Fraktur Dentoalveolar [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FRAKTUR DENTOALVEOLAR MAKALAH disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah DSP 7 (Medical and Dental Emergency)



Disusun Oleh :Tutor 8 Selvi A. S



(1601100110091)



Akhyar Dyni Zakyah



(1601100110093)



Intan Sri Fajarwati



(1601100110099)



FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2014



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Dental Science Program 7 dan untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang pelajaran medical and dental emergency. Proses penulisan menggunakan sumber data literatur atau sekunder. Data diperoleh dari berbagai buku, teksbook, dan jurnal. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan.



Jatinangor, 28 Februari 2014 Tim Penulis



Daftar Isi



BAB I PENDAHULUAN



Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian erutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Literatur lain menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer, 2000). Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka fraktur dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma. Insidensi fraktur dentoalveolar sering terjadi di Indonesia, maka dari itu penting untuk memahami berbagai hal mengenai fraktur dentoalveoar seperti definisi dari



traumatic



injury,



etiologi,



indidensi,



klasifikasi,



tanda-tanda



klinis,



perawatan/penanggulangan trauma ecara umum, perawatan segera, perawatan fraktur mahkota/akar gigi, avulsi gigi dan perawatan, alat restorasi semi tetap, penanggulangan gigi sulung yang terkena trauma, dan macam-macam alat stabilisasi untuk fraktur mandibula.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



1.



Definisi Traumatik Injuri Traumatic injury adalah injury yang dapat bersifat fisik (badan) atau emosional yang dihasilkan oleh luka luka fisik atau mental, atau shock. Traumatic dental injury atau dental trauma merupakan injury yang terjadi pada mulut, termasuk gigi, bibir, gusi, lidah, dan tulang rahang. Traumatic dental injury umumnya merupakan kombinasi trauma jaringan lunak peri-oral, gigi, dan jaringan pendukungnya. Traumatic Dental Injuries (TDI) atau luka trauma dental di klasifikasikan berdasarkan beberapa faktor seperti etiologi, anatomi, patologi, pertimbangan terapeutik, dan derajat keparahannya.



2.



Etiologi Traumatik Injuri Traumatic Dental Injury terjadi oleh benturan yang dapat menyebabkan energi mekanis yang cukup untuk menghasilkan suatu injuri/luka. Peristiwa TDI terjadi karena aktivitas yang menyebabkan kejadian TDI seperti jatuh, benturan, aktivitas fisik diwaktu senggang, kecelakaan lalu lintas, permaian yang kasar, kekerasan, penggunaan gigi yang tidak sesuai, serta menggigit benda keras. Perilaku manusia seperti pengambilan resiko, masalah hubungan dengan kawan, hiperaktivitas, dan perilaku stress juga merupakan penyebab terjadinya TDI.



1.



Jatuh dan benturan Sering terjadi pada anak dan orang tua. Seperti jatuh dari tangga, di garasi, teras, dan anak2 pada area bermain.



2.



Aktivitas fisik (olahraga) Olahraga beresiko tinggi terhadap Tdi contohnya American football, hockey, ice hockey, lacrosse, martial sport, rugby, dan skating. Olahraga yang beresiko medium misalnya basket, selam, squash, gymnastic, parachuting, dan waterpolo.



3.



Kecelakaan lalu lintas Termasuk kedalamnya pejalan kaki, sepeda, dan mobil/motor. Trauma disini didominasi oleh multiple dental injuri, meliputi tulang pendukung, jaringan lunak, bibir, dan dagu.



4.



Penggunaan gigi yang tidak sesuai Contohnya adalah menggigit pulpen, membuka bungkus makanan, memotong atau memegang barang dengan gigi, dan lainnya.



5.



Menggigit benda keras TDI dapat terjadi pada pasien pemakai tindikan pada lidah dan oral. Tindikan telah dilaporkan dapat mengakibatkan potong dan frakturnya suatu gigi dan restorasi, kerusakan pulpa, gigi yang retak, dan abrasi gigi.



6.



Keadaan sakit, keterbatasan fisik Penderita epilepsi, cerebral palsy, anemia, dan kepusingan beresiko mengalami TDI.



7.



Penyiksaan fisik



Penyiksaan dan pemukulan terhadap anak atau orang sering mengakibatkan terjadinya TDI. Pasien-pasien tersebut dibawa ke rumah sakit karena trauma fasial. Penyembuhan fraktur multipel pada gigi atau rahang, terutama dengan tahapan penyembuhan yang berbeda dapat menjadi tanda terjadinya suatu penyiksaan. Pukulan saat berkelahi pun termasuk pada kategori ini. Penyiksaan ini sering mengakibatkan kegoyangan, avulsi, atau fraktur gigi dan laserasi jaringan lunak.



8.



Insidensi Insidensi fraktur adalah sekitar 5%, Ellis melaporkan suatu insidensi 4,2%, dan Grundy melaporkan suatu insidensi sebesar 5,1%. Hal itu berarti apabila terdapat 100 orang, maka 5 diantaranya mengalami fraktur dentoalveolar. Anak laki-laki mempunyai sekitar 2 sampai 3 kali lebih banyak gigi yang patah daripada anak perempuan. Karena begitu banyak kecelakaan gigi yang berhubungan dengan olah raga,maka sebaiknya tiap usaha perlindungan diadakan untuk melindungi gigi anak-anak terhadap kecelakaan-kecelakaan tersebut dengan menggunakan program pendidikan di samping menggunakan pelidung mulut.



9.



Klasifikasi Menurut ELLIS (FINN):



1.



Fraktur klas I : fraktur hanya email atau hanya melibatkan sedikit dentin.



2.



Fraktur klas II : fraktur mengenai jaringan dentin tetapi pulpa belum terkena.



3.



Fraktur klas III : fraktur gigi yang mengenai dentin dan pulpa sudah terkena.



4.



Fraktur klas IV : fraktur karena trauma sehingga gigi menjadi non vital, dapat atau tanpa disertai hilangnya struktur mahkota gigi.



5.



Fraktur klas V : fraktur karena trauma yang menyebabkan terlepasnya gigi tersebut.



6.



Fraktur klas VI : fraktur akar gigi tanpa atau disertai hilangnya struktur mahkota gigi.



7.



Fraktur klas VII : pindahnya tempat gigi tanpa disertai fraktur akar maupun mahkota.



8.



Fraktur Klas VIII : fraktur mahkota disertai dengan perubahan tempat gigi.



9.



Fraktur klas IX : khusus untuk gigi decidui, di mana trauma akan menyebabkankerusakan gigi



Berdasarkan sistem WHO 1.



Luka terhadap jaringan keras gigi dan pulpa



Injury



Criteria



Enamel infraction



Fraktur mahkota yang tidak sempurna pada enamel tanpa kehilangan substansi gigi



Enamel fracture (uncomplicated)



Fraktur dengan kehilangan substansi gigi pada enamel



Enamel-Dentin



fracture Fraktur dengan kehilangan substansi gigi



(uncomplicated)



pada enamel dan dentin



Complicated crown fracture



Fraktur yang melibatkan enamel, dentin hingga pulpa terbuka



Uncomplicated crown-root fracture Fraktur yang melibatkan enamel, dentin dan sementum, tapi tidak membuka pulpa Complicated crown-root fracture



Fraktur yang melibatkan enamel, dentin dan sementum, dan membuka pulpa



Root fracture



Fraktur yang



melibatkan dentin dan



sementum, dan pulpa 2.



