Dengan palpasi ditentukan apakah ada tulang alveolar yang fraktur. 12. Setelah gigi direplantasi, fiksasi gigi tersebut selama 3-8 minggu. 13. Jangan mencoba melakukan perawatan endodontik pada waktu ini kecuali bila gigi memerlukan drainase. Dalam kasus seperti itu, kamar pulpa dibuka, kamar pulpa dan saluran akar dibersihkan, masukkan medikamen intrakanal dan tutup kavitas. Perawatan endodontic diselesaikan pada lain waktu.



26



14. Periksa vitalitas gigi secara berkala (tiap satu minggu), apabila gigi menjadi non vital maka harus segera dilakukan perawatan endodontik. Prognosis dalam waktu panjang tidak baik. Gigi avulsi dapat menjadi benda asing jika dikembalikan pada tempatnya dan dapat ditolak oleh mekanisme pertahanan tubuh. Penolakan ini dapat berupa resorpsi akar yang berakhir dengan eksfoliasi mahkotanya. Fraktur yang mengenai tulang alveolar Perawatan fraktur tulang alveolar biasanya hanya memerlukan anastesi lokal, dan paling baik dilakukan segera setelah trauma. Reduksi tertutup fraktur alveolar tertutup biasanya dilakukan dengan manipulasi jari yang diikuti dengan splinting. Imobilisasi tersebut harus menyertakan beberapa gigi yang sehat. Fiksasi intermaksilar kadangkadang diperlukan bila fragmen fraktur sangat besar, atau bila prosedur splinting tidak menghasilkan imobilisasi yang adekuat, dengan memperhatikan oklusi yang benar. Reduksi terbuka jarang dilakukan untuk fraktur alveolar, kecuali bila merupakan bagian dari perawatan fraktur rahang. Pada ekstraksi gigi yang menyebabkan komunikasi oro antral, harus dilakukan penutupan segera dengan flap bukal. Pasien diberi obat tetes hidung ephedrine 0,5 persen untuk membantu drainase antral, dan antibiotik untuk mencegah timbulnya fistula oroantral.



27



Fraktur yang mengenai jaringan lunak mulut Fraktur dentoalveolar hampir selalu disertai vulnus. Prinsip perawatannya terdiri



atas



pembersihan,



pembuangan



jaringan



nekrotik



(debridement),



penghentian perdarahan dan penjahitan.Pada bagian dalam laserasi degloving sering ditemukan debris atau kotoran tanah, sehingga debridement perlu diikuti dengan irigasi yang cermat. Fraktur dentoalveolar sering mengakibatkan luka terbuka, sehingga perlu diberikan antibiotik profilaksis dan obat kumur antiseptik. 2.10 Penanggulangan Gigi Sulung yang Terkena Trauma 1) Fraktur mahkota Bagian yang tajam dihaluskan menggunakan abrasive disc atau bur, bagian mahkota diperbaiki dengan penambalan resin komposit. Jika terjadi komplikasi seperti anak yang tidak kooperatif dan karena pulpotomi merupakan teknik yang sensitive, dapat dilakukan pulpotomi partial dengan formocresol atau zinc oxide eugenol. 2) Fraktur mahkota-akar Berkumur dengan air hangat, dikompres dengan kain yang dingin atau es. Dapat juga digunakan Acetaminophen, bukan aspirin. Dapat dilakukan direct pulp capping, Cvek pulpotomy, cervical-depth pulpotomy, pulpectomy, atau ekstraksi. 3) Fraktur akar Berkumur dengan air dingin dan letakkan batu es di bawah bibir dan mulut untuk mengurangi bengkak. Memberikan Tylenol untuk mengurangi rasa sakit. Selama tidak terdapat abses atau mobilitas gigi yang tinggi, fraktur akar tersebut dapat sembuh dengan sendirinya. Jika terdapat abses dan mobilitas



28



yang tinggi, gigi dapat diesktraksi dan sisa akar yang tertinggal dapat teresorpsi dengan sendirinya. Dengan sedikit perpindahan fragmen mahkota dapat dibiarkan tanpa perawatan dan akan diresorbsi. Jika fragmen mahkota sangat longgar maka fragmen mahkota harus diekstraksi. Fragmen apical dapat dibiarkan untuk diresorpsi secara fisiologis. 4) Concussion dan subluxation Berkumur dengan air dingin dan letakkan batu es di bawah bibir dan mulut untuk mengurangi bengkak. Memberikan Tylenol untuk mengurangi rasa sakit. Menggunakan clorhexidin selama 7 hari untuk menghindari kontaminasi bakteri pada ligament periodontal. Sebaiknya diambil gambaran radiografi untuk dilihat lebih lanjut fraktur akar yang terjadi. Anak diinstruksikan untuk memakan makanan yang lembut selama beberapa minggu sampai diputuskan perawatan yang tepat untuk dilakukan. 5) Ekstrusi Gigi sulung dapat mengalami reposisi dan stabil untuk waktu yang singkat jika anak segera diobati jika ada cedera. Tempatkan kain yang basah dan dingin pada mulut, dan bawa segera ke dokter gigi. Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan Tylenol. Jika bekuan darah sudah masuk ke dalam soket alveolar dan tidak terjadi reposisi, gigi dapat kembali normal secara spontan atau diekstraksi tergantung pada tingkat ekstrusi dan mobilitas. Gigi sulung dengan luksasi di posisi labial dilakukan ekstraksi, untuk mencegah kerusakan saat



pertumbuhan



gigi



permanen.



Dapat



dilakukan



splint



untuk



mengembalikan gigi pada posisi normal menggunakan semen glass ionomer modifikasi resin



29



6) Luksasi lateral Digunakan anastesi lokal terlebih dahulu, kemudian direposisi dengan diberi tekanan dari arah labial dan palatal, jika memungkinkan dapat digunakan pula splint selama 2-3 minggu. 7) Intrusi Berkumur dengan air dingin dan letakkan batu es di bawah bibir dan mulut untuk mengurangi bengkak. Berikan Tylenol untuk mengurangi rasa sakit. Perawatan untuk gigi sulung yang mengalami intrusi masih diperdebatkan. Jika dilakukan pembedahan dapat



terjadi kerusakan ringan karena



berkurangnya epithelium enamel, sehingga sebaiknya dibiarkan sehingga terjadi re-erupsi dalam kurun 3 bulan. Jika selama proses re-erupsi terjadi reaksi inflamasi seperti pembengkakan dan hyperemia gingival juga pembentukan abses disertai pus, sebaiknya segera diberikan antibiotic dan dilakukan ekstraksi untuk mencegah penyebaran infeksi. 8) Avulsi Perawatan untuk avulsi biasanya dilakukan dengan replantasi segera. Namun pada gigi sulung proses replantasi dapat menggantikan koagulum ke dalam folikel gigi incisor permanen. Sehingga dapat mengakibatkan inflamasi periapikal yang kemudian menjadi nekrosis pulpa dan dapat mengganggu perkembangan gigi permanen. Space yang dihasilkan dari hilangnya gigi dapat digantikan dengan protesa sementara. 9) Fraktur tulang alveolar Perawatan untuk fraktur ini meliputi reposisi bagian gigi yang berpindah ke posisi asalnya dengan menggunakan splint selama 2 bulan untuk



30



mengembalikan oklusi normal. Untuk luksasi yang lebih berat dapat digunakan anti inflamasi (mortri), analgetik (Tylenol 3), dan antibiotik (Penicillin). 2.11 Macam-Macam Alat untuk Stabilisasi Fraktur Stabilisasi Dentoalveolar Splinting adalah prosedur di mana gigi ditopang dalam posisi tertentu untuk jangka waktu tertentu. Hal ini dilakukan pada gigi yang terkena trauma atau gigi yang jaringan pendukungnya terinfeksi penyakit, sehingga gigi tidak terdukung dengan baik. Tujuan utama dari sebuah splinting adalah untuk melindungi perlekatan agar memungkinkan adanya perbaikan atau regenerasi serat periodontal. Splinting dilakukan dengan cara mengikat sekelompok gigi bersama sehingga daya kunyah ditahan oleh sekelompok gigi, tidak hanya oleh gigi yang terkena taruma atau infeksi. Splinting dibutuhkan minimal 4 minggu. Splint haruslah fleksibel baik dari arah horizontal maupun vertikal untuk mendukung proses penyembuhan. Splint yang baik haruslah: 1.