Luka terhadap jaringan periodontal Injury



Criteria



Concussion



Luka pada jaringan pendukung gigi tanpa pelepasan abnormal atau perpindahan dari gigi, tetapi bereaksi terhadap perkusi



Subluxation (loosening)



Luka pada jar.pendukung gigi dengan pelepasan



abnormal,



tetapi



dengan



perpindahan gigi Extrusive



luxation



(peripheral Perpindahan sebagian dari gigi dari



dislocation, partial avulsion)



soketnya



Lateral luxation



Perpidahan gigi dengan arah selain aksial.



Diikuti dengan fraktur soket alveolar Intrusive



luxation



(central Perpindahan gigi ke tulang alveolar.



dislocation)



Diikuti dengan fraktur soket alveolar



Avulsion (exarticulation)



Perpindahan gigi sepenuhnya keluar dari soket



3.



Luka terhadap tulang pendukung



Injury



Criteria



Comminution (pengurangan secara Hancurnya dan penekanan pada soket bertahap



partikel



kecil)



of



the alveolar. Kondisi ini ditemukan dengan



maxillary alveolar socket Comminution



of



the



terjadinya intrusive dan lateral luxation mandibular



alveolar socket Fraktur



dinding



soket



alveolar Fraktur yang terbatas pada bagian fasial



maksila Fraktur



atau oral dinding soket dinding



soket



alveolar



mandibula Fraktur prosesus alveolar maksila



Fraktur prosesus alveolar, dengan/ tidak



Fraktur prosesus alveolar mandibula melibatkan soket alveolarnya Fraktur maksila dan Mandibula



Fraktur yang melibatkan dasar maksila atau mandibula dan prosesus alveolaris (fraktur rahang). Fraktur tersebut bisa/



tidak melibatkan soket alveolar 4. Injury



Luka pada gingival atau mukosa oral Criteria



Laserasi gingiva atau mukosa Luka yang dangkal/ dalam pada mukosa akibat oral



robekan, biasanya oleh benda tajam



Contusion gingiva atau mukosa Luka memar akibat tekanan oleh benda oral



tumpul,



tidak



diikuti



robeknya



mukosa,



biasanya menyebabkan hemoragi submukosa Abrasi gingiva atau mukosa oral Luka pada superfisial akibat gosokan atau kikisan pada mukosa, menghasilkan suatu lecet dan permukaan yang berdarah



Tanda – Tanda Klinis Fraktur Dentoalveolar Tanda-tanda klinis fraktur alveolar diantaranya adalah adanya kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada gingiva dan vermilion bibir, serta adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk menegakkan diagnosa diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan radiografi. Tanda-tanda klinis lainnya dari fraktur alveolar yaitu adanya luka pada gingiva dan hematom di atasnya, serta adanya nyeri tekan pada daerah garis fraktur. Pada kasus ini fraktur alveolar mungkin terjadi karena adanya trauma tidak langsung pada gigi atau tulang



pendukung yang dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu. Hal ini bisaa terlihat dengan adanya pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada bibir.



Perawatan/ Penanggulangan Trauma Secara Umum dan Segera 1.



Kondisi Saluran Pernapasan Pasien yang mengalami trauma orofasial harus diperhatikan benar-benar mengenai



pernapasannya.



Tindakan



pertama



adalah



aspirasi



darah,



pengambilan serpihan gigi atau protesa. Dasar dari usaha mempertahankan jalan napas adalah dengan mengontrol perdarahan dari mulut/hidung dan membersihkan orofaring. Gigi yang sangat goyang yang dikhawatirkan akan terlepas sendiri, atau terhisap sebaiknya dicabut. Fraktur-fraktur tertentu misalnya fraktur bilateral melalui region mentalis atau fraktur maksilla dengan pergesaran ke arah posteroinferior menuju faring, cenderung menyumbat saluran pernapasan. Jika fragmen symphysis mandibulae bergeser ke posterior, maka dukungan ke arah anterior terhadap lidah akan hilang, sehingga mengakibatkan kolaps lidah ke arah posterior (ke faring). Pergeseran maksilla ke arah inferoposterior bisa mengakibatkan penyumbatan mekanis langsung pada orofaring. Lidah bisa dikontrol dengan melakukan penjahitan menggunakan benang sutera tebal pada ujung lidah dan menahan lidah untuk tetap pada posisi anterior. Keterlibatan maksila tidak mudah diatasi dan mungkin tergantung pada reduksi dari fraktur, atau paling tidak pada



imobilisasi sementara yang dilakukan dengan jalan mengfiksasinya terhadap mandibula yang masih utuh. 2.



Sumbatan Jalan Napas yang Tertunda Sumbatan tertunda dari jalan napas bisa disebabkan karena pembengkakan atau edema lidah atau faring yang diakibatkan oleh hematom sublingual, lukaluka lingual, menghisap udara panas atau menelan bahan kausatik. Hematom bisa menyebabkan elevasi dan penempatan lidah ke arah posterior. Luka-luka dan luka bakar sering menyebabkan terjadinya edema lidah yang besar dan juga menyebabkan lidah tergeser ke arah posterior. Cedera pada saraf sering mempersulit masalah yang sudah ada, yakni berupa gangguan dalam melakukan kontrol gerakan lidah. Apabila diperkirakan akan terjadi edema lingual atau faringeal, maka penggunaan fiksasi maksilomandibular ditunda. Fiksasi interdental yang kaku menyebabkan lidah tidak dapat diprotrusikan, sehingga membuat lidah cenderung bergerak ke arah posterior dan berakibat fatal. Apabila kondisi saluran pernapasan diragukan, bisa dilakukan pemasangan alat bantu pernapasan oro- atau nasofaringeal, intubasi endotracheal dan tracheostomi pada kasus tertentu.



3.



Perdarahan Perdarahan yang menyertai trauma orofasial jarang berakibat fatal. Penekanan, baik langsung dengan jari atau secara tidak langsung dengan menggunakan kasa, bisa menghentikan sebagian besar kasus perdarahan rongga mulut. Untuk membatasi perdarahan kadang-kadang diperlukan klem



dan pengikat pembuluh yang terlibat (biasanya a. maksillaris, a. lingualis, a. karotis eksterna). Walaupun perdarahan yang tertunda jarang menimbulkan masalah yang serius, tetapi karena diperlukan untuk tindakan bedah pada waktu selanjutnya, maka pada sebagian besar trauma orofasial mayor harus dilakukan pemeriksaan golongan darah untuk keperluan tranfusi. 4.



Antibiotik Terapi antibiotic profilaksis diberikan berdasarkan pada kondisi individu. Terapi ini diperuntukkan pada individu resiko tinggi, terutama untuk pasien di mana daerah yang mengalami fraktur terbuka (berhubungan dengan permukaan kulit atau mukosa) dan kemungkinan besar terkontaminasi, atau apabila perawatan definitif harus ditunda.



5.



Kontrol Rasa Sakit Terapi untuk menghilangkan rasa sakit biasanya minimal, karena pasien yang mengalami cedera yang relatif berat, tidak terlalu menderita seperti kelihatannnya. Karena analgesic narkotik cenderung menimbulkan edema serebral dan menyulitkan penentuan tingkat kesadaran, pemberiannya ditunda sampai pasien jelas mengalami cedera kranioserebral. Pada mulanya obatobatan narkotik untuk pemberian intravena atau intramuscular sering digunakan. Namun selanjutnya, kombinasi narkotik/ non narkotik mulai dapat diberikan secara oral dan sering terdapat dalam bentuk cairan. Aplikasi dingin pada bagian yang mengalami cedera bisa mengurangi ketidaknyamanan, dan sekaligus mengontrol edema.



6.