Diaplikasikan langsung intraoral



2.



Mudah dibuat dengan material yang ada di ruang praktek



3.



Tidak meningkatkan injury periodontal dan prevalensi karies



4.



Tidak mengiritasi jaringan lunak



5.



Pasif



6.



Mudah di lepas dengan sedikit atau tidak menyebabkan kerusakan pada gigi



7.



Higienis



8.



Estetis



31



Macam-macam splinting: 1)



Arch Bar Splint Merupakan rigid splint, biasanya menggunakan kawat ligatur, kadang-



kadang dilapisi dengan bahan pengerasan secara kimia sintetik. Splint ini menyebabkan kerusakan pada gigi yang terluka, dikarenakan reposisi tidak akurat, yang dapat menekan jaringan longgar gigi terhadap dinding soket. Terdapat resiko invasi bakteri ke dalam jaringan periodontal karena dekatnya letak splint dan wire terhadap margin gingival.



2)



Wire-composite Splint Teknik ini termasuk penerapan kawat lunak yang disesuaikan dengan



kurva lengkung gigi. Kawat ini difiksasi terhadap gigi dengan adhesive composite. Tergantung



pada



ketebalan



dan



efek



memori



kawat,



penting



untuk



menyesuaikannya untuk menghindari kekuatan ortodonti yang diberikan oleh splinting tersebut. Jika ingin dibuat lebih rigid dapat dilakukan dengan mengubah dimensi kawat atau menambahkan komposit di sepanjang kawat di bagian labial hingga ruang interdental. Sama seperti splint resin komposit, dapat merusak permukaan email gigi saat akan dilepas.



32



3)



Orthodontic Splint Pendekatan yang serupa meliputi penempatan bracket dengan teknik



adhesif. Sebuah kawat orthodontik kemudian membengkokkan dan diligasikan pada bracket, atau kawat yang dilewatkan pada figure-eight-loops dari bracket ke bracket. Namun, metode splinting ini lebih mengakibatkan iritasi bibir dan gangguan berbicara bila dibandingkan dengan teknik splinting lainnya. Kawat bracket dan komposit dapat menyebabkan iritasi pada mukosa, menurunkan kebersihan mulut dan tidak nyaman.



4)



Titanium Trauma Splint (TTS) Sebuah teknik splinting baru yang menawarkan kenyamanan dan



penanganan kepada pasien dan dokter gigi sama, dirancang dari titanium (TTS, Medartis AG, Basel, Swiss). Splint memiliki ketebalan 0,2 mm, sepenuhnya beradaptasi dan dapat mempertahankan mobilitas fisiologis gigi, namun masih memungkinkan fiksasi gigi yang memadai selama periode splinting. Penempatan dan pemindahan splint dapat dilakukan dengan sederhana, hanya memerlukan



33



sedikit komposit untuk fiksasi (etsa dan bonding), dan sangat efektif dan mudah untuk digunakan.



5)



Resin Splint Penempatan splint resin penuh pada permukaan gigi merupakan sebuah



metode yang berbeda menggunakan teknik adhesif. Splint ini sepenuhnya menjembatani ruang interdental, dan mengakibatkan kurang nyamannya pada pasien dibandingkan dengan teknik splinting lainnya. Namun, metode ini menunjukkan penurunan mobilitas gigi signifikan bila dibandingkan dengan wirecomposite splint dalam suatu studi eksperimental. Memiliki nilai estetik yang lebih dan mudah untuk dilakukan, tetapi telah ditemukan adanya fraktur interdental. Bersifat rigid, meskipun memiliki warna yang mendekati warna gigi tetapi splint jenis ini sulit untuk dilepas tanpa merusak permukaan gigi. Splint jenis resin komposit sebaiknya digunakan untuk gigi yang mengalami luksasi lateral.



34



6)



Kevlar/Fiberglass Splint Metode yang menggunakan teknik adhesif melibatkan serat nilon, band



Kevlar atau fiberglass untuk menstabilkan suatu trauma gigi terluka. Serat atau band direndam dalam resin dan ditempatkan pada permukaan gigi dengan polimerisasi. Splint ini adalah terlihat estetik dan walaupun konstruksinya ringan, memiliki frekuensi fraktur yang rendah.