Perawatan Pendukung Karena pasien biasanya tidak bisa makan secara normal, terapi pendukung untuk pasien orofasial terdiri atas pemberian cairan yang cukup. Di rumah sakit hal ini dilakukan dengan pemberian cairan intravena (biasanya larutan elektrolit yang seimbang). Untuk perawatn di rumah, maka pemberian cairan bisa dilakukan lewat mulut. Pasien diberi diet cairan, kadang ditambah dengan protein atau vitamin. Seringkali pasien trauma orofasial harus berpuasa selama menunggu pembedahan.



Perawatan fraktur Mahkota dan Akar Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa hal yang mampu menyebabkan fraktur pada mahkota maupun pada akar, klasifikasikan pun sudah diterangkan sebelumnya. Disini akan dibahas mengenai langkah-langkah perawatan yang harus dilakukan untuk memperbaiki fraktur tersebut sehingga gigi bisa berfungsi kembali dengan normal. 1.



Fraktur Email Yang dimaksud dengan fraktur email disini adalah fraktur tidak mengenai jaringan gigi yang lebih dalam (dentin mauapun pulpa) namun hanya sebatas email. Sebenarnya kasus ini memiliki prognosis yang baik.. Namun tidak memungkinkan timbulnya pergeseran letak gigi (luksasi). Perawatan yang dapat diberikan antara lain dengan menghaluskan bagian email yang kasar akibat fraktur tersebut atau dengan memperbaiki struktur gigi tersebut.



2.



Fraktur Makhota dengan Pulpa Masih Tertutup Fraktur ini mengenai jaringan gigi yang lebih dalam, tidak hanya sebatas pada email namun juga sudah mengenai dentin namun pulpa masih terlindungi. Perawatan yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan material komposit untuk mengembalikan struktur gigi atau dengan cara yang lebih konservatif lagi yakni menempelkan kembali fragmen fraktur tersebut pada jaringan gigi setelah sebelumnya dilakukan etsa asam dan dengan bantuan bonding agent.



3.



Fraktur Mahkota dengan Pulpa Terbuka Fraktur jenis ini adalah tipe fraktur yang bisa dikatakan complicated, karena fraktur melibatkan daerah email, dentin dan juga pulpa. Perawatannya pun agak sedikit berbeda dan tidak sesederhana dua kasus di atas. Hal lain yang harus diperhatikan saat menangani kasus ini adalah maturasi gigi, ini penting untuk menentukan apakah apeks gigi sudah menutup sempurna atau belum karena akan membedakan langkah perawatan yang akan diberikan. 1. Gigi dengan apeks yang masih terbuka Kondisi ini sangat tidak memungkinkan dilakukan pulpektomi, karena dinding akar masih tipis, vitalitas gigi harus tetap dipertahankan demi kelangsungan hidup gigi selanjutnya. Hal yang bisa dilakukan pada tahap ini adalah dengan melakukan pulpotomi dangkal dengan formokresol. Tahap yang bisa dilakukan: 1.



Anestesi lokal dan pemasangan isolator karet



2.



Pembuangan jaringan pulpa bagian koronal sampai garis serviks dengan bur bulat steril.



3.



Kemudian lakukan irigasi dengan akuades steril atau garam fisiologis (NaOCl) dan keringkan dengan cotton pellet steril.



4.



Letakkan cotton pellet yang sudah diberi formokresol di atas sisa jaringan pulpa (3 menit)



5.



Setelah tiga menit, angkat dan letakkan adukan encer pasta Zn oksid dan formokresol di atas jaringan pulpa.



6.



Tambahkan adukan kental semen ZOE



7.



Tutup kavitas dengan semen Zn oksifosfat



8.



Lakukan pemeriksaan radiografis selang 6 bulan sampai penutupan apeks memungkinkan untuk dilakukan perawatan saluran akar. Namun jika ingin hasil restorasi yang lebih estetik dapt dilakukan restorasi komposit, dengan tahapan:



1.



Lakukan langkah a-c seperti di atas.



2.



Diberikan pelapis CaOH.



3.



Tambahkan semen glass ionomer



4.



Lakukan restorasi komposit sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada perawatan dengan CaOH ini , jika memungkinkan dilakukan pembukaan gigi kembali sekitar 6-12 bulan kemudian untuk membuang lapisan kalsium hidroksida dan menggantinya dengan material adhesif. Hal ini dikarenakan CaOH adalah bahan yang semakin lama akan makin



terdisintegrasi.



Pembongkaran



kembali



ini



diharapkan



dapat



meminimalisir kebocoran mikro yang nantinya akan menyebabkan adanya rongga antara jembatan dentin yang baru dengan restorasi yang menutupinya. Lain halnya jika kita menggunakan MTA (mineral trioksid agregat), jika menggunakan material ini maka tidak diperlukan pembukaan gigi kembali setelah 6-12 bulan. Namun ada tahapan yang berbeda yakni, pengaplikasian MTA harus pada keadaan gigi yang lembab diletakkan sedikit demi sedikit pada pulpa lalu biarkan mengeras selama 6-12 jam (tidak perlu ditutupi restorasi, pada saat ini pasien diharapkan tidak menggunakan gigi tersebut). Setelah itu barulah diberikan tambalan komposit. 1.



Gigi dengan apeks yang sudah menutup sempurna Perawatan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pulpektomi disertai dengan perawatan saluran akar. Perawatan saluran akar biasanya dilakukan jika fraktur yang terjadi sudah mencapai daerah margin ginggiva dan diperlukan pembuatan mahkota pasak dan inti. Perawatan saluran akar tentunya akan sangat membantu sebagai tahap persiapan. Lain halnya jika fraktur dengan pulpa terbuka ini terjadi pada gigi sulung. Ada dua hal yang diindikasikan yakni pencabutan dan pulpotomi. Semua ini bergantung pada usia pasien, jika setengah bagian apeks sudah resorpsi maka pencabutan adalah indikasi utama. Namun, jika akar belum mengalami resorpsi bisa dilakukan perawatan saluran akar dengan pasta



OSE yang bisa diresorpsi, mahkota yang fraktur kemudian bisa direstorasi menggunakan komposit. 2.



Fraktur Mahkota dengan pulpa nekrotik dan terbuka Perawatan untuk kasus seperti ini juga dibedakan berdasarkan keadaan di derah apeks, jika apeks sudah tertutup maka perawatannya sama seperti perawatan abses alveolar akut. Namun jika apeks masih terbuka maka perawatan yang bisa dilakukan:



1.



Perawatan seperti abses alveolar akut



2.



Jika terjadi drainase maka biarkanterbuka dan pasien diminta datang 5-7 hari kemudian



3.



Pada kunjungan berikutnya, dilakukan pembersihan saluran akar



4.



Kemudian dikeringkan dengan kertas isap steril



5.



Pasta campuran CaOH dan CMCP diletakkan di saluran akar



6.



Penutupan kavitas dengan semen ZnOe dan Zn oksifosfat.



7.



Pasien diminta datang 6 bulan kemudian untuk pemeriksaan klinis dan radiografik.



8.



Fraktur Akar Fraktur pada akar tidak selalu memerlukan perawatan saluran akar, hal terpenting yang harus dilakukan adalah dengan menempatkan kembali segmen koronal dan distabilkan dengan splin selama kurang lebih 12 minggu. Kemudian pasien diminta datang untuk melakukan pemeriksaan apakah fraktur sudah membaik serta mengetahui kevitalan pulpa.



1.



Fraktur Sepertiga Serviks dengan Pulpa Nekrotik 1.



Perawatan yang bisa dilakukan antara lain:



2.



Melakukan anestesi lokal



3.