7)



Self-etching and Bonding Material Berbeda dengan teknik adhesif standar, metode ini menggunakan bahan



self-etching bonding. Kawat pengikat stainless-steel halus yang dipelintir membuat untai ganda difiksasi dengan bahan light-curing compomer. Penggunaan self-etching adhesive bonding agent tampaknya membuat aplikasi splint lebih mudah dan lebih cepat menghilangkan tahap etsa dan pembilasan yang terpisah.



35



8)



Suture Splint Suture splint berguna sebagai fiksasi sementara, dan dalam kasus di mana



ada masalah retensi karena kurangnya gigi yang berdekatan, seperti pada geligi sulung atau campuran. Namun, penggunaan maksimum suture splint hanya beberapa hari. Jahitan dilewatkan dari jaringan labial ke jaringan lingual dengan benang melintasi tepi insisal, sehingga mencegah gigi bergerak dari soketnya. Selain itu, sejumlah kecil resin dapat ditempatkan untuk menjamin retensi dari jahitan.



Rekomendasi untuk tipe splinting dan durasi 



Ekstrusive luxation : 2 minggu; tipe fiksasi : fleksibel







Lateral luxation : 4 minggu; tipe fiksasi : fleksibel







Intrusive luxation : 6-8 minggu; tipe fiksasi : fleksibel







Avulsion : 1-2 minggu; tipe fiksasi : fleksibel







Root fracture; setengah atau sepertiga apical : 4 minggu; tipe fiksasi : rigid







Root fracture; sepertiga servikal : 3 bulan; tipe fiksasi : fleksibel







Alveolar fracture : 4 minggu; tipe fiksasi : fleksibel



36



BAB II LAPORAN KASUS



KASUS I Pada tanggal 4 januari 2003 pukul 01.30 seorang anak wanita berusia 8 tahun dibawa ke unit gawat darurat Bagian Bedah Mulut RSHS /FKG UNPAD Bandung dengan keluhan utama terdapat luka pada rongga mulut dan gigi –gigi depan goyang. Dua belas jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami kecelakaan terjatuh ke lantai saat bermain disekolah. Pada rongga mulut terdapat perdarahan, dan pada dagu terdapat luka karena terbentur lantai. Pasien tidak mengalami pingsan dan muntah, serta tidak ada darah atau cairan yang keluar dari telinga dan hidung. Kemudian pasien dibawa kerumah sakit Tasikmalaya dan dirujuk ke RSHS Bandung. 



Pada pemeriksaan klinis:  keadaan umum : tampak sakit sedang  Pernapasan : 28x/menit  Nadi: 80x/menit  Tekanan darah : 90/70 mmHg  Suhu tubuh : Subfebris







Pemeriksaan ekstraoral:  Pembengkakan dan hematom pada dagu  Laserasi pasa bibir bawah







Pemeriksaan intraoral:  Bekuan darah dan perdarahan dari gingival anterior rahang bawah  Gigi 11 dan 21 mobiliti  Gigi 73 dan 42 goyang dan linguoversi  Gigi 74 dan 75 tinggal sisa akar  Gigi 84 dan 85 sudah tanggal  Gigi 44 dan 45 belum erupsi  Gingiva region 31 dan 32 dan bibir bawah terdapat vulnus apertum



37







Pemeriksaan Foto Rontgen Panoramic terlihat:  Adanya garis fraktur tulang alveolar region gigi 31 dan 42  Tulang maksila dan mandibula tidak ditemukan adanya kelainan







Pemeriksaan Laboratorium : darah dan urin dalam batas normal







Diagnosa :  Fraktur Tulang Alveolar region 73 dan 42  Subluksasi gigi 11 dan 12







Rencana Perawatan:  Penjahitan luka pada gingival dan bibir  Pencabutan gigi 74 dan 75  Interdental Wiring gigi 11 dan 12  Reduksi dan fiksasi tulang alveolar region 73-42 dengan menggunakan splint akrilik yang diikat dengan sircummandibular  Semua tindakan tersebut direncanakan dengan anastesi umum karena pasien kurang kooperatif.  Pasien dirawat inap 2 hari dan diberi obat amoksisilin injeksi 3x500 mg. ketopropen sup dan selanjutnya diganti parasetamol sirup.