Melepaskan segmen korona Lakukan ginggivektomi dan alveoplasti agar akar terlihat sehingga bisa dilakukan perawatan saluran akar dan preparasi untuk pasak dan mahkota.



4.



Fraktur Sepertiga Tengah Perawatan yang bisa dilakukan antara lain dengan stabilisasi fragmen fraktur, implan endosseous atau pengambilan kedua fragmen fraktur. 1.



Stabilisasi fragmen fraktur Kunjungan pertama 1.



Penstabilan gigi dengna menggunakan splin



2.



Preparasi kedua segmen saluran akar dan lakukan pembersihan. Preparasi saluran akar dengan file



3.



Tutup kavitas dengan cotton pellet dan semen ZnOE.



4.



Pasien diminta datang 1-2 minggu kemudian. Kunjungan kedua



1.



Lakukan irigasi dan pembersihan saluran akar



2.



Keringkan dengan kertas isap (paper point)



3.



Pilih pin chrome-cobalt yang sesuai dengan panjang saluran akar, dapat di cek dengan bantuan rontgen.



4.



Jika letaknya sudah sesuai maka pada bagian pin kita beri takik kira-kira pada bagian orifis agar bisa dipisahkan ketika sementasi.



5.



Sterilkan pin dan kemudian dimasukkan ke dalam saluran akar dengan bantuan semen saluran akar, sambil ditekkan ke arah apeks dilakukan pemutaran pin agar patah pada bagian takik yang sudah dibuat.



6.



Periksa kedudukan pin, jika sudah pas bisa dilakukan restorasi tetap.



7.



Penempatan implant endosseous Pada



perawatan



jenis



ini,



diharapkan



penyembuhan



akan



memungkinkan tulang baru terbentuk di sekitar pin dan gigi akan menjadi stabil. Tahapan yang dilakukan: 1.



Preparasi saluran akar



2.



Pengambilan bagian apeks dengan teknik bedah, bagian apeks dibuka dan fragmen akar diangkat.



3.



Pilih pin chrome-cobbalt yang sesuai, masukkan melalui lubang preparasi.



4.



Usahakan posisi pin mencapai posisi ujung akar semula, namun jangan sampai menyentuh tulang. Setelah di dapat posisi yang pas, maka buat takik pada pin.



5.



Ketika saluran akar sudah bersih dan sudah dikeringkan dapat dimasukkan adukan semen saluran akar, ulasi pin dengan adukan semen yang sama. Masukkan pin ke dalam saluran akar.



6.



Tutup kavitas dengan restorasi kemudian flap dijahit.



7.



Selama periode penyembuhan dapat dipakai splin jika sesudah perawatan gigi terlihat goyang.



8.



Fraktur sepertiga apeks Perawatannya bisa berupa stabilisasi kedua fragmen seperti pada kasus fraktur sepertiga tengah atau dengan preparasi fragmen korona secara konvensional dan diisi gutta perca, fragmen apeks dibiarkan dan jaringan pulpa mungkin tetap vital. Terapi lain yang mungkin diberikan adalah dengan preparasi fragmen korona dan mengisinya secara konvensional, fragmen apeks di angkat dengan cara bedah dan dilakukan pengisian retrogard dengan amalgam.



9.



Fraktur Mahkota-Akar Fraktur mahkota akar sangat sulit dirawat dan keberhasilannya tergantung pada kedalaman garis fraktur di palatal. Bila pasien datang, fragmen korona sering sangat goyang dapat tetap melekat melalui ligament periodontal. Biasanya anestesi local perlu diberikan agar fragmen dapat dilepas dan dilakukan pemeriksaan dari luas fraktur. Bila fraktur terletak superficial, maka perawatan saluran akar dapat dilakukan dan dilakukan pembuatan mahkota pasak. Bila fraktur lebih dalam, akan lebih sulit untuk mengisolasi gigi untuk



perawatan



saluran



akar



dan



ekstruksi



ortodonti



dari



akar



perlu



dipertimbangkan sebelum merestorasi dengan mahkota pasak (Heithersay). Bila fraktur sangat dalam maka apa yang tertinggal terlalu kecil untuk mendukung restorasi bahkan setelah dilakukan ekstruksi ortodonti; gigi seperti ini juga cenderung tanggal (Feiglin).



1.



Avulsi Gigi dan Perawatan Avulsi adalah berpindahnya gigi secara menyeluruh dari soketnya ( dapat terasosiasi



dengan fraktur dinding alveolar)



(Contemporary



Oral



and



Maxillofacial Surgery)



Cara-cara replantasi gigi avulsi yang dilakukan di tempat terjadinya trauma: (1). Tekan gigi yang mengalami avulsi dalam posisi yang benar pada soketnya sesegera mungkin. (2). Cara lain adalah menempatkan gigi diantara bibir bawah dan gigi atau bila tidak memungkinkan letakkan gigi pada segelas air susu. (3). Periksakan ke dokter gigi sesegera mungkin.



Cara-cara replantasi gigi di ruang praktek: (1). Lakukan anestesi lokal. (2). Bilas gigi perlahan-lahan dengan NaCl fisiologis menggunakan syringe. (3). Soket diirigasi menggunakan cairan NaCl fisiologis. (4). Letakkan gigi perlahan-lahan dengan tekanan jari. (5). Apabila fragmen tulang alveolar menghalangi replantasi maka lepaskan kembali gigi dan tempatkan pada NaCl fisiologis. Kembalikan tulang pada posisinya dan ulangi kembali replantasi. (6). Pembuatan foto rontgen dilakukan untuk memeriksa apakah posisi sudah benar. (7). Stabilisasi gigi dengan menggunakan splint. (8). Berikan antibiotika selama 4-5 hari.



(9). Berikan profilaksis tetanus bila gigi yang avulsi telah berkontak dengan sesuatu. (10). Pasien diinstruksikan untuk berkumur menggunakan klorheksidin 0,1% sehari 2 kali selama 1 minggu. (11). Lepaskan splint setelah 1-2 minggu. (12). Perawatan saluran akar dipertimbangkan bila tampak adanya kelainan pada pulpa.



Gambar == avulsi gigi Pertimbangan perawatan saluran akar pada gigi yang mengalami avulsi: (1). Perawatan saluran akar dapat dilakukan setelah 7-10 hari kemudian atau setelah splint dilepas. (2). Saluran akar diisi pasta kalsium hidroksida untuk sementara. (3). Pada gigi dengan foramen apikal yang masih terbuka kemungkinan akan terjadi revaskularisasi pada pulpa sehingga perawatan saluran akar hendaknya ditangguhkan.



(4). Apabila pada foto rontgen terlihat tanda-tanda nekrosis pulpa dan adanya gambaran radiolusen di daerah apikal dengan atau tanpa disertai resorpsi akar eksternal maka perawatan saluran akar harus segera dilakukan. (5). Pada gigi dengan apeks belum tertutup dianjurkan untuk dilakukan pembuatan foto rontgen setiap 2 minggu sekali sampai terlihat pulpa tidaknekrosis dan penutupan apeks terjadi.



Gambar .. treatment untuk gigi avulsi



Gambar treatment untuk gigi avulsi setelah 2 jam 2.



Alat Restorasi Semi Tetap Jika restorasi akhirnya ditunda, restorasi sementaranya harus bisa bertahan selama mungkin (sampai satu tahun). Restorasi ini harus protektif, rapat, dan bagus estetik serta fungsinya. Restorasi sementara semipermanen untuk gigi posterior yang baik adalah amalcore yang meng”onlay” cusp yang telah lemah, sehingga dapat melindungi fungsi dan kerapatannya. Jika dikemudian hari harus diganti dengan mahkota, preparasi mahkota akhirnya dapat diselesaikan tanpa membuang intinya. Restorasi anterior analognya biasanya lebih sukar karena adanya faktor estetik dan adanya kesukaran dalam memperoleh mahkota yang rapat. Suatu mahkota pasak sementara tidak menjamin adanya kerapatan yang adekuat. Lebih disukai untuk membuat pasak



dan inti segera setelah perawatan (yang menjamin adanya kerapatan mahkota yang baik) jika gigi tersebut merupakan indikasi bagi pemasangan mahkota sementara. Prinsip dan Konsep Ada tiga prinsip praktis agar restorasi dapat berfungsi dengan baik dan bertahan lama, yakni: 1.



Mempertahankan struktur gigi.



Struktur gigi yang memerlukan perawatan biasanya sudah tidak baik sehingga pengambilan dentin lebih lanjut sebaiknya diminimalkan. Sebaliknya, cusp mungkin perlu dikurangi dan diberi pelindung (capping). Tindakan, secara rutin membuang mahkota dan kemudian membangunnya kembali pada gigi yang telah dirawat saluran akarnya merupakan cara yang sudah tidak layak lagi.



Gambar



Fraktur gigi akibat pembuangan restorasi lama yang tidak sempurna.



2.



Retensi



Restorasi korona memperoleh retensinya dari inti dan sisa dentin yang masih ada. Jika intinya memerlukan retensi, maka yang dimanfaatkan adalah sistem saluran akarnya yang memakai pasak. Namun pasak ini akan melemahkan dan mungkin menyebabkan perforasi sehingga hendaknya dipakai hanya jika diperlukan untuk retensi inti.



Gambar.. Retensi



dengan memanfaatkan



undercut pada kamar pulpa dan orifis saluran akar



3.



Proteksi sisa struktur gigi. Proteksi sisa struktur gigi ini diaplikasikan pada gigi posterior untuk



memproteksi cusp yang tidak terdukung supaya bisa menghindari terjadinya fleksur dan fraktur. Restorasi didesain sedemikian rupa sehingga beban fungsional dapat ditransmisikan melalui gigi ke jaringan penyangga.



3.



Penanggulangan Gigi Sulung yang Terkena Trauma Koordinasi yang buruk pada pasien anak yang sedang belajar berjalan , serta rasio antara pulp-chamber yang relatif besar, menyebabkan banyak terjadinya trauma dentoalveolar pada anak. Dalam mengelola pasien tersebut, mungkin memerlukan sedasi dan restraint (pengekangan). Dengan demikian, faktor-faktor



tambahan harus ditangani selama dilakukan pengobatan. Displacement lebih banyak terjadi daripada patah gigi pada gigi primer karena daerah sekeliling tulangnya masih resilien. Begitu pula dengan cedera ini yang lebih sering terjadi pada gigi anak dibandingkan pada gigi permanen. (Peterson) Mengobati trauma pada gigi primer ditentukan oleh kemungkinan bahaya terhadap benih gigi permanen, sekunder ke posisi bukal - oklusal gigi primerterhadap benih gigi permanen.



. Gambar. posisi bukal - oklusal gigi primerterhadap benih gigi permanen Transmisi gaya pada gigi yang berkembang memungkinkan terjadinya displacement yang dapat menyebabkan gangguan odontogenesis, sehingga menghasilkan perubahan warna enamel dan atau hyploplasia. (Peterson) Fraktur Mahkota Sebagian



Pada fraktur mahkota sebagian, bagian runcing dari



mahkota harus di



haluskan atau restorasi morfologi mahkota dapat didapatkan dengan cooperation reasonable.



Andreasen dan Raven melaporkan tentang prognosis pada trauma gigi pengganti permanen, jugagaya yang diberikan oleh gigi primer. Mereka menemukan bahwa usia individu pada saat cedera dan jenis cederaberperan penting dalam pengembangan gigi permanen (Peterson)



Diagnosis dan Assesment Dokter gigi harus memutuskan : 1.



Waktu luka terjadi dan ketika kedatangan berikutnya untuk perawatan, hasil pengobatan adalah sangat tergantung pada waktu yang telah berlalu



2.



Penyebab luka



3.



Dimana luka terjadi untuk menentukan apakan perlu diberikan injeksi tetanus



4.



Apakah trauma cukup berat sehingga menyebabkan masalah medis seperti sakit kepala, muntah, dan simptom lainnya pada trauma kepala



5.



Stimuli apa yang menyebabkan respon pada wilayah trauma (termal, tekanan, kimia).



Gambar : sistem untuk menentukan treatment pada gigi primer anterior Crown Fracture Dalam kasus fraktur yang tidak parah dengan tepian dipinggirnya, abrasive disc atau



bur



tajam



dapat digunakan untuk



menghaluskan fraktur. jika pasien menginginkan hasil yang estetis, dan pasien mampu, mahkota dapat diperbaiki dengan resin komposit. Fraktur mahkota yang parah merupakan kasus yang sulit untuk dihadapi jika kurangnya kerjasama dari anak dan karena perawatan (pulpotomy) adalah teknik-sensitif.



Pilihan perawatan parsial



pulpotomy dengan kalsium hidroksida atau pulpotomy dengan formocresol atau seng oksida eugenol. tampaknya hasilnya sama baik antara pilihan yang tersedia, mendukung indikasi untuk pendekatan konservatif untuk mengobati luka. dalam satu studi klinis, tingkat keberhasilan dari pulpotomy adalah 76%. studi clinical lain, pulpotomy (menggunakan formocresol) dan pulpectomy (menggunakan seng oksida eugenol) yang dibandingkan dan ditemukan memiliki tingkay keberhasilan masing-masing dari 86% dan 78%. Temuan yang menghalangi



keberhasilan pulpectomy bahwa sebagian besar kasus



menunjukkan resorpsi lengkap partikel seng oksida di daerah gingiva. prosedur ini biasanya tidak direkomendasikan. Trioksida mineral agregat (MTA) baru-baru ini telah diusulkan untuk pulpotomy tapi penelitian klinis jangka panjang



diperlukan



sebelum merekomendasikan penggunaan secara umum. Crown-Root Fracture Ekstraksi merupakan pilihan perawatan yang sering dilakukan Root Fracture



Fraktur akar dengan sedikit perpindahan fragmen koronal dapat dibiarkan tidak diobati dan akan resorbsi pada waktu yang diharapkan. ketika fragmen mahkota sangat longgar fragmen koronal yang ekstruksi harus diekstraksi untuk mencegah anak menghirup itu. fragmen apikal dapat dibiarkan untuk resorpsi fisiologis. jika anak mampu mengatasi dan fragmen koronal tidak berpindah, kawat-komposit splint telah dianjurkan selama 3 minggu. Namun, nilai perawatan semacam ini tampaknya dipertanyakan. Concussio dan Subluxasi Cedera ini tidak memerlukan perawatan akut, namun harus memberitahukan orangtua untuk menjaga kebersihan mulut anak untuk mencegah kontaminasi bakteri melalui ligamentum periodontal. chlorhexidine dapat diaplikasi ke gingiva gigi dua kali sehari selama 7 hari dapat direkomendasikan. Ekstrusi Ekstrusi gigi primer dapat mangalami reposisi dan stabil untuk waktu yang singkat jika anak segera diobati jika ada cedera. jika bekuan darah sudah masuk ke dalam soket alveolar dan tidak terjadi reposisi, gigi dapat kembali normal secara spontan atau diekstraksi tergantung pada tingkat ekstrusi dan mobilitas. Lateral Luxation



Dalam beberapa kasus lateral luksasi mungkin terdapat gangguan occlusal. dalam kasus ini, setelah penggunaan anestesi lokal, gigi yang posisinya kombinasi antara gabungan tekanan labial dan palatal. jika perlu dan mungkin, splint dapat digunakan selama 2-3 minggu. Karena open bite anterior pada anak kecil lebih sering terlukasi lateral gigi utama tidak mengalami gangguan oklusal dapat sembuh tanpa pengobatan, dan reposisi spontan dipengaruhi oleh kekuatan fisiologis lidah biasanya dapat terjadi dalam waktu 3 bulan. Namun, dalam studi lanjutan, 5% dari gigi yang terluksasi lateral tidak sepenuhnya reposisi setelah 1 tahun. Untuk mengobati lateral luxations tanpa open bite yang tidak dapat direposisi, mengikis tepi incisal gigi atas dan bawah atau sementara menambahkan komposit ke permukaan occlusal molar untuk membuat artifisial anterior.