Follow Up  Hari kedua : hematom pada daerah dagu, mukosa bibir bawah agak hiperemis, dan splint akrilik dalam keadaan baik tidak goyang. Kemudian dilakukan pembersihan interdental wiring dan splint akrilik dengan NAcl fisiologis dan diberi obat kumur.  Hari ketiga : Rawat Jalan, diinstruksikan untuk selalu menjaga kebersihan mulut serta diit lunak.  Kontrol minggu kedua: hematom pada dagu mulai berkurang, rongga mulut tidak terdapat peradangan dan splint akrilik dalam keadaan baik namun banyak food debris.  Kontrol minggu kelima: pembengkakan dan hematom pada dagu sudah hilang dan kegoyangan pada gigi sudah tidak ada. Interdental wiring dan splint akrilik dilepas setelah terlebih



38



dahulu dilakukan anastesi local dan tampak hiperemi pada gingival region 73-42.  Kontrol minggu ke enam : pasien sembuh ditandai dengan tidak terdapatnya kegoyangan pada gigi.



PEMBAHASAN: 



Pada kasus ini didiagnosa fraktur alveolar regio gigi 73-42:



1. Adanya pergeseran dan kegoyangan gigi anterior rahang bawah dalam satu segmen. 2. Tanda klinis dari fraktur alveolar: luka pada gingival dan hematom diatasnya serta adanya nyeri tekan pada garis fraktur. 3. Pada gambaran panoramic tampak garis fraktur pada tulang alveolar region 31 dan 42. 



Perawatan fraktur alveolar meliputi reduksi segmen fraktur dan fiksasi sampai terjadi penyembuhan tulang meliputi reduksi segmen fraktur dan fiksasi sampai terjadi penyembuhan tulang. Untuk mereduksi segmen fraktur bisa dilakukan dengan reduksi tertutup atau reduksi terbuka. Pada kasus ini dilakukan reduksi tertutup karena tidak terdapat pergeseran segmen fraktur yang jauh dan tidak terdapat fragmen tulang atau jaringan granulasi yang menghalangi reposisi. Reduksi dilakukan secara sederhana dengan penekanan pada segmen fraktur sehingga diperoleh posisi anatomiknya.







Selanjutnya dilakukan fiksasi sampai diperoleh penyembuhan tulang kurang lebih 4-6 minggu. Terdapat metode untuk memfiksasi segmen fraktur diantaranya interdental wiring, splint arch bar, splint resin komposit, dan splint akrilik. Pada kasus ini digunakan Splint akrilik (Gunning Splint) untuk memfiksasi segmen fraktur.







Indikasi : Untuk fiksasi atau imobilisasi fraktur tulang pada rahang yang tidak bergigi atau sudah banyak kerusakan gigi. Pada kasus ini, Gigi geligi sebelah mesial atau distal segmen fraktur banyak yang tanggal dan rusak.



39



Kekurangan pemakaian splint akrilik (Gunning Splint) : retensi food debris dibawah basis alat yang sulit dibersihkan terutama pada anak-anak sehingga menyebabkan inflamasi pada mukosa atau gingival.



KASUS II Seorang anak 10 tahun dilaporkan ke Departement of Pedodontics and preventive Dentistry dengan trauma cedera pada daerah mulut dan tepi mulut karena jatuh saat anak sedang bermain kriket di sekolah. Riwayat cedera menunjukkan bahwa trauma mengakibatkan avulsi beberapa gigi. 



Pada pemeriksaan didapatkan:  Memar dan pembengkakan bibir atas.  Pemeriksaan



intraoral



menunjukkan



fraktur



dentoalveolar



yang



melibatkan premaxilla dan posterior kanan atas segmen dengan palatal yang berpindah ke gigi posterior.  Ada laserasi parah gingiva palatal dengan perdarahan.  Ada avulsi dari gigi 21 dan 24.  Gigi 22 palatoversi.  Ada ekstrusi gigi 25, 26, 31, 32 dan 41. Gigi premolar dan gigi molar benar-benar keluar dari rongganya tapi masih sedikit ada perlekatan dengan jaringan dan tetap didalam mulut. 