Intrusion Perawatan gigi instrusi dapat dibagi 3, yaitu : Reposisi dengan pesawat ortodonti, reposisi gigi dengan tindakan bedah dan observasi gigi dengan cara reerupsi. Sebaiknya jika gigi yang intrusi akarnya belum tumbuh sempuma, dapat diobservasi dengan cara re-erupsi,



sedangkan jika akar gigi sudah tumbuh sempurna reposisi secara bedah atau dengan pesawat ortodonti merupakan pilihan. Perawatan gigi intrusi masih diperdebatkan. masalah penting adalah pencegahan dari cedera gigi susu berlanjut pada gigi permanen. dalam studi eksperimen pada monyet, di mana gigi insisif primer yang sengaja



menghambat



penggantian



gigi



permanen,



tampaknya



mengganggu ekstraksi dari gigi insisif primer histologis mengakibatkan kerusakan ringan pada epitel enamel gigi pengganti. Namun, dalam studi makroskopik yang sama, ditemukan frekuensi dan tingkat makroskopik cacat enamel yang hampir identik dalam dua kelompok. Studi klinis juga menunjukkan hanya sebagian kecil dan perbedaan yang tidak signifikan dalam tingkat perkembangan dan frekuensi pengganggu dalam pertumbuhan gigi permanen ketika perawatan atau ekstraksi dari intrusi gigi primer telah dibandingkan. Avulsion Traumatik injuri pada rongga mulut dan sekitarnya merupakan kasus yang banyak terjadi di kalangan anak dan remaja, sehingga mernbutuhkan perhatian baik dan teliti mengenai perawatan dari dokter gigi. Penyebab trauma pada gigi permanen antara lain jatuh dari sepeda, berkelahi, kecelakaan lalu linlas dan olahraga. Keparahan



trauma



pada



gigi



geligi



tersebut



dapat



diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yang salah satu diantaranya



adalah lepasnya seluruh bagian gigi dari soket atau yang biasa kita sebut dengan avulsi. Keberhasi1an perawatan dari gigi yang avulsi tergantung dari berapa lama terjadinya, tempat kejadian, tindakan apa yang dilakukan pertama kali ketika terjadinya gigi avulsi dan bagaimana cara penanganan gigi avulsi tersebut. Penanganan pendahuluan terhadap gigi yang mengalami avulsi ini terdiri dari replantasi, splinting serta kontrol secara periodik. Kemudian dilanjutkan dengan perawatan saluran akar dan restorasi resin komposit. Meskipun beberapa laporan telah dipublikasikan pada replantasi gigi avulsi, pada praktikya tidak dapat direkomendasikan sampai bukti lebih lanjut menunjukkan bahwa pengganti permanen tidak akan terlibat, karena replantasi gigi primer dapat menggantikan coagulum ke dalam folikel gigi insisal permanen. Selanjutnya, inflamasi periapical dapat menjadi nekrosis pulp pada replantasi gigi permanen karena gangguan mineralisasi pertumbuhan gigi permanen.



ruang yang



dihasilkan dari kehilangan gigi incisal primer rahang atas dapat dikembalikan untuk tujuan estetik dengan manggunakan fixed appliances.



Namun, perlu perhatian khusus dalam kasus-kasus ini



terhadap kemungkinan gangguan pada fisiologis ekspansi rahang atas Fractures of The Alveolar Processus Tulang alveolar merupakan tulang tempat melekat gigi pada maksila dan mandibula. Fraktur adalah hilang atau putusnya



kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur tulang alveolar adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan tulang alveolar pada maksila atau mandibula.



Fraktur dari processus alveolaris sering terjadi pada maksila yang tipis dibandingkan dengan mandibula. Akan tetapi, tipe fraktur yang sering terjadi pada mandibula adalah fraktur alveolar. Trauma alveolar pada mandibula berhubungan dengan fraktur komplit pada daerah penyangga gigi, sedangkan pada maksila biasanya disebabkan oleh trauma lokal. Jika terjadi trauma secara langsung processus alveolaris bagian anterior memiliki resiko terbesar untuk terjadi fraktur. Trauma lokal pada tulang rahang dapat menyebabkan terjadinya fraktur pada tulang alveolar. Fraktur pada tulang alveolar biasanya tidak menyababkan kerusakan yang serius pada gigi, gigi diharapkan masih dapat melakukan devitalisasi pasca trauma. Etiologi Penyebab terjadinya fraktur tulang alveolar diantaranya adalah karena trauma facial seperti trauma athletik, terjatuh, kecelakaan industri, kecelakaan lalu lintas, dan lain-lain. Penyebab lainnya adalah akibat dari prosedur iatrogenik pada pencabutan gigi. Gambaran klinik fraktur alveolar



Fraktur prosesus alveolaris biasanya berupa fraktur terbuka sehingga rentan terhadap infeksi. Fraktur yang terjadi pada tulang alveolar dapat meluas sampai keperbatasan tulang. Pada segmen yang fraktur sering ditemukan pergerakan, pergeseran segmen, dan dislokasi. Terjadi perubahan oklusal akibat ketidaksejajaran dari segmen alveolar yang fraktur. Tes sensitivitas pada gigi di daerah fraktur dapat positif atau negatif. Pada fraktur tulang alveolar, gigi dapat mengalami perubahan posisi, gigi dapat menjadi luksasi, avulsi, atau impaksi. Gambaran radiografis Pada fraktur tulang alveolar garis fraktur dapat terlokalisasi, dari tepi tulang alveolar sampai apeks akar. Teknik panoramik sangat membantu dalam menentukan bagian dan posisi garis fraktur. Garis fraktur dapat terlihat



dengan atau tanpa adanya pemisahan



fragmen. Periapical dental radiographs dapat memberikan informasi mengenai status gigi geligi di daerah tulang alveolar yang mengalami fraktur. Klasifikasi Klasifikasi dari fraktur tulang alveolar menurut Per Clark ·



Kelas 1, fraktur pada segmen edentulous



·



Kelas



perubahan posisi



2,



fraktur



pada



segmen dentulous dengan



sedikit



·



Kelas 3, fraktur pada segmen dentulous dengan sedang-berat



perubahanposisi ·



Kelas 4, fraktur processus alveolaris. Terdapat satu atau lebih



garis fraktur dengan fraktur pada tulang facial penyangga gigi Perawatan Perawatan medikasi Perawatan ini ditujukan untuk memberi kenyamanan pada pasien



dan



untuk



mencegah



komplikasi



terutama



akibat



infeksi. Analgesik ringan sampai sedang dapat diberikan, namun perlu mempertimbangkan status kesehatan umum pasien dan dosis obat. Contoh analgesik yang bisa diberikan adalah Acetaminophen. Terapi antibiotik mengurangi prevalensi dari infeksi. Golongan penisilin diberikan dan disesuaikan dosisnya dengan umur. Pada pasien yang alergi dengan golongan penisilin, clindamycin dapat digunakan sebagai alternatif pengganti. Perawatan bedah Pada fraktur alveolar perawatan dilakukan dengan tujuan mengembalikan segmen farktur ke posisi semula. Sebelum dilakukan perawatan, sebaiknya dilakukan foto rontgen untuk mengetahui seberapa luas fraktur yang terjadi. Perawatan dilakukan dengan bantuan anestesi lokal. Namun pada keadaan tertentu perlu dilakukan anestesi umum yaitu apabila anastesi lokal tidak berhasil atau pada



pasien yang sangat penakut. Reposisi segmen fraktur yang mengalami perubahan lokasi dengan melakukan reduksi yaitu menggerakkan segmen yang fraktur dengan finger manipulation, periksa hubungan oklusalnya. Fiksasi untuk imobilisasi segmen yang fraktur dengan splint atau arch bar. Hilangkan kontak prematur dan trauma oklusal. Stabilisasi segmen yang fraktur tersebut selama 4 minggu. Contoh cara fiksasi lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan 20 Chromic gut suture material untukimmobilisasi gigi. Alat untuk stabilisasi segmen dilepas setelah 4-6 minggu kemudian evaluasi mobilitas gigi dan segmen. Untuk mengetahui keberhasilan perawatan, lakukan foto rontgen. Status pulpa perlu dilihat untuk mempertimbangkan kemungkinan perawatan endodontik bila gigi menjadi nonvital.



Tabel Ringkasan Penanggulangan Trauma Gigi Sulung Anterior



Trauma



Treatment Pulpa



Restorasi



Enamel (Kelas I)



Observasi



Smooth / rough edges



Perhatikan bila terdapat perbedaan warna



Enamel dan dentin (Kelas



Calcium hydroxide liner



Acid etch composite resin atau open-faced stainless



II)



steel crown Enamel, dentin, dan pulpa (Kelas III)



Formocresol pulpotomi Pulpektomi ( jika devital)



Open-faced stainless steel crown



Fraktur Akar



Ekstraksi



Space maintainer



Avulsi



-



Space maintainer



Displacement



Reposisi



Splint



Intrusi/Concussion



Observasi perubahan warna atau preerupsi: 1.



Hitam – pulpa nonvital ; pulpektomi



2.



Kuning – pulpa terkalsifikasi ; observasi Fundamentals of Pediatric Dentistry



3.



Macam-macam Alat Stabilisasi untuk Fraktur Mandibula Splinting properties Rigiditas dari splint dapat digambarkan sebagai berikut : 1.



Flexible dan semi-rigid : optimal untuk pulpa dan periodontal healing



1.



Lebih mobility daripada gigi non-injured



2.



Sama dengan mobilitas normal gigi



3.



Rigid : dapat digunakan pada cervical root fracture dan replantasi gigi setelah PDL removal dan perawatan fluoride.



1.



Kurang dari mobilitas normal gigi



Splint yang optimal dapat memenuhi mayoritas dari seluruh persyaratan dibawah ini :



1.



Aplikasi direct intraoral



2.



Mudah dibuat dengan matetial yang tersedia dalam praktek dental



3.



Tidak meningkatkan periodontal injury atau memicu caries



4.



Tidak iritasi terhadap jaringan lunak oral



5.



Pasif, tidak menggunakan tekanan orthodontic pada gigi



6.



Serbaguna dalam mencapai rigid, semi-rigid, atau fleksibel splint



7.



Mudah dikembalikan dan berakibat minimal atau tidak ada kerusakan



permanen pada gigi 8.



Memungkinkan tes pulpa dan perawatan endodontic



9.



Hygiene dan estetik



Tipe-tipe splinting 1.



Suture splint



Gambar : Pemasangan suture splint pada gigi incisive 1 regio 2 Tipe paling simple adalah letak suture pada incisal edge dari palatal/lingual gingival menuju buccal gingival. Fiksasi seperti ini dapat digunakan, contohnya, dalam mencegah reposisi incisor dari ekstruding, tapi hanya akan efektif untuk jangka



waktu pendek. Setelah autotransplantasi pada premolar, suture diletakkan pada permukaan oklusal pada transplant. Suture splint ditemukan untuk meningkatkan prognosis gigi autotransplanted dibandingkan rigid splint. 2.



Arch bar



Gambar : Penggunaan Arch Bar yang mengiritasi jaringan periodontal disekitar tempat pemasangan. Beberapa decade yang lalu, rigid splinting dari gigi luxasi dianggap perlu, dan jenis splint yang digunakan adalah arch bar atau cap splint. Splint ini menyebabkan kerusakan pada gigi yang terluka, dikarenakan reposisi tidak akurat, yang dapat menekan jaringan longgar gigi terhadap dinding soket. Selanjutnya, terdapat resiko invasi bakteri ke dalam jaringan periodontal karena dekatnya letak splint dan wire terhadap margin gingival.



3.



Orthodontic appliance



Gambar : Penggunaan Orthodontic splint pada anterior rahang atas Orthodontic ligature wire bonded dengan composite atau attached pada bracket telah dianjurkan. Bagaimanapun, orthodontic bracket wire dan composite dapat mengakibatkan iritasi pada mukosa oral, gangguan pada oral hygiene dan ketidaknyamanan, terutama pada awal dari periode splinting. Selanjutnya, permintaan untuk splinting pasif (dengan gigi pada posisi netral) terancam jika bracket bersatu dengan rectangular orthodontic wire. Maka dari itu, direkomendasikan untuk menggunakan malleable steel wire. 4.



Composite



Splint yang sepenuhnya terdiri dari composite resin bersifat estetik dan mudah untuk dibuat, tetapi telah ditemukan untuk fraktur pada daerah interdental, sebagaimana material tersebut fragile. Splint bersifat rigid dan dengan demikian melanggar permintaan untuk splinting pada kebanyakan kasus. Terlebih lagi, karena kecocokan warna dan bonding strength pada goresan enamel, hal ini sulit untuk mengembalikannya tanpa merusak underlying tooth structure. Jika splint dengan material ini harus digunakan, maka dianjurkan untuk splint pada gigi luxasi dengan hanya satu gigi yang berdekatan.



5.



Wire-composite



Gambar: Pemasangan Wire Composite pada gigi anterior rahang atas Satu dari keuntungan utama adalah splint CONSTRUCTED dari material yang secara rutin tersedia di kantor dental. Mudah dimodifikasi menjadi rigid splint oleh perubahan dimensi dari wire atau oleh penambahan composite selama labial wire up pada ruang interdental. Bagaimanapun, terdapat masalah yang sama pada resiko kerusakan potensial pada underlying enamel sebagaimana dengan composite splint. Pada studi comparative baru pada berbagai tipe dari splint pada sukarelawan, wire-composite splint terbukti dapat diterima dengan baik, tidak mengakibatkan kerusakan



besar



pada



mukosa



oral



dan



memperbolehkan



sukarelawan



mempertahankan oral hygiene yg bagus. Pada beberapa studi yang menggunakan fiber glass daripada wire telah dideskripsikan dan secara berkala digunakan. Fiber glass ribbon dibasahkan dengan composite resin dan tidak ada material pengisi yang digunakan. Fleksibilitas dapat divariasikan dengan sejumlah layer dan extention pada splint. 6.