Pemeriksaan radiografi : Fraktur tulang interdental antara gigi 25 dan 26. Premolar yang belum dewasa dengan hanya dua pertiga dari formasi akar. Oklusi yang sangat parah karena perpindahan palatal segmen posterior rahang atas kiri.



40







Pengobatan  Tidak ada riwayat cedera kepala, anak tersebut telah menerima perawatan medis pertolongan pertama untuk luka kecil telah diberikan injeksi toksoid tetanus.  Perawatan



darurat cedera traumatik gigi direncanakan setelah



pemeriksaan



menyeluruh



dari



pemeriksaan



radiografi



(Orthopantomograph) dan hematologi (waktu perdarahan dan waktu pembekuan).  Di anestesi local, kemudian gingiva palatal dijahit supaya perdarahan bisa berhenti.  Gigi avulsi (21 dan 24) berhasil ditanam kembali, setelah berkumur dengan garam.  Pelebaran rongga gigi dan fraktur dentoalveolar pada gigi 25 dan 26 berkurang dengan alat tumpul dan penekanan.  Reposisi premolar yang stabil dengan jahitan didalam gigi.  Karena ada fraktur dentoalveolar, untuk menggantikan kelumpuhan segmen maksilaris direncanakan dilakukan cap splint. Cara melakukan cap splint: Gigi alginate yang impresi dibuat dan di cor. Segmen rahang atas yang bergeser dipotong, ulangi pada gigi yang lain kemudian diperiksa dengan oklusi rahang bawah dan dimodifikasi dengan cap splint (meliputi permukaan oklusal) yang dibuat. Dengan anestesi lokal segmen palatal yang bergeser akan berkurang dan dimodifikasi dengan cap splint yang disemen menggunakan semen seng fosfat. Mandibula yang diekstrusi gigi anterior akan stabil dengan splint kawat yang fleksibel.  Amoksisilin 250 mg/ 8 jam dan analgesik .  Pasien disarankan untuk makan makanan yang lunak selama 10 hari.  Penanganan hari berikutnya untuk memeriksa stabilitas splint.  Meskipun anak tersebut merasa nyaman, tetapi ada pembengkakan sedikit dari sisi kiri wajah. 41



 Setelah



memastikan



stabilitas



splint,



anak



disarankan



untuk



melanjutkan pengobatan dan makan makan yang lembut.  Perawatan Pasien setelah satu minggu dan jika pembengkakan wajah telah mereda, anak tersebut dapat menghentikan perawatan.  Dua minggu kemudian, cap splint yang dimodifikasi dipindahkan hatihati dan dipastikan oklusi. Oklusi akan terlihat baik.  Dilakukan evaluasi dengan radiografi untuk mengevaluasi status terkini dari gigi yang avulsi.  Cap splint dipasang untuk stabilisasi dentoalveolar.  Memulai perawatan saluran akar untuk semua gigi yang terkena.  Kalsium hidroksida diganti dan diberikan untuk premolar karena ada resorpsi inflamasi awal akar eksternal.  Dua bulan kemudian, radiografi dilanjutkan untuk melihat resorpsi inflamasi eksternal dengan gigi 24 dan 25, tindakan itu dibuat untuk membuat lebih kedap dengan trioksida mineral agregat.  Tiga tahun perawatan, anak tersebut asimtomatik dengan fungsi normal.



Pada



pemeriksaan



klinis,



anak



itu



tidak



bergejala



menunjukkan infraocclusion dengan gigi 21 tetapi oklusi normal posterior. Radiografi, gigi 21 dan 24 menunjukan penggantian lengkap resorpsi akar meskipun secara klinis asimtomatik. Namun, gigi 22, 26, 31, 32 dan 42 secara klinis asimtomatik, radiografi juga menunjukan lamina dura utuh.



42



PEMBAHASAN 



Proses fraktur alveolar membutuhkan pemotongan, imobilisasi diikuti oleh stabilisasi selama 2-4 minggu untuk pengobatannya.







Arch bar tidak cocok pada anak-anak karena ukuran gigi pada gigi campuran dan baru tumbuh gigi permanen memiliki akar yang belum matang.