Resin



Gambar : Pemasangan Resin Splint penuh pada permukaan gigi anterior rahang atas Protemp dan Luxatemp merupakan multi-fase material resin digunakan dalam restorasi temporary prosthetic dan untuk lining prefabricated crown. Protemp merupakan chemical cured; sedangkan Luxatemp merupakan dual cured (chemical dan light cured).bhal ini memungkinkan untuk menerima material dalam tahapannya, keuntungan dengan multiple displaced dan reposition teeth. Material ini tidak menggunakan tenaga pada gigi selama aplikasi dan secara estetik dan hygiene dapat diterima. Selanjutnya, keduanya telah menunjukkan untuk memperbolehkan penggunaan semi-rigid splinting. Pada kasus kehilangan gigi atau dalam mixed dentition, dimana gigi yang bersebelahan tidak sepenuhnya erupsi, hal ini diperlukan untuk merentangkan area edentulous. Pada kasus ini, diperlukan reinforcement. Hal ini dapat dicapai dengan metal bars, orthodontic wire, nylon line, glass fiber, atau synthetic fiber atau tape yang terdapat di market (Kevlar, Dupont Corp., Fiber-splint, Polydent Corp.,



Mezzovico, Switzerland) dan yang dapat dipadukan dengan resin. Jika tidak tersedia, bahkan paperclip dapat diluruskan untuk mencapai tujuannya. Diperbolehkan beberapa material yang bersifat fleksibel dan splint diterima secara direct pada etched crown surface. 7.



Metal (TTS) splint



Gambar 2.15: Pemasangan Metal Splint yang mampu beradaptasi dengan baik menggunakan bahan titanium Secara komersial, dental splint yang tersedia telah diperkenalkan. Prefabricated splint yang terbuat dari titanium telah dilaporkan oleh von Arx dan co-author. Prefabricated titanium trauma splint (TTS) mempunyai ketebalan hanya 0,2 mm dan dapat dengan mudah dibengkokan dengan jari dan beradaptasi pada dental arch. Karena desain rhomboid dari splint, dapat juga beradaptasi dengan panjangnya. TTS berikatan pada enamel dengan light cured composite resin dan dikembalikan dengan ‘peeling’ pada permukaan gigi. Splint ini telah ditemukan agar dapat bertoleransi dengan baik dan mengakibatkan ketidaknyamanan hanya pada sebagian kecil pasien.



BAB III KESIMPULAN



Traumatic injury adalah injury yang dapat bersifat fisik (badan) atau emosional yang dihasilkan oleh luka luka fisik atau mental, atau shock. Traumatic dental injury atau dental trauma merupakan injury yang terjadi pada mulut, termasuk gigi, bibir, gusi, lidah, dan tulang rahang. Traumatic Dental Injury terjadi oleh benturan yang dapat menyebabkan energi mekanis yang cukup untuk menghasilkan suatu injuri/luka. Peristiwa TDI terjadi karena aktivitas yang menyebabkan kejadian TDI seperti jatuh, benturan, aktivitas fisik diwaktu senggang, kecelakaan lalu lintas, permaian yang kasar, kekerasan, penggunaan gigi yang tidak sesuai, serta menggigit benda keras. Insidensi fraktur adalah sekitar 5%, Ellis melaporkan suatu insidensi 4,2%, dan Grundy melaporkan suatu insidensi sebesar 5,1%. Hal itu berarti apabila terdapat 100 orang, maka 5 diantaranya mengalami fraktur dentoalveolar. Anak laki-laki mempunyai sekitar 2 sampai 3 kali lebih banyak gigi yang patah daripada anak perempuan. Klasifikasi fraktur oleh Ellis terbagi dalam 9 klas, sedangkan WHO membagi dalam luka jaringan keras gigi dan pulpa, luka terhadap jaringan periodontal, luka terhadap tulang pendukung, dan luka pada gingival atau mukosa. Tanda-tanda klinis fraktur dentoalveolar meliputi adanya kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada gingiva dan vermilion bibir, serta



adanya pembengkakan atau luka pada dagu, adanya luka pada gingiva dan hematom di atasnya, serta adanya nyeri tekan pada daerah garis fraktur. Penanganan trauma secara umum dan segera meliputi pemeriksaan jalur nafas, sumbatan jalan napas yang tertunda, perdarahan, antibiotik, perawatan pendukung, dan kontrol rasa sakit. Perawatan fraktur mahkota dan akar berbeda-beda tergantung daerah yang mengalami fraktur (email, mahkota, pulpa, akar) dan tingkat keparahan fraktur. Avulsi gigi adalah berpindahnya gigi secara menyeluruh dari soketnya. Perawatan avulsi adalah dengan replantasi yang dapat dilakukan di ruang praktik dokter gigi. Jika restorasi akhirnya ditunda, restorasi sementaranya harus bisa bertahan selama mungkin (sampai satu tahun). Restorasi ini harus protektif, rapat, dan bagus estetik serta fungsinya. Restorasi sementara semipermanen untuk gigi posterior yang baik adalah amalcore yang meng”onlay” cusp yang telah lemah, sehingga dapat melindungi



fungsi



dan



kerapatannya.



Pada



prinsipnya



ada



tiga,



yaitu



mempertahankan struktur gigi, retensi, dan proteksi sisa gigi. Penanggulangan gigi sulung yang terkena trauma harus memperhatikan efeknya terhadap benih gigi, serta tergantung dari tempat terjadinya fraktur dan tingkat keparahannya. Fraktur prosesus alveolaris adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan tulang alveolar pada maksila atau mandibula, namun lebih sering terjadi pada maksila. Klasifikasinya berdasarkan pembagian oleh per Clark yang membaginya dalam 4 kelas. Perawatan ditujukan untuk memberi kenyamanan pada pasien dan untuk



mencegah komplikasi terutama akibat infeksi. Terapi yang diberikan adalah obat— obatan dan bedah. Macam-macam alat stabilisasi untuk fraktur mandibula meliputi splinting. Termasuk di dalamnya jenis rigid dan non-rigid. Syarat splinting yang baik adalah aplikasi direct intraoral, mudah dibuat dengan matetial yang tersedia dalam praktek dental, tidak meningkatkan periodontal injury atau memicu caries, tidak iritasi terhadap jaringan lunak oral, pasif tidak menggunakan tekanan orthodontic pada gigi, serbaguna dalam mencapai rigid, semi-rigid, atau fleksibel splint, mudah dikembalikan dan berakibat minimal atau tidak ada kerusakan permanen pada gigi, memungkinkan tes pulpa dan perawatan endodontic, hygiene dan estetik. Tipe-tipe splinting termasuk suture splint, arch bar, orthodontic appliance, composite, wirecomposite, resin, dan metal splint.



DAFTAR PUSTAKA Booth, Peter Ward, dkk. 2012. Maxillofacial Trauma & Esthetic Facial Reconstruction. Missouri: Elsevier. Fonseca RJ., 2005. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St. Louis : Elsevier Saunders. Grossman, Louis I, Seymour Oliet. 1988. Endodontic Practice 11th edition. Philadelphia: Lea & Febiger. Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002 Mathewson, Richard J., DDS, MS, PhD., Primosch, E. Robert, DDS, MS, Mend 1995. Fundamental of Pediatric Dentistry, 3rd. Ed. Quintescience Publishing Co, Inc. US. Peterson Lj., 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 4th ed St Louis : Mosby Riyanti, Eriesca., Sp.KGA. Penatalaksanaan Trauma Gigi Pada Anak – pustakaunpad.ac.id http://media.unpad.ac.id/thesis/160110/2007/160110070075_2_9049.pdf