Pada kasus ini, semua gigi posterior dan gigi insisivus sentralis yang avulsi, splint akrilik dimodifikasi dalam rangka untuk menstabilkan perbaikan fragmen dentoalveolar dan avulsi gigi.







Meskipun gigi avulsi tidak harus menggunakan splint selama lebih dari 710 hari, karena dikaitkan dengan adanya fraktur dentoalveolar, cap splint diperpanjang untuk dua minggu.







Kasus ini menunjukkan kesuksesan penanaman lagi sebagai resorpsi inflamasi. Kalsium hidroksida (CaOH) diketahui mengandung bakterisida dan potensi osteogenik yang banyak digunakan dalam endodontic. Penghambatan aktivitas osteoklastik menghasilkan pembentukan jaringan keras karena menciptakan lingkungan basa di sekitar jaringan. Ini adalah alasan CaOH digunakan dalam kasus ini.







Difusi kalsium dan hidroksida ion melalui tubulus dentin menuju ke permukaan akar terjadi perubahan konsentrasi ion hidroksida menyulitkan gradien pH pada membran sel bakteri sehingga mengganggu pasokan energi dari organisme. pH yang tinggi juga menyebabkan denaturasi protein membran sel dan racun intraseluler. Mineral Trioksida agregat yang terdiri dari kalsium dan fosfor, kalsium hidroksida terbentuk ketika bereaksi dengan cairan jaringan.







Oleh karena itu dalam hal ini, jika kita menggunakan CaOH di mulai untuk menghentikan proses resorptif dan kemudian obturasi mineral trioksida agregat dilakukan untuk premolar. Meskipun ada resorpsi pengganti, kami bisa mencapai retensi gigi selama tiga tahun dan masih berfungsi secara klinis juga pemeliharaan tinggi dan lebar tulang untuk prosedur implan di masa depan. Tiga tahun periode retensi permanen trauma gigi mengungkapkan teknik klinis sukses digunakan untuk



43



mengobati anak ini baik dari segi estetika juga fungsinya. Meskipun ada resorpsi, keputusan untuk mempertahankan premolar dengan mineral trioksida agregat obturasi terbukti memuaskan. 



Oleh karena itu dalam kasus ini kami menggunakan CaOH di awal untuk menghentikan proses resorptif dan kemudian obturasi mineral trioksida agregat dilakukan. Namun, molar pertama dan gigi seri tidak menunjukkan resorpsi dengan periodontal ruang ligament utuh.



44



BAB III KESIMPULAN



Fraktur dentoalveolar sering terjadi pada anak-anak karena terjatuh ataupun kekerasan pada anak. Sedangkan pada orang dewasa sering terjadi karena kecelakaan ketika berkendara ataupun karena aktivitas olahraga dan sebagainya. Klasifikasi fraktur dentoalveolar yang paling sering digunakan adalah klasifikasi Ellies dan WHO. Penanganan fraktur dentoalveolar ini dapat dikatakan sebagai suatu penanganan yang harus segera atau emergensi dengan penanganan yang berbeda pula tergantung dari tingkat keparahannya.



45



DAFTAR PUSTAKA



Alt Th, Coleman WP, Hanke CW, Yarborough JM. Cosmetic Surgery of the Skin Principles and Techniques. 1991 : p.147-95 Andreasen JO, Andreasen FM, Bakland LK, Flores MT. Traumatic Dental Injuries: A Manual. Munksgaard, Copenhagen, 1999. Hawkesford JE. and Banks JG.; Maxillofacial and Dental Emergencies; Oxford University Press; Oxford; 1994. Malamed SF.; Medical Emergencies in the Dental Office; 5th ed.; Mosby, Inc.; St.Louis; 2000. Padilla RS. Cutaneous Surgery. WB Saunders. Philadelphia. 1994 : p. 47990 Pedersen, G. 1996. Buku Ajar Bedah Mulut. Alih bahasa: Purwanto. Jajarta: EGC Thompson,



J.



A



Practical



Guide



to



Wound



Care



Regitered



Nursing. 2000 : p. 48-50 Scully C. and Cawson RA.; Medical Problems in Dentistry; 4th ed.; Wright; London; 1998.



